Seri Buku Nang
Seri Buku Nang
Umar Khayam
Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan
segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
Bulan itu ungu, Marno.
Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?
Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?
Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?
Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u!
Ayolah, bilang, ungu!
Kuning keemasan!
Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia
duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
Marno, Sayang.
Ya, Jane.
Bagaimana Alaska sekarang?
Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke asana.
Maksudku hawanya pada saat ini.
Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga
seperti di sini?
Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang
Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sanasini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.
Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar
perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.
Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu .... Eh, maukah kau membikinkan
aku segelas ..... ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung,
martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin
sendiri lagi ini .... Uuuuuup ....
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas
dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, bekas suamiku, kautahu ..... Marno, Darling.
Ya, ada apa dengan dia?
Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
Oh.
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri
tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
Eh, kau tahu, Marno?
Apa?
Empire State Building sudah dijual.
Ya, aku membaca hal itu di New York Times.
Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?
Tidak. Bisakah kau?
Bisa, bisa.
Bagaimana?
Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu.
Tapi sekarang tahulah ....
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela
mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di
sawah embahnya di desa.
Oh, kalau saja .....
Kalau saja apa, Kekasihku?
Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.
Lantas?
Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.
Kau anak desa yang sentimental!
Biar!
Marno terkejut karena kata biar itu terdengar keras sekali keluarnya.
Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.
Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat
dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
Jet keparat!
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar
Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah,
di tangannya segelas air es.
Aku merasa segar sedikit.
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepaksepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea,
deep blue sea, baby, deep blue sea ......
Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk
telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang
teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari
dalam sebuah sampan?
He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana
lagi, Jane?
Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue
sea, baby, deep blue sea ....
Marno.
Ya.
Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?
Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.
Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu,
Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di
muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada
manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat
penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena
gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy.
Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?
Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.
Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno?
Mem-bo-san-kan.
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di
dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayangbayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah
membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan,
ya? Mem-bo-san-kan!
Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah
beberapa kali aku dengar.
Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.
Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.
Aku membosankan jadinya.
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu
dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku
berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah
jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang
terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?
Marno, Sayang.
Ya.
Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?
Belum, Jane.
Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.
Marno tersenyum
Aku tidak tahu, Jane.
Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?
Marno tersenyum
Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.
Sekarang Jane ikut tersenyum.
Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati
janjiku.
Apakah itu, Jane?
Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu,
ya ......
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah
terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit
kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
Aku harap kausuka pilihanku.
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
Kausuka dengan pilihanku ini?
Ini piyama yang cantik, Jane.
Akan kaupakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti
dengan piyama.
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
Jane.
Ya, Sayang.
Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.
Oh? Kau banyak kerja?
Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ....
Kaumerasa tidak enak badan?
Aku baik-baik saja. Aku .... eh, tak tahulah, Jane.
Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.
Terima kasih, Jane.
Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.
Oh.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam
kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.
Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?
Tentu, Jane.
Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.
Kautahu nomorku kan? Eldorado
Aku tahu, Jane.
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu
menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar
turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa
bantalnya basah.***
beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potonganpotongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian
dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
Marno, Manisku.
Ya, Jane.
Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?
Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku
tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.
Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.
Kenapa?
Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak
maaau.
Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang
Alaska dingin.
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane
memandang Marno tajam-tajam.
Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.
Kau anak yang manis, Marno.
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam
itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga
cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu
belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat
seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong
tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
Marno.
Ya, Jane.
Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari
Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?
Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.
Oh.
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak
tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
Eh, kau tahu, Marno?
Apa?
Empire State Building sudah dijual.
Ya, aku membaca hal itu di New York Times.
Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?
Tidak. Bisakah kau?
Bisa, bisa.
Bagaimana?
Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu.
Tapi sekarang tahulah .
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela
dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang
yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah
membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan,
ya? Mem-bo-san-kan!
Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah
beberapa kali aku dengar.
Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.
Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.
Aku membosankan jadinya.
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu
dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku
berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah
jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang
terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal
terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk
kembali di sofa.
Marno, kemarilah, duduk.
Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.
Kemarilah, duduk.
Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.
Kunang-kunang?
Ya.
Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.
Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.
Begitu kecil?
Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu
bagaimana?
Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.
Ya, pohon-hari-natal.
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar
jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
Marno, waktu kau masih kecil .. Marno, kau mendengarkan aku, kan?
Ya.
Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?
Mainan kekasih?
Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?
Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main
dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.
Itu bukan mainan, itu piaraan.
Piaraan bukankah untuk mainan juga?
Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.
Siapa dia?
Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu
lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian
dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
Aku harap kausuka pilihanku.
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
Kausuka dengan pilihanku ini?
Ini piyama yang cantik, Jane.
Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti
dengan piyama.
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
Jane.
Ya, Sayang.
Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.
Oh? Kau banyak kerja?
Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah .
Kaumerasa tidak enak badan?
Aku baik-baik saja. Aku . eh, tak tahulah, Jane.
Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.
Terima kasih, Jane.
Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.
Oh.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam
http://munazilah.blogspot.com/2007/10/seribu-kunang-kunang-di-manhattan-dalam.html
1960-an paham feminis mulai menguat dalam budaya barat. Kesetaraan gender dan
emansipasi wanita lebih dulu dicapai oleh perempuan-perempuan barat, Amerika
termasuk
salah
satunya.
Pertemuan dua konstruk budaya dalam memandang permasalahan sex (jenis kelamin) dan
gender yang berbeda dalam cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan memerlihatkan
adanya dominasi pada budaya satu dan keterasingan pada budaya lainnya. Ketika berada
di tengah kebudayaan yang asing sekaligus bertolak belakang dari budaya yang
melingkupinya, Marno merasa kaku dan terasing. Konsep patriarkal di Jawa yang selama
ini menjadi latar budaya Marno sangat berlawanan dengan apa yang dihadapinya di
Amerika.
Jean bersikap terbuka, apa pun yang ada dalam pikirannya akan diungkapkan secara terus
terang. Hal ini tentu saja berkebalikan dengan orang Jawa khususnya perempuan. Bahkan
di hadapan Marno Jean tanpa sungkan mengungkapkan hayalan-hayalannya yang agak
erotis.
Hal
ini
bisa
dilihat
dalam
kutipan
ucapan
Jean
berikut;
"pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang
lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu"
Atau perkataan Jean yang lain, "Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiranpikiran
yang
cabul
dan
lucu.
Tapi
sekarang
tahulah"
Di Jawa Marno tidak akan menjumpai perempuan yang dengan berani mengekspresikan
dirinya seterbuka Jean. Budaya Amerika yang liberal digambarkan Jean dengan
keberaniannya mengemukakan pendapat tanpa harus mengkhawatirkan Jenis kelamin
yang
melekat
padanya.
Kesetaraan gender di Amerika diperkuat oleh ingatan Jean tentang perdebatannya dengan
mantan suaminya, Tommy, sewaktu jalan-jalan ke Central Park Zoo. Memperdebatkan
suatu hal sekecil apapun dan kebebasan berpendapat dalam hubungan suami istri
dianggap
sebagai
hal
yang
lumrah
dan
wajar.
Dalam keterasingannya terhadap budaya yang ada di hadapannya, Marno lebih banyak
memilih diam dan mengalah. Sangat kontras sekali jika dibandingkan dengan laki-laki
jawa yang menghadapi perempuan Jawa. Sikap diam dan mengalah dari Marno membuat
Jean terlihat sangat mendominasi. Dalam cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan
Jean lebih banyak berbicara. Bahkan sesekali Jean dengan berani berkata kasar kepada
Marno."Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata." Atau "Kau anak desa yang
sentimental!"
Namun, dalam budaya asing yang mendominasi di sekitarnya Marno masih membawa
beberapa sifat-sifat orang Jawa. Perilaku Marno masih penuh dengan basa-basi dan sulit
berterus terang karena memikirkan perasaan orang lain. Sikap Marno tersebut muncul
ketika Jean bertanya apakah Marno bosan mendengarkan cerita Jean yang selalu diulangulang setiap kali mereka bertemu. Marno dengan pembawaan Jawa-nya tidak mau secara
lugas mengatakan bahwa ia bosan. Pun ketika Jean mendesak agar Marno mengakuinya,
Marno
cuma
diam
saja.
Marno masih bisa mempertahakan budaya Jawa yang memang tidak bersinggungan
dengan budaya Jean. Akan tetapi ketika budaya Jawa bertentangan dengan budaya barat
secara langsung, Marno akan mengambil sikap mengalah. Hal ini mengakibatkan Jean
dengan sikap-sikapnya yang berani seolah-olah menganggap bahwa Marno lebih rendah.
Marno tidak pernah berusaha membela diri atau mengelak ketika Jean mengatakan hal
yang menyinggung perasaannya. Seperti halnya ketika Jean mengatakan bahwa Marno
anak desa yang sentimental. Marno secara reflek berkata sangat keras kepada Jean karena
merasa tersinggung, namun Marno cepat-cepat minta maaf kepada Jean.
Jean sendiri tidak berpikiran feminis. Ia berharap bahwa adat orang-orang Eskimo
menyuguhkan istri kepada tamu masih ada agar mantan suaminya tidak kesepian di
Alaska. Tetapi dalam menghadapi Marno, Jean mengambil sikap yang lain. Marno
dipaksa menanggalkan konsep patriarkal yang selama ini mengungkung budayanya
sehingga Marno merasa terasing. Marno kaku dan bingung dalam bersikap. Bisa jadi hal
ini disebabkan oleh sikap Marno yang selalu mengalah atau Jean menganggap bahwa
derajatnya
lebih
tinggi
dari
Marno.
Sebenarnya dalam diri Marno sendiri ingin menunjukkan pembelaan diri dan
menunjukkan kekuasaannya sebagai laki-laki. Meskipun secara halus, di akhir cerpen ini
Marno berani meninggalkan Jean. Jean sendiri bersikap liberal dan tidak memaksa ketika
Marno berani mengambil sikap.
jejak: bInTaNg jAtUh pada 11:39 PM
WAK nyanji duek meubot-bot ateuh kurusi sopha. Marno ngon siglah scotch dan Jane
ngon siglah martini. Mandua awak nyan ji kalon u lua tingkap. Sebaris kalimat bahasa
Aceh ini bila diindonesiakan akan berbunyi, "Mereka duduk bermalas-malasan di sofa.
Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini." Bila seluruh cerpen ini
dilahap, segera terungkap bahwa kedua orang itu, tanpa ikatan perkawinan, sering
melewatkan malam bersama.
Cerpen berjudul Siribee Meuk di Manhattan ini adalah terjemahan bebas M. Nurgani
Asyik dari cerita pendek Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Cerpen milik Umar
Kayam ini juga diterjemahkan ke dalam 12 bahasa daerah, yakni Aceh, Minangkabau,
Batak, Sunda, Cirebon, Jawa, Madura, Bali, Lombok, Bugis, Makassar, Mandar, dan
Toraja.
Penerjemahan cerpen yang ditulis pada 1972 ini adalah hasil seleksi dari 30-50 peserta
yang mengirim naskah terjemahan ke panitia yang terserak di beberapa daerah. Bahkan
ada peserta yang belum lahir ketika cerpen itu diciptakan. Umar Kayam tampak bangga
saat peluncuran terjemahan cerpennya itu, Oktober silam. "Saya senang sekali," katanya
singkat. Senyum mengembang saat menyimak pembacaan cerpennya dalam bahasa
Cirebon oleh N. Riantiarno dan dalam bahasa Bali oleh Putu Wijaya.
Proyek penerjemahan cerpen ini sepintas seperti menyusupkan "tuba" ideologi modern ke
dalam masyarakat dengan menggunakan bahasa ibunya. Wajar saja bila anggapan itu
muncul. Cerpen yang berkisah tentang percintaan dua orangtak menikahyang hampir
naik ke tempat tidur itu berlokasi di Manhattan; melibatkan seorang lelaki Jawa dan
perempuan Amerika, tapi kemudian disampaikan dalam 13 bahasa daerah. Bayangkan
proyek multikebudayaan yang tertuang ke dalam buku karya Umar Kayam ini.
Penerjemahan ini merupakan usaha dari kelompok Program Pemetaan Bahasa Nusantara
mengukur daya adaptasi bahasa daerah untuk masuk ke dalam wilayah yang dianggap
asing oleh kulturnya. Itu bukan soal mudah karena cerpen ini memiliki penggambaran
suasana yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Penerjemahannya
tidak serta-merta hanya dengan mengubah setiap kata atau kalimat itu ke dalam bahasa
daerah, tapi juga harus diperhatikan padanan kata yang tepat untuk idiom ke dalam
terjemahannya. Selain itu, penerjemahan itu juga berbentuk penerjemahan kebudayaan,
bukan hanya penerjemahan bahasa.
Saat mengumpat-umpat, misalnya, tampaknya para penerjemah terjebak untuk
menggunakan kata-kata secara harfiah. Umpatan "setan", contohnya, diterjemahkan
secara lugas sehingga suasana kedekatan hubungan antara Marno dan Jean meruap dan
yang tergambar hanya perbincangan antarteman.
Selain itu, ada terjemahan lain yang terdengar kurang pas, misalnya dalam terjemahan
dalam bahasa Sunda, "sayang" diterjemahkan menjadi bageur, yang bagi orang Priangan
berarti "baik hati". Sementara itu, ungkapan rasa sayang orang Priangan sesungguhnya
adalah deudeuh. Masalah lain dalam penerjemahan ini adalah kreativitas menggali kata,
misalnya kata dapur diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan dhapur, padahal kata
yang cocok untuk itu adalah pawon.
Namun, di sisi lain, penerjemahan ini malah "memperbaiki" cerpen tersebut. Bila Umar
Kayam menggunakan kata "mainan kekasih" yang sebetulnya agak terdengar asing di