Anda di halaman 1dari 22

TUGAS HUKUM BISNIS

NAMA

: Indriati Lukitasari

MATA KULIAH

: Hukum Bisnis

MATERI KULIAH

PROGRAM STUDI

: MM UNSRI

dan
KELAS
TANGGAL

Perlindungan Konsumen
Organisasi Usaha

: Reguler Malam
: 4 Juli 2014

TUGAS I
JAWABAN SOAL :
1. Pengertian kerugian konsumen:
Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen mendefinisikan konsumen adalah setiap
orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat.
Baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun mkhluk
hidup lain dan todak untuk diperdagangkan. Dari pengertian
tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pemakai produk itu dapat
perorangan atau badan usaha atau badan hukum. Konsumen
dikatakan mengalami kerugian jika tidak mendapatkan hak nya
sebagaimana mestinya yang telah diatur oleh undang undang ,
yaitu :
Pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 mengenai hak konsumen :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat atau keluhan atas barang atau
jasa.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujr serta
tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian
apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuat dengan
perjanjian atau sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
2. Tanggung Jawab pelaku usaha :
Kewajiban Pelaku Usaha :
Beritikat baik
Melakukan informasi yang benar, jujur, dan jelas
Memperlakukan konsumen denngsn benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi atau di
perdagangkan

Memberi kesempatan konsumen untuk mencoba barang


dan/atau jasa
Memberi kompensasi atas barang dan/atau jasa yang di
perdagangkan
Memberi kompensasi atas barang dan/atau jasa yang tidak
sesuai

Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku
usaha adalah dalam memproduksi/memperdagangkan, larangan
dalam menawarkan/mempromosikan /mengiklankan, larangan
dalam penjualan ssecara obral/lelang, dan larangan dalam
ketentuan perilkanan.
Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha
terhadap produk yang dihasilkan atau diperdgangkan dengan
memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan,
kerugian konsumen.Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi
dengn pengembalian uang, penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya,
perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Hak-Hak Konsumen :
Hak Konsumen dapat berupa :

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam


mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa, sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan
upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya,
daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya.
Hak untuk mendapatkan kompensasi , ganti rugi dan/atau
pengganti apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
seseuai dengan perjanjian atau tidak sebagai mana mestinya.

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

4. Sebab-sebab Konsumen Perlu Mengadu :


Konsumen perlu mengadu apabila konsumen merasa dirugikan yang
dikarenakan oleh perbuatan produsen yang melanggar ketentuan
humum , misalnya :
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8
ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
-tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
-tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut;
-tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
-tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
-tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
-tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
-tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan dalam label;
-tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

-tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan


barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya
kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU
No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah
memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui
Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku,
pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala
janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label,
etiket maupun iklan harus dipenuhi.

Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai
berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak,
cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan
pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu
rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar
Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang
baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Konsumen perlu mengadu karena itu sudah menjadi hak konsumen
yang telah diatur dalam undang undang.
5. Konsumen dapat mengadu kepada :
Konsumen dapat mengadu ke LPKSM Komnas lembaga perlindungan
konnsumen dan pelaku usaha.
6. Penyelesaian
berdasarkan:

sengketa

konsumen

dapat

dilaksanakan

1.
Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan
pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen
atau ke badan peradilan. Kemudian, menurut pasal 52 UUPK, salah
satu kewenangan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) adalah menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak
tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen
melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak untuk
memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.
Berkaitan hal di atas, pasal 45 UUPK memang menyebutkan bahwa
penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa. Namun, ini tidak berarti dalam
mengajukan gugatan harus telah disetujui dahulu oleh para pihak.
Menurut penjelasan pasal 45, ini artinya dalam penyelesaian
sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian
damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap
diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua
belah pihak yang bersengketa. Jadi, pengajuan gugatannya tidak
harus atas persetujuan para pihak, tetapi para pihak dapat
bersepakat untuk memilih perdamaian untuk penyelesaian
sengketanya.
Lain halnya dengan penyelesaian sengketa BPSK yang melalui cara
konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Menurut pasal 52 huruf (a)
UUPK, BPSK berwenang untuk melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau arbitrase
atau konsiliasi. Mengenai mediasi, arbitrase dan konsiliasi ini
kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Republik IndonesiaNomor 350/Mpp/Kep/12/2001
Tahun 2001tentangPelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (Kepmen Perindag 350/2001).
Menurut pasal 4 ayat (1) Kepmen Perindag 350/Mpp/Kep/12/2001,
penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara konsiliasi
atau mediasi atau arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan
persetujuan para pihak yang bersangkutan. Jadi, yang perlu
persetujuan para pihak adalah apabila penyelesaian sengketa
konsumen
di
BPSK
dilakukan
dengan
cara
mediasi/konsiliasi/arbitrase.
2.
Seperti telah diuraikan di atas, konsumen dapat menggugat
pelaku usaha ke BPSK atau ke badan peradilan. Namun, dalam hal
sengketa itu bukan kewenangan BPSK, Ketua BPSK dapat menolak

permohonan penyelesaian sengketa konsumen (lihat pasal 17


Kepmen Perindag 350/2001).
Dalam hal telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen
mengenai forum penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya
para pihak tunduk pada klausula tersebut. Ini mengacu pada pasal
1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), bahwa
perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihaknya sebagai
undang-undang. Oleh karena itu, seharusnya penyelesaian sengketa
dilakukan berdasar kesepakatan awal.
3.
Pasal 52 huruf g UUPK memang memberikan kewenangan
pada BPSK untuk memanggil pelaku usaha yang diduga telah
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Akan
tetapi, BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melakukan
pemanggilan paksa terhadap pelaku usaha tersebut. Meski
demikian,
BPSK
bisa
meminta
bantuan
penyidik
untuk
menghadirkan pelaku usaha yang tidak bersedia memenuhi
panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen (lihat pasal 52
huruf i UUPK). Jadi, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan pemanggilan paksa, tetapi BPSK bisa meminta bantuan
pada penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha. Penyidik di sini
mengacu pada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan
konsumen (lihat pasal 59 ayat [1] UUPK)
4.
Dalam hal pelaku usaha tetap tidak memenuhi panggilan
BPSK, maka BPSK dapat mengadili sengketa konsumen tanpa
kehadiran pelaku usaha. Hal ini mengacu pada pasal 36 Kepmen
Perindag 350/2001, yaitu dalam hal pelaku usaha tidak hadir pada
hari persidangan I (pertama),majelis hakim BPSK akan memberikan
kesempatan terakhir kepada pelaku usaha untuk hadir pada
persidangan II (kedua) dengan membawa alat bukti yang
diperlukan. Jika pada persidangan II (kedua) pelaku usaha tidak
hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa
kehadiran pelaku usaha. Jadi, dalam hal pelaku usaha tidak
menghadiri persidangan, maka BPSK dapat mengabulkan gugatan
konsumen. Adapun putusan BPSK sendiri adalah putusan yang final
dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (lihat pasal 54
UUPK jo pasal 42 ayat [1] Kepmen Perindag 350/2001). Final artinya
dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya
banding dan kasasi (lihat penjelasan pasal 54 ayat [3] UUPK).
Putusan BPSK kemudian dapat dimintakan penetapan eksekusi oleh
BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan
(lihat pasal 42 ayat [2] Kepmen Perindag 350/2001).

Dasar hukum:
1.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
2. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia No. 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001tentangPelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
7. Syarat syarat pengaduan yang baik :
Syarat pengaduan yang baik :

Konsumen memang benar adanya telah mengalami kerugian


yang diakibatkan oleh barang atau jasa oleh produsen dan
tidak menerima hak sebagai konsumen sesuai dengan UU
yang berlaku tentang perlindungan konsumen.
Konsumen membawa data atau bukti bahwa telah mengalami
kerugian.
Konsumen bersedia untuk dimintai keterangan yang
berdasarkan fakta oleh komnas PKPU untuk menindaklanjuti
masalah sengketa konsumen.

8. Cara pengajuan pengaduan :

Memasukkan data pengaduan ke data base Komnas PKPU dan


melakukan analisis masalah
Menulis surat kepada pelaku usaha bersangkutan untuk
meminta penjelasan atas kasus atau sengketa konsumen ini
dalam batas waktu 7-14 hari. Pihak terkait dan Konsumen
akan mendapatkan surat tembusannya.

Dalam kasus-kasus tertentu Komnas PKPU masih bersedia


mengirimkan Surat Pengaduan Kedua bila tidak menerima
tanggapan dari Pelaku Usaha dalam kurun waktu tersebut. Bila surat
kedua ini juga tidak ditanggapi, maka Komnas PKPU akan
mengembalikan persoalan ke Konsumen, sambil menawarkan agar
Konsumen membawa kasus ini ke BPSK (Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen) setempat.
Surat tanggapan dari pelaku usaha (biasanya ditembuskan juga ke
Konsumen) adalah awal proses penyelesaian sengketa antara
Konsumen dan Pelaku Usaha karena biasanya Pelaku Usaha akan
menawarkan alternatif (alternatif-alternatif) penyelesaian sengketa.
Di tahap ini terjadi komunikasi dan negosiasi antara Konsumen dan
Pelaku Usaha sampai terjadi kesepakatan.
Bila sudah terjadi kesepakatan antara kedua pihak, sebaiknya pihak
Konsumen atau Pelaku Usaha memberitahukan secara tertulis

perkembangan terakhir ini agar menjadi catatan di data base


Komnas PKPU
Bila kesepakatan tidak terjadi di antara kedua pihak, dan bilamana
diperlukan, Komnas PKPU bersedia menjadi penengah (mediator)
dalam proses ini. Syarat utama Mediasi yang difasilitasi Komnas
PKPU adalah
(1) harus dilakukan di kantor Komnas PKPU,
(2) menepati jadwal Mediasi yang ditentukan oleh Komnas PKPU
dan
(3) kedua belah pihak harus beritikad baik menyelesaikan
persoalan.
9. Langkah-langkah yang dapat dilakukan
agar terhindar dari kerugian :

oleh konsumen

1. Selektiflah dalam membuat keputusan untuk membeli barang


atau jasa,seperti;
a. Kredibilitas dan akuntabilitas pelaku usaha [rekam jejak usaha,
bonafiditas dll].
b. Pelajari kelengkapan klausa perjanjian transaksi pembelian [nilai,
tenggat waktu, layanan purna jual, penerbitan & validitas dokumen
lain yg terkait, kesetaraan hak & kewajiban 2 pihak yang
bertransaksi dll].
c. Pelajari pula rekam jejak pihak ketiga yang terlibat dalam
transaksi tersebut.
2. Tidak ada kerugian untuk membaca dan memahami produk
Undang - Undang Perlindungan Konsumen sebagai literatur kedua
jika timbul perselisihan
3. Tunaikan seluruh kewajiban anda selaku konsumen dengan benar
dan tepat kepada pelaku usaha [ a good consumer behavior ]. Dan
lengkapi seluruh dokumen asli transaksional terkait serta simpan
dengan baik. Jangan sampaikan keluhan anda secara lisan, harus
tertulis [ dokumentasikan & simpan ].

10.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan pengaduan :

Pelaksanaan UU perlindungan Konsumen.

Dalam pelaksanaan UU no 8 tahun 1999 melibatkan berbagai pihak


dalam penanganannya yaitu:

Menteri dan atau menteri teknis


BPKN
BPSK
LPKSM
PPNS-PK
Pelaku Usaha / asosiasi
Masyarakat

11.
Permasalahan konsumen yang pernah
pembahasananya disertai dasar hukumnya :

ada

beserta

Saya pernah mengalami kesalahan diagnosa dari Dokter Jaga UGD /


Emergengy Unit RS HCOS Surabaya / RS Surabaya Internasional, kurang
lebih 12 tahun lalu. Tanpa permintaan maaf dari pihak Dokter maupun
RS . Kontrol 1 : Dinyatakan hanya kecapekan dan gejala typhus (tanpa
pemeriksaan Lab dan di resepkan obat-obatan bertumpuk). Kontrol 2:
setelah 3 hari panas tinggi, demam, badan lemas, dokter yang sama
(tanpa pemeriksaan Lab , di resepkan lagi obat-obatan bertumpuk) ,
padahal kondisi sudah muntah-muntah dan vertigo. Sehingga kesannya
dokter-dokter muda ini HANYA JUALAN OBAT , karena seperti yang kita
semua tahu Dokter terdapat komisi dari penjualan Obat dan
pengetahuannya sangat minim namun sudah praktek dokter. Akhirnya
keluarga minta ganti dokter spesialis dan memaksa Cek Lab dan menolak
analisa dan Obat-obatan dokter tersebut.
Penanganan berikutnya oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam, dimana
melalui telephone dari perawat saja berdasarkan gejala yang dialami
langsung diminta rawat inap dan cek Lab. Hasilnya Saya terkena Demam
Berdarah dan telah mencapai Stadium Akhir dimana biasanya pembuluh
darah dapat pecah, namun karena kondisi fisik daya tahan masih baik,
masih dapat terselamatkan dengan Rawat Inap, Obat-obatan yang tepat ,
dan Hormon selama kurang lebih 2(dua minggu) . Apakah RS bertanggung
jawab ? Memberikan Discount dll ? Jawabannya adalah TIDAK meskipun
complaint telah dolayangkan dan Dokter Jaga tersebut juga telah
dilaporkan. RUGI ? Jelas Iya, dengan penanganan yang tepat sejak awal
harusnya penanganan tidak akan sekian lama. Dana yang dikeluarkan
akan lebih kecil.
Pembahasan berikut adalah terkait Malpraktek Kedokteran dan Landasan
Undang-Undang dan mekanisme Pelaksanaannya :

Malpraktek Kedokteran, Penyebab dan Dampak Hukumnya


Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam
bidang professional. Tindakan malpraktik medik yang melibatkan para
dokter dan tenaga kesehatan lainnya banyak terdapat jenis dan
bentuknya, misalnya kesilapan melakukan diagnosa, salah melakukan
tindakan perawatan yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan
perawatan terhadap pasien dengan teliti dan cermat.Di beberapa negara
maju seperti United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus
malpraktik medik juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya
meningkat. Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an
jumlah kasus malpraktik medik meningkat tiga kali lipat dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya dan keadaan ini terus meningkat hingga
pada tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh berbeda dengan negara
Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus penuntutan terhadap
dokter atas dugaan adanya malpraktik medik meningkat dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada
183 kasus kelalaian medik atau bahasa awamnya malpraktek yang
terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti
dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari
malpraktek yang terjadi selama ini, sudah ada 29 dokter yang izin
prakteknya dicabut sementara. Ada yang tiga bulan, ada yang enam
bulan.
Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktik ke
konsil kedokteran Indonesia atau KKI tercatat mencapai 183
kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding tahun 2009
yang hanya 40 kasus dugaan malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini
pun tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya
berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi atau hukuman
kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 kasus malpraktek di
seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum,
49 kasus dilakukan dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter
kandungan, dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis anak.
Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan.
Selain itu, ada enam dokter yang diharuskan mengenyam
pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan dokter kurang sehingga
menyebabkan terjadinya kasus malpraktek. Mereka kurang
dalam pendidikannya sehingga ilmu yang didapatkan itu kurang
dipraktekn atau terjadi penyimpangan dari standar pelayanan
atau penyimpangan dari ilmu yang diberikan. Maka, dia wajib
sekolah lagi dalam bidang tertentu. Di samping kasus
malpraktek, beberapa kasus lain yang juga ikut menjerat dokter
ke ranah pidana hingga pencabutan izin praktek di antaranya soal
komunikasi dengan pasien, ingkar janji, penelantaran pasien,
serta masalah kompetensi dokter.

Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan


malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan
fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya
mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca
operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian
tubuh), dan faktor-faktor lainnya.

Definisi Malpraktek

Menurut Coughlins Dictionary Of Law , malpraktek bisa


diakibatkan karena sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian
didalam pelaksanakan kewajiban professional, tindakan salah yang
sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis. Kasus malpraktik
merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia.
Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang
bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang
berlaku,
baik
disengaja
maupun
akibat
kelalaian
yang
mengakibatkan kerugian atau kematian pada orang lain. Biasanya
malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah
diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan
obat. Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di
beberapa rumah sakit, kasus yang paling sering di bicarakan di
media-media diantaranya adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku
adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak
hanya kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak
rumah sakit berlindung pada nama besarnya. Sesungguhnya Prita
hanya berbicara tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang
yang dirugikan. Dalam pengakuannya Prita pernah berobat di rumah
sakit Omni Internasional tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia
akan mendapat perlakuan medis yang tidak layak. Ia
mengungkapkan hal ini pada teman-temannya melalui media
internet dan tanpa disangka hal ini membuat Prita terlilit kasus
pencemaran nama baik.

Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai


professional misconduct or unreasonable lack of skill atau failure
of one rendering professional services to exercise that degree of
skill and learning commonly applied under all the circumstances in
the community by the average prudent reputable member of the
profession with the result of injury, loss or damage to the recipient
of those services or to those entitled to rely upon them.

Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis,


melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia
peradilan), akuntan, perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain.

Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association


(1992) adalah: medical malpractice involves the physicians failure
to conform to the standard of care for treatment of the patients
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the
patient, which is the direct cause of an injury to the patient.
3 Penyebab Terjadinya Malpraktik Kedokteran
Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan
melakukan tindakan malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan
tindakan medisi sesuai dengan :

Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga


hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan,
kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.

Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah


perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

Informed
Consent
Substansi
informed
consent
adalah
memberikan informasi tentang metode dan jenis rawatan yang
dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan dan
resiko yang akan dialami oleh pasien.

suatu
untuk

Hubungan antara dokter dan pasien terjadi suatu kontrak (doktrin socialcontract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan selfregulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan
bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten
dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap
profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap
dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi
maupun masyarakat luas (termasuk klien). Beberapa ciri profesionalisme
tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan
kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang
etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah
dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang
kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut
dapat terwujud.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan
dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi,
hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan
kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien,
pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia,
penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu,

menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa


SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak
harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun
yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan
motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance,
misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan
yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper),
misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan
tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan
pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis
dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan
tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk
kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and
lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus
memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya
kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian
pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan
dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik
medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering
terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak
sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan
atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh
orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan
situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang
dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat
dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan
sifat
profesinya)
bertindak
hati-hati,
dan
telah
mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
Undang-Undang No 29 tahun 2004

Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan
agar
dapat
memberikan
perlindungan
kepada
pasien,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan
dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004
mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik
kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat
kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah
dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda
Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian
memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota /
Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah
dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi
dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Selain mengatur

persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004


juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar
Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya,
dan proses registrasi tenaga dokter.

Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur


tentang penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini
diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain
mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan
rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik,
dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan
namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang
pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila
berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP,
keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang
persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang
pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta
mengendalikan mutu dan biaya.

Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan


kewajiban dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting
adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan
tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak
memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat,
risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui
atau menolak tindakan medis.

Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur


tentang disiplin profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima
pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan
tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban
mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.

Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi


mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang
bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter,
dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak
memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter.
Pidana
lebih
berat
diancamkan
kepada
mereka
yang
mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP

Sistem Hukum Indonesia Yang mengatur malpraktek

Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Secara


yuridis kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan
dengan bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP,

KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU No 29


Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009,
Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan
Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri
Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008.

Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun


1992, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun
2009. Serta UUPK memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan
upaya hukum.

Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia


tetapi berkaitan dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan
Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam
Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007
tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan
Menteri
Kesehatan
No:
585/Men.Kes/Per/IX/1989
Tentang
Persetujuan Tindakan Medik.

Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU


No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan
UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun


1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau
tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses
melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu
kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di


dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan
pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga
diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang
menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau
kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal
54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden
(pasal 54 ayat 3).

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden


No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang
bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian
dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini
bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya
terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili
organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi,
Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang
dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena
anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat

kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak


sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya
pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi
kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan
pasien.

KESIMPULAN :
Kasus Malpraktek pada intinya masih banyak merugikan pasien /
konsumen, MKEK juga harus lebih objective dalam menelusuri dan
menyelidiki Dokter-dokter yang memang tidak kompeten .

Disajikan Oleh,

Indriati Lukitasari

NOTES : TUGAS II pada halaman berikutnya.

TUGAS II
KASUS :
Tuan Abdullah Direktur PT Surya Tama, pada tanggal 1 Oktober 2010
menugaskan 2(dua) orang karyawannya untuk mengadakan transaksi
dengan PT Bangkit Utama, dalam transaksi tersebut dua orang karyawan
menggunakan informasi yang salah. Akibat dari perbuatan tersebut PT
Bangkit Utama dirugikan sebesar Rp.100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah).
PERTANYAAN:
Jelaskan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus di atas ?
PEMBAHASAN:
Terkait hal tersebut dapat kita bahas terlebih dahulu mengenai
Pertanggungjawaban Hukum dari Pengusaha dan Pembantu Pengusaha
sebagai berikut :
1. Pengusaha adalah orang yang menjalankan perusahaan atau
menyuruh orang lain menjalankan perusahaan. Menjalankan
perusahaan artinya mengelola sendiri perusahaannya, baik
dilakukan sendiri maupun dengan bantuan pekerja. Dalam hal
ini pengusaha berfungsi sebagai pengusaha dan pemimpin
perusahaan.
Tanggungjawab Hukumnya sebagai berikut :
a. Bertanggungjawab bila :
- Atas perbuatan sendiri (Pasal 1366 KUH Perdata)
- Atas perbuatan pembantu yang sesuai dengan
perintah yang diberikan (Pasal 1367 KUH Perdata)
b. Tidak Bertanggungjawab bila :
- Atas perbuatan pembantu yang tidak sesuai
dengan Perintah/kewenangan yang diberikan.
2. Pembantu
Pengusaha
adalah
orang
yang
diberikan
kewenangan oleh pengusaha untuk
menjalankan dan
memimpin perusahaan .
Tanggungjawab Hukumnya sebagai berikut :
a. Bertanggungjawab bila :

Perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan


Perintah/Kewenangan yang diberikan.
b. Tidak Bertanggungjawab bila :
- Perbuatan yang dilakukansuai dengan Perintah /
Kewenangan yan diberikan (Pasal 1367 KUH
Perdata)

Kemudian dalam Undang-Undang PT (UUPT) berikut adalah Pengertian,


Kewenangan , Tanggung Jawab dan Tugas Direksi sebagai Pembantu
Pengusaha :
Pengertian Direksi
Berdasarkan Pasal 1 angka (5) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menyebutkan bahwa pengertian
Direksi dalam Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah organ Perseroan
yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan anggaran dasar.
Kewenangan Direksi
Sebagaimana disebutkan dalam pengertian
kewenangan direksi adalah sebagai berikut:

direksi

di

atas,

maka

1. Salah satu organ Persoran yang memiliki kewenangan penuh atas


pengurusan dan hal-hal terkait kepentingan Perseroan sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan.
2. Mewakili Perseroan untuk melakukan perbuatan hukum baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan UUPT
and anggaran dasar.
Kewenangan direksi untuk mewakili Perseroan bersifat tidak terbatas dan
tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UUPT, anggaran dasar atau
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam hal anggota
direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili
Perseroan adalah setiap anggota direksi, kecuali ditentukan lain dalam
anggaran dasar. Maksud dari pengecualian ini adalah agar anggaran dasar
dapat menentukan bahwa Perseroan dapat diwakili oleh anggota direksi
tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPT.

Menurut Pasal 99 UUPT, kewenangan direksi dalam mewakili Perseroan


bukan berarti tidak ada pembatasan. Namun, dalam hal tertentu direksi
tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:
1. Dalam hal terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan
anggota direksi yang bersangkutan; atau
2. Anggota direksi yang bersangkutan
kepentingan dengan Perseroan.

mempunyai

benturan

Jika terjadi kondisi seperti demikian, maka Perseroan dapat diwakili oleh:
1. Anggota direksi lainnya yang
kepentingan dengan Perseroan;

tidak

mempunyai

benturan

2. Dewan komisaris dalam hal seluruh anggota direksi mempunyai


benturan kepentingan dengan Perseroan; atau
3. Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota
direksi atau dewan komisaris mempunyai benturan kepentingan
dengan Perseroan.
Tanggung Jawab Direksi
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan dengan itikad baik.
Tanggung jawab direksi melekat penuh secara pribadi atas kerugian
Perseroan, apabila anggota direksi yang bersangkutan bersalah atau lalai
dalam menjalankan tugasnya.
Tanggung jawab direksi yang terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau
lebih berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi.
Pengecualian terhadap tanggung jawab secara renteng oleh anggota
direksi terjadi apabila dapat membuktikan:
1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;
3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung mapun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian;
dan
4. Telah mengambil tindakan untuk
berlanjutnya kerugian tersebut.
Tugas Direksi

mencegah

timbul

atau

Sesuai dengan Pasal 100 UUPT, direksi berkewajiban menjalankan dan


melaksanakan beberapa tugas selama jabatannya menurut UUPT, yaitu:
1. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS dan
risalah rapat direksi;
2. Membuat laporan tahunan dan dokumen keuangan Perseroan;
3. Memelihara
Perseroan.

seluruh

daftar,

risalah

dan

dokumen

keuangan

Seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan Perseroan dan dokumen


Perseroan lainnya disimpan di tempat kedudukan Perseroan. Atas
permohonan tertulis dari pemegang saham, direksi dapat memberi izin
kepada pemegang saham untuk memeriksa daftar pemegang saham,
daftar khusus, risalah RUPS serta mendapat salinan risalah RUPS dan
salinan laporan tahunan.
Anggota direksi juga wajib melaporkan kepada PT mengenai saham yang
dimiliki anggota direksi dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan
Perseroan lain untuk dicatat dalam daftar khusus. Anggota direksi yang
tidak melaksanakan kewajiban ini dan menimbulkan kerugian bagi
Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 101 UUPT.

Lebih lanjut, menurut Pasal 102 UUPT diatur tugas direksi sehubungan
dengan pengurusan kekayaan Perseroan dimana direksi berkewajiban
untuk memperoleh persetujuan RUPS untuk:
1. Mengalihkan kekayaan Perseroan; atau
2. Menjadikan kekayaan Perseroan sebagai jaminan utang.
Kekayaan Perseroan yang dimaksud merupakan kekayaan yang jumlahnya
lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan
dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain
maupun tidak. Selain tugas-tugas di atas, kewajiban atau tugas direksi
juga dapat ditentukan lebih lanjut dalam anggaran dasar Perseroan.
KESIMPULAN:
Kasus PT Surya Tama dan PT Bangkit Utama tersebut adalah kesalahan
Direktur PT Surya Tama yaitu Tuan Abdullah, karena untuk negosiasi antar
PT harusnya menurut UU PT yang berhak dan bertanggungjawab mewakili

dan bertindak atas nama PT di dalam dan di luar pengadilan adalah


Direksi. Dalam hal ini selaku Direksi Tuan Abdullah mendelegasikan lagi
tugas bernegosiasi dengan PT Bangkit Utama kepada karyawan nya ,
sehingga akhirnya menggunakan informasi yang salah.
Dengan Asumsi bahwa dalam kasus tersebut tidak disebutkan terdapat
Kuasa Khusus kepada ke dua karyawan PT Surya Tama dan tidak
disebutkan apakah informasi untuk negosiasi telah lengkap dan apakah
instruksi telah dijalankan dengan benar atau tidak.
Maka dengan segala konsekuensinya maka Tuan Abdullah selaku direksi
PT Surya Tama yang bertanggungjawab dalam kasus tersebut di atas.

Disajikan Oleh,

Indriati lukitasari

Anda mungkin juga menyukai