Fitri Muamalah
Fitri Muamalah
MUDHARABAH
Allah menciptakan manusia makhluk yang
berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu
sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta
namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam
mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain
ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak
memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis
orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah
pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam
memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Al Mudharabah.
1.1. Pengertian Al Mudharabah
Syarikat
Mudhaarabah memiliki
dua
istilah
yaitu Al
Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan
kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk
mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah
karena diambil dari katadharb di muka bumi yang artinya melakukan
perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah
berfirman:
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang
sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan
Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran. (Qs. Al
Muzammil: 20)
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil)
keuntungan dengan saham yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena
diambil
dari
kata muqaaradhahyang
arinya
penyamaan
dan
penyeimbangan. Seperti yang dikatakan
dalam Al-Muwattha [12] dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia
menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin Al-Khattab pernah
keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraaq. Ketika mereka kembali,
mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asyari, yakni gubernur Bashrah.
Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu
dengan suka cita. Beliau berkata: Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang
berguna buat kalian, pasti akan kulakukan. Kemudian beliau berkata:
Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan
kukirimkan kepada Amirul Mukminin. Beliau meminjamkannya kepada
kalian untuk kalian belikan sesuau di Iraaq ini, kemudian kalian jugal di
kota Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin,
dan keuntungannya kalian ambil. Mereka berkata: Kami suka itu. Maka
beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk
disampaikan kepada Umar bin Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu
mengambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota AlMadinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keuntungan.
Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas
bertanya: Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa
seperti yang diberikan kepada kalian berdua? Mereka menjawab: Tidak.
Beliau berkata: Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin
sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang itu beserta
keuntungannya. Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Sementara
Ubaidillah langsung angkat bicara: Tidak sepantasnya engkau berbuat
demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis,
pasti kami akan bertanggungjawab. Umar tetap berkata: Berikan uang
itu semaunya. Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap
membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara penggawa Umar berkata:
Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai
Umar? Umar menjawab: Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal.
Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya,
sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah keuntungan
sisanya.[13]
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu
hingga jaman kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama
yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat,
karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun
dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahualaihi wa sallam,
kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya
merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu
hanya bisa dikembangkan dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara
tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berniaga, juga tidak
setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing
kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu Mudharabah ini
disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.
1.3. Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah
Islam
mensyariatkan
akad
kerja
sama Mudharabah untuk
memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak
mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki
harta
namun
memiliki
kemampuan
untuk
mengelola
dan
mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar
mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al
Mal (investor)
memanfaatkan
keahlian Mudhorib (pengelola)
dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian
terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Taala tidak mensyariatkan
satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak
kerusakan.[14]
1.4. Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya
adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al
Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis
usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi.
Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal)
melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya
pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan
menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang
akan bertransaksi dengan Mudharib.[15] Jenis kedua ini diperselisihkan
para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa
pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil
syari, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan
dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.[16]
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan
modal sesuai permintaan investor.
1.5. Rukun Al Mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga
rukun:
1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan
pengelola (mudharib).
2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
3. Pelafalan perjanjian.
kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan
keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.[37]
4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali
apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat.[38] Ibnu Qudamah
menyatakan: Keuntungan jika tampak dalam mudharabah, maka
pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin
pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan
diantara para ulama.
Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan
tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan
tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan
2. Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak
memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali
keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil
sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka
berdua.[39]
Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak
sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap
keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan
bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring
seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu,
keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal
yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian
sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan
keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu
pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan
ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan
cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan
nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa
mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus
dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.
[40]
1.5.3.
Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku
transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri
BAB II
HIWALAH
2.1. Pengertian Hiwalah
Hiwalah
diambil
dari
kata tahawwul (berpindah)
atau tahwil (pemindahan). Hiwalah maksudnya adalah memindahkan
utang
dari
tanggungan muhiil (pengutang
pertama)
kepada
tanggungan muhaal alaih (pengutang kedua). Dalam hiwalah ada
istilah muhiil, muhaal, dan muhaal alaih. Muhiil artinya orang yang
berutang,
sedangkanmuhaal artinya
pemberi
utang,
adapun muhaal alaih adalah orang yang yang akan membayar utang.
Hiwalah merupakan salah satu tindakan yang tidak membutuhkan
ijab dan qabul, dan dipandang sah dengan kata-kata apa saja yang
menunjukkan
demikian,
seperti
Ahaltuka
(saya
akan
menghiwalahkan), Atbatuka bidainikaalaa fulaan (saya akan pindahkan
utangmu kepada si fulan) dsb.
Menunda membayar utang bagi orang kaya adalah kezaliman dan
apabila seorang dari kalian utangnya dialihkan kepada orang kaya,
hendaklah dia ikuti.
Dalam
hadis
tersebut
Rasulullah shallallahu
alaihi
wa
sallam memerintahkan agar pemberi utang apabila diminta oleh
pengutangnya menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima
hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang
dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang
Oleh karena itu hiwalah tidak sah terhadap orang yang belum
membayar barangnya karena masih dalam waktu khiyar dan hiwalah,
juga tidak sah dari seorang anak kepada bapaknya kecuali dengan
keridhaannya.
4. Masing-masing hak tersebut diketahui.
2.4.
2.5.
BAB III
UTANG PIUTANG (QARDH)
3.1. Pengertian Qardh dan Hukumnya
Qardh artinya memberikan harta untuk dimanfaatkan dan akan diganti.
Hukum qardh adalah masyru (disyariatkan) sebagaimana ditunjukkan
oleh keumuman ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam yang menerangkan tentang keutamaan tolong-menolong,
memenuhi hajat atau kebutuhan seorang muslim, menghilangkan derita
yang menimpanya dan menutupi kefakirannya. Kaum muslimin juga
sepakat tentang kebolehannya.
Disebutkan dalam hadis berikut:
Dari Abu Rafi, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
meminjam unta muda kepada seorang laki-laki, ketika unta sedekah
tiba, maka beliau pun memerintahkan Abu Rafi untuk membayar unta
muda yang dipinjamnya kepada laki-laki tersebut. Lalu Abu Rafi kembali
kepada Beliau sambil berkata, Aku tidak mendapatkan onta muda
kecuali onta yang sudah dewasa. Beliau bersabda, Berikanlah
kepadanya, sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam
membayar hutang. (HR. Muslim)
Dari Ibnu Masud berkata, Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada
orang lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama. (Hadis
hasan HR. Ibnu Majah, lihat al-Irwaa 5/226)
2.
3.
4.
5.
6.