Anda di halaman 1dari 36

Presentasi Kasus Indonesia

Kepada Yth,

Oleh

Bapak/Ibu

: Fredyton Rizminardo

Pendahulauan
Anemia adalah suatu kondisi jumlah sel darah merah (dan sebagai
konsekuensinya kapasitas pengangkutan oksigen) tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh.1 Pada dasarnya anemia disebabkan oleh
gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar
dari tubuh (perdarahan) dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya.2 Hemolisis adalah penghancuran atau pengeluaran sel darah merah dari
sirkulasi sebelum masa hidup normalnya 120 hari. Hemolisis dapat berlangsung
sepanjang hidup sebagai kondisi yang asimptomatis, juga dapat memunculkan
anemia ketika proses eritropoesis tidak dapat memenuhi kebutuhan yang
ditimbulkan oleh proses destruksi sel eritrosit. Hemolisis juga dapat
bermanifestasi sebagai jaundice atau hanya muncul sebagai retikulositosis.3
Etiologi hemolisis dikategorikan sebagai didapat (acquired) atau
diturunkan (herediter). Penyebab umum anemia hemolitik didapat adalah
autoimun, mikroangiopati dan infeksi. Sedangkan penyebab hemolitik heriditer
adalah gangguan pada enzim sel darah merah, ganguan pada membran sel darah
merah dan gangguan pada hemoglobin.3 Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase
(G6PD) merupakan enzim pertama jalur pentosafosfat pada proses glikolisis, yang
mengubah Glucose-6-Phosphate menjadi 6-Phospho-Gluconate dan mereduksi
Nicotinamiden Adenine Dinucleotide Phospate (NADP) menjadi bentuk
tereduksinya Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH).3-5
Defisiensi glucose 6 phosphate dehydrogenase menyebabkan hemolisis pada
kondisi stres oksidatif.3
Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia,
disebabkan mutasi pada gen G6PD yang terkait kromosom sex (x-linked),
sehingga pada umumnya ditemukan pada laki laki.6-8 Defisiensi G6PD
diperkirakan mempengaruhi lebih dari 400 500 juta lebih orang di seluruh
dunia. Paling banyak dilaporkan dari Afrika, Eropa, Timur Tengah dan Asia

Tenggara.4,5,9,10 Sekitar 7,5% penduduk dunia membawa satu atau dua gen
defisiensi G6PD, proporsinya mulai dari 35% di beberapa bagian Afrika hingga
0,1% di Jepang dan sebagian Eropa. Prevalensi di Indonesia diperkirakan sekitar
1%-14%. Soemantri dan kawan-kawan, mendapatkan prevalensi defisiensi G6PD
di Jawa Tengah sekitar 15%, sedangkan menurut Suhartati dan kawan-kawan, di
pulau-pulau kecil Indonesia Timur didapatkan

prevalensi defisiensi G6PD

sebesar 1,6-6,7%.11 Di rumah sakit Dr.M.Djamil Padang, data yang diperoleh dari
bagian rekam medik dari 1 januari 2013 hingga 31 desember 2013 didapatkan
adanya 35 orang pasien yang didiagnosis sekunder sebagai anemia hemolitik ec
defisiensi enzim G6PD.
Seseorang dengan defisiensi enzim G6PD tidak menunjukkan gejala dan
kelainan secara hematologi. Pecahnya eritrosit terjadi bila penderita terpapar
bahan eksogen yang potensial menimbulkan kerusakan oksidatif, yaitu obatobatan, bahan kimia, infeksi dan kacang fava.5,9,12,13 Manifestasi klinis yang paling
sering pada defisiensi G6PD adalah penyakit kuning neonatal dan anemia
hemolitik akut yang biasanya dipicu oleh agen eksogen. Beberapa varian G6PD
dapat menyebabkan hemolisis kronis. Manajemen yang paling efektif pada
defisiensi G6PD adalah mencegah hemolisis dengan menghindari stres
oksidatif.9,10
Tujuan penulisan kasus ini adalah untuk mengingatkan kembali gambaran
klinis yang muncul pada anak dengan defisiesi enzim G6PD, penegakan
diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan variasi klinis G6PD
beserta tatalaksananya.

Illustrrasi Kasus
Seorang anak laki-laki, usia 2 tahun 10 bulan, dirawat dibangsal ilmu kesehatan
anak RSUP Dr.M.Djamil selama 7 hari (29 September 2013- 5 Oktober 2013).
Aloanamnesis diperoleh dari ibu dan ayah kandung pasien.
Keluhan Utama : Tampak pucat sejak 1 hari yang lalu
Riwayat penyakit sekarang :
Demam sejak 3 hari yang lalu, tidak tinggi, hilang timbul, tidak menggigil, tidak
berkeringat, tidak disertai kejang. Orang tua baru menyadari anak tampak pucat
sejak 1 hari yang lalu. Mata terlihat kuning sejak 1 hari yang lalu. Nafsu makan
berkurang sejak sakit, biasanya anak makan 2- 3 kali perhari dengan nasi 1/3
porsi dewasa perkali, lauk pauk daging 1 kali per minggu dan ikan 2-3 kali
perminggu, ayam 2-3 kali perminggu, telur 6-8 kali perminggu, sayur 6 kali
perminggu dan buah 4 kali perminggu. Sejak sakit anak hanya makan 1-2 kali
perhari. Batuk tidak ada. Pilek tidak ada.Sesak nafas tidak ada. Mual dan muntah
tidak ada. Keluar cairan dari telinga tidak ada. Riwayat perdarahan dari kulit, gusi
dan saluran cerna tidak ada. Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria tidak
ada. Riwayat mendapat transfusi darah tidak ada. Buang air besar warna dan
konsistensi biasa. Buang air kecil warna dan jumlah biasa. Keluhan nyeri saat
buang air kecil tidak ada. Anak dibawa berobat ke puskesmas 3 hari yang lalu
karena batuk dan demam , diberikan obat batuk puyer (nama dan jenis obat tidak
diketahui keluarga) dan antibiotik amoksisilin sirup. Kemudian atas anjuran
tetangga pasien, orang tua mengganti antibiotik dengan antibiotik kotrimoksazol
sirup pada anak. Karena anak masih demam dan tampak pucat, orang tua lalu
membawa anak berobat ke RST Reksodiwiryo dan dilakukan pemeriksaan darah
dengan hasil Hb 6,4 gr/dL, leukosit 19.500/mm3, trombosit 548.000/mm3,
hematokrit 21%. Kemudian atas permintaan keluarga, anak dirujuk ke RSUP
Dr.M.Djamil dengan katerangan febris + anemia ec ?

Riwayat Penyakit dahulu


Tidak pernah mengalami pucat dan kuning sebelumnya

Riwayat Penyakit keluarga


Adik kandung nenek pasien dari pihak ibu pernah menderita kulit pucat dan
kekuningan saat berusia balita. Keluhan muncul saat demam dan menghilang
sendiri. Saat itu dibawa berobat ke dukun. Meninggal dunia saat usai 5 tahun
karena tenggelam.
Saudara laki-laki ibu mengalami pucat setelah demam saat berusia balita,
dibawa berobat ke dukun. Hingga saat ini tidak pernah mengalami keluhan yang
sama.

Pedigree

Keterangan

= Riwayat tampak pucat dan kuning

Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak kedua dari dua orang bersaudara, lahir spontan, cukup
bulan, ditolong bidan, berat badan lahir 4400 gr, panjang badan lahir 51 cm,
langsung menangis kuat.

Riwayat Imunisasi
Pasien mendapat imunisasi dasar BCG diberikan usia 2 bulan, parut BCG ada,
DPT diberikan 3 kali pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan, polio 3 kali pada usia
2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, hepatitis B diberikan 3 kali usia 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan, campak umur 9 bulan. Kesan imunisasi dasar lengkap, booster belum
pernah diberikan.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan:


Gigi pertama anak tumbuh umur 7 bulan , anak sudah bisa tengkurap umur 4
bulan , duduk umur 6 bulan, berdiri umur 10 bulan , berjalan umur 13 bulan,
berbicara umur 14 bulan. Kesan pertumbuhan dan perkembangan dalam batas
normal.

Riwayat sosio-ekonomi keluarga


Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara. Pasien tinggal bersama ibu, ayah
dan seorang saudara perempuan. Ibu berusia 29 tahun, pendidikan sekolah
menengah atas, ibu pasien bekerja membuka warung makan disamping rumah
pasien dengan penghasilan perbulan Rp 600.000,00 dan ayah berusia 39 tahun,
pendidikan sekolah menengah pertama, bekerja sebagai buruh swasta (penjaga
gudang) dengan penghasilan perbulan Rp 1.300.000,00. Rumah semipermanen,

sumber air minum dari air sumur gali, buang air besar di wc diluar rumah, sampah
dibakar, pekarangan luas. Kesan higiene dan sanitasi lingkungan cukup.
Riwayat Nutrisi
Anak mendapat ASI dari lahir sampai saat umur 2 tahun. Bubur susu mulai usia 6
bulan sampai usia 8 bulan, nasi tim mulai usia 8 bulan sampai 12 bulan dan nasi
biasa mulai usia 1 tahun sebanyak 2-3x perhari dengan nasi 1/3 pors dewasa,
lauk pauk

daging 1x per minggu dan ikan 2-3 x per minggu, ayam 2-3 x

perminggu, telur 6-8 x/minggu, sayur 5x/minggu dan buah 4x/ minggu. Kesan :
kualitas dan kuantitias cukup

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum tampak sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 110 kali permenit,
tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi nafas 24 kali permenit, suhu 37,1 oC,
sianosis tidak ada, edema tidak ada, anemis ada, ikterik ada. Status gizi: berat
badan 13 kg, tinggi badan 87 cm. Berdasarkan kurva CDC, berat badan
berdasarkan umur 92,85%, tinggi badan berdasarkan umur 92,5 %, berat badan
berdasarkan tinggi badan 102,3%, kesan gizi baik. Kulit teraba hangat, dan
tampak pucat. Tidak teraba pembesaran kelenjer getah bening. Mata: konjungtiva
anemis, sklera ikterik, pupil isokor 2 mm, reflek cahaya +/+ normal. Tenggorokan
tampak tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis, mukosa mulut dan
bibir basah. Tekanan vena jugularis 5-2 cmH 2O. Thorak: normochest, simetris,
suara nafas vesikuler, ronkhi dan wheezing tidak ada. Iktus cordis tidak terlihat,
ictus cordis teraba 1 jari medial linea midklavikularis kiri ruang interkostal V.
Batas jantung atas ruang intercostal II, kanan linea sternalis dextra, dan kiri 1 jari
medial linea midklavikularis kiri ruang interkostal V, irama teratur, bising tidak
ada. Abdomen tidak distensi,supel, hepar dan lien tidak teraba, perkusi timpani,
bising usus (+) normal. Genitalia tidak ditemukan kelainan. Status pubertas
A1P1G1. Akral hangat refilling kapiler baik, reflek fisiologis positif normal, dan
reflek patologis negatif.

Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin 6,5 g/dl, leukosit 18.500/mm3, hitung jenis 0/0/3/57/37/1 mielosit 1,
metamielosit

1,

hematokrit

19,1

%,

eritrosit

2,3

juta/mm3,

Trombosit:503.000/mm3, MCH: 27,3 pg, MCV: 80,2 fl, MCHC: 34%, retikulosit
3,9%. Kesan: anemia normositik normokrom. Gambaran darah tepi: eritrosit:
normokrom anisositosis, polikromasi (+), leukosit: leukositosis dengan neutrofilia
shift to the left, dan tombosit: jumlah meningkat. Hasil urinalisis: protein (-),
reduksi (-), leukosit +, eritrosit (-), bilirubin (-), urobilinogen (+) kesan: suspek
infeksi saluran kemih. Pemeriksaan feses dalam batas normal.

Daftar Masalah
1. Suspek anemia hemolitik ec anemia hemolitik autoimun
Dd/ ec anemia hemolitik non imun Dd/ ec G6PD
Thalasemia
Malaria
2. Suspek infeksi saluran kemih (ISK)
3. Tidak mendapat booster imunisasi

Diagnosis kerja
1. Suspek anemia hemolitik ec anemia hemolitik autoimun
Dd/ ec anemia hemolitik non imun ec suspect defisiensi G6PD
Dd/ ec Thalasemia
Malaria
2.

Suspek infeksi saluran kemih (ISK)

TATALAKSANA
1. Suspek anemia hemolitik ec anemia hemolitik autoimun
Dd/ ec anemia hemolitik non imun ec suspect defisiensi G6PD
Dd/ ec Thalasemia
Malaria
a.

Diagnostik : Bilirubin total, direk dan indirek, comb test, serologi malaria, slide
darah tepi malaria, HPLC
b. Terapeutik: ML 1200 kkal, parasetamol 130 mg bila T 38,5 0C, rencana
transfusi darah bertahap.
c. Edukasi : diagnosis, tatalaksana, dan prognosis
2. Suspek infeksi saluran kemih
a. Diagnostik : kultur urin
b. Terapeutik:

Kotrimoksazol 2 x 60 mg (TMP) bila kultur urin sudah

diambil.
c. Edukasi: berkemih sebelum tidur, menganjurkan banyak minum

PEMANTAUAN
30 September 2013 ( hari rawatan ke 2)
Pasien tidak demam pagi ini, malam hari sebelumnya pasien masih demam, tidak
tinggi, anak masih tampak pucat dan ikterik, kejang tidak ada, batuk dan pilek
tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak ada, buang air kecil warna
dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.
Keadaan umum tampak sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 100 kali
permenit, frekuensi nafas 24 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 37,2
C, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak
ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan: anemia. Terapi
dilanjutkan.

Hasil pemeriksaan laboratorium dengan hasil LDH : 2247 u/L; Bilirubin


total 3,16 mg/dL; bilirubin direk 0,62 mg/dL; bilirubin indirek 2,54 mg/dL; kesan:

sesuai dengan anemia hemolitik. Comb test : hasil negatif; kesan: tidak sesuai
dengan anemia hemolitik autoimun. Tidak ditemukan parasit malaria pada sediaan
hapus darah tepi. Direncanakan untuk pemeriksaan serologi malaria. Hasil
pemeriksaan urinalisis protein (-), glukosa (-), leukosit 0-1/LPB; eritrosit 0-1 /
LPB; silinder (-), kristal (-), epitel gepeng (+), bilirubin (-), urobilinogen (+),
kesan : dalam batas normal; tunggu hasil kultur urin.
Didapatkan kesan anemia dan ikterik, dipikirkan defisiensi enzim G6PD;
sikap: direncanakan pemeriksaan enzim G6PD.

1 Oktober 2013 (hari rawatan ke 3)


Pasien tidak demam, anak masih tampak pucat dan ikterik, kejang tidak ada, batuk
dan pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak ada, buang air
kecil warna dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.
Keadaan umum tampak masih sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 101
kali permenit, frekuensi nafas 23 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu
36,8 C, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak
ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan:anemia dan
iktrerik; sikap : dilakukan pemeriksaan enzim G6PD.

2-3 Oktober 2013 (hari rawatan ke 4 dan 5)


Pasien tidak demam, anak masih tampak pucat dan ikterik, kejang tidak ada, batuk
dan pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak ada, buang air
kecil warna dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.
Keadaan umum tampak masih sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 90 kali
permenit, frekuensi nafas 24 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 37,1
C, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak
ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan:anemia dan
iktrerik. Terapi dilanjutkan

Hasil pemeriksaan laboratroium kultur urin hasil steril. Kesan : tidak


sesuai dengan infeksi saluran kencing. Hasil pemeriksaan laboratorium serologi
malaria negatif, kesan : tidak sesuai dengan infeksi malaria

4 Oktober 2013 (hari rawatan ke 6)


Anak masih tampak pucat, namun berkurang dari sebelumnya, transfusi darah
belum dilakukan, demam tidak ada, kejang tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak
ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak ada, perdarahan tidak ada,
buang air kecil warna dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi
biasa.
Keadaan umum tampak masih sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 98 kali
permenit, frekuensi nafas 24 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36,7
C, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak
ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan:anemia dan
iktrerik. Terapi dilanjutkan. Dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap
ulangan.
Hasil pemeriksaan laboratroium darah perifer lengkap Hb 7,7 gr/dL; Ht
25,9%, leukosit 14.520/mm3; hitung jenis 0/1/5/49/37/6; eritrosit berinti 4/100
leukosit; mielosit 1%, metamielosit 1%, retikkulosit 34,29%; trombosit
305.000/mm3; eritrosit 2,75 juta/mm3; Gambaran darah tepi: eritrosit:
normokrom anisositosis, polikromasi, ditemukan eritrosit berinti 4/100 leukosi;.
leukosit: leukositosis dengan neutrofilia shift to the left sampai mielosit, limfosit
atipik (+); dan trombosit: jumlah cukup, platelet clump (+). kesan: anemia
normositik normokrom

5 Oktober 2013 (hari rawatan ke 7)

10

Demam tidak ada, kejang tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada, sesak nafas
tidak ada, mual dan muntah tidak ada, perdarahan tidak ada, buang air kecil warna
dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.
Keadaan umum tampak masih sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 98 kali
permenit, frekuensi nafas 23 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36,9
C, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak
ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan: hemodinamik
stabil. Terapi dilanjutkan. Hasil pemeriksaan enzim G6PD belum keluar. Pasien
diperbolehkan pulang dengan anjuran kontrol ulang poliklinik.

7 Oktober 2013
Hasil pemeriksaan enzim G6PD selesai dan menunjukkan hasil penurunan enzim
G6PD dengan hasil 1,7 U/g Hb. Sedangkan nilai normal 7,0-10,4 U/g Hb.
Kesan : sesuai dengan anemia ec defisiensi enzim G6PD;
Sikap :
-

Edukasi keluarga mengenai penyakit dan penyebab yang dapat


memunculkan gejala penyakit tersebut serta prognosis pada penyakit

Menjelaskan obat-obatan dan makanan yang dapat memunculkan gejala


penyakit

Memberikan daftar obat dan makanan yang dapat memunculkan gejala


penyakit.

11 November 2013
11

Demam tidak ada, kejang tidak ada, anak tidak tampak pucat, pilek tidak ada,
batuk tidak ada, muntah tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak
ada, perdarahan tidak ada, buang air kecil jumlah dan warna biasa, buang air besar
warna dan konsistensi biasa. Pada pemeriksaan jantung dan paru tidak ditemukan
kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan : hemodinamik stabil;
Anak dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap dengan hasil Hb 11,6
gr/dL; Ht 33%, leukosit 9.040/mm3; hitung jenis 0/0/9/45/39/5; mielosit 1,
metamielosit 1,

retikkulosit 0, 44%; trombosit 389.000/mm3; eritrosit 4,6

juta/mm3;
Kesan : Peningkatan Hb dari sebelumnya

Tinjauan Pustaka

12

Definisi
Defisiensi G6PD adalah suatu kelainan enzim yang terkait kromosom sex (xlinked), yang diwariskan, dimana aktifitas atau stabilitas enzim G6PD menurun,
sehingga menyebabkan pemecahan sel darah merah pada saat seorang individu
terpapar oleh bahan eksogen yang potensial menyebabkan kerusakan oksidatif.11

Epidemiologi
Defisiensi enzim G6PD merupakan penyakit defisiensi enzim tersering pada
manusia, sekitar 2-3% dari seluruh populasi di dunia, diperkirakan sekitar 400 juta
manusia di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi ditemukan di daerah tropis,
ditemukan dengan frekuensi yang bervariasi pada berbagai ras Timur Tengah,
India, Cina, Malayu, Thailand, Filipina dan Melanesia.11,12
Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia
hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia prevalensinya
diperkirakan 1-14%, prevalensi defisiensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah
sebesar 15%, di pulau-pulau kecil yang terisolasi di Indonesia bagian Timur
(pulau Babar, Tanimbar, Kur dan Romang di Propinsi Maluku), disebutkan bahwa
prevalensi defisiensi G6PD adalah 1,6-6,7% (Gambar1).11

Gambar 1. Prevalensi defisiensi G6PD15


Enzim G6PD

13

Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk
mempertahankan bentuk, volume, kelenturan (fleksibilitas), dan regulasi pompa
natrium-kaliumnya. Energi ini diperoleh dari glukosa melalui dua jalur
metabolisme, yaitu 80% dari proses glikolisis anaerobik (jalur Emden-Meyerhof)
yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase serta enzim
piruvat kinase, dan 20% dari proses glikolisis aerobik (jalur Pentosa Fosfat)
dengan bantuan enzim G6PD untuk menghasilkan glutation yang penting untuk
melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan (Gambar 2). 11
Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan G6PD dapat
mempermudah dan mempercepat hemolisis, yang paling sering mengalami
defisiensi adalah G6PD.2

Gambar 2. Diagram skematik metabolisme sel darah merah5

Enzim G6PD merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam amino
dengan berat molekuler 59,265 kilodalton. Enzim G6PD merupakan enzim
pertama jalur pentosa phospat, yang mengubah glukosa 6 phospat menjadi 6
fosfogluconat pada proses glikolisis. Perubahan ini menghasilkan Nicotinamide
Adenine Dinucleotide Phospate (NADPH), yang akan mereduksi glutation

14

teroksidasi (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH). GSH berfungsi sebagai


pemecah peroksida dan oksidan radikal H2O2 (gambar 3).11 G6PD adalah enzim
housekeeping yang melakukan fungsi-fungsi vital di seluruh sel tubuh. Namun,
dalam eritrosit yang tidak memiliki nukleus, mitokondria, organel lainnya, ada
hambatan tertentu pada metabolisme dan enzim ini memiliki peran penting. G6PD
mengkatalisis langkah pertama dari jalur pentosa fosfat (jalur heksosa
monofosfat), sejumlah reaksi sampingan dari jalur utama glikolisis dalam eritrosit
dan dalam semua sel tubuh.11
Metabolisme glukosa melalui jalur heksosa monofosfat meningkat
beberapa kali ketika eritrosit terpapar dengan obat-obatan atau toksin yang
membentuk radikal bebas.2 G6PD menginisiasi jalur heksosa monofosfat ini
dengan

menjadi

katalis

phosphoglucunolactone
dinucleotidephosphate

oksidasi

oleh
(NADP),

phosphogluconolactone

glukosa-6-fosfat

ko-enzim
yang

menghidrolisis

dikurangi
secara

menjadi

nikotinamida
menjadi
spontan

adenin-

NADPH.
menjadi

666-P-

phosphogluconolactone.11

Gambar 3. Jalur pentosa fosfat10

15

6-P-phosphogluconolactone ini berfungsi sebagai substrat untuk 6phosphogluconate dehidrogenase dan NADP. 6 phospogluconolactone kemudian
dirubah menjadi bentuk ribose-5-phosphate melalui 6-P-phosphogluconolactone
dan ribolose-5-phospate. Reaksi ini dapat disimpukan sebagai berikut:16
G6P + 2NADP+ + H2O R5P + 2NADPH + 2H+ + CO2
Ribose-5-phosphate dibutuhkan sebagai prekursor dalam biosintesis
sejumlah molekul penting seperti ATP, CoA, NAD, FAD, RNA dan DNA. Selain
itu, ribose-5-phosphate ini juga dapat dirubah kembali menjadi senyawa
intermidiete dalam glikoisis.16 Ketika terjadi perubahan glucose-6-phosphate
menjadi 6-phosphoglucunolactone malalui peranan enzim glucose 6 phosphate
dehydrogenase, terbentuk suatu reduktan metabolit penting yaitu NADPH.
NADPH ini sangat penting peranannya dalam pembentukan glutation tereduksi
(GSH) dari bentuk teroksidasinya (GSSG) dan juga NADPH berperanan penting
dalam mempertahankan sumber GSH intraseluler.17
Senyawa GSH pada awalnya adalah suatu glutation bentuk disulfida
(glutation teroksidasi, GSSG) yang direduksi menjadi glutation bentuk sulfhidril
(glutation tereduksi, GSH). Reduksi GSSG menjadi GSH dilakukan oleh NADPH,
pada jalur pentosa fosfat, dimana pada jalur metabolisme ini NADPH dibentuk
bila glucose-6-phosphate dioksidasi menjadi 6-fosfogluconat dengan bantuan
enzim G6PD (gambar 4).11 Fungsi GSH adalah mempertahankan residu sistein
pada hemoglobin dan protein-protein lain pada membran eritrosit agar tetap dalam
bentuk tereduksi dan aktif, mempertahankan hemoglobin dalam bentuk fero,
mempertahankan struktur normal sel darah merah, serta berperan dalam proses
detoksifikasi, dimana GSH merupakan substrat kedua bagi enzim gluthation
peroksidase dalam menetralkan hidrogen peroksida yang merupakan suatu
oksidan yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah
merah.11

16

Gambar 4. Peranan enzim G6PD dalam sel darah merah11


Dalam keadaan normal peroksida dan radikal bebas dibuang oleh katalase
dan gluthatione peroxidase, selanjutnya meningkatkan produksi GSSG. GSH
dibentuk dari GSSG dengan bantuan enzim gluthathione reductase yang
keberdaannya tergantung pada NADPH. Pada defisiensi G6PD, pembentukan
NADPH berkurang sehingga berpengaruh pada regenerasi GSH dari GSSG,
akibatnya mempengaruhi kemampuan untuk menghilangkan peroksida dan
radikal bebas.11 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa fungsi enzim G6PD
adalah menyediakan NADPH yang diperlukan untuk membentuk kembali GSH.11
Patofisiologi
Enzim G6PD mengkalisis adenin dinukletida fosfat (NADP) menjadi bentuk
tereduksinya NADPH pada jalur pentosa fosfat. NADPH melindungi sel dari
kerusakan oksidatif. Dikarena sel darah merah tidak memproduksi NADPH
melalui jalur lain, maka sel darah merah menjadi lebih rentan dibandingkan
dengan sel lain untuk mengalami kerusakan akibat stres oksidatif. Kadar aktifitas
enzim G6PD pada sel eritrosit yang mengalami deifisensi G6PD biasanya lebih
rendah daripada sel lainnya.18

17

Genetik
Gen G6PD terdiri dari 13 ekson dan 12 intron yang tersebar pada daerah seluas
lebih 100 kb pada ujung terminal lengan panjang kromosom X. Lokasi ini secara
lokasi berdekatan dengan gen yang mengkode hemofilia A, Dyskeratosis
kongenital dan buta warna.5 Defisiensi G6PD terjadi akibat mutasi gen G6PD, ada
lebih dari 400 mutasi yang telah diketahui, sebagian besar adalah mutasi
missense.18
Defisiensi ini merupakan suatu penyakit sex-linked. Laki-laki hanya
mempunyai 1 kromosom X, sehingga jika terjadi mutasi maka defisensi G6PD
akan muncul atau bermanifestasi. Wanita mempunyai 2 kromosom X, sehingga
jika terdapat 1 gen yang yang abnormal karena mutasi, pasangan atau allelenya
dapat menutup kekurangan tersebut, sehingga defisiensi G6PD bisa bemanifestasi
namun dapat pula tidak. Defisiensi G6PD meliputi berbagai mutasi gen G6PD
yang berbeda-beda dan tidak bereaksi sama, hal ini menjelaskan mengapa
individu defisiensi G6PD menunjukkan reaksi berbeda dengan faktor pencetus
yang sama. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat membantu
mengidentifikasi adanya mutasi.11 Berdasarkan lokasi mutasi pada gen pengkode
enzim G6PD, terdapat 5 tipe defisiensi G6PD yang paling umum ditemukan, yaitu
G6PD A-(202A), G6PD Mediteraranean, G6PD Seatle, G6PD A- (986C), dan
G6PD Union (Gambar 5).10

Gambar 5. Mutasi yang sering terjadi sepanjang ekson pengkode gen G6PD10

18

Manifestasi klinis
Terdapat 3 manifestasi klinis umum yang dapat muncul pada individu dengan
defisiensi enzim G6PD, yaitu :
1. Hiperbilirubinemia Neonatus
Prevalensi kejadian hiperbilirubinemia pada laki-laki yang
membawa gen defek defisiensi dan pada wanita homozigot pembawa gen
defek defisensi dua kali lipat dibandingkan populasi umum. Kejadian ini
jarang

muncul

pada

wanita

heterozigot.

Mekanisme

terjadinya

hiperbilirubinemia neonatus pada penderita defisensi G6PD belum


sepenuhnya dipahami. Namun kejadian hemolisis dan jaundice dapat
terlihat

pada

neonatus

dengan

defisiensi

G6PD.

Kejadian

hiperbilirubinemia pada neonatus sepertinya merupakan kejadian sekunder


akibat berkurangnya proses konjugasi bilirubin di hepar dan proses
klearens

bilirubin

oleh

hepar

yang

menyebabkan

terjadinya

hiperbilirubinemia indirek.18
Defisiensi G6PD harus dipertimbangkan pada neonatus yang
mengalami hiperbilirubinemia dalam 24 jam pertama kehidupan, adanya
riwayat ikterik pada saudara kandung, kadar bilirubin lebih besar dari
persentil 95, dan pada jenis kelamin laki-laki dari ras Asia. Defisiensi
G6PD

dapat

memicu

peningkatan

risiko

kejadian

early

onset

hiperbilirubinemia, yang memerlukan tindakan fototerapi atau transfusi


tukar. Pada populasi tertentu, kejadian hiperbilirubinemia sebagai kejadian
sekunder dari defisiensi G6PD memunculkan peningkatan kejadian
kernikterik dan kematian, namun pada kelompok populasi lain, hal ini
tidak ditemui. Kejadian ini dapat menunjukkan bahwa kejadian mutasi
dapat terjadi berbeda-beda pada setiap kelompok etnik.18
2. Hemolisis Akut
Hemolisis akut disebabkan oleh infeksi, mengkonsumsi kacang
fava atau terpajan dengan obat-obatan yang bersifat oksidatif. Kejadian
hemolisis terjadi setelah terpapar dengan stresor, namun tidak berlanjut
walaupun pemaparan dengan stressor tetap berlanjut. Hal ini dapat terjadi

19

karena eritrosit berusia tua yang memiliki kadar defisiensi enzim yang
lebih besar akan mengalami hemolisis lebih awal. Ketika sel eritrosit
dengan defiensi enzim G6PD telah mengalami hemolisis, sel eritrosit
muda dan retikulosit yang memiliki kadar aktifitas enzim lebih tinggi
mampu untuk bertahan terhadap kerusakan oksidatif tanpa mengalami
hemolisis.18
Obat obatan yang dapat menyebabkan hemolisis pada individu
dengan defisiensi enzim G6PD menyebabkan kerusakan oksidatif
sehingga memunculkan kejadian penghancuran eritrosit. Kejadian
hemolisis muncul 24-72 jam setelah terpapar, dengan perbaikan dalam 4- 7
hari. Obat-obat yang bersifat oksidatif bila dikonsumsi oleh seorang ibu
yang menyusui dapat ditransmisikan melalui air susu dan menyebabkan
hemolisis akut pada seorang anak yang mengalami defisiensi G6PD.18
Infeksi merupakan penyebab tersering dari hemolisis akut pada
individu dengan defisiensi G6PD. Namun mekanisme pasti bagaimana hal
ini terjadi belum sepenuhnya diketahui. Leukosit dapat melepaskan
oksidan saat proses fagositosis dan hal ini menyebabkan stres oksidatif
pada sel eritrosit. Agen penyebab infeksi tersering yang dapat
memunculkan hemolisis adalah salmonella, escherichia coli, betahemolityc streprococci, rickettsia, hepatitis virus dan virus influenza A.18

3. Hemolisis Kronis
Pada anemia kronik nonsperositosis, yang biasanya disebabkan
oleh mutasi gen sporadis, hemolisis terjadi selama metabolisme normal
eritrosit. Tingkat keparahan dari hemolisis bervariasi, menyebabkan
hemolisis ringan sampai anemia yang bergantung pada transfusi.
Pemaparan dengan stres oksidatif dapat menyebabkan hemolisis akut pada
individu ini.18

20

Tingkat keparahan dari defisiensi enzim G6PD umumnya dibagi menjadi 4


tingkatan. Tingkat I, mutasi berat dengan anemia hemolitik kronik non
sperositosis; tingkat II, intermidiet dengan < 10 % fungsi normal dari enzim
G6PD; tingkat III, ringan dengan 10-60% fungsi normal enzim G6PD; Tingkat IV,
asimptomatik dengan 60-100% fungsi normal enzim G6PD.15
Defek tingkat I mungkin disebabkan oleh mutasi pada regio enzim G6PD
yang merupakan lokasi pengikatan NADP+ atau G6P. Sementaran itu
latarbelakang genetik dari tingkat lainnya masih belum diketahui. Tingkat I
merupakan kejadian yang jarang terjadi dan dapat menjadi cukup berat sehingga
menyebabkan ketergantungan terhadapa transfusi. Pasien dengan defisiensi pada
tingkat I ini biasanya menderita anemia hemolitik non sperositosis. Sel eritrosit
pada pasien ini diketahui memiliki masa hidup yang lebih pendek dibandingakan
dengan sel eritrosit normal, walaupun sel eritrosit ini tidak terpapar dengan stres
oksidatif. Defisensi G6PD pada eitrosit ini menyebabkan sel eritrosit rentan untuk
mengalami kerusakan dari stres yang diperoleh selama dalam sirkulasi.15
Pasien dengan defisiensi tingkat II, III, dan IV biasanya asimptomatik.
Defisiensi tingkat III merupakan defek yang sering terjadi. Kejadian hemolisis
pada tingkat ini bersifat self limiting. Hanya sel eritrosit tua dengan kurang cukup
aktifitas enzim G6PD yang akan rentan lisis terhadap kejadian stres oksidatif.
Defisiensi tingkat II biasanya juga asimptomatik, namun baik pada kelompok
eritrosit muda maupun sel eritrosit tua sama-sama rentan terhadap stress oksidatif.
Kejadian hemolisis pada pasien dengan defisiensi tingkat II ini bersifat lebih berat
dan tidak bersifat self limiting. Kejadian hemolisis berhenti setelah penghilangan
dari agen penyebab stres oksidatif.15

Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis anemia defisiensi G6PD dapat dilakukan
pendekatan diagnosis berupa anamnesis, periksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.17 Pada anamnesis yang diperlu diperhatikan adalah adanya keluhan
kulit tampak pucat, kulit tampak kuning, adanya riwayat infeksi sebelumnya,

21

adanya

riwayat

konsumsi

obat-obatan

serta

substansi

yang

berpotensi

memunculkan hemolisis, dan juga adanya riwayat konsumsi beberapa makanan


yang berpotensi memunculkan hemolisis.18 (Tabel 1)
Tabel 1. Daftar obat-obatan dan substansi yang dapat memunculkan hemolisis
pada pasien defisiensi enzim G6PD19
Acetanilid
2. Acetylphenilhydrazine
3. Aldesulfone sodium
4. Arsine
5. Beta Naphthol (2-Naphtol)
6. Chloramphenicol
7. Chloroquine
8. Ciprofloxacin
9. Dapson
10. Dimercaprol
11. Doxorubicin
12. Furazolidone
13. Glibenclamide
14. Glucosulfone
15. Isobutyl Nitrite
16. Menadiol sodium sulfate (vitamin K4
sodium sulfate)
17. Menadione
18. Menadione sodium bisulfite (vitamin K3
sodium bisulfite)
19. Mepacrine (quinacrine)
20. Mesalazine-5-aminosalicyclic
Acid
(paraminosalicylic acid)
21. Metamizole
22. Methyltioninium Chloride
23. Nalidixid acid
24. Naphtalene, pure (naphtalin)
25. Niridazole
26. Nitrofural (nitrofurazone)
27. Nitrofurantoin

28. O-Acetylsalicylic
Axid
(acetylsalicylic acid)
29. Oxidase, urate (urate oxidase)
30. Pamaquine
31. pentaquine
32. phenacetin (acetophenetidin)
33. Phenazopyridine
34. Phynylhydrazine
35. Primaquine
36. Probenecid
37. Stibophen Sulfasetamide
38. Sulfamidine
39. Sulfafurazole
(sulfafurazone,
sulfisoxazole)
40. Sulfamethoxazole
41. Sulfanilamide (sulphanilamide)
42. Sulfapuridine
43. Sulfasalazine, salasosulfapyride
44. Thiazosulfone (thiazolesulfone)
45. Tolonium Chloride, tolonium chloride
(toluidine bliue)
46. Trinitrotoluene (2,4,6-Trinitrotoluene)
47. Kacang fava
48. Anggur merah
49. Inai (henna)
50. Kacang polong
51. Bluberi
52. Yogurt
53. Kedelai

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya kulit tampak pucat, konjungtiva
anemis, ikterik dan hepatopslenomegali.7
Pemeriksaan Penunjang
Berikut ini pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk defisiensi enzim
G6PD:

22

1. Hitung darah lengkap dan Hitung Retikulosit


Pemeriksaan hitung darah lengkap dan jumlah retikulosit sangat
penting untuk mendeteksi anemia hemolitik.20 Anemia bisa ditemui
dalam bentuk anemia sedang hingga sangat berat (nilai hemoglobin
2,5 gr/dL pernah dilaporkan pada pasien).10 Dalam keadaan tidak
adanya keadaan gangguan hematologi penyerta lainnya, kebanyakan
gambaran anemia hemolitik adalah jenis normositik normokrom.10
Kadar retikulosit yang sangat tinggi dan disertai dengan polikromasia
mungkin dapat dihubungkan dengan peningkatan Mean Cell Volume
(MCV) pada level antara 100-110 fL.10
Terdapat gambaran morfologi sel darah merah yang sangat
mencolok. Sering dapat ditemukan adanya anisositosis karena
terdapatnya sejumlah sel-sel dengan gambaran polikromatik dan
sejumlah

sel

dengan

gambaran

terkontraksi

yang

sebagian

diklasifikasikan sebagai sel sperositosis. Terdapat juga peningkatan


poikilositosis dengan adanya penyimpangan gambaran sel-sel darah
merah, terdapatnya gambaran sejumlah sel darah merah yang tidak
memiliki distribusi hemoglobin. Sel ini dikenal sebagai hemoghost
(Gambar 6).10 Mungkin gambaran poikilositosis yang paling khas
adalah gambaran sejumlah sel eritrosit yang terlihat penyok, seolaholah sebagian

dari sel eritrosit ini telah dicabut atau tergigit.

Gambaran ini dikenal dengan bite sel (gambar 6). Pemeriksaaan yang
teliti pada retikulosit dapat terlihat adanya badan terinklusi yang
terlihat berbeda dari sel retikolosit normal, badan terinklusi ini
berbentuk diskrit, bulat, dengan diameter 1 sampai 3 m dan mereka
biasanya muncul berdekatan dari sisi inferior terhadap membran sel
retikulosit. Badan inklusi ini lebih jelas ditampilkan melalui
pewarnaan supravital dengan metil violet dan disebut sebagai badan
Heinz. Badan Heinz terdiri dari endapan hemoglobin terdenaturasi.10

23

Gambar 6. Bitten sel dan ghost sel14

Gambar 7. Heinz Body14


2.

Combs Test
Penentuan diagnosis dari anemia hemolitik autoimun ditentukan dengan
pemeriksaan labor berupa deteksi adanya autoantibodi abnormal dari
penghancuran sel darah merah. Pemeriksaan Combs Test / Direct
Antiglobulin Test (DAT) dan tes titer dingin aglutinin adalah pemeriksaan
yang rutin dilakukan untuk mendeteksi adanya anemia hemolitik
autoimun.20

3. Kadar Bilirubin Indirek


Kadar bilirubin indirek merupakan salah satu tes yang sangat sensitif untuk
menilai tingkat kerusakan dari sel darah merah. Jika hemolisis meningkat
secara signifikan, kadar bilirubin indirek akan meningkat hingga mencapai
103 mg/dL pada pasien dengan aktifitas hemolisis yang meningkat.20

24

4. Serum Laktat Dehidrogenase (LDH)


Pada anemia hemolitik kadar serum LDH akan meningkat secara drastis
hingga melebihi 1000 IU.20
5. Pemeriksaan kadar enzim G6PD :
Untuk pemeriksaan kadar enzim G6PD secara kualitatif dapat dengan
menggunakan spektofotometer klasik. Biasanya didapatkan dalam sel
darah normal pada suhu 300C adalah 7-10 IU/g dari hemoglobin.5
Sedangkan untuk skrining, biasanya digunakan beberapa metode
yang sifatnya semi kuantitatif seperti seperti Beutler fluorescent spot test,
dichlorophenol indophenol decolourization, methemoglobin reduction test.
Pada tes ini akan didapatkan interpretasi hasil berupa normal atau
defisien. 5,17
a. Beutler fluorescent spot test merupakan tes yang paling terpercaya
dalam skrining defisiensi G6PD. Dengan menggunakan metode ini,
nilai produksi dari NADPH diukur di bawah sinar ultraviolet.
Sampel darah yang tidak memiliki defisiensi enzim G6PD akan
mempunyai tampilan floresensi yang terang, sedangkan sampel
darah dengan defisiensi G6PD akan menunjukkan sedikit atau
tidak ada sama sekali floresensi.17
b. Metode skrining yang lain pada defisiensi G6PD adalah
dichlorophenol-indophenol (DPIP) dye decolorization. Metode ini
digunakan untuk menetukan G6PD dalam sel darah merah. Dengan
menggunakan metode ini heterozigot dapat ditentukan dengan
lebih mudah dan dapat digunakan untuk skrining defisiensi G6PD
pada

populasi yang

lebih

ditambahkan ke dalam

besar. Sejumlah darah

pasien

larutan yang mengandung G6PD,

nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADP), dan


oxidized glutathione, diinkubasi selama 5-10 menit pada suhu
ruangan dan diteteskan pada kertas saring. Setelah kering, lalu
dilihat apakah terdapat dekolorisasi. 17,20

Penatalaksanaan
Strategi penatalaksaaan paling efektif pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah
dengan menghindari hemolisis melalui penghindaran terhadap stresor oksidatif
25

(seperti obat-obatan, infeksi dan kacang fava). Melalui strategi penghindaran ini,
diharapkan kewaspadaan dari individu dengan defisensi G6PD terhadap keadaan
defisiensi enzim yang mereka alami berdasarkan pengalaman hemolisis
sebelumnya. Kejadian hemolisis akut pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD
biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang singkat dan tidak membutuhkan
penatalaksaan spesisfik. Dalam kasus yang jarang terjadi (biasanya pada anak),
kejadian hemolisis akut menyebabkan terjadinya anemia yang berat dapat
menyebabkan diperlukannya transfusi sel darah merah.10
Tidak terdapat standar baku yaang dapat dijadikan acuan untuk
menentukan kapan seorang anak dengan defisiensi enzim G6PD yang mengalami
anemia hemolitik akut memerlukan tindakan transfusi darah, namun terdapat
beberapa guidline yang dapat di gunakan untuk pertimbangan melakukan transfusi
darah, yaitu:10
1. Jika tingkat hemoglobin dibawah 7 gr/dL, transfusi darah diindikasikan.
2. Jika tingkat hemoglobin di bawah 9 g / dL dan ada bukti hemolisis cepat
persisten (hemoglobinuria), transfusi darah langsung juga diindikasikan
3. Jika tingkat hemoglobin di atas 9 g / dL tetapi hemoglobinuria tetap
ditemukan atau jika tingkat hemoglobin adalah antara 7 dan 9 g / dL tetapi
tidak ada hemoglobinuria, anak tersebut harus diobservasi ketat selama
minimal 48 jam dan ditransfusikan jika kondisi baik 1 atau 2 berkembang.
Neonatal jaundice yang disebabkan oleh defisiensi G6PD ditatalaksana
dengan cara yang sama dengan kejadian neonatal jaundice yang disebabkan oleh
penyebab lain. Pasien-pasien dengan anemia hemolitik kongenital nonspherocytotic seringkali menunjukkan keadaan anemia yang terkompensai baik
yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun pasien-pasien dengan kondisi
ini harus dimonitor dengan ketat, karena kejadian eksaserbasi seperti infeksi atau
mengkonsumsi obat-obatan oksidatif dapat memperburuk derajat anemia. Sangat
jarang pasien dengan anemia hemolitik kongenital nonsperocytotic mengalami
ketergantungan transfusi darah. Pada keadaan ini pemberian agen chelating besi
harus diberikan. Antioksidan seperti vitamin E dan selenium nampak memberikan
manfaat pada pasien-pasien hemolisis kronis. Namun belum ada data yang
konsisten mendukung pendekatan ini.10

26

Analisis kasus
Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun 10 bulan didiagnosis dengan
anemia defisiensi enzim G6PD. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis ditemukan anak tampak pucat sejak 1 hari yang lalu, tampak kuning
27

sejak 1 hari yang lalu, adanya riwayat demam sejak 3 hari yang lalu, serta adanya
riwayat konsumsi obat yang bersifat stresor oksidatif yaitu kotrimoksazol. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan anak tampak pucat dan ikterik. Berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya anemia dengan Hb 6,5 gr/dL dan
MCV didapatkan nilai normal 80,2 fL; retikulositosis dengan nilai 3,9%;
peningkatan LDH; hiperbiluribunemia dengan hasil total bilirubin 3,16 mg/dL,
bilirubin direk 0,62 mg/dL, bilirubin indirek 2,54 mg/dL; hasil comb test negatif.
Hal ini sesuai dengan penegakan diagnosis melalui algoritma pendekatan
diagnosis anemia melalui MVH dan hitung retikulosit (gambar 8).8
Berdasarakan gambaran darah tepi didapatkan hasil gambaran darah tepi
yang normal, sehingga dilakukan pemeriksaan kuantitatif enzim G6PD. Hal ini
sesuai dengan alur diagnosis algoritma anemia hemolitik (Gambar 9). 21 Pada
pasien ini didapatkan hasil kuantitatif enzim G6PD 1,7 U/g Hb, dimana pada
pemeriksaan dengan menggunakan metode ini nilai normal adalah sebesar 7,814,4 U/g Hb.

28

Gambar 8. Pendekatan Diagnosis anemia dengan menggunakan MCV dan


hitung retikulosit8

29

Gambar 9. Alur Diagnosis Anemia Hemolitik21


Defisiensi G6PD merupakan kelainan enzim tersering pada manusia,
diperkirakan sekitar 400 juta di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi didapatkan di
daerah tropis, dan menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia
hemolitik akut di Asia Tenggara. Prevalensi di Indonesia diperkirakan sekitar 1%14%. Soemantri dan kawan-kawan mendapatkan prevalensi defisiensi G6PD di
Jawa Tengah sekitar 15%, sedangkan menurut Suhartati dan kawan-kawan di
pulau-pulau kecil Indonesia Timur 1,6% - 6,7%.11 Gen pengkode enzim G6PD
adalah salah satu gen terpenting yang berlokasi di regio telomerik lengan panjang
kromosomnX (Xq28), sehingga hal ini menyebabkan ganggguan lebih banyak
muncul pada laki-laki dibandingkan perempuan.17 Hal ini sesuai dengan kondisi
pasien yang merupakan anak laki-laki dan tinggal di Indonesia, serta
didapatkannya riwayat keluarga dari pihak ibu yang pernah menderita tampak
pucat dan tampak kuning.

30

Thalasemia merupakan salah satu penyebab dari anemia hemolitik defek


korpuskular dimana terjadi gangguan pada rantai globin.22 Sekitar 3% dari
penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi
sampai dengan 40% kasus adalah di Asia. Di Indonesia thalasemia merupakan
penyakit terbanyak diantara golongan anemia hemolitik dengan penyebab
intrakorpuskuler.22 Pada pasien juga ditemukan adanya gambaran klinis yang
menunjukkan terjadinya proses hemolisis, hal ini terlihat adanya keluhan pasien
tampak pucat, tampak kuning, serta peningkatan dari nilai bilirubin indirek dan
adanya gambaran anisositosis dan polikromasia pada gambaran darah tepi. Namun
pada pemeriksaan gambaran darah tepi pasien tidak ditemukan adanya gambaran
kelainan yang berhubungan dengan thalasemia seperti mikrositik hipokromik, sel
target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit,, basophilic
stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis.23 Pasien juga pikirkan diagnosis
banding dengan malaria, hal ini disebabkan pada pemeriksaan darah ditemukan
hasil anemia hemolitik dengan hasil pemeriksaan comb test negatif. Sesuai dengan
algoritma anemia hemolitik, pasien dengan hasil pemeriksaaan darah yang
menunjukkan anemia hemolitik dengan comb test negatif, dapat dipikirkan
kemungkinan penyebab infeksi pada pasien, dan langkah selanjutnya adalah
dengan melihat gambaran darah tepi.21 Pada pasien ini telah dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan hapus darah tepi dengan hasil tidak ditemukan parasit
malaria pada hapus darah tepi. Pasien juga telah dilakukan pemeriksaaan serologi
malaria dengan hasil malaria serologi negatif.
Berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan pada pasien ini, pasien
termasuk penderita anemia defisensi G6PD tingkat III. Berdasarkan literatur
didapatkan bahwa penderita anemia defisiensi G6PD tingkat III ini bersifat self
limiting.14 Pada pembagian variant dari G6PD berdasarkan lokasi dari mutasi pada
gen penyandi G6PD, pasien ini kemungkinan termasuk kedalam varian G6PD
Mediteranean, dimana berdasarkan dari literatur didapatkan bahwa variant G6PD
Mediteranean ini ditemukan pada semua negara disekitar laut mediterania dan
termasuk juga tersebar di daerah timur tengah, Israel, India dan Indonesia.10

31

Pencetus terjadinya hemolisis pada pasien awalnya dipikirkan adalah


akibat infeksi. Hal ini karena ditemukan adanya keluhan demam sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit dan peningkatan nilai leukosit. Infeksi adalah
fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap
mikroorganisme atau invasi mikroorganisme ke jaringan yang seharusnya steril.
Infeksi menyebabkan aktivasi sistem pertahanan tubuh seorang individu, baik
seluler maupun humoral. Pada fase tersebut makrofag dan sel-sel neutrofil lainnya
akan melakukan proses fagositosis dan melepaskan sejumlah mediator kimia,
termasuk sejumlah radikal bebas berupa spesies oksigen aktif. Oksidan
mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah
merah, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya lisis.11 Sumber infeksi pada
pasien ini dipikirkan adalah pada infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih
merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering pada anak selain infeksi
saluran nafas atas dan diare.23

Hal ini didukung dengan ditemukan adanya

leukosit urin positif pada pemeriksaan awal. Namun hal ini tidak didukung oleh
pemeriksaan urinalisis ulangan pada hari rawatan ke 2 yang memperlihatkan hasil
normal dan juga pada pemeriksaan kultur urin yang menunjukkan tidak ditemukan
pertumbuhan kuman yang patogen. Selain itu pada pasien ini semenjak hari
rawatan ke 2 sudah tidak adanya lagi keluhan demam dan pada pemeriksaan darah
ulangan ditemukan penurunan nilai leukosit dari sebelumnya. Keadaan ini
berkemungkinan karena pasien telah mengkonsumsi antibiotik kotrimoksazol
sebelumnya.
Pencetus lain terjadinya hemolisis pada pasien ini juga dipikirkan akibat
dari kontak dengan obat-obatan yang bersifat stresor oksidatif. Pada pasien ini
didapatkan adanya riwayat konsumsi obat sulfamethoxazol. Sulfamethoxazole
merupakan obat yang termasuk kedalam kelompok obat yang kontraindikasi
untuk diberikan pada pasien dengan defisensi enzim G6PD.24 Beberapa jenis obatobatan menyebabkan stres oksidatif dan memicu terjadinya hemolisis pada sel
darah merah yang menderita defisiensi enzim G6PD. Obat-obatan tersebut
membentuk hidrogen peroksida ketika berkontak dengan hemoglobin.6 Ketika
terjadi reaksi ini, gluthation tereduksi mengalami oksidasi secara cepat, sehingga
terjadi gangguan pada pool dari gluthation. Keadaan ini menyebabkan

32

hemoglobin mengalami denaturasi dan terbentuk Heinz body. Heinz body merusak
membran sel darah merah lalu memicu terjadinya hemolisis dan anemia akut. Sel
darah merah dengan defisiensi enzim G6PD tidak mampu mereduksi NADP
menjadi NADPH, dimana NADPH ini dibutuhkan untuk membentuk gluthation
tereduksi dari bentuk oksidasinya. Gluthation tereduksi ini memiliki peranan
penting sebagai perlindungan sel melawan cedera oksidatif yang menyebabkan
hemolisis.17

Gambar 10. Interaksi obat-obatan denggan sel darah merah yang menghasilkan hidrogen
peroksida.6

Selama rawatan anak hanya mendapat terapi makanan biasa 1200 Kkal
dan parasetamol 130 mg (T38,5 0C), tidak dilakukan tindakan trasnfusi darah .
Transfusi darah diberikan pada keadaan terjadinya hemolisis berat yang
memunculkan anemia berat yang mengancam nyawa.8 Tidak terdapat standar baku
yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan kapan seorang anak dengan
defisiensi enzim G6PD yang mengalami anemia hemolitik akut memerlukan
tindakan transfusi darah.10 Menurut Aboud (2011), didapatkan bahwa indikasi
trasnfusi darah diberikan pada anak dengan hemoglobin < 9 gr/dL. 16 Sedangkan
menurut Luzzatto (2009) dinyatakan bahwa transfusi darah diberikan pada anak
anemia penderita defisiensi enzim G6PD bila hemoglobin < 7 gr/dL. 10 Komplikasi
terpenting yang memerlukan tindakan trasnfusi darah adalah gagal ginjal, namun
keadaan ini jarang pada anak.10 Pada saat rawatan hari ke 6 dilakukan
pemeriksaan ulang darah lengkap pada pasien dan didapatkan hasil peningkatan
hemoglobin dari sebelumnya. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan
bahwa anemia akibat defisiensi G6PD bersifat self limited disease.17 Kejadian
hemolisis muncul 24-72 jam setelah terpapar, dengan perbaikan dalam 4- 7 hari.18

33

Daftar Pustaka
1. Regil LZ. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and
assessment of severity. WHO/NMH/MNM; 2014: 1-5.
2. Rinaldi I, Sudoyo AW. Anemia hemolitik non imun. Dalam : Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editor. Buku ajar penyakit
dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007; 4 (2):
p.622-53
3. Dhaliwal G, Patricia AC, Lawrence MT. Hemolytic anemia. Americans
Family Physician. 2004; 69: 2599-606
4. Berth. Hereditary hemolytic anemias due to red blood cell enzym disorder.
In : Wintrobe clinical hematology. Edisi 12. New York: Wolters Kluwer
Health; 2009. p. 933-41
5. Luzzatto L, Vincenzo P. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency.
In : Hematology of infancy and childhood. Canada: Saunder Elsevier Inc;
2009. p. 884-00
6. Beutler E. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. A historical
perspective. Blood; 2008; 111: 16-24.
7. Provan D, Charles RJS, Trevor B, John L. Glucose-6-phosphate
dehydrogenase deficiency. In Oxford handbook of clinical haematology
second edition. New York: Oxford University Press Inc; 2004. p. 102-3
8. Lanzkowsky P. Red cell membrane and enzyme defects. manual of
pediatric hematology and oncology. New York: Elsevier Inc; 2011. p. 1949
9. Zhao X, Li Z, Zhang XY. G6PD-MutDB: A mutation and phenotype
database of glucose-6-phosphate (G6PD) deficiency. Journal of
bioinformatics and computational biology. 2010; 8: 101-9.
10. Cappellini MD, Fiorelli G. Glucose-6-phosphate dehydrogenase
deficiency. Lancet.2008; 37: 64-74
11. Wibowo S. Perbandingan kadar bilirubin neonatus dengan dan tanpa
defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase, infeksi dan tanpa infeksi
[Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2007
12. Minareci E, Uzunoglu S, Minareci O. Incidence of severe glucose-6phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency in countryside villages of the
central city of manisa, turkey. Manisa: Eur J Gen Med. 2006; 3: 5-10.
13. Raharjani KB. Kadar bilirubin neonatus dengan defisiensi glucose-6phosphate dehydrogenase yang mengalami infeksi atau tanpa infeksi. Sari
Pediatri. 2008; 10: 122-8.
14. HowesRE, Frederic BP, Anand PP, Oscar AN, Peter WG. G6PD deficiency
prevalence and estimates of affected populations in malaria endemic
countries. A geostatistical model-based map. Plos Medicine. 2012; 9: 1101
15. Peters AL, Cornelis JFVN. Glucose-6-phosphate dehydrogenase
deficiency and malaria. Cytochemical detection of heterozygous G6PD

34

deficiency in women. Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 2009;


57: 1003-11
16. Aboud LN. Occurrence of "G6PD" enzyme deficiency among children
suffering from hemolytic anemia in Gaza Palestine [Tesis]. Gaza:
Islamic University-Gaza; 2011.
17. Farhud DD, Yazdanpanah L. Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)
deficiency. Iranian J Publ Health. 2008; 37: 1-18
18. Frank JE. Diagnosis and management of G6PD deficiency. American
family physician. 2005; 72: 1277-82
19. Drugs that should be avoided-official list. 2014 [diakses 15 februari 2014].
Diunduh dari: www.g6pd.org
20. Hillman RS, Kenneth AA, Henry MR. Hemolytic anemias. In Hematology
in clinical practice. Portland: Mc Graw Hill; 2005. p. 135-51
21. Deters A, Kulozik AE. Hemolytic anemia. Practical algorithms in pediatric
hematology and oncology. New York: Karger; 2003. p. 18-9
22. Bulan S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak
thalassemia beta mayor [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro;2009.
23. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus
infeksi saluran kemih pada anak. Jakarta: Badan penerbit Ikatan Dokter
Indonesia; 2011
24. Afssaps. Medicinal products and glucose-6-phosphate dehydrogenase
(G6PD) deficiency.2008 [diakses 21 Oktober 2013]. Diunduh dari:
www.afssaps.sante.fr

Incidence of severe Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)


deficiency in countryside villages of the central city of manisa
Minareci E, Uzunoglu S, Minareci O

35

i. Clinical Question :
Apakah kejadian anemia hemolitik ec defisiensi enzim G6PD
ditemukan dinegara lain?
ii. Component of Foreground Question (PICO)
Problem : Insiden kejadian defisiensi enzim G6PD sering menjadi
penyebab terjadinya anemia hemolitik
Intervention : Comparison : Outcome :
Dari 1604 orang penduduk yang diperiksa enzim G6PD,
didapatkan hasil 35 orang memiliki defisiensi berat enzim
G6PD. Insiden kejadian defisiensi berat enzim G6PD pada
populasi ini didapatkan sebesar 2,2%. Terdapat perbedaaan
insidensi antara pria (3,2%) dan wanita (1,14%). Insidensi
kejadian defisiensi enzim G6PD yang tinggi ini
menunjukkan bahwa penyakit ini merupakan masalah
kesehatan yang penting di daerah Manisa dan oleh karena
itu diperlukan tindakan skrining dalam jumlah besar untuk
pendeteksian defisiensi enzim ini. Hal ini karena defisiensi
ini berhubungan dengan suatu masalah kesehatan yang
dapat dicegah.
iii. Invsetigation Methode:
Keyword : defisiensi enzim G6PD, kejadian defisiensi enzim berat,
pemeriksaan skrining defisiensi enzim G6PD.
Found in an article to answer the clinical question with
Title : Incidence of Severe Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase
(G6PD) Deficiency in Countryside Villages of the Central City of
Manisa, Turkey. Eur J gen Med. 2006; 3 (1): 5-10.

36

Anda mungkin juga menyukai