Anda di halaman 1dari 2

BI lebih Memilih Merusak Pesta

Saya tidak mau menjadi si perusak pesta, mungkin itu kira-kira yang ada dalam benak Alan Greenspan
pada awal tahun 2005 lalu. Saat itu, US memang sedang berpesta. Masyarakat begitu gembira melihat
harga investasi rumah mereka yang terus meningkat, kredit rumah (mortgage) dengan gampang
diperoleh dan suku bunga yang rendah karena derasnya aliran dana masuk ke US. Satu hal yang
gubernur The Federal Reserve (Bank Sentral Amerika) tersebut yakin bahwa tidak ada seorangpun yang
tahu adanya bubble sampai hal tersebut benar-benar terjadi. Tidak juga dirinya. Akhirnya beliau tidak
mengambil tindakan apa-apa dan membiarkan suku bunga terus turun. Pesta terus berlangsung.
Apa yang terjadi selanjutnya kita semua tahu. Harga rumah mencapai puncak pada pertengahan tahun
2006 lalu kemudian meletus dan US dilanda salah satu krisis ekonomi terbesar. Begitu luas nya dampak
krisis tersebut hingga merambat kebanyak negara dan dampaknya bahkan masih dapat dirasakan
sampai saat ini.
Mr. Chairman memang benar. Tidak seorang pun dapat mengetahui kapan terjadinya bubble. Namun
bukan berarti tidak ada pra kondisi yang membantu kita memperoleh indikasi awal dan mengambil
tindakan pencegahan sebelum bubble tersebut benar-benar meletus. Mengutip Lind (2008), paling tidak
terdapat 4 kondisi terciptanya asset bubble. Pertama adalah terjadinya boom pertumbuhan dengan
kebijakan makro yang relatif loose. Kedua adalah perubahan struktural dalam perekonomian yang
menyebabkan sulitnya mengukur apa yang disebut perubahan normal dan fundamental. Ketiga adalah
pasar yang begitu gencar memberikan kredit (pro-cyclicality). Keempat adalah, kepercayaan atau
ekspektasi masyarakat yang tidak rasional.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kondisi Indonesia memang jauh dari kondisi yang terjadi di US saat itu. Namun tidak ada salahnya kita
lihat satu persatu. Pertama, pertumbuhan Indonesia termasuk salah satu yang terbaik dikawasan dan
didukung suku bunga yang cenderung turun. Kedua, pasar keuangan Indonesia yang semakin kaya dan
kompleks terutama paska krisis 1998 lalu. Ketiga, pertumbuhan kredit pemilikan perumahan (KPR) dan
kredit kendaraan bermotor (KKP) yang jauh melebihi pertumbuhan kredit umumnya dan telah
melampaui historical trend nya. Ketiga, euphoria pelaku bisnis yang ditunjukkan dengan jor-joran DP
murah kendaraan bermotor. Bayangkan, hanya dengan 500 ribu anda sudah bisa membawa pulang
motor yang harganya Rp12 juta. Keempat, adalah kepercayaan umum masyarakat bahwa harga rumah
yang tidak mungkin turun.
Memang benar bahwa performa kedua jenis kredit konsumsi tersebut masih cukup baik. Meski berada
diatas rata-rata NPL kredit umum, namun NPL KKB dan KPR masih dibawah kisaran 5% (ukuran Bank
Indonesia dalam menilai baik tidaknya performa kredit). Namun angka NPL tersebut menyimpan bom
waktu. Bila diperhitungkan dengan jumlah agunan kendaraan bermotor yang ditarik, maka NPL KKB akan
melonjak menjadi 10% atau jauh melebihi threshold yang dianggap aman oleh bank sentral.
Memang disadari bahwa kondisi riil dimasyarakat juga mendorong masyarakat untuk terus membeli
kendaraan pribadi dan rumah. Moda transportasi publik yang kurang nyaman, menyebabkan

masyarakat lebih cenderung menggunakan kendaraan pribadi sebagai sarana transportasi. Lalu
keterbatasan lahan membuat supply rumah selalu tidak mampu mengimbangi angka pertumbuhan
penduduk. Hampir semua unit perumahan baru selalu laku terjual, bahkan sebelum rumah tersebut
selesai dibangun. Lalu kita akan terheran-heran karena dalam beberapa bulan kemudian harga rumah
tersebut melonjak 2-3 kali lipat. Bahkan rumah dan tanah disekitar lingkungan tersebut juga akan ikutikutan menyesuaikan harga.
Lonjakan harga yang begitu cepat tersebut, biasanya terjadi karena adanya spekulasi. Dengan uang
muka yang rendah, masyarakat yang memiliki uang lebih dengan cepat akan mengantri membeli rumah
tersebut. Bukan dengan niat menempati, tapi mereka hanya menggunakan rumah tersebut sebagai
sarana spekulasi yang akan dijual pada saat harga telah meningkat. Hal ini terutama terjadi pada rumahrumah besar (bangunan diatas 70 M2) sehingga pengembang jadi lebih cenderung menyukai
membangun perumahan pada tipe besar ini. Akibatnya supply rumah kecil semakin turun dan
masyarakat yang tidak mampu akhirnya hanya pasrah menjadi penyewa atau menumpang di rumah
mertua saja. Kondisi ini disadari oleh Bank Indonesia, sehingga ketentuan LTV maksimum 70% yang
diatur dengan SE No.14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 lalu hanya diterapkan pada rumah besar.
Dampak terhadap pertumbuhan kredit KKB dan KPR
Paling tidak ada tiga dampak langsung dari penerapan ketentuan ini. Pertama yang paling nyata adalah
bahwa ketentuan ini akan menjadi build in screening debitur potensial. Dengan uang muka yang lebih
tinggi, bank akan memperoleh calon-calon debitur yang benar-benar serius dan mampu. Hasil yang
diharapkan? Tentunya adalah performa kredit (NPL) yang akan lebih baik. Disisi lain, dengan uang muka
yang lebih tinggi maka cicilan bulanan akan menjadi lebih rendah, sehingga porsi penghasilan yang
dapat dikonsumsi untuk kebutuhan lain akan lebih tinggi. Ketiga, mari kita berandai-andai. Kalau syarat
memperoleh kredit semakin sulit, biasanya bank akan memberikan insentif bagi debitur untuk tetap
mau mengajukan kredit. Mungkin dengan biaya provisi atau administrasi yang lebih rendah, atau siapa
tahu bank bersedia memberikan suku bunga yang lebih rendah. Bagus bukan?
Apakah akan terjadi penurunan kredit kendaraan bermotor dan kredit perumahan sebagai dampak
penerapan ketentuan ini. Jawabannya tentunya ya, namun besar magnitude nya akan sangat bervariasi
antara satu bank atau lembaga pembiayaan yang satu dengan yang lain. Bank atau lembaga pembiayaan
yang selama ini banyak memberikan kredit perumahan atau kendaraan bermotor dengan uang muka
minim, maka akan cenderung mengalami penurunan omzet yang lebih besar dibanding bank atau
lembaga pembiayaan yang lebih prudent.
Namun penurunan omzet tersebut diyakini tidak akan berlangsung lama. Masyarakat yang benar-benar
serius dengan niatnya untuk membeli rumah atau kendaraan dengan kredit, hanya akan mengurungkan
niatnya beberapa bulan untuk mengumpulkan uang muka yang dibutuhkan. Sehingga dalam waktu tidak
terlalu lama, akan terbentuk keseimbangan baru bagi penyaluran kredit oleh perbankan. Kali ini dalam
kondisi makro ekonomi yang lebih sejuk.

Anda mungkin juga menyukai