Anda di halaman 1dari 45

BAB I

MUDHARABAH
Allah menciptakan manusia makhluk yang
berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu
sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta
namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam
mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain
ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak
memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis
orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah
pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam
memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Al Mudharabah.
1.1. Pengertian Al Mudharabah
Syarikat
Mudhaarabah memiliki
dua
istilah
yaitu Al
Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan
kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk
mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah
karena diambil dari katadharb di muka bumi yang artinya melakukan
perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah
berfirman:



Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang
sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan
Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran. (Qs. Al
Muzammil: 20)
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil)
keuntungan dengan saham yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena
diambil
dari
kata muqaaradhahyang
arinya
penyamaan
dan
penyeimbangan. Seperti yang dikatakan

Dua orang penyair melakukan muqaaradhah,


Yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Disini perbandingan
antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal,
sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu
diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap
kain, yakni menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal
memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal,
dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. [1]
Sedangkan
dalam
istilah
para
ulama Syarikat
Mudhaarabah memiliki
pengertian:
Pihak
pemodal
(Investor)
menyerahkan
sejumlah
modal
kepada
pihak
pengelola
untuk
diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.
[2] Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua
pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar
diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai
dengan kesepakatan.3 Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk kerja sama
antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan
suatu perjanjian pembagian keuntungan.[4] Bentuk ini menegaskan kerja
sama dengan kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian
dari Mudharib.
1.2. Hukum Al Mudharabah Dalam Islam
Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan.
Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma ulama yang
membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnul Mundzir[5], Ibnu Hazm[6] Ibnu
Taimiyah[7] dan lainnya.
Ibnu Hazm menyatakan: Semua bab dalam fiqih selalu memiliki
dasar dalam Al Quran dan Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillahkecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah (pen). Kami tidak mendapati satu
dasarpun untuknya dalam Al Quran dan Sunnah. Namun dasarnya adalah
ijma yang benar. Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada
dizaman shallallahualaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan
seandainya tidak demikian maka tidak boleh.[8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di
atas dengan menyatakan: Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:
1. Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma tanpa diketahui
sandarannya dari Al Quran dan Sunnah dan ia sendiri mengakui
bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil Mudharabahdalam Al Quran
dan Sunah.
2. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah
ijma, padahal ia tidak memiliki disini kecuali ketidak tahuan adanya
yang menyelisihinya.

3. Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahualaihi wa sallam setelah


mengetahui
sistem
muamalah
ini.
Taqrier
(persetujuan)
Nabi shallallahualaihi wa sallam termasuk satu jenis sunnah, sehingga
(pengakuan beliau) tidak adanya dasar dari sunnah menentang
pernyataan beliau tentang taqrir ini.
4. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah fihak yang ada
dalam Al Quran meliputi juga Al Qiradh dan Mudharabah
5. Madzhab beliau menyatakan harus ada nash dalam Al Quran dan
Sunnah atas setiap permasalahan, lalu bagaimana disini meniadakan
dasar dalil Al Qiradh dalam Al Quran dan Sunnah
6. Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan ketidak adaannya
7. Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi shallallahualaihi wa
sallam tidak sampai pada derajat pasti (Qathi) dengan semua
kandungannya, padahal penulis (Ibnu Hazm) memastikan persetujuan
Nabi dalam permasalahan ini.[9]
Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm
diatas dengan menyatakan: Ada beberapa bantahan (atas pernyataan
beliau), yang terpenting bahwa asal dalam Muamalah adalah boleh kecuali
ada nas (yang melarang) beda dengan ibadah, pada asalnya dalam ibadah
dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabahjelas termasuk yang pertama. Juga
ada nash dalam Al Quran yang membolehkan perdagangan dengan
keridhoan dan ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini semua cukup sebagai
dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma yang beliau akui
sendiri.[10]
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: Sebagian orang
menjelaskan beberapa permasalahan yang ada ijma padanya namun
tidak memiliki dasar nas, seperti Al Mudharabah, hal itu tidak
demikian. Mudharabah sudah masyhur dikalangan bangsa Arab dijahiliyah
apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi pekerjaan
mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (umaal).
Rasulullahshallallahualaihi wa sallam sendiri pernah berangkat membawa
harta orang lain sebelum kenabian sebagaimana telah berangkat dalam
perniagaan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan
kebanyakannya dengan sistem mudharabahdengan Abu Sufyan dan
selainnya.
Ketika
datang
islam
Rasulullah shallallahualaihi
wa
sallammenyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan
harta orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahualaihi wa
sallam tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan
persetujuan beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan
dengan sunnah. [11]
Juga hukum ini dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat
Rasulullah shallallahualaihi wa sallam diantaranya yang diriwayatkan

dalam Al-Muwattha [12] dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia
menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin Al-Khattab pernah
keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraaq. Ketika mereka kembali,
mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asyari, yakni gubernur Bashrah.
Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu
dengan suka cita. Beliau berkata: Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang
berguna buat kalian, pasti akan kulakukan. Kemudian beliau berkata:
Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan
kukirimkan kepada Amirul Mukminin. Beliau meminjamkannya kepada
kalian untuk kalian belikan sesuau di Iraaq ini, kemudian kalian jugal di
kota Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin,
dan keuntungannya kalian ambil. Mereka berkata: Kami suka itu. Maka
beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk
disampaikan kepada Umar bin Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu
mengambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota AlMadinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keuntungan.
Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas
bertanya: Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa
seperti yang diberikan kepada kalian berdua? Mereka menjawab: Tidak.
Beliau berkata: Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin
sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang itu beserta
keuntungannya. Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Sementara
Ubaidillah langsung angkat bicara: Tidak sepantasnya engkau berbuat
demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis,
pasti kami akan bertanggungjawab. Umar tetap berkata: Berikan uang
itu semaunya. Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap
membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara penggawa Umar berkata:
Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai
Umar? Umar menjawab: Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal.
Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya,
sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah keuntungan
sisanya.[13]
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu
hingga jaman kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama
yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat,
karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun
dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahualaihi wa sallam,
kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya
merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu
hanya bisa dikembangkan dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara
tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berniaga, juga tidak
setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing

kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu Mudharabah ini
disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.
1.3. Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah
Islam
mensyariatkan
akad
kerja
sama Mudharabah untuk
memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak
mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki
harta
namun
memiliki
kemampuan
untuk
mengelola
dan
mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar
mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al
Mal (investor)
memanfaatkan
keahlian Mudhorib (pengelola)
dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian
terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Taala tidak mensyariatkan
satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak
kerusakan.[14]
1.4. Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya
adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al
Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis
usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi.
Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal)
melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya
pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan
menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang
akan bertransaksi dengan Mudharib.[15] Jenis kedua ini diperselisihkan
para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa
pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil
syari, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan
dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.[16]
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan
modal sesuai permintaan investor.
1.5. Rukun Al Mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga
rukun:
1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan
pengelola (mudharib).
2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
3. Pelafalan perjanjian.

Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan


bahwa rukun Mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan,
pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi.[17] Ini semua ditinjau dari
perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun di atas.
1.5.1.
Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola
modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi
beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh,
berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya[18].
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau
pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan
melakukan perbuatan riba atau perkara haram.[19] Namun sebagian
lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja
sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus
terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari
pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.[20]
1.5.2.
Rukun kedua: objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan
keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus
dipenuhi:
1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd)
dasarnya adalah ijma[21] atau barang yang ditetapkan nilainya
ketika akad menurut pendapat yang rojih. [22]
2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.[23]
3. Modal yang diserahkan harus tertentu.
4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola
menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.[24]
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus
diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola
modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata
uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila
ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad
transaksi,
sehingga
nilai
barang
tersebut
yang
menjadi
modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota
kijang lalu diserahkan kepadaMudharib (pengelola modal), maka
ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga
mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal
Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan


pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan
tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah
harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki
konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
b. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang
menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali
didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima
atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [25]
Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan
bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola
modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang
haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.[26]
Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal
menurut pendapat madzhab Hambaliyyah.[27] Dengan dasar
dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi,
dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang
lainnya.[28]
c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian
juga Mudharabah.
Namun
dalamMudharabah disyaratkan
pada
keuntungan tersebut empat syarat:
1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu
pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya
disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya
dengan menyatakan: Mudharabah dengan pembagian 1/3
keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau
orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut
mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua
orang.[29] Seandainya dikatakan: separuh keuntungan untukku
dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk
istriku, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.[30]
2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu
pihak
saja.
Seandainya
dikatakan:
Saya
bekerja
sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya
untukmu maka ini dalam madzhab Syafii tidak sah.[31]
3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.

4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi


pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya
dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah,
sepertiga atau seperempat.[32] Apa bila ditentuan nilainya,
contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan
pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku
maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentasenya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun
kerugian hanya ditanggung pemilik modal.[33] Ibnu Qudamah
dalam Syarhul Kabir menyatakan: Keuntungan sesuai dengan
kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan:
Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada
perselisihannya dalam Al Mudharabah murni. Ibnul Mundzir
menyatakan: Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak
memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau atau
sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas
dalam bentuk persentase. [34]
2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari
keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut
maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh
keuntungan milik pemilik modal (investor).[35] Ibnu Qudamah
menyatakan: Diantara syarat sahMudharabah adalah penentuan
bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan
keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali
dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara
mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola
sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk
pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan
pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al
Tsauri, Al Syafii, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Rai (Hanafiyah).
[36] Beliaupun merajihkan pendapat ini.
3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum
menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti tidak
seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal
doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan
keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik
baik kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian
dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang
lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan niaga dan yang
lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah

kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan
keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.[37]
4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali
apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat.[38] Ibnu Qudamah
menyatakan: Keuntungan jika tampak dalam mudharabah, maka
pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin
pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan
diantara para ulama.
Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan
tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan
tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan
2. Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak
memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali
keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil
sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka
berdua.[39]
Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak
sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap
keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan
bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring
seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu,
keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal
yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian
sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan
keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu
pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan
ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan
cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan
nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa
mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus
dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.
[40]
1.5.3.
Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku
transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri

dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikatdianggap sah dengan


perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.[41]

1.6. Syarat Dalam Mudharabah [42]


Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang
ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan
dengan Mudharabah. Syarat dalam Al Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi
tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat
untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada
pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau
membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus
dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka
syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan
wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi
tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
a.
Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti
mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau
tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat
ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan
maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
b.
Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti
mensyaratkan
kepada
pengelola
untuk
memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
c.
Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti
mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau
mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan
usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau
menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini
disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak
jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama
sekali. Sehingga akadnya batal.
1.7. Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini
berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada
syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam
ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia
menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan
meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: Al
Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan
pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan
kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena ia beraktivitas
pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak

ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya.[43] Sedangkan


Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia
diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila
terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh
memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan
mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir
usaha terbut. [44]
Imam Syafii menyatakan: Kapan pemilik modal ingin mengambil
modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin
keluar dari qiraadh maka ia keluar darinya. [45]
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak
memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila
terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut
sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang,
lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan,
karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya
sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada
keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak
pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual.
Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak
dipaksa.
Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat
memperhatikan keadaan dua belah pihak yang bertransaksi mudharabah.
Sehingga seharusnya kembali memotivasi diri kita untuk belajar dan
mengetahu tata aturan syariat dalam muamalah sehari-hari.

BAB II
HIWALAH
2.1. Pengertian Hiwalah
Hiwalah
diambil
dari
kata tahawwul (berpindah)
atau tahwil (pemindahan). Hiwalah maksudnya adalah memindahkan
utang
dari
tanggungan muhiil (pengutang
pertama)
kepada
tanggungan muhaal alaih (pengutang kedua). Dalam hiwalah ada
istilah muhiil, muhaal, dan muhaal alaih. Muhiil artinya orang yang
berutang,
sedangkanmuhaal artinya
pemberi
utang,
adapun muhaal alaih adalah orang yang yang akan membayar utang.
Hiwalah merupakan salah satu tindakan yang tidak membutuhkan
ijab dan qabul, dan dipandang sah dengan kata-kata apa saja yang
menunjukkan
demikian,
seperti
Ahaltuka
(saya
akan
menghiwalahkan), Atbatuka bidainikaalaa fulaan (saya akan pindahkan
utangmu kepada si fulan) dsb.

2.2. Hikmah dan Dalil Disyariatkannya Hiwalah


Hiwalah ini disyariatkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena
adanya masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya
kemudahan dalam bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti
sayang kepada sesama, mempermudah muamalah mereka, memaafkan,
membantu memenuhi kebutuhan mereka, membayarkan utangnya dan
menenangkan hati mereka.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Menunda membayar utang bagi orang kaya adalah kezaliman dan
apabila seorang dari kalian utangnya dialihkan kepada orang kaya,
hendaklah dia ikuti.
Dalam
hadis
tersebut
Rasulullah shallallahu
alaihi
wa
sallam memerintahkan agar pemberi utang apabila diminta oleh
pengutangnya menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima
hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang
dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang

memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi


pinjaman berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.
Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian
ulama adalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya
sunat.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak
sejalan dengan qias, karena hal itu sama saja jual beli utang dengan
utang, sedangkan jual beli utang dengan utang itu terlarang. Pendapat ini
dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan bahwa hiwalah itu sejalan
dengan qias, karena termasuk jenis pemenuhan hak, bukan termasuk jenis
jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan, Kalaupun itu jual beli utang dengan
utang, namun syara tidak melarangnya, bahkan kaidah-kaidah syara
menghendaki harus bolehdst.
2.3. Syarat sahnya hiwalah
Syarat sah hiwalah adalah:
1. Si Muhiil dan muhaal (pemberi utang) ridha, tanpa perlu keridhaan si
muhaal alaihi (peminjam kedua).
Hal ini berdasarkan hadis di atas, di samping itu, si muhiil berhak
membayar utangnya dari arah mana saja yang ia mau. Sedangkan
adanya keridhaan si muhaal adalah haknya ada pada tanggungan
si muhiil, sehingga tidak bisa berpindah kecuali dengan keridhaannya.
Namun ada yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan harus ada
keridhaannya, karena bagi muhaal wajib menerima berdasarkan hadis di
atas, di samping itu ia juga berhak meminta dibayarkan haknya baik dari
muhil langsung maupun dari orang yang menduduki posisinya. Adapun
tidak ada syarat ridha bagi muhaal alaih, karena Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam tidak menyebutnya dalam hadis di atas. Di samping itu,
pemberi pinjaman menduduki posisinya sebagai orang yang menagih
haknya, sehingga tidak butuh keridhaan dari orang yang wajib memenuhi
hak. Namun menurut ulama madzhab Hanafi, Ishtharikhiy dari kalangan
madzhab SyafiI bahwa harus ada syarat ridha juga dari muhaal alaih.
2. Sama hak yang ditagihnya itu baik jenisnya, jumlah utangnya, jatuh
tempo pem-bayarannya, bagusnya barang ataupun tidak.
Oleh karena itu, tidak sah hiwalah apabila utangnya berupa emas
lalu dihiwalahkan kepada yang lain dengan mengambil gantinya berupa
perak. Demikian juga apabila utangnya sekarang, lalu dihiwalahkan agar

menerimanya setelah jatuh tempo atau sebaliknya. Demikian juga tidak


sah hiwalah apabila kedua hak berbeda dari sisi bagus dan tidaknya atau
salah satunya lebih banyak daripada yang lain.
3.

Si muhaal alaih memang benar-benar menanggung utang, karena


konsekwensinya adalah membebani si muhaal alaih untuk membayar
utang sehingga jika utangnya masih dalam pertimbangan, maka ini
berarti siap tidak jadi dan hiwalah tentu tidak berlaku.

Oleh karena itu hiwalah tidak sah terhadap orang yang belum
membayar barangnya karena masih dalam waktu khiyar dan hiwalah,
juga tidak sah dari seorang anak kepada bapaknya kecuali dengan
keridhaannya.
4. Masing-masing hak tersebut diketahui.

2.4.

Apakah Tanggungan Muhiil Lepas dengan Hiwalah?

Apabila hiwalah telah sah, maka lepaslah tanggungan si muhiil. Tetapi


jika si muhaal alaih bangkrut atau mengingkari hiwalah atau wafat,
maka muhaal tidak dapat menarik apa-apa dari muhiil, Inilah madzhab
mayoritas ulama. Hanyasaja ulama madzhab Maliki berpendapat, kecuali
jika muhiil menipu muhaal dengan menghiwalahkan kepada orang yang
tidak punya. Imam Malik berkata dalam Al Muwaththa, Masalah itu
menurut kami yakni tentang orang yang menghiwalahkan utang kepada
yang lain, jika muhaal alaih bangkrut atau meninggal dan tidak
menyisakan harta untuk membayar, maka bagi muhaal (pemberi
pinjaman) tidak berhak apa-apa, dan ia tidak mengambil (utang) dari
orang pertama (si muhiil). Ia berkata juga: Masalah ini merupakan
masalah yang tidak ada khilaf menurut kami.
Sedangkan Abu Hanifah, Syuraih, Utsman Al Batta dan lainnya
berpendapat
bahwa
ia
menagih
kepada
si muhiilapabila
si muhaal alaih meninggal atau mengingkari hiwalah.

2.5.

Contoh Sarana Hiwalah Masa Kini

Di antara contoh sarana hiwalah di zaman sekarang adalah:


1. Hiwalah Mashrafiyyah (hiwalah melalui transfer bank).
2. Suftajah (hiwalah melalui pos seperti wesel).

Keduanya boleh dilakukan karena di dalamnya terdapat maslahat bagi


kedua belah pihak tanpa ada madharat kepada salah satunya dan tanpa
ada larangan syari.
Wallahu alam wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad wa alaa
aalhihi wa shahbihi wa sallam.

BAB III
UTANG PIUTANG (QARDH)
3.1. Pengertian Qardh dan Hukumnya
Qardh artinya memberikan harta untuk dimanfaatkan dan akan diganti.
Hukum qardh adalah masyru (disyariatkan) sebagaimana ditunjukkan
oleh keumuman ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam yang menerangkan tentang keutamaan tolong-menolong,
memenuhi hajat atau kebutuhan seorang muslim, menghilangkan derita
yang menimpanya dan menutupi kefakirannya. Kaum muslimin juga
sepakat tentang kebolehannya.
Disebutkan dalam hadis berikut:











Dari Abu Rafi, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
meminjam unta muda kepada seorang laki-laki, ketika unta sedekah
tiba, maka beliau pun memerintahkan Abu Rafi untuk membayar unta
muda yang dipinjamnya kepada laki-laki tersebut. Lalu Abu Rafi kembali
kepada Beliau sambil berkata, Aku tidak mendapatkan onta muda
kecuali onta yang sudah dewasa. Beliau bersabda, Berikanlah
kepadanya, sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam
membayar hutang. (HR. Muslim)



Dari Ibnu Masud berkata, Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada
orang lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama. (Hadis
hasan HR. Ibnu Majah, lihat al-Irwaa 5/226)

3.2. Syarat-syarat Qardh dan Sebagian Hukum yang Terkait


Dengannya
1. Seorang muslim tidak boleh memberikan pinjaman kepada
saudaranya dengan syarat saudaranya mau memberikan pinjaman

2.

3.
4.

5.
6.

kepadanya ketika mengembalikan pinjaman, karena orang yang


memberikan pinjaman tersebut sama saja mensyaratkan manfaat,
sedangkan setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah
riba, seperti mensyaratkan boleh menempati rumah kontrakan
miliknya secara gratis, atau membayarnya dengan murah, atau
boleh meminjamkan kendaraannya atau lainnya. Jamaah dari
kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam memfatwakan
tidak bolehnya hal itu, dan para fuqaha juga sepakat melarangnya.
Yang memberikan pinjaman harus seorang yang Jaizut tasharruf,
yakni baligh, berakal dan cerdas yang sah jika memberikan sesuatu
secara sukarela.
Orang yang memberikan pinjaman tidak boleh mensyaratkan diganti
lebih dari harta yang dipinjamkannya, karena hal ini merupakan riba.
Jika orang yang meminjam mengembalikan lebih baik dari yang
diberikan oleh pemberi pinjaman atau memberikan tambahan
kepada pemberi pinjaman tanpa ada syarat atau niat sebelumnya
dari pemberi pinjaman, maka hal itu sah, karena ia merupakan sikap
tabarru (derma) dari peminjam dan membayar secara baik seperti
dalam hadis Abu Rafi yang telah disebutkan sebelumnya.
Pemberi pinjaman memiliki barang yang akan dipinjamkan, dan
tidak boleh baginya memberikan pinjaman yang bukan miliknya.
Termasuk muamalah ribawi adalah yang dilakukan oleh Bank-Bank
saat sekarang ini, yaitu melakukan akad pinjaman antara Bank
dengan orang-orang yang butuh, lalu Bank memberikan sejumlah
uang karena melihat faedah (bunga) yang ditentukan yang diambil
oleh Bank melebihi dari pinjaman yang diberikan, atau Bank sepakat
dengan peminjam terhadap nilai pinjaman yang diberikan, tetapi
Bank memberikan pinjaman yang kurang dari nilai yang telah
disepakati dan meminta peminjam mengembalikan secara
sempurna. Contoh: Peminjam meminta uang ke Bank 100.000.000,lalu Bank memberikan 80.000.000,- tetapi Bank mensyaratkan agar
mengembalikan 100.000.000,- Ini juga termasuk riba.

3.3. Tarif Aariyyah dan Hukumnya


Aariyyah artinya memberikan pinjaman atau membolehkan untuk
memanfaatkan sesuatu dengan tetapnya barang yang dipinjamkan
tersebut. Barang yang dipinjamkan untuk dimanfaatkan itu disebut
Aariyyah. Contoh: Seorang meminjam motor kepada orang lain untuk
pergi ke suatu tempat lalu ia mengembalikannya.

Hukum Aariyyah adalah masyru (disyariatkan) dan mustahab


(dianjurkan) berdasarkan keumuman firman Allah Taala:



Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa. (Al Maaidah: 2)
Allah Subhanahu wa Taala juga mencela mereka yang mencegah
barang yang berguna ketika orang lain hendak meminjamnya, firman-Nya:

Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al Maaun: 7)

Al Maaun atau barang yang berguna maksudnya barang yang biasa


dipinjam tetangga, seperti bejana, periuk, dsb.
Sedangkan dalam hadis disebutkan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pernah meminjam baju besi milik Shafwan bin Umayyah pada
perang Hunain (HR. Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh alAlbani dalam al-Irwa no. 1513).
Anas radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam pernah meminjam kuda milik Abu Thalhahradhiyallahu anhu.
(HR. Bukhari dan Muslim).

3.4. Syarat-syarat Aariyyah


1. Orang yang memberikan pinjaman dan yang meminjam sebagai
Ahlut tabarru (orang yang boleh memberikan sesuatu secara
sukarela) secara syara, dan barang yang dipinjamkan adalah milik
pemberi pinjaman.
2. Barang yang dipinjamkan harus yang mubah manfaatnya, sehingga
tidak sah meminjamkannya untuk bernyanyi dan sebagainya. Tidak
sah meminjam bejana dari emas atau perak untuk dipakai minum.
Demikian juga tidak sah meminjam untuk yang haram lainnya
memanfaatkannya secara syara.
3. Barang yang dipinjamkan harus tetap setelah dimanfaatkan, jika
berupa barang yang akan binasa seperti makanan, maka tidak sah
meminjamkannya.

3.5. Sebagian Hukum yang Terkait dengan Aariyyah


1. Tidak boleh bagi peminjam memberikan pinjaman kepada orang lain
barang yang dipinjamnya karena itu bukan miliknya. Demikian pula
tidak boleh menyewakannya (untuk menarik upah) kecuali jika
pemiliknya mengizinkannya.
2. Barang yang dipinjam merupakan amanah yang ada di tangan
peminjam sehingga wajib dijaga dan dikembalikan dalam keadaan
selamat atau baik sebagaimana ia mengambilnya. Jika ia melampaui
batas atau meremehkan, maka ia menanggungnya.
3. Meminjamkan bukanlah akad yang lazim (mesti berlaku). Oleh
karena itu, pemberi pinjaman berhak menarik kembali kapan saja ia
mau selama tidak memadharratkan peminjam, jika ternyata malah
memadharratkan peminjam, maka ia tidak boleh menariknya.
4. Ariyah dianggap selesai dan dikembalikan dalam beberapa keadaan
berikut:
a. Pemiliknya meminta barang itu, meskipun tujuan peminjam belum
tercapai.
b. Telah tercapai tujuan peminjam dari meminjam barang tersebut.
c. Habisnya waktu peminjaman jika ditetapkan waktunya.
d. Meninggalnya pemberi pinjaman atau peminjam, karena Ariyyah
batal dengannya.
b. Peminjam dalam mengambil manfaat sama seperti mustajir
(orang yang menyewa), ia boleh memanfaatkan sendiri atau
orang yang menduduki posisinya. Hal itu, karena ia memiliki hak
bertindak padanya dengan izin pemiliknya.

BAB IV
IJARAH
4.1. Pengertian Ijarah
Ijarah diambil dari kata Ajr, artinya upah atau balasan. Secara syara
ijarah adalah akad terhadap manfaat dengan adanya upah. Oleh karena
itu, tidak sah menyewa pohon karena hendak memanfaatkan buahnya. Hal
itu, karena pohon bukanlah manfaat. Demikian juga tidak bisa menyewa
uang, makanan yang akan dimakan, makanan yang ditakar dan ditimbang.
Hal itu dikarenakan barang-barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan
kecuali dengan membinasakan barangnya. Demikian juga tidak sah
menyewa sapi, kambing, atau unta untuk diperah susunya. Hal itu, karena
ijarah adalah kepemilikan manfaat, sedangkan dalam kondisi tersebut
yang dimiliki adalah susu, dan itu merupakan barang. Sedangkan ijarah
adalah akad terhadap manfaat, bukan pada barang.
Manfaat itu ada yang berupa memanfaatkan barang seperti
menempati rumah atau mengendarai mobil, dan terkadang ada manfaat
berupa kerja, seperti kerja seorang insinyur, tukang bangunan, penenun,
pencelup, penjahit dan penyeterika. Dan terkadang ada manfaat dari
orang itu, yakni dari kerja kerasnya seperti pembantu dan karyawan.
Pemilik yang menyewakan manfaat dinamakan mujir (peminjam
sewaan), sedangkan pihak yang memberikan bayaran disebut mustajir.
Sesuatu yang diakadkan untuk diambil manfaatnya dinamakan majur.
Sedangkan upah yang diberikan karena diambil manfaatnya adalah ajr dan
ujrah (upah). Ketika akad ijarah berlangsung, maka mustajir memiliki hak
untuk memanfaatkan. Dan pihak yang menyewakan berhak memiliki upah,
karena ijarah merupakan akad muaawadhah (tukar-menukar) (Lihat
Fiqhussunnah pada pembahasan ijarah).
Ada juga yang memberikan tarif terhadap ijarah dengan, Akad
untuk memanfaatkan hal yang mubah yang diketahui berupa barang
tertentu atau telah disebutkan sifatnya dalam tanggungan sampai waktu
yang ditentukan atau terhadap suatu perbuatan sampai waktu yang
ditentukan dengan ganti yang telah ditentukan.
Pengertian ini mengandung syarat-syarat sahnya ijarah:
Pada kata-kata akad untuk memanfaatkan tidak termasuk akad
terhadap budak, ini tidak bisa dinamakan ijarah, tetapi jual beli.

Pada kata-kata hal yang mubah tidak termasuk ke dalamnya


manfaat yang haram, seperti zina.
Pada kata-kata yang diketahui tidak termasuk ke dalamnya manfaat
yang masih majhul, sehingga akad tidak sah.
Pada kata-kata berupa barang tertentu atau telah disebutkan
sifatnya dalam tanggungan sampai waktu yang ditentukan atau untuk
suatu perbuatan diambil dari kata-kata ini bahwa ijarah terbagi dua:
1. Ijarah terhadap manfaat suatu barang tertentu atau barang yang
disebutkan sifatnya. Contoh yang telah ditentukan adalah dengan
mengatakan Saya sewa kepadamu rumah ini, sedangkan yang
disebutkan sifatnya adalah, Saya sewa kepadamu unta yang sifatnya
begini agar bisa dipakai untuk mengangkut atau ditunggangi.
2. Ijarah untuk mengerjakan suatu amal yang ditentukan. Misalnya
mengangkutkan barang ke tempat ini atau membangunkan dinding
untuknya.
Pada kata-kata sampai waktu yang ditentukan menunjukkan
disyaratkannya ijarah itu dimanfaatkan sampai batas waktu yang
ditentukan seperti sehari, sebulan dsb.
Dan pada kata-kata dengan ganti yang telah ditentukan maksudnya
ukuran/upah ijarah itu diketahui.

4.2. Hukum Ijarah


Ijarah hukumnya boleh berdasarkan Alquran, sunah, dan ijma.
Dalam Alquran disebutkan:
Musa berkata, Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk
itu. (QS. Al Kahfi: 77)
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih
baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. Az Zukhruf: 32)
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang

patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah


Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Bqarah: 233)
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya.-Berkatalah Dia (Syuaib):
Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka
itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak
memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk
orang- orang yang baik. (QS. Al Qashas: 26-27)

Sedangkan dalam sunah di antaranya adalah sbb.:














:








Bahwa nabi shallallahu alaihi wa sallam menyewa seorang dari Bani
Ad Diil (sebuah suku Abdu Qais) bernama Abdullah bin al-Uraiqith, ia
sebagai penunjuk jalan dan ahli (terhadap jalan). (HR. Bukhari)






Berikanlah karyawan upahnya sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu
Majah dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu
Majah no. 1995)



.







Dari

Saad bin Abi Waqqas radhiyallahu anhu ia berkata: Kami pernah


mempersewakan tanah dengan bayaran tanaman yang dekat dengan
air, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang hal itu dan
memerintahkan kami untuk menyewakannya dengan bayaran emas dan
perak. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasai)

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah


berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam.

Ibnul Mundzir menyebutkan adanya ijma tentang kebolehannya, di


samping kebutuhan menghendaki demikian, karena kebutuhan terhadap
suatu manfaat seperti butuh kepada suatu barang.
Demikian juga sah menyewa manusia untuk mengerjakan suatu
pekerjaan seperti menjahit pakaian, membuat dinding atau menunjukkan
jalan.
Dan tidak boleh menyewakan rumah, kios dan tempat-tempat
tertentu untuk maksiat, seperti untuk menjual minuman keras, menjual
barang-barang haram seperti rokok dan gambar, karena ini sama saja
membantu berbuat maksiat.
Bagi yang menyewa dibolehkan memberikan kepada yang lain untuk
menggantikan posisinya dalam memperoleh manfaat, karena hal itu
adalah miliknya. Maka dibolehkan ia penuhi sendiri maupun diwakilkan.
Tetapi dengan syarat mustajir (penyewa) kedua seperti yang pertama
dalam memperoleh manfaat, tidak lebih bermadharrat. Misalnya menyewa
rumah untuk ditempati, maka boleh disewakan kepada yang lain untuk
ditempati atau di bawahnya, namun tidak boleh disewakan kepada orang
yang akan menjadikannya pabrik.

4.3. Hikmah Disyariatkannya Ijarah


Ijarah disyariatkan karena kebutuhan manusia terhadapnya, mereka
butuh rumah untuk ditempati, butuh orang untuk melayani, butuh hewan
untuk ditumpangi dan mengangkut barang, butuh tanah untuk ditanami
dan beberapa alat untuk dipakai kebutuhan mereka.

4.4. Rukun Ijarah


Ijarah dianggap sah dengan ijab dan qabul baik dengan lafaz ijarah,
kiraa (sewa) dan kata-kata yang muncul dari kedua kata itu dan semua
lafaz yang menunjukkan demikian.

4.5. Syarat bagi Kedua Pelaku Akad Ijarah


Masing-masingnya disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (bisa
membedakan). Jika salah satunya ada yang gila atau anak-anak belum
tamyiz, maka akad tidak sah. Ulama madzhab Syaafii dan Hanbali
menambahkan lagi syarat berikutnya yaitu baligh. Oleh karenanya, tidak
sah menurut mereka akad anak-anak meskipun sudah tamyiz.

4.6. Syarat Sah Ijarah


Untuk sahnya ijarah disyaratkan syarat-syarat berikut:
Pertama, keridhaan kedua belah pihak, jika salah satunya dipaksa
melakukan ijarah, maka tidak sah. Dalilnya adalah firman Allah
Taala, Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS:
An Nisaa: 29)
Kedua, mengetahui manfaat yang diakadkan dengan pengetahuan
sempurna yang dapat menghilangkan pertengkaran, tentunya dengan
melihat barangnya yang hendak disewakan atau sifatnya jika memang
dapat dipastikan dengan sifatnya dan jelasnya lama ijarah seperti
sebulan, setahun atau lebih atau bahkan kurang dari setahun dan
jelasnya amalan yang diharapkan.
Ketiga, Sesuatu yang diakadkan dapat diberikan secara sempurna
hakikat maupun syara. Di antara ulama ada yang mensyaratkan syarat
ini, menurut mereka bahwa tidak boleh mengijarahkan barang yang
bercampur hak tanpa ada kawannya. Hal itu, karena manfaat barang
yang masih bercampur tidak bisa diberikan sempurna. Ini adalah
madzhab Abu Hanifah dan Zufar. Namun jumhur (mayoritas) fuqaha
berkata, Boleh mengijarahkan barang yang masih bercampur secara
mutlak dari kawannya maupun lainnya, karena barang yang masih
bercampur hak itu memiliki manfaat dan bisa diserahkan serta bisa
dibagi-bagi manfaatnya, sebagaimana hal itu dibolehkan dalam jual beli.
Sedangkan ijarah adalah salah satu dari bagian jual beli. Jika manfaatnya
tidak diketahui, maka ijarah menjadi faasid (rusak).
Keempat, bisa diserahkan barang yang disewa dan mengandung
manfaat. Oleh karena itu, tidak sah menyewakan binatang yang lari,
barang yang dirampas yang tidak bisa dicabut karena tidak bisa

diserahkan. Demikian juga tidak bisa disewakan tanah untuk ditanami


padahal tanah itu tidak bisa menumbuhkan pepohonan atau binatang
untuk mengangkut barang, tetapi binatang itu sakit karena tidak adanya
manfaat yang merupakan tujuan akad.
Kelima, manfaatnya harus mubah, tidak haram dan tidak wajib. Oleh
karena itu, tidak sah ijarah terhadap maksiat, karena maksiat wajib
dijauhi. Barangsiapa yang menyewa seseorang untuk membunuh orang
lain secara zhalim atau menyewa seseorang untuk membawakan khamr
atau menyewa rumahnya untuk dijadikan warung khamr atau main judi
atau untuk dijadikan gereja, maka ijarah ini menjadi fasid.
Demikian juga tidak halal upah dukun dan paranormal, yakni upah yang
diberikan terhadap pekerjaan mereka itu. Hal itu, karena sama saja
mengupah perbuatan yang haram dan memakan harta manusia dengan
jalan yang batil.
Demikian juga tidak sah ijarah dalam hal shalat dan puasa, hal itu
dikarenakan amalan tersebut merupakan amalan fardhu ain yang wajib
dilakukan bagi setiap orang.
Keenam, upahnya berupa harta bernilai dan ditentukan[1], baik dengan
dilihat maupun disifati. Hal itu, karena ia merupakan bayaran manfaat.
Adapun syarat upahnya harus ditentukan adalah hadits berikut:

Barangsiapa yang mengangkat orang sewaan, maka hendaknya ia


memberitahukan upahnya. (HR. Abdurrazzaq dari Abu Said. Abu Zurah
berkata, Yang shahih bahwa kata-kata ini mauquf sampai Abu Said.)
Menentukan upah sah berdasarkan uruf. Imam Ahmad dan para pemilik
kitab sunan meriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi bahwa Suwaid
bin Qais berkata:

. . .



:







.


.

Saya dan Makhramah al-Abdi pernah mengambil pakaian dari daerah


Hajar,
lalu
kami
membawanya
ke
Makkah,
kemudian
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang kepada kami sambil
berjalan lalu menawar celana, maka kami menjualnya. Ketika itu, di sana
ada seorang yang biasa menimbang dengan bayaran, maka Beliau
bersabda: Timbanglah dan beratkan.
Di sini Beliau tidak menentukan berapa upahnya, bahkan memberinya
seperti pada umumnya orang-orang.
Ibnu Taimiyah berkata, Apabila seorang menunggangi kendaraan
sewaan atau masuk ke kamar mandi umum aau menyerahkan baju atau
makanannya kepada orang yang biasa mencuci dan memasak, maka
orang itu berhak mendapatkan upah secara maruf (layak).
Dalil memberi upah secara maruf adalah ayat berikut,
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya. (QS. Ath Thalaaq: 6)
Dengan demikian, yang dijadikan rujukan dalam upah adalah uruf
(kebiasaan yang berlaku).
Ketujuh, Waktu ijarah diketahui. Oleh karena itu, tidak boleh ijarah
sedangkan lamanya tidak diketahui karena akan menimbulkan
pertengkaran.

4.7. Syarat Agar Upah Disegerakan dan Ditunda


Menurut ulama madzhab Hanafi bahwa upah tidaklah dimiliki karena
akad itu. Dianggap sah jika ada syarat agar upah disegerakan atau
ditunda sebagaimana sah juga jika sebagian upah dibayar segera,
sedangkan sebagian lagi ditunda sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,






Kaum muslimin berjalan sesuai syarat mereka.

Jika di sana tidak ada kesepakatan untuk menyegerakan atau


menunda, tetapi upahnya ditentukan waktunya, maka wajib dipenuhi
setelah waktu itu selesai. Oleh karena itu, barang siapa yang menyewa
rumah sebulan, lalu berjalan waktu sebulan, maka setelah berjalan waktu
itu, ia wajib memberikan upahnya. Jika akad ijarah terhadap suatu
pekerjaan, maka wajib dipenuhi upahnya ketika selesai bekerja.
Jika akad dilangsungkankan begitu saja tanpa ada syarat menerima
upah dan tidak disebutkan penundaan bayaran upah. Maka menurut Abu
Hanifah dan Malik, Sesungguhnya bayaran itu wajib sebagian-sebagian
sesuai manfaat yang diterimanya.
Imam Syaafii dan Ahmad berkata, Sesungguhnya bayaran/upah
berhak karena adanya akad itu. Oleh karena itu, jika pemberi sewaan
menyerahkan barang sewaan kepada mustajir (penyewa), maka si mujir
(pemberi sewaan) berhak memperoleh seluruh upah, karena ia telah
memiliki manfaat dengan akad ijarah itu, dan upah/bayaran wajib
diserahkan agar ia menyerahkan barang kepadanya.

4.8. Keberhakan Upah/Bayaran


Upah menjadi berhak dengan sebab-sebab berikut:
1. Selesai beramal, berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majah bahwa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Berikanlah orang sewaan
upahnya sebelum keringatnya kering.

2. Selesai dimanfaatkan apabila ijarahnya berupa barang sewaan. Jika


barangnya binasa sebelum dimanfaatkan, dan belum berlalu waktu,
maka ijarah menjadi batal.
3. Mampu
memanfaatkan,
yakni
apabila
berlalu
waktu
yang
memungkinkan dimanfaatkan, meskipun tidak dimanfaatkan oleh
tindakannya.
4. Disegerakan dengan perbuatannya atau kesepakatan kedua belah
pihak untuk disegerakan upahnya.
4.9. Apakah
Upah
Gugur
karena
hilang/rusak dalam akad ijarah terhadap amal?

Barang

Apabila orang sewaan bekerja dalam kepemilikan mustajir atau di


hadapannya, maka pekerja berhak mendapatkan upah karena hal itu di
bawah tangannya. Sehingga setiap kali mengerjakan sesuatu, maka upah
menjadi diserahkan kepadanya. Namun jika pekerjaan di tangan orang
sewaan, maka ia tidak berhak upah karena binasa sesuatu di tangannya,
karena ia tidak menyerahkan pekerjaan. Hal ini merupakan madzhab
ulama Syafii dan Hanbali.

4.10. Upah Terhadap Sebuah Ketaatan


Adapun upah terhadap ketaatan, maka para ulama berbeda pendapat
dalam menghukuminya. Berikut ini di antara madzhab para ulama dalam
hal tersebut:
4.10.1. Ulama Madzhab Hanaf
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, Ijarah (menyewa) terhadap
ketaatan seperti halnya menyewa orang lain untuk shalat, puasa, berhajji
dan membaca Alquran lalu menghadiahkan pahala kepadanya, atau untuk
melakukan adzan, mengimami manusia dsb. hal ini tidak boleh dan haram
mengambil upah terhadapnya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam:













Bacalah Alquran, amalkanlah, jangan menjauh darinya, jangan
berlebihan terhadapnya, janganlah makan dengannya dan janganlah

menjadikan sarana untuk mengeruk kekayaan. (HR. Ahmad, Thabrani,


Baihaqi dalam Syuabul Iman, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam Shahihul Jami no. 1168)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada


Amr bin Aash:










Jika kamu menjadi muazin, maka janganlah mengambil upah terhadap
adzan.

Hal itu juga, karena ibadah ketika telah dilakukan oleh pelaku, tidak
boleh mengambil upah dari orang lain. Termasuk hal yang sudah biasa di
negeri Mesir adalah wasiat dari yang meninggal untuk diadakan
pengkhataman bacaan Alquran dan dzikr-dzikr tertentu (biasa disebut
tahlilan) dengan dibayar dan nanti pahalanya dihadiahkan kepada ruh
pemberi wasiat, ini semua tidak boleh secara syara, karena pembaca
Alquran niatnya harta, sehingga ia tidak memperoleh pahala.
Para fuqaha menyebutkan bahwa upah yang diambil dari amalan taat
adalah haram. Namun di kalangan ulama mutaakhirin ada yang
mengecualikan jika mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu syari, mereka
memfatwakan bolehnya mengambil upah sebagai istihsan karena
hubungan dan pemberian yang biasa diberikan kepada mereka terputus
baik dari orang-orang yang mampu atau dari Baitul Maal seperti di zaman
dahulu untuk menghindarkan kesulitan dan kesempitan. Di samping itu,
mereka juga membutuhkan penopang bagi kehidupan mereka, dan jika
mereka menyibukkan diri dengan bertani, berdagang atau pertukangan
niscaya akan menyia-nyiakan Alquran dan syara yang mulia ini karena
hilangnya orang-orang yang memikulnya. Oleh karena itu, diperbolehkan
memberikan upah terhadap talim (pengajaran) yang mereka lakukan.

4.10.2. Ulama Madzhab Hanbali


Ulama madzhab Hanbali berkata, Tidak sah ijaarah terhadap azan,
iqamat, mengajarkan Alquran, fiqh, hadis dan menggantikan hajji dan

qadhi, dan hal itu tidaklah dilakukan kecuali sebagai ibadah bagi
pelakunya serta haram mengambil upah terhadapnya. Namun mereka
berpendapat boleh hukumnya mengambil rezeki dari Baitul Maal atau jika
ia menempati amalan yang manfaatnya mengena kepada yang lain
seperti qaadhi, mengajarkan Alquran, hadis, fiqh, mewakilkan hajji,
memikul persaksian dan menyampaikannya, azan dsb. hal itu, karena
yang demikian termasuk maslahat bagi yang lain, dan apa yang diberikan
bukanlah iwadh (upah), tetapi sebagai rezeki untuk membantu mereka
menjalankan ketaatran, dan tidak mengeluarkannya dari ibadah serta
tidak merusak keikhlasan. Karena jika begitu, tentu tidak patut mengambil
ghanimah dan salab.
Dengan demikian boleh mengambil rezeki dari Baitul Maal terhadap
amalan yang manfaatnya bukan untuk dirinya saja, seperti hajji, adzan,
jadi imam, mengajarkan Alquran, Fiqh, menjabat hakim dan juru fatwa.
Karena ini sifatnya bukan ganti, tetapi hanya membantu ketaatan kepada
Allah dan tidak menjadikan hal itu keluar dari ibadah serta tidak merusak
keikhlasan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Para fuqaha sepakat
untuk membedakan antara menyewa terhadap suatu ibadah dengan
memberi rezeki orang-orangnya, memberi rezeki mujahidin, para qadhi,
muazin dan para imam adalah boleh tanpa ada perselisihan lagi, adapun
istijar (menyewa) maka tidak boleh menurut kebanyakan mereka. Ia juga
mengatakan, Dan apa saja yang diambil dari Baitul Mal, maka itu bukan
iwadh (ganti) dan upah, tetapi rezeki untuk membantunya menjalankan
ketaatan. Siapa saja yang beramal di antara mereka lillah, maka akan
diberi pahala, sedangkan rezeki yang diambilnya adalah untuk
membantunya menjalankan ketaatan.

4.10.3. Pendapat ulama madzhab Maliki, ulama madzhab Syafi


dan Ibnu Hazm
Ulama madzhab Maliki, ulama madzhab SyafiI dan Ibnu Hazm
berpendapat bolehnya mengambil upah dari mengajarkan Alquran dan
ilmu, karena hal itu merupakan ijarah terhadap amal yang ditentukan
dengan kerja yang ditentukan. Ibnu Hazm berkata, Ijarah terhadap
mengajarkan Alquran dan mengarjarkan ilmu baik dengan bayaran
bulanan atau secara jumlah (sekaligus) adalah boleh, demikian juga pada
ruqyah, mengcopi mushaf dan buku-buku agama, karena tidak ada nas
yang melarang hal itu, bahkan ada yang menunjukkan kebolehan.

Di antara dalil yang menguatkan madzhab ini adalah hadis riwayat


Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, Bahwa ada beberapa
orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang melewati sebuah
mata air, di mana di sana tedapat seorang yang tersengat atau dalam
keadaan selamat, lalu ada seorang dari penduduk situ yang berkata,
Apakah di antara kalian ada yang mampu meruqyah, karena di dekat air
ada orang yang tersengat atau selamat? Maka salah seorang sahabat
berangkat kepada mereka lalu membacakan surat Al Fatihah dengan upah
beberapa ekor kambing. Setelah itu dibawakanlah kambing-kambing itu
kepada para sahabat yang lain, namun mereka tidak mau kepadanya dan
berkata, Apakah kamu mengambil upah terhadap kitab Allah? sehingga
mereka datang ke Madinah dan berkata, Wahai Rasulullah, ia mengambil
upah terhadap kitab Allah. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, Sesungguhnya sesuatu yang patut kalian ambil upah
terhadapnya adalah kitab Allah.
Sebagaimana para fuqaha berbeda pendapat tentang mengambil
upah terhadap pembacaan Alquran dan mengajarkannya, mereka juga
berselisih tentang mengambil upah terhadap haji, azan dan menjadi
imam.
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berkata, Hal itu tidak boleh,
seperti asalnya, yakni tidak boleh mengambil upah terhadap ketaatan.
Imam Malik berkata, Sebagaimana dibolehkan mengambil upah dari
mengajarkan Alquran, maka boleh juga mengambilnya terhadap hajji dan
azan. Adapun menjadi imam, maka tidak boleh jika hanya menjadi imam
saja. Namun jika disamping sebagai imam juga menjadi muazin, maka
boleh mengambil upah, dan upah itu karena ia melakukan azan dan
tinggal di masjid, bukan karena shalatnya.
Imam Syafii berkata, Boleh mengambil upah terhadap hajji, dan
tidak boleh jika menjadi imam dalam shalat fardhu. Demikian juga
diperbolehkan dengan kesepakatan menyewa orang untuk mengajarkan
ilmu menghitung, menulis, bahasa, adab, fiqh, hadis, membangun masjid
dan sekolah-sekolah.
Menurut ulama madzhab Syafii, diperbolehkan menyewa untuk
memandikan mayit, mentalqinkannya dan menguburkannya. Namun Abu
Hanifah berpendapat tidak boleh menyewa orang untuk memandikan
mayit, tetapi diperbolehkan jika untuk menggalikan kubur dan membawa
jenazah.

4.10.

Contoh-Contoh Kasus Ijarah

4.11.1. Usaha Tukang Bekam


Usaha tukang bekam tidaklah haram, karena Nabi shallallahu alaihi
wa sallam pernah melakukan bekam dan memberikan upah kepada tukang
bekam sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Abbas. Kalau seandainya hal itu haram, niscaya
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan memberinya upah.
Imam Nawawi berkata, Para ulama mentawil hadis-hadis yang
menerangkan larangan berbekam dengan makruh tanzih dan mengangkat
diri dari usaha yang rendah, mendorong untuk berakhklak mulia dan
melakukan perkara utama.

4.11.2. Menyewa Ibu Susu


Suami memberi bayaran dengan menyewa istrinya untuk menyusui
anaknya adalah tidak boleh, karena hal itu merupakan hal yang wajib
dilakukannya dan tanggung jawabnya antara dia dengan Allah Taala[46].
Adapun menyewa ibu susu selain ibu kandungnya, maka hal itu boleh
dengan bayaran tertentu. Demikian juga dibolehkan dengan bayaran
memberinya makan dan pakaian, dan ketidakjelasan upah dalam hal ini
tidaklah menimbulkan perselisihan. Kebiasaan berjalan, yakni seringnya
berlaku saling menghargai dengan para ibu susu dan memberikan
kecukupan bagi mereka karena sayang kepada anak.
Namun disyaratkan harus diketahui lamanya penyusuan, mengetahui
si anak secara langsung dan di mana tempat disusukannya. Allah
subhaanahu wa Taaala berfirman, Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al Baqarah: 233)
Kedudukan ibu susu itu seperti orang sewaan khusus. Oleh karena itu,
ia tidak boleh menyusukan anak yang lain.
Bagi ibu susu itu harus melakukan penyusuan dan mengerjakan hal
yang dibutuhkan anak seperti memandikannya, mencuci bajunya,
memasak makananannya, sedangkan bagi bapak harus memberi nafkah
makanan dan hal yang dibutuihkan si anak seperti minyak dan
wewangian. Jika si anak meninggal atau ibu susu tersebut meninggal,

maka batallah ijarah. Hal itu, karena manfaat saat ibu susu meninggal
menjadi hilang dengan hilang tempat (menyusui). Di samping itu, jika si
anak meninggal bagaimana bisa dipenuhi apa yang diakadkan itu.

4.11.3. Menyewa dengan Upah Makanan dan Pakaian


Para ulama berbeda pendapat tentang menyewa dengan bayaran
makanan dan minuman, sebagian ulama ada yang membolehkan
sedangkan yang lain melarang. Alasan orang yang membolehkan kisah
Nabi Musa alaihis salaam yang menyewakan dirinya selama 8 atau 10
tahun agar farjinya terpelihara dan perutnya tercukupi.
Inilah yang dipegang oleh Imam Malik dan ulama madzhab Hanbali,
sedangkan Abu Hanifah membolehkan hanyalah jika yang menyewakan
dengan upah makanan dan pakaian itu adalah ibu susu bukan pembantu.
Sedangkan Imam Syafii, Abu Yusuf, Muhammad, ulama madzhab Hadawi
dan Al Manshur billah berpendapat bahwa hal itu tidak sah, karena tidak
jelas bayarannya.
Sedangkan ulama madzhab Maliki yang membolehkan menyewa
seseorang dengan bayaran makanan dan pakaian, bahwa hal itu sesuai
uruf yang berlaku. Mereka berkata, Kalau sekiranya ada seorang yang
berkata, Potongilah (panen) tanamanku, dan kamu akan memperoleh
setengahnya atau tumbuklah dia atau peraslah minyak, maka miliknya itu
setengahnya, maka boleh. Namun jika yang dikehendaki adalah
setengah yang keluar daripadanya, maka tidak boleh karena tidak jelas.

4.11.4. Menyewakan Tanah


Sah menyewakan tanah, namun disyaratkan harus menerangkan
untuk apa disewa seperti menanam atau membangun. Jika untuk bercocok
tanam, maka harus diterangkan apa yang akan ditanam, kecuali jika mujir
(pemberi sewaan) mengizinkan menanam semaunya. Jika syarat tersebut
belum terpenuhi, maka ijarah menjadi fasid, karena manfaat tanah bisa
berbeda sesuai bedanya bangunan dan tanaman sebagaimana
berbedanya penundaan pohon yang ditanam, ia pun berhak menanam
tanaman lain selain yang disepakati dengan syarat bahaya yang
ditimbulkan sama seperti bahaya yang ditimbulkan dari tanaman yang
disepakati itu atau kurang dari itu. Sedangkan Dawud berpendapat, Ia
tidak berhak begitu.

4.11.5. Menyewakan Binatang


Sah menyewakan binatang, namun disyaratkan jelas lamanya atau
tempatnya sebagaimana disyaratkan harus jelas untuk apa disewakan
seperti untuk dipakai mengangkut atau dikendarai serta harus jelas
barang apa yang diangkut dan siapa yang menungganginya. Jika hewan
yang disewa itu binasa, jika disewa dalam keadaan bercacat, lalu binasa
maka batallah ijaarah. Tetapi, jika disewa dalam keadaan tidak bercacat,
lalu binasa maka tidak batal ijaarah. Bagi pemberi sewaan hendaknya
menggantikan hewan yang lain, ia tidak berhak membatalkan akad,
karena ijarah terletak pada manfaat yang masih dalam tanggungan, dan
pemberi sewaan belum selesai memenuhi kewajibannya dari akad, dan hal
ini telah disepakati di antara para fuqaha madzhab yang empat.

4.11.6. Mempersewakan Rumah Untuk Ditempati


Mempersewakan rumah untuk ditempati membolehkan dimanfaatkan
tempatnya baik akan ditempati oleh penyewa maupun ditempati yang lain
dengan mengiaarahkan (meminjamkan) atau mengijarahkan (menyewa)
dengan syarat orang yang menempatinya tidak menimpakan bahaya
kepada bangunan atau merusaknya seperti tukang besi dsb. Hendaknya
orang yang menyewakan (mujir) menyempurnakan manfaat agar
mustajir (penyewa) dapat memanfaatkannya sesuai uruf.

4.11.7. Mempersewakan Barang Sewaan


Bagi mustajir (penyewa) diperbolehkan menyewakan barang yang
disewakan. Jika berupa binatang, maka wajib baginya menerangkan
bahwa pekerjaan yang dilakukan harus sama atau hampir sama dengan
pekerjaan yang karenanya ia menyewa agar tidak memadharratkan
binatang. Dan boleh baginya menyewakan barang yang disewakan apabila
telah dipegangnya dibayar dengan bayaran yang sama atau lebih atau
kurang, ia pun berhak mengambil sesuatu yang biasa disebut dengan
khulw.

4.11.8. Binasa Barang yang Disewakan


Barang yang disewakan adalah amanah di tangan mustajir, karena ia
memegangnya untuk memperoleh manfaat yang memang berhak. Ketika
binasa, maka ia tidak menanggung kecuali jika dia melampaui batas atau
meremehkan dalam menjaganya. Barang siapa yang menyewa binatang
untuk ditunggangi, lalu ia menarik kepala hewan dengan kekang seperti
yang biasa yang dilakukan, maka ia tidak menanggung apa-apa.

4.11.9. Ajiir (pekerja atau orang yang disewa)


Ajiir ada yang khaas dan ada yang aam.
Ajiir khaas adalah orang yang disewa dalam waktu tertentu untuk
bekerja dalam waktu tersebut. Jika waktunya tidak diketahui, maka ijarah
menjadi fasid (batal). Bagi masing-masing, yakni ajiir (orang sewaan)
maupun mustajir (penyewa) berhak membatalkan ijarah kapan saja
mereka mau.
Dalam ijarah, jika ajiir menyerahkan dirinya kepada mustajir
(penyewa) dalam waktu tertentu, maka ajiir dalam kondisi ini tidak berhak
selain upah mitsil (standar) sesuai masa dia bekerja.
Sedangkan ajiir khaas (khusus) dalam masa yang telah diakadkan
tidak boleh bekerja untuk selain mustajirnya. Jika dalam masa tersebut ia
bekerja untuk selainnya, maka upahnya berkurang sesuai amalnya.
Si ajiir berhak menerima upah kapan saja ia menyerahkan dirinya dan
tidak menolak bekerja di mana ia memang disewa untuk itu.
Demikian juga ia berhak menerima upah secara sempurna jika
pembatalan dari pihak mustajir sebelum selesai masa yang telah
disepakati dalam akad selama di sana tidak ada udzur yang menghendaki
untuk dibatalkan, misalnya si ajir tidak sanggup bekerja atau sakit yang
tidak memungkinkan untuk melanjutkan. Jika terdapat udzur berupa cacat
atau ketidak sanggupan, lalu mustajir membatalkan ijarah, maka ajiir
tidak berhak selain upah selama masa kerjanya, dan mustajir tidak wajib
membayar sempurna.
Sedangkan ajir khaas (khusus) seperti wakil, yakni bahwa dirinya
menjadi amiin (penanggung jawab) terhadap amal yang dibebankan
padanya, sehingga ia tidak menanggung sesuatu yang rusak kecuali jika
dia melampaui batas atau meremehkan. Jika ia meremehkan atau
melampaui batas, maka ia menanggung seperti amin (penannggung
jawab) lainnya.

4.11.10. Ajir Musytarik


Ajiir Musytarik maksudnya adalah ajiir yang bekerja lebih dari satu
pekerjaan, yakni ia ikut serta dalam memberikan manfaat, seperti tukang
celup/warna, tukang jahit, tukang besi, tukang kayu dan tukang penatu
(penyeterika). Tidak berhak bagi orang yang menyewanya untuk

mencegah pekerjaannya untuk orang lain, ia (ajir) pun tidak berhak


memperoleh upah kecuali dengan bekerja.
Lalu, apakah tangannya menjadi tangan penanggung atau tangan
yang diamanahkan?
Ali, Umar, Syuraih, Abu Yusuf, Muhammad dan ulama madzhab Maliki
berpendapat bahwa tangan ajir musytarik adalah tangan penanggung,
sehingga ketika ada yang binasa, maka ia menanggung meskipun ia tidak
melakukan sikap melewati batas atau meremehkan, hal ini untuk menjaga
harta manusia dan memelihara maslahat mereka.
Imam Baihaqi meriwayatkan dari Ali radhiyallahu anhu bahwa ia
pernah menanggung tukang celup dan tukang pembuat barang, ia
berkata, Tidak akan baik manusia kecuali dengan cara seperti itu.
Ia juga meriwayatkan bahwa Imam Syafii rahimahullah pernah
menyebutkan bahwa Syuraih pergi untuk menanggung tukang celup, ia
menanggung tukang celup yang rumahnya terbakar, lalu tukang itu
berkata: Engkau menanggung diriku, padahal rumahku terbakar?! Maka
Syuraih berkata: Bagaimana menurutmu, jika seandainya rumah orang
lain terbakar, tentu kamu akan meninggalkan upahmu untuknya.
Imam Abu Hanifah dan Ibnu Hazm berpendapat, bahwa tangannya
adalah tangan amanah. Oleh karena itu, ia tidaklah menanggung kecuali
jika ia melampaui batas atau meremehkan. Inilah pendapat yang shahih
dari pendapat ulama madzhab Hanbali dan yang shahih dari pendapat
Imam Syafii.
Ibnu Hazm berkata, Ajiir musytarik maupun yang bukan musytarik
tidak menanggung apa-apa, demikian pula bagi pembuatnya sama tidak
menanggung, kecuali jika telah jelas ia melampaui batas atau menyianyiakannya.

4.12. Pembatalan Ijaarah dan Waktu Habisnya


Ijaarah merupakan akad yang mesti, di mana masing-masing pelaku
akad tidak memiliki hak membatalkan, karena ia merupakan akad
muaawadhah (timbal balik), kecuali jika ada sesuatu yang mengharuskan
dibatalkan seperti adanya aib sebagaimana akan diterangkan nanti.
Oleh karena itu, ijaarah tidaklah batal karena meninggalnya salah
satu pelaku akad dengan masih selamatnya yang diakadkan, dan akan

digantikan oleh ahli warisnya baik yang meninggal mujir (penyewa) atau
mustajir (ajiir), berbeda dengan pendapat ulama madzhab Hanafi, Zhahiri,
Asy Syabiy, Ats Tsauri dan Al Laits bin Saad.
Demikian juga tidak batal dengan dijualnya barang yang disewakan
kepada mustajir (ajiir) atau kepada yang lain dan diterima oleh pembeli
jika bukan mustajir pembelinya setelah habis masa ijaarah.[47]
Ijarah menjadi batal karena sebab-sebab berikut:
1.
2.

3.

4.

5.

6.

7.

Datang tiba-tiba cacat terhadap yang diijarahkan, di mana ketika itu


ada di tangan mustajir atau tampak aib yang sudah lama.
Jika barang yang disewakan binasa. Misalnya ketika disewakan
hewan, ternyata hewannya mati atau ketika disewakan rumah,
ternyata rumahnya roboh atau ketika tanah disewakan, lalu aliran
arnya tersendat.
Binasa sesuatu yang karenanya disewakan, seperti baju yang
diminta untuk dijahit, karena bagaimana akan dilanjutkan jika sudah
binasa.
Hilangnya tujuan ijarah yang karenanya akad ijarah dilakukan.
Misalnya menyewa dokter agar menyembuhkannya, lalu ternyata
sudah sembuh terlebih dahulu, hal ini menjadi batal karena bagaimana
menjalankan akadnya.
Sudah selesai manfaat yang karenanya akad dilakukan atau
pekerjaan selesai atau waktunya sudah habis, kecuali jika di sana
terdapat udzur yang menghalangi untuk dibatalkan, misalnya waktu
ijarah tanah untuk digarap habis sebelum tanaman diketam sehingga
masih di tangan mustajir dengan upah mitsil (standar) sampai ia
selesai mengetam walaupun harus memaksa mujir untuk mencegah
madharrat bagi mustajir karena dicabut tanaman sebelum tiba
waktunya.
Ulama madzhab Hanafi berkata, Boleh membatalkan ijarah karena
uzur yang timbul meskipun dari pihaknya, misalnya seseorang
menyewakan kedai untuk dagang, lalu ternyata hartanya terbakar atau
dicuri atau dirampas atau ia bangkrut, sehingga ia pun berhak
membatalkan ijarah.
Siapa saja yang disewa untuk mengerjakan suatu pekerjaan, lalu ia
sakit. Maka ia menyiapkan orang lain untuk menggantikan posisinya,
kecuali jika sebelumnya mensyaratkan agar pekerjaan itu dikerjakan
olehnya saja, karena tujuan utama terkadang tidak tercapai jika
dengan pekerjaan orang lain. Ketika ini mustajir tidak mesti menerima
pekerjaaan orang lain, akan tetapi ia diberi pilihan antara tetap
bersabar dan menunggu sampai pekerja sembuh atau dibatalkan
karena kesulitan mendapatkan haknya.

4.13. Mengembalikan Barang yang Disewa


Kapan saja habis ijarah, maka wajib bagi mustajir mengembalikan
barang yang disewa. Jika barang tersebut termasuk barang yang bisa
dipindahkan, maka dengan menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika
termasuk barang yang tidak bisa dipindahkan, maka dengan
mengosongkan barang-barangnya dari sana. Jika termasuk tanah yang
biasa ditanami, maka diserahkan dalam keadaan kosong dari tanaman,
kecuali jika ada uzur seperti yang lalu, maka tetap di tangan mustajir
sampai ia mengetam tanaman dengan bayaran mitsil (standar).
Ulama madzhab Hanbali berkata, Kapan saja ijarah telah selesai,
maka mustajir mengangkat tangannya, ia tidak wajib radd (tambahan
mengembalikan) dan membiayai seperti halnya orang yang menitip,
karena hal itu merupakan akad yang tidak menghendaki untuk
ditanggung, sehingga tidak menghendaki radd dan biaya.
Mereka juga berkata, Setelah habis masa, maka barang di tangan
mustajir menjadi amanah, jika binasa tanpa sikap remeh, maka ia tidak
mengembalikan.

4.14. Yang Harus Dilakukan oleh Pemberi Sewa (muajjir) dan


Penyewa (mustajir)
Muajjir harus menyiapkan segala yang yang dibutuhkan
mustajir dapat memanfaatkannya. Seperti memperbaiki mobil
disewakan dan memberikan fasilitas pengangkutan dan agar bisa
Jika berupa rumah, maka dengan diperbaiki bagian-bagian yang
serta mempersiapkan perabotnya agar bisa dimanfaatkan.

agar
yang
jalan.
rusak

Bagi mustajir ketika sudah selesai sewanya harus menghilangkan


segala yang ada karena tindakannya, seperti kotoran dsb.
Ijarah adalah akad yang lazim (mesti) dari kedua belah pihak muajjir
dan mustajir-, karena ini salah satu di antara jual beli, maka hukumnya
pun disamakan. Dan salah satu di antara kedua belah pihak tidak boleh
membatalkan kecuali dengan keridhaan pihak yang lain, kecuali jika
tampak aib yang tidak diketahui mustajir ketika akadnya, maka ia berhak
membatalkannya.
Muajjir harus menyerahkan barang yang disewakan kepada mustajir
dan agar bisa dimanfaatkan. Jika ditunda atau dicegah dari

memanfaatkannya dalam semua waktu atau sebagiannya, maka muajjir


tidak mendapatkan upah atau tidak mendapatkan upah secara sempurna.
Karena muajjir tidak menyerahkannya sewaktu akad ijarah, sehingga ia
tidak berhak apa-apa. Kemudian jika muajjir sudah memberikan
kesempatan kepada mustajir untuk memanfaatkan, tetapi mustajir tidak
memanfaatkan dalam seluruh waktunya atau sebagiannya, maka mustajir
wajib membayar upah sempurna. Karena ijarah adalah akad yang lazim
(mesti) yang konsekwensinya harus terlaksana; muajjir berhak memiliki
upah dan mustajir berhak memanfaatkan.
Upah pekerja wajib dengan akad yang dilakukan, pekerja tidak bisa
menuntut upah, kecuali setelah menyerahkan tugas yang dibebankan
kepadanya atau setelah memperoleh manfaat atau setelah menyerahkan
barang yang disewa serta telah berlalunya waktu tanpa adanya
penghalang. Karena pekerja itu diberikan upahnya ketika telah
menyelesaikan tugasnya atau sejenisnya. Di samping itu, upah ibarat
ganti, ia tidak berhak kecuali setelah menyerahkan tugas yang karenanya
ia akan diberi upah.
Pekerja wajib bekerja dengan baik dan menyelesaikannya. Ia dilarang
menipu dan khianat. Sebagaiman ia wajib melanjutkan tugas dalam waktu
yang ditentukan. Waktu ini tidak bisa lewat tanpa tugas. Dia pun wajib
bertakwa kepada Allah dalam memenuhi tugas yang diembannya. Bagi si
penyewa wajib memberikan upah secara sempurna ketika selesai
mengerjakan tugas.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:













Allah Taala berfirman: Ada tiga orang yang Aku menjadi musuhnya
pada hari kiamat, yaitu seorang yang (berjanji) memberi dengan namaKu namun ternyata ia berkhianat, seorang yang menjual orang
merdeka, lalu memakan hasilnya dan seorang yang mempersewa
orang, ketika pekerja telah menyelesaikan tugasnya, namun tidak diberi
upah. (HR. Bukhari, dll)

Pekerjaan
ajir
adalah
amanah
di
pundaknya,
ia
wajib
memperhatikannya dengan merapikan amal, menyempurnakan dan

bersikap tulus padanya. Upah untuk pekerja adalah hutang yang


ditanggung oleh orang yang mempersewa dan sebuah kewajiban yang
harus dipenuhinya. Ia wajib memenuhinya tanpa menunda-nunda atau
mengurangi.

Catatan :
[1]Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin
Al Turki, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit Hajr. (7/133), Al Syarh Al
MumtiAla Zaad Al Mustaqni karya Ibnu Utsaimin tahqiq Abu Bilal
Jamaal Abdul Aal, cetakan pertama tahun 1423 H, penerbit Dar Ibnu Al
Haitsam, Kairo, Mesir (4/266), Al Fiqhu Al Muyassar -bag. Fiqih
Muamalah- karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prop.
DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin
Ibrohim Alimusaa. Cetakan pertama tahun 1425H Hal. 185, Al Bunuk Al
Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, karya Prof. DR Abdullah bin
Muhammad Al Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasah Al
Jurais, Riyaadh, KSA hal 122
[2]Al Mughni op.cit 7/133
[3]Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, op.cit hal 122
[4]Al Fiqhu Al Muyassar op.cit. hal 185. Hal inipun diakui PKES (pusat
Komunikasi Ekonomi Syariat) indonesia dalam buku saku perbankan
Syariat hal 37.
[5]Al Mugnhi op.cit 7/133
[6]Maratib Al Ijma karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, penerbit
Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut. hal 91.
[7]Majmu Fatawa 29/101
[8]Maratib Al Ijma op.cit hal 91-92.
[9]Naqdh Maratib Al Ijma karya Syeikh Islam yang dicetak sebagai foot
note kitab Maratib Al Ijma hal 91-92.
[10] Irwa Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil karya Syeikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H. Al
maktab Islami, Baerut. 5/294
[11] Majmu Fatawa 19/195-196
[12] Dalam kitab al-Qiraadh bab 1 halaman 687 dan dibawakan juga oelh
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu fatawa 19/196
[13] Dinilai Shohih Oleh Syeikh Al Albani dalam Irwa Al Gholil 5/290-291
[14] Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
[15] Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 186.
[16] Demikianlah yang dirojihkan penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar hal
187.
[17] Lihat Takmilah AL Majmu Syarhu Al Muhadzab imam nawawi oleh
Muhammad Najieb Al Muthii yang digabung dengan kitab Majmu
Syatrhul Muhadzab 15/148
[18] Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal169.
[19] Lihat Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
[20] Lihat kitab Maa La Yasau Al Taajir Jahlulu, karya prof. DR Abdullah Al
Mushlih dan prof. DR. Shalah Al Showi yang diterjemahkan dalam edisi

bahasa Indonesia oleh Abu Umar Basyir dengan judul Fiqh Ekonimi
Keuangan Islam, penerbit Darul Haq, Jakarta hal. 173.
[21] Lihat Maratib Al Ijma hal 92 dan Takmilah AL Majmu op.cit 15/143
[22] Pendapat inilah yang dirojihkan syeikh Ibnu Utsaimin dalam Al
Syarhu Al Mumti. Op.cit. 4/258Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal. 123
dan Takmilah AL Majmu op.cit 15/144
[23] Takmilah AL Majmu op.cit 15/145
[24] ibid 15/146-147
[25] lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 176
[26] Al Mughni op.cit 7/177
[27] fikih Ekonomi Keuangan Islam op.cit. 177
[28] lihat juga Al Mughni op.cit 7/144
[29] Takmilah Al Majmu op.cit 15/160
[30] ibid 15/159
[31] lihat Maratib Al Ijma op.cit hal 92, Al Syarhu Al Mumti op.cit 4/259
dan takmilah Al Majmu op.cit 15/159-160
[32] untuk masalah kerugian dalam Mudharabah silahkan lihat makalah
Ustadz Abu Ihsan dalam mabhas ini.
[33] Al Mughni op.cit 7/138
[34] Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
[35] Al Mughni op.cit 7/140.
[36] Ibid 7/165.
[37] Al Bunuk Al Islamiyah op.cit 123.
[38] Al Mughni op.cit 7/172
[39] Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 181-182.
[40] Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 169.
[41] Diambil dari catatan penulis dari pelajaran fiqih dari Syeikh prof. DR.
Hamd Al Hamaad ditahun keempat pada kuliah hadits di Universitas
Islam Madinah tahun 1419H dan kitab Al Mughni op.cit 7/175-177
[42] Al Mughni op.cit 7/172
[43] Majmu Syarhu Almuhadzab op.cit 15/176.
[44] Ibid 15/191.
[45] Al Mughni op.cit 7/172
[46] Ini adalah madzhab imam yang tiga, Malik menambahkan: Bahkan
si isteri wajib dipaksa melakukan hal itu, kecuali jika ia wanita
terhormat dan tidak biasa menyusukan orang yang sepertinya,
Ahmad berkata: Bisa sah.
[47] Hal ini merupakan madzhab Malik dan Ahmad. Abu Hanifah berkata,
Tidak boleh dijual kecuali dengan ridha mustajir atau ia punya hutang
yang ditahan oleh hakim karena sebab itu, maka ia menjual untuk
menutup hutangnya.
1.

DAFTAR PUSTAKA

http://yufidia.com (ensiklopedia islam yufidia)


http://pengusahamuslim.com/
http://ekonomisyariat.com

Anda mungkin juga menyukai