Anda di halaman 1dari 77

1

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

ALKIL HALIDA
1. Uraian
I.1 Pendahuluan
Alkil halida adalah turunan hidrokarbon di mana satu atau lebih hidrogennya
diganti dengan halogen. Tiap-tiap hydrogen dalam hidrokarbon potensil
digantikan dengan halogen, bahkan ada senyawa hidrokarbon yang semua
hidrogennya dapat diganti. Senyawa terflkuorinasi sempurna yang dikenal sebagai
fluorocarbon, cukup menarik karena kestabilannya pada suhu tinggi.
Alkil halida juga terjadi di alam, meskipun lebih banyak terjadi dalam
organisme air laut daripada organisme air tawar. Halometana sederhana seperti
CHCl3, CCl4, CBr4, CH3I, dan CH3Cl adalah unsure pokok alga Hawai Aspagonsi
taxiformis. Bahkan ada senyawa alkil halida yang diisolasi dari organisme laut
yang memperlihatkan aktivitas biologis yang menarik. Sebagai contoh adalah
plocamen B, suatu turunan triklorosikloheksana yang diisolasi dari alga merah
Plocamium violaceum, berpotensi seperti DDT dalam aktivitas insentisidalnya
melawan larva nyamuk.

Gambar 7.1. Plocamen B, Sebuah Triklorida


Kimiawan sering menggunakan RX sebagai notasi umum untuk organic
halida, R menyimbolkan suatu gugus alkil dan X untuk suatu halogen.
Konfigurasi elektron dalam keadaan dasar halogen adalah sebagai berikut:

23

Perlu dicatat bahwa halogen adalah atom-atom berelektrogenatif tinggi


dan hanya kekurangan satu elektron untuk mencapai konfigurasi gas mulia. Oleh
itu halogen dapat membentuk ikatan kovalen tunggal atau ionik yang stabil.
Ikatan antara gugus metil dengan fluor, klor, brom, dan ioda terbentuk oleh
tumpang tindih orbital sp3 dari karbon dengan orbital sp3 dari fluor, klor, brom,
dan iod. Kekuatan ikatan CX menurun dari metil fluorida ke metil iodida. Hal
ini mencerminkan prinsip umum bahwa tumpang tindih orbital-orbital lebih
efisien antara orbital-orbital yang mempunyai bilangan kuantum utama yang
sama, dan efisiensinya menurun dengan meningkatnya perbedaan bilangan
kuantum utama.
Perlu pula dicatat bahwa halogen adalah lebih elektronegatif dari pada
karbon, sehingga ikatan C-X bersifat polar di mana karbon mengemban muatan
positif partial (8+) dan halogen muatan negatif partial (8).

Dengan demikian kerapatan elektron pada halogen lebih tinggi dari pada
karbon.
2.1.1 Tatanama Alkil Halida
Halida sederhana umumnya dinamai sebagai turunan hydrogen halida.
Sistem IUPAC menamai halida sebagai halo turunan hidrokarbon. Dalam nama
umum awalan n-, sek-, (s-), dan ter- (t-) secara berturut-turut menunjukkan
normal, sekunder, dan tersier.

24

Dengan system IUPAC, penamaan semua senyawa yang hanya mengandung


fungsi univalensi dapat dinyatakan dengan awalan fungsi itu sendiri diikuti
dengan nama hidrokarbon induk; prinsip penomoran sekecil mungkin harus
dipatuhi.

Sering terjadi dalam penamaan umum, hidrokarbon dipandang sebagai gugus.

Istilah geminal (gem-) (latin geminus, kembar) dan vicinal (vic-) (latin
vicinus, tetangga) kadang digunakan untuk memperlihatkan posisi relatif
substitutein sebagai geminal untuk posisi 1,1 dan vicinal untuk posisi 1,2.

Sifat-sifat Fisik Alkil Halida


Sifat fisik beberapa alkil halida disajikan dalam Tabel 7.1 berikut.
Kebanyakan alkil halida adalah cair, bromida, iodida, dan polihalida umumnya
mempunyai kerapatan > 1. Alkil halida tidak larut dalam air tetapi dapat saling
melarutkan dengan hidrokarbon.
Tabel 7.1 Alkil Halida

25

Reaksi Alkil Halida


Alkil halida paling banyak ditemui sebagai zat antara dalam sintesis.
Mereka dengan mudah diubah ke dalam berbagai jenis senyawa lain, dan dapat
diperoleh melalui banyak cara. Reaksi alkil halida yang banyak itu dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu reaksi substitusi dan reaksi eliminasi.
Dalam reaksi substitusi, halogen (X) diganti dengan beberapa gugus lain (z).

Reaksi eliminasi melibatkan pelepasan HX, dan hasilnya adalah suatu


allena. Banyak sekali modifikasi terhadap reaksi ini, tergantung pada pereaksi
yang digunakan.

3.1.1 Substitusi Nukleofilik


Suatu nukleofil (Z) menyerang alkil halida pada atom karbon hibrida-sp3
yang mengikat halogen (X), menyebabkan terusirnya halogen oleh nukleofil.
Halogen yang terusir disebut gugus pergi. Nukleofil harus mengandung pasangan
elektron yang tadinya sebagai elektron ikatan. Ada dua persamaan umum yang
dapat dituliskan:

26

Contoh masing-masing reaksi adalah:

3.1.2 Mekanisme Substitusi Nukleofilik


Pada dasarnya terdapat dua mekanisme reaksi substitusi nukleofilik.
Mereka dilambangkan dengan SN2 adanya SN1. Bagian SN menunjukkan
substitusi nukleofilik, sedangkan arti 1 dan 2 akan dijelaskan kemudian.
Mekanisme SN2
Mekanisme SN2 adalah proses satu tahap yang dapat digambarkan sebagai
berikut:

Nukleofil menyerang dari belakang ikatan CX. Pada keadaan transisi,


nukleofil dan gugus pergi berasosiasi dengan karbon di mana substitusi akan
terjadi. Pada saat gugus pergi terlepas dengan membawa pasangan electron,
nukleofil memberikan pasangan elektronnya untuk dijadikan pasangan elektron
dengan karbon.
Notasi 2 menyatakan bahwa reaksi adalah bimolekuler, yaitu nukleofil dan
substrat terlibat dalam langkah penentu kecepatan reaksi dalam mekanisme reaksi.
Adapun ciri reaksi SN2 adalah:
1. Karena nukleofil dan substrat terlibat dalam langkah penentu kecepatan
reaksi, maka kecepatan reaki tergantung pada konsentrasi kedua spesies
tersebut.
2. Reaksi terjadi dengan pembalikan (inversi) konfigurasi. Misalnya jika
kita mereaksikan -2-bromobutana dengan natrium hidrosida, akan
diperoleh (S)-2-butanol.

27

Ion hidroksida menyerang dari belakang ikatan CBr. Pada saat substitusi
terjadi, ketiga gugus yang terikat pada karbon sp3 kiral itu seolah-olah terdorong
oleh suatu bidang datar sehingga membalik. Karena dalam molekul ini OH
mempunyai perioritas yang sama dengan Br, tentu hasilnya adalah (S)-2-butanol.
Jadi reaksi SN2 memberikan hasil inversi.
Jika substrat R-L bereaksi melalui mekanisme SN2 reaksi terjadi lebih
cepat apabila R merupakan gugus metil atau primer, dan lambat jika R adalah
gugus tersier. Gugus

R sekunder mempunyai kecepatan pertengahan. Alasan

untuk urutan ini adalah adanya efek rintangan sterik. Rintangan sterik gugus R
meningkat dari metil < primer < sekunder < tersier. Jadi kecendrungan reaksi SN2
terjadi pada alkil halida adalah: metil > primer > sekunder >> tersier.
Mekanisme SN1
Mekanisme SN1 adalah proses dua tahap. Pada tahap pertama, ikatan antara
karbon dengan gugus pergi putus.

Gugus pergi terlepas dengan membawa pasangan electron, dan terbentuklah


ion karbonium. Pada tahap kedua (tahap cepat), ion karbonium bergabung dengan
nukleofil membentuk produk.

Pada mekanisme SN1 substitusi terjadi dalam dua tahap. Notasi 1


digunakan sebab pada tahap lambat hanya satu dari dua pereaksi yang terlibat,
yaitu substrat. Tahap ini sama sekali tidak melibatkan nukleofil.

28

Berikut ini adalah ciri-ciri suatu reaksi yang berjalan melalui mekanisme
SN1:
1. Kecepatan reaksinya tidak tergantung pada konsentrasi nukleofil. Tahap
penentu kecepatan reaksi adalah tahap pertama di mana nukleofil tidak
terlibat.
2. Jika karbon pembawa gugus pergi adalah bersifat kiral, reaksi
menyebabkan hilangnya aktivitas optik karena terjadi rasemik. Pada ion
karbonium, hanya ada tiga gugus yang terikat pada karbon positif.
Karena itu, karbon positif mempunyai hibridisasi sp2 dan berbentuk
planar. Jadi nukleofil mempunyai dua arah penyerangan, yaitu dari
depan dan dari belakang. Dan kesempatan ini masing-masing
mempunyai peluang 50 %. Jadi hasilnya adalah rasemit. Misalnya,
reaksi (S)-3-metilheksana dengan air menghasilkan alcohol rasemik.
Spesies antaranya (intermediate spesies) adalah ion karbonium dengan
geometric planar sehingga air mempunyai peluang menyerang dari dua sisi (depan
dan belakang) dengan peluang yang sama menghasilkan adalah campuran
rasemik.

Reaksi substrat R-X yang melalui mekanisme SN1 akan


berlangsung cepat jika R merupakan struktur tersier, dan lambat jika R
adalah struktur primer. Hal ini sesuai dengan urutan kestabilan ion
karbonium, 3> 2>> 1.
3.1.3 Perbandingan Mekanisme Sn1 dan Sn2
Tabel 7.2 berikut memuat ringkasan mengenai mekanisme substitusi dan
membandingkannya dengan keadaan-keadaan lain, seperti keadaan pelarut dan
struktur nukleofil.

29

Perlu diperhatikan bahwa halida primer selalu bereaksi melalui mekanisme


Sn2, sedangkan halida tersier melalui mekanisme Sn1. Pada halida sekunder,
terdapat dua kemungkinan.
Tabel 7.2 Perbandingan reaksi Sn2 dengan Sn1
Sn2

Sn1

Primer atau CH3

Terjadi

tidak

Sekunder

kadang-kadang

kadang-kadang

Tersier

tidak

terjadi

Stereokimia

pembalikan

raseminasi

Nukleofil

kecepatan reaksi tergantung kecepatan

Struktur halida

pada

konsentrasi

reaksi

tidak

nukleofil, bergantung pada konsen-

mekanisme memilih nukleofil trasi nukleofil, mekanisme


anion
Pelarut

kecepatan

memilih nukleofil netral


reaksi

sedikit kecepatan

dipengaruhi kepolaran pelarut

dipengaruhi

reaksi

sangat

kepolaran

pelarut
Pada tahap pertama dalam mekanisme Sn1 adalah tahap pembentukan ion,
sehingga mekanisme ini dapat berlangsung lebih baik dalam pelarut polar. Jadi
halida sekunder yang dapat bereaksi melalui kedua mekanisme tersebut, kita dapat
mengubah mekanismenya dengan menyesuaikan kepolaran pelarutnya. Misalnya,
mekanisme reaksi halida sekunder dengan air (membentuk alcohol) dapat diubah
dari Sn2 menjadi Sn1 dengan mengubah pelarutnya dari 95 % aseton 5% air
(relatif tidak-polar) menjadi 50 % aseton 50% air (lebih polar, dan pelarut pengion yang lebih baik).
Kekuatan nukleofil juga dapat mengubah mekanisme reaksi yang dilalui
oleh reaksi oleh reaksi Sn. Jika nukleofilnya kuat maka mekanisme Sn2 yang
terjadi. Berikut ini ada beberapa petunjuk yang digunakan untuk mengetahui
apakah suatu nukleofil adalah kuat atau lemah:
1. Ion nukleofil bersifat nukleofil. Anion adalah pemberi electron yang lebih
baik dari pada molekul netralnya. Jadi

30

2. Unsur yang berada pada periode bawah dalam table periodic cenderung
merupakan nukleofil yang lebih kuat dari pada unsure yang berada dalam
periode di atasnya yang segolongan. Jadi

3. Pada periode yang sama, unsure yang lebih elektronegatif cenderung


merupakan nukleofil lebih lemah (karena ia lebih kuat memegang
elektron) . Jadi

Karena C dan N berada dalam periode yang sama, tidak mengherankan


jika pada ion : C=N: yang bereaksi adalah karbon, karena sifat
nukleofilnya lebih kuat.
3.1.4 Reaksi Eliminasi: Mekanisme E2 dan E1
Jika alkil halida mempunyai atom hidrogennya pada atom karbon yang
bersebelahan dengan karbon pembawa halogen akan bereaksi dengan nukleofil,
maka terdapat dua kemungkinan reaksi yang bersaing, yaitu substitusi dan
eliminasi.

Pada reaksi substitusi, nukleofil menggantikan halogen (lihat pers. 5.5).


Pada reaksi eliminasi (pers. 5.6), halogen X dan hydrogen dari atom karbon yang
bersebelahan dieliminasi dan ikatan baru (ikatan

) terbentuk di antara karbon-

karbon yang pada mulanya membawa X dan H. Proses eliminasi adalah cara

31

umum yang digunakan dalam pembuatan senyawa-senyawa yang mengandung


ikatan rangkap.
Seringkali reaksi substitusi dan eliminasi terjadi secara bersamaan pada
pasangan pereaksi nukleofil dan substrat yang sama. Reaksi mana yang dominan,
bergantung pada kekuatan nukleofil, struktur substrat, dan kondisi reaksi. Seperti
halnya dengan reaksi substitusi, reaksi eliminasi juga mempunyai dua mekanisme,
yaitu mekanisme E2 dan E1.
Mekanisme E2
Reaksi E2 adalah proses satu tahap. Nukleofil bertindak sebagai basa dan
mengambil proton (hidrogen) dari atom karbon yang bersebelahan dengan karbon
pembawa gugus pergi. Pada waktu yang bersamaan, gugu pergi terlepas dan
ikatan rangkap dua terbentuk.

Konfigurasi yang terbaik untuk reaksi E2 adalah konfigurasi dimana


hydrogen yang akan tereliminasi dalam posisi anti dengan gugus pergi. Alasannya
ialah bahwa pada posisi tersebut orbital ikatan C H dan C X tersusun
sempurna yang memudahkan pertumpangtindihan orbital dalam pembentukan
ikatan

baru.

Mekanisme E1
Mekanisme E1 mempunyai tahap awal yang sama dengan mekanisme Sn1.
Tahap lambat atau penentuan ialah tahap ionisasi dari substrat yang menghasilkan
ion karbonium (bandingkan dengan pers. 5.3).

Kemudian, ada dua kemungkinan reaksi untuk ion karbonium. Ion bias
bergabung dengan nukleofil (proses Sn1) atau atom karbon bersebelahan dengan

32

ion karbonium melepaskan protonnya, sebagaimana ditunjukkan dengan panah


lengkung, dan membentuk alkena (proses E1).

Sekarang mari kita lihat dengan contoh-contoh bagaimana reaksi-reaksi


substitusi dan eliminasi bersaing.
3.1.5 Persaingan Substitusi Dan Eliminasi
Ditinjau reaksi antara alkil halida dengan kalium hidrosikda yang
dilarutkan dalam metil alcohol. Nukleofilnya adalah ion hidroksida, OH, yaitu
nukleofil kuat dan sekaligus adalah basa kuat. Pelarut alcohol kurang polar jika
dibandingkan dengan air. Keadaan-keadaan ini menguntungkan proses-proses Sn2
dan E2 jika dibandingkan dengan Sn1 dan E1.
Misalnya, gugus alkil pada alkil halida adalah primer, yaitu 1bromobutana. Kedua proses dapat terjadi:

Hasilnya adalah campuran 1-butanol dan 1-butena. Reaksi Sn1 cenderung


terjadi jika digunakan pelarut yang lebih polar (air), konsentrasi basa yang sedang
dan suhu sedang. Reaksi E2, cenderung terjadi jika digunakan pelarut yang
kurang polar, konsentrasi basa yang tinggi, dan suhu tinggi.
Seandainya kita mengganti alkil halida primer menjadi tersier, reaksi
substitusi akan terhambat (ingat, urutan reaktivitas untuk reaktivitas Sn2 adalah

33

1>2 >> 3). Tetapi, reaksi eliminasi akan cenderung terjadi karena hasilnya
adalah alkena yang lebih tersubstitusi. Pada kenyataannya, dengan t-butil
bromida, hanya proses E2 yang terjadi.

Jadi, bagaimana kita mengubah butyl bromida tersier menjadi alkoholnya?


Kita tidak menggunakan ion hidroksida melainkan air. Air merupakan basa yang
lebih lemah daripada ion hidroksida, sehingga reaksi E2 ditekan. Air juga
merupakan pelarut polar, yang menguntungkan mekanisme ionisasi. Dalam hal
ini, E1 tidak dapat dihindari sebab persaingan antara E1 dan Sn1 cukup berat.
Hasil utama adalah hasil substitusi (0%), tetapi eliminasi masih terjadi
(20%).
Ringkasannya, halida tersier bereaksi dengan basa kuat dalam pelarut
nonpolar memberikan eliminasi (E2), bukan substitusi. Dengan basa lemah dan
nukleofil lemah, dan dalam pelarut polar, halida tersier memberikan hasil utama
substitusi (sn1), tetapi sedikit eliminasi (E1) juga terjadi. Halida primer bereaksi
hanya melalui mekanisme-mekanisme Sn2 dan e2, karena mereka tidak terionisasi
menjadi ion karbonium. Halida sekunder menempati kedudukan pertengahan, dan
mekanisme yang terjadi sangat dipengaruhi oleh keadaan reaksi. Halida-halida
sekunder dapat bereaksi melalui mekanisme Sn1 danSn2 secara serentak.
3.2 Contoh-Contoh Reaksi Substitusi Nukleofilik Dan Eliminasi

34

Nukleofil dapat digolongkan menurut jenis atom yang membentuk ikatan


kovalen. Nukleofil yang umum adalah nukleofil oksigen, nitrogen, belerang,
halogen, atau karbon. Berikut ini kita akan melihat beberapa contoh reaksi yang
melibatkan reaksi nukleofil-nukleofil tersebut dengan alkil halida.
3.2.1 Sintesis eter dengan cara Williamson
Reaksi pembuatan eter yang paling umum adalah dengan metode
Williamson. Pada tahap pertama, alcohol direaksikan dengan logam natrium untuk
menghasilkan alkoksida.

Alkil halida RX kemudian ditambahan pada campuran ini, dan


dipanaskan untuk menghasilkan eter.

Karena R dan R dapat divariasikan secara luas (kecuali R tersier), maka


sintesis ini sangat bermanfaat.
3.2.2 Amina dari alkil halida (Sn2)
Amoniak bereaksi dengan alkil halida menjadi amina melalui proses dua
tahap. Tahap pertama adalah reaksi substitusi nukleofilik.

Dalam reaksi ini digunakan amoniak berlebihan, dan pada tahap berikutnya
amoniak kedua bertindak sebagai basa mengambil proton dari ion
alkilamonium sehingga terbentuk amina.

35

Kedua persamaan (7.15 dan 7.16) dapat digabungkan menjadi persamaan


(7.17) seperti berikut:

Sama halnya dengan sintesis eter Williamson, sunbstitusi nukleofilik (pers.


7.17) berlangsung dengan baik jika R merupakan gugus alkil primer atau
sekunder.
Amina primer yang terbentuk mempunyai pasangan elektron bebas pada
nitrogen, dan karenanya dia juga adalah nukleofil yang dapat bereaksi
dengan alkil halida menghasilkan amina sekunder.

Amina sekunder juga masih mempunyai pasangan elektron bebas pada


nitrogen sehingga dia masih merupakan nukleofil, dan bereaksi dengan alkil
halida menghasilkan amina tersier.

Akhirnya, amina tersier juga bereaksi lagi dengan alkil halida menghasilkan
garam kuaterneri karena amina tersier juga adalah suatu nukleofil.

Jadi reaksi antara amoniak dengan alkil halida menghasilkan campuran


antara amina primer, sekunder, dan tersier.
3.2.3 Pembuatan senyawa nitril (Sn2)

36

Suatu reaksi yang sangat bermanfaat adalah reaksi antara alkil halida
dengan suatu anion karbon. Reaksi ini memerlukan suatu karbanion yang
stabil, dan yang memenuhi adalah sianida.

Reaksi ini menyatakan suatu cara mudah untuk memperpanjang suatu


rantai dengan satu ato, karbon. Reaksi ini memberikan hasil yang baik untuk
hampir semua halida primer dan sekunder, tetapi halida tersier tidak.
3.2.4 Pembuatan alkuna (Sn2)
Reaksi asam-basa antara 1-alkuna dengan suatu basa kuat akan
mengarah pada pembentukan garam.

Alkunida adalah pereaksi nukleofil, dan mereka masuk ke dalam reaksi substitusi
nukleofilik dengan menyerang atom karbon agen pengalkilasi dengan
menggantikan gugus pergi. Hasil reaksi ini adalah alkilasi alkunida menghasilkan
alkuna baru.
Umumnya reaksi ini terbatas untuk situasi dalam mana agen pengalkilasi
(alkil bromida atau alkil sulfonat) adalah primer dan tidak bercabang pada
atom karbon- nya.
3.2.5 Pembuatan alkena (E2)
Reaksi eliminasi , bimolekuler menyatakan suatu metode yang sangat
penting untuk pembuatan alkena dan alkuna. Di dalam perencanaan, suatu
sintesis dengan menggunakan metode ini, pendekatan yang paling praktis
adalah menggunakan halida atau sulfonat yang dapat menghasilkan hanya
satu alkena.
Monodehidrohalogenasi 1,1-dihabalkana atau 1,2-dihaloalkana dibawah
kondisi yang lembut menyebabkan pembentukan vinil halida.

37

Didalam reaksi eliminasi, produk yang dominan biasanya sesuai dengan


hokum Saytzeff, yaitu olefin yang atom karbon-tak jenuhnya mengandung
substutien lebih banyak.
Contoh:

3.2.6 Pembuatan Alkuna (E2)


Jika vinil halida diolah dengan basa yang sangat kuat maka terbentuk
alkuna.

Hal yang serupa jika 2 mol hydrogen halida dieliminasi dari 1,1 dihalida
atau1,2- dihalida akan dihasilkan alkuna.

Dalam pembuatan dan penanganan senyawa oragnologa, reaktif seperti


pereaksi Grignard, kita mencegahnya kontak dengan udara atau pelarut-pelarut
protik. Bekerja dengan zat-zat ini dianjurkan menggunakan pelarut kering dan
atmosfir inert.

Sebagai contoh, air menghidrolisis pereaksi Gridnard

menghasilkan alkana.
Oleh karena ikatan karbon-magnesium terpolarisasi dengan muatan parsil
negatif pada karbon dan muatan positif pada magnesium, penataan ulang tidak
pernah menyertai ion karbonium yang terbentuk dari pereaksi Grignard. Sebagai

38

contoh pereaksi grignard dapat dibuat dari neopentil klorida tanpa


terjadinya pentaan ulang.

Dalam pembuatan pereaksi Grignard dari alkil klorida dan vinil halida
yang kurang reaktif, umumnya tetrahidrofuran digunakan sebagai pelarut

39

Organic synthesis notation


The synthesis of organic molecules consists of the construction of
compounds via organic reactions. Although some organic molecules can be simple
to construct and design, some complex compounds can require many reaction
steps to sequentially build the desired molecule. It is important that we can
identify some steps common to most reactions and that we are able to represent
these reactions in a manner that is recognised by most chemists.
Curly arrow notation
All chemical reactions involve the breaking and making of bonds. The
way that bonds break has an important bearing on the direction a reaction will
take and on the mechanism of that reaction. In order to represent an organic
reaction mechanism diagrammatically and to give an impression of bonds
breaking and bonds being made we use curly arrows. Despite their quaint name,
curly arrows are an important part of showing how bonds are formed and broken,
being used specifically to show the movement of electrons, both singly and in
pairs. Curly arrows should not be used for any other purpose in organic chemistry.

shows the movement of an electron pair (double-headed arrow)

shows the movement of a single electron (single-headed arrow)


In both cases, the arrow tail starts from where the electron
pair/electron originates and the arrow head points to where the electron
pair/electron finishes. We can illustrate this with the reaction between
ethene and hydrogen bromide.
Remeber that a covalent bond is formed by the sharing of electrons and
can be denoted either by a solid line representing a bond or by the two
dots representing the electrons themselves, for example:

40

HBr or H:Br
The reaction between ethene and hydrogen bromide is:
C 2 H 4 + HBr

H2C
H

CH 3 CH 2 Br

CH2
Br
The electrons move from the ethene and a new bond

forms with the hydrogen from the hydrogen bromide. At the same time the
pair of electrons in the hydrogen bromide bond moves to the bromine
atom. This is shown here using the curly arrow notation. Note that the
head of the arrow points between the carbon and hydrogen as that is where
the new bond is formed. It is not necessary to show the electrons
themselves since the bond is shown instead.
H
+

H2C

Br

The second stage of this reaction allows us to illustrate

how to use curly arrows for a lone pair of electrons.


The first stage of the reaction has left us with a positive charge on one
carbon and a negative bromide ion. Remember there are another three lone
pairs of electrons on the outside of the bromide ion but these are not
required to be shown as they are not involved in the bond-making process.
However, you must show the lone pair that you are interested in as a pair
of dots. Once again, notice that the head of the arrow is pointing to a place

41

between the carbon and the bromide ion since this is where the bond is
formed.
You will be required to represent many reactions using curly arrows and
you will find some examples in the next section that utilise curly arrows to
represent the movement of both electron pairs and single electrons.
Bond fission
In organic chemical reactions covalent bonds are created and broken. Bond
breaking is also known as bond fission. There are two ways in which bond
fission can happen: homolytic (homo from Latin meaning the same) and
heterolytic (hetero from Latin meaning different) fission.
Homolytic fission
In this type of bond fission, the two shared electrons separate equally, one going
to each atom:

H : Br
(Remember the single-headed arrow,

H + Br
, shows movement of only one electron.)

The dot beside each atom represents the unpaired electron that the atom
has retained from the shared pair in the bond. The atoms are electrically neutral
because each has equal numbers of protons and electrons. However, the atoms are
highly reactive because the unpaired electron has a strong tendency to pair up with
another electron from another atom or molecule.
Such highly reactive atoms or groups of atoms containing unpaired
electrons are called free radicals and because of their high reactivity they exist
only as reaction intermediates.

42

Free radicals are most likely to be formed when the bond being broken is
non-polar, i.e. it has electrons that are more or less equally shared.
One reaction that you have previously studied at Higher level is the
substitution reaction between methane and chlorine, in which one of the hydrogen
atoms in methane is replaced by a chlorine atom. This is a free-radical chain
reaction and is a good example of where we can use both free radicals and curly
arrows to help understand the mechanism.
In the initiation step, UV light is required to split the chlorine molecules
into two chlorine free radicals:

UV

Cl : Cl

Cl + Cl (or 2Cl)

The propagation step involves two steps that allow this reaction to
be classed as a chain reaction. Firstly, a chlorine radical can collide with a
methane molecule, resulting in the removal of a hydrogen atom:
H

H
H

C
H

43

Cl

+ H : Cl
A methyl radical, CH 3 , is produced and, in the second step, collides
with another chlorine molecule that has not been split up by the UV light,
producing more chlorine radicals, which keep the reaction repeating:

H
H

C
H
H

Cl

ClCl

+ Cl

There are three possible termination steps, all of which remove the
radicals from the process.

44

1.

Cl + Cl

Cl : Cl

H
H

C
H

H
H

Cl

2.

Cl

H
H

C
H

45

3.

The overall process is known as free-radical substitution or a freeradical chain reaction.


Heterolytic fission
If, when the bond breaks, one atom retains both of the electrons from the
former covalent bond then an ion pair is formed, for example:

H+ + :Br

H : Br

(Note that the curly arrow here is double headed since it indicates that a
pair of electrons has shifted.)
Heterolytic fission is more likely when a bond is already polar. For
example, bromomethane contains a polar CBr bond, and under certain conditions
this can break heterolytically:

H
H

C
H

+ Br

46

It should be noted that the CH 3 + ion contains a positively charged


carbon atom. The CH 3 + ion is an example of a carbocation (also called a
carbonium ion). Sometimes heterolytic fission can lead to the formation
of ions containing a negatively charged carbon atom. These ions are called
carbanions. Generally speaking, both these types of ions tend to be
unstable and highly reactive. Consequently, they only exist as short-lived
reaction intermediates.
Electrophiles and nucleophiles
In reactions involving heterolytic bond fission, attacking groups are
classified as nucleophiles or electrophiles.
Nucleophile means nucleus-loving and nucleophiles are electronrich species that seek out an electron-deficient site, for example OH , Cl ,
Br , CN , NH 3 and H 2 O. They are atoms or groups of atoms that are
attracted towards atoms bearing a positive charge, capable of donating and
sharing electrons to form a new bond. Nucleophiles may be uncharged
molecules or negative ions, but must have at least one lone pair of
electrons.
Electrophile means electron-loving and these are electron-deficient
species, for example H + , Cl + , Br + , I + , NO 2 + , CH 3 + and CH 3 CO + . They are
usually positive ions or uncharged molecules, with one atom that has a
slightly positive charge, such as the S in SO 3 .
+

H3C
electrophile

Br

nucleophile

The terms electrophile and nucleophile do not apply only to ions.


Partial negative and positive charges can be found in many organic
compounds that are polar. These partial charges can also act as
electrophilic or nucleophilic centres.

47

Halogen atoms generally have a higher electronegativity than


carbon and so it is reasonable to expect that the CX bond in the
haloalkane will be polarised, with the carbon atom carrying a partial
positive charge. This means that this carbon atom will be susceptible to
attack by nucleophiles. If the CX bond breaks heterolytically, an X ion
will be formed. Chloride, bromide and iodide ions are all stable ions and
are regarded as good leaving groups. This means that the presence of these
atoms in a molecule will facilitate the heterolytic fission of the bond. In
general, a nucleophilic substitution reaction can be represented as shown
below, where Y represents the attacking nucleophile and X is the leaving
group.

In fact, nucleophilic substitution can occur by either of two distinctly


different mechanisms.
Nucleophilic substitution
Nucleophilic substitution is simply a reaction in which an attacking
nucleophile replaces a leaving group. Nucleophilic substitution reactions
fall into two categories: S N 1 or S N 2. In order to determine which
mechanism applies to an organic compound we must look at the structure
of the carbon skeleton.
S N 1 reaction mechanisms
A common example of this reaction mechanism is the reaction of 2bromo-2-methylpropane with hydroxide ions using a solvent of aqueous
ethanol (to help increase the solubility of the haloalkane). The mixture is
heated under reflux.
This mechanism forms a true intermediate carbocation, as the cation
itself is relatively stable. Although this happens, this step is very slow and
so is regarded as the part of the reaction that determines the reaction rate.
48

HO

H3C

CH3

CH3
HO

Br

CH3

Br

H3C

CH3

Once the carbocation has formed it will quickly react with the
attacking nucleophile, as its electrons will be highly attracted to the
carbocation itself. The carbocation is planar, which suggests that the
substitution of the nucleophile could happen on either side. In reality there
is some steric hindrance from the departing bromide ion and so the
hydroxide slightly favours the opposite side.
CH3
HO

H3C

CH3

Br

Br

HO
CH3

CH3
CH3

Effectively the hydroxide ion has taken the place of the leaving
bromide ion. Because the slow first step of this mechanism only involves
one species (the haloalkane) this is an S N 1 reaction, where S stands for
substitution and

refers to nucleophilic. The 1 also means it is a first-

order reaction (see the unit on physical chemistry).


CH3

CH3
HO

H3C

Br

CH3

HO

H3C

Br

CH3

HO
CH3

CH3
CH3

In general, if the compound (the haloalkane in this case) can form a


relatively stable positive ion (cation) then the more favourable reaction
will be via the S N 1 mechanism. Other compounds will react via the S N 2
mechanism. The more heavily substituted the cations are, the more stable
they will be. In the case of haloalkanes, tertiary and some secondary
haloalkanes react via the S N 1 mechanism, as the attacking nucleophile
49

Br

would have to negotiate its way to the carbon atom between the sometimes
large alkyl groups. The reaction is much less likely to proceed via the S N 2
reaction mechanism (see below).
S N 2 reaction mechanisms
In an S N 2 mechanism there are two species involved in the ratedetermining step. This type of mechanism is more likely to occur with a
primary haloalkane, such as bromoethane, as used here.

HO

CH3

Br

CH3

CH3
HO

Br

HO

: Br

This is a one-step reaction in which a single five-centred transition


state is formed. The hydroxyl group approaches from the side away from
the bromine. In this reaction the S stands for substitution,

for

nucleophilic and the 2 is because the initial stage of the reaction involves
two species the bromoethane and the hydroxide ion. The 2 also means
it is a second-order reaction (see the unit on physical chemistry). By using
a chiral haloalkane the final product is one where the configuration of the
carbon atoms has inverted.
HO

H5C2

CH3

Cl

CH3

CH3
HO

H 5C 2

Cl

HO

H
C2H5

50

:Cl

This is called the Walden inversion, since it was first observed in


1896 by chemist Paul Walden . In the Walden cycle it is possible to convert
one enantiomer of a chemical compound into the other enantiomer and
back again.
BENZENA DAN TURUNANNYA
Para kimiawan membagi semua senyawa organik ke dalam dua kelas yang
lebih luas, yaitu senyawa alifatik dan senyawa aromatik. Berasal dari kata alifatis
berarti bersifat lemak dan aromatik berarti harum. Senyawa alifatik adalah
senyawa rantai terbuka atau senyawa siklik yang sifat kimianya mirip dengan
senyawa rantai terbuka, sedangkan senyawa aromatik adalah benzena atau
senyawa yang sifat kimianya menyerupai benzena.
Suatu senyawa aromatik mengandung orbital terdelokalisasi delokal yang
berbentuk cincin. Banyaknya elektron p yang terlibat dalam orbital delokal harus
tunduk pada rumus Huckel:
Elektron p = 4 n + 2
Dengan n = 0, 1, 2, 3,.
Contoh senyawa aromatik adalah benzena dan naftalena. Adapun rumus
strukturnya sebagai berikut:

Semua atom C dalam senyawa-senyawa di atas mempunyai hibrida sp2


dan terletak dalam satu bidang dengan orbital p yang tegak lurus pada bidang.

51

Sejalan dengan konsep ikatan delokalisasi maka benzena mempunyai orbital


terdelokalisasi yang berbentuk cincin, dan elektron p sebanyak 6 (mengikuti
hokum Huckel dengan n = 1). Dalam naftalena, jumlah electron p-nya adalah 10.
Hal ini mengikuti hokum Huckel dengan n = 2.
A.

Tata nama dari Aromatik


Nama trivial asli dari sejumlah senyawa aromatik yang biasa telah diterima
oleh IUPAC sebagai nama sistematik. Beberapa nama trivial ditulis pada Tabel 5.1
Ada cukup banyak senyawa aromatik yang ditemukan jauh sebelum metode
pemberian nama secara sistematik (IUPAC) digunakan. Oleh karena itu pemberian
nama umum yang tanpa aturan yang jelas cukup banyak digunakan hingga
sekarang. Beberapa contoh diantaranya adalah:

Jika diperhatikan nama tiga senyawa pertama yaitu benzena, toluene dan
stirena, tampak adanya kesamaan. Sebagai satu kelompok senyawa hidrokarbon
aromatik tersebut dinamakan arena.
Selain dari nama trivial biasanya kita juga memberi nama aromatik
monosubstitusi dengan benzennya sebagai nama induk. Nama substitusi menjadi
awalan bagi nama induk. Benzena monosubstitusi dinamakan sebagai turunan
benzena, seperti:

Dalam hal benzena tersubstitusi dua gugus, ada tiga kemungkinan isomer
yaitu isomer orto (o), meta (m) dan para (p). Contohnya adalah:

52

Pada beberapa contoh di atas, kedua substituen adalah sama. Awalan orto,
meta, dan para tetap digunakan walaupun kedua subtituen berbeda, seperti:

Cara lain untuk mengetahui letak substituen adalah dengan memberi nomor
pada atom karbon penyusun cincin. Metode penomoran ini sangat berguna jika
terdapat lebih dari dua substituen, atau dengan sistem ortho, meta, para yang
menunjukkan hubungan tempat antara kedua gugusan dalam cincin misalnya:

Gugus fenil dan benzil sering digunakan pada penamaan senyawa-senyawa


aromatik. Struktur kedua gugus tersebut adalah:

53

Gugus fenil sering dituliskan dengan lambing Ph atau PE. Sedangkan lambing
Ar digunakan untuk gugus aril (aromatik). Beberapa contoh disajikan berikut ini:

Tabel 5.1 Nama Trivial Dari Beberapa Benzena yang Bersubstitusi


Rumus bangun nama
CH 3

H3C

Toluena

CH 3

OH

Para-xilene

NH2

Fenol

Anilin

O
CH

B.

CH2

Stirene

COH

Asam benzoat

Ikatan Dalam Aromatik


Dalam tahun 1825 Ahli Kimia Inggris Michael Faraday mengisolasi suatu
cairan berminyak dari saluran gas London. Senyawa ini ternyata mempunyai
rumus molekul C2H6 dan diberi nama Benzena. 40 Tahun kemudian ahli Kimia
Jerman, Friederich August Kekule menemukan struktur ini. Hampir 75 tahun
kemudian baru dibentuk struktur benzen yang modern.
Persoalan pertama dalam membuat struktur benzen yang dapat diterapkan
berdasarkan fakta bahwa struktur yang adekuat tak dapat digambarkan apabila
memakai garis ikatan yang biasa. Sekarang kiat emngetahui bahwa enam karbon
atau benzen adalah sp2 yang hibrid dan disusun dalam bentuk cincin dengan 6

54

anggota. Tiap atom karbon mengandung sebauah elektron dalam orbit p. Kita
harapkan bahwa enam elektron p ini ada dalam tiga ikatan.

atau

Tetapi rumus bangun ini tidak menerangkan mengapa benzene tak mengalami
reaksi seperti alkena.
Lagi pula semua ikatan C-C dalam benzen panjangnya sama, tak mengandung tiga
ikatan rangkap yang pendek dan tiga ikatan tunggal yang panjang.
Semua ikatan C-C mempunyai panjang iaktan 1,40A, ikatan antara ikatan tunggal
C-C (1,54 A) dan antara ikatan rangkap C=C (1,34A).
H
H

C
C

C
C

C. Aromatisasi Dan Aturan HUCKE


Struktur

benzena

dan

turunannya

seperti

disebutkan

diatas

memperlihatkan adanya 6 elektron dalam sistem siklik terkonjugasi.


Siklobutadiena dan siklooktatetraena juga memiliki cincin siklik dengan ikatan
rangkap dua terkonjugasi

siklobutadiena

siklooktatetraena

Sekarang timbul pertanyaan yaitu apakah kedua senyawa tersebut termasuk


senyawa aromatik?

55

Ternyata keduanya tidak memiliki sifat aromatik walaupun terdapat ikatan


terdelokalisasi pada cincinnya. Menurut Huckel, senyawa aromatik adalah
senyawa yang memiliki sistem ikatan rangkap dua terkonjugasi dengan jumlah
elektron = (4n + 2), dengan n adalah bilangan bulat 0, 1, 2, 3 jadi senyawa
siklik dengan ikatan rangkap dua terkonjugasi memiliki jumlah elektron = 2, 6,
10, 14 . Adalah aromatik. Sedangkan siklobutadiena dan siklooktatetraena
dengan 4 dan 8 elektron , tidak memenuhi rumusan 4n + 2 sehingga bukan
senyawa aromatik.
a.

Ion-Ion Aromatik
Mencermati definisi Huckel di atas terlihat bahwa batasan tersebut tidak

mempersyaratkan bahwa banyaknya orbital p harus sama dengan jumlah elektron


. Kenyataannya kedua hal ini dapat saja berbeda. Rumusan Huckel berlaku luas
terhadap berbagai jenis spesies kimia, bukan hanya terhadap hidrokarbon netral.

Contoh:
+

anion siklopentadienil

kation sikloheptatrienil

Kedua spesies ini adalah aromatik


Molekul netral siklopentadiena sendiri tidak bersifat aromatis karena
molekulnya tidak terkonjugasi penuh. Karbon gugus CH2- dalam cincin adalah
hibrida sp3, jadi menghalangi konjugasi siklis orbital p. Akan tetapi bila satu
atom H dari gugus CH2- lepas maka karbon sp3 berubah menjadi sp2 sehingga
spesies sekarang mengandung 5 orbital p. Ada 3 cara pelepasan hidrogen dari
gugus CH2-, yaitu atom H pergi dengan membawa satu elektron, atom H pergi
tanpa electron, dan atom H membentuk radikal.

56

Teori resonasi meramalkan ketiga spesies di atas sangat stabil sebab


masing-masing mempunyai 5 struktur resonasi yang ekuivalen. Sedangkan teori
Huckel meramalkan bahwa hanya anion yang dengan 6 elektron p adalah
aromatik. Kenyataannya kation dan radikal siklopentadienil sulit dibuat,
sedangkan karbanionnya dengan mudah dibuat dan karbanion ini sangat stabil.
Fakta lain yang mendukung adalah bahwa siklopentadiena adalah hidrokarbon
yang paling asam di antara hidrokarbon yang lain, pKa dari kebanyakan
hidrokarbon 45, sedangkan siklopentadiena mempunyai pka = 16, harga yang
sebanding denganpKa air.
Siklopentadiena bersifat asam oleh karena anion yang terbentuk oleh
ionisasi adalah cukup stabil. Tidak peduli bahwa anion siklopentadienil hanya
mempunyai 5 orbital p.
Dengan alas an yang serupa dapat digunakan untuk meramalkan kestabilan
kation, radikal dan anion sikloheptatrienil. Menurut teori resonansi ketiga spesies
ini mempunyai kestabilan yang tinggi, akan tetapi menurut Huckel hanya kation
sikloheptatrienil yang mempunyai kestabilan aromatik.
b. Pandangan Teori Resonansi
Pada mulanya struktur benzena dinyatakan oleh Kekule seperti berikut:

Akan tetapi karena panjang ikatan dalam molekul benzena semuanya sama,
yaitu 1,39 A, dan benzena adalah senyawa tunggal (tidak mempunyai isomer);
maka ikatan delokal dalam sistem benzena ditulis dengan struktur resonansi
sebagai berikut:
Banyaknya ikatan p dan s adalah sama, karena itu dikatakan kedua struktur
ekivalen dalam energi dan merupakan struktur resonansi yang penting. Masih ada
struktur resonansi benzena yang lain, namun struktur resonansi tersebut tidak

57

penting karena kandungan energinya tinggi. Misalnya yang dituliskan sebagai


berikut:

Semakin banyak struktur resonansi yang dibuat untuk suatu senyawa, semakin
besar pula energi resonansinya dan semakin stabil senyawa tersebut.
c. Energi Resonansi Pada Benzena
Untuk menghitung tentang apa yang dimaksud dengan energi resonansi, maka
simaklah data panas hidrogenasi beberapa senyawa sebagai berikut:

Dari persamaan (6.1) terlihat bahwa untuk hidrogenasi satu ikatan rangkap
dua dilepaskan kalor sebesar 28,6 kkal/mol. Sedangkan persamaan (6.2)
menunjukkan bahwa hidrogenasi dua buah ikatan rangkap dua dilepaskan kalor

58

sebesar 55,4 kkal/mol. Harga ini kira-kira sama dengan 2 x 28,6 kkal/mol. Dengan
demikian dapat diharapkan bahwa hidrogenasi tiga buah ikatan rangkap dua
seperti struktur resonansi benzena akan melepaskan kalor sebesar 3 x 28,6 = 86
kkal/mol. Sedangkan dari persamaan (6.3) terlihat bahwa panas hidrogenasi
molekul benzena yang sesungguhnya adalah 49,8 kkal/mol. Untuk lebih jelasnya
harga-harga tersebut disajikan dalam diagram berikut:

Gambar 5.1. Diagram energi sikloheksana,


Sikloheksena,sikloheksadiena dan benzen
Dari diagram di atas terlihat bahwa molekul benzena yang sesungguhnya
memiliki energi lebih rendah dari pada struktur resonansi yang dibuat. Hal ini
berarti bahwa struktur benzena yang sesungguhnya adalah lebih stabil disbanding
struktur resonansinya yang paling stabil. Pada diagram juga tampak bahwa antara
struktur benzena sesungguhnya dengan struktur resonansi terdapat selisih energi
sebesar 36 kkal/mol. Harga selisih energi ini dinamakan energi kestabilan atau
energi resonansi. Jadi energi resonansi adalah perbedaan energi antara struktur
sesungguhnya dengan struktur resonansi yang paling stabil. Semakin besar energi
resonansi, maka senyawa bersangkutan semakin stabil.
C.Reaksi Substitusi Dari Senyawa Aromatik
a. Substitusi Elektrofilik Aromatik
Perbedaan sifat kimia antara struktur aromatik dengan struktur konjugasi
rantai terbuka terlihat dari reaksinya terhadap halogen. Sistem aromatik

59

mengalami reaksi substitusi sedangkan sistem konjugasi ploena mengalami reaksi


adisi.
Beberapa contoh reaksi substitusi terhadap benzena adalah sebagai berikut:

Mekanisme Substitusi Elektrofilik Aromatik


Ditinjau reaksi klorinasi benzen berikut:

Dalam reaksi ini, klor digunakan sebagai sumber elektroifil, sedangkan


feriklorida yang merupakan asam Lewis sebagai katalisator.
Tahap pertama dari reaksi klorinasi tersebut adalah pembentukan elektrofil
dari klor. Reaksinya adalah:

Pada tahap kedua terjadi serangan elektrofil berupa ion kloronium tersebut
terhadap cincin benzena, persamaannya:

60

Sebagai hasil adalah terbentuknya karbokation. Orbital kosong dari


karbokation segera membentuk ikatan terdelokalisasi dengan orbital p atom
karbon lain pada cincin seperti halnya ikatan terdelokalisasi pada ion afilik.
Struktur ikatan terdelokalisasi yang bermuatan positif ini disebut ion
benzenonium. Struktur hibrida resonansinya dituliskan sebagai berikut:

Ion feCl4 yang terbtnuk pada tahap pertama berada dalam keadaan kesetimbangan
dengan ion klorida sesuai persamaan berikut:

Adanya nukleofil berupa ion klorida tersebut menyebabkan lepasnya satu


proton, dan terbentuk lagi sistem terdelokalisasi cincin benzena, persamaannya:

Beberapa macam elektrofil disajikan dalam Tabel 6.1 di bawah ini:


Tabel 6.1 Elektrofil Umum pada Substitusi Aromatik
Elektrofil
Cl+

Nama
Ion Kloronium

Proses
Klorinasi

Br+

Ion bromonium

Brominasi

NO2+

Ion nitronium

Nitrasi

61

SO3 atau SO3H+

Ion sulfat trioksida (terprotonasi)

Sulfonasi

R+

Ion karbonium

Alkilasi

Substituen Pengaktif dan Pen-Deaktif Cincin


Diketahui struktur beberapa senyawa sebagai berikut:

Data kecepatan reaksi nitrasi (campuran HNO3 dan H2SO4) senyawasenyawa di atas relatif terhadap benzena adalah sebagai berikut:
Toluena = 24,5
Benzena = 1,0
Klorobenzena = 0,003
Nitrobenzena = 0,0000001
Kesimpulan dari fakta tersebut adalah bahwa gugus CH3 bersifat
mengaktifkan cincin benzena terhadap substitusi elektrofilik, sedangkan gugus
klor dan nitro bersifat mendeaktifkan cincin benzena terhadap reaksi elektrofilik.
Gugus seperti CH3 disebut gugus pengaktif cincin, sedangkan gugus seperti klor
dan nitro disebut gugus pendeaktif cincin benzena.

Gugus Pengarah Orto, Para Dan Meta


Apabila toluene dinitrasi maka NO2+ menyerang sebagian besar pada
posisi orto dan para, sebaliknya hanya sedikit yang menyerang pada posisi
meta. Reaksinya adalah:

62

Terlihat bahwa produk orto dan para lebih dominan dari pada meta.
Dapatkah teori Kimia Organik menerangkan kenyataan ini?
Diketahui bahwa pada reaksi ini terbentuk zat antara reaktif yang disebut
ion benzenonium. Postulat Hammond menyatakan bahwa arah dari reaksi
ditentukan oleh kestabilan ion benzenonium, ion benzenonium yang terjadi
pada serangan orto, para, dan meta sebagai berikut:
Serangan orto, para :

Serangan meta :

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ion benzenonium pada


penyerangan orto dan para mempunyai hibrida resonansi dengan karbokation
tersier. Hal ini tidak terjadi pada serangan meta. Dapat diartikan bahwa ion
benzenonium yang terbentuk pada penyerangan orto-para lebih stabil daripada ion

63

benzenonium pada penyerangan meta. Berdasar pada postulat Hammond,


penyerangan orto-para haruslah dominan.
Selanjutnya ditinjau reaksi brominasi nitrobenzene dengan reaksi berikut:

Hibrida resonansi dari ion benzenonium yang terbentuk pada serangan orto,
para dan meta dapat digambarkan sebagai berikut:
Serangan meta :

Serangan orto, para :

Terlihat bahwa ion benzenonium yang terbentuk pada serangan orto dan
para memiliki karbon positif yang berikatan langsung dengan atom N yang
bermuatan positif pula. Struktur demikian adalah kurang stabil karena

64

menyebabkan lemahnya ikatan C N. Hal serupa tidak dijumpai pada


penyerangan meta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ion benzenanonium pada
penyerangan meta bersifat lebih stabil. Dengan mengacu pada prinsip Hammond
di atas, maka penyerangan orto, para dan meta disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 6.2 Gugus Fungsi Pengarah
Pengarah orto, para
-CH3, CH2 CH3 (alkil)

Pengarah meta
-NO2, -SO3H

-F, -Cl, -Br, -I

-COR, -CO2H, -CO2R

-OH, -OCH3, -OR

-CoN

-NH2, -NHR, -NR2


Berkaitan dengan uraian di atas, gugus pengarah orto dan para umumnya
adalah gugus pengaktif cincin, Sedangkan gugus pengarah meta adalah gugus
pendeaktif cincin.
Perkecualian untuk gugus berupa atom halogen (F, Cl, Br dan I), halogen
adalah pengarah orto dan para namun bersifat mendeaktifkan cincin.
b. Pentingnya Gugus Pengarah Dalam Sintesis
Fungsi gugus pengarah dan pengaktif cincin adalah penting dalam
merancang sintesis bertahap yang melibatkan substitusi aromatik. Sebagai
contoh diberikan soal berikut:
Rancangan sintesis senyawa-senyawa berikut, dimulai dengan benzena!
3. asam m-klorobenzenasulfonat
4. p=nitrotoluena
Jawab:
a. Pembuatan asam m-klorobenzenasufonat dari benzena dimulai dengan reaksi
sulfonasi terlebih dahulu, selanjutnya diikuti klorinasi. Hal ini dikerjakan
mengingat gugus sulfonat adalah gugus pengarah meta, sehingga klor akan
terikat pada posisi meta. Sebagai hasil dapat diperoleh senyawa seperti yang
diharapkan.

65

Reaksi di atas tidak dapat dibalikm seandainya dibalik yaitu klorinasi terlebih
dahulu kemudian diikuti dengan sulfonasi maka akan terbentuk senyawa
berbeda, yaitu asam orto dan para-klorobenzenasulfonat. Hal ini dapat terjadi
karena klor adalah gugus pengarah orto dan para.

b. Mengingat metil adalah gugus orto dan para, maka sintesis p-nitrotoluena
dikerjakan dengan alkilasi terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan nitrasi.
Reaksinya adalah sebagai berikut:

Dalam hal ini hasil yang diperoleh merupakan campuran hasil substitusi orto
dan para.

66

Jika ada dua gugus yang telah terikat pada cincin maka dalam rangka
pengikatan gugus ketiga, antara keduanya dapat saling menguatkan atau saling
melemahkan, tergantung pada jenis gugus yang ada tersebut.
c. Hidrokarbon Aromatik Polisiklik
Pada uraian yang terdahulu telah disebutkan konsep aromatik yaitu
kestabilan yang tinggi dari sistem siklik pada benzena dan turunannya. Pada
senyawa-senyawa yang telah diterangkan di atas hanya terdapat sebuah cincin
siklik.
Naftalena dengan rumus molekul C10H8, adalah senyawa aromatik
polisiklik yang banyak ditemui dalam ter batubara. Struktur naftalena
merupakan bidang datar dengan dua cincin benzena yang menyatu. Kedua
cincin tersebut menggunakan bersama dua buah atom karbon. Salah satu
struktur hibrida resonansinya.
Atas dasar konsep struktur delokal tersebut di atas maka resonansi hibrida
naftalena dapat dituliskan sebagai berikut:

Hal ini berarti bahwa naftalena dapat menyerupai struktur alkena terbuka.
Atas dasar itulah maka dapat diperkirakan bahwa naftalena lebih reaktif dari
pada benzena
d. Senyawa Aromatik Heterosiklik
Pada bagian ini akan diperkenalkan jenis senyawa aromatik yang
penyusun cincin siklisnya bukan atom karbon saja, melainkan juga terdapat
atom lain.
Atom yang sering ditemui antara lain nitrogen, oksigen, dan belerang.
Perhatikan struktur berikut:

67

Pada kedua senyawa di atas, nitrogen dalam keadaan hibrida sp2. Lima
atom karbon pada piridin masing-masing menyumbang 1 (satu) electron p,
sehingga untuk memenuhi jumlah 6 elektron p dibutuhkan satu elektron dari atom
N. Satu elektron ini berasal dari orbital p yang tegak lurus pada orbital sp2.
Dengan demikian, satu orbital sp2 terisi dua electron dari atom N tidak termasuk
pada sistem delokal. Sebagai akibat orbital sp2 terisi dua elektron tersebut, dia
dapat menerima proton dari asam membentuk garam ataupun membentuk ikatan
hidrogen dengan air.
Sedang pada pirol hanya ada 4 atom karbon dalam keadaan sp2, sehingga
untuk melengkapi jumlah 6 elektron p, atom nitrogen harus menyumbang dua
electron. Untuk itu atom N harus berada dalam keadaan sp2 dengan orbital p terisi
dua elektron yang tegak lurus pada bidang. Ketiga orbital sp2 dari atom N terikat
oleh dua tom C dan satu atom H. Karena itulah kebasaan pirol lebih lemah
disbanding piridin.
Beberapa senyawa aromatik kelompok piridin, dimana heteroatomnya hanya
menyumbangkan satu elektron kepada sistem aromatik diantaranya adalah:

Sedangkan beberapa contoh senyawa aromatik kelompok pirol dimana


heteroatomnya hanya menyumbangkan dua electron kepada sistem delokal,
diantaranya adalah:

68

An Electrophilic Aromatic Substitution Reaction: The Nitration of Methyl


Benzoate
In your study of aromaticity, you learned that not all aromatic chemical
species are derivatives of benzene but many are. In fact, most aromatic
compounds can be considered derivatives of benzene, and we shall use benzene to
explore the differences in reactivity between aromatic hydrocarbons, known as
arenes, and the aliphatic hydrocarbons called alkenes. We know from firstsemester organic chemistry that alkenes undergo addition reactions to the double
bond.
Alkenes are electron rich because of the two electrons in the bond of the double
bond. These electrons are seeking a positive charge or the positive end of a
reagent, and the positive charge or positive end of the reagent is seeking the
electrons. Thus, the reagent is an electrophile, and we describe the addition of the
reagent to the double bond as an electrophilic addition reaction.

negative electrons in bond seek positive reagent


H Br

BrH

cyclohexene

carbocation
intermediate

Br
H
bromocyclohexane

positive end of reagent seeks electrons in bond

Figure 1. Mechanism of the electrophilic addition of HBr to cyclohexene.


Remember, we describe reactions in terms of the reagent. If the reagent is
an electrophile, the reaction is electrophilic. It is easy to get confused, because the

69

organic substrate in an electrophilic addition is a nucleophile. Thus, first


determine whether the reagent is an electrophile or nucleophile. If the reagent is a
nucleophile, the reaction is nucleophilic; if the reagent is an electrophile, the
reaction is electrophilic. HBr is the reagent in Figure 1, because HBr contains no
carbon. Organic substrates must contain carbon.
Aromatic compounds (arenes) differ from alkenes in that arenes are
stabilized by resonance. Resonance is a way of showing how valence electrons are
distributed within a structure. For example, we can show that all of the carbon
atoms in benzene are identical by drawing two resonance structures, as shown in
Figure 2. We imagine two structures in which the bonds have changed
locations, as shown by the curved arrows. Electrons do not actually move. The
actual structure is a composite of the two; thus, every carbon atom in benzene is
identical in its properties.

Figure 2. Resonance structures of benzene.


When we can draw equivalent resonance structures, we say the species is
resonance stabilized, because it is more stable than a similar structure for which
we cannot draw resonance structures. Chemical systems tend to seek energy
minima that correspond to stable structures. Thus, aromatic compounds do not
normally undergo addition reactions, because that would require them to go from
a more stable to less stable structure. See Figure 3.

70

Br

H Br

benzene
aromatic

5-bromo-1,3-cyclohexadiene
non-aromatic

This reaction does not occur, because the product is not aromatic.

Figure 3. Hypothetical electrophilic addition to benzene.


Arenes undergo substitution reactions that we call electrophilic aromatic
substitution reactions because the substrate is aromatic, the reagent is an
electrophile or positive species, and a hydrogen atom on the aromatic ring is
replaced by the electrophile. The mechanism for an electrophilic aromatic
substitution is shown in Figure 4 in which E + represents any electrophile and
benzene is the arene organic substrate.

H
H

E+

slow
Step 1

fast
Step 2

Figure 4. Mechanism of an electrophilic aromatic substitution.


The mechanisms for the five kinds of electrophilic aromatic substitution
we cover in CHM 202 are all like the mechanism shown in Figure 4. The
electrophile forms a bond to the ring with a pair of electrons from the ring in

71

the slow first step. Then a proton is lost in a fast second step. After Step 1, an H
and E are bonded to the same carbon atom. In Step 2, the H departs; hence, the
reaction is a substitution. All we need do is show the curved arrows correctly.
Curved arrows show how bonds are formed and broken. (i.e., where the electrons
that form bonds come from and where the electrons of bonds that are broken go).
Look at benzene in Figure 4. The electrons that form a bond with the electrophile
E+ come from the benzene ring. Aromaticity is restored by the electrons holding
the proton that is lost by substitution of E. Note that only two curved magenta
arrows are required to show the mechanism for the overall reaction.
The Nitration Reaction
Formation of the Electrophile
Before the nitration reaction can take place, the electrophile, the positive
chemical species that forms a bond with the arene, must be made. The electrophile
is the nitronium ion, +NO2. The nitronium ion is formed by a reaction between two
strong acids, nitric acid and sulfuric acid.
Figure 5 shows the reaction between the two acids to form the electrophile +NO2.
Once formed, the +NO2 ion will bond to the arene.

H O N

+
O

nitric acid

H O S

H O N

O H

+
O

O S

O H

sulfuric acid
O N O

H O H

nitronium ion

Figure 5. Formation of the nitronium ion from nitric acid.


The nitronium ion is the positive ion or electrophile that substitutes for an
H atom on the benzene ring. Thus, in our reaction, +NO2 is the E+ in Figure 4. The

72

mechanism for the nitration of benzene is exactly like the mechanism in Figure 4
in which E+ becomes +NO2.
Mechanism for the Nitration of Benzene
Figure 6 shows the nitration of benzene.

H
H
benzene

+NO

slow
Step 1

NO2

carbocation
intermediate

fast
Step 2

NO2
nitrobenzene

Figure 6. Mechanism for the nitration of benzene.


In Step 1, a pair of electrons from the arene forms a bond with the
nitrogen atom of the nitronium ion, making a carbocation on an adjacent carbon
atom. Step 1 is the rate-determining or slow step in the overall reaction. In Step 2,
the loss of a proton restores aromaticity to the ring. Curved arrows (magenta
color) show where the electron pairs go by pointing at their new location. In Step
1, the first curved arrow starts at the electron pair in benzene and points at the
N atom of the nitronium ion. This means that the two electrons form a bond
between one of the two carbon atoms it shares initially and the nitrogen atom of
the nitronium ion. The other carbon atom that initially shares the bond acquires
a positive charge because it no longer shares the bond. At the end of Step 1, the
NO2 or nitro group is bonded to the ring, and a three-bonded carbon atom in the
ring has a positive charge (i.e., it is a carbocation). A carbocation is a carbon atom
that has only three bonds and a vacant p orbital. Thus, a carbocation is not a stable
chemical species. In Step 2, aromaticity is restored when the pair of electrons
from the H atom fills the vacant p orbital of the carbocation. This is shown by the
second curved arrow. The final product is nitrobenzene. The hydrogen atom
(proton) that leaves in Step 2 is bonded to the same carbon atom as the NO 2
group, making the reaction a substitution reaction.

73

Nitration of Methyl Benzoate


In our lab reaction, the substrate is methyl benzoate an ester rather than
benzene, because benzene is carcinogenic. When a group such as the
carbomethoxy group in methyl benzoate is bonded to the benzene ring, the group
determines where the electrophile, E+, will bond on the ring. Groups that can
donate electron density to the ring are called electron-donating groups, EDGs.
Electron donating groups cause the electron density in a benzene ring to be altered
so that the carbon atoms ortho and para to the EDG have more electron density
than do the carbon atoms meta to the EDG. On the other hand, groups that
withdraw electron density from a benzene ring when they are bonded to it are
called electron withdrawing groups or EWGs. Electron withdrawing groups alter
the electron density of the ring by making the ortho and para carbon atoms
positive relative to the carbon atoms meta to the EWG. This means that an
electrophile will bond to the ortho or para position of an EDG and meta to an
EWG. This is shown in Figure 7.

EDG

ortho, para
director

EWG

meta director

Figure 7. o,p and meta directors.


We use the concept of resonance to help us show how a group bonded to a
benzene ring changes the electron density of the ring. To draw a resonance
structure, we are permitted to move either non-bonded (n) or electrons but not

74

change the location of any atoms. When we move electrons, they must have a
place to go. Finding a place for either or n electrons to go is the first step is
drawing a resonance structure and is the key to determining whether a group is an
EDG or an EWG. Consider the structure of methyl benzoate shown in Figure 8 so
that its non-bonding electrons are visible.

n
O CH3

Figure 8. Methyl benzoate.


We do not want to memorize whether the carbomethoxy group is an EDG
or an EWG; we want to analyze the structure and determine from the structure
what kind of group it is. If the group is an EDG, or n electrons labeled as
blue electrons must be pushed into the ring via a new double bond at the green
bond linking the group to the ring. If the group is an EWG, electrons labeled as
red must be pushed out of the ring via a new double bond at the green bond.
Only n or electrons can move. In order to be an EDG, blue electrons must be
made to move so that they are pushed into the ring via the green bond that links
the group to the ring. Likewise, to be an EWG, red electrons must move out of
the ring across the green bond. When n electrons move, they must remain
associated with their atom, so they can only make new bonds. When
electrons move, they must remain associated with at least one of the atoms that

75

share them. Each oxygen atom can have one, two or three bonds, but must always
have eight valence electrons; whereas, carbon can have three or four bonds and
either eight or six valence electrons. When a three-bonded carbon has six valence
electrons, it is a carbocation with a vacant p orbital. When a three-bonded carbon
has eight valence electrons, it is a carbanion. Applying these constraint rules to
methyl benzoate, we can determine whether it is possible to form a double bond at
the green bond (i.e., whether the carbomethoxy group is an EDG or EWG). We
find that it is impossible to draw a structure with a double bond to the ring by
using the blue electrons ( or n electrons outside the ring). However, it is
possible to draw a structure with a double bond to the ring by using red
electrons ( electrons from the ring). If you cannot draw the resonance structures
that prove that the CO2Me group is an EWG, then please review the tutorial
entitled Resonance that accompanies this lab manual.
Mechanism for the Nitration of Methyl Benzoate
The mechanism for the nitration of methyl benzoate is the same as that
shown in Figure 6 except that we must make the NO 2 (nitro group) go to a meta
position relative to the CO 2Me group that is already bonded to the ring. This
means that the positive charge in the carbocation intermediate must be on an ortho
or para carbon relative to the CO2Me group.

CO2Me
H
H
methyl benzoate

NO2+

slow

CO2Me
H

Step 1

NO2

carbocation
intermediate

CO2Me
fast
Step 2

NO2

methyl m-nitrobenzoate

Figure 9. Mechanism for the nitration of methyl benzoate.

76

77

Anda mungkin juga menyukai