10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
ALKIL HALIDA
1. Uraian
I.1 Pendahuluan
Alkil halida adalah turunan hidrokarbon di mana satu atau lebih hidrogennya
diganti dengan halogen. Tiap-tiap hydrogen dalam hidrokarbon potensil
digantikan dengan halogen, bahkan ada senyawa hidrokarbon yang semua
hidrogennya dapat diganti. Senyawa terflkuorinasi sempurna yang dikenal sebagai
fluorocarbon, cukup menarik karena kestabilannya pada suhu tinggi.
Alkil halida juga terjadi di alam, meskipun lebih banyak terjadi dalam
organisme air laut daripada organisme air tawar. Halometana sederhana seperti
CHCl3, CCl4, CBr4, CH3I, dan CH3Cl adalah unsure pokok alga Hawai Aspagonsi
taxiformis. Bahkan ada senyawa alkil halida yang diisolasi dari organisme laut
yang memperlihatkan aktivitas biologis yang menarik. Sebagai contoh adalah
plocamen B, suatu turunan triklorosikloheksana yang diisolasi dari alga merah
Plocamium violaceum, berpotensi seperti DDT dalam aktivitas insentisidalnya
melawan larva nyamuk.
23
Dengan demikian kerapatan elektron pada halogen lebih tinggi dari pada
karbon.
2.1.1 Tatanama Alkil Halida
Halida sederhana umumnya dinamai sebagai turunan hydrogen halida.
Sistem IUPAC menamai halida sebagai halo turunan hidrokarbon. Dalam nama
umum awalan n-, sek-, (s-), dan ter- (t-) secara berturut-turut menunjukkan
normal, sekunder, dan tersier.
24
Istilah geminal (gem-) (latin geminus, kembar) dan vicinal (vic-) (latin
vicinus, tetangga) kadang digunakan untuk memperlihatkan posisi relatif
substitutein sebagai geminal untuk posisi 1,1 dan vicinal untuk posisi 1,2.
25
26
27
Ion hidroksida menyerang dari belakang ikatan CBr. Pada saat substitusi
terjadi, ketiga gugus yang terikat pada karbon sp3 kiral itu seolah-olah terdorong
oleh suatu bidang datar sehingga membalik. Karena dalam molekul ini OH
mempunyai perioritas yang sama dengan Br, tentu hasilnya adalah (S)-2-butanol.
Jadi reaksi SN2 memberikan hasil inversi.
Jika substrat R-L bereaksi melalui mekanisme SN2 reaksi terjadi lebih
cepat apabila R merupakan gugus metil atau primer, dan lambat jika R adalah
gugus tersier. Gugus
untuk urutan ini adalah adanya efek rintangan sterik. Rintangan sterik gugus R
meningkat dari metil < primer < sekunder < tersier. Jadi kecendrungan reaksi SN2
terjadi pada alkil halida adalah: metil > primer > sekunder >> tersier.
Mekanisme SN1
Mekanisme SN1 adalah proses dua tahap. Pada tahap pertama, ikatan antara
karbon dengan gugus pergi putus.
28
Berikut ini adalah ciri-ciri suatu reaksi yang berjalan melalui mekanisme
SN1:
1. Kecepatan reaksinya tidak tergantung pada konsentrasi nukleofil. Tahap
penentu kecepatan reaksi adalah tahap pertama di mana nukleofil tidak
terlibat.
2. Jika karbon pembawa gugus pergi adalah bersifat kiral, reaksi
menyebabkan hilangnya aktivitas optik karena terjadi rasemik. Pada ion
karbonium, hanya ada tiga gugus yang terikat pada karbon positif.
Karena itu, karbon positif mempunyai hibridisasi sp2 dan berbentuk
planar. Jadi nukleofil mempunyai dua arah penyerangan, yaitu dari
depan dan dari belakang. Dan kesempatan ini masing-masing
mempunyai peluang 50 %. Jadi hasilnya adalah rasemit. Misalnya,
reaksi (S)-3-metilheksana dengan air menghasilkan alcohol rasemik.
Spesies antaranya (intermediate spesies) adalah ion karbonium dengan
geometric planar sehingga air mempunyai peluang menyerang dari dua sisi (depan
dan belakang) dengan peluang yang sama menghasilkan adalah campuran
rasemik.
29
Sn1
Terjadi
tidak
Sekunder
kadang-kadang
kadang-kadang
Tersier
tidak
terjadi
Stereokimia
pembalikan
raseminasi
Nukleofil
Struktur halida
pada
konsentrasi
reaksi
tidak
kecepatan
sedikit kecepatan
dipengaruhi
reaksi
sangat
kepolaran
pelarut
Pada tahap pertama dalam mekanisme Sn1 adalah tahap pembentukan ion,
sehingga mekanisme ini dapat berlangsung lebih baik dalam pelarut polar. Jadi
halida sekunder yang dapat bereaksi melalui kedua mekanisme tersebut, kita dapat
mengubah mekanismenya dengan menyesuaikan kepolaran pelarutnya. Misalnya,
mekanisme reaksi halida sekunder dengan air (membentuk alcohol) dapat diubah
dari Sn2 menjadi Sn1 dengan mengubah pelarutnya dari 95 % aseton 5% air
(relatif tidak-polar) menjadi 50 % aseton 50% air (lebih polar, dan pelarut pengion yang lebih baik).
Kekuatan nukleofil juga dapat mengubah mekanisme reaksi yang dilalui
oleh reaksi oleh reaksi Sn. Jika nukleofilnya kuat maka mekanisme Sn2 yang
terjadi. Berikut ini ada beberapa petunjuk yang digunakan untuk mengetahui
apakah suatu nukleofil adalah kuat atau lemah:
1. Ion nukleofil bersifat nukleofil. Anion adalah pemberi electron yang lebih
baik dari pada molekul netralnya. Jadi
30
2. Unsur yang berada pada periode bawah dalam table periodic cenderung
merupakan nukleofil yang lebih kuat dari pada unsure yang berada dalam
periode di atasnya yang segolongan. Jadi
karbon yang pada mulanya membawa X dan H. Proses eliminasi adalah cara
31
baru.
Mekanisme E1
Mekanisme E1 mempunyai tahap awal yang sama dengan mekanisme Sn1.
Tahap lambat atau penentuan ialah tahap ionisasi dari substrat yang menghasilkan
ion karbonium (bandingkan dengan pers. 5.3).
Kemudian, ada dua kemungkinan reaksi untuk ion karbonium. Ion bias
bergabung dengan nukleofil (proses Sn1) atau atom karbon bersebelahan dengan
32
33
1>2 >> 3). Tetapi, reaksi eliminasi akan cenderung terjadi karena hasilnya
adalah alkena yang lebih tersubstitusi. Pada kenyataannya, dengan t-butil
bromida, hanya proses E2 yang terjadi.
34
Dalam reaksi ini digunakan amoniak berlebihan, dan pada tahap berikutnya
amoniak kedua bertindak sebagai basa mengambil proton dari ion
alkilamonium sehingga terbentuk amina.
35
Akhirnya, amina tersier juga bereaksi lagi dengan alkil halida menghasilkan
garam kuaterneri karena amina tersier juga adalah suatu nukleofil.
36
Suatu reaksi yang sangat bermanfaat adalah reaksi antara alkil halida
dengan suatu anion karbon. Reaksi ini memerlukan suatu karbanion yang
stabil, dan yang memenuhi adalah sianida.
Alkunida adalah pereaksi nukleofil, dan mereka masuk ke dalam reaksi substitusi
nukleofilik dengan menyerang atom karbon agen pengalkilasi dengan
menggantikan gugus pergi. Hasil reaksi ini adalah alkilasi alkunida menghasilkan
alkuna baru.
Umumnya reaksi ini terbatas untuk situasi dalam mana agen pengalkilasi
(alkil bromida atau alkil sulfonat) adalah primer dan tidak bercabang pada
atom karbon- nya.
3.2.5 Pembuatan alkena (E2)
Reaksi eliminasi , bimolekuler menyatakan suatu metode yang sangat
penting untuk pembuatan alkena dan alkuna. Di dalam perencanaan, suatu
sintesis dengan menggunakan metode ini, pendekatan yang paling praktis
adalah menggunakan halida atau sulfonat yang dapat menghasilkan hanya
satu alkena.
Monodehidrohalogenasi 1,1-dihabalkana atau 1,2-dihaloalkana dibawah
kondisi yang lembut menyebabkan pembentukan vinil halida.
37
Hal yang serupa jika 2 mol hydrogen halida dieliminasi dari 1,1 dihalida
atau1,2- dihalida akan dihasilkan alkuna.
menghasilkan alkana.
Oleh karena ikatan karbon-magnesium terpolarisasi dengan muatan parsil
negatif pada karbon dan muatan positif pada magnesium, penataan ulang tidak
pernah menyertai ion karbonium yang terbentuk dari pereaksi Grignard. Sebagai
38
Dalam pembuatan pereaksi Grignard dari alkil klorida dan vinil halida
yang kurang reaktif, umumnya tetrahidrofuran digunakan sebagai pelarut
39
40
HBr or H:Br
The reaction between ethene and hydrogen bromide is:
C 2 H 4 + HBr
H2C
H
CH 3 CH 2 Br
CH2
Br
The electrons move from the ethene and a new bond
forms with the hydrogen from the hydrogen bromide. At the same time the
pair of electrons in the hydrogen bromide bond moves to the bromine
atom. This is shown here using the curly arrow notation. Note that the
head of the arrow points between the carbon and hydrogen as that is where
the new bond is formed. It is not necessary to show the electrons
themselves since the bond is shown instead.
H
+
H2C
Br
41
between the carbon and the bromide ion since this is where the bond is
formed.
You will be required to represent many reactions using curly arrows and
you will find some examples in the next section that utilise curly arrows to
represent the movement of both electron pairs and single electrons.
Bond fission
In organic chemical reactions covalent bonds are created and broken. Bond
breaking is also known as bond fission. There are two ways in which bond
fission can happen: homolytic (homo from Latin meaning the same) and
heterolytic (hetero from Latin meaning different) fission.
Homolytic fission
In this type of bond fission, the two shared electrons separate equally, one going
to each atom:
H : Br
(Remember the single-headed arrow,
H + Br
, shows movement of only one electron.)
The dot beside each atom represents the unpaired electron that the atom
has retained from the shared pair in the bond. The atoms are electrically neutral
because each has equal numbers of protons and electrons. However, the atoms are
highly reactive because the unpaired electron has a strong tendency to pair up with
another electron from another atom or molecule.
Such highly reactive atoms or groups of atoms containing unpaired
electrons are called free radicals and because of their high reactivity they exist
only as reaction intermediates.
42
Free radicals are most likely to be formed when the bond being broken is
non-polar, i.e. it has electrons that are more or less equally shared.
One reaction that you have previously studied at Higher level is the
substitution reaction between methane and chlorine, in which one of the hydrogen
atoms in methane is replaced by a chlorine atom. This is a free-radical chain
reaction and is a good example of where we can use both free radicals and curly
arrows to help understand the mechanism.
In the initiation step, UV light is required to split the chlorine molecules
into two chlorine free radicals:
UV
Cl : Cl
Cl + Cl (or 2Cl)
The propagation step involves two steps that allow this reaction to
be classed as a chain reaction. Firstly, a chlorine radical can collide with a
methane molecule, resulting in the removal of a hydrogen atom:
H
H
H
C
H
43
Cl
+ H : Cl
A methyl radical, CH 3 , is produced and, in the second step, collides
with another chlorine molecule that has not been split up by the UV light,
producing more chlorine radicals, which keep the reaction repeating:
H
H
C
H
H
Cl
ClCl
+ Cl
There are three possible termination steps, all of which remove the
radicals from the process.
44
1.
Cl + Cl
Cl : Cl
H
H
C
H
H
H
Cl
2.
Cl
H
H
C
H
45
3.
H+ + :Br
H : Br
(Note that the curly arrow here is double headed since it indicates that a
pair of electrons has shifted.)
Heterolytic fission is more likely when a bond is already polar. For
example, bromomethane contains a polar CBr bond, and under certain conditions
this can break heterolytically:
H
H
C
H
+ Br
46
H3C
electrophile
Br
nucleophile
47
HO
H3C
CH3
CH3
HO
Br
CH3
Br
H3C
CH3
Once the carbocation has formed it will quickly react with the
attacking nucleophile, as its electrons will be highly attracted to the
carbocation itself. The carbocation is planar, which suggests that the
substitution of the nucleophile could happen on either side. In reality there
is some steric hindrance from the departing bromide ion and so the
hydroxide slightly favours the opposite side.
CH3
HO
H3C
CH3
Br
Br
HO
CH3
CH3
CH3
Effectively the hydroxide ion has taken the place of the leaving
bromide ion. Because the slow first step of this mechanism only involves
one species (the haloalkane) this is an S N 1 reaction, where S stands for
substitution and
CH3
HO
H3C
Br
CH3
HO
H3C
Br
CH3
HO
CH3
CH3
CH3
Br
would have to negotiate its way to the carbon atom between the sometimes
large alkyl groups. The reaction is much less likely to proceed via the S N 2
reaction mechanism (see below).
S N 2 reaction mechanisms
In an S N 2 mechanism there are two species involved in the ratedetermining step. This type of mechanism is more likely to occur with a
primary haloalkane, such as bromoethane, as used here.
HO
CH3
Br
CH3
CH3
HO
Br
HO
: Br
for
nucleophilic and the 2 is because the initial stage of the reaction involves
two species the bromoethane and the hydroxide ion. The 2 also means
it is a second-order reaction (see the unit on physical chemistry). By using
a chiral haloalkane the final product is one where the configuration of the
carbon atoms has inverted.
HO
H5C2
CH3
Cl
CH3
CH3
HO
H 5C 2
Cl
HO
H
C2H5
50
:Cl
51
Jika diperhatikan nama tiga senyawa pertama yaitu benzena, toluene dan
stirena, tampak adanya kesamaan. Sebagai satu kelompok senyawa hidrokarbon
aromatik tersebut dinamakan arena.
Selain dari nama trivial biasanya kita juga memberi nama aromatik
monosubstitusi dengan benzennya sebagai nama induk. Nama substitusi menjadi
awalan bagi nama induk. Benzena monosubstitusi dinamakan sebagai turunan
benzena, seperti:
Dalam hal benzena tersubstitusi dua gugus, ada tiga kemungkinan isomer
yaitu isomer orto (o), meta (m) dan para (p). Contohnya adalah:
52
Pada beberapa contoh di atas, kedua substituen adalah sama. Awalan orto,
meta, dan para tetap digunakan walaupun kedua subtituen berbeda, seperti:
Cara lain untuk mengetahui letak substituen adalah dengan memberi nomor
pada atom karbon penyusun cincin. Metode penomoran ini sangat berguna jika
terdapat lebih dari dua substituen, atau dengan sistem ortho, meta, para yang
menunjukkan hubungan tempat antara kedua gugusan dalam cincin misalnya:
53
Gugus fenil sering dituliskan dengan lambing Ph atau PE. Sedangkan lambing
Ar digunakan untuk gugus aril (aromatik). Beberapa contoh disajikan berikut ini:
H3C
Toluena
CH 3
OH
Para-xilene
NH2
Fenol
Anilin
O
CH
B.
CH2
Stirene
COH
Asam benzoat
54
anggota. Tiap atom karbon mengandung sebauah elektron dalam orbit p. Kita
harapkan bahwa enam elektron p ini ada dalam tiga ikatan.
atau
Tetapi rumus bangun ini tidak menerangkan mengapa benzene tak mengalami
reaksi seperti alkena.
Lagi pula semua ikatan C-C dalam benzen panjangnya sama, tak mengandung tiga
ikatan rangkap yang pendek dan tiga ikatan tunggal yang panjang.
Semua ikatan C-C mempunyai panjang iaktan 1,40A, ikatan antara ikatan tunggal
C-C (1,54 A) dan antara ikatan rangkap C=C (1,34A).
H
H
C
C
C
C
benzena
dan
turunannya
seperti
disebutkan
diatas
siklobutadiena
siklooktatetraena
55
Ion-Ion Aromatik
Mencermati definisi Huckel di atas terlihat bahwa batasan tersebut tidak
Contoh:
+
anion siklopentadienil
kation sikloheptatrienil
56
Akan tetapi karena panjang ikatan dalam molekul benzena semuanya sama,
yaitu 1,39 A, dan benzena adalah senyawa tunggal (tidak mempunyai isomer);
maka ikatan delokal dalam sistem benzena ditulis dengan struktur resonansi
sebagai berikut:
Banyaknya ikatan p dan s adalah sama, karena itu dikatakan kedua struktur
ekivalen dalam energi dan merupakan struktur resonansi yang penting. Masih ada
struktur resonansi benzena yang lain, namun struktur resonansi tersebut tidak
57
Semakin banyak struktur resonansi yang dibuat untuk suatu senyawa, semakin
besar pula energi resonansinya dan semakin stabil senyawa tersebut.
c. Energi Resonansi Pada Benzena
Untuk menghitung tentang apa yang dimaksud dengan energi resonansi, maka
simaklah data panas hidrogenasi beberapa senyawa sebagai berikut:
Dari persamaan (6.1) terlihat bahwa untuk hidrogenasi satu ikatan rangkap
dua dilepaskan kalor sebesar 28,6 kkal/mol. Sedangkan persamaan (6.2)
menunjukkan bahwa hidrogenasi dua buah ikatan rangkap dua dilepaskan kalor
58
sebesar 55,4 kkal/mol. Harga ini kira-kira sama dengan 2 x 28,6 kkal/mol. Dengan
demikian dapat diharapkan bahwa hidrogenasi tiga buah ikatan rangkap dua
seperti struktur resonansi benzena akan melepaskan kalor sebesar 3 x 28,6 = 86
kkal/mol. Sedangkan dari persamaan (6.3) terlihat bahwa panas hidrogenasi
molekul benzena yang sesungguhnya adalah 49,8 kkal/mol. Untuk lebih jelasnya
harga-harga tersebut disajikan dalam diagram berikut:
59
Pada tahap kedua terjadi serangan elektrofil berupa ion kloronium tersebut
terhadap cincin benzena, persamaannya:
60
Ion feCl4 yang terbtnuk pada tahap pertama berada dalam keadaan kesetimbangan
dengan ion klorida sesuai persamaan berikut:
Nama
Ion Kloronium
Proses
Klorinasi
Br+
Ion bromonium
Brominasi
NO2+
Ion nitronium
Nitrasi
61
Sulfonasi
R+
Ion karbonium
Alkilasi
Data kecepatan reaksi nitrasi (campuran HNO3 dan H2SO4) senyawasenyawa di atas relatif terhadap benzena adalah sebagai berikut:
Toluena = 24,5
Benzena = 1,0
Klorobenzena = 0,003
Nitrobenzena = 0,0000001
Kesimpulan dari fakta tersebut adalah bahwa gugus CH3 bersifat
mengaktifkan cincin benzena terhadap substitusi elektrofilik, sedangkan gugus
klor dan nitro bersifat mendeaktifkan cincin benzena terhadap reaksi elektrofilik.
Gugus seperti CH3 disebut gugus pengaktif cincin, sedangkan gugus seperti klor
dan nitro disebut gugus pendeaktif cincin benzena.
62
Terlihat bahwa produk orto dan para lebih dominan dari pada meta.
Dapatkah teori Kimia Organik menerangkan kenyataan ini?
Diketahui bahwa pada reaksi ini terbentuk zat antara reaktif yang disebut
ion benzenonium. Postulat Hammond menyatakan bahwa arah dari reaksi
ditentukan oleh kestabilan ion benzenonium, ion benzenonium yang terjadi
pada serangan orto, para, dan meta sebagai berikut:
Serangan orto, para :
Serangan meta :
63
Hibrida resonansi dari ion benzenonium yang terbentuk pada serangan orto,
para dan meta dapat digambarkan sebagai berikut:
Serangan meta :
Terlihat bahwa ion benzenonium yang terbentuk pada serangan orto dan
para memiliki karbon positif yang berikatan langsung dengan atom N yang
bermuatan positif pula. Struktur demikian adalah kurang stabil karena
64
Pengarah meta
-NO2, -SO3H
-CoN
65
Reaksi di atas tidak dapat dibalikm seandainya dibalik yaitu klorinasi terlebih
dahulu kemudian diikuti dengan sulfonasi maka akan terbentuk senyawa
berbeda, yaitu asam orto dan para-klorobenzenasulfonat. Hal ini dapat terjadi
karena klor adalah gugus pengarah orto dan para.
b. Mengingat metil adalah gugus orto dan para, maka sintesis p-nitrotoluena
dikerjakan dengan alkilasi terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan nitrasi.
Reaksinya adalah sebagai berikut:
Dalam hal ini hasil yang diperoleh merupakan campuran hasil substitusi orto
dan para.
66
Jika ada dua gugus yang telah terikat pada cincin maka dalam rangka
pengikatan gugus ketiga, antara keduanya dapat saling menguatkan atau saling
melemahkan, tergantung pada jenis gugus yang ada tersebut.
c. Hidrokarbon Aromatik Polisiklik
Pada uraian yang terdahulu telah disebutkan konsep aromatik yaitu
kestabilan yang tinggi dari sistem siklik pada benzena dan turunannya. Pada
senyawa-senyawa yang telah diterangkan di atas hanya terdapat sebuah cincin
siklik.
Naftalena dengan rumus molekul C10H8, adalah senyawa aromatik
polisiklik yang banyak ditemui dalam ter batubara. Struktur naftalena
merupakan bidang datar dengan dua cincin benzena yang menyatu. Kedua
cincin tersebut menggunakan bersama dua buah atom karbon. Salah satu
struktur hibrida resonansinya.
Atas dasar konsep struktur delokal tersebut di atas maka resonansi hibrida
naftalena dapat dituliskan sebagai berikut:
Hal ini berarti bahwa naftalena dapat menyerupai struktur alkena terbuka.
Atas dasar itulah maka dapat diperkirakan bahwa naftalena lebih reaktif dari
pada benzena
d. Senyawa Aromatik Heterosiklik
Pada bagian ini akan diperkenalkan jenis senyawa aromatik yang
penyusun cincin siklisnya bukan atom karbon saja, melainkan juga terdapat
atom lain.
Atom yang sering ditemui antara lain nitrogen, oksigen, dan belerang.
Perhatikan struktur berikut:
67
Pada kedua senyawa di atas, nitrogen dalam keadaan hibrida sp2. Lima
atom karbon pada piridin masing-masing menyumbang 1 (satu) electron p,
sehingga untuk memenuhi jumlah 6 elektron p dibutuhkan satu elektron dari atom
N. Satu elektron ini berasal dari orbital p yang tegak lurus pada orbital sp2.
Dengan demikian, satu orbital sp2 terisi dua electron dari atom N tidak termasuk
pada sistem delokal. Sebagai akibat orbital sp2 terisi dua elektron tersebut, dia
dapat menerima proton dari asam membentuk garam ataupun membentuk ikatan
hidrogen dengan air.
Sedang pada pirol hanya ada 4 atom karbon dalam keadaan sp2, sehingga
untuk melengkapi jumlah 6 elektron p, atom nitrogen harus menyumbang dua
electron. Untuk itu atom N harus berada dalam keadaan sp2 dengan orbital p terisi
dua elektron yang tegak lurus pada bidang. Ketiga orbital sp2 dari atom N terikat
oleh dua tom C dan satu atom H. Karena itulah kebasaan pirol lebih lemah
disbanding piridin.
Beberapa senyawa aromatik kelompok piridin, dimana heteroatomnya hanya
menyumbangkan satu elektron kepada sistem aromatik diantaranya adalah:
68
H Br
BrH
cyclohexene
carbocation
intermediate
Br
H
bromocyclohexane
69
70
Br
H Br
benzene
aromatic
5-bromo-1,3-cyclohexadiene
non-aromatic
This reaction does not occur, because the product is not aromatic.
H
H
E+
slow
Step 1
fast
Step 2
71
the slow first step. Then a proton is lost in a fast second step. After Step 1, an H
and E are bonded to the same carbon atom. In Step 2, the H departs; hence, the
reaction is a substitution. All we need do is show the curved arrows correctly.
Curved arrows show how bonds are formed and broken. (i.e., where the electrons
that form bonds come from and where the electrons of bonds that are broken go).
Look at benzene in Figure 4. The electrons that form a bond with the electrophile
E+ come from the benzene ring. Aromaticity is restored by the electrons holding
the proton that is lost by substitution of E. Note that only two curved magenta
arrows are required to show the mechanism for the overall reaction.
The Nitration Reaction
Formation of the Electrophile
Before the nitration reaction can take place, the electrophile, the positive
chemical species that forms a bond with the arene, must be made. The electrophile
is the nitronium ion, +NO2. The nitronium ion is formed by a reaction between two
strong acids, nitric acid and sulfuric acid.
Figure 5 shows the reaction between the two acids to form the electrophile +NO2.
Once formed, the +NO2 ion will bond to the arene.
H O N
+
O
nitric acid
H O S
H O N
O H
+
O
O S
O H
sulfuric acid
O N O
H O H
nitronium ion
72
mechanism for the nitration of benzene is exactly like the mechanism in Figure 4
in which E+ becomes +NO2.
Mechanism for the Nitration of Benzene
Figure 6 shows the nitration of benzene.
H
H
benzene
+NO
slow
Step 1
NO2
carbocation
intermediate
fast
Step 2
NO2
nitrobenzene
73
EDG
ortho, para
director
EWG
meta director
74
change the location of any atoms. When we move electrons, they must have a
place to go. Finding a place for either or n electrons to go is the first step is
drawing a resonance structure and is the key to determining whether a group is an
EDG or an EWG. Consider the structure of methyl benzoate shown in Figure 8 so
that its non-bonding electrons are visible.
n
O CH3
75
share them. Each oxygen atom can have one, two or three bonds, but must always
have eight valence electrons; whereas, carbon can have three or four bonds and
either eight or six valence electrons. When a three-bonded carbon has six valence
electrons, it is a carbocation with a vacant p orbital. When a three-bonded carbon
has eight valence electrons, it is a carbanion. Applying these constraint rules to
methyl benzoate, we can determine whether it is possible to form a double bond at
the green bond (i.e., whether the carbomethoxy group is an EDG or EWG). We
find that it is impossible to draw a structure with a double bond to the ring by
using the blue electrons ( or n electrons outside the ring). However, it is
possible to draw a structure with a double bond to the ring by using red
electrons ( electrons from the ring). If you cannot draw the resonance structures
that prove that the CO2Me group is an EWG, then please review the tutorial
entitled Resonance that accompanies this lab manual.
Mechanism for the Nitration of Methyl Benzoate
The mechanism for the nitration of methyl benzoate is the same as that
shown in Figure 6 except that we must make the NO 2 (nitro group) go to a meta
position relative to the CO 2Me group that is already bonded to the ring. This
means that the positive charge in the carbocation intermediate must be on an ortho
or para carbon relative to the CO2Me group.
CO2Me
H
H
methyl benzoate
NO2+
slow
CO2Me
H
Step 1
NO2
carbocation
intermediate
CO2Me
fast
Step 2
NO2
methyl m-nitrobenzoate
76
77