Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang

Candi Borobudur sebagai sebuah peninggalan bersejarah bagi bangsa Indonesia


sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Salah satu bentuk antisipasi
pencegahan kerusakan yang terjadi adalah dengan melakukan pemantauan stabilitas
struktur Candi Borobudur terhadap kemungkinan terjadinya deformasi. Berdasarkan
rekomendasi UNESCO, maka tim monitoring pemugaran Candi Borobudur, dalam
hal ini Balai Konservasi Peninggalan Borobudur (BKPB) yang saat ini disebut Balai
Konservasi Borobudur melakukan pemantauan stabilitas Candi Borobudur melalui
pengukuran secara periodik setiap tahun sejak 1983 sampai dengan sekarang
(Setyawan, 2011). Pengukuran tersebut menggunakan metode poligon untuk jaring
kontrol horizontal dan metode sipat datar untuk jaring kontrol vertikal. Diharapkan
dari kedua metode pengukuran tersebut diperoleh informasi geometrik berupa posisi
titik-titik jaring kontrol deformasi dalam koordinat XYZ (3 dimensi) sehingga dapat
dievaluasi perubahan yang terjadi baik secara horizontal (XY) maupun vertikal (Z).
Permasalahannya adalah pengukuran yang selama ini dilakukan belum optimal,
sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap peralatan maupun metode pengukuran
yang sudah digunakan.
Pada proses pengukurannya, pengukuran Jaring Kontrol Horizontal (JKH)
dipisahkan dengan pengukuran Jaring Kontrol Vertikal (JKV). JKH diukur dengan
menggunakan alat ukur tanah seperti teodolit dan Total Station, sedangkan JKV
diukur dengan menggunakan alat sipat datar atau waterpass. Hal ini dilakukan untuk
menghasilkan data JKH dan JKV yang teliti, serta untuk memudahkan proses
hitungan. Pada kenyataannya proses pemisahan ini seringkali menjadi kendala,
karena dihasilkannya dua buah data yang terpisah.
Sipat datar diakui sebagai alat atau metode yang paling baik dan teliti.
Disamping itu, prosedur pelaksanaan dan perhitungannya sederhana, namun untuk
daerah yang tidak datar, seperti daerah Candi Borobudur yang berundak-undak,

penggalan untuk pengukuran sipat datar harus dibuat dengan selisih jarak yang kecil,
sehingga alat sipat datar dapat membidik rambu. Semakin curam daerah pelaksanaan
pengukurannya, semakin banyak penggalan yang dibutuhkan. Hal ini juga menjadi
kendala terhadap pengukuran Jaring Kontrol Vertikal (JKV) untuk keperluan
pemantauan stabilitas Candi Borobudur.
Cara lain yang diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif dalam
pengukuran beda tinggi adalah dengan menggunakan alat Total Station, yaitu alat
ukur elektronik dengan teknologi digital. Total Station merupakan gabungan dari alat
ukur sudut (teodolit) dan alat ukur jarak elektronik (EDM) serta dilengkapi dengan
perangkat elektronis untuk menentukan koordinat dan ketinggian titik detail secara
otomatis digital menggunakan gelombang elektromagnetis serta dilengkapi piranti
untuk perekaman data (Muda, 2008). Pengukuran beda tinggi dengan menggunakan
Total Station menggunakan prinsip hitungan trigonometris. Prinsip perhitungan ini
akan meminimalisir banyaknya penggalan yang digunakan pada alat sipat datar. Alat
ukur Total Station tersebut juga dapat melakukan pengukuran horizontal dan vertikal
sekaligus dengan cepat. Dengan kemampuan Total Station tersebut, diharapkan dapat
menggantikan peran alat ukur sipat datar dan dapat menghemat waktu pengukuran.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan alat sipat datar, Total Station mempunyai
ketelitian yang lebih rendah dalam melakukan pengukuran beda tinggi. Hal ini
dikarenakan banyaknya besaran-besaran yang harus diukur dibandingkan dengan alat
sipat datar, sehingga memberikan konstribusi kesalahan yang lebih besar (Parseno,
1998).
Guna mengetahui kelayakan alat ukur Total Station untuk pengukuran Jaring
pemantau pergeseran vertikal di Candi Borobudur, maka perlu dilakukan kajian hasil
penentuan tinggi dengan Total Station yang dilaksanakan pada tahun 2012. Pada
rumus beda tinggi Total Station, terdapat empat variable ukuran yaitu slope distance
(SD), helling (h), tinggi alat (t i ) dan tinggi reflektor (t r ). SD dan h mengikuti
ketelitian alat yang digunakan, sedangkan t i dan t r diukur secara manual dengan
menggunakan pita ukur. Dalam kebanyakan pengukuran, t i dan t r seringkali diukur
dengan tidak teliti. Ketidaktelitian cara pengukuran t i dan t r , mendasari penelitian ini.
Pemberian koreksi terhadap t i dan t r ini diharapkan dapat meningkatkan ketelitian
penentuan tinggi yang dihasilkan oleh Total Station.

I.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini masalah yang dirumuskan adalah:


1.

Berapa besar pengaruh ketelitian pengukuran tinggi alat (t i ) dan tinggi reflektor
(t r ) pada pengukuran beda tinggi Total Station terhadap ketelitian jaring
vertikal Total Station yang diperoleh?

2.

Berapa tingkat ketelitian jaring vertikal hasil pengukuran beda tinggi yang
diperoleh alat ukur Total Station?

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:


1.

Untuk mengetahui pengaruh ketelitian pengukuran tinggi alat (t i ) dan tinggi


reflektor (t r ) terhadap ketelitian jaring vertikal yang diukur menggunakan alat
Total Station.

2.

Untuk mengetahui ketelitan jaring vertikal hasil pengukuran beda tinggi yang
diperoleh dari alat Total Station.

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:


1.

Dapat mengatasi keterbatasan yang ada pada pengukuran dengan alat ukur
Total Station sehingga dimungkinkan alat ukur Total Station dapat
menggantikan sipat datar dalam pekerjaan pengukuran beda tinggi.

2.

Hasil studi akan bermanfaat untuk mengevaluasi metode dan peralatan


pengukuran untuk keperluan pemantauan stabilitas Candi Borobudur, guna
memperoleh ketelitian yang lebih baik.

3.

Hasil studi akan bermanfaat untuk pengembangan ilmu di masyarakat terkait


pengaruh ketelitian variable pengukuran dengan ketelitian beda tinggi yang
dihasilkan Total Station.

I.5. Batasan Masalah

Pada penelitian ini masalah dibatasi pada:


1.

Bahan penelitian yang digunakan berupa jaring vertikal sipat datar Candi
Borobudur tahun 2011 dan jaring vertikal Total Station Candi Borobudur tahun
2012.

2.

Karena adanya perbedaan desain jaring antara jaring vertikal sipat datar Candi
Borobudur 2011 dan jaring vertikal Total Station Candi Borobudur 2012, titiktitik yang dievaluasi adalah titik-titik sama yang terdapat pada kedua jaring
vertikal.

3.

Untuk melihat adanya pengaruh tinggi alat (t i ) dan tinggi reflektor (t r )


diasumsikan pengukuran slope distance (SD) dan helling (h) sudah masuk
toleransi.

4.

Bobot pengamatan yang digunakan adalah bobot seperjarak untuk jaring


vertikal sipat datar sedangkan bobot sepervarian pengukuran digunakan untuk
jaring vertikal Total Station.

I.6. Tinjauan Pustaka

Parseno dan Yulaikhah (2008), membandingkan beda tinggi hasil pengukuran


menggunakan alat sipat datar Leica SPRINTER-100 dan Total Station DTM-352
baik pada kondisi lapangan yang datar maupun yang bervariasi, untuk mengetahui
pola perbedaan beda tinggi hasil pengukuran kedua alat tersebut. Dari pola
perbedaan beda tinggi hasil pengukuran kedua alat tersebut dibuat sebuah model
kesalahannya dengan menggunakan argumen jarak, model matematika yang
digunakan adalah model linear yaitu y = 0,000126x + 0,0014 dimana y adalah selisih
beda tinggi sipat datar dan Total Station atau koreksi dan x adalah jarak. Analisis
dilakukan dengan membandingkan kesalahan penutup tinggi yang diperoleh. Beda
tinggi hasil pengukuran dengan Total Station dikoreksi dengan model linear yang
diperoleh. Selanjutnya membandingkan antara kesalahan penutup tinggi hasil Total
Station, sipat datar dan Total Station yang telah terkoreksi. Diketahui penggunaan

model koreksi tersebut dapat memperbaiki hasil pengukuran Total Station walaupun
tidak signifikan.
Fajri (2010), membandingkan ketelitian hasil pengukuran beda tinggi alat ukur
sipat datar Leica SPRINTER-100 dan alat ukur Total Station Nikon DTM-352.
Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran beda tinggi titik-titik kontrol
yang sudah tersebar di sekitar Fakultas teknik UGM dengan kondisi lapangan yang
bervariatif. Penelitian ini juga untuk membuktikan seberapa besar pengaruh koreksi
hasil pemodelan pola selisih beda tinggi trigonometri terhadap sipat datar yang telah
dilakukan Perwita (2009) untuk daerah yang relatif datar dengan jarak keseluruhan
loop yang relatif pendek yaitu kurang dari 1,5 km. Dalam penelitian ini, setelah
diberikan koreksi hasil pemodelan trigonometri kemudian dilakukan hitung perataan
metode parameter dan uji statistik. Hasil akhir yang diperoleh adalah berupa tingkat
ketelitian hasil ukuran sipat datar, trigonometri tanpa koreksi, dan trigonometri
terkoreksi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi pengukuran beda tinggi menggunakan Total Station
pada jaring pemantau stabilitas Candi Borobudur. Dengan merujuk pada penelitian
dan latar belakang yang ada, penulis akan melakukan penelitian perbandingan
ketelitian jaring vertikal antara jaring vertikal yang diukur menggunakan alat sipat
datar Leica SPRINTER-100 dan alat ukur Total Station Nikon DTM-322.
Sebelumnya dilakukan koreksi pengukuran tinggi instrumen (t i ) dan tinggi reflektor
(t r ) terhadap pengukuran beda tinggi dengan Total Station. Tinggi yang diukur dari
tinggi instrumen (t i ) dan tinggi reflektor (t r ) biasanya tinggi dari sisi alat menuju
titik, hal ini kemungkinan menyebabkan tinggi yang diukur tidak sepenuhnya
vertikal. Koreksi harus dilakukan agar tinggi yang didapat benar-benar tinggi
vertikal, yaitu tinggi dari pusat alat menuju titik. Hasil akhir yang akan diperoleh
berupa tingkat ketelitian hasil ukur sipat datar, Total Station tanpa koreksi dan Total
Station dengan koreksi. Dari hasil perbandingan penelitian ini juga untuk
membuktikan seberapa besar pengaruh kesalahan pengukuran tinggi alat (t i ) dan
tinggi reflektor (t r ) terhadap ketelitian jaring vertikal Total Station.

I.7. Landasan Teori

I.7.1. Jaring Kontrol Vertikal


Jaring kontrol vertikal (JKV) adalah sebaran titik kontrol geodesi vertikal yang
terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi. Pada definisi lain, jaring
kontrol vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui atau ditentukan
posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap rujukan ketinggian tertentu.
Ketelitian hasil pengukuran tinggi JKV dapat dilihat dari kesalahan penutup
hasil ukuran pergi-pulang dalam satu seksi ataupun dalam satu jalur pengukuran,
deviasi standar hasil perataan jaring terkendala minimal, dan deviasi standar hasil
perataan jaring terkendala penuh (BSN, 2004).
Toleransi kesalahan pengukuran pada jaring kontrol vertikal adalah sebagai
berikut:
T = K

(I.1)

Dimana :
T

: angka toleransi pada satu set pengukuran pergi-pulang

: kesalahan menengah setiap kilometer sesuai dengan tingkat kelasnya

: jarak antara dua titik jaring vertikal yang diukur pergi-pulang

I.7.2. Pengukuran Beda Tinggi


I.7.2.1. Metode sipat datar. Prinsip pengukuran beda tinggi dengan alat sipat
datar adalah menentukan beda tinggi antara dua titik dengan menghitung selisih
bacaan benang tengah rambu muka dan rambu belakang yang didirikan pada kedua
titik tersebut. Jika jarak antar titik kontrol pemetaan relatif jauh, pengukuran beda
tinggi dengan penyipat datar tak dapat dilakukan dengan satu kali berdiri alat. Oleh
karena itu antara dua buah titik kontrol yang berturutan dibuat beberapa slag dengan
titik-titik bantu pengukurannya dibuat secara berantai (differential levelling) (Basuki,
2006). Sipat datar berantai ini juga dilakukan ketika beda tinggi antar titik terlalu
terjal, karena tidak dimungkinkan untuk melakukan pengukuran beda tinggi dengan
sekali berdiri alat.
Pada gambar I.1, untuk menentukan beda tinggi antara titik A dan B yang
berjauhan, maka diantara kedua titik tersebut dibuat beberapa slag dengan titik-titik

bantu yang pengukurannya dibuat secara berantai. Nilai beda tinggi antara titik A dan
B merupakan jumlah total beda tinggi pada tiap slag pengukuran sepanjang lintasan
antara kedua titik tersebut.

b2
m1

b1

bn

b3
m2

mn

m3

A
Gambar I.1. Pengukuran sipat datar (Basuki, 2006)
Keterangan :
A dan B

: titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya

1, 2, 3, ... n

: titik-titik bantu pengukuran

m 1 , m 2 , m 3 , ...m n

: bacaan rambu depan

b 1 , b 2 , b 3 , ...b n

: bacaan rambu belakang

Dari pengukuran sipat datar berantai antara titik A dan titik B yang ditunjukkan
pada Gambar I.2, nilai pengukuran h AB merupakan total h dari tiap slag dari i = 1
sampai n pada lintasan tersebut. Nilai h AB dapat ditentukan dengan persamaan:
h AB = h A1 + h 12 + ... + h nB

(I.2)

h AB = =1

(I.3)

Sebelum digunakan alat ukur sipat datar harus memenuhi beberapa syarat
tertentu yaitu, garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo yang merupakan
syarat utama, garis arah nivo tegak lurus sumbu I, dan garis mendatar diafragma
tegak lurus sumbu I (Basuki, 2006) .

I.7.2.2.

Metode

trigonometri.

Pengukuran

beda

tinggi

dengan

cara

trigonometri, adalah cara untuk memperoleh perbedaan tinggi dengan cara observasi
sudut elevasi. Untuk pekerjaan ini digunakan alat teodolit atau Total Station. Dengan
menggunakan alat Total Station jarak akan langsung diperoleh saat dilakukan

pengukuran. Ketelitian hasil pengukuran beda tinggi metode trigonometri lebih


rendah dibanding pengukuran beda tinggi metode sipat datar. Hal ini dikarenakan
banyaknya besaran-besaran yang harus diukur dibanding dengan sipat datar,
sehingga memberikan konstribusi kesalahan yang lebih besar (Parseno, 1998).

tr
SD
B

z
h

hAB

ti
A

HD
Gambar I.2. Penentuan beda tinggi dan tinggi titik cara trigonometri

Keterangan:
ti

: tinggi alat

HD

: jarak datar antara titik A dan titik B

SD

: jarak miring antara titik A dan titik B

: SD sin h atau jarak vertikal

h AB

: beda tinggi antara titik A dan titik B

: helling atau sudut miring

tr

: tinggi reflektor

: bacaan sudut zenit

Untuk menentukan tinggi dengan metode trigonometri antara dua buah titik
maka alat ukur Total Station harus didirikan di salah satu titik misalnya titik A
seperti pada gambar I.2 di atas, kemudian dirikan juga prisma atau reflektor di titik
B. Alat dibidikkan ke reflektor yang berada di titik B secara otomatis akan diperoleh
besarnya sudut helling atau zenith dan jarak miring AB, sehingga untuk beda tinggi
AB dapat dicari, yaitu:

h AB = SD sin h + t i t r

(I.4)

h AB = HD tan h + t i t r

(I.5)

Maka:
HB = HA + SD sin h + t i t r

(I.6)

HB = HA + HD tan h + t i t r

(I.7)

Pada kenyataannya pengukuran beda tinggi tidak terlepas dari tinggi alat dan
tinggi reflektor seperti yang ditunjukkan oleh persamaan (I.4) dan (I.5). Tinggi
instrumen didapat dengan melakukan pengukuran dari titik pengamatan ke instrumen
yang dipasang tepat di atas titik tersebut. Nilai tinggi instrumen yang diambil adalah
tinggi vertikal, namun demikian tidak menutup kemungkinan pengukuran tersebut
tidak vertikal sepenuhnya. Hal ini karena tidak bisa dilakukan pengukuran dari
sumbu II instrumen ke titik pengamatan, dengan demikian pengukuran dilakukan
melalui sisi samping alat. Pengukuran ini mengakibatkan penyimpangan hasil ukuran
dan harus dikoreksi. Untuk memperjelas, dapat dilihat dari gambar I.3 berikut ini:

Gambar I.3 Tinggi Instrumen

10

Keterangan :
1. Instrumen Alat TS Nikon 322
2. Statif
3. Titik pengamatan
AC : tinggi vertikal
BC : tinggi hasil pengukuran lapangan
AB : simpangan ukuran

Berdasarkan gambar I.3, nilai tinggi vertikal tidak didapatkan secara langsung.
2 =
2 -
Nilai tersebut dapat dicari berdasarkan hitungan
2. Nilai AB
P

didapatkan dari jari-jari dan ukuran instrumen, sehingga tinggi vertikal instrumen
dapat diketahui. Nilai tinggi vertikal pada reflektor juga dapat dicari dengan
menggunakan rumus phitagoras seperti yang ditunjukkan oleh pada gambar I.3.

I.7.3. Kesalahan dalam Pengukuran


Pengukuran adalah pengamatan terhadap suatu besaran yang dilakukan dengan
menggunakan peralatan dalam suatu lokasi dengan beberapa keterbatasan yang
tertentu. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan tidak pernah lepas dari kesalahankesalahan pengamatan (Basuki, 2006).

I.7.3.1. Kesalahan kasar atau blunder. Kesalahan ini merupakan hasil dari
kekeliruan atau blunder yang terjadi akibat dari kurangnya kehati-hatian, kurangnya
pengalaman, atau kurang perhatian dari pengukur. Apabila diketahui adanya
kesalahan kasar maka dianjurkan untuk mengulang seluruh atau sebagian
pengukuran tersebut. Untuk menghindari terjadinya jenis kesalahan ini antara lain
dapat dilakukan pengukuran lebih dari satu kali, atau pengukuran dengan model dan
teknik tertentu (Basuki, 2006).

I.7.3.2. Kesalahan sistematik. Kesalahan sistematik umumnya disebabkan oleh


alat-alat ukur sendiri seperti panjang pita ukur yang tidak standar, pembagian skala
yang tidak teratur pada pita ukur dan pembagian skala lingkaran teodolit yang tidak
seragam. Kesalahan ini biasanya juga dapat terjadi karena cara-cara pengukuran yang

11

tidak benar. Sifat kesalahan ini jelas dan akibat kesalahan ini dapat dihilangkan
antara lain dengan cara:
1.

melakukan kalibrasi alat sebelum digunakan untuk pengukuran,

2.

melakukan pengukuran dengan cara tertentu, misal pengamatan biasa dan luar
biasa dan hasilnya dirata-rata,

3.

memberikan koreksi pada data ukuran yang didapat, dan

4.

koreksi pada pengolahan data.

I.7.3.3. Kesalahan acak. Kesalahan ini terjadi karena hal-hal yang tak terduga
sebelumnya, seperti adanya undulasi, kondisi tanah tempat berdiri alat ukur yang
tidak stabil, pengaruh kecepatan angin atau kondisi atmosfer, dan kondisi psikis
pengamat. Kesalahan ini baru terlihat apabila suatu besaran diukur berulang-ulang
dan hasilnya tidak selalu sama antara satu ukuran dengan ukuran yang lain dan dalam
jumlah yang besar distribusi dari nilai-nilai tersebut akan mengikuti kurva normal
dari gauss.
Untuk menghilangkan pengaruh jenis kesalahan ini, dapat dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain:
1.

Pengaruh kesalahan ini dibuat sekecil mungkin dengan penyempurnaan alat


ukur yang digunakan (menggunakan alat presisi tinggi).

2.

Dengan aturan tertentu dalam proses pengambilan data. Pengambilan data pagi
pukul 07.00 - 11.00 dan dilanjutkan pada waktu sore hari pukul 14.00 - 17.00,
dan alat ukur dipayungi apabila terkena sinar matahari langsung.

3.

Dengan metode pengolahan data yang tertentu (grafis, bouwditch, perataan


kuadrat terkecil dan lain-lain). Dimana hasil pengamatan harus mengalami
koreksi dengan metode ilmu hitung perataan (adjusment) menurut ilmu hitung
kuadrat terkecil.

I.7.3.4. Kesalahan pada Total Station. Untuk alat Total Station dengan
menggunakan sistem pengukuran elektrik-optis dimana yang diukur adalah
perbedaan phase gelombang pembawa yang keluar (outgoing) dan masuk (incoming)
maka terdapat kesalahan yang berpengaruh pada hasil pengukuran jarak dan
sudutnya, diantaranya adalah (Widjajanti, Heliani, 2005):

12

1.

Efek kesalahan nol yang disebabkan ketidakakuratan besarnya perbedaan pusat


elektrik instrumen dengan titik pusat pengukuran pada instrumen. Nilainya
konstan dan biasanya telah ditentukan oleh pabrik pembuat.

2.

Kesalahan perioda perputaran yang disebabkan oleh electrik cross-talk dalam


instrumen. Hal ini dapat diselesaikan dengan pengukuran berulang dan
besarnya kesalahan dihitung dengan hitung kuadrat terkecil.

3.

Kesalahan pengukuran phase yang disebabkan keterbatasan resolusi teknik


pengukuran yang digunakan. Untuk mengetahi kesalah sistematiknya maka alat
ukur harus dikalibrasi terlebih dahulu, agar harga koreksi kesalahannya dapat
dikoreksikan pada hasil ukuran.

4.

Efek

refraksi

atmosfir

dimana

kecepatan

perambatan

gelombang

elektromagnetik di atmosfir tidak sama dengan kondisi ideal (ruang vakum).


hal ini menyebabkan perlambatan penjalaran gelombang.

Dalam pengukuran dengan menggunakan alat Total Station ini juga tidak lepas
dari kesalahan-kesalahan yang timbul karena faktor manusia, antara lain:
1.

kelalaian dalam pengaturan alat,

2.

kesalahan dalam mengukur tinggi alat,

3.

kesalahan dalam mengukur tinggi reflektor,

4.

penempatan alat maupun reflektor tidak tepat di atas titik, dan

5.

kesalahan pencatatan data.

I.7.4. Perambatan Kesalahan


Besaran yang diukur pada setiap pengukuran umumnya digunakan untuk
menghitung besaran lain yang diperlukan. Dalam kasus ini besaran yang dihitung
dinyatakan sebagai fungsi matematik dari pengukuran. Bila di dalam pengukuran
terdapat kesalahan, maka tidak bisa dihindari bahwa besaran yang dihitung dari hasil
pengukuran akan mempunyai kesalahan. Evaluasi kesalahan dalam besaran yang
dihitung yang dinyatakan sebagai fungsi kesalahan dalam pengukuran disebut
perambatan kesalahan (Mikhail dan Gracie, 1981).
Apabila jumlah besaran yang diukur lebih besar daripada jumlah besaran yang
dihitung, maka akan diperlukan solusi hitungan khusus yang disebut hitungan

13

perataan. Suatu model matematik akan menghubungkan besaran yang diukur dan
besaran yang dihitung. Karena perambatan varian kovarian memerlukan hubungan
yang linear maka diperlukan linearisasi apabila model matematik tersebut belum
linear.
Linearisasi :

Y = f (x 0 ) + x + higher order term

(I.8)

dalam hal ini x = x x 0

Apabila ada suatu persamaan yaitu :


Y = Ax + B

(I.9)

Dalam hal ini:


Y : parameter yang dicari
x : besaran yang diukur

A :hubungan linear antara parameter dan besaran ukuran (, matriks jacobian)


B : konstanta

Dengan menambahkan harapan matematis yang yang dinotasikan dengan E(x), maka
didapatkan:
E (Y) = E (Ax) + B
= A E(x) + B

(I.10)

Berikut adalah matriks varian kovarian:


E [ (x x ) . (x x )T ] = xx

(I.11)

Dalam hal ini:


x

: variabel random

: rerata x

xx

: matriks varian kovarian variabel random x

dan
E [ (y y ) . (y y )T ] = yy
Dalam hal ini:
y

: variabel random

: rerata y

yy

: matriks varian kovarian variabel random x

(I.12)

14

Sehingga :
E [y] = A E[x] + B
dari persamaan (I-12) didapatkan:
yy

= E [ (y y ) . (y y )T ]
= E {(y E[y])) (y E[y])T}
= E {(y (A E[x] + B)) (y (A E[x] + B))T}
= E {(y b A E[x]) (y b A E[x])T}
= E {(Ax A E[x]) (Ax A E[x])T}
= A . E {(x E[x]) (x E[x])T} . AT
= A . E [(x x ) . (x x )T] . AT

yy = A xx AT

(I.13)

Persamaan di atas disebut perambatan varian kovarian yang sering digunakan.

I.7.5. Hitungan Kuadrat Terkecil Metode Parameter


Hitungan perataan bertujuan mengestimasi harga-harga parameter berdasarkan
data pengamatan yang tersedia. Agar hasil estimasi benar, data yang digunakan
hanya mengandung kesalahan acak. Hitungan dapat dilakukan dengan berbagai
metode, salah satunya adalah dengan metode parameter. Pada metode ini besaran
pengamatan dinyatakan sebagai fungsi parameter (Hadiman, 1991).
Hubungan fungsional antara La dan X (persamaan observasi) dapat dituliskan
sebagai berikut:
La 1 = A 1,1 X 1 + A 1,2 X 2 + ... ... A 1,u X u + A 1,0
La 2 = A 2,1 X 1 + A 2,2 X 2 + ... ... A 2,u X u + A 2,0
La 3 = A 3,1 X 1 + A 3,2 X 2 + ... ... a 3,u X u + A 3,0
...

...

...

...

...

La n = A n,1 X 1 + A n,2 X 2 + ... ... A n,u X u + A n,0


Dalam hal ini:
La 1 , La 2 , La 3 , ..., La n

: besaran-besaran terkoreksi

X 1 , X 2 , ..., X u

: parameter-parameter yang ditentukan

A 1,1 , A 1,2 , A 2,1 , A 2,2 , ..., A n,u

: koefisien parameter

A 1,0 , A 2,0 , A 3,0 , ..., A n,0

: konstanta-konstanta linier

(I.14)

15

Apabila L merupakan besaran ukuran maka diasumsikan bahwa semua nilai L


mengandung kesalahan acak dan La besaran yang dicari maka perbedaan nilai L dan
La disebut dengan residual (V), maka hubungan dari ketiga besaran tersebut dapat
digambarkan dengan persamaan berikut:
L 1 + V 1 = La 1
L 2 + V 2 = La 2
L 3 + V 3 = La 3
...

...

...

L n + V n = La n
Maka persamaan pengamatan L menjadi:
La 1 + V 1 = A 1,1 X 1 + A 1,2 X 2 + ... ... A 1,u X u + A 1,0
La 2 + V 2 = A 2,1 X 1 + A 2,2 X 2 + ... ... A 2,u X u + A 2,0
La 3 + V 3 = A 3,1 X 1 + A 3,2 X 2 + ... ... A 3,u X u + A 3,0
...

...

...

...

...

...

La n + V n = A n,1 X 1 + A n,2 X 2 + ... ... A n,u X u + A n,0

(I.15)

Dari persamaan (I.15) diperoleh persamaan yang disebut dengan persamaan koreksi,
yaitu:
V 1 = A 1,1 X 1 + A 1,2 X 2 + ... ... A 1,u X u + A 1,0 La 1
V 2 = A 2,1 X 1 + A 2,2 X 2 + ... ... A 2,u X u + A 2,0 La 2
V 3 = A 3,1 X 1 + A 3,2 X 2 + ... ... A 3,u X u + A 3,0 La 3
...

...

...

...

...

...

V n = A n,1 X 1 + A n,2 X 2 + ... ... A n,u X u + A n,0 La n

(I.16)

Persamaan koreksi diatas dapat dituliskan juga dalam bentuk matriks (Hadiman,
1991), menjadi:
V = AX F
Keterangan:
V

: koreksi (residual) pengamatan

: matriks koefisien parameter

: nilai parameter

: faktor sisa

(I.17)

16

Jika dalam proses hitungannya menggunakan bobot pengukuran (P), maka


jumlah kuadrat residualnya (VTPV) dapat dicari dengan persamaan berikut:
VT P V = ( A X F )T P ( A X F )
= (XT AT FT) P (A X F )
= XT AT P A X XT AT PF FT P A X FT P F
VT P V = XT AT P A X 2 FT P A X FT P F

(I.18)

Sesuai dengan teori kuadrat terkecil maka untuk mendapatkan nilai La terbaik
maka jumlah kuadrat residual (VT P V) harus minimum. Agar nilai VT P V minimum
maka turunan pertama VT P V terhadap koreksi parameter harus sama dengan nol.
untuk itu:

=0

2 XT AT P A 2 FT P A = 0
XT AT P A FT P A = 0

(I.19)

Karena PT = P, maka persamaan (I.19) bila di-transpose akan menjadi:


AT P A X AT P F = 0

(I.20)

Selanjutnya untuk mencari nilai parameter estimasi terbaik, diperoleh dari:


X = (AT P A)-1 AT P F

(I.21)

Untuk mencari nilai besaran-besaran terkoreksi adalah:


La = L + V
= L + AX F
= L + A (AT P A)-1 AT P F F

(I.22)

Persamaan untuk mencari nilai ketelitian parameter ( xx ), matriks varian


kovarian besaran terkoreksi ( La ), dan matriks varian kovarian residu ( vv ) adalah
:
xx
La

= o 2 (AT P A) -1
R

= o 2 [A (AT P A)-1 AT]


R

(I.23)
(I.24)

17

vv

= o 2 [P-1 (A (AT P A)-1 AT)]

(I.25)

o 2 =
R

Dalam hal ini:

(I.26)

o 2 : varian aposteori
R

: matriks bobot pengukuran

: jumlah pengamatan

: jumlah parameter

I.7.6. Bobot Pengukuran


Bobot suatu pengukuran merupakan perbandingan ketelitian antara besaranbesaran yang diukur. Besaran pengukuran yang didapat dari suatu pengukuran
mempunyai tingkat ketelitian yang berbeda oleh karena itu dalam perhitungannya
harus diberikan suatu nilai besaran (bobot pengukuran) yang sesuai dengan harga
ketelitian dari suatu pengamatan (Hadiman, 1991). Bobot yang baik pada hitungan
kuadrat terkecil akan menghasilkan varian akhir ( o 2) yang bersesuaian dengan
R

varian awalnya ( o ) (Mikhail dan Gracie, 1981). Sedangkan estimasi varian ( o 2)


2

yang kurang tepat akan mengakibatkan estimasi bobot pengukuran yang kurang tepat
(Soetaat, 1996).
Bobot dari pengukuran tunggal dapat didefinisikan sebagai satuan yang
berbanding terbalik dengan varian pengukuran ( x 2), sehingga:
P=

(I.27)

Dalam hal ini k adalah konstanta sebagai pembanding nilai pengamatan. Bila suatu
pengamatan mempunyai bobot yang sama dengan satu (P = 1) dan nilai varian
pengukuran sama dengan varian apriori ( o 2), maka:
1=

(I.28)

Dari kedua persamaan di atas yaitu persamaan (I.27) dan persamaan (I.28) akan
diperoleh persamaan di bawah ini:
P=

2
2

(I.29)

18

Dalam hal ini:


o2

: varian apriori

x2

: varian pengukuran

Pada saat pengukuran tidak saling berkorelasi sehingga matriks varian kovarian
pengukuran merupakan suatu matriks diagonal, yaitu:
1/1 2

L -1 = 0

0

Dalam hal ini:

0
1/2 2

0
0

0
0 1/n 2

: matriks varian kovarian pengukuran

x2

: varian pengukuran ke n

(I.30)

Dari persamaan (I.29) didapatkan hubungan bobot pengukuran dengan


pengukuran adalah:
P 1 = o 2 / 1 2, P 2 = o 2 / 2 2, ........., P n = o 2 / n 2
sehingga diperoleh matriks bobot P:

P=

1
0

0
2

0
0

(I.31)

Dari persamaan (I.31) akan menjadi :

P=

2 /1 2
0

1/1 2

= o2 0

0

0
/2 2

0
2

0
1/2 2

0
0
2 / 2

0
0
1/n 2

(I.32)

Sehingga jika dituliskan dalam bentuk notasi persamaan akan menjadi :


P = o 2 L -1

(I.33)

19

Pada sipat datar, pengukuran beda tinggi dilakukan dengan membaca bacaan
rambu depan dan bacaan rambu belakang. Apabila pada setiap pengukuran
diterapkan prosedur pengaturan alat yang sama, maka dapat diasumsikan bahwa
kesalahan nivo pada arah rambu depan a dan rambu belakang b mempunyai
ketelitian yang sama yang dinyatakan dengan . Jika rambu depan dan rambu
belakang yang digunakan mempunyai jenis yang sama, maka diasumsikan
pembacaan rambu depan dan rambu belakang mempunyai ketelitian yang sama,
dengan ketelitian . Dari penjelasan tersebut, selanjutnya bobot seperjarak
dikembangkan dari persamaan:
hn 2 = nD2( 2+ 2)

(I.34)

Apabila menggunakan teknik sipat datar memanjang, dengan D adalah jarak


tiap slag pengamatan dan S adalah jarak antar titik, maka jumlah slag pengamatan n
dibuat sama dan prosedur pengaturan alat yang diterapkan sama. Dari penjelasan
tersebut, selanjutnya D( 2+ 2) dapat dianggap sebagai konstanta k bagi semua
pengukuran slag, sedangkan nD adalah panjang dari jumlah slag yang dapat diartikan
sebagai jarak antar titik S, sehingga:
n 2 = hn 2 = nD2( 2+ 2) = nDk = Sk

(I.35)

Untuk k = 1, hn 2 = S, maka:
P=

(I.36)

Sehingga bobot seperjarak dapat ditulis:


1
S1

0

1
S

P=

: bobot pengukuran

Sn

: jarak antara dua titik yang diukur beda tingginya

Dalam hal ini:

1
S2

(I.37)

20

I.7.7. Hitung Perataan Terkendala Minimal


Suatu matriks yang mempunyai kekurangan rank (rank deficiency) akan
menyebabkan matriks tersebut menjadi singular. Dalam metode kuadrat terkecil,
harga X dapat diperoleh dari persamaan - X = (AT P A)-1 AT P F jika matriks (AT P A)
tidak singular, karena harga determinan matriks (AT P A) 0. Apabila matriks (AT P
A) mengalami kekurangan rank, maka matriks (AT P A) tersebut menjadi matriks

singular sehingga tidak dapat diinvers. Rank suatu matriks didefinisikan sebagai
dimensi tertinggi suatu matriks sehingga determinannya tidak nol (Soetaat, 1996).
Kekurangan rank atau rank deficiency disebabkan oleh belum terdefinisinya
sistem koordinat. Pada sistem koordinat 1D, misalnya sipat datar, ada kekurangan
rank sebanyak satu, sehingga sistem koordinat 1D terdefinisi dengan menentukan
satu titik sebagai referensi (tinggi). Pada sistem koordinat 2D, misalnya kontrol
horizontal, ada kekurangan rank sebanyak empat, sehingga sistem koordiant 2D
terdefinisi bila ada empat unsur yang dipakai sebagai referensi. Sehingga yang
dimaksud dengan perataan dengan kendala minimal (minimal constraint adjusment)
adalah perataan dengan jumlah unsur yang diketahui (referensi) sebanyak
kekurangan rank-nya (Soetaat, 1996)

I.7.8. Uji Statistik untuk Evaluasi Hasil Hitung Perataan


Pengamatan besaran ukuran seperti sudut dan jarak secara berulang, akan
diperoleh data pengamatan yang bervariasi nilainya. Adanya variasi hasil
pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pengamatan mengandung kesalahan yang
secara alamiah terkandung di dalamnya. Untuk mengetahui bahwa hasil pengamatan
di lapangan tidak mengandung kesalahan tak acak maka nilai varian dan koreksi
ukuran hasil pengamatan dilakukan pengujian secara statistik untuk daerah
kepercayaan tertentu. Dalam penelitian ini uji statistik untuk hasil hitung perataan ini
dilakukan dengan menggunakan uji- (Popes tau).
Perbandingan koreksi pengukuran dengan simpangan baku pengukuran harus
mendekati hasil formula derajat kebebasan seperti pada persamaan (I.38) berikut ini
(Kuang,1991) :

21

(r) =

(1)
1+ (1)

(I.38)

Dalam hal ini :


r

: derajat kebebasan

: nilai tabel t

Pengujian ini adalah untuk memastikan bahwa besaran yang dimodelkan


benar-benar diterima secara statistik. Untuk menghitung nilai i (nilai hitung t) setiap
data pengamatan menggunakan persamaan (I.39) berikut ini :

Dimana :

(I.39)

: Koreksi pengamatan ke-i


: Simpangan baku koreksi ke-i (akar dari elemen diagonal matriks vv )

Hipotesis nol (H o ) pada -tes mengasumsikan bahwa seluruh pengukuran telah


terdistribusi normal. Sehingga residual ekspektasi adalah nol, karena tidak ada
kesalahan kasar. Alternatif hipotesis adalah Ha, apabila H o ditolak. Sehubungan
dengan hal tersebut, H o diterima berdasarkan nilai berikut ini :

(1-/2) < i < (/2)

(I.40)

Penolakan H o dapat mengindikasikan adanya gross error atau kesalahan kasar pada
model ukuran.
Melalui uji , data snooping secara tidak langsung telah dilakukan, hal ini
dikarenakan dengan metode tersebut nilai residual masing-masing pengukuran
langsung diketahui.

I.7.9. Uji Statistik untuk Analisis Hasil


Apabila suatu besaran ukuran berulangkali diukur dengan menggunakan suatu
alat ukur tertentu dan kemudian proses yang sama dikenakan pada alat lain yang juga
dilakukan secara berulang-ulang, maka akan dihasilkan dua ketelitiandan dua

22

parameter hasil ukuran tersebut. Untuk menguji kesamaan dua kelompok sampel
tersebut

dapat digunakan uji varian atau uji Fisher untuk menguji kesamaan

ketelitiannya, dan uji- untuk menguji kesamaan parameternya.


1.7.9.1. Uji perbandingan varian. Uji Fisher (F-test) dapat digunakan untuk
menguji kesesuaian varian antara dua kelompok sampel yang berdistribusi normal.
Dengan menggunakan distribusi F (Fisher) dapat dilakukan uji kesamaan antara rata2
dengan ratarata varian tinggi hasil hitungan perataan kuadrat terkecil pertama 1

2
rata varian tinggi hasil hitungan perataan kuadrat terkecil kedua 2
. Distribusi F

dapat dirumuskan sebagai berikut (Spiegel, Schiller, dan Srinivasan, 2004):


F=

21

(I.41)

22

Pengujian dilakukan dengan nilai kesesuaian antara hasil hitungan dengan


suatu nilai yang diharapkan. Kriteria pengujiannya adalah Ho diterima jika nilai
berdasarkan nilai berikut :
1

F f1,f2, /2

< F < F f1, f2,/2

(I.42)

Dimana:
f1

: derajat kebebasan untuk pembilang

f2

: derajat kebebasan untuk penyebut

Apabila hipotesis diterima (H o ), menunjukkan bahwa titik tersebut mempunyai


ketelitian yang hampir sama atau tidak berbeda secara signifikan. Sebaliknya, apabila
hipotesis ditolak (H a ) maka titik tersebut mempunyai ketelitian yang berbeda secara
signifikan.
1.7.9.2. Uji signifikansi tau (-tes) komparatif. Selain uji untuk satu pihak,
terdapat uji yang digunakan untuk menguji secara komparatif suatu parameter dari
dua metode hasil hitung perataan. Hipotesis nol diterima apabila dipenuhi besaran
kriteria pada persamaan (I.42) berikut ini (Soeprapto, 2005) :

23

1 2

(I.43)

2
2
1
+ 2

Dalam hal ini :


1

: Nilai parameter metode satu


: Nilai parameter metode dua

2
1
: Nilai varian dari parameter metode satu

2
2
: Nilai varian dari parameter metode dua

Hiptesis nol ( H o ) diterima berdasarkan nilai berikut ini :

(1-/2) < i < (/2)

(I.44)

Apabila hipotesis nol (H o ) diterima maka nilai parameter metode satu tidak
berbeda secara signifikan dengan parameter metode dua. Alternatif hipotesis adalah
Ha, apabila H o ditolak, yaitu nilai parameter metode satu berbeda secara signifikan
dengan parameter metode dua.

I.8. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah pemberian koreksi pada pengukuran tinggi
instrumen (t i ) dan tinggi reflektor (t r ) akan meningkatkan ketelitian penentuan tinggi
dengan alat Total Station secara sistematis. Ketelitian estimasi tinggi menggunakan
Total station adalah sama dengan ketelitian estimasi tinggi dengan menggunakan
sipat datar.

Anda mungkin juga menyukai