A. PENDAHULUAN
Selama berabad-abad al-Qur'an dan Hadis telah menjadi
sumber inspirasi dan pemeliharaan kedamaian, dan di atas
segalanya sebuah petunjuk bagi berjuta-juta manusia sepanjang
perjalanan hidup menuju keabadian. Kedua sumber dasar itu
membentuk umat Islam dan memberikan harapan pada waktuwaktu yang sulit dan di saat-saat bahagia, serta menjadi
pengungkap sukacita dan rasa syukur.
Manusia sebagai partikel spesial alam kosmos dari
sebuah sejarah adalah the new horizon in cosmic, jauh di bawah
angkatan komunitas poro pini sepuh alam yang telah lama
merajut masa. Mereka berdialog, berinteraksi secara profesional,
yang selanjutnya akhlaq alam tersebut dikenal manusia
sebagai hukum kausalitas. Dalam dekapannya, pada pangkuan
bumi, manusia ngebrok menjadi "khalifah", baik hadir sebagai
eksistensi murni ataupun terpaksa dengan mantel kuli". Dunia
bukanlah surga, bahasa alam terlebih rajanya semakin
njelimet untuk dicerna. Maka mulailah dengan bekal dari
Tuhan, nalar pun terpaksa dipekerjakan. Klimaksnya ia menjadi
"Hermes", penafsir sabda Dewa, sekaligus penyarah irama alam.
Namun lain, tatkala agama berkuasa independensi nalar
banyak dikisahkan hangus! Tentunya oleh kubu yang tidak rela
pesan Tuhannya terpajang dalam etalase. Sebab menurut
mereka, bahwa hakikat setiap yang ada, mutlak harus sesuai
intruksi Sang Raja kosmik. Walaupun ibarat macan "ompong"
ketika mengunyah sekepal realitas yang membentur, akan tetapi
agaknya memang "Hermes" sering linglung? Dengan ataupun
tanpa memperbudak nalar, yang terpenting dalam proses
masa.
al-Qur'an sebagai sarana komunikasi Tuhan dan
manusia tidak akan terjadi tanpa melibatkan suatu sistem
linguistik tertentu.
Ketiga, secara aksiologis,4 di samping sentralitas al-Qur'an
dalam kebudayaan Arab karena distingtif bahasa Arab yang
digunakannya, namun yang lebih penting lagi ia menempati
posisi sentralitas al-Qur'an yang unik dalam keimanan
masyarakat muslim. Perspektif sentralitas ini menjadikannya
sebagai kekuatan yang membentuk kehidupan dan
kebudayaan
Islam
selama
berabad-abad,
terus
mempengaruhi pikiran dan hati umat Islam dengan maknanya
yang tertulis dalam keunikan bahasa Arab.
Berdasarkan pembagian landasan filsafat di atas, sumber
tafsir kontekstual terdapat dua aspek konteks yang perlu
diperhatikan. Pertama konteks kesejarahan al-Qur'an5 dan
konteks sastra al-Qur'an dan Hadis. Konteks kesejarahan
meliputi pertama indikasi gejala moral dan sosial masyarakat
Arab ketika itu, sikap al-Qur'an dan Hadis terhadapnya, dan
cara al-Qur'an dan Hadis momodifikasi atau mentransformasi
gejala itu hingga sejalan dengan pandangan dunia al-Qur'an.
Kedua al-Qur'an dan Hadis sebagai pedoman umat islam
dalam mengindikasi dan menangani semua problem yang
mereka hadapi. Ketiga pemahaman tantang konteks
kesejarahan pra-Quran dan dan masa al-Qur'an dapat
Sering dikatakan bahwa kini filsafat dan filsafat agama sedang mengalami
pembalikan ke arah bahasa (linguistic turn). Seratus tahun yang lalu istilah
kunci filsafat adalah akal, roh, pengalaman, dan kesadaran. Kini istilah
kunci yang dianggap pokok adalah bahasa. Walaupun istilah akal, roh, dan
lainnya itu hingga kini masih beredar dan masih menjadi bahan telaah filsafat,
namun diskursus bahasa merupakan suatu gejala yang kompleks, mencakup
banyak aliran pemikiran seperti semiologi, strukturalisme, poststrukturalisme,
filsafat bahasa sehari-hari, teori, speech-act, hermeneutik dan lain
sebagainya. Lihat. I. Bambang Sugiarto, Postmodernisme: Tantangan Bagi
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 79.
4Aksiologi merupakan keterangan kegunaan (nilai) ilmu yang telah
didapatkan, untuk apa, apa manfaat dan guna yang didapatkannya.
5Menurut penulis babad tanah konteks kesejarahan ini dimaksudkan
kesejarahan penafsiran (sebagai playback and reading of realitty) mulai praQuran, masa turun Quran, dan pasca-Quran (sampai masa sekarang)
pemaksaan-pemaksaan
Hermeneutika
hermeneutics,
dalam
atau
bahasa
dalam
Inggrisnya
bahasa
adalah
Jerman
yaitu
hermneuein
yang
artinya menafsirkan.14
Kegiatan menafsirkan tersebut secara umum meliputi
linguistic formulation yaitu pengekspresian pikiran-pikiran
seseorang ke dalam tingkat bahasa, cultural movement
yakni penerjemahan dari bahasa yang masih asing ke
dalam bahasa sendiri yang sudah dikenal, dan logical
formulation yaitu pemberian komentar atas makna yang
masih absurd menuju makna yang lebih konkrit-eksplisit.15
Dari
literatur
hermeneutik,
yang
ada
penulis
tentang
awal
munculnya
memberikan
dua
klasifikasi
dua
reproduktif
dan
bentuk
makna
yaitu
makna
hermeneutis-
hermeneutis-produktif.
Makna
oleh
Schleiermacher
menyempurnakan
dan
Dilthey
seperti
pemikiran
Karl-Otto
lainnya
Apel
dengan
bagi
Schleiermacher
dan
Dilthey
haruslah
16
makna
bagi
pengarang
atau
makna
dari
peristiwanya sendiri.
Sedangkan Aple masih melihat obyektifitasnya Betti
yang
kemudian
dengan
teori
mempertanyakan
etika
yang
realitas
disebut
kekinian
dengan
etika
jalan
untuk
mengelaborasi
pragmatika
transendental
yang
menjadi
cukup
kaya
telah
mengenai
telah
makna
dipelopori
hermeneutik
hermeneutik
oleh
adalah
Gadamer.
bersifat
model
Baginya,
transendental,
sebagai
reproduktif,
upaya-upaya
yang
tetapi
yang
produktif
dibutuhkan
dan
kreatif.
adalah
Gadamer
understanding is not
sebuah
pengarangnya.
semata-mata
teks
Itulah
akan
mengapa
reproduktif,
tetapi
pergi
melampaui
pemahaman
selalu
tidak
bersikap
produktif).21
19Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason,
(Cambridge : Polity Press, 1987), hlm. 107.
20Anthony C. Thiselton, The New Hermeneutic, dalam Donald K. McKim
(ed.), A Guide to Contemporary Hermeneutics, (Michigan : William B.
Eerdmans Publishing Company, 1986), hlm. 92.
21Hans Georg. Gadamer, op.cit., hlm. 264.
(sejarah
merupakan
efektif)-
suatu
teks,
kontinuitas
yakni
proses
subtilitas
mengeksplikasikan
explicandi
atau
yaitu
kemampuan
menguraikan
keseluruhan
subtilitas
applicandi
yaitu
kemampuan
adanya
kesadaran
sejarah
efektif
10
dilukiskan,
maka
pemaknaan
model
ini
texts horizon
authors horizon
the past
the present
hermeneutic meanings
disebut
al-
qirah al-muntijah.24
Berbeda dengan Gadamar, hermeneutik yang dibangun oleh Apel
secara metodologis merenovasi kembali peranan subyek sebagai sang
penafsir atas obyeknya. Tetapi penafsiran ini tidak seperti pendapat
Cartesian,
melainkan
dihasilkan
melalui
proses
komunikasi
11
membentuk
masyarakat
yang
bebas
dengan
hermeneutik
Kritis
Apel
berdasarkan
co-understanding/Intersubyektif
Praxis
Science
Bagan 2. Hermeneutik Kritis Karl-Otto Aple
2. Hermenutik Al-Qur'an: dari Tafsir Sastra Tematis menuju
Kontekstual
a. Hermeneutik Sastra al-Quran
12
penafsiran
heuristik,
kedua
penafsiran
dan
ini
sejalan
empirisme
dengan
dalam
menguatnya
keilmuan
Islam
penafsiran
kontekstual
atau
historis-kritis.
13
hermenutk
sintagmatik-paradigmatik
M.
(w.1025)
menekankan
keindahan
dan
karena
keunggulan
dalam
makna
dan
sistematis
mengungkap
teori
keindahan
naz}m
dan
sehingga
kemukjizatan
mampu
al-Qur'an. 30
14
surga
menurutnya
hanyalah
perumpamaan. 32
akhirat.33
Karakteristik
penafsiran
al-Qur'an
mengandung
kemasyarakatan.
arti
Istilah
sastra
adab
dan
budaya
disebutkan
dalam
ini
tidak
lagi
mencakup
segala
aspek
ilmu
15
masyarakat
dan
pembangunan
dunia
tanpa
yang
sangat
dibutuhkan.35
Muh}ammad
Adabi> al-
kandungan
dan
aturan
ayat-ayat
hidup
al-Quran
dengan
kemasyarakatan,
yang
34lihat Tim Depag, Ensiklopedi Islam, Juz. I (Jakarta: Anda Utama, 1992), hlm.
62.
35M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan
M. Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 25.
36Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Mesir:
Da>r al-Kutub al-Arabi, 1976), Jilid II, hlm. 215. Abu Ameenah memberikan
definisi yang hampir sama yaitu tafsir yang mencoba menyesuaikan ayat-ayat
al-Quran dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern abad ini,
menguraikan dasar-dasar al-Quran tentang masyarakat manusia, pembuatan
Undang-undang dan teori-teori ilmiah. Lihat: Abu Ameenah Bilal Philips,
Menolak Tafsir Bidah; Penafsiran al-Quran Surat al-Hujurat menurut Metode
Tafsir bi al-Matsur, terj. Elyasa Bahalwan (Surabaya: Andalus Press, 1990),
hlm. 24.
16
pertama-tama
kecermatan
ungkapan
berusaha
bahasanya;
untuk
menunjukan
dilanjutkan
dengan
dengan
metode
metodenya
ini
Abduh
keindahan
bahasa
semantik-sosial.
berusaha
dan
untuk
kemukjizatan
Dengan
mengungkap
al-Qur'an;
yang
valid
kebenarannya;
menunjukan
17
18
Bahkan
aspek
sastra
al-Qur'an
banyak
alegori,
aliran
(genre),
sudut
pandang,
19
20
menurut konteksnya, seperti riwayat-riwayat asba>b al48Mohamad Nur Kholis S, Pengantar dalam J.J.G. Jansen, Diskursusop.cit.,
hlm. xv.
49Ami>n al-Khu>li> dan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Metodeop.cit., hlm. 64.
50Mohamad Nur Kholis S, lo.cit.
51A<isyah Abd al-Rah}ma>n, Kata Pengantar Cetakan Kelima,Tafsir
Bintusy-Syathi terj. Mudzakir Abdussalam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 4142.
21
22
Pertama
pemahaman
tekstual
(h}arfi)
yaitu
pemahaman terhadap arti kata, susunan dan betuk
kalimat. Kedua pemahaman sastra yaitu kemampuan
mengapresiasikan sisi logika, psikologis, seni yang
dimiliki teks.
4. Pembagian
23
penafsir
sosio-kultural
harus
kontekstual
mempertimbangkan
dengan
makna
menggunkan
kritik
sastra
al-Qur'an
yang
didasarkan
atas
wilayah
kajian
sastra
menurut
kesadaran
24
ilmiah
untuk
mengatasi
dominasi
kepentingan ideologis.59
Oleh karena itu, wajar jika teks al-Qur'an dirumuskan
sebagai wujud komunikasi melalui oposisi biner linguistiksosiologis, yakni relasi antara pengirim (Allah) dengan
penerima melalui kode atau simbol bunyi bahasa. Akan
tetapi bahasa mengalami perkembangan seiring gerak
lajunya
masyarakat
dan
budaya.
Konteks
linguistik
mengajukan dua premis yaitu premis mayor dan premis minor, premis minor
berkaitan dengan bahasa keagamaan teks yakni mengubah makna bahasa
menjadi makna keagamaan yang baru. Premis mayor bahwa al-Qur'an
dibahasakan dengan bahasa Arab secara umum dan dari penggunaan secara
historis. Misalnya kata al-S{alat, al-Zakat, al-Saum dan lain-lainnya
dipergunakan sebagai term-term dan praktek peribadatan dan ritual
keagamaan Islam yang berbeda dari makan asli pada sebelum Islam. Moch.
Nur Ichwan, Meretas op.cit., hlm. 96-97.
59Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Tekstualitas ibid., hlm. 3. Gagasan awal Nas}r
H}a>mid Abu> Zaid adalah al-Qur'an sebagai teks (al-Qur'a>n ka Nas}s})
kemudian mengusulkan al-Qur'an sebagai wacana (al-Qur'a>n ka Khita>bin)
yang dimaksud dengan wacana di sini adalah konsep teks yang didasarkan
pada teks-teks tertulis, dengan penulisnya, desainnya yang tersusun dengan
baik yang memiliki koherensi tanpa kontradiksi, namun ketidakcocokan
terletak pada perdebatan yang mengarah pada ideologisasi, seperti masalah
muh}kam dan mutasya>bih masing-masing maz\hab memiliki pegangan yang
berbeda, baik Mutazilah, Hanafiyyah, Syafiiyyah maupun mazhab yang
lainnya. Hingga saat ini ideologi sangat kuat mewarnai penafsiran al-Qur'an,
ideologi fundamental, ideologi Ahmadiyah, ideologi NU, ideologi
Muhammadiyah dan seterusnya. Oleh karena itu al-Qur'an sebagai teks
mudah terperangkap oleh ideologisasi al-Qur'an, akan tetapi jika melihat
gerak ke belakang pada saat turunya al-Qur'an sebelum menjadi mus}haf
sekitar 22-23 tahun al-Qur'an sebagai wacana, sebagai diskusi, sebagai
dialog bersama dengan Rasulllah SAW., ini apa yang disebut oleh Arkoun
sebagai fenomena yang hidup dari al-Qur'an. Wawancara dengan Nas}r
H}a>mid Abu> Zaid Nashr Hamid Abu Zayd: Otoritas Tak Berhak
Mengarahkan
60Makna Agama dalam Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan dan Kebudayaan, edisi No. 18 Tahun 2004 (Jakarta: LAKSPEDAM
dan TAF, 2004), hlm. 146-147.
Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Kritik Wacanaop.cit., hlm. 109.
25
Transformasi
sistem
bahasa
menjadi
tanda-tanda
interaksi
makna
kata-kata
dengan
relasi-relasi
-citra
inderawi
pandangan
nyata,
pendengaran,
H}a>mid
Abu>
Zaid
beralih
ke
teori
yang
penanda(signified)
tanda
bahasa
(unit
bahasa)
26
mental
63
yang
tertulis,
dengan
kata
lain
adalah
66
27
aspek-aspek
yang
tersirat
dengan
bahasa
Chomsky
Transformasi-generatif
Descartes
melalui
yang
dikenal
sebagai
dihubungkan
dengan
falsafah
istilah
Cartesian
Linguistics
yang
untuk
fungsi
komunikatif,
tetapi
lebih
ialah
bagaimana
menggabungkan
ide-ide,
bahasa
bukan
menampilkan
soal
kaitan
dan
bahasa
dengan realiti.67
Suatu aspek lain yang penting dalam teori Chomsky
ialah hakikat bahasa
28
yang
dapat
diamati
atau
diperhatikan.
yaitu
tata
bahasa
yang
mengidentifikasi
ayat-ayat
Qur'an
kosakata-kosakata
dalam
konteks
29
ilmiah
yang
tinggi
untuk
mengatasi
kalimat
sebagai
simbol.
Materi
hermeneutik
menguraikan
adalah
keseluruhan
pendekatan
menjadi
yang
bagian-bagian
(makna dari struktur permukaan), memahami bagianbagian menjadi keseluruhan (makna struktur dalam).
Sebab yang dicapai oleh hermeneutik adalah makna
30
dengan
demikian
arti
suatu
teks
menurut
Tawi>l
Pembahasan di bawah ini merupakan suatu hasil dari
rangkaian perkuliahan pada matakuliah Hermeneutik al-Quran
yang telah diajarkan oleh M. Amin Abdullah di Kelas Studi alQuran Hadis Universitas Islam Negeri Yogyakarta. M. Amin
Abdullah memberikan berbagai referensi yang dapat
menunjang kajian Hermeneutik al-Quran dan referensi itu
dibahas bersama dalam diskusi dan perbedatan yang indah.
Dari perkuliahan itu, hermeneutik al-Quran dan Hadis didasari
atas beberapa hal yang terdiri atas: 1. rekontruksi teks, 2.
membongkar otoritarianisme, 3. lingkaran hermeneutik.
Penafsir harus memahami komunitas interpretasi dengan
memperhatikan aspek-aspek disiplin ilmu yang berkaitan, 4.
menghadapi ambang batas relativisme sebagai suatu upaya
memahami keragaman makna dan tidak terjebak pada sikap
relativ. Suatu yang berkaitan dengan hermeneutik al-Quan
dan Hadis diuraikan di bawah ini.
1. RekontruksiTeks: Terbuka dan Tertutup
31
para
pengikutnya
khususnya
Habermas,
bahwa
Di
antaranya
bagaimana
konteks
32
proses
kepengarangan
al-Qur'an.
Namun
proses
pengujian
autentisitas,
dokumentasi,
bertentangan
dengan
kagunaan
Tuhan
dan
keabadian-Nya.
Berbeda dengan Sunnah dipandang sebagai sebuah korpus
riwayat tak berbentuk tentang perilaku, sejarah (sirah), dan
perkataan (hadis) Nabi dan juga mencakup berbagai ragam
riwayat tentang sahabat Nabi. Pada mulanya, sunnah
dituturkan secara lisan hingga akhirnya didokumentasikan
dalam berbagai kitab yang dikenal dengan isilah sunan
atau musnad. Dalam bentuk lisan, sunnah merekam tradisi
yang hidup dalam masyarakat muslim terdahulu. Dalam
bentuk lisan, hadis-hadis tersebut tidak lagi berubah dan
berkembang tapi rekaman dalam bentuk yang terstruktur
dan terorganisir.
33
yang
ditawarkan
dalam
mengevaluasi
yang
sangat
terstruktur.
Namun
para
ulama
serta
dipengaruhi
dan
memperngaruhi
mutlaq-muqayyad,
seperangkat
kaidah
seperangkat
metodologis
mengkontrol
dan
h}aqi>qi-majzi,
interpretasi
yang
membatasi
dipandang
dan
sebagai
dimaksudkan
subjektivitas
untuk
interpretsi
merupakan
suatu
konteks
dalam
rangka
dinamika
makna
yang
diciptakan
oleh
34
antara
makna
bahasa
dan
representasi
mental,
dan
dengan
lebih
psikologi
baik
membantu
metode
untuk
yang
memahami
digunakan
untuk
2. Membongkar otoritarianisme
Dalam penafsiran al-Qur'an dan hadis perlu ada penafsiran
dan pemaknaan baru, karena seringkali para penulis yang
menggunakan frasa ini, dalam hidup bermasyarakat dan
sikap intelektualnya masih cenderung otoriter-angkuh.
Penafsiran otoriter cenderung menafsirkan teks secara
sewenang-wenang dan tidak mengindakan rasa keadilan
pada
semua
pihak.
otoritarianisme
harus
Untuk
tidak
diperhatikan
terjebak
5
syarat
pada
dalam
menafsirkan.
Dalam hal ini untuk mempermudah ingatan terhadap
mengusulkan
pengaman
ada
supaya
sewenang-wenang
lima
persyaratan
tidak
mudah
atas
sebagai
katup
melakukan
tindak
penafsiran,
Penulis
reasonableness,
CE
ME
menafsirkan
comprehensiveness,
35
;.
Kelima-limanya
dijadikan
sebagai
acuan
teks
sebelum
pada
akhirnya
harus
intinya
adalah
mendialogkan dengan
seimbang
Arkeologi
Text
Audience
Filsafat
36
Sejarah
Psikologi
Saintek
harus
diikut
sertakan
dalam
penafsiran
untuk
pengembangan
masyarakatnya
akan
menghadapi
komunitas
interpretasi
yang
terus
37
pada
otoritarianisme
dan
relativisme
maka
ada
beberapa 3 realita.
1. Absolutly absolut, kelompok ini akan menjadikan suatu
penafsiran atau pemikiran yang absolut banget. Golongan
ini akan melahirkan pada taklid buta, hanya mengekor
pada
penafsiran
terdahulu
dan
akan
mengakibakan
bahwa
penafsirannya
juga
suatu
yang
D. Kesimpulan
Dari
uraian
di
atas
penafsiran
kontekstual
kerangka
38
masa
kini.
Kedua
konteks
sosiologi
membawa
fenomena-
al-Qur'an
dalam
konteks.
2.
Memproyeksikan
pemahaman
al-Qur'an
dan
Hadis
dilakukan
berkerjasama
dengan
dengan
pendekatan
keilmuan
multidisiplin
antropologi,
sejarah,
al-Qur'an.
Pertama
Dalam
Fenomena
hal
itu
ini
tidak
terdapat
dua
bertentangan
39
c. Penafsir
tidak
mementingkan
otoritarianisme
dan
relativisme.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin al-Tawl al-Ilm : Kearah Perubahan Paradigma
Penafsiran Kitab Suci, dalam Al-Ja>miah, vol.39, no.2,
.July-December 2001.
Amal, Taufik Admal dan Syamsul Rizal Pangabean,
Kontekstual al-Qur'an. Bandung: Mizan, 1992.
Tafsir
40
dan
Perkembangannya.
41
42
terj.
terj.
Sunarwoto
Khoiron
Dema.
Nahdiyyin.