Anda di halaman 1dari 32

PTERIGIUM

(CASE REPORT)

Preceptor:
dr. M. Yusran, Sp.M

Oleh:
Amanda Samurti Pertiwi

1018011038

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA


RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT

Karena atas rahmat-Nya sehingga kami dapat

menyelesaikan laporan kasus yang berjudul "PTERIGIUM tepat pada waktunya. Adapun
tujuan pembuatan laporan ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan Kepanitriaan Klinik Bagian Mata di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek Bandar
Lampung.
Kami mengucapkan Terima kasih kepada dr. M. Yusran, Sp.M. yang telah meluangkan
waktunya sebagai pembimbing laporan kasus ini. Kami menyadari banyak sekali kekurangan
dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk kami, tetapi juga bagi siapa pun yang
membacanya.

Bandar Lampung,26 Januari 2015.

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva bulbi yang bersifat
degeneratif dan invasif. Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian
nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal.
Pterigium banyak terdapat pada orang dewasa, tetapi dijumpai pula pada anak-anak, baik lakilaki maupun perempuan. Di Amerika Serikat, pasien pterigium lebih kurang 2%, diatas umur 40
tahun dan meningkat pada kalangan yang sering terpapar sinar ultraviolet tinggi. Laki-laki dua
kali lebih banyak terkena dibandingkan perempuan.

BAB II
3

LAPORAN KASUS
1. Identitas pasien
Nama

: Ny. C

Umur

: 60 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Sukamaju

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Tanggal pemeriksaan

: 13 Januari 2015

2. Anamnesis
Keluhan Utama : Kedua mata penglihatan kabur perlahan sejak setengah bulan yang lalu
Keluhan Tambahan : Kedua mata terasa perih, mengganjal, dan berair sejak setengah bulan
yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RSAM dengan keluhan penglihatan kedua mata kabur perlahan, terasa
perih, terasa mengganjal dan berair sejak setengah bulan yang lalu. Pandangan seperti
melihat terowongan disangkal, keluhan sakit kepala disertai rasa sakit pada mata dan mual
muntah juga disangkal oleh pasien. Mata merah (-), gatal (-), kotoran mata (-), gambaran
berasap disangkal dan keluhan ini mengganggu aktivitas sehari-harinya.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit serupa (-), riwayat diabetes mellitus (-), riwayat hipertensi (-), riwayat
trauma pada mata (-)
Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial:
Pasien mengakui ada keluarga yang mengalami penyakit serupa yaitu kakak pasien. Pasien
merupakan seorang ibu rumah tangga.
Riwayat alergi: Riwayat alergi makanan (-), alergi obat-obatan (-), dan asma (-).

3. Pemeriksaan Fisik
4

Status Generalis
KU

: Baik

Keadaan sakit

: Sedang

Kesadaran/GCS

: Compos mentis/E4V5M6

Keadaan gizi

: Cukup

Sistem Kardiovaskuler

: dalam batas normal

Sistem respirasi

: dalam batas normal

Kulit

: dalam batas normal

Ekstremitas

: dalam batas normal

Pemeriksaan Tanda Vital


Tekanan darah

: 120/90 mmHg

Nadi

: 88 kali/menit

Frekuensi Napas

: 20 kali/menit

Suhu

: 36,6oC

DEXTRA

SINISTRA

1/60

Visus

5/60

Tidak dilakukan

Koreksi

Tidak dilakukan

Dalam batas normal

Supersilia

Dalam batas normal

Edema (-), spasme (-)

Palpebra superior

Edema (-), spasme (-)

Edema (-), spasme (-)

Palpebra inferior

Edema (-), spasme (-)

Dalam batas normal


Orthoforia (-),

Silia

Dalam batas normal

eksoftalmus (-),

Bulbus oculi

strabismus (-)

Orthoforia (-), eksoftalmus (-),


strabismus (-)

Baik ke segala arah

Gerakan bola mata

Baik ke segala arah

tampak selaput

Conjungtiva bulbi

tampak selaput berbentuk


5

berbentuk segitiga dari

segitiga dari arah nasal

arah nasal mencapai


pupil
Sekret (-)
Hiperemis (-)

mencapai pupil
Conjungtiva fornices

Sikatrik (-)
Siliar injeksi (+)

Conjungtiva palpebra

Sekret (-)
Hiperemis (-)

Sclera

Sikatrik (-)
Siliar injeksi (+)

Jernih

Cornea

Jernih

Kedalaman cukup
Gambaran Kripta Baik,

Camera oculi anterior

Kedalaman cukup
Gambaran Kripta Baik, warna

warna coklat
Bulat, regular, sentral,

Iris

coklat
Bulat, regular, sentral,

3 mm, reflek cahaya

Pupil

(+)
Jernih

Lensa

Jernih

Tidak diperiksa

Fundus refleks

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

Corpus vitreum

Tidak diperiksa

T dig N

Tensio oculi

T dig N

Dalam batas normal

Sistem canalis Lacrimalis

Dalam batas normal

3 mm, reflek cahaya (+)

Gambar 1.Pemeriksaan Fisik pada Oculi Dextra

Gambar 2.Pemeriksaan Fisik pada Oculi Sinistra

4. Resume
Pasien wanita 60 tahun datang ke RSAM dengan keluhan kedua mata pandangan kabur
perlahan sejak setengah bulan yang lalu, pasien juga mengeluh di matanya seperti ada yang
mengganjal, perih, dan berair. Riwayat penyakit serupa sebelumnya disangkal, riwayat trauma
disangkal. Selain itu kakak pasien pernah mengalami hal serupa.
Pada pemeriksaan Generalis, Keadaan umum baik, Kesadaran compos mentis, Nadi :
88x/menit, RR : 20x/menit, Suhu : 36,6C, TD : 120/90 mmHg, Sistem kardiovaskular dalam
batas normal, sistem respirasi dalam batas normal, kulit dalam batas normal, ekstremitas
dalam batas normal.
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 1/60, VOS 5/60. Pada mata kanan dan kiri
ditemukan selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupil berwarna putih
kemerahan, kornea jernih, lensa jernih, terdapat injeksi siliar dan tidak ditemukan adanya
injeksi konjungtiva.
5.Diagnosis
ODS pterigium nasal grade 4
6. Diagnosis Banding
ODS pseudopterigium
ODS pinguekula
7. Planning
- Pemeriksaan tes sondase
- Tatalaksana
7

Pembedahan (pterygium yang dapat mengganggu refraksi atau bisa dengan alasan
kosmetik)
1. Bare sclera : Melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon
rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
2. Mcreynolds : Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam
konjungtiva.
3. Autograf konjungtiva : Teknik pembedahan yang paling banyak digunakan
saat ini untuk mengatasi adanya kekambuhan pterygium.

Farmakologik
Tanpa operasi : steroid topikal
Setelah operasi :
1. Gentamicin salep mata 1 x 1 ( tiap malam )
2. Cendo Lytrees ED 3 x 1 tetes ODS
3. Asam Mefenamat 500mg 3 x 1 tab

Non farmakologik
1. Menghindari pajanan matahari, menghindari debu
2. Menggunakan kacamata atau topi sebagai pelindung

8. Prognosis
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Quo ada sanationam

: ad bonam

Tanggal
13-01-2015

Follow Up
s/ penglihatan kedua mata kabur, mata kiri berair
o/ TD: 120/90mmHg
RR: 20x/m

N: 88x/m
T: 36,6C

VOD: 1/60, selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupil
berwarna putih kemerahan, kornea jernih, lensa jernih, terdapat injeksi
siliar
8

VOS: 5/60, selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupil
berwarna putih kemerahan, kornea jernih, lensa jernih, terdapat injeksi
siliar
14-01-2015

a/ ODS pterigium nasal grade 4


s/ penglihatan kedua mata masih kabur
o/ TD: 120/80mmHg
RR: 20x/m

N: 80x/m
T: 36,4C

VOD: 1/60, sekret (+), kornea jernih, lensa keruh sebagian, terdapat
injeksi siliar
VOS: 5/60, selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupil
berwarna putih kemerahan, kornea jernih, lensa jernih, terdapat injeksi
siliar
a/ OD post ekstervasi pterigium (autograph konjungtiva) + OD katarak
senilis imatur + OS pterigium nasal grade 4

Mata kanan

Mata kiri

BAB III
ANALISIS KASUS

IDENTIFIKASI MASALAH
Daftar masalah yang terjadi pada pasien adalah :
1. Penglihatan kabur pada mata ?
2. Mata seperti ada yang mengganjal ?
3. Ditemukan jaringan pada bagian ODS ?
4. Apakah diagnosa sudah tepat ?
5. Apakah tatalaksana sudah tepat ?
1. Penglihatan kabur
Mata kabur dapat disebabkan oleh kelainan yang timbul mulai dari bagian mata anterior,
mata posterior, dan jaras visual neurologik. Jadi, harus dipertimbangkan terjadinya
pengeruhan atau gangguan pada media, perdarahan dalam vitreus, gangguan fungsi retina,
nervus optikus atau jaras visual intrakranial atau pembentukan fibrovaskular.

Pada

pemeriksaan awal pasien tidak ada ditemukan lensa yang keruh, TIO yg tinggi,
perdarahan. Pada pasien hanya ditemukan adanya pembentukan fibrovaskular. Disini
dapat dilihat bahwa pasien ini mengalami pterygium dimana penyakit ini bisa membuat
penglihatan kabur apabila pertumbuhan fibrovaskularnya sudah mencapai kornea (zona
optik). Namun setelah dilakukan pembedahan untuk pengangkatan pterigium, didapatkan
pada lensa mata kanan pasien mengalami keruh sebagian yang menunjukkan terdapat
katarak senilis imatur pada mata kanan pasien yang menyebabkan menurunnya
penglihatan pasien selain karena pterigium.
2. Mata seperti ada yang mengganjal
Mata yang mengganjal bisa diakibatkan adanya peradangan di palpebra, adneksa,ataupun
segmen anterior. Pada pasien tidak ditemukan adanya edema pada palpebradan adneksa,
ataupun peradangan pada konjungtiva. Tidak ditemukan adanya secret yang berlebih.

10

Pada pasien ditemukan adanya penebalan konjungtiva bulbi hingga kornea dimana hal ini
dapat mengakibatkan ada rasa ganjalan pada mata saat berkedip.
3. Ditemukan jaringan pada kedua mata
Pertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa diakibatkan oleh suatu penyakit akibat
pinguekula, pseudopterygium, dan pterygium. Pinguekula dapat disingkirkan karena
pinguekula tidak bisa tumbuh hingga kornea, sedangkan pada pasien ditemukan
pertumbuhan jaringan hingga kornea. Sedangkan pseudopterygium terjadi akibat adanya
tukak kornea. Pterygium merupakan diagnosis yang tepat pada pasien ini karena tampak
penebalan pada konjungtiva bulbi dari arah nasal yang berbentuk segitiga dengan bagian
puncak pterygium melewati pinggir pupil. Tampakan klinis ini merupakan
gambaran khas dari pterygium, yang pertumbuhannya biasanya dari arah nasal (paling
sering) dan dari arah temporal dengan apex atau puncaknya tumbuh ke arah sentral (ke
arah kornea).
4. Apakah diagnosa sudah tepat ?
Alasannya :
Diagnosis ditetapkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik
Pada anamnesa didapatkan :
Pasien datang dengan keluhan mata kanan dan kiri terasa seperti ada yang mengganjal
sejak setengah bulan SMRS, keluhan juga disertai dengan semakin lama penglihatan
semakin kabur.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
VOD : 1/60 dan VOS : 5/60 dan tampak selaput berbentuk segitiga dari arah nasal
mencapai pupil.
Hal ini sesuai dengan literatur dimana gejala yang ditimbulan dari pterygium.Beberapa
keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa
seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium
11

lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
menurun.
5. Apakah tatalaksana sudah tepat ?
Untuk penatalaksanaan pterygium yang paling tepat adalah tindakan dimeja operasi
dengan membuang/mengangkat bagian pterigum yang menutupi konjungtiva sampai
kornea, tindakan operasi dilakukan karena pasien sudah masuk ke grade III-IV. Karena
bila hanya diberikan medikamentosa hanya mengurangi dari gejala gejala yg diderita oleh
pasien.
Ada pun indikasi pembedahan :
a. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
b. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
c. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
d. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
12

A. KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak
mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas
maupun bawah.Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior.
Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm
dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus
konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan
inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan
karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral,
forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak
mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini,
konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat
dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai
pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi
medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara
konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan
bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat
sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung
perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal
konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra
merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
13

Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva


bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera
dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera
melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah.
Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula
tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan
sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain
halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya
konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia
muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya
bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata
ketika otot-otot tersebut berkontraksi.

Gambar 3.Konjugtiva
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang
umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang
sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
14

profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal.
Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat.Sel-sel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang
terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
prakornea secara merata.
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat
limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan
adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini
menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan
mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung
yang melekat pada lempeng tarsus.Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada
radang konjungtiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.Kelenjar lakrimal aksesorius
(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di
dalam stroma.Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks
bawah.Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.

B. PTERYGIUM
I.

DEFINISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif.Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
15

ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.Pterygium berbentuk segitiga


dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan
bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah.
Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.
Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke
kornea dengan puncak segitiga di kornea.

Gambar 4. Pterygium

II.

EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering.Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37 0 lintang utara dan
selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada
daerah di atas lintang 400.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan
ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan
angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang
bawah.Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan.Insiden tinggi pada umur
antara 20-49 tahun.Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan

16

umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.
III.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya matahari, dan
udara yang panas.Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang dan degenerasi.
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan
bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan
sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih
embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel),
perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan
pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis.
Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya
jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi.Lapisan epitel dapat saja
normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan
lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium.Orang yang banyak
menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering
mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan
aktivitas di dalam ruangan.Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah
petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun.Kebanyakan timbulnya
pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor
herediter).
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal.Penyebab dominannya
pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan
disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut.Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping
(side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut.
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai
tumor.Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya
17

reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang
merupakan penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini
merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol
daripada kelainan degeneratif.
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan

sinar

matahari

merupakan

faktor

yang

penting

dalam

perkembangan terjadinya pterigium.Hal ini menjelaskan mengapa insidennya


sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada
orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah
alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B
merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa
apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.Selanjutnya perubahan
patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial.Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman
akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia
dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium
terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.Distribusi
ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir
menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih
tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama
18

kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36
kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap
rokok pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.

IV.

PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari,
walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap
angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor
supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus.Ekspresi berlebihan sitokin
seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi
kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular.Jaringan

subkonjungtiva

mengalami

degenerasi

elastoid

(degenerasi

basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansi
propia yang akhirnya menembus kornea.Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran
Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai
dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat
yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan
kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea.Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.Gejala dari defisiensi
limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
19

ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta
proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel.Pada pemeriksaan histopatologi daerah
kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia
dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman
oleh jaringan fibrovascular sangat khas.Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin
acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia
dari sel goblet.

V.

KLASIFIKASI PTERYGIUM
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:

1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :


-

Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala
pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi
ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih
cepat.

Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren
tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapilerkapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau
rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.

Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan
20

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:


o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm).
o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

Gambar 5. Pterigium stadium 1

Gambar 7.Pterigium stadium 3

Gambar 6. Pterigium stadium 2

Gambar 8. Pterigium stadium 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


-

Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea


di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

21

Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk


membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus


diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
-

T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal dan temporal
pada satu mata pasien.
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama
sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak
merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik,
pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga
tajam penglihatan menurun.

collum

corpus

Pterigium memiliki tiga bagian :


apeks

i Bagian kepala atau cap (apex) , biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
ii Bagain whitish(collum), Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah
lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

22

iii Bagian badan atau ekor (corpus), merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan
merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling
penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah
dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gangguan
penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya diplopia, biasanya penderita
mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya
keganasan atau alasan kosmetik, keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada
yang mengganjal.Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang,
riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang
tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjuntiva.Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada
juga pterigium yang avaskuler dan flat.Perigium paling sering ditemukan pada
konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium
pada daerah temporal.

Pemeriksaan penunjang
23

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi


kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme

ireguler yang

disebabkan oleh pterigium.

IX.

PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium
yang melebihi derajat 2.Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1
atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan.Pengobatan tidak diperlukan karena
bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.Bila pterigium meradang dapat
diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.Lindungi mata yang terkena pterigium
dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid .Bila terdapat delen (lekukan
kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.Bila diberi vasokonstriktor maka perlu
control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk
gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata.Eksisi pterigium
bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang
licin.Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan
menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai,
namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena
kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah
jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi
hingga 5% adalah conjunctival autograftDimana pterigium yang dibuang digantikan
dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang
24

secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan
sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.
Pada

pterigium

derajat

3-4

dilakukan

tindakan

bedah

berupa

avulsi

pterigium.Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas


pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva
bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan.Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi
seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.
Indikasi Operasi pterigium
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea.Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel.Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah
pertama untuk perbaikan.Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung
pterigium dari kornea yang mendasarinya.Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.

1. Teknik Bare Sclera

25

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera


untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif.Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva
dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut.
LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar
untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan
teknik ini.
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok

membran

amnion

juga

telah

digunakan

untuk

mencegah

kekambuhan pterigium.Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini


belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran
amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.
Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen
dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan
pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah
pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera ,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa
studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok
membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya.Lemfibrin juga telah
digunakan dalam autografts konjungtiva.

Terapi Tambahan
26

Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan
terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia.Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas.Efeknya mirip dengan iradiasi beta.Namun, dosis minimal
yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan
penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data
yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk
nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong
dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan
pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama
6minggu,

diberikan

bersamaan

dengan

salep

antibiotik

Chloramphenicol,

dan

steroidselama 1 minggu.

27

Gambar 9. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,


(b).Pterygium removed,(c).Leaving bare area,(d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place
X.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.Pinguekula
merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orangtua, terutama yang
matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas.Yang
membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan
hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang.
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.
Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak
sekunder penyakit peradangan pada kornea.Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian
apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan
secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.

28

Gambar 10. Pinguekula

XI.

Gambar 11. Pseudopterigium

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :
-

Distorsi dan penglihatan berkurang

Mata merah

Iritasi

Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat menyebabkan
terjadinya diplopia.

Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:


-

Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, conjungtiva graft
longgar dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment.

Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau melting


pada sclera dan kornea.

29

Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren pterygium post
operasi.

XII.

PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran
amnion.
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada konjungtiva dan tumbuh
menginfiltrasipermukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk
segitiga dengan kepala/apex menghadap kesentral kornea dan basis menghadap lipatan
semilunar pada cantus. Etiologi pterigium masih belum jelas namun terdapat beberapa
faktor resiko pterigium antara lain paparan ultraviolet, mikrotrauma kronis pada mata,
infeksi mikroba atau virus. Pterigium dibagi atas 4 stadium berdasarkan stadiumnya, mulai
dari hanya sebatas limbus hingga melewati pupil. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, seperti pada kasus. Tatalaksana terbagi atas konservatif
dan pembedahan. Prognosis pterigium adalah baik.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.p.2-7,117.
2. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.
3. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
4. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08]. Available from :
http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
5. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In : External Disease and Cornea.
San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.
Riordan, Paul dkk. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, Jakarta; EGC
Perdami.2006. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum & Mahasiswa Kedokteran,Perdami
Iljas, S. 2007. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
9.

31

32

Anda mungkin juga menyukai

  • Ringkasan Zoom Rabu
    Ringkasan Zoom Rabu
    Dokumen1 halaman
    Ringkasan Zoom Rabu
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Ringkasan Zoom Rabu
    Ringkasan Zoom Rabu
    Dokumen1 halaman
    Ringkasan Zoom Rabu
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Pertanyaan ATLM Mikro
    Pertanyaan ATLM Mikro
    Dokumen1 halaman
    Pertanyaan ATLM Mikro
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Checklist Jaga Bawah
    Checklist Jaga Bawah
    Dokumen11 halaman
    Checklist Jaga Bawah
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • SK Kehilangan STR
    SK Kehilangan STR
    Dokumen2 halaman
    SK Kehilangan STR
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Format Kertas Opj
    Format Kertas Opj
    Dokumen1 halaman
    Format Kertas Opj
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Notulensi 20 Januari 2023
    Notulensi 20 Januari 2023
    Dokumen3 halaman
    Notulensi 20 Januari 2023
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • OPTIMALKANPATKLIN
    OPTIMALKANPATKLIN
    Dokumen10 halaman
    OPTIMALKANPATKLIN
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Kinerja Bidan
    Kuesioner Kinerja Bidan
    Dokumen47 halaman
    Kuesioner Kinerja Bidan
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Tata Cara Registrasi PDF
    Tata Cara Registrasi PDF
    Dokumen2 halaman
    Tata Cara Registrasi PDF
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • SIE Ilmiah Biaya
    SIE Ilmiah Biaya
    Dokumen3 halaman
    SIE Ilmiah Biaya
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • 1 Proses Pendidikan Spesialis FK UP (WD-1)
    1 Proses Pendidikan Spesialis FK UP (WD-1)
    Dokumen27 halaman
    1 Proses Pendidikan Spesialis FK UP (WD-1)
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Kinerja Bidan 1 PDF
    Jurnal Kinerja Bidan 1 PDF
    Dokumen13 halaman
    Jurnal Kinerja Bidan 1 PDF
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Mitos Seputar Gigi Materi Prolanis
    Mitos Seputar Gigi Materi Prolanis
    Dokumen25 halaman
    Mitos Seputar Gigi Materi Prolanis
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Isi
    Isi
    Dokumen61 halaman
    Isi
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Evapro Amanda
    Evapro Amanda
    Dokumen58 halaman
    Evapro Amanda
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Daftar Obat
    Daftar Obat
    Dokumen7 halaman
    Daftar Obat
    Amanda Samurti Pertiwi
    100% (1)
  • Jurnal Kinerja Bidan PDF
    Jurnal Kinerja Bidan PDF
    Dokumen5 halaman
    Jurnal Kinerja Bidan PDF
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • CR RHD
    CR RHD
    Dokumen50 halaman
    CR RHD
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • KDS
    KDS
    Dokumen6 halaman
    KDS
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • HSP
    HSP
    Dokumen4 halaman
    HSP
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Amanda S. P. 1018011038
    Amanda S. P. 1018011038
    Dokumen33 halaman
    Amanda S. P. 1018011038
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • KDRT-RUMAH
    KDRT-RUMAH
    Dokumen32 halaman
    KDRT-RUMAH
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Gea
    Gea
    Dokumen7 halaman
    Gea
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Trauma Vesika Urinaria
    Trauma Vesika Urinaria
    Dokumen34 halaman
    Trauma Vesika Urinaria
    Amanda Samurti Pertiwi
    100% (1)
  • Skizoafektif Dan Psikosis
    Skizoafektif Dan Psikosis
    Dokumen65 halaman
    Skizoafektif Dan Psikosis
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • CR Depresif Fix
    CR Depresif Fix
    Dokumen21 halaman
    CR Depresif Fix
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Ver
    Ver
    Dokumen2 halaman
    Ver
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Hipokalemia
    Hipokalemia
    Dokumen31 halaman
    Hipokalemia
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat
  • Refleksi Kasus Amanda
    Refleksi Kasus Amanda
    Dokumen13 halaman
    Refleksi Kasus Amanda
    Amanda Samurti Pertiwi
    Belum ada peringkat