Anda di halaman 1dari 24

PROPOSAL TESIS

TAMADUN AWAL ISLAM DI SULAWESI SELATAN,


INDONESIA, KAJIAN PERSPEKTIF ARKEOLOGI

Oleh:
ROSMAWATI (P-ARD0006/11(R)

UNIVERSITI SAINS MALAYSIA, PULAU PINANG


2011

PROPOSAL TESIS

TAMADUN AWAL ISLAM DI SULAWESI SELATAN, INDONESIA,


KAJIAN PERSPEKTIF ARKEOLOGI

Oleh:
ROSMAWATI (P-ARD0006/11(R)

Penyelia

Prof. Dr. Stephen Chia Ming Soon

Abstrak
Rosmawati (P-ARD0006/11(R))
Tamadun Awal Islam di Sulawesi Selatan, Indonesia,
Kajian Dari Perspektif Arkeologi
Salah satu tinggalan arkeologi pada masa awal Islam yang banyak ditemukan di
Sulawesi Selatan adalah makam para raja-raja, pemuka agama dan adipati (penguasa
daerah) yang pada umumnya makam ini merupakan suatu kompleks pemakaman yang di
dalamnya terdapat keluarga atau kerabat, para aparat atau pembesar kerajaan dan hamba
sahaya yang terdekat. Kompleks makam semacam ini tersebar luas di beberapa Kabupaten
di Sulawesi Selatan (wilayah-wilayah bekas kerajaan yang pernah ada di masa lalu),
seperti Kompleks Makam Raja-Raja Gowa di Kabupaten Gowa, Kompleks Makam RajaRaja Tallo di Kota Makassar, Kompleks Makam Raja-Raja Binamu di Kabupaten
Jeneponto, Kompleks Makam Jera Lompoe di Kabupaten Soppeng, Kompleks Makam
Raja-Raja Luwu di Lokkoe-Kota Palopo, Kompleks Makam Raja-Raja Latenriruwa di
Kabupaten Bantaeng, Kompleks Makam Dea Dg Lita di Kabupaten Bulukumba,
Kompleks Makam Tosora di Kabupaten Wajo, Kompleks Makam Kassi Bumbung di
Kabupaten Takalar, Kompleks Makam Laiya di Kabupaten Enrekang, Kompleks Makam
Allakkuang di Kabupaten Sidrap, kompleks-kompleks makam di Barru dan beberapa
kompleks makam di Kabupaten Majene, Sulbar. Penyelidikan pada makam dan bagianbagiannya, pada kenyataannya kita tidak perlu lagi melakukan penafsiran fungsi
(interpretasi fungsional), karena terlihat jelas tentang fungsi makam sejak masa pra-sejarah
hingga kini. Namun permasalahan yang relevan dari nisan makam sebagai salah satu objek
arkeologis adalah mengenai bentuk, pengerjaan, bahan, dan persebaran bentuk-bentuk di
berbagai wilayah, baik di pesisir maupun di pedalaman.

1. Pendahuluan
Sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan menarik untuk dibicarakan karena:
(1) masuknya Islam di Sulawesi Selatan agak terlambat jika dibandingkan dengan
kawasan sekitarnya: Maluku, Kalimantan Selatan, dan Pesisir Utara Jawa. Namun,
sekarang Islam justru telah menjadi identitas dua etnik besar di Sulawesi Selatan iaitu
Bugis dan Makassar (Fadilla, 1999: 99; lihat juga Mappangara dan Abbas, 2003: 48).
(2) Dalam proses penyebaran Islam di Sulawesi Selatan bukan hanya doktrin tentang
agama Islam yang disebarkan, akan tetapi banyak aspek termuat di dalamnya. Aspekaspek tersebut bisa saja berupa ide tentang pola kemasyarakatan, perdagangan,
arsitektur, dan pemakaman. Untuk memahami bagaimana proses Islamisasi1 di suatu
kawasan berlangsung, tentu harus ditelusuri peninggalan-peninggalannya, di samping
ide-ide yang masih dipakai hingga sekarang.
Salah satu ide yang sampai sekarang dapat kita jumpai iaitu, sistem
pemakaman, dimana aspek utama dalam kegiatan tersebut iaitu, aspek gagasan, berupa
rumusan nilai dan simbol yang berlaku dalam suatu masyarakat (Nurhadi, 1990: 141;
Fatmawati, 1996: 46; Supratman, 2003: 5). Secara konseptual pemakaman dilakukan
sebagai bentuk ritus kepercayaan, dalam totalitas tamadun sebenarnya mengacu kepada
seluruh aspek tamadun tidak hanya menyangkut gagasan supra natural saja, melainkan
pemakaman harus pula diperhitungkan aspek sosial karena kegiatan tersebut
melibatkan banyak individu baik dalam bentuk teransaksi barang, energi dan simbol
(Nurhadi, 1990: 142; Ishak, 1998: 6).
Makam sebagai salah satu aspek dalam sub-sistem religi dalam totalitas suatu
tamadun, maka jika dikaji secara mendalam dapat memberikan signifikasi kesejarahan
yang cukup valid (Ambary,1991: 20). Bahkan makam jika dihubungkan dengan kajian

proses Islamisasi di setiap kawasan, maka makam merupakan data yang sangat penting.
Ini disebabkan karena makam sebagai salah satu perilaku ritual sekaligus perilaku
sosial akan mudah dimengerti bahwa penguburan serta medianya merupakan salah satu
fenomena yang harus ada di kehidupan manusia.
Dengan demikian makam merupakan salah satu artefak yang dapat menjadi
indikator adanya perubahan yang terjadi secara bertahap dari konsepsi kepercayaan
masa pra-Islam ke masa perkembangan Islam. Hal ini dapat diketahui melalui
perbandingan bentuk dan ragam hias makam pada setiap kawasan baik pesisir maupun
pedalaman. Selain itu melalui bentuk-bentuk makam tersebut kita bisa mendapatkan
data mengenai beberapa faktor sosial ataupun faktor politik dalam komunitas
pendukung tapak tersebut. Makam adalah suatu sistem penguburan bagi orang muslim
dimana pada bagian atasnya diberi tanda dengan arah utara selatan dan berbentuk segi
empat panjang.
Salah satu tinggalan arkeologi pada masa Islam (arkeologi Islam) yang banyak
ditemukan di Sulawesi Selatan adalah makam para raja-raja, pemuka agama dan adipati
(penguasa kawasan) yang pada umumnya makam ini merupakan suatu kompleks
pemakaman yang di dalamnya terdapat keluarga atau kerabat, para aparat atau
pembesar kerajaan dan hamba sahaya yang terdekat. Kompleks makam semacam ini
tersebar luas di beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan (kawasan-kawasan bekas
kerajaan yang pernah ada di masa lalu), seperti Kompleks Makam Raja-Raja Gowa di
Kabupaten Gowa, Kompleks Makam Raja-Raja Tallo di Kota Makassar, Kompleks
Makam Raja-Raja Binamu di Kabupaten Jeneponto, Kompleks Makam Jera Lompoe di
Kabupaten Soppeng, Kompleks Makam Raja-Raja Luwu di Kota Palopo, Kompleks
Makam Raja-Raja Lateriruwa di Kabupaten Bantaeng, Kompleks Makam Dea Dg Lita

di Kabupaten Bulukumba, Kompleks Makam Tosora di Kabupaten Wajo, Kompleks


Makam Kassi Bumbung di Kabupaten Takalar, Kompleks Makam Laiya di Kabupaten
Enrekang, dan Kompleks Makam Allakkuang di Kabupaten Sidrap.
Penyelidikan pada nisan makam, pada kenyataannya kita tidak perlu lagi
melakukan penafsiran fungsi (interpretasi fungsional), karena terlihat jelas tentang
fungsi nisan makam sejak masa pra-sejarah hingga kini. Namun permasalahan yang
relevan dari nisan makam sebagai salah satu objek arkeologis adalah mengenai bentuk,
pengerjaan, bahan, dan persebaran bentuk-bentuk di berbagai kawasan, baik di pesisir
maupun di pedalaman. Namun sering kali nisan makam ini dapat uraian-uraian tentang
pola hias, bahkan tidak luput pula tinjauan segi filsafat pola hias (Santosa, 1980; 486,
lihat juga Marioga, 1995: 41).
Salah satu kelengkapan yang penting artinya dalam arsitektur Islam adalah
adanya segi-segi dekoratif dan ornamentik sebagai polesan terakhir dalam pembuatan
bangunan-bangunan Islam, yang kemudian menentukan mutu dan nilai dari
penampilannya. Pada kenyataannya kedua unsur kelangkapan tadi terdiri dari berbagai
hal yang menentukan arah untuk tercapainya segi keindahan dari bangunan. Namun
untuk peninggalan arkeologi, ornamentasi atau motif hias dapat diterapkan pada
beberapa hasil pahatan, misalnya di arca, gerabah, keramik, senjata, genta, dan lainya,
yang meliputi benda-benda yang sakral maupun sekuler, juga dapat diterapkan pada
bangunan seperti pada makam dan yang lebih khasnya pada nisan makam.
Penyelidikan yang bertemakan Arkeologi Islam bukan hal baru di Indonesia, hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya penyelidikan pertama kali yang dilakukan pada
tahun 1907 di kawasan Pesisir Utara Aceh, hingga saat ini masih tetap berlangsung,
bahkan Uka Tjandrasasmita (2000) telah mempublikasikan beberapa penyelidikan yang
3

pernah dilakukan dalam sebuah buku dengan judul Penyelidikan Arkeologi Islam di
Indonesia Dari Masa Kemasa. Ini berarti kematangan penyelidikan Arkeologi Islam
semakin hari semakin berkembang, dan hal inipulalah mengilhami gagasan penulis
tertarik untuk melakukan penyelidikan yang bertemakan sama.
2. Rumusam Masalah
Berlandaskan pada uraian di atas, maka penulis kemudian mencoba
menguraikan permasalahan ke dalam tiga wujud pertanyaan penyelidikan sebagai
berikut:
a.

Bagaimana bentuk dan ragam hias makam-makam kuno pada awal masuknya
agama Islam di kawasan Sulawesi Selatan dan Majene?

b.

Sejak kapan masa awal masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan dan Majene?

c.

Bagaimana corak perkembangan tamadum Islam pada masa awal masuknya agama
Islam di kawasan Sulawesi Selatan dan Majene?

d.

Bagaimana hubungan antara Kerajaan Islam di Sulawesi dengan kerajaan-kerajaan


lainnya di kawasan Nusantara?

3. Tujuan Penyelidikan
Dari permasalahan penyelidikan yang telah diajukan di atas, keberhasilan
penyelidikan ini bertumpu pada kenyataan bahwa kawasan penyelidikan memiliki
tapak arkeologi berupa makam yang potensial, sehingga tujuan yang ingin dicapai
dalam penyelidikan ini, meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya
adalah terkait dengan tiga tujuan arkeologi, terutama untuk merekontruksi sejarah
tamadun. Sementara tujuan secara khusus, adalah berkaitan dengan pertanyaan
penyelidikan yang telah diajukan di atas, iaitu :

1. Untuk mengetahui bentuk dan ragam hias makam-makam Islam yang terdapat pada
kawasan Sulawesi Selatan.
2. Untuk mengetahui sejak kapan masa awal masuknya agama Islam di kawasan
Sulawesi Selatan dan Mandar.
3. Untuk menegetahui bagaimana corak perkembangan tamadun Islam pada awal
masuknya di kawasan Sulawesi Selatan.
4. Untuk memberikan gambaran bagaimana hubungan-hubungan dan peranan

kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi Selatan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di


kawasan Nusantara.
4. Kaedah Penyelidikan
Lokasi penyelidikan ini dijalankan pada beberapa kawasan di Sulawesi Selatan
dan Majene. Pilihan lokasi ini didasari pertimbangan bahwa di setiap kawasan di
Sulawesi Selatan dan Majene memiliki seberan temuan khususnya berupa kompleks
makam Islam yang hampir dijumpai di setiap kota atau kabupaten, selain itu kerajaan
yang bercorak Islam pertama kali di daratan Sulawesi adalah di semenanjung Sulawesi
Selatan (Poesponegoro, 1993:39-40) dan yang pertama kali menerimanya adalah
kerajaan Gowa-Tallo, kemudian menyebarkan agama tersebut di beberapa kerajaankerajaan di Sulawesi Selatan (Sewang, 2005: 7-8).
Untuk keperluan data penyelidikan, maka jenis data yang dikumpulkan adalah
jenis data primer dan data sekunder. Jenis data primer diperoleh dari data sumber utama
iaitu sejumlah bekas makam Islam dari segi bentuk dan ragam hias nisan, mesjid tua
dan istana kesultanan sebagai objek penyelidikan, data ini diperoleh dengan deskripsi
melalui survei dan temu bual di lokasi penyelidikan, manakala data sekunder diperoleh
melalui data pustaka.

Guna mendapatkan data-data yang baik dan akurat menyangkut objek yang
diteliti maka, teknik pengumpulan dan pengolahan data yang digunakan dalam
penyelidikan ini secara garis besar terbagi empat bagian, iaitu: pengumpulan data
pustaka, pengumpulan data lapangan, pengolahan data dan penafsiran data
a. Pengumpulan data pustak, iaitu penulis mengunakannya sebagai kerangka dasar
berupa gagasan-gagasan, teori ataupun konsep umum dari berbagai disiplin ilmu
yang berkaitan baik secara langsung maupun secara tidak langsung berhubungan
dengan bidang kajian. Pengumpulan data pustaka ini digunakan pula sebagai
petunjuk di dalam mencari dan memahami data lapangan, terutamanya untuk
mengetahui tapak-tapak yang akan disurveiagar pada saat penyelidikan lapangan
sehingga tidak dijumpai kesalahan dan kesulitan. Metode pustaka ini juga
digunakan pada tahap selanjutnya dimana teori, hipotesa, serta pendapat para ahli
akan dipakai untuk memperkuat alasan-alasan agar hasil penafsiran data yang
dihasilkan dapat lebih maksimal.
b. Pada pengumpulan data lapangan, dalam hal ini mengunakan metode survey
permukaan untuk memperoleh kepastian bentuk, ukuran dan jenis ragam hias, serta
keletakan makam, dengan tujuan untuk mengetahui bentuk dan ragam hias makam
yang ada di kawasan Sulawesi Selatan dan Majene. Pelaksanan teknis kerja ini,
penulis mengadakan pendeskripsian pada bagian-bagian makam, setelah itu
diadakan penggambaran bentuk dan ragam hias. Selain itu, untuk mengabadikan
objek penyelidikan diadakan pemotretan dan ploting lokasi tapak. Setelah itu,
kemudian pencatatan dilakukan untuk mendeskripsikan setiap makam dan bagianbagiannya.
c. Pengolahan data, iaitu suatu kegiatan yang lebih fokus pada pemilihan makam,
bentuk nisan dan ragam hias dalam kategori-kategori klasifikasi, yang terdiri dari

klasifikasi bentuk makam, bentuk nisan dan ragam hias, geografi, hubunganhubungan dan kecendrungan.
d. Tahap analisis dan penafsiran data, iaitu analisis morfologi, perekembangan, masa
dan konteks keruangan atau geografi tamadun. Selanjutnya interpretasi dilakukan
dengan mengintegrasikan semua data, baik data arkeologi, sejarah maupun data
etnografi, dengan bantuan konsep atau teori-teori yang rapat kaitannya dengan
persolaan dalam topik pembahasan.
5. Landasan Teori
5.1. Proses Kedatangan Islam
Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa beberapa kawasan tertentu seperti
Samudera Pasai atau Leran di Jawa Timur telah memeluk agama Islam sedikitnya sejak
akhir abad ke-13, atau mungkin pada abad ke-12 atau bahkan pada abad ke-11. Hal Ini
karena di masing-masing tempat tadi ditemukan batu nisan yang bertulis Arab yang
bertahun 1297 (di Pasai) dan 1102 (di Leran). Selain itu, Marco Polo yang
mengunjungi wilaya Samudera Pasai pada tahun 1292 menyebut bahwa Perlak sudah
memeluk agama Islam, sementara Samara (Samudera?) masih menyembah berhalah.
Demikian pula, pengembara Muslim Marokko, Ibn Battuta, yang mengunjungi Pasai di
tahun 1345 menyetakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk Islam. Dari tempattempat inilah Islam kemudian menyebar ke seluruh Nusantara.
Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada tiga
teori besar. Pertama adalah teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari
Arab, atau tetapnya Hadramaut. Teori ini pertama kali di kemukakan Crawfurd (1820),
Keyzer (1859), Niyeman (1861), de Hollander (1861), dan veth (1878). Crawfurd
menyatakan, bahwa Islam datang langsun dari Arab, meskipun ia menyebut tentang
adanya hubungan dengan orang-orang Mohammedan di India Timur. Kayzer, dalam
7

pada itu beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Shafii, sama
seperti yang dianut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori tentang mazhab ini
juga di pegang oleh Niyeman dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hatdamaut,
bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebad Muslim Hadramaut adalah
pengikut Mazhab Shafii seperti juga kamu Muslimin Nusantara. Sedangkan Veth
hanya menyebut dibawa orang-orang Arab tanpa menunjuk tempat asal mereka
Timur Tengah maupun kaitanya (kalau ada) dengan Hadrmaut, Mesir atau India. Teori
semacam ini juga diajukan Hamka dalam Seminar Sejara Masuknya Islam ke Indonesia
tahun 1962. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsun dari Arab, bukan melalui
India dan bukan pula dalam abad ke-11, melainkan pada abad pertama Hijri/7 M (sic).
Teori bahwa Islam di Nusantara yang datang dari India pertamakali di
kemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan
perjalanan Sulaiman, Marco Polo dan Ibn Battuta, ia menyimpulkan orang-orang Arab
yang bermazhab Shafii, dari Gujarap dan Malabar di India membawa Islam ke Asia
Tenggara. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa melalui perdagangan
amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah
lagi dengan istilah-istilah Persia yang dibawah dari India, digunakan dari bahasa
masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut di kembangkan oleh
Snouck Hurgronya yang melihat pula bahwa para pedagang kota pelabuhan Dakka di
India selatan sebagai pembawa-pembawa Islam ke wilayah baru Islam ini :
para penduduk Dakka, yang berdiam dalam jumlah besar di kota-kota
pelabuhan di pulau ini (Sumartera) menjadi perantara dalam perdagangan antara
Negara-negara Mesir (yakni Asia Barat) dan Hindia Timur (East IndiesIndonesia), seolah-olah menjadi sifat segala sesuatu yang di takdirkan untuk
menyebarkan benih-benih pertama agama baru ini. Orang-orang arab, khususnya
mereka yang datang sebagai anak cucu Nabisayyid atau sharif, mendapatkan
kesempatan baik untuk menunjukkan kemampuan organisasi mereka. Sebagai
pendeta-pendeta (priests) pangeran pendeta (priests-princes) dan sebagai sultan-

sultan mereka sering melakukan sentuhan terakhir bagi pembentukan wilayah


baru Islam.
Teori Snuock ini lebih lanjut di kembangkan oleh Morrizon pada tahun 1951 dengan
menujuk tempat yang pasti di India, dari sana Islam datang ke Nusantara. Iya menunjuk
pantai Koromandal sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedaganng Muslim
dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.
Teori yang ketiga di kembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari
Benggali (kini Banglhades). Dia mengutip keterangan Tomepires yang mengungkapkan
bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan
mereka. Sementara Islam muncul pertama kali di di semenanjung Malayah adalah dari
arah pantai timur, bukannya dari Barat (malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton,
Phanrang (Vietnam), Lerang dan Trenggani. Iya beralasan bahwa secara dokrin, Islam
di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang, sementara elemen-elemen
prasasti yang di temukan di Trengganu juga lebih mirip degan prasasti yang di temukan
di Leran. Drewes yang mempertahankan teori Snouck menyatakan , bahwa teori Fatimi
ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasti yang ada di nilai
merupakan perkiraan liar belaka lagi pula, mazhab yang dominan di Benggala adalah
mazhab Hanafi bukan mazhab Shafii seperti di Semenanjung dan Nusantara secara
keseluruhan.
5.2. Perkembangan Islam di Nusantara
Sampai saat ini waktu kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara
pasti,dan memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh
suatu komunitas tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak
daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing,
mengakibatkan suatu daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam daripada
9

daerah lain. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan secara pasti kapan agama Islam
masuk di Nusantara secara keseluruhan. Dengan demikian rangkaian berbagai macam
data, baik arkeologis maupun data lain berperan menunjukkan keberadaan orang Islam
di daerah bersangkutan.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita China dari Dinasti Tang,
Islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad VII-VIII M.
Berita tersebut menceritakan bahwa orang Ta-shih mengurungkan niatnya untuk
menyerang kerajaan Ho-ling yang dipimpin Ratu Si-mo, karena pemerintahan di Holing sangat kuat. Groeneveldt mengidentifikasikan Ta-shih sebagai orang-orang Arab,
dan Ho-ling diidentifikasikan sebagai Kalingga, serta Si-mo sebagai Sima. Akan tetapi,
berita tersebut belum dapat dibuktikan secara arkeologis, yakni dari sudut peninggalan
budaya material. Dengan kata lain, belum ditemukan bukti-bukti artefaktual tentang
keberadaan orang-orang Islam di Indonesia pada abad VII-VIII M. Pada sisi lain
diketahui bahwa masa itu sampai abad XIV M di Indonesia kerajaan-kerajaan HinduBudha beserta institusi-institusi keagamaannya masih berkembang dengan baik.
Meskipun hal itu tidak dapat diartikan bahwa orang Islam belum menjejakkan kakinya
di bumi Indonesia. Namun, paling tidak mungkin belum terbentuk komunitas Muslim
yang cukup signifikan. Kegiatan pelayaran-perdagangan yang dilakukan oleh kaum
Muslim dari Arab dan Persia pada waktu itu memang sudah menjangkau kawasan Asia
Tenggara dan Cina. Hal itu dapat diketahui dari sumber-sumber Muslim sendiri, seperti
Ibn Khurdadhbih (846), Ibn Rusteh (903), dan Al Biruni (1030). Mereka menyebutkan
kunjungan mereka ke beberapa tempat seperti: Kalah (Kedah), Zabag (Jawa), Fansur
(Barus). Pengertian Jawa di sini tentunya mencakup pelabuhan-pelabuhan kuno di
pesisir utara pulau Jawa, seperti Tuban, Sedayu dan Gresik.

10

Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad XI M di Indonesia,


khususnya di Jawa , sudah ada penganut agama Islam yang bermukim di kota
pelabuhan. Bukti arkeologis itu berupa batu nisan bertulis dari pemakaman kuno Leran,
di dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama: Fatimah binti
Maimun bin Hibatallah, dan disebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 475 H.
bersamaan dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan kerajaan
Kadiri. Jika dilihat dari namanya tampak bahwa dua generasi di atas Fatimah (ayah dan
kakeknya) sudah memeluk agama Islam. Namun, tidak jelas betul apakah mereka
bumiputera yang memeluk agama Islam, ataukah pendatang yang menetap di
pelabuhan terdekat. Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun. Tidak
seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar al-sultan.
Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa.
Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih
solid di kerajaan Kadiri.
Setelah tahun 1082 M data tentang keberadaan orang Islam di Nusantara baru
muncul pada abad XIII M, yaitu dalam bentuk nisan berprasasti huruf Arab di
kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatra Utara). Prasasti itu
memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya, yaitu 602 H. yang
bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga si mati adalah seorang
wanita bumiputra yang memeluk agama Islam. Selain itu, ia juga diduga seorang
anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan
kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang
belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus
sebagai produsen kapur barus sudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh
Masehi.

11

5.3. Terbentuknya Institusi Politik


Pada tahapan berikutnya, terbentuklah kerajaan yang bercorak Islam. Di
Indonesia kerajaan Islam yang tertua adalah Samudra-Pasai yang terletak di pantai
timur Aceh sekarang. Di tempat itu sekarang masih ada kampong bernama Samudra
dan Pasai, yang terletak di pantai Selat Malaka. Di situs tersebut ditemukan
pemakaman kuno, yang nisan-nisannya memuat prasasti dengan bahasa dan huruf
Arab. Pada salah satu nisan tersebut tercantum prasasti yang memuat nama al-sultan al
Malik al Saleh yang wafat pada tahun 696 H (bertepatan dengan tahun 1297 M).
Pencantuman sebutan al-sultan itulah yang menjadi dasar interpretasi keberadaan suatu
institusi politik Islam di kawasan tersebut. Tentunya sebelum terbentuk institusi politik
Islam, terlebih dahulu sudah terjadi penyebaran agama Islam secara luas di kalangan
masyarakat. Hal itu tersirat di dalam sumber-sumber tertulis yang terkait dengan
kawasan tersebut. Marcopolo yang pada tahun 1292 berkunjung ke beberapa pelabuhan
di kawasan itu, seperti Ferlec (= Perlak), mengatakan bahwa penduduk kota beragama
Islam, sedang penduduk pedalaman masih kafir. Di sisi yang lain sumber tertulis lokal
seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu hanya mengkisahkan bahwa
Meurah Silu, pemimpin di Samudra-Pasai, di-Islam-kan oleh Fakir Muhammad yang
datang dari atas angin, setelah itu namanya diganti menjadi Malik al-Saleh.
Di Jawa institusi politik Islam yaitu kesultanan Demak baru lahir pada abad
XV, bersamaan dengan mundurnya Kerajaan Majapahit. Pergantian pemegang
kekuasaan politik dari Majapahit ke Demak pada tahun 1519 hakekatnya adalah usaha
perebutan tahta di antara anggota keluarga raja. Dalam hal ini penguasa Demak yang
juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa berhak pula atas kendali kekuasaan
kerajaan Majapahit. Sekalipun demikian tidak dapat pula diabaikan bahwa perbedaan
pandangan keagamaan juga memberikan kemungkinan kepada Demak untuk

12

menaklukkan Majapahit. Harus dicatat pula bahwa sudah sejak masa kejayaan
Majapahit sudah ada orang-orang Islam yang tinggal di kota kerajaan, sebagaimana
tampak dari kubur-kubur Islam kuno di Tralaya. Nisan-nisan kuno tersebut memuat
angka tahun tertua: 1290 = 1368 M, dan angka tahun termuda 1533 = 1611 M,
tetapi tidak memuat nama sama sekali. Data itu menggambarkan bahwa pada tahun
1368 M , yang masih dalam masa keemasan Majapahit, sudah ada orang Muslim yang
tinggal di kota kerajaan, sebab situs Tralaya diduga berada di selatan kraton Majapahit.
Beberapa nisan di situs tersebut memuat relief surya majapahit yang diyakini
merupakan lambang kerajaan Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang
dikuburkan di tempat tersebut adalah keluarga dekat raja, dan beragama Islam.
5.4. Penyebaran Agama Islam
Sebelum kesultanan Demak lahir, penyebaran agama Islam di Jawa sudah
dilakukan, baik oleh orang asing maupun oleh bumiputera sendiri. Adapun caracara
penyebaran yang dilakukan antara lain melalui pernikahan dengan wanita setempat,
dakwah, pendidikan, dan kesenian. Sebagian penyebar agama Islam itu, beberapa di
antaranya tergolong dalam Wali Sanga, mendirikan pesantren-pesantren yang muridnya
datang dari berbagai penjuru, dan kemudian terbentuklah komunitas-komunitas Muslim
di banyak tempat di Jawa. Sementara itu penyebaran Islam juga ditujukan ke pulaupulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebaran tersebut
dipelopori oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan
politis dari para penguasa. Hal semacam ini tampak dalam penyebaran Islam misalnya
di Kalimantan Selatan.Pada tahap awalnya Islam disebarkan di Nusantara melalui jalur
perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara
oleh para pedagang asing. Hal itu sejalan dengan lalu lintas perdagangan pada abad VII
XVI M, yakni dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Asia Tenggara,
13

serta sebaliknya. Di samping itu, di dalam Islam menyampaikan ajaran agama kepada
pihak lain merupakan kewajiban bagi semua orang. Peran serta kaum pedagang dalam
penyebaran Islam di Nusantara tergambar dalam Babad atau Hikayat di banyak daerah.
Para pedagang asing, termasuk pedagang-pedagang Muslim, biasanya tinggal di
pelabuhan-pelabuhan Nusantara dalam waktu yang cukup lama, karena selain
melaksanakan kegiatan jual-beli mereka juga menunggu angin untuk berlayar pulang ke
negerinya. Mereka biasanya tidak membawa keluarga, karena situasi pelayaran masa
itu keras dan berat. Oleh karena itu mereka biasanya membentuk keluarga dengan
menikahi wanita bumiputra, yang terlebih dahulu diislamkan. Dengan demikian,
keturunan mereka sudah menjadi generasi pertama bumiputra yang beragama Islam.
Hal semacam ini lebih menguntungkan lagi apabila wanita bumiputera itu adalah anak
keluarga terkemuka, karena status sosialnya ikut mempercepat penyebaran Islam di
tempat tersebut. Cara penyebaran Islam semacam itu sering tersirat dalam sumbersumber tertulis setempat.
Jalur lain yang juga memegang peran dalam penyebaran Islam di Nusantara
adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= ulama ahli tasawuf)
mengandung persamaan dengan konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang
berkembang di Nusantara waktu itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam
diterima oleh masyarakat Nusantara. Kecuali melalui perdagangan, pernikahan, dan
tasawuf, penyebaran Islam juga dilakukan melalui pendidikan. Dalam hal ini
pendidikan yang diselenggarakan oleh ulama-ulama di pesantren atau pondok.
Lembaga pendidikan tersebut tidak sukar diterima oleh masyarakat Nusantara waktu
itu, karena sistemnya tidak jauh berbeda dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh
para rsi pada masa sebelumnya. Pesantren-pesantren itu banyak menarik perhatian
masyarakat, termasuk yang belum memeluk agama Islam, karena para ulama pemimpin
14

pesantren dipandang sebagai orang-orang terpelajar, santun, dan suka menolong. Cara
penyebaran Islam yang lain adalah melalui seni, misalnya seni sastra, seni pertunjukan,
seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang
yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara
disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno.
Selain itu, para pujangga waktu itu juga menggubah ceritera baru untuk dipergelarkan,
seperti cerita Menak. Demikian pula lirik dalam tembang untuk mengiringi pergelaran
tersebut, juga dipakai untuk mengungkapkan ajaran agama yang baru. Seni bangunan
juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara. Salah satu
contohnya adalah gaya arsitektur yang dipilih dalam membangun mesjid. Sebagaimana
diketahui gaya arsitektur mesjid kuno yang disebut gaya Nusantara dikembangkan dari
arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya, namun disesuaikan dengan kebutuhan
peribadatan agama Islam. Dengan demikian para Muslim baru tidak merasa gamang
datang ke tempat peribadatan baru (mesjid) yang bentuk dan suasananya sudah akrab
bagi mereka.
Berbicara mengenai masuknya Islam di Nusantara, selain menyangkut waktu
dan cara, juga tidak lepas dari pembawanya dalam tahap pertama. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah etnik pembawa Islam dari luar Nusantara. Sebab meskipun agama
Islam diturunkan di jazirah Arab, tetapi penyebarannya ke Nusantara diduga tidak
sepenuhnya dan tidak langsung dilakukan oleh etnik Arab. Etnik lain juga berperan
dalam hal itu, misalnya: Persia, India, bahkan mungkin juga China. Interpretasi tersebut
didasarkan antara lain pada: adanya beberapa jirat dan nisan kubur yang didatangkan
dari Gujarat (pantai barat India); adanya episode yang mengisahkan peranan orang
Arab dan India dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, antara lain dalam
Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu dan Babad Tanah Jawi; berita yang ditulis

15

Ma-huan (sekretaris Laksamana Cheng-ho yang berkunjung ke Majapahit pada tahun


1415) tentang keberadaan etnik China yang beragama Islam di Jawa.
Pada tahap berikutnya, penyebaran Islam tampaknya dalam banyak hal sudah
dilakukan oleh orang-orang bumiputera sendiri. Hal ini tampak dari peran para wali di
Jawa, dan ulama-ulama lain seperti Dato ri Bandang di Sulawesi Selatan, serta Tuanku
Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-sumber tertulis setempat
dikisahkan bahwa mereka menyebarkan agama Islam kepada para pemuka masyarakat,
dan mendirikan pesantren yang banyak menarik murid dari berbagai daerah. Banyak
legenda yang mengisahkan kelebihan para wali, terutama tentang kealiman dan
kekuatan supranatural mereka. Di Jawa mereka disebutkan berjumlah sembilan,
sehingga mereka lazim disebut Wali Sanga, meskipun nama-nama anggotanya tidak
selalu sama. Nama yang sering disebut dalam sumber-sumber tertulis setempat adalah:
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Sunan (Te)mBayat. Kadang-kadang
disebutkan pula Sunan Bejagung, Sunan Geseng, Syeh Siti Jenar, dan Sunan Sendang.
Tentang para wali tersebut ada beberapa hal yang secara historis belum pasti, namun
makam-makam mereka sampai sekarang masih ramai diziarahi orang.

16

Daftar Pustaka
Anonim, 1999. Metodologi Penelitian Arkeologi. Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaaan Republik Indonesia. Jakarta.
Anonim, 2007. Sulawesi Selatan Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Selatan.
Anonim. 2004, Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905. Dinas
Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar
Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke17. (Diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok). Makassar: Ininnawa.
Ambary, Hasan Muarif. 1986. Unsur Tradisi Pra Islam Pada Sistem Pemakaman Islam
di Indonesia, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Puslit Arkenas,
Jakarta.
Amabary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis Dan Historis
Islam Indonesia. Logos Wacana Ilmu. Jakarta.
Ambary, Hasan Muarif, 1987. Pengamatan Beberapa Konsepsi Estetis dan Simbol Pada
Bangunan Sakral dan Sekuler Masa Islam Di Indonesia, dalam Estetika
dalam Arkeologi Indonesia, Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) II, Jakarta
Ambary, Hasan Muarif, 1991, Sejarah Perkembangan Pesantren di Pulau Jawa: Dimensi
dan Prespektifnya, Proceeding Seminar Pesantren Dalam Pembangunan
Nasional, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.
Abdullah, Taufik. 1986. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Cet.III).
Jakarta: LP3ES.
Dewi, Purnama, Sri Wahyuningsi. 1991. Kompleks Makam Bonto Biraeng. Skripsi
Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Endaswara, Suwardi, 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan; Ideologi,
Epistemologi, dan Aplikasi. Pustaka Widyatama. Yogyakarta.
Fadillah. Ali, 1989. Simbol Genetalia Pada Makam Bugis Makasar dan Persamaannya di
Asia Tenggara Suatu Kajian Tipologi Nisan Kubur , dalam Pertemuan
Ilmiah Arkeologi V, Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Fadila. Ali, 1999. Warisan Budaya Bugis Di Pesisir Selatan Denpasar Nuansa Sejarah
Islam Di Bali. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta.
Ferdinandus, Pieter Ej. 1991. Situs Batu Kalda di Pengandaran. Dalam Monumen. Edisi
Khusus FS-UI, Depok, Jakarta.

Faizaliskandiar, Mindra, 1989. Irvin Rouse: Klasifikasi Analitik Dan Taksonomi Data
Arkeologi. Dalam Paradigma Arkeologi Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Jakarta.
Fagan, Brian M. 1991. Archaeologi: A Brief Introduction, California: Harper Collins
Publisher.
Fatmawati, 1996. Kompleks Makam MaraDiA Pamboang Kabupaten Majene Skripsi
Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Fatmawati, Umar, Andi. 1999. Industri Makam Islam di Allekuang, Sidenreng Rappang,
Kasus Teknologi Kubur. Dalam Walannae, Balai Kajian Arkeologi
(BALAR). Makssar.
Hoop, A.N.J. van Der, 1949. Indonsiche Siermolieven. Koniklik Bataviaasch
Genootscap Van Kunstan En Wetenschappen.
Hadimuljono. 1977. Laporan Pemugaran Kepurbakalaan Makam Kuna Raja-Raja
Lamuru di Daerah Kabupaten Bone. Ujung Pandang. Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan.
Ishak, Muhammad. 1998. Kompleks Makam Kuno Tabbaka Desa Arung Keke Kecamatan
Batang Kabupaten Jeneponto. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.
Koentjaraningrat, 1997. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Krisyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media
Group. Jakarta.
Komaruddin. Ed. 2006, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Bumi Aksara. Jakarta.
K a m i j a. 2003, Ekosistem Pantai . Makalah Jurusan ilmu lingkungan Program Studi
Antar Bidang Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Kasmar, 2007. Kompleks Makam Punaga (Kassi Bumbung) Kecamatan Manggara
Bombang Kabupaten Takalar. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Limbugau, Daud. 1989, Perjalanan Sejarah Kota Maritim Makassar Abad 19-20 dalam
Mukhlis. Ed, 1989, Persepsi Sejarah Kawasan Pantai, Proyek
Pengkajian Dan Pengembangan Masyarakat Pantai (P3MP) UNHAS
YIIS Toyota Fundation, Ujung Pandang.
Mappangara, Suriadi dan Abbas, Irwan. 2003. Sejarah Islam di Sulawesi Selatan.
Lamacca Press. Makassar

Murray, L. Tania. Ed. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman Di Indonesia.


Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Makkulasse, Haruna Andi. 1983. Bentuk dan Ragam Hias pada Situs Makam Kuna
Bataliung di Jeneponto. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.
Marioga. Nurwahidah. 1995. Makam Raja-Raja Kutai Kertanegara di Tenggarong
Kabupaten Kutai Propinsi Kalimantan Timur. Skripsi Jurusan
Arkeologi Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Muliani, Andi. 1991. Kompleks Makam Addatuang Sawitto di Kecamatan Watang
Sawitto. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung
Pandang.
Mahmud, M. Irfan. Ed, 2007. Bantaeng Masa Prasejarah ke Masa Islam. Masagena
press. Makassar.
Matullada, 1975, Latoa : Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi-Poloitik Orang
Bugis. Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta.
Matullada, 1976. Agama Islam Di Sulawesi Selatan. Laporan Proyek Penelitian
Peranan Ulama Dan Pengajaran Agama Islam di Sulawesi Selatan.
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Mattulada. Ed, 1976/1977. Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan. Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah
Mattulada, 1978. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah. Dep. IlmuIlmu Sosial FIUBD Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Mattulada. 1982. Menyusuri Jejak-Jejak Kehadiran Makassar Dalam Lintas Sejarah.
Bhakti Baru. Ujung Pandang.
Mattulada. 1983. Islam di Sulawesi Selatan. Dalam Taufik Abdullah (Ed.), Agama dan
Perubahan Sosial. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta.
Mattulada. 1996. Islam di Sulawesi Selatan. Dalam Taufik Abdullah (Ed.), Agama dan
Perubahan Sosial. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta.
Montana, Suwedi. 1983. Mode Hiasan Matahari Pada Pemakaman Islam Kuno di
Beberapa Tempat di Jawa dan Madura. Dalam Pertemuan Ilmiah
Arkeologi III. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.
Makmur, 1993. Ragam Hias Kompleks Jera Palette di Takalar Skripsi Jurusan
Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Montana, Suwedi. 1990. Tradisi Kematian Setelah Agama Islam di Indonesia. Dalam
Analisis Hasil Penelitian Arkeologi I. Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan. Jakarta.
Makin, H. Nurul, 1995. Kapita Selekta Kaligrafi Islam. PT. Pustaka Panjimas. Jakarta.
Mundarjito, 1989. Beberapa Konsep Penyebarluasan Informasi Kebudayaan Masa
Lampau. Dalam Paradigma Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Jakarta.
Muhaeminah. 1997, Bentuk-bentuk Nisan Makam Kuna Islam Seputar Pantai Di Wilayah
Sulawesi Selatan. Dalam Tomanurung, Buletin Arkeologi. Balai
Arkeologi Ujungpandang. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Ujungpandang.
Muhaeminah. 2005. Tinggalan Masa Islam Di Pulau Barang Lompo Makassar Analisis
Survei Arkeologi. Dalam Walannae, Balai Kajian Arkeologi (BALAR).
Makssar.
Noorduyn. J. 1972. Islamisasi Makassar. (Dierjemahkan oleh S. Gunawan). Bhratara
Djakarta.
Nurhadi. 1990. Arkeologi Kubur Islam di Indonesia. Dalam Analisis Hasil Penelitian
Arkeologi I. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.
Nurhakim, Lukman. 1990. Tinjauan Tipologi Nisan Pada Makam Islam Kuno Di
Indonesia, dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi I. Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.
Paeni, Mukhlis. Ed (peny). 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Poesponegoro, Marwati Djoened dkk, 1993. Sejarah Nasional Indonesia III. Balai
Pustaka, Jakarta: Depdikbud.
Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan
Perdagangan Maritim Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Perret, Daniel. 2002. Batu Aceh: Empat Negara Asia Tenggara Satu Kesenian. Dalam
25 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi dan Ecole
Francaise dExtreme-Orient. Jakarta.
Raharjo, W. Wanny. 1989. Beberapa Konsep Dasar Analisis Artefak Dalam Arkeologi.
Dalam Paradigma Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Jakarta.
Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (diterjemahkan oleh Sori
Siregar dkk). Jakarta: LP3ES.

Rosmawati. 2008. Pemaknaan Inskripsi Pada Kompleks Makam Islam Kuno Katangka
Di Kabupaten Gowa. Tesis Konsentrasi Ilmu Sejarah Program Studi
Antropologi Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar
Rosalina. 1995. Kompleks Makam Turungan Kabupaten Sinjai. Skripsi Jurusan
Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Sewang, M. Ahmad. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa, (Abad XVI Sampai Abad XVII).
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Santosa, Halina Budi. 1980. Catatan Tentang Perbandingan Nisan Dari Beberapa
daerah di Indonesia. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) I.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan. Jakarta.
Satari, Soejatmi Sri. 1987. Seni Hias Ragam dan Fungsinya: Pembahasan Singkat
Tentang Seni Hias dan Hiasan Kuno, dalam Estetika dalam Arkeologi
Indonesia, Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) II, Jakarta.
Subarna, Abay D. 1987. Unsur Estetika dan Simbol pada bangunan Islam. Dalam
Diskusi Ilmiah Arkeologi II. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Jakarta.
Soekmono, R. 1991. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III. Kanisius.
Yogyakarta.
----------------- 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III. Kanisius. Jakarta.
Salam, Abdul. 1992. Menhir Sebagai Nisan Pada Makam Kuna Tompo Lemoe
Kabupaten Barru. Skripsi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin,
Ujung Pandang.
Sadri, Muhammad. 1992. Kompleks Makam La Tenri Ruwa di Bantaeng. Skripsi
Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Supratman, 2003. Kompleks Makam Kuno Petta Pallase-Lasee Desa Lalabata
Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru. Skripsi Jurusan Arkeologi
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Tjandrasasmita, Uka. 1992. Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan Islam di Indonesia.
Dalam 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan. Jakarta.
Tjandrasasmita, Uka. 2000. Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia Dari Masa ke
Masa. Menara Kudus. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai