Anda di halaman 1dari 6

METODE KONSTRUKSI HUKUM

Dalam pembuatan Undang-Undang memiliki dua aspek penting,


yaitu

pembuat

Undang-Undang

hanya

menetapkan

peraturan-

peraturan umum saja, pertimbangan-peritmbangan tentang hal-hal


yang konkret diserahkan kepada hakim ; pembuat Undang-Undang
selalu ketinggalan dengan kejadian-kejadian sosial yang timbul
kemudian di dalam masyarakat, maka hakim sering menambah
Undang-Undang itu. Menurut Scholten, hukum itu merupakan suatu
sistem terbuka. Dalam hukum yang ketinggalan itu terdapat banyak
kekosongan di dalam sistem hukum yang terpaksa harus diisi oleh
hakim dengan pengisian atau penambahan itu tidak membawa
perubahan principal pada sistem hukum yang berlaku.
Apabila perkara yang diajukan kepada hakim

tidak

ada

ketentuan yang berlaku dalam perundang-undangan yang mesikipun


sudah ditafsirkan secara bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis
dan juga hukum kebiasaan dan hukum adat tidak ada yang dapat
menyelesaikannya maka hakim membuat suatu pengertian hukum
yang mengandung persamaan. Pengertian ini merupakan asas hukum
yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan dengan
mencari asas hukum yang mendasar dari peraturan hukum yang
bersangkutan atau konstruksi hukum.
Metode konstruksi hukum digunakan oleh hakim pada saat Ia
dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum)
atau

kekosongan

undang-undang

(wet

vacuum),

karena

pada

prinsipnya, hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan


dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya (asas ius
curia novit). Hakim harus terus menggali dan menemukan hukum
yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, karena
sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.

Para hakim dalam melakukan konstruksi dalam penemuan dan


pemecahan masalah hukum, harus mengetahui tiga syarat utama
yaitu: (1) konstruksi harus mampu meliput semua bidang hukum
positif yang bersangkutan, (2) dalam pembuatan konstruksi tidak
boleh ada pertentangan logis di dalamnya, (3) konstruksi kiranya
mengandung faktor keindahan dalam arti tidak dibuat-buat, tetapi
dengan dilakukan konstruksi persoalan yang belum jelas dalam
peraturan-peraturan

itu

diharapkan

muncul

kejelasan-kejelasan.

Konstruksi harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang


sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan tidak
menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan. Sedangkan
tujuan dari konstruksi adalah agar putusan hakim dalam peristiwa
konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi
pencari keadilan.
A. Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)
Analogi merupakan metode penemuan hukum di mana hakim
mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau
perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun
yang belum ada peraturannya. Di sini hakim bersikap seperti
pembentuk undang-undang yang mengetahui adanya kekosongan
hukum, akan melengkapi kekosongan itu dengan peraturan-peraturan
yang serupa dengan mencari unsur-unsur. Persamaannya dengan
menggunakan penalaran pikiran secara analogi. Jika pemakaian
analogi dilaksanakan secara baik, maka akan memecahkan problem
yang dihadapi itu dengan menemukan hukum yang baru pula dengan
tidak meninggalkan unsur-unsur yang ada dalam peraturan yang
dijadikan persamaan itu.
Metode analogi sebagai salah satu jenis konstruksi hukum
biasanya sering digunakan dalam lapangan hukum perdata, dan hal
ini tidak akan menimbulkan persoalan, sedangkan penggunaannya
dalam hukum pidana sering menjadi perdebatan di kalangan para
2

yuris, karenaada yang setuju dan ada pula yang enolakknya. Akan
tetapi, sebagian besar negara-negara hukum (rechtstaat) dan ahli
hukum di dunia tidak menerima analogi untuk diterapkan dalam
hukum pidana, sehingga hal ini berpengaruh pada asas legalitas
dalam hukum pidana, yang tidak membolehkan sifat retroaktif atau
berlaku surut suatu peraturan perundang-undangan.
Walaupun metode analogi dilarang digunakan oleh hakim,
tetapi menurut doktrin, ada 2 (dua) teori yang dapat digunakan oleh
hakim apabila akan menerobos larangan tersebut yaitu sebagai
berikut:
1. Teori Aksi, yang dikemukakan oleh Talcott Parsons
Menurut teori ini hakim dapat meilih penggunaan analogi
tersebut, dengan konsep voluntarism, yaitu kemampuan
individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara
atau

alat

sejumlah

alternatif

tersedia

dalam

rangka

mencapai tujuan. Aktor menurut konsep voluntarism ini


adalah

pelaku

aktif

dan

kreatif

serta

mempunyai

kemampuan untuk menilai dan memilih dari alternatif


tindakan.
2. Teori Psikologi Humanistik
Salah seorang penganutnya
Menurut teori ini

adalahAbraham

Maslow.

manusia adalah makhluk yang bebas

dalam menentukan tujuannya. Potensi kreatif merupakan


potensi yang umum pada manusia. Dalam halini hakim
adalah makhluk bebas yang dapat menentukan tindakan
atau putusannya.
B. Metode Argumentum a Contrario
Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang
menetapkan

hal-hal

tertentu

untuk

peristiwa

tertentu,

berarti

peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwa di


luarnya berlaku kebalikannya.

Esensi dari metode ini adalah

mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertiannya


antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur
dalam undang-undang. Tujuan argumentum a contrario ini adalah
untuk mengisi kekosongan hukum atau ketidaklengkapan undangundang, Jadi, argumentum a contrario bukan merupakan argumentasi
untuk membenarkan rumusan peraturan tertentu.
Sedangkan Sudikno Mertokusumo mengemukakan

bahwa

argumentum a'contrario titik beratnya diletakkan pada ketidakpastian


peristiwanya. Di sini diperlakukan segi negatif dari undang-undang,
Hakim menemukan peraturan untuk peristiwa yang mirip, di sini
hakim mengatakan "peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang
tidak diatur, tetapi secara kebalikannya". Dalam hal ketidaksamaan
ada unsur kemiripan.
Misalnya seorang duda yang hendak kawin lagi tidak tersedia
peraturan yang khusus. Peraturan yang tersedia bagi peristiwa yang
tidak sama tetapi mirip, ialah bagi janda yaitu Pasal 39 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Bagi janda yang hendak kawin lagi
harus menunggu masa iddah. Maka Pasal itu juga diberlakukan untuk
duda secara argumentum a contrario, sehingga duda kalau hendak
kawin lagi tidak perlu menunggu.
C. Metode Penyempitan/Pengkonkretan Hukum
Kontruksi model ini merupakan pengkonkretan terhadap suatu
masalah hukum (rechtsvervijnings) yang tersebut dalam peraturan
perundang-undangan,

karena

peraturan

perundang-undangan

tersebut terlalu umum dan sangat luas ruang lingkupnya. Agar dapat
dipergunakan dalam menemukan hukum terhadap suatu perkara
yang sedang diperiksa, masalah hukum yang sangat luas itu
dipersempit ruang lingkupnya sehingga dapat diterapkan dalam suatu
perkara secara konkrit.
Dalam metode ini dibentuklah pengecualian-pengecualian atau
penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan yang bersifat
umum. Peraturan yang bersifat umum ini diterapkan terhadap

peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau


konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
Pasal 1365 KUH Perdata dapat dijadikan contoh dalam metode
ini. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian
kepada

orang

lain,

mewajibkan

orang

yang

karena

salahnya

menertibkan kerugian itu, mangganti kerugian tersebut.


Banyak pertanyaan yang muncul seperti apakah perbuatan
melawan hanya sebatas undang-undang atau lebih luas lagi, maka
jika akan diterapkan pada peristiwa konkretnya hakim harus terlebih
dahulu mempersempit ruang lingkupnya dan dihubungkan dengan
peristiwa

konkret

tersebut.

Dapat

dijelaskan

secara

empiris,

perbuatan melawan hukum ditafsirkan lebih sempit, yaiyu melanggar


hak subjek orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum dari si
pelaku serta bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku
serta bertentangan dengan kepatutan yang seyogianya diindahkan
dalam

kehidupan

bersama

terhadap

integritas

subjek

hukum

(seseorang) maupun harta benda.


D. Fiksi Hukum
Menurut Paton, metode penemuan hukum melalui fiksi hukum
ini bersumber pada fase perkembagan hukum dalam periode
menengah, yaitu setelah berakhirnya periode hukum primitif. Metode
fiksi sebagai penemuan hukum ini sebenarnya berlandaskan asas "in
dubio pro reo" yaitu asas yang menyatakan bahwa setiap orang
dianggap mengetahui hukum. Pada fiksi hukum pembentuk undangundang dengan sadar menerima sesuatu yang bertentangan dengan
kenyataan sebagai kenyataan yang nyata. Namun dalam praktik
peradilan, metode fiksi ini sangat dibutuhkan hakim, karena seorang
yang didakwa melakukan suatu tindak pidana kejahatan tidak dapat
berdalih

untuk

dibebaskan

dengan

alasan

tidak

mengetahui

hukumnya bahwa perbuatan yang dilakukannya itu merupakan suatu


kejahatan yang dapat dijatuhi pidana.

Menurut Achmad AIi harus dibedakan antara fiksi yang sudah


tertuang dalam putusan hakim, bukan lagi fiksi melainkan telah
menjadi judge made law, telah menjadi kenyataan. Dalam kaitan ini
Scholten berpendapat bahwa fiksi itu hanya berfungsi pada saat-saat
peralihan, dan manakala peralihan usai. berakhir pula fungsi fiksi itu.
Jadi dalam fiksi hukum setiap orang mengetahui semua ketentuanhukum yang berlaku dan hal ini sangat diperlukan oleh hakim dalam
praktik hukum. Fiksi hukum sangat bermanfaat untuk mengajukan
hukum, yaitu untuk mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan
baru dan sistem yang ada.
Esensi dari fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum
yang

mengemukakan

fakta-fakta

baru,

sehingga

tampil

suatu

personifikasi baru di hadapan kita. Fungsi dari fiksi hukum di samping


untuk

memenuhi

hasrat

menciptakan

stabilitas

hukum,

juga

utamanya untuk mengisi kekosongan undang-undang. Dengan kata


lain, fiksi hukum bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutantuntutan baru dengan sistem hukum yang ada.
Satjipto

Rahardjo

dan

Paul

Scholten

berbeda

pendapat

mengenai fiksi hukum ini, di mana menurut Satjipto Rahardjo, fiksi


hukum merupakan bagian dari konstruksi hukum, sedangkan menurut
Paul Scholten, konstruksi hukum dengan fiksi hukum adalah berbeda.
Perbedaannya terletak pada pentederhanaan yang dilakukan demi
kepentingan konstruksi, maka sebagian fakta-faktanya dihilangkan,
dan sebaliknya pada fiksi, fakta-fakta yang oleh peristiwanya tidak
dikemukakan, dapat saja ditambahkan.

Anda mungkin juga menyukai