2011.01.1381 Elsa Rahellia, Hematemesis Melena
2011.01.1381 Elsa Rahellia, Hematemesis Melena
HEMATEMESIS MELENA
Disusun Oleh :
ELSA RAHELLIA
NIM : 2011.01.1381
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
obat-obatan
yang
ulserogenik
golongan
salisilat,
Hipertensi portal
Pembuluh reptur
Perdarahan di lambung
Sesak
Hb menurun anemis
Mual muntah & nafsu makan
Mualmenurun
muntah & nafsu makan menurun Cemas
4. Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendoskop, maka pemeriksaan
secara endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan
tepat tempat asal dan sumber perdarahan. Keuntungan lain dari
pemeriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk
dokumentasi, aspirasi cairan, dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik.
Pada perdarahan saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung,
pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau sedini
mungkin setelah hematemesis berhenti.
5. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi
penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab
perdarahan saluran makan bagian atas.
(H. M. Syaifoellah Noer. Prof. dr, dkk.2001.Hal 303)
1.7 Pengobatan
1. Pengawasan dan pengobatan umum
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini
mungkin dan sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan
pengawasan yang teliti dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan
penderita perdarahan saluran makan bagian atas meliputi :
a. Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan
efek sedatif morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.
b. Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila
perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair.
c. Infus cairan langsung dipasang dan diberi larutan garam fisiologis
selama belum tersedia darah.
d. Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan
bila perlu dipasang CVP monitor.
e. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk
mengikuti keadaan perdarahan.
jantung
iskemik.
Karena
itu
perlu
pemeriksaan
usaha-usaha
penanggulangan
perdarahan
diatas
mengalami
pertama
yang
dilakukan
adalali
resusitasi,
untuk
f. Medikamentosa
Antasida cair, untuk menetralkan asam lambung. Injeksi Simetidin
atau injeksi Ranitidine, yaitu antagonis reseptor H2 untuk mengurangi
sekresi asam lambung.
peningkatan aktifitas fibrinolisin. Injeksi Vitamin K, jika ada tandatanda Sirosis hati. Sterilisasi usus dengan Laktulosa oral serta Clisma
tinggi, jika ada tanda-tanda sirosis hati, ditambahkan Neomycin atau
Kanamycin.
2. Tindakan Khusus
Tindakan khusus ini ditujukan pada penyebab perdarahan yang dapat
dibagi atas dua penyebab, yaitu karena pecahnya varises esofagus dan
bukan karena varises
Pengobatan perdarahan SCBA non varises :
a. Injeksi Simetidin 200mg/8jam atau injeksi Ranitidin 50mg/8jam.
b. Jika perdarahan sudah berhenti dapat diberikan per oral.
c. Antasida, dapat diberikan bila perdarahan sudah berhenti.
d. Selain obat-obat di atas, untuk mengurangi rasa sakit atau pedih dapat
diberikan obat golongan anti kolinergik.
Bila tata cara tersebut setelah 72 jam pengobatan konservatif tidak
berhasil, dan perdarahan masih tetap berlangsung, maka ini indikasi untuk
dilakukan pembedahan.
(H. M. Syaifoellah Noer. Prof. dr, dkk.2001.Hal 303)
untuk buang air besar. Kemudian sphincter anus bagian luar yang diawasi
oleh sistem saraf parasimpatis. Secara umum terdapat 2 refleks yang
membantu proses defekasi yaitu refleks defekasi intrinsik dan refleks defekasi
parasimpati. Refleks defekasi instrinsik dimulai dari adanya zat sisa makanan
(fases) dalam rektum sehingga terjadi distensi. Sedangkan refleks
parasimpatis dimulai dari adanya fases dalam rektum yang merangsang ke
kolon desenden.
(Tarwoto, Wartonah. 2003. Hal 47)
2.3 Gangguan/ Masalah Eliminasi Alvi
1. Konstipasi :
Merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko tinggi
mengalami stasis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang
atau keras, serta tinja yang keluar jadi terlalu kering dan keras.
Tanda klinis :
a. Adanya fase yang keras
b. Defekasi kurang dari seminggu
c. Menurunya bising usus
d. Adanya keluhan pada rektum
e. Nyeri saat mengeja & defekasi
2. Diare
Merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko sering
mengalami pengeluaran feses dalam bentuk cair. Diare disertai kejang
usus, ada rasa mual muntah.
Tanda klinis :
a. Adanya pengeluaran fases cair
b. Lebih dari 3 kali sehari
c. Nyeri atau kram abdomen
d. Bising usus meningkat
3. Kembung
Merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah anus sebagai
akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat disebabkan karena
konstipasi, perenggangan.
(Tarwoto, Wartonah. 2003. Hal 47)
2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Devekasi
1. Usia
2. Diet
3. Asupan cairan
4. Aktifitas
5. Pengobatan
6. Gaya hidup
7. Penyakit
8. Nyeri
9. Kerusakan sensoris & motoris
(Tarwoto, Wartonah. 2003. Hal 47)
2.5 Tindakan Mengatasi Masalah Eliminasi Alvi
1. Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan
Ada 2 pemeriksaan feses :
a. Pemeriksaan feses lengkap pemeriksaan fases yang terdiri atas
pemeriksaan warna, bau, konsistensi, lendir, darah dan lain-lain
b. Pemeriksaan fases kultur Pemeriksaan feses melalui biakan dengan
cara toucher
2. Membantu pasien buang air besar dengan pispot
Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan eliminasi alvi
3. Memberikan Huknah
Bertujuan untuk merangsang terjadinya defekasi dan merangsang
peristaltic usus.
Macam-macam huknah :
Huknah pembersih
a. Huknah rendah : Memasukkan cairan sampai ke dalam kolon
descenden ke dalam kolon
b. Huknah tinggi : Memasukkan cairan sampai ke dalam kolom
ascendens melalui anus
4. Memberikan Gliserin
Merupakan tindakan memasukan cairan gliserin ke dalam poros usus
dengan spuit gliserin
5. Mengeluarkan feses dengan jari
Merupakan tindakan memasukan jari ke dalam rektum pasien untuk
mengambil/ menghancurkan masa feses sekaligus mengeluarkan
(Tarwoto, Wartonah. 2003. Hal 47)
Pola defekasi pada anak sangat bervariasi dan sangat bergantung pada
fungsi organ, susunan saraf, pola makan, serta usia anak. Menilai pola
defekasi pada anak berarti menilai frekuensi defekasi, konsistensi dan
warna tinjanya. Jika pada anak frekuensi defekasi 1x perhari
(Dr. Badriul Hegar, Sp.A. Prof. DR. Dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K).S). 2003.
Hal 307
2.7 Fisiologi Defekasi
Proses defekasi melibatkan berbagai organ seperti kolon desenden,
sigmoid, rektum, sfingter ani internus dan eksternus, serta beberapa serabut
saraf. Proses defekasi berawal dari adanya
DAFTAR PUSTAKA
H. M. Syaifoellah Noer. Prof. dr, dkk., Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta,
2001.
Dr.Agus Purwadianto & Dr. BuDi Sampurna,Kedaruratan Medik, FKUI, Jakarta,
2000
(Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan, Edisi Jakarta : EGC)
(Sylvia, A Price. 2005. Patofisiologi konsep klinis keperwatan. Edisi 6. Jakarta :
EGC; hal 207)
Dongoes, Marydin E. 2002 . Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
(Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta.: EGC. Hal
634)
Tarwoto, Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Edisi Pertama. Jakarta : Salemba Medika. Hal 47)
Subbagian Gastroenterologi, 2003. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (Dr. Badriul Hegar, Sp.A. Prof.
DR. Dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K).S. hal 307)
Firmansyah A, Sastroasmoro S, 1991. Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,