Anda di halaman 1dari 5

TERAPI FARMAKOLOGI RINITIS ALERGI

Oleh Rizka H
Terapi rinitis alergi terbagi dalam tiga pendekatan, meliputi penghindaran
terhadap allergen, farmakoterapi untuk pencegahan dan penanganan gejala,
imunoterapi spesifik. Penghindaran terhadap allergen merupakan cara yang
paling memberikan hasil. Namun cara ini juga sulit dilakukan. Cara yang sering
digunakan untuk menghindari allergen antara lain mengatur kelembaban
ruangan untuk mencegah pertumbuhan jamur, menjauhkan hewan berbulu dari
pasien alergi, namun hal ini sering tidak dipatuhi terutama oleh pecinta
binatang. Membersihkan kasur secara rutin juga dapat dilakukan. Sedangkan
terapi farmakologinya didasarkan pada gejala yang terjadi. Antihistamin dan
dekongestan merupakan golongan obat yang sering dipakai untuk menangani
rhinitis alergi. Pada beberapa keadaan, golongan obat-obat ini dapat diberikan
tanpa resep, namun pasien juga memerlukan konseling untuk menentukan obat
yang tepat.1
Antihistamin
Antihistamin terdapat dua golongan yakni penghambat resptor H1 dan
penghambat reseptor H2. Antihistamin yang dapat mengobati edema, eritema,
dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek hipereksresi lambung akibat
histamin digolongkan sebagai antihistamin penghambat reseptor H1.2
Mekanisme kerja obat golongan ini adalah berikatan dengan reseptor H1 tanpa
mengaktivasinya sehingga mencegah ikatan dan aksi histamine. AH1 seperti
diphenhydramine, hydroxyzin, menghambat efek histamin pada pembuluh
darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos.2 Dengan kata lain, AH1
mampu menghambat bronkokonstriksi akibat histamin begitupun dengan
peningkatan permeabilitas kapiler dan edema dapat dihambat.
Antihistamin yang sering digunakan adalah antihistamin oral. Antihistamin oral
dibagi menjadi dua yaitu generasi pertama (nonselektif) dikenal juga sebagai
antihistamin sedatif serta generasi kedua (selektif) dikenal juga sebagai
antihistamin nonsedatif. Efek sedative antihistamin sangat cocok digunakan
untuk pasien yang mengalami gangguan tidur karena rhinitis alergi yang
dideritanya. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan
kewaspadaan tinggi.2 AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek
perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 ialah insomia,
gelisah, dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan
AH1. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengean
gejala misalnya kantuk, berkurang kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat.2
Secara klinis antihistamin generasi pertama sangat efektif menghilangkan rinore
karena mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan
obat terhadap reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada
resptor kolinergik. Kekurangan lain dari antihistamin adalah ketidakstabilan
ikatannya pada reseptor sehingga daya kerjanya pendek.1 Penggunaan obat ini
perlu diperhatikan untuk pasien yang mengalami kenaikan tekanan intraokuler,
hipertiroidisme, dan penyakit kardiovaskular.
Antihistamin sangat efektif bila digunakan 1 sampai 2 jam sebelum terpapar

allergen. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya pada
polinosis dan urtikaria. AH1 bersifat palitif, sehingga tidak berpengaruh terhadap
intensitas reaksi antigen antibodi. AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore pada
gatal mata hidung dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 tidak
efektif untuk rinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk anak
dengan asma diragukan karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus sehingga
menyulitkan ekspektorasi. 2
Pada dosis terapi AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifata
serius. Terdapat variasi pada tiap individu. Efek yang paling sering adalah sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus,
lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, gelisah dan lainnya. Efek
antikolinergik seperi mulut kering, papitasi, hipotensi juga dapat terjadi. Efek
sentral AH1 berbahaya bagi anak kecil karena dapat menimbulkan halusinasi,
ataksia, inkoordinasi dan kejang. Pada orang dewasa keracunan ditandai dengan
depresi pada permulaan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
Antihistamin generasi kedua
Sering disebut sebagai antihistamin nonsedatif. Mereka bersaing dengan
histamin untuk reseptor histamin tipe 1 (H1) pada dalam pembuluh darah,
saluran pencernaan, dan saluran pernafasan, yang, pada gilirannya,
menghambat efek fisiologis yang pada normalnya diinduksi histamin pada
reseptor H1. Beberapa tidak memunculkan hasil klinis berupa sedasi yang
signifikan pada dosis biasa, sementara yang lain memiliki tingkat sedasi yang
rendah.3 Semua antihistamin efektif dalam mengendalikan gejala rinitis alergi
(yaitu, bersin, rhinorrhea, gatal-gatal) tetapi tidak secara signifikan
menghilangkan kongesti nasal. Untuk alasan ini, beberapa antihistamin generasi
kedua ini tersedia sebagai persiapan sebuah kombinasi yang mengandung
dekongestan. Mereka sering lebih disukai untuk terapi lini pertama rinitis alergi,
terutama untuk gejala musiman atau episodic, karena keberhasilan yang bagus
serta profil keamanan.3 Kelebihan lain antihistamin generasi dua ini adalah
mempunyai masa kerja yang panjang sehingga penggunaannya lebih praktis
karena cukup diberikan sekali sehari. Antihistamin baru tersebut adalah:
astemizol, loratadin, setrizin, ternefadin. Beberapa antihistamin baru kemudian
dilaporkan menyebakan gangguan jantung pada pemakaian jangka panjang
(astemizol, ternefadin)) sehingga dibeberapa negara obat ini tidak lagi
digunakan. Antihistamin yang unggul adalah yang bekerja cepat dengan waktu
kerja yang panjang, tidak memeiliki efek sedatif dan tidak toksik terhadap
jantung.1
Azelastine Topical dan olopatadine adalah semprotan hidung antihistamin yang
efektif mengurangi bersin, gatal, dan rhinorrhea tetapi juga secara efektif
mengurangi congestion. Digunakan dua kali per hari, terutama bila
dikombinasikan dengan topikal kortikosteroid nasal, azelastine efektif dalam
mengelola alergi dan nonallergic rhinitis.3
Dekongestan
Alpha agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada pasien rinitis
alergi atau rinitis vasomotor dan pada pasien infeksi saluran pernafasan atas

dengan rinitis akut. Obat-obat ini menyebabkan venokonstriksi dalam mukosa


hidung melalui reseptor alpha 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan
dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung. 1,2 Reseptor alpha dua
terdapat pada arteriol yang membawa suplai maknan bagi mukosa hidung.
Vasokonstriksinya dapat menyebabkan kerusakan struktural pada mukosa
tersebut. Alpha 1 agonis yang lebih selektif menurunkan kemungkinan kerusakan
mukosa.2
Dalam praktek, dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni
efedrin, fenil propanolamin dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam betuk
tetes hidung maupun semprot hidung yakni fenileprin, efedrin dan semua derivat
imidazolin. Dekongestan topikal terutama berguna untuk rinitis akut karena
tempat kerjanya yang lebih selektif. Penggunaan dekongestan jenis ini hanya
sedikit atau sama sekali tidak diabsorbsi secara sistemik.4 Penggunaan secara
topikal lebih cepat dalam mengatasi buntu hidung dibandingkan dengan
penggunaan sistemik. Obat ini sering digunakan berlebihan oleh pasien sehingga
menyebabkan rebound congestion. Selain itu efek samping yang dapat
ditimbulkan topical dekongestan antara lain rasa terbakar, bersin, dan kering
pada mukosa hidung. Untuk itu penggunaan obat ini memerlukan konseling bagi
pasien.2
Sistemik dekongestan onsetnya tidak secepat dekongestan topical. Namun
durasinya biasanya bisa lebih panjang. Agen yang biasa digunakan adalah
pseudoefedrin. Pseudoefedrin dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat
walaupun digunakan pada dosis terapinya.4 Pemberian dekongestan oral tidak
dianjurkan untuk jangka panjang, terutama karena memepunyai efek samping
stimulan SSP sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Obat ini tidak boleh diberikan kepada penderita hipertensi, penyakit
jantung, koroner, hipertiroid, dan hipertropi prostat. Dekongestan oral pada
umumnya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan antihistamin antau dengan
obat lain seperti antipiretik dan antitusif yang dijual sebagai obat bebas.1
Nasal Steroid
Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam
pengobatan RA. Penggunaan secraa sistemik dapat dengan cepat mengatasi
inflamasi yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka
pendek yakni pada gejala buntu hidung yang berat. Gejala buntu hidung
merupakan gejala utama yang paling sering mengganggu penderita RA yang
berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral diberikan dalam jangka pendek 7-14
hari dengan tapering off, tergantung dari respon pengobatan.
Kortikosteroid meskipun mempunyai khasiat antiinflamasi yang tinggi, namun
juga mempunyai efek sistemik yang tidak menguntungkan. Pemakaian intranasal
akan memaksimalkan efek topikal pada mukosa hidung dan mengurangi efek
sistematik. Berbagai produk kortikosteroid intranasal dipasarkan dengan
menggunakan berbagai karakteristik. Untuk meningkatkan keamanan
kortikosteroid intranasal digunakan obat yang memepunyai efek topikal yang
kuat dan efek sistemik yang rendah. Kepraktisan dalam pemakaian serta rasa
bau obat akan emmepengaruhi kepatuhan penderita dalam menggunakan obat
jangka panjang. Dosis sekali sehari lebih disukai daripada dua kali sehari karena

lebih praktis sehingga meningkatkan kepatuhan. Beberapa kortikosteroid


intranasal yang banyak digunakan adalah beklometason, flutikason, mometason,
dan triamisolon. Keempat obat tersebut mempunyai efektifitas dan keamanan
yang tidak berbeda. Obat yang biasa digunakan lainnya antara lain sodium
kromolin, dan ipatropium bromida.
Antagonis Leukotrien
Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon yang
dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan
merupakan bagian dari grup asam lemak yang disebut eikosanoid. Senyawa ini
diturunkan melalui aktivasi berbagi tipe sel oleh lipooksigenasi asam arakhidonat
yang dibebaskan oleh fosfolipase A2 di membran perinuklear yang memisahkan
nukleus dari sitoplasma. Asam arakhidonat sendiri merupakan substrat dari
siklooksigenase yang aktivitasnya menghasilkan prostglandin dna tromboksan.1
Dengan kata lain, leukotrien juga merupakan mediator yang penting dalam
terjadinya buntu hidung pada rinitis alergi.
Dewasa ini telah berkembang obat antileukotrien yang dinilai cukup besar
manfaatnya bagi pengobatan RA. Ada dua macam antileukotrien yakni inhibitor
sintesis leukotrien dan antagonis reseptor leukotrien. Yang terbaru dapat satu
inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonis reseptor leukotrien, yakni CysLT1
dan CYsLT2. Yang pertama merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis
leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA. Pada dasarnya antileukotrien
bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien sebagai mediator inflamasi yakni
dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau menghambat sintesis
leukotrien. Dengan demikian diharapkan gejala akibat proses inflamasi pada RA
maupun asma dapat ditekan. Tiga obat antileukotrien yang pernah dilaporkan
penggunaannya yakni dua nataginis reseptor (zafirlukast dan montelukast), serta
satu inhibitor lipooksigenase (zileuton). Laporan hasil penggunaan obat tersebut
pada RA belum secara luas dipublikasikan sehingga efektifitasnya belum banyak
diketahui.1
Penanganan Rhinitis alergi yang terakhir adalah dengan imunoterapi. Terapi ini
disebut juga sebagai terapi desensitisasi. Imunoterapi merupakan proses yang
panjang dan bertahap dengan cara menginjeksikan antigen dengan dosis yang
ditingkatkan. Imunoterapi memiliki biaya yang mahal serta risiko yang besar,
serta memerlukan komitmen yang besar dari pasien.4
Kesimpulan
Kebanyakan kasus dari rinitis alergi memiliki respon terhadap farmakoterapi.
Pasien dengan gejala intermiten sering diberikan antihistamin oral, dekongestan,
atau keduanya bila diperlukan. Penggunakan regular dari semprotan steroid
intranasal lebih sesuai untuk pasien dengan gejala kronis. Penggunaan harian
dari antihistamin, dekongestan, atau keduanya dapat dianggap baik sebagai
pengganti atau tambahan pada nasal steroid. Yang lebih baru, antihistamin
generasi kedua (yaitu, nonsedating) biasanya lebih disukai untuk menghindari
sedasi dan efek negatif lain yang terkait dengan antihistamin generasi pertama.
Nasal steroid diketahui memiliki efek samping yang sedikit.

Keterkaitan dengan Pemicu


Pada pemicu diketahui bahwa anak laki-laki B mengeluhkan hidung tersumbat,
bersin, nyeri badan dan tenggorok. Pilihan terapi farmakologi yang dapat
digunakan antara lain antihistamin generasi pertama yang dikombinasikan
dengan dekongestan. Sebab antihistamin AH1 sudah terbukti mampu
menghilangkan bersin, rinore pada gatal mata hidung dan tenggorokan,
sedangkan gejala hidung tersumbat atau buntu hidung dapat dengan baik
diatasi oleh dekongestan.
Daftar Pustaka
1. Mulyarjo. Penanganan Rinitis Alergi: Pendekatan Berorientasi pada Simtom.
Malang. 2006.
2. Gunawan GS, Setiabudy R, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2007
3. Sheikh J. Rhinitis, Allergic: Treatment & Medication. 2009. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/134825-treatment . Pada tanggal 30 Juni
2010. Pukul 08.03.
4. Dipiro. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 6ed. McGraw-Hill.2005

Anda mungkin juga menyukai