Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

HEMATEMESIS MELENA

Disusun Oleh :
ELSA RAHELLIA
NIM : 2011.01.1381

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA JOMBANG


PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN
2012

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Hematemesis Melena


1.1 Definisi
Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran
faeses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya
perdarahan saluran makan bagian atas. Warna hematemesis tergantung pada
lamanya hubungan atau kontak antara darah dengan asam lambung dan besar
kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerahmerahan dan bergumpal-gumpal.
(Nettina, Sandra M. 2001.)
Melena adalah keluarnya tinja yang lengket &hitam seperti aspal dan
lengket yang menunjukkan perdarahan saluran pencernaan atas serta
dicernanya darah pada usus halus warna merah gelap atau hitam berasal dari
Biasanya terjadi hematemesis bila ada perdarahan di daerah proksimal
jejunun dan melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan
hematemesis. Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru
dijumpai keadaan melena. Banyaknya darah yang keluar selama hematemesis
atau melena sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga besar kecilnya
perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis dan melena merupakan
suatu keadaan yang gawat dan memerlukan perawatan segera di rumah sakit.
(Sylvia, A Price. 2005.hal 207)
1.2 Etiologi
1. Kelainan esofagus : varises, esofagitis, keganasan.
2. Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum,
keganasan dan lain-lain.
3. Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation),
purpura trombositopenia, polisetimia vera, limfoma, anemia, hemofili.

4. Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.


5. Pemakaian

obat-obatan

yang

ulserogenik

golongan

salisilat,

kortikosteroid, alkohol, dan lain-lain


Penting sekali menentukan penyebab dan tempat asal perdarahan
saluran makan bagian atas, karena terdapat perbedaan usaha penanggulangan
setiap macam perdarahan saluran makan bagian atas.
(Mansjoer, Arief. 2001. Hal 634)
1.3 Manifestasi Klinis
Gejala yang ada yaitu :
1. Muntah darah (hematemesis melene)
2. Mengeluarkan tinja yang kehitaman(melena)
3. Mengeluarkan darah dari rectum(hematoskezia)
4. Denyut nadi yang cepat,Tekanan darah rendah
5. Nyeri perut
6. Nafsu makan menurun
7. Jika terjadi perdarahan berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
anemia,mudah lelah,pucat,nyeri dada, dan pusing
(H. M. Syaifoellah Noer. Prof. dr, dkk.2001.Hal 303)
1.4 Patofisiologi
Proses perjalanan penyakit
Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar
mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta.Sebagai akibatnya terbentuk
saluran kolateral dalam submukosa esophagus,lambung dan rectum serta pada
dinding abdomen anterior yang lebih kecil dan lebih mudah pecah untuk
mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan
meningkatnya tekanan dalam vena ini ,maka vena tersebut menjadi
mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah disebut varises.Varises
dapat pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal massif. Selanjutnya
dapat mengskibatkan kehilangan darah secara tiba-tiba ,penurunan arus balik

vena ke jantung, penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap


penurunan curah jantung,tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk
mencoba mempertahankan perfusi .Mekanisme ini merangsang tanda-tanda
dan gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian awal. Pada melena dalam
perjalananya melalui nusus ,darah menjadi berwarna merah gelap bahkan
hitam disebabkan oleh HCL Lambung pepsin, dan warna hitam ini karena
adanya pigmen porfirin.Kadang pada perdarahan saluran cerna baian bawah
dari usus halus/ kolon asenden, feses dapat berwarna merah terang atau
gelap.Darah yang muncul dari duodenum
Dan jejunum akan tertahan pada saluran cerna sekitar 6-8 jam untuk
merubah warna feses menjadi hitam.Paling sedikit perdarahan sebanyak 50100ccbaru dijumpai keadaan melaena.Feses tetap berwarna hitam seperti ter
selama 48 72 jam setelah perdarahan berhenti.Ini bukan berarti keluarnya
feses yang berwarna hitam tersebut menandakan perdarahan berlangsung.
Darah yang tersembunyi terdapat pada feses selama 7 10 hari setelah
periode perdarahan tunggal.
(Sylvia, A Price. 2005.hal 207)

1.5 Pohon Masalah


Infeksi hepatitis viral type B C
Peradangan hati dan netrosis sel-sel hati

Sel hati kolaps secra ektensi

Meluasnya jaringan fibrosis

Distorsi pembuluh darah hati

Hipertensi portal

Ostropsi vena portal


Terbentuknya varises esophagus,lambung,pembesaran limfe,dan asites

Pembuluh reptur

Perdarahan di lambung

Muntah darah dan berak darah

Sesak

Penurunan ekspansi paru

Pola nafas tidak efektif

Hb menurun anemis
Mual muntah & nafsu makan
Mualmenurun
muntah & nafsu makan menurun Cemas

Plasma darah menurun

Kurangnya pengetahuan tentang per


Resiko penurunan nutrisi Intoleransi aktivitas

Resiko penurunan nutrisi

Patofisiologi hematemesis melena.html

1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Anamnesis
Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
Dilakukan anmnesis yang teliti dan bila keadaan umum penderita lamah
atau kesadaran menurun .
perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya varises
esofagus tidak dijumpai adanya keluhan rasa nyeri atau pedih di daerah
epigastrium dan gejala hematemesis timbul secara mendadak. Dari hasil
anamnesis sudah dapat diperkirakan jumlah perdarahan yang keluar
dengan memakai takara yang praktis seperti berapa gelas, berapa kaleng
dan lain-lain.
2. Pemeriksaan fisik
Penderita perdarahan saluran makan bagian atas yang perlu diperhatikan
adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah, tanda-tanda
anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera diketahui
keadaan yang lebih serius seperti adanya rejatan atau kegagalan fungsi
hati. Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hepatis,
seperti spider naevi, ginekomasti, eritema palmaris, caput medusae,
adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai.
Pemeriksaan laboratorium seperti kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit,
sediaan darah hapus, golongan darah dan uji fungsi hati segera dilakukan
secara berkala untuk dapat mengikuti perkembangan penderita.
3. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram
untuk daerah esofagus dan diteruskan dengan pemeriksaan double
contrast pada lambung dan duodenum. emeriksaan tersebut dilakukan
pada berbagai posisi terutama pada daerah 1/3 distal esofagus, kardia dan
fundus lambung untuk mencari ada/tidaknya varises. Untuk mendapatkan
hasil yang diharapkan, dianjurkan pemeriksaan radiologik ini sedini
mungkin, dan sebaiknya segera setelah hematemesis berhenti.

4. Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendoskop, maka pemeriksaan
secara endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan
tepat tempat asal dan sumber perdarahan. Keuntungan lain dari
pemeriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk
dokumentasi, aspirasi cairan, dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik.
Pada perdarahan saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung,
pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau sedini
mungkin setelah hematemesis berhenti.
5. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi
penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab
perdarahan saluran makan bagian atas.
(H. M. Syaifoellah Noer. Prof. dr, dkk.2001.Hal 303)
1.7 Pengobatan
1. Pengawasan dan pengobatan umum
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini
mungkin dan sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan
pengawasan yang teliti dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan
penderita perdarahan saluran makan bagian atas meliputi :
a. Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan
efek sedatif morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.
b. Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila
perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair.
c. Infus cairan langsung dipasang dan diberi larutan garam fisiologis
selama belum tersedia darah.
d. Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan
bila perlu dipasang CVP monitor.
e. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk
mengikuti keadaan perdarahan.

f. Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan


mempertahankan kadar hemoglobin 50-70 % harga normal.
g. Pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari,
karbasokrom (Adona AC), antasida dan golongan H2 reseptor
antagonis (simetidin atau ranitidin) berguna untuk menanggulangi
perdarahan.
h. Dilakukan klisma atau lavemen dengan air biasa disertai pemberian
antibiotika yang tidak diserap oleh usus, sebagai tindadakan sterilisasi
usus. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan
produksi amoniak oleh bakteri usus, dan ini dapat menimbulkan
ensefalopati hepatik.
2. Pemasangan pipa naso-gastrik
Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan
lambung, lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obatobatan. Pemberian air pada kumbah lambung akan menyebabkan
vasokontriksi lokal sehingga diharapkan terjadi penurunan aliran darah di
mukosa lambung, dengan demikian perdarahan akan berhenti. Kumbah
lambung ini akan dilakukan berulang kali memakai air sebanyak 100- 150
ml sampai cairan aspirasi berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini
dapat diulang setiap 1-2 jam. Pemeriksaan endoskopi dapat segera
dilakukan setelah cairan aspirasi lambung sudah jernih.
3. Pemberian pitresin (vasopresin)
Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada pemberian pitresin per infus
akan mengakibatkan kontriksi pembuluh darah dan splanknikus sehingga
menurunkan tekanan vena porta, dengan demikian diharapkan perdarahan
varises dapat berhenti. Perlu diingat bahwa pitresin dapat menrangsang
otot polos sehingga dapat terjadi vasokontriksi koroner, karena itu harus
berhati-hati dengan pemakaian obat tersebut terutama pada penderita
penyakit

jantung

iskemik.

Karena

itu

perlu

pemeriksaan

elektrokardiogram dan anamnesis terhadap kemungkinan adanya penyakit


jantung koroner/iskemik.

4. Pemasangan balon Sengstaken Blakemore Tube


Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk penderita perdarahan akibat
pecahnya varises. Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan sesudah
penderita tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan
dijelaskan makna pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya dan
kemungkinan kerja ikutan yang dapat timbul pada waktu dan selama
pemasangan. Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan
pemakaian SB tube ini dalam menanggulangi perdarahan saluran makan
bagian atas akibat pecahnya varises esofagus. Komplikasi pemasangan SB
tube yang berat seperti laserasi dan ruptur esofagus, obstruksi jalan napas
tidak pernah dijumpai.
5. Pemakaian bahan sklerotik
Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3 %
sebanyak 3 ml dengan bantuan fiberendoskop yang fleksibel disuntikan
dipermukaan varises kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan
ini tidak memerlukan narkose umum dan dapat diulang beberapa kali.
Cara pengobatan ini sudah mulai populer dan merupakan salah satu
pengobatan yang baru dalam menanggulangi perdarahan saluran makan
bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus.
6. Tindakan operasi
Bila

usaha-usaha

penanggulangan

perdarahan

diatas

mengalami

kegagalan dan perdarahan tetap berlangsung, maka dapat dipikirkan


tindakan operasi . Tindakan operasi yang basa dilakukan adalah : ligasi
varises esofagus, transeksi esofagus, pintasan porto-kaval.
Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu perdarahan berhenti dan
fungsi hati membaik.
Dongoes,Marydin E.2002.hal 302
1.8 Komplikasi
1. Shcok hemorragik
2. Infeksi, pnemonia aspirasi

3. Kerusakan hati dan ginjal


1.9 Penatalaksanaan
Setiap penderita dengan perdarahan saluran cerna bagain atas (SCBA)
dalam penatalaksanaan hematemesis melena ada 2 tindakan yaitu tindakan
umum dan khusus. Tindakan umum bertujuan untuk memperbaiki keadaan
umum pasien, apapun penyebab perdarahannya. Tindakan khusus, biasanya
baru dikerjakan setelah diagnosis penyebab perdarahan sudah dapat
dipastikan.
1. Tindakan Umum
a. Infus dan transfusi darah.
Tindakan

pertama

yang

dilakukan

adalali

resusitasi,

untuk

memulihkan keadaan penderita akibat kehilangan cairan atau syok.


Yaitu cairan infus dekstrose 5% atau Ringer laktat atau NACL O,9%
dan transfusi Whole Blood atau Packed Red Cell
b. Psikoterapi
Sebagai akibat perdarahan yang banyak, dapat membuat penderita
menjadi gelisah. Maka diperlukan psikoterapi.
c. Istirahat mutlak
Istirahat mutlak sangat dianjurkan, sekurang kurangnya selama 3 hari
setelah perdarahan berhenti.
d. Diet
Dianjurkan puasa jika perdarahan belum berhenti. Dan penderita
mendapat nutrisi secara parenteral total sampai perdarahan berhenti.
Jika perdarahan berhenti, diet biasa dimulai dengan diet cair HI/LI.
Selanjutnya secara bertahap diet beralih ke makanan padat
e. Pemasangan Nasogastric Tube, kemudian dilakukan lavage
Lambung dengan air es yang dimasukkan, di tunggu 5 menit, dan
dikeluarkan.Ini dilakukan berulang-ulang sampai cairan lambung
jemih. Tindakan ini biasa diulang 1-2 jam kemudian jika masih ada
perdarahan.

f. Medikamentosa
Antasida cair, untuk menetralkan asam lambung. Injeksi Simetidin
atau injeksi Ranitidine, yaitu antagonis reseptor H2 untuk mengurangi
sekresi asam lambung.

Injeksi Traneksamic acid, jika ada

peningkatan aktifitas fibrinolisin. Injeksi Vitamin K, jika ada tandatanda Sirosis hati. Sterilisasi usus dengan Laktulosa oral serta Clisma
tinggi, jika ada tanda-tanda sirosis hati, ditambahkan Neomycin atau
Kanamycin.
2. Tindakan Khusus
Tindakan khusus ini ditujukan pada penyebab perdarahan yang dapat
dibagi atas dua penyebab, yaitu karena pecahnya varises esofagus dan
bukan karena varises
Pengobatan perdarahan SCBA non varises :
a. Injeksi Simetidin 200mg/8jam atau injeksi Ranitidin 50mg/8jam.
b. Jika perdarahan sudah berhenti dapat diberikan per oral.
c. Antasida, dapat diberikan bila perdarahan sudah berhenti.
d. Selain obat-obat di atas, untuk mengurangi rasa sakit atau pedih dapat
diberikan obat golongan anti kolinergik.
Bila tata cara tersebut setelah 72 jam pengobatan konservatif tidak
berhasil, dan perdarahan masih tetap berlangsung, maka ini indikasi untuk
dilakukan pembedahan.
(H. M. Syaifoellah Noer. Prof. dr, dkk.2001.Hal 303)

B. Konsep Dasar Kebutuhan Eliminasi Alvi (Buang Air Besar)


2.1 Definisi Kebutuhan Eliminasi Alvi (Buang Air Besar)
Eliminasi alvi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa
metabolisme berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus.
Sistem yang berperan dalam proses eliminasi alvi (buang air besar)
adalah sistem gastrointestinal bawah yang meliputi usus halus dan usus besar.
Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum dan ileum dengan panjang 6 m
diameter 2,5 cm. Usus halus berfungsi dalam absorpsi elektrolit Na +, Cl-, K+,
Mg2+, HCO3 dan Ca2+. Usus besar dimulai dari rektum, kolon hingga anus
yang memiliki panjang 1,5 m atau 50-60 inci dengan diameter 6 cm. Usus
besar merupakan bagian bawah atau bagian ujung dari saluran pencernaan,
dimulai dari katup ileum caecum sampai kedubur (anus).
Makanan yang oleh usus dari lambung dalam bentuk setengah padat
chyme baik berupa air, nutrien, maupun elektrolit kemudian akan diabsorbsi.
Setiap hari saluran usus menyerap sekitar 800-1000 ml cairan. Penyerapan ini
yang menyebabkan fase mempunyai bentuk dan setengah padat. Kalau fases
terlalu lama dalam usus besar, maka terlalu banyak air yang diserap sehingga
fases menjadi kering dan keras.
Usus akan mensekresi muleus, kalium, bikarbonat dan enzim. Kolon
berfungsi sebagai tempat absorpsi, proteksi, sekresi dan eliminasi. Kolon
sigmoid mengandung fases yang sudah siap untuk dibuang dan diteruskan ke
dalam rektum. Panjang rektum 12 cm (5 inci), 2,5cm (inci) merupakan
saluran anus. Rektum terdapat 3 lapisan jaringan transversal. Ketiga lapisan
tersebut merupakan rektum yang menahan fase untuk sementara, dan setiap
lapisan tersebut mempunyai arteri dan vena.
(Tarwoto, Wartonah. 2003. Hal 47)
2.2 Proses Buang Air Besar (Devekasi)
Devekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut air
besar. Terdapat dua pusat yang menguasai refleks untuk defekasi. Yang
terletak di medula dan sumsum tulang belakang, Refleks defekasi dirangsang

untuk buang air besar. Kemudian sphincter anus bagian luar yang diawasi
oleh sistem saraf parasimpatis. Secara umum terdapat 2 refleks yang
membantu proses defekasi yaitu refleks defekasi intrinsik dan refleks defekasi
parasimpati. Refleks defekasi instrinsik dimulai dari adanya zat sisa makanan
(fases) dalam rektum sehingga terjadi distensi. Sedangkan refleks
parasimpatis dimulai dari adanya fases dalam rektum yang merangsang ke
kolon desenden.
(Tarwoto, Wartonah. 2003. Hal 47)
2.3 Gangguan/ Masalah Eliminasi Alvi
1. Konstipasi :
Merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko tinggi
mengalami stasis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang
atau keras, serta tinja yang keluar jadi terlalu kering dan keras.
Tanda klinis :
a. Adanya fase yang keras
b. Defekasi kurang dari seminggu
c. Menurunya bising usus
d. Adanya keluhan pada rektum
e. Nyeri saat mengeja & defekasi
2. Diare
Merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko sering
mengalami pengeluaran feses dalam bentuk cair. Diare disertai kejang
usus, ada rasa mual muntah.
Tanda klinis :
a. Adanya pengeluaran fases cair
b. Lebih dari 3 kali sehari
c. Nyeri atau kram abdomen
d. Bising usus meningkat

3. Kembung
Merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah anus sebagai
akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat disebabkan karena
konstipasi, perenggangan.
(Tarwoto, Wartonah. 2003. Hal 47)
2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Devekasi
1. Usia
2. Diet
3. Asupan cairan
4. Aktifitas
5. Pengobatan
6. Gaya hidup
7. Penyakit
8. Nyeri
9. Kerusakan sensoris & motoris
(Tarwoto, Wartonah. 2003. Hal 47)
2.5 Tindakan Mengatasi Masalah Eliminasi Alvi
1. Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan
Ada 2 pemeriksaan feses :
a. Pemeriksaan feses lengkap pemeriksaan fases yang terdiri atas
pemeriksaan warna, bau, konsistensi, lendir, darah dan lain-lain
b. Pemeriksaan fases kultur Pemeriksaan feses melalui biakan dengan
cara toucher
2. Membantu pasien buang air besar dengan pispot
Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan eliminasi alvi
3. Memberikan Huknah
Bertujuan untuk merangsang terjadinya defekasi dan merangsang
peristaltic usus.

Macam-macam huknah :
Huknah pembersih
a. Huknah rendah : Memasukkan cairan sampai ke dalam kolon
descenden ke dalam kolon
b. Huknah tinggi : Memasukkan cairan sampai ke dalam kolom
ascendens melalui anus
4. Memberikan Gliserin
Merupakan tindakan memasukan cairan gliserin ke dalam poros usus
dengan spuit gliserin
5. Mengeluarkan feses dengan jari
Merupakan tindakan memasukan jari ke dalam rektum pasien untuk
mengambil/ menghancurkan masa feses sekaligus mengeluarkan
(Tarwoto, Wartonah. 2003. Hal 47)

2.6 Frekwensi Defekasi


A. Frekuensi defekasi pada bayi
Pola defekasi terbentuk dan berubah sesuai dengan bertambahnya usia
bayi karena kematangan saluran cerna dan perubahan pola makan.
Bayimemiliki frekuensi defekasi yang beragam dari 8-10 kali per hari
sampai 2-3 kali perminggu, dengan rerata 1-2 x/hari.
B. Frekuensi defekasi pada orang dewasa
Rata-rata orang dewasa normal untuk frekwensi defekasi berfariasi dari 3
kali/hari s/d 3 kali per minggu. Rata-rata secara umum sekali sehari. Tinja
biasanya lunak dan besarnya tergantung pada makanan contohnya : orang
yang makan sayuran tinjanya berbentuk besar orang yang makan daging
tinjanya berbentuk kecil.
C. Frekuensi pada anak

Pola defekasi pada anak sangat bervariasi dan sangat bergantung pada
fungsi organ, susunan saraf, pola makan, serta usia anak. Menilai pola
defekasi pada anak berarti menilai frekuensi defekasi, konsistensi dan
warna tinjanya. Jika pada anak frekuensi defekasi 1x perhari
(Dr. Badriul Hegar, Sp.A. Prof. DR. Dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K).S). 2003.
Hal 307
2.7 Fisiologi Defekasi
Proses defekasi melibatkan berbagai organ seperti kolon desenden,
sigmoid, rektum, sfingter ani internus dan eksternus, serta beberapa serabut
saraf. Proses defekasi berawal dari adanya

mass movement dari kolon

desenden yang mendorong feses ke dalam rektum. Mass movement timbul


lebih kurang 15 menit setelah makan dan hanya terjadi beberapa kali sehari.
Adanya tinja di dalam rektum menyebabkan peregangan rektum dan
pendorongan tinja ke arah sfingter ani. Keadaan ini menimbulkan rasa ingin
berdefekasi yang selanjutnya terjadi defekasi.
(Dr. Badriul Hegar, Sp.A. Prof. DR. Dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K).S). 2003.
Hal 307)

DAFTAR PUSTAKA

H. M. Syaifoellah Noer. Prof. dr, dkk., Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta,
2001.
Dr.Agus Purwadianto & Dr. BuDi Sampurna,Kedaruratan Medik, FKUI, Jakarta,
2000
(Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan, Edisi Jakarta : EGC)
(Sylvia, A Price. 2005. Patofisiologi konsep klinis keperwatan. Edisi 6. Jakarta :
EGC; hal 207)
Dongoes, Marydin E. 2002 . Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
(Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta.: EGC. Hal
634)
Tarwoto, Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Edisi Pertama. Jakarta : Salemba Medika. Hal 47)
Subbagian Gastroenterologi, 2003. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (Dr. Badriul Hegar, Sp.A. Prof.
DR. Dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K).S. hal 307)
Firmansyah A, Sastroasmoro S, 1991. Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,

Anda mungkin juga menyukai