S1 2013 252074 Chapter1
S1 2013 252074 Chapter1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
penggalan untuk pengukuran sipat datar harus dibuat dengan selisih jarak yang kecil,
sehingga alat sipat datar dapat membidik rambu. Semakin curam daerah pelaksanaan
pengukurannya, semakin banyak penggalan yang dibutuhkan. Hal ini juga menjadi
kendala terhadap pengukuran Jaring Kontrol Vertikal (JKV) untuk keperluan
pemantauan stabilitas Candi Borobudur.
Cara lain yang diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif dalam
pengukuran beda tinggi adalah dengan menggunakan alat Total Station, yaitu alat
ukur elektronik dengan teknologi digital. Total Station merupakan gabungan dari alat
ukur sudut (teodolit) dan alat ukur jarak elektronik (EDM) serta dilengkapi dengan
perangkat elektronis untuk menentukan koordinat dan ketinggian titik detail secara
otomatis digital menggunakan gelombang elektromagnetis serta dilengkapi piranti
untuk perekaman data (Muda, 2008). Pengukuran beda tinggi dengan menggunakan
Total Station menggunakan prinsip hitungan trigonometris. Prinsip perhitungan ini
akan meminimalisir banyaknya penggalan yang digunakan pada alat sipat datar. Alat
ukur Total Station tersebut juga dapat melakukan pengukuran horizontal dan vertikal
sekaligus dengan cepat. Dengan kemampuan Total Station tersebut, diharapkan dapat
menggantikan peran alat ukur sipat datar dan dapat menghemat waktu pengukuran.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan alat sipat datar, Total Station mempunyai
ketelitian yang lebih rendah dalam melakukan pengukuran beda tinggi. Hal ini
dikarenakan banyaknya besaran-besaran yang harus diukur dibandingkan dengan alat
sipat datar, sehingga memberikan konstribusi kesalahan yang lebih besar (Parseno,
1998).
Guna mengetahui kelayakan alat ukur Total Station untuk pengukuran Jaring
pemantau pergeseran vertikal di Candi Borobudur, maka perlu dilakukan kajian hasil
penentuan tinggi dengan Total Station yang dilaksanakan pada tahun 2012. Pada
rumus beda tinggi Total Station, terdapat empat variable ukuran yaitu slope distance
(SD), helling (h), tinggi alat (t i ) dan tinggi reflektor (t r ). SD dan h mengikuti
ketelitian alat yang digunakan, sedangkan t i dan t r diukur secara manual dengan
menggunakan pita ukur. Dalam kebanyakan pengukuran, t i dan t r seringkali diukur
dengan tidak teliti. Ketidaktelitian cara pengukuran t i dan t r , mendasari penelitian ini.
Pemberian koreksi terhadap t i dan t r ini diharapkan dapat meningkatkan ketelitian
penentuan tinggi yang dihasilkan oleh Total Station.
Berapa besar pengaruh ketelitian pengukuran tinggi alat (t i ) dan tinggi reflektor
(t r ) pada pengukuran beda tinggi Total Station terhadap ketelitian jaring
vertikal Total Station yang diperoleh?
2.
Berapa tingkat ketelitian jaring vertikal hasil pengukuran beda tinggi yang
diperoleh alat ukur Total Station?
2.
Untuk mengetahui ketelitan jaring vertikal hasil pengukuran beda tinggi yang
diperoleh dari alat Total Station.
Dapat mengatasi keterbatasan yang ada pada pengukuran dengan alat ukur
Total Station sehingga dimungkinkan alat ukur Total Station dapat
menggantikan sipat datar dalam pekerjaan pengukuran beda tinggi.
2.
3.
Bahan penelitian yang digunakan berupa jaring vertikal sipat datar Candi
Borobudur tahun 2011 dan jaring vertikal Total Station Candi Borobudur tahun
2012.
2.
Karena adanya perbedaan desain jaring antara jaring vertikal sipat datar Candi
Borobudur 2011 dan jaring vertikal Total Station Candi Borobudur 2012, titiktitik yang dievaluasi adalah titik-titik sama yang terdapat pada kedua jaring
vertikal.
3.
4.
model koreksi tersebut dapat memperbaiki hasil pengukuran Total Station walaupun
tidak signifikan.
Fajri (2010), membandingkan ketelitian hasil pengukuran beda tinggi alat ukur
sipat datar Leica SPRINTER-100 dan alat ukur Total Station Nikon DTM-352.
Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran beda tinggi titik-titik kontrol
yang sudah tersebar di sekitar Fakultas teknik UGM dengan kondisi lapangan yang
bervariatif. Penelitian ini juga untuk membuktikan seberapa besar pengaruh koreksi
hasil pemodelan pola selisih beda tinggi trigonometri terhadap sipat datar yang telah
dilakukan Perwita (2009) untuk daerah yang relatif datar dengan jarak keseluruhan
loop yang relatif pendek yaitu kurang dari 1,5 km. Dalam penelitian ini, setelah
diberikan koreksi hasil pemodelan trigonometri kemudian dilakukan hitung perataan
metode parameter dan uji statistik. Hasil akhir yang diperoleh adalah berupa tingkat
ketelitian hasil ukuran sipat datar, trigonometri tanpa koreksi, dan trigonometri
terkoreksi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi pengukuran beda tinggi menggunakan Total Station
pada jaring pemantau stabilitas Candi Borobudur. Dengan merujuk pada penelitian
dan latar belakang yang ada, penulis akan melakukan penelitian perbandingan
ketelitian jaring vertikal antara jaring vertikal yang diukur menggunakan alat sipat
datar Leica SPRINTER-100 dan alat ukur Total Station Nikon DTM-322.
Sebelumnya dilakukan koreksi pengukuran tinggi instrumen (t i ) dan tinggi reflektor
(t r ) terhadap pengukuran beda tinggi dengan Total Station. Tinggi yang diukur dari
tinggi instrumen (t i ) dan tinggi reflektor (t r ) biasanya tinggi dari sisi alat menuju
titik, hal ini kemungkinan menyebabkan tinggi yang diukur tidak sepenuhnya
vertikal. Koreksi harus dilakukan agar tinggi yang didapat benar-benar tinggi
vertikal, yaitu tinggi dari pusat alat menuju titik. Hasil akhir yang akan diperoleh
berupa tingkat ketelitian hasil ukur sipat datar, Total Station tanpa koreksi dan Total
Station dengan koreksi. Dari hasil perbandingan penelitian ini juga untuk
membuktikan seberapa besar pengaruh kesalahan pengukuran tinggi alat (t i ) dan
tinggi reflektor (t r ) terhadap ketelitian jaring vertikal Total Station.
(I.1)
Dimana :
T
bantu yang pengukurannya dibuat secara berantai. Nilai beda tinggi antara titik A dan
B merupakan jumlah total beda tinggi pada tiap slag pengukuran sepanjang lintasan
antara kedua titik tersebut.
b2
m1
b1
bn
b3
m2
mn
m3
A
Gambar I.1. Pengukuran sipat datar (Basuki, 2006)
Keterangan :
A dan B
1, 2, 3, ... n
m 1 , m 2 , m 3 , ...m n
b 1 , b 2 , b 3 , ...b n
Dari pengukuran sipat datar berantai antara titik A dan titik B yang ditunjukkan
pada Gambar I.2, nilai pengukuran h AB merupakan total h dari tiap slag dari i = 1
sampai n pada lintasan tersebut. Nilai h AB dapat ditentukan dengan persamaan:
h AB = h A1 + h 12 + ... + h nB
(I.2)
h AB = =1
(I.3)
Sebelum digunakan alat ukur sipat datar harus memenuhi beberapa syarat
tertentu yaitu, garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo yang merupakan
syarat utama, garis arah nivo tegak lurus sumbu I, dan garis mendatar diafragma
tegak lurus sumbu I (Basuki, 2006) .
I.7.2.2.
Metode
trigonometri.
Pengukuran
beda
tinggi
dengan
cara
trigonometri, adalah cara untuk memperoleh perbedaan tinggi dengan cara observasi
sudut elevasi. Untuk pekerjaan ini digunakan alat teodolit atau Total Station. Dengan
menggunakan alat Total Station jarak akan langsung diperoleh saat dilakukan
tr
SD
B
z
h
hAB
ti
A
HD
Gambar I.2. Penentuan beda tinggi dan tinggi titik cara trigonometri
Keterangan:
ti
: tinggi alat
HD
SD
h AB
tr
: tinggi reflektor
Untuk menentukan tinggi dengan metode trigonometri antara dua buah titik
maka alat ukur Total Station harus didirikan di salah satu titik misalnya titik A
seperti pada gambar I.2 di atas, kemudian dirikan juga prisma atau reflektor di titik
B. Alat dibidikkan ke reflektor yang berada di titik B secara otomatis akan diperoleh
besarnya sudut helling atau zenith dan jarak miring AB, sehingga untuk beda tinggi
AB dapat dicari, yaitu:
h AB = SD sin h + t i t r
(I.4)
h AB = HD tan h + t i t r
(I.5)
Maka:
HB = HA + SD sin h + t i t r
(I.6)
HB = HA + HD tan h + t i t r
(I.7)
Pada kenyataannya pengukuran beda tinggi tidak terlepas dari tinggi alat dan
tinggi reflektor seperti yang ditunjukkan oleh persamaan (I.4) dan (I.5). Tinggi
instrumen didapat dengan melakukan pengukuran dari titik pengamatan ke instrumen
yang dipasang tepat di atas titik tersebut. Nilai tinggi instrumen yang diambil adalah
tinggi vertikal, namun demikian tidak menutup kemungkinan pengukuran tersebut
tidak vertikal sepenuhnya. Hal ini karena tidak bisa dilakukan pengukuran dari
sumbu II instrumen ke titik pengamatan, dengan demikian pengukuran dilakukan
melalui sisi samping alat. Pengukuran ini mengakibatkan penyimpangan hasil ukuran
dan harus dikoreksi. Untuk memperjelas, dapat dilihat dari gambar I.3 berikut ini:
10
Keterangan :
1. Instrumen Alat TS Nikon 322
2. Statif
3. Titik pengamatan
AC : tinggi vertikal
BC : tinggi hasil pengukuran lapangan
AB : simpangan ukuran
Berdasarkan gambar I.3, nilai tinggi vertikal tidak didapatkan secara langsung.
2 =
2 -
Nilai tersebut dapat dicari berdasarkan hitungan
2. Nilai AB
P
didapatkan dari jari-jari dan ukuran instrumen, sehingga tinggi vertikal instrumen
dapat diketahui. Nilai tinggi vertikal pada reflektor juga dapat dicari dengan
menggunakan rumus phitagoras seperti yang ditunjukkan oleh pada gambar I.3.
I.7.3.1. Kesalahan kasar atau blunder. Kesalahan ini merupakan hasil dari
kekeliruan atau blunder yang terjadi akibat dari kurangnya kehati-hatian, kurangnya
pengalaman, atau kurang perhatian dari pengukur. Apabila diketahui adanya
kesalahan kasar maka dianjurkan untuk mengulang seluruh atau sebagian
pengukuran tersebut. Untuk menghindari terjadinya jenis kesalahan ini antara lain
dapat dilakukan pengukuran lebih dari satu kali, atau pengukuran dengan model dan
teknik tertentu (Basuki, 2006).
11
tidak benar. Sifat kesalahan ini jelas dan akibat kesalahan ini dapat dihilangkan
antara lain dengan cara:
1.
2.
melakukan pengukuran dengan cara tertentu, misal pengamatan biasa dan luar
biasa dan hasilnya dirata-rata,
3.
4.
I.7.3.3. Kesalahan acak. Kesalahan ini terjadi karena hal-hal yang tak terduga
sebelumnya, seperti adanya undulasi, kondisi tanah tempat berdiri alat ukur yang
tidak stabil, pengaruh kecepatan angin atau kondisi atmosfer, dan kondisi psikis
pengamat. Kesalahan ini baru terlihat apabila suatu besaran diukur berulang-ulang
dan hasilnya tidak selalu sama antara satu ukuran dengan ukuran yang lain dan dalam
jumlah yang besar distribusi dari nilai-nilai tersebut akan mengikuti kurva normal
dari gauss.
Untuk menghilangkan pengaruh jenis kesalahan ini, dapat dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain:
1.
2.
Dengan aturan tertentu dalam proses pengambilan data. Pengambilan data pagi
pukul 07.00 - 11.00 dan dilanjutkan pada waktu sore hari pukul 14.00 - 17.00,
dan alat ukur dipayungi apabila terkena sinar matahari langsung.
3.
I.7.3.4. Kesalahan pada Total Station. Untuk alat Total Station dengan
menggunakan sistem pengukuran elektrik-optis dimana yang diukur adalah
perbedaan phase gelombang pembawa yang keluar (outgoing) dan masuk (incoming)
maka terdapat kesalahan yang berpengaruh pada hasil pengukuran jarak dan
sudutnya, diantaranya adalah (Widjajanti, Heliani, 2005):
12
1.
2.
3.
4.
Efek
refraksi
atmosfir
dimana
kecepatan
perambatan
gelombang
Dalam pengukuran dengan menggunakan alat Total Station ini juga tidak lepas
dari kesalahan-kesalahan yang timbul karena faktor manusia, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
13
perataan. Suatu model matematik akan menghubungkan besaran yang diukur dan
besaran yang dihitung. Karena perambatan varian kovarian memerlukan hubungan
yang linear maka diperlukan linearisasi apabila model matematik tersebut belum
linear.
Linearisasi :
(I.8)
(I.9)
Dengan menambahkan harapan matematis yang yang dinotasikan dengan E(x), maka
didapatkan:
E (Y) = E (Ax) + B
= A E(x) + B
(I.10)
(I.11)
: variabel random
: rerata x
xx
dan
E [ (y y ) . (y y )T ] = yy
Dalam hal ini:
y
: variabel random
: rerata y
yy
(I.12)
14
Sehingga :
E [y] = A E[x] + B
dari persamaan (I-12) didapatkan:
yy
= E [ (y y ) . (y y )T ]
= E {(y E[y])) (y E[y])T}
= E {(y (A E[x] + B)) (y (A E[x] + B))T}
= E {(y b A E[x]) (y b A E[x])T}
= E {(Ax A E[x]) (Ax A E[x])T}
= A . E {(x E[x]) (x E[x])T} . AT
= A . E [(x x ) . (x x )T] . AT
yy = A xx AT
(I.13)
...
...
...
...
: besaran-besaran terkoreksi
X 1 , X 2 , ..., X u
: koefisien parameter
: konstanta-konstanta linier
(I.14)
15
...
...
L n + V n = La n
Maka persamaan pengamatan L menjadi:
La 1 + V 1 = A 1,1 X 1 + A 1,2 X 2 + ... ... A 1,u X u + A 1,0
La 2 + V 2 = A 2,1 X 1 + A 2,2 X 2 + ... ... A 2,u X u + A 2,0
La 3 + V 3 = A 3,1 X 1 + A 3,2 X 2 + ... ... A 3,u X u + A 3,0
...
...
...
...
...
...
(I.15)
Dari persamaan (I.15) diperoleh persamaan yang disebut dengan persamaan koreksi,
yaitu:
V 1 = A 1,1 X 1 + A 1,2 X 2 + ... ... A 1,u X u + A 1,0 La 1
V 2 = A 2,1 X 1 + A 2,2 X 2 + ... ... A 2,u X u + A 2,0 La 2
V 3 = A 3,1 X 1 + A 3,2 X 2 + ... ... A 3,u X u + A 3,0 La 3
...
...
...
...
...
...
(I.16)
Persamaan koreksi diatas dapat dituliskan juga dalam bentuk matriks (Hadiman,
1991), menjadi:
V = AX F
Keterangan:
V
: nilai parameter
: faktor sisa
(I.17)
16
(I.18)
Sesuai dengan teori kuadrat terkecil maka untuk mendapatkan nilai La terbaik
maka jumlah kuadrat residual (VT P V) harus minimum. Agar nilai VT P V minimum
maka turunan pertama VT P V terhadap koreksi parameter harus sama dengan nol.
untuk itu:
=0
2 XT AT P A 2 FT P A = 0
XT AT P A FT P A = 0
(I.19)
(I.20)
(I.21)
(I.22)
= o 2 (AT P A) -1
R
(I.23)
(I.24)
17
vv
(I.25)
o 2 =
R
(I.26)
o 2 : varian aposteori
R
: jumlah pengamatan
: jumlah parameter
yang kurang tepat akan mengakibatkan estimasi bobot pengukuran yang kurang tepat
(Soetaat, 1996).
Bobot dari pengukuran tunggal dapat didefinisikan sebagai satuan yang
berbanding terbalik dengan varian pengukuran ( x 2), sehingga:
P=
(I.27)
Dalam hal ini k adalah konstanta sebagai pembanding nilai pengamatan. Bila suatu
pengamatan mempunyai bobot yang sama dengan satu (P = 1) dan nilai varian
pengukuran sama dengan varian apriori ( o 2), maka:
1=
(I.28)
Dari kedua persamaan di atas yaitu persamaan (I.27) dan persamaan (I.28) akan
diperoleh persamaan di bawah ini:
P=
2
2
(I.29)
18
: varian apriori
x2
: varian pengukuran
Pada saat pengukuran tidak saling berkorelasi sehingga matriks varian kovarian
pengukuran merupakan suatu matriks diagonal, yaitu:
1/1 2
L -1 = 0
0
0
1/2 2
0
0
0
0 1/n 2
x2
: varian pengukuran ke n
(I.30)
P=
1
0
0
2
0
0
(I.31)
P=
2 /1 2
0
1/1 2
= o2 0
0
0
/2 2
0
2
0
1/2 2
0
0
2 / 2
0
0
1/n 2
(I.32)
(I.33)
19
Pada sipat datar, pengukuran beda tinggi dilakukan dengan membaca bacaan
rambu depan dan bacaan rambu belakang. Apabila pada setiap pengukuran
diterapkan prosedur pengaturan alat yang sama, maka dapat diasumsikan bahwa
kesalahan nivo pada arah rambu depan a dan rambu belakang b mempunyai
ketelitian yang sama yang dinyatakan dengan . Jika rambu depan dan rambu
belakang yang digunakan mempunyai jenis yang sama, maka diasumsikan
pembacaan rambu depan dan rambu belakang mempunyai ketelitian yang sama,
dengan ketelitian . Dari penjelasan tersebut, selanjutnya bobot seperjarak
dikembangkan dari persamaan:
hn 2 = nD2( 2+ 2)
(I.34)
(I.35)
Untuk k = 1, hn 2 = S, maka:
P=
(I.36)
0
1
S
P=
: bobot pengukuran
Sn
1
S2
(I.37)
20
singular sehingga tidak dapat diinvers. Rank suatu matriks didefinisikan sebagai
dimensi tertinggi suatu matriks sehingga determinannya tidak nol (Soetaat, 1996).
Kekurangan rank atau rank deficiency disebabkan oleh belum terdefinisinya
sistem koordinat. Pada sistem koordinat 1D, misalnya sipat datar, ada kekurangan
rank sebanyak satu, sehingga sistem koordinat 1D terdefinisi dengan menentukan
satu titik sebagai referensi (tinggi). Pada sistem koordinat 2D, misalnya kontrol
horizontal, ada kekurangan rank sebanyak empat, sehingga sistem koordiant 2D
terdefinisi bila ada empat unsur yang dipakai sebagai referensi. Sehingga yang
dimaksud dengan perataan dengan kendala minimal (minimal constraint adjusment)
adalah perataan dengan jumlah unsur yang diketahui (referensi) sebanyak
kekurangan rank-nya (Soetaat, 1996)
21
(r) =
(1)
1+ (1)
(I.38)
: derajat kebebasan
: nilai tabel t
Dimana :
(I.39)
(I.40)
Penolakan H o dapat mengindikasikan adanya gross error atau kesalahan kasar pada
model ukuran.
Melalui uji , data snooping secara tidak langsung telah dilakukan, hal ini
dikarenakan dengan metode tersebut nilai residual masing-masing pengukuran
langsung diketahui.
22
parameter hasil ukuran tersebut. Untuk menguji kesamaan dua kelompok sampel
tersebut
dapat digunakan uji varian atau uji Fisher untuk menguji kesamaan
2
rata varian tinggi hasil hitungan perataan kuadrat terkecil kedua 2
. Distribusi F
21
(I.41)
22
F f1,f2, /2
(I.42)
Dimana:
f1
f2
23
1 2
(I.43)
2
2
1
+ 2
2
1
: Nilai varian dari parameter metode satu
2
2
: Nilai varian dari parameter metode dua
(I.44)
Apabila hipotesis nol (H o ) diterima maka nilai parameter metode satu tidak
berbeda secara signifikan dengan parameter metode dua. Alternatif hipotesis adalah
Ha, apabila H o ditolak, yaitu nilai parameter metode satu berbeda secara signifikan
dengan parameter metode dua.
I.8. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah pemberian koreksi pada pengukuran tinggi
instrumen (t i ) dan tinggi reflektor (t r ) akan meningkatkan ketelitian penentuan tinggi
dengan alat Total Station secara sistematis. Ketelitian estimasi tinggi menggunakan
Total station adalah sama dengan ketelitian estimasi tinggi dengan menggunakan
sipat datar.