Kasus Revisi 4
Kasus Revisi 4
Kepada Yth,
Oleh
Bapak/Ibu
: Fredyton Rizminardo
Pendahulauan
Anemia adalah suatu kondisi jumlah sel darah merah (dan sebagai
konsekuensinya kapasitas pengangkutan oksigen) tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh.1 Pada dasarnya anemia disebabkan oleh
gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar
dari tubuh (perdarahan) dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya.2 Hemolisis adalah penghancuran atau pengeluaran sel darah merah dari
sirkulasi sebelum masa hidup normalnya 120 hari. Hemolisis dapat berlangsung
sepanjang hidup sebagai kondisi yang asimptomatis, juga dapat memunculkan
anemia ketika proses eritropoesis tidak dapat memenuhi kebutuhan yang
ditimbulkan oleh proses destruksi sel eritrosit. Hemolisis juga dapat
bermanifestasi sebagai jaundice atau hanya muncul sebagai retikulositosis.3
Etiologi hemolisis dikategorikan sebagai didapat (acquired) atau
diturunkan (herediter). Penyebab umum anemia hemolitik didapat adalah
autoimun, mikroangiopati dan infeksi. Sedangkan penyebab hemolitik heriditer
adalah gangguan pada enzim sel darah merah, ganguan pada membran sel darah
merah dan gangguan pada hemoglobin.3 Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase
(G6PD) merupakan enzim pertama jalur pentosafosfat pada proses glikolisis, yang
mengubah Glucose-6-Phosphate menjadi 6-Phospho-Gluconate dan mereduksi
Nicotinamiden Adenine Dinucleotide Phospate (NADP) menjadi bentuk
tereduksinya Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH).3-5
Defisiensi glucose 6 phosphate dehydrogenase menyebabkan hemolisis pada
kondisi stres oksidatif.3
Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia,
disebabkan mutasi pada gen G6PD yang terkait kromosom sex (x-linked),
sehingga pada umumnya ditemukan pada laki laki.6-8 Defisiensi G6PD
diperkirakan mempengaruhi lebih dari 400 500 juta lebih orang di seluruh
dunia. Paling banyak dilaporkan dari Afrika, Eropa, Timur Tengah dan Asia
Tenggara.4,5,9,10 Sekitar 7,5% penduduk dunia membawa satu atau dua gen
defisiensi G6PD, proporsinya mulai dari 35% di beberapa bagian Afrika hingga
0,1% di Jepang dan sebagian Eropa. Prevalensi di Indonesia diperkirakan sekitar
1%-14%. Soemantri dan kawan-kawan, mendapatkan prevalensi defisiensi G6PD
di Jawa Tengah sekitar 15%, sedangkan menurut Suhartati dan kawan-kawan, di
pulau-pulau kecil Indonesia Timur didapatkan
sebesar 1,6-6,7%.11 Di rumah sakit Dr.M.Djamil Padang, data yang diperoleh dari
bagian rekam medik dari 1 januari 2013 hingga 31 desember 2013 didapatkan
adanya 35 orang pasien yang didiagnosis sekunder sebagai anemia hemolitik ec
defisiensi enzim G6PD.
Seseorang dengan defisiensi enzim G6PD tidak menunjukkan gejala dan
kelainan secara hematologi. Pecahnya eritrosit terjadi bila penderita terpapar
bahan eksogen yang potensial menimbulkan kerusakan oksidatif, yaitu obatobatan, bahan kimia, infeksi dan kacang fava.5,9,12,13 Manifestasi klinis yang paling
sering pada defisiensi G6PD adalah penyakit kuning neonatal dan anemia
hemolitik akut yang biasanya dipicu oleh agen eksogen. Beberapa varian G6PD
dapat menyebabkan hemolisis kronis. Manajemen yang paling efektif pada
defisiensi G6PD adalah mencegah hemolisis dengan menghindari stres
oksidatif.9,10
Tujuan penulisan kasus ini adalah untuk mengingatkan kembali gambaran
klinis yang muncul pada anak dengan defisiesi enzim G6PD, penegakan
diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan variasi klinis G6PD
beserta tatalaksananya.
Illustrrasi Kasus
Seorang anak laki-laki, usia 2 tahun 10 bulan, dirawat dibangsal ilmu kesehatan
anak RSUP Dr.M.Djamil selama 7 hari (29 September 2013- 5 Oktober 2013).
Aloanamnesis diperoleh dari ibu dan ayah kandung pasien.
Keluhan Utama : Tampak pucat sejak 1 hari yang lalu
Riwayat penyakit sekarang :
Demam sejak 3 hari yang lalu, tidak tinggi, hilang timbul, tidak menggigil, tidak
berkeringat, tidak disertai kejang. Orang tua baru menyadari anak tampak pucat
sejak 1 hari yang lalu. Mata terlihat kuning sejak 1 hari yang lalu. Nafsu makan
berkurang sejak sakit, biasanya anak makan 2- 3 kali perhari dengan nasi 1/3
porsi dewasa perkali, lauk pauk daging 1 kali per minggu dan ikan 2-3 kali
perminggu, ayam 2-3 kali perminggu, telur 6-8 kali perminggu, sayur 6 kali
perminggu dan buah 4 kali perminggu. Sejak sakit anak hanya makan 1-2 kali
perhari. Batuk tidak ada. Pilek tidak ada.Sesak nafas tidak ada. Mual dan muntah
tidak ada. Keluar cairan dari telinga tidak ada. Riwayat perdarahan dari kulit, gusi
dan saluran cerna tidak ada. Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria tidak
ada. Riwayat mendapat transfusi darah tidak ada. Buang air besar warna dan
konsistensi biasa. Buang air kecil warna dan jumlah biasa. Keluhan nyeri saat
buang air kecil tidak ada. Anak dibawa berobat ke puskesmas 3 hari yang lalu
karena batuk dan demam , diberikan obat batuk puyer (nama dan jenis obat tidak
diketahui keluarga) dan antibiotik amoksisilin sirup. Kemudian atas anjuran
tetangga pasien, orang tua mengganti antibiotik dengan antibiotik kotrimoksazol
sirup pada anak. Karena anak masih demam dan tampak pucat, orang tua lalu
membawa anak berobat ke RST Reksodiwiryo dan dilakukan pemeriksaan darah
dengan hasil Hb 6,4 gr/dL, leukosit 19.500/mm3, trombosit 548.000/mm3,
hematokrit 21%. Kemudian atas permintaan keluarga, anak dirujuk ke RSUP
Dr.M.Djamil dengan katerangan febris + anemia ec ?
Pedigree
Keterangan
Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak kedua dari dua orang bersaudara, lahir spontan, cukup
bulan, ditolong bidan, berat badan lahir 4400 gr, panjang badan lahir 51 cm,
langsung menangis kuat.
Riwayat Imunisasi
Pasien mendapat imunisasi dasar BCG diberikan usia 2 bulan, parut BCG ada,
DPT diberikan 3 kali pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan, polio 3 kali pada usia
2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, hepatitis B diberikan 3 kali usia 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan, campak umur 9 bulan. Kesan imunisasi dasar lengkap, booster belum
pernah diberikan.
sumber air minum dari air sumur gali, buang air besar di wc diluar rumah, sampah
dibakar, pekarangan luas. Kesan higiene dan sanitasi lingkungan cukup.
Riwayat Nutrisi
Anak mendapat ASI dari lahir sampai saat umur 2 tahun. Bubur susu mulai usia 6
bulan sampai usia 8 bulan, nasi tim mulai usia 8 bulan sampai 12 bulan dan nasi
biasa mulai usia 1 tahun sebanyak 2-3x perhari dengan nasi 1/3 pors dewasa,
lauk pauk
daging 1x per minggu dan ikan 2-3 x per minggu, ayam 2-3 x
perminggu, telur 6-8 x/minggu, sayur 5x/minggu dan buah 4x/ minggu. Kesan :
kualitas dan kuantitias cukup
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum tampak sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 110 kali permenit,
tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi nafas 24 kali permenit, suhu 37,1 oC,
sianosis tidak ada, edema tidak ada, anemis ada, ikterik ada. Status gizi: berat
badan 13 kg, tinggi badan 87 cm. Berdasarkan kurva CDC, berat badan
berdasarkan umur 92,85%, tinggi badan berdasarkan umur 92,5 %, berat badan
berdasarkan tinggi badan 102,3%, kesan gizi baik. Kulit teraba hangat, dan
tampak pucat. Tidak teraba pembesaran kelenjer getah bening. Mata: konjungtiva
anemis, sklera ikterik, pupil isokor 2 mm, reflek cahaya +/+ normal. Tenggorokan
tampak tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis, mukosa mulut dan
bibir basah. Tekanan vena jugularis 5-2 cmH 2O. Thorak: normochest, simetris,
suara nafas vesikuler, ronkhi dan wheezing tidak ada. Iktus cordis tidak terlihat,
ictus cordis teraba 1 jari medial linea midklavikularis kiri ruang interkostal V.
Batas jantung atas ruang intercostal II, kanan linea sternalis dextra, dan kiri 1 jari
medial linea midklavikularis kiri ruang interkostal V, irama teratur, bising tidak
ada. Abdomen tidak distensi,supel, hepar dan lien tidak teraba, perkusi timpani,
bising usus (+) normal. Genitalia tidak ditemukan kelainan. Status pubertas
A1P1G1. Akral hangat refilling kapiler baik, reflek fisiologis positif normal, dan
reflek patologis negatif.
Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin 6,5 g/dl, leukosit 18.500/mm3, hitung jenis 0/0/3/57/37/1 mielosit 1,
metamielosit
1,
hematokrit
19,1
%,
eritrosit
2,3
juta/mm3,
Trombosit:503.000/mm3, MCH: 27,3 pg, MCV: 80,2 fl, MCHC: 34%, retikulosit
3,9%. Kesan: anemia normositik normokrom. Gambaran darah tepi: eritrosit:
normokrom anisositosis, polikromasi (+), leukosit: leukositosis dengan neutrofilia
shift to the left, dan tombosit: jumlah meningkat. Hasil urinalisis: protein (-),
reduksi (-), leukosit +, eritrosit (-), bilirubin (-), urobilinogen (+) kesan: suspek
infeksi saluran kemih. Pemeriksaan feses dalam batas normal.
Daftar Masalah
1. Suspek anemia hemolitik ec anemia hemolitik autoimun
Dd/ ec anemia hemolitik non imun Dd/ ec G6PD
Thalasemia
Malaria
2. Suspek infeksi saluran kemih (ISK)
3. Tidak mendapat booster imunisasi
Diagnosis kerja
1. Suspek anemia hemolitik ec anemia hemolitik autoimun
Dd/ ec anemia hemolitik non imun ec suspect defisiensi G6PD
Dd/ ec Thalasemia
Malaria
2.
TATALAKSANA
1. Suspek anemia hemolitik ec anemia hemolitik autoimun
Dd/ ec anemia hemolitik non imun ec suspect defisiensi G6PD
Dd/ ec Thalasemia
Malaria
a.
Diagnostik : Bilirubin total, direk dan indirek, comb test, serologi malaria, slide
darah tepi malaria, HPLC
b. Terapeutik: ML 1200 kkal, parasetamol 130 mg bila T 38,5 0C, rencana
transfusi darah bertahap.
c. Edukasi : diagnosis, tatalaksana, dan prognosis
2. Suspek infeksi saluran kemih
a. Diagnostik : kultur urin
b. Terapeutik:
diambil.
c. Edukasi: berkemih sebelum tidur, menganjurkan banyak minum
PEMANTAUAN
30 September 2013 ( hari rawatan ke 2)
Pasien tidak demam pagi ini, malam hari sebelumnya pasien masih demam, tidak
tinggi, anak masih tampak pucat dan ikterik, kejang tidak ada, batuk dan pilek
tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak ada, buang air kecil warna
dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.
Keadaan umum tampak sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 100 kali
permenit, frekuensi nafas 24 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 37,2
C, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak
ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan: anemia. Terapi
dilanjutkan.
sesuai dengan anemia hemolitik. Comb test : hasil negatif; kesan: tidak sesuai
dengan anemia hemolitik autoimun. Tidak ditemukan parasit malaria pada sediaan
hapus darah tepi. Direncanakan untuk pemeriksaan serologi malaria. Hasil
pemeriksaan urinalisis protein (-), glukosa (-), leukosit 0-1/LPB; eritrosit 0-1 /
LPB; silinder (-), kristal (-), epitel gepeng (+), bilirubin (-), urobilinogen (+),
kesan : dalam batas normal; tunggu hasil kultur urin.
Didapatkan kesan anemia dan ikterik, dipikirkan defisiensi enzim G6PD;
sikap: direncanakan pemeriksaan enzim G6PD.
10
Demam tidak ada, kejang tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada, sesak nafas
tidak ada, mual dan muntah tidak ada, perdarahan tidak ada, buang air kecil warna
dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.
Keadaan umum tampak masih sakit sedang, sadar, laju denyut nadi 98 kali
permenit, frekuensi nafas 23 kali permenit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36,9
C, konjungtiva anemis, sklera ikterik. Pemeriksaan jantung dan paru tidak
ditemukan kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan: hemodinamik
stabil. Terapi dilanjutkan. Hasil pemeriksaan enzim G6PD belum keluar. Pasien
diperbolehkan pulang dengan anjuran kontrol ulang poliklinik.
7 Oktober 2013
Hasil pemeriksaan enzim G6PD selesai dan menunjukkan hasil penurunan enzim
G6PD dengan hasil 1,7 U/g Hb. Sedangkan nilai normal 7,0-10,4 U/g Hb.
Kesan : sesuai dengan anemia ec defisiensi enzim G6PD;
Sikap :
-
11 November 2013
11
Demam tidak ada, kejang tidak ada, anak tidak tampak pucat, pilek tidak ada,
batuk tidak ada, muntah tidak ada, sesak nafas tidak ada, mual dan muntah tidak
ada, perdarahan tidak ada, buang air kecil jumlah dan warna biasa, buang air besar
warna dan konsistensi biasa. Pada pemeriksaan jantung dan paru tidak ditemukan
kelainan. Abdomen tidak ditemukan kelainan. Kesan : hemodinamik stabil;
Anak dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap dengan hasil Hb 11,6
gr/dL; Ht 33%, leukosit 9.040/mm3; hitung jenis 0/0/9/45/39/5; mielosit 1,
metamielosit 1,
juta/mm3;
Kesan : Peningkatan Hb dari sebelumnya
Tinjauan Pustaka
12
Definisi
Defisiensi G6PD adalah suatu kelainan enzim yang terkait kromosom sex (xlinked), yang diwariskan, dimana aktifitas atau stabilitas enzim G6PD menurun,
sehingga menyebabkan pemecahan sel darah merah pada saat seorang individu
terpapar oleh bahan eksogen yang potensial menyebabkan kerusakan oksidatif.11
Epidemiologi
Defisiensi enzim G6PD merupakan penyakit defisiensi enzim tersering pada
manusia, sekitar 2-3% dari seluruh populasi di dunia, diperkirakan sekitar 400 juta
manusia di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi ditemukan di daerah tropis,
ditemukan dengan frekuensi yang bervariasi pada berbagai ras Timur Tengah,
India, Cina, Malayu, Thailand, Filipina dan Melanesia.11,12
Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia
hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia prevalensinya
diperkirakan 1-14%, prevalensi defisiensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah
sebesar 15%, di pulau-pulau kecil yang terisolasi di Indonesia bagian Timur
(pulau Babar, Tanimbar, Kur dan Romang di Propinsi Maluku), disebutkan bahwa
prevalensi defisiensi G6PD adalah 1,6-6,7% (Gambar1).11
13
Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk
mempertahankan bentuk, volume, kelenturan (fleksibilitas), dan regulasi pompa
natrium-kaliumnya. Energi ini diperoleh dari glukosa melalui dua jalur
metabolisme, yaitu 80% dari proses glikolisis anaerobik (jalur Emden-Meyerhof)
yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase serta enzim
piruvat kinase, dan 20% dari proses glikolisis aerobik (jalur Pentosa Fosfat)
dengan bantuan enzim G6PD untuk menghasilkan glutation yang penting untuk
melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan (Gambar 2). 11
Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan G6PD dapat
mempermudah dan mempercepat hemolisis, yang paling sering mengalami
defisiensi adalah G6PD.2
Enzim G6PD merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam amino
dengan berat molekuler 59,265 kilodalton. Enzim G6PD merupakan enzim
pertama jalur pentosa phospat, yang mengubah glukosa 6 phospat menjadi 6
fosfogluconat pada proses glikolisis. Perubahan ini menghasilkan Nicotinamide
Adenine Dinucleotide Phospate (NADPH), yang akan mereduksi glutation
14
menjadi
katalis
phosphoglucunolactone
dinucleotidephosphate
oksidasi
oleh
(NADP),
phosphogluconolactone
glukosa-6-fosfat
ko-enzim
yang
menghidrolisis
dikurangi
secara
menjadi
nikotinamida
menjadi
spontan
adenin-
NADPH.
menjadi
666-P-
phosphogluconolactone.11
15
6-P-phosphogluconolactone ini berfungsi sebagai substrat untuk 6phosphogluconate dehidrogenase dan NADP. 6 phospogluconolactone kemudian
dirubah menjadi bentuk ribose-5-phosphate melalui 6-P-phosphogluconolactone
dan ribolose-5-phospate. Reaksi ini dapat disimpukan sebagai berikut:16
G6P + 2NADP+ + H2O R5P + 2NADPH + 2H+ + CO2
Ribose-5-phosphate dibutuhkan sebagai prekursor dalam biosintesis
sejumlah molekul penting seperti ATP, CoA, NAD, FAD, RNA dan DNA. Selain
itu, ribose-5-phosphate ini juga dapat dirubah kembali menjadi senyawa
intermidiete dalam glikoisis.16 Ketika terjadi perubahan glucose-6-phosphate
menjadi 6-phosphoglucunolactone malalui peranan enzim glucose 6 phosphate
dehydrogenase, terbentuk suatu reduktan metabolit penting yaitu NADPH.
NADPH ini sangat penting peranannya dalam pembentukan glutation tereduksi
(GSH) dari bentuk teroksidasinya (GSSG) dan juga NADPH berperanan penting
dalam mempertahankan sumber GSH intraseluler.17
Senyawa GSH pada awalnya adalah suatu glutation bentuk disulfida
(glutation teroksidasi, GSSG) yang direduksi menjadi glutation bentuk sulfhidril
(glutation tereduksi, GSH). Reduksi GSSG menjadi GSH dilakukan oleh NADPH,
pada jalur pentosa fosfat, dimana pada jalur metabolisme ini NADPH dibentuk
bila glucose-6-phosphate dioksidasi menjadi 6-fosfogluconat dengan bantuan
enzim G6PD (gambar 4).11 Fungsi GSH adalah mempertahankan residu sistein
pada hemoglobin dan protein-protein lain pada membran eritrosit agar tetap dalam
bentuk tereduksi dan aktif, mempertahankan hemoglobin dalam bentuk fero,
mempertahankan struktur normal sel darah merah, serta berperan dalam proses
detoksifikasi, dimana GSH merupakan substrat kedua bagi enzim gluthation
peroksidase dalam menetralkan hidrogen peroksida yang merupakan suatu
oksidan yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah
merah.11
16
17
Genetik
Gen G6PD terdiri dari 13 ekson dan 12 intron yang tersebar pada daerah seluas
lebih 100 kb pada ujung terminal lengan panjang kromosom X. Lokasi ini secara
lokasi berdekatan dengan gen yang mengkode hemofilia A, Dyskeratosis
kongenital dan buta warna.5 Defisiensi G6PD terjadi akibat mutasi gen G6PD, ada
lebih dari 400 mutasi yang telah diketahui, sebagian besar adalah mutasi
missense.18
Defisiensi ini merupakan suatu penyakit sex-linked. Laki-laki hanya
mempunyai 1 kromosom X, sehingga jika terjadi mutasi maka defisensi G6PD
akan muncul atau bermanifestasi. Wanita mempunyai 2 kromosom X, sehingga
jika terdapat 1 gen yang yang abnormal karena mutasi, pasangan atau allelenya
dapat menutup kekurangan tersebut, sehingga defisiensi G6PD bisa bemanifestasi
namun dapat pula tidak. Defisiensi G6PD meliputi berbagai mutasi gen G6PD
yang berbeda-beda dan tidak bereaksi sama, hal ini menjelaskan mengapa
individu defisiensi G6PD menunjukkan reaksi berbeda dengan faktor pencetus
yang sama. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat membantu
mengidentifikasi adanya mutasi.11 Berdasarkan lokasi mutasi pada gen pengkode
enzim G6PD, terdapat 5 tipe defisiensi G6PD yang paling umum ditemukan, yaitu
G6PD A-(202A), G6PD Mediteraranean, G6PD Seatle, G6PD A- (986C), dan
G6PD Union (Gambar 5).10
Gambar 5. Mutasi yang sering terjadi sepanjang ekson pengkode gen G6PD10
18
Manifestasi klinis
Terdapat 3 manifestasi klinis umum yang dapat muncul pada individu dengan
defisiensi enzim G6PD, yaitu :
1. Hiperbilirubinemia Neonatus
Prevalensi kejadian hiperbilirubinemia pada laki-laki yang
membawa gen defek defisiensi dan pada wanita homozigot pembawa gen
defek defisensi dua kali lipat dibandingkan populasi umum. Kejadian ini
jarang
muncul
pada
wanita
heterozigot.
Mekanisme
terjadinya
pada
neonatus
dengan
defisiensi
G6PD.
Kejadian
bilirubin
oleh
hepar
yang
menyebabkan
terjadinya
hiperbilirubinemia indirek.18
Defisiensi G6PD harus dipertimbangkan pada neonatus yang
mengalami hiperbilirubinemia dalam 24 jam pertama kehidupan, adanya
riwayat ikterik pada saudara kandung, kadar bilirubin lebih besar dari
persentil 95, dan pada jenis kelamin laki-laki dari ras Asia. Defisiensi
G6PD
dapat
memicu
peningkatan
risiko
kejadian
early
onset
19
karena eritrosit berusia tua yang memiliki kadar defisiensi enzim yang
lebih besar akan mengalami hemolisis lebih awal. Ketika sel eritrosit
dengan defiensi enzim G6PD telah mengalami hemolisis, sel eritrosit
muda dan retikulosit yang memiliki kadar aktifitas enzim lebih tinggi
mampu untuk bertahan terhadap kerusakan oksidatif tanpa mengalami
hemolisis.18
Obat obatan yang dapat menyebabkan hemolisis pada individu
dengan defisiensi enzim G6PD menyebabkan kerusakan oksidatif
sehingga memunculkan kejadian penghancuran eritrosit. Kejadian
hemolisis muncul 24-72 jam setelah terpapar, dengan perbaikan dalam 4- 7
hari. Obat-obat yang bersifat oksidatif bila dikonsumsi oleh seorang ibu
yang menyusui dapat ditransmisikan melalui air susu dan menyebabkan
hemolisis akut pada seorang anak yang mengalami defisiensi G6PD.18
Infeksi merupakan penyebab tersering dari hemolisis akut pada
individu dengan defisiensi G6PD. Namun mekanisme pasti bagaimana hal
ini terjadi belum sepenuhnya diketahui. Leukosit dapat melepaskan
oksidan saat proses fagositosis dan hal ini menyebabkan stres oksidatif
pada sel eritrosit. Agen penyebab infeksi tersering yang dapat
memunculkan hemolisis adalah salmonella, escherichia coli, betahemolityc streprococci, rickettsia, hepatitis virus dan virus influenza A.18
3. Hemolisis Kronis
Pada anemia kronik nonsperositosis, yang biasanya disebabkan
oleh mutasi gen sporadis, hemolisis terjadi selama metabolisme normal
eritrosit. Tingkat keparahan dari hemolisis bervariasi, menyebabkan
hemolisis ringan sampai anemia yang bergantung pada transfusi.
Pemaparan dengan stres oksidatif dapat menyebabkan hemolisis akut pada
individu ini.18
20
Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis anemia defisiensi G6PD dapat dilakukan
pendekatan diagnosis berupa anamnesis, periksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.17 Pada anamnesis yang diperlu diperhatikan adalah adanya keluhan
kulit tampak pucat, kulit tampak kuning, adanya riwayat infeksi sebelumnya,
21
adanya
riwayat
konsumsi
obat-obatan
serta
substansi
yang
berpotensi
28. O-Acetylsalicylic
Axid
(acetylsalicylic acid)
29. Oxidase, urate (urate oxidase)
30. Pamaquine
31. pentaquine
32. phenacetin (acetophenetidin)
33. Phenazopyridine
34. Phynylhydrazine
35. Primaquine
36. Probenecid
37. Stibophen Sulfasetamide
38. Sulfamidine
39. Sulfafurazole
(sulfafurazone,
sulfisoxazole)
40. Sulfamethoxazole
41. Sulfanilamide (sulphanilamide)
42. Sulfapuridine
43. Sulfasalazine, salasosulfapyride
44. Thiazosulfone (thiazolesulfone)
45. Tolonium Chloride, tolonium chloride
(toluidine bliue)
46. Trinitrotoluene (2,4,6-Trinitrotoluene)
47. Kacang fava
48. Anggur merah
49. Inai (henna)
50. Kacang polong
51. Bluberi
52. Yogurt
53. Kedelai
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya kulit tampak pucat, konjungtiva
anemis, ikterik dan hepatopslenomegali.7
Pemeriksaan Penunjang
Berikut ini pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk defisiensi enzim
G6PD:
22
sel
dengan
gambaran
terkontraksi
yang
sebagian
Gambaran ini dikenal dengan bite sel (gambar 6). Pemeriksaaan yang
teliti pada retikulosit dapat terlihat adanya badan terinklusi yang
terlihat berbeda dari sel retikolosit normal, badan terinklusi ini
berbentuk diskrit, bulat, dengan diameter 1 sampai 3 m dan mereka
biasanya muncul berdekatan dari sisi inferior terhadap membran sel
retikulosit. Badan inklusi ini lebih jelas ditampilkan melalui
pewarnaan supravital dengan metil violet dan disebut sebagai badan
Heinz. Badan Heinz terdiri dari endapan hemoglobin terdenaturasi.10
23
Combs Test
Penentuan diagnosis dari anemia hemolitik autoimun ditentukan dengan
pemeriksaan labor berupa deteksi adanya autoantibodi abnormal dari
penghancuran sel darah merah. Pemeriksaan Combs Test / Direct
Antiglobulin Test (DAT) dan tes titer dingin aglutinin adalah pemeriksaan
yang rutin dilakukan untuk mendeteksi adanya anemia hemolitik
autoimun.20
24
populasi yang
lebih
ditambahkan ke dalam
pasien
Penatalaksanaan
Strategi penatalaksaaan paling efektif pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah
dengan menghindari hemolisis melalui penghindaran terhadap stresor oksidatif
25
(seperti obat-obatan, infeksi dan kacang fava). Melalui strategi penghindaran ini,
diharapkan kewaspadaan dari individu dengan defisensi G6PD terhadap keadaan
defisiensi enzim yang mereka alami berdasarkan pengalaman hemolisis
sebelumnya. Kejadian hemolisis akut pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD
biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang singkat dan tidak membutuhkan
penatalaksaan spesisfik. Dalam kasus yang jarang terjadi (biasanya pada anak),
kejadian hemolisis akut menyebabkan terjadinya anemia yang berat dapat
menyebabkan diperlukannya transfusi sel darah merah.10
Tidak terdapat standar baku yaang dapat dijadikan acuan untuk
menentukan kapan seorang anak dengan defisiensi enzim G6PD yang mengalami
anemia hemolitik akut memerlukan tindakan transfusi darah, namun terdapat
beberapa guidline yang dapat di gunakan untuk pertimbangan melakukan transfusi
darah, yaitu:10
1. Jika tingkat hemoglobin dibawah 7 gr/dL, transfusi darah diindikasikan.
2. Jika tingkat hemoglobin di bawah 9 g / dL dan ada bukti hemolisis cepat
persisten (hemoglobinuria), transfusi darah langsung juga diindikasikan
3. Jika tingkat hemoglobin di atas 9 g / dL tetapi hemoglobinuria tetap
ditemukan atau jika tingkat hemoglobin adalah antara 7 dan 9 g / dL tetapi
tidak ada hemoglobinuria, anak tersebut harus diobservasi ketat selama
minimal 48 jam dan ditransfusikan jika kondisi baik 1 atau 2 berkembang.
Neonatal jaundice yang disebabkan oleh defisiensi G6PD ditatalaksana
dengan cara yang sama dengan kejadian neonatal jaundice yang disebabkan oleh
penyebab lain. Pasien-pasien dengan anemia hemolitik kongenital nonspherocytotic seringkali menunjukkan keadaan anemia yang terkompensai baik
yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun pasien-pasien dengan kondisi
ini harus dimonitor dengan ketat, karena kejadian eksaserbasi seperti infeksi atau
mengkonsumsi obat-obatan oksidatif dapat memperburuk derajat anemia. Sangat
jarang pasien dengan anemia hemolitik kongenital nonsperocytotic mengalami
ketergantungan transfusi darah. Pada keadaan ini pemberian agen chelating besi
harus diberikan. Antioksidan seperti vitamin E dan selenium nampak memberikan
manfaat pada pasien-pasien hemolisis kronis. Namun belum ada data yang
konsisten mendukung pendekatan ini.10
26
Analisis kasus
Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun 10 bulan didiagnosis dengan
anemia defisiensi enzim G6PD. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis ditemukan anak tampak pucat sejak 1 hari yang lalu, tampak kuning
27
sejak 1 hari yang lalu, adanya riwayat demam sejak 3 hari yang lalu, serta adanya
riwayat konsumsi obat yang bersifat stresor oksidatif yaitu kotrimoksazol. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan anak tampak pucat dan ikterik. Berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya anemia dengan Hb 6,5 gr/dL dan
MCV didapatkan nilai normal 80,2 fL; retikulositosis dengan nilai 3,9%;
peningkatan LDH; hiperbiluribunemia dengan hasil total bilirubin 3,16 mg/dL,
bilirubin direk 0,62 mg/dL, bilirubin indirek 2,54 mg/dL; hasil comb test negatif.
Hal ini sesuai dengan penegakan diagnosis melalui algoritma pendekatan
diagnosis anemia melalui MVH dan hitung retikulosit (gambar 8).8
Berdasarakan gambaran darah tepi didapatkan hasil gambaran darah tepi
yang normal, sehingga dilakukan pemeriksaan kuantitatif enzim G6PD. Hal ini
sesuai dengan alur diagnosis algoritma anemia hemolitik (Gambar 9). 21 Pada
pasien ini didapatkan hasil kuantitatif enzim G6PD 1,7 U/g Hb, dimana pada
pemeriksaan dengan menggunakan metode ini nilai normal adalah sebesar 7,814,4 U/g Hb.
28
29
30
31
leukosit urin positif pada pemeriksaan awal. Namun hal ini tidak didukung oleh
pemeriksaan urinalisis ulangan pada hari rawatan ke 2 yang memperlihatkan hasil
normal dan juga pada pemeriksaan kultur urin yang menunjukkan tidak ditemukan
pertumbuhan kuman yang patogen. Selain itu pada pasien ini semenjak hari
rawatan ke 2 sudah tidak adanya lagi keluhan demam dan pada pemeriksaan darah
ulangan ditemukan penurunan nilai leukosit dari sebelumnya. Keadaan ini
berkemungkinan karena pasien telah mengkonsumsi antibiotik kotrimoksazol
sebelumnya.
Pencetus lain terjadinya hemolisis pada pasien ini juga dipikirkan akibat
dari kontak dengan obat-obatan yang bersifat stresor oksidatif. Pada pasien ini
didapatkan adanya riwayat konsumsi obat sulfamethoxazol. Sulfamethoxazole
merupakan obat yang termasuk kedalam kelompok obat yang kontraindikasi
untuk diberikan pada pasien dengan defisensi enzim G6PD.24 Beberapa jenis obatobatan menyebabkan stres oksidatif dan memicu terjadinya hemolisis pada sel
darah merah yang menderita defisiensi enzim G6PD. Obat-obatan tersebut
membentuk hidrogen peroksida ketika berkontak dengan hemoglobin.6 Ketika
terjadi reaksi ini, gluthation tereduksi mengalami oksidasi secara cepat, sehingga
terjadi gangguan pada pool dari gluthation. Keadaan ini menyebabkan
32
hemoglobin mengalami denaturasi dan terbentuk Heinz body. Heinz body merusak
membran sel darah merah lalu memicu terjadinya hemolisis dan anemia akut. Sel
darah merah dengan defisiensi enzim G6PD tidak mampu mereduksi NADP
menjadi NADPH, dimana NADPH ini dibutuhkan untuk membentuk gluthation
tereduksi dari bentuk oksidasinya. Gluthation tereduksi ini memiliki peranan
penting sebagai perlindungan sel melawan cedera oksidatif yang menyebabkan
hemolisis.17
Gambar 10. Interaksi obat-obatan denggan sel darah merah yang menghasilkan hidrogen
peroksida.6
Selama rawatan anak hanya mendapat terapi makanan biasa 1200 Kkal
dan parasetamol 130 mg (T38,5 0C), tidak dilakukan tindakan trasnfusi darah .
Transfusi darah diberikan pada keadaan terjadinya hemolisis berat yang
memunculkan anemia berat yang mengancam nyawa.8 Tidak terdapat standar baku
yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan kapan seorang anak dengan
defisiensi enzim G6PD yang mengalami anemia hemolitik akut memerlukan
tindakan transfusi darah.10 Menurut Aboud (2011), didapatkan bahwa indikasi
trasnfusi darah diberikan pada anak dengan hemoglobin < 9 gr/dL. 16 Sedangkan
menurut Luzzatto (2009) dinyatakan bahwa transfusi darah diberikan pada anak
anemia penderita defisiensi enzim G6PD bila hemoglobin < 7 gr/dL. 10 Komplikasi
terpenting yang memerlukan tindakan trasnfusi darah adalah gagal ginjal, namun
keadaan ini jarang pada anak.10 Pada saat rawatan hari ke 6 dilakukan
pemeriksaan ulang darah lengkap pada pasien dan didapatkan hasil peningkatan
hemoglobin dari sebelumnya. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan
bahwa anemia akibat defisiensi G6PD bersifat self limited disease.17 Kejadian
hemolisis muncul 24-72 jam setelah terpapar, dengan perbaikan dalam 4- 7 hari.18
33
Daftar Pustaka
1. Regil LZ. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and
assessment of severity. WHO/NMH/MNM; 2014: 1-5.
2. Rinaldi I, Sudoyo AW. Anemia hemolitik non imun. Dalam : Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editor. Buku ajar penyakit
dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007; 4 (2):
p.622-53
3. Dhaliwal G, Patricia AC, Lawrence MT. Hemolytic anemia. Americans
Family Physician. 2004; 69: 2599-606
4. Berth. Hereditary hemolytic anemias due to red blood cell enzym disorder.
In : Wintrobe clinical hematology. Edisi 12. New York: Wolters Kluwer
Health; 2009. p. 933-41
5. Luzzatto L, Vincenzo P. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency.
In : Hematology of infancy and childhood. Canada: Saunder Elsevier Inc;
2009. p. 884-00
6. Beutler E. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. A historical
perspective. Blood; 2008; 111: 16-24.
7. Provan D, Charles RJS, Trevor B, John L. Glucose-6-phosphate
dehydrogenase deficiency. In Oxford handbook of clinical haematology
second edition. New York: Oxford University Press Inc; 2004. p. 102-3
8. Lanzkowsky P. Red cell membrane and enzyme defects. manual of
pediatric hematology and oncology. New York: Elsevier Inc; 2011. p. 1949
9. Zhao X, Li Z, Zhang XY. G6PD-MutDB: A mutation and phenotype
database of glucose-6-phosphate (G6PD) deficiency. Journal of
bioinformatics and computational biology. 2010; 8: 101-9.
10. Cappellini MD, Fiorelli G. Glucose-6-phosphate dehydrogenase
deficiency. Lancet.2008; 37: 64-74
11. Wibowo S. Perbandingan kadar bilirubin neonatus dengan dan tanpa
defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase, infeksi dan tanpa infeksi
[Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2007
12. Minareci E, Uzunoglu S, Minareci O. Incidence of severe glucose-6phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency in countryside villages of the
central city of manisa, turkey. Manisa: Eur J Gen Med. 2006; 3: 5-10.
13. Raharjani KB. Kadar bilirubin neonatus dengan defisiensi glucose-6phosphate dehydrogenase yang mengalami infeksi atau tanpa infeksi. Sari
Pediatri. 2008; 10: 122-8.
14. HowesRE, Frederic BP, Anand PP, Oscar AN, Peter WG. G6PD deficiency
prevalence and estimates of affected populations in malaria endemic
countries. A geostatistical model-based map. Plos Medicine. 2012; 9: 1101
15. Peters AL, Cornelis JFVN. Glucose-6-phosphate dehydrogenase
deficiency and malaria. Cytochemical detection of heterozygous G6PD
34
35
i. Clinical Question :
Apakah kejadian anemia hemolitik ec defisiensi enzim G6PD
ditemukan dinegara lain?
ii. Component of Foreground Question (PICO)
Problem : Insiden kejadian defisiensi enzim G6PD sering menjadi
penyebab terjadinya anemia hemolitik
Intervention : Comparison : Outcome :
Dari 1604 orang penduduk yang diperiksa enzim G6PD,
didapatkan hasil 35 orang memiliki defisiensi berat enzim
G6PD. Insiden kejadian defisiensi berat enzim G6PD pada
populasi ini didapatkan sebesar 2,2%. Terdapat perbedaaan
insidensi antara pria (3,2%) dan wanita (1,14%). Insidensi
kejadian defisiensi enzim G6PD yang tinggi ini
menunjukkan bahwa penyakit ini merupakan masalah
kesehatan yang penting di daerah Manisa dan oleh karena
itu diperlukan tindakan skrining dalam jumlah besar untuk
pendeteksian defisiensi enzim ini. Hal ini karena defisiensi
ini berhubungan dengan suatu masalah kesehatan yang
dapat dicegah.
iii. Invsetigation Methode:
Keyword : defisiensi enzim G6PD, kejadian defisiensi enzim berat,
pemeriksaan skrining defisiensi enzim G6PD.
Found in an article to answer the clinical question with
Title : Incidence of Severe Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase
(G6PD) Deficiency in Countryside Villages of the Central City of
Manisa, Turkey. Eur J gen Med. 2006; 3 (1): 5-10.
36