Anda di halaman 1dari 12

Teori agensi merupakan konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual

antara principals dan agents. Pihak principals adalah pihak yang


memberikan mandat kepada pihak lain, yaitu agent, untuk melakukan
semua kegiatan atas nama principals dalam kapasitasnya sebagai
pengambil keputusan (Jensen dan Smith, 1984).
Tujuan dari teori agensi adalah pertama, untuk meningkatkan
kemampuan individu (baik prinsipal maupun agen) dalam
mengevaluasi lingkungan dimana keputusan harus diambil (The belief
revision role). Kedua, untuk mengevaluasi hasil dari keputusan yang
telah diambil guna mempermudah pengalokasian hasil antara prinsipal
dan agen sesuai dengan kontrak kerja (The performance evaluation
role). Secara garis besar teori agensi dikelompokkan menjadi dua
(Eisenhardt,1989), yaitu positive agency research dan principal agent
research. Positve agent research memfokuskan pada identifikasi situasi
dimana agen dan prinsipal mempunyai tujuan yang bertentangan dan
mekanisme pengendalian yang terbatas hanya menjaga perilaku self
serving agen. Secara ekslusif, kelompok ini hanya memperhatikan
konflik tujuan antara pemilik (stockholder) dengan manajer. Sementara
itu principal agent research memfokuskan pada kontrak optimal antara
perilaku dan hasilnya, secara garis besar penekanan pada hubungan
principal dan agent. Principal-agent research mengungkapkan bahwa
hubungan agent-principal dapat diaplikasikan secara lebih luas,
misalnya untuk menggambarkan hubungan pekerja dan pemberi kerja,
lawyer dengan kliennya, auditor dengan auditee. Agency theory tidak
dapat dilepaskan dari kedua belah pihak diatas, baik prinsipal maupun
agen merupakan pelaku utama dan keduanya mempunyai bargaining
position masing-masing dalam menempatkan posisi, peran dan
kedudukannya. Prinsipal sebagai pemilik modal memiliki akses pada
informasi internal perusahaan sedangkan agen sebagai pelaku dalam
praktek operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi
dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh. Posisi, fungsi,
situasi, tujuan, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen
yang berbeda dan saling bertolak belakang tersebut akan
menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik kepentingan
(conflict of interest) dan pengaruh antara satu sama lain. Berkaitan
dengan auditing, baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai
orang yang memiliki rasionalitas ekonomi, dimana setiap tindakan
yang dilakukan termotivasi oleh kepentingan pribadi atau akan
memenuhi kepentingannya terlebih dahulu sebelum memenuhi
kepentingan orang lain. Teori keagenan mengatakan sulit untuk

mempercayai bahwa manajemen (agent) akan selalu bertindak


berdasarkan kepentingan pemegang saham (principal), sehingga
diperlukan monitoring dari pemegang saham (Copeland dan
Weston,1992:20). Shareholder atau prinsipal mempekerjakan agen
untuk melaksanakan tugas termasuk pengambilan keputusan
ekonomik, dalam lingkungan yang tidak pasti seperti perusahaan
dalam kondisi financial distress. Agen sebagai seorang manajer akan
mengambil keputusan untuk melakukan berbagai strategi guna
mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan. Disisi lain agen
merupakan pihak yang diberikan kewenangan oleh prinsipal
berkewajiban mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan
kepadanya. Teori keagenan menyatakan bahwa dalam pengelolaan
perusahaa selalu ada konflik kepentingan (Brigham dan
Gapenski,1996) antara (1) manajer dan pemilik perusahaan (2)
Manajer dan bawahannya, (3) Pemilik perusahaan dan kreditor.
Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pihak yang melakukan proses
pemantauan dan pemeriksaan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh
pihak-pihak tersebut diatas. Aktivitas pihak-pihak tersebut, dinilai
lewat kinerja keuangannya yang tercermin dalam laporan keuangan.
Lebih lanjut dalam agency theory, pemilik perusahaan membutuhkan
auditor untuk memverifikasi informasi yang diberikan manajemen
kepada pihak perusahaan. Sebaliknya, manajemen memerlukan
auditor untuk memberikan legitimasi atas kinerja yang mereka lakukan
(dalam bentuk laporan keuangan), sehingga mereka layak
mendapatkan insentif atas kinerja tersebut. Disisi lain, kreditor
membutuhkan auditor untuk memastikan bahwa uang yang mereka
kucurkan untuk membiayai kegiatan perusahaan, benar-benar
digunakan sesuai dengan persetujuan yang ada, sehingga kreditor bisa
menerima bunga atas pinjaman yang diberikan.
Pengawasan atau monitoring yang dilakukan oleh pihak independen
memerlukan biaya atau monitoring cost dalam bentuk biaya audit,
yang merupakan salah satu dari agency cost (Jensen dan Meckling,
1976). Biaya pengawasan (monitoring cost) merupakan biaya untuk
mengawasi perilaku agent apakah agent telah bertindak sesuai
kepentingan principal dengan melaporkan secara akurat semua
aktivitas yang telah ditugaskan kepada manajer. Uraian tersebut diatas
memberi makna bahwa auditor merupakan pihak yang dianggap dapat
menjembatani kepentingan pihak pemegang saham (principal) dengan
pihak manajer (agent) dalam mengelola keuangan perusahaan
(Setiawan, 2006) termasuk menilai kelayakan strategi manajemen

dalam upaya untuk mengatasi kesulitan keuangan perusahaan. Auditor


independen melakukan fungsi pengawasan atau monitoring atas
pekerjaan manajer melalui sebuah sarana yaitu laporan keuangan,
sehingga auditor akan melakukan proses audit terhadap kewajaran
laporan keuangan yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan
perubahan modal dan laporan arus kas termasuk catatan atas laporan
keuangan yang kemudian akan memberikan pendapat atas pekerjaan
auditnya dalam bentuk opini audit. Auditor independen melakukan
pengawasan atau monitoring karena manajer berkeinginan untuk
menyajikan laporan keuangan agar tampak lebih baik dari kondisi
senyatanya (Cosserat, 1999). Sejalan dengan pendekatan audit
topdown holistic, auditor berkewajiban untuk mengevaluasi resiko
bisnis klien (Boynton, 2002). Perusahaan yang mengalami financial
distress memiliki resiko bisnis yang lebih besar. Oleh karena itu, auditor
akan mempertimbangkan rencana dan tindakan stratejik yang
dilakukan manajemen, khususnya rencana manajemen yang terlalu
optimistik (Hackenbrack dan Nelson, 1996).
Pengguna laporan keuangan akan mengambil keputusan ekonomi atas
dasar laporan keuangan auditan. Oleh karena itu, opini tentang
kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya merupakan
informasi penting bagi pengguna laporan keuangan. Opini going
concern, yang secara jelas menyebutkan adanya keraguan auditor
akan kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya
merupakan signal bahwa perusahaan sedang menghadapi masalah
going concern, seperti masalah kesulitan keuangan.

MENGENAL TEORI KEAGENAN


Posted on 26 Februari 2009 by Ahmad Elqorni
Sumber: http://elqorni.wordpress.com/
Teori keagenan (Agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan
yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan,
sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara
pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima
wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut nexus of
contract.
Perbedaan kepentingan ekonomis ini bisa saja disebabkan ataupun menyebabkan timbulnya
informasi asymmetri (Kesenjangan informasi) antara Pemegang Saham (Stakeholders) dan
organisasi. Diskripsi bahwa manajer adalah agen bagi para pemegang saham atau dewan direksi
adalah benar sesuai teori agensi.
Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri.
Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang
bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedang para agen disumsikan menerima
kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan
tersebut.
Karena perbedaan kepentingan ini masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi
diri sendiri. Principal menginginkan pengembalian yang sebesar2nya dan secepatnya atas
investasi yang salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi deviden dari tiap saham yang
dimiliki.
Agen
menginginkan
kepentingannya
diakomodir
dengan
pemberian
kompensasi/bonus/insentif/remunerasi yang memadai dan sebesar2nya atas kinerjanya.
Principal menilai prestasi Agen berdasarkan kemampuannya memperbesar laba untuk
dialokasikan pada pembagian deviden. Makin tinggi laba, harga saham dan makin besar deviden,
maka Agen dianggap berhasil/berkinerja baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi.
Sebaliknya Agen pun memenuhi tuntutan Principal agar mendapatkan kompensasi yang tinggi.
Sehingga bila tidak ada pengawasan yang memadai maka sang Agen dapat memainkan beberapa
kondisi perusahan agar seolah2 target tercapai. Permainan tersebut bisa atas prakarsa dari
Principal ataupun inisiatif Agen sendiri. Maka terjadilah Creative Accounting yang menyalahi
aturan, misal: adanya piutang yang tidak mungkin tertagih yang tidak dihapuskan; Capitalisasi
expense yang tidak semestinya; Pengakuan penjualan yang tidak semestinya; yang kesemuanya
berdampak pada besarnya nilai aktiva dalam Neraca yang mempercantik laporan keuangan
walaupun bukan nilai yang sebenarnya. Atau bisa juga dengan melakukan income smoothing
(membagi keuntungan ke periode lain) agar setiap tahun kelihatan perusahaan meraih
keuntungan, padahal kenyataannya merugi atau laba turun.

Salah satu hipotesis dalam teori ini adalah bahwa manajemen dalam mengelolah perusahaan
cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada meningkatkan nilai perusahaan.
Contoh nyata yang dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat disebabkan karena pihak
agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal (keunggulan informasi), sedangkan
dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri
(self-interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan (discretionary power).
Contoh lain Agency theory sebenarnya juga dapat dipahami dalam lingkup lembaga
kemahasiswaan. Pengurus yang dipercayakan menjadi perpanjangan tangan keluarga mahasiswa
untuk mengelolah organisasi menjadi agen yang idealnya mampu mengakomodasi semua
kepentingan keluarga. Namun, terkadang pengurus lembaga kemahasiswaan tak mampu
menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan pengurus lebih memilih melaksanakan
kepengurusan sesuai dengan keinginannya. Kepentingan keluarga menjadi terabaikan.
Pengembangan akuntansi kontemporer salah satunya adalah digunakannya Agency Theory dalam
menjustifikasi akuntansi positif. Menurut Baiman (1990), terdapat 3 model hubungan agensi
yaitu The Principal-Agent Model, The Transaction Cost Economics Model, The Rochester
Model.
Ketiganya memiliki dua kerangka kesamaan dan dua perbedaan. Kesamaannya, pertama,
ketiganya memahami ketentuan dan penyebab hilangnya efisiensi yang diciptakan oleh
divergensi antara perilaku kerjasama dan kepentingan individu; kedua, ketiganya menganalisa
dan memahami implikasi perbedaan proses pengendalian menghindari hilangnya efisiensi pada
masalah agensi. Sedangkan perbedaannya, pertama, menekankan perbedaan sumber-sumber
divergensi perilaku kerjasama dan kepentingan individu; kedua, menekankan perbedaan aspek
pada agenda riset pada umumnya; ketiga, pemodelan berhati-hati yang mendasari konteks
ekonomi yang menyebabkan timbulnyamasalah agensi; keempat, derivasi optimalisasi hubungan
kerja dan memahami bagaimana hubungan kerja yang meringankan masalah agensi; kelima,
komparasi hasil-hasil untuk melakukan observasi praktik model yang dipakai dan
menganalisanya.Artinya dalam kerangka umum model hubungan agensi memperlihatkan bahwa
manajer melakukan maksimasi expected utility agar dapat mempengaruhi desain kontrak kerja
mereka. Pemilik dan manajer secara bersama dibatasi biaya atas masalah agensi, sehingga
memerlukan insentif untuk mendesain kontrak yang mengurangi secara efisien masalah agensi.
Dua tokoh utama (principal dan agent) dalam interaksi bisnis tersebut sebenarnya mengarah pada
kepentingan yang sama, yaitu wealth (kekayaan). Bentuk ekstrim (extreme ways) dari agency
theory sendiri sebenarnya adalah ketika hubungan agensi dijadikan mekanis-matematis untuk
kepentingan legitimasi kepentingan mutualis insklusif.
Terdapat tiga masalah utama dalam hubungan agensi, yaitu :
1. Kontrol pemegang saham kepada manajer
2. Biaya yang menyertai hubungan agensi
3. Menghindari dan meminimalisasi biaya agensi

Hubungan agensi ini memotivasi setiap individu untuk memperoleh sasaran yang harmonis, dan
menjaga kepentingan masing-masing antara agen dan principal. Hubungan keagenan ini
merupakan hubungan timbal balik dalam mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing pihak
yang secara eksplisit dan sadar memasukkan beberapa penekanan seperti:
1. Kebutuhan principal akan memberikan kepercayaan kepada manajer dengan imbalan atau
kompensasi keuangan
2. Budaya organisasi yang berlaku dalam perusahaan
3. Faktor luar seperti karasteristik industri, pesaing, praktek kompensasi, pasar tenaga kerja,
manajerial dan isu-isu legal
4. Strategi yang dijalankan perusahaan dalam memenangkan kompetisi global
Ditegaskan oleh Watts (1992) bahwa hubungan agensi kaitannya dengan laporan keuangan
perusahaan sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan politik.
Hubungan agensi dengan demikian tidak dibangun dari akar self-interest, tetapi dengan cinta.
Cinta akan tetap memberi kemanfaatan materi, saling berbagi dan kebermaknaan hidup.
Mudahnya, bila konsep kekayaan hanya dipandang sebagai bentuk ekonomi semata, maka yang
terjadi adalah konflik kepentingan di atas hubungan kooperatif. Tetapi bila konsep kekayaan
dipandang sebagai bentuk trilogi, maka ada proses trust yang masuk dalam mekanisme
hubungan, trust yang didasari oleh cinta dan saling berbagi. Gagasan ini memang mirip seperti
model principal-agent yang lebih teoritis dan perlu diuji secara empiris, daripada mendekat pada
model positivist yang lebih empiris tetapi akan mereduksi konsep teoritis yang sebenarnya
penting seperti juga ditegaskan oleh Eisenhardt (1989).
Dalam rangka memotivasi para manajer dan pemegang saham agar berperilaku dalam sikap yang
memajukan tujuan perusahaan, Burdett dapat memberikan rekomendasi kepada dewan direksi,
yaitu :

Penilaian terhadap kinerja manajer dibuat dengan kontrak yang jelas sehingga
memotivasi agen bekerja dengan kepentingan terbaik principal

Principal memberikan pilihan rencana insentif jangka pendek dan jangka panjang dan
agen diberikan keleluasan dengan batasan yang menguntungkan kepentingan para
pemegang saham

Untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik tersebut, maka ada beberapa hal yang harus
dilakukan, diantaranya:
1. Penyusunan Standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa baik untuk
jabatan fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap
strategis dan kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi
(enforcement) tanpa ada pengecualian yang tidak masuk akal

2. Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan
adil dan terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang
sama dan adil untuk terpilih. Terpilih artinya walaupun pejabat lain diatasnya tidak
berkenan dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak ada alasan
logis untuk menolaknya ataupun memilih yang orang lain. Disinilah peran
profesionalisme dikedepankan
3. Akuntabilitas dan Transparansi setiap proses bisnis dalam organisasi agar
memungkinkan monitoring dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan
oknum2 dapat diketahui dan diberikan sangsi tanpa kompromi. Oknum2 tersebut harus
diumumkan pada publik dan tindakan apa yang telah diambil untuk menciptakan kontrol
agar tidak terjadi permainan sehingga oknum2 tersebut bisa lolos dari sangsi yang
berat. Oknum yang terbukti bersalah tidak berhak lagi mendapatkan penghargaan
sehingga dapat menimbulkan efek kapok bagi yang lain agar tidak berani mencobacoba. Hal yang sama juga diperlakukan pada pegawai/pejabat yang berprestasi, selain
diberi reward, juga diumumkan untuk memberi efek IDOL sehingga ditiru oleh
pegawai/pejabat lainnya.
Akhirnya, akuntansi menjadi alat yang powerfull untuk memberikan keuntungan yang sebesarbesarnya kepada pemilik modal di satu sisi, juga dapat memberikan manfaat injeksi modal dan
investasi yang makin besar dan linier kepada agen dari pemilik modal, yaitu manajemen
perusahaan, dalam mengelola perusahaan.

Teori keagenan (Agency theory)


Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis
perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori
ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini
menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu
investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer.
Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut
dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang
muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari
perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku
manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara
pemegang saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini hubungan
antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya
kepentingan yang saling bertentangan.
Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu
orang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan
suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan
kepada agent tersebut. Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada
kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information) karena agent
berada pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan
dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak
untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri
yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa
informasi yang tidak diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut,
agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan
keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan
membatasi perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance. Prinsipprinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk
terselenggaranya praktik good corporate governance adalah; transparansi

(transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), dan responsibilitas


(responsibility). Corporate governance diarahkan untuk mengurangi asimetri
informasi antara principal dan agent yang pada akhirnya diharapkan dapat
meminimalkan tindakan manajemen laba.

Kemudian, masalah keagenan juga akan timbul jika pihak manajemen atau
agen perusahaan tidak atau kurang memiliki saham biasa perusahaan tersebut.
Karena dengan keadaan ini menjadikan pihak manajemen tidak lagi berupaya untuk
memaksimumkan keuntungan perusahaan dan mereka berusaha untuk mengambil
keuntungan dari beban yang ditanggung oleh pemegang saham. Cara yang
dilakukan pihak manajemen adalah dalam bentuk peningkatan kekayaan dan juga
dalam bentuk kesenangan dan fasilitas perusahaan. Dijelaskan dalam Jensen dan
Meckling (1976), Jensen (1986), Weston dan Brigham (1994), bahwa masalah
keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu; (1)antara pemegang
saham dan manajer, dan (2)antara pemegang saham dan kreditor. Jika suatu
perusahaan berbentuk perusahaan perorangan yang dikelola sendiri oleh
pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajerpemilik tersebut akan
mengambil setiap tindakan yang mungkin, untuk memperbaiki kesejahteraannya,
terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan perorangan dan juga dalam
bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika manajer mempunyai porsi
sebagai pemilik dan mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk
perseroan dan menjual sebagian saham perusahaan kepada pihak luar, maka
pertentangan kepentingan bisa segera timbul. Keadaan ini menjadikan manajer
mungkin saja tidak sedemikian gigih lagi untuk memaksimumkan kekayaan
pemegang saham karena jatahnya atas kekayaan tersebut telah berkurang sesuai
dengan pengurangan kepemilikan mereka. Atau mungkin saja manajer menetapkan
gaji yang besar bagi dirinya atau menambah fasilitas eksekutif, karena sebagian di
antaranya akan menjadi beban pemegang saham lainnya.
Konflik antara pemegang saham dengan kreditur Kreditur menerima uang
dalam jumlah tetap dari perusahaan (bunga hutang),sedangkan pendapatan
pemegang saham bergantung pada besaran laba perusahaan.Dalam situasi ini,
kreditur lebih memperhatikan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali

utangnya, dan pemegang saham lebih memperhatikankemampuan perusahaan


untuk memperoleh kembalian yang besar adalah melakukaninvestasi pada proyek
proyek yang berisiko. Apabila pelaksanaan proyek yang berisiko itu berhasil maka
kreditur tidak dapat menikmati keberhasilan tersebut, tetapiapabila proyek
mengalami kegagalan, kreditur mungkin akan menderita kerugianakibat dari
ketidakmampuan pemegang saham untuk memenuhi kewajibannya.Untuk
mengantisipasi kemungkinan rugi, maka kreditur melakukan
pembatasan penggunaan hutang oleh manajer. Salah satu pembatasan adalah
membatasi jumlah penggunaan hutang untuk investasi dalam proyek baru.Konflik
antara pemegang saham dengan pihak manajemenWalaupun telah dilakukan
kontrak kerja yang sah antara pihak principal dan agent,namun di sisi lain pihak
agent memiliki pengetahuan yang lebih banyak mengenai perusahaan (full
information) dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pihak principal.
Pengetahuan yang lebih banyak dimiliki oleh pihak agentdibandingkan dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh pihak principal ini membuatterbentuknya suatu
asimetri information atau asymetric information
Teori Akuntansi Keuangan Agency Theory
Adanya asimetri informasi ini menyebabkan kemungkinan munculnya konflik
antara pihak principal dan agent. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi
sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self
interest ),(2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang( bounded rationality ), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk
adverse).Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa
informasi yangdihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan
reliabilitasnya dan dapatdipercaya tidaknya informasi yang disampaikan (Muh.Arief
Ujiyantho). Asimetriinformasi ini juga pada akhirnya dapat memberikan kesempatan
bagi para manajer untuk melakukan manajemen laba sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan pribadinya.
Jensen dan Meckling dalam Isnanta (2008), menyatakan bahwa teori
keagenan mendeskripsikan pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen
sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham
untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan

sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik


pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan
semua upayanya kepada pemegang saham. Karena unit analisis dalam teori
keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen,
maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang
mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Untuk memotivasi agen maka
prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan pihakpihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak
yang memenuhi dua faktor, yaitu :
1.

Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun

majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat
informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri
2.

Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang

berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang


diterimanya.
Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer
berada didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi
mengenai perusahaan,sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah
datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini
menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen
dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali
perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak dibandingkan
dengan prinsipal. Di samping itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka
tindakan agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan demikian, membuka peluang
agen untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan
yang tidak semestinya atau sering disebut disfunctional behaviour, dimana tindakan
ini dapat merugikan prinsipal, baik memanfaatkan aset perusahaan untuk
kepentingan pribadi, maupun perekayasaan kinerja perusahaan.
Salah satu hipotesis dalam teori ini adalah bahwa manajemen dalam mengelolah
perusahaan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada
meningkatkan nilai perusahaan.
Contoh nyata yang dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan dapat disebabkan
karena pihak agensi memiliki informasi keuangan daripada pihak prinsipal

(keunggulan informasi), sedangkan dari pihak prinsipal boleh jadi memanfaatkan


kepentingan pribadi atau golongannya sendiri (self-interest) karena memiliki
keunggulan kekuasaan (discretionary power).
Contoh lain Agency theory sebenarnya juga dapat dipahami dalam lingkup lembaga
kemahasiswaan. Pengurus yang dipercayakan menjadi perpanjangan tangan
keluarga mahasiswa untuk mengelolah organisasi menjadi agen yang idealnya
mampu mengakomodasi semua kepentingan keluargaNamun, terkadang pengurus
lembaga kemahasiswaan tak mampu menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan
pengurus lebih memilih melaksanakan kepengurusan sesuai dengan keinginannya.
Kepentingan keluarga menjadi terabaikan.

Anda mungkin juga menyukai