Anda di halaman 1dari 42

EPISTEMOLOGI TAFSIR KONTEKSTUAL

Oleh Muhammad Maimun

A. PENDAHULUAN
Selama berabad-abad al-Qur'an dan Hadis telah menjadi
sumber inspirasi dan pemeliharaan kedamaian, dan di atas
segalanya sebuah petunjuk bagi berjuta-juta manusia sepanjang
perjalanan hidup menuju keabadian. Kedua sumber dasar itu
membentuk umat Islam dan memberikan harapan pada waktuwaktu yang sulit dan di saat-saat bahagia, serta menjadi
pengungkap sukacita dan rasa syukur.
Manusia sebagai partikel spesial alam kosmos dari
sebuah sejarah adalah the new horizon in cosmic, jauh di bawah
angkatan komunitas poro pini sepuh alam yang telah lama
merajut masa. Mereka berdialog, berinteraksi secara profesional,
yang selanjutnya akhlaq alam tersebut dikenal manusia
sebagai hukum kausalitas. Dalam dekapannya, pada pangkuan
bumi, manusia ngebrok menjadi "khalifah", baik hadir sebagai
eksistensi murni ataupun terpaksa dengan mantel kuli". Dunia
bukanlah surga, bahasa alam terlebih rajanya semakin
njelimet untuk dicerna. Maka mulailah dengan bekal dari
Tuhan, nalar pun terpaksa dipekerjakan. Klimaksnya ia menjadi
"Hermes", penafsir sabda Dewa, sekaligus penyarah irama alam.
Namun lain, tatkala agama berkuasa independensi nalar
banyak dikisahkan hangus! Tentunya oleh kubu yang tidak rela
pesan Tuhannya terpajang dalam etalase. Sebab menurut
mereka, bahwa hakikat setiap yang ada, mutlak harus sesuai
intruksi Sang Raja kosmik. Walaupun ibarat macan "ompong"
ketika mengunyah sekepal realitas yang membentur, akan tetapi
agaknya memang "Hermes" sering linglung? Dengan ataupun
tanpa memperbudak nalar, yang terpenting dalam proses

penafsiran, bagi tiap mufassir dalam proyek pembumian sabda


langit, perlu membentangkan atmosfir. Sebagai sistem
perlindungan bagi warga bumi menuju tafsir yang kontekstual
dan membumi. Oleh karena itu, makalah ini membahas
Hermeneutik atau Fiqh al-Tafsi>r wa al-Tawi>l.

B. BINGKAI TAFSIR KONTEKSTUAL: READING OF REALITY


Paradigma penafsiran kontekstual bisa dilihat dari tiga
sudut pandang trilogi filosfis. Pertama, secara ontologis,1 alQur'an sebuah kitab Allah yang disusun rapih dan dijelaskan
secara terperinci serta diturunkan pada Rasulullah SAW.,
sebagaimana dalam firman Allah SWT. Q.S Hu>d 11:1 dan
dokumen untuk manusia sebagai the way to thing and the
way of life. (Q.S al-Baqarah: 185, Q.S Ali> Imra>n, 3-4, 138),
yang bersumber dari Allah SAW (Q.S Ta>ha>: 2-5).
Kedua secara epistimologis,2 media bahasa yang
digunakan untuk menjembatani antara yang sakral dan profan
adalah bahasa Arab. Bahasa Arab adalah bahasa al-Qur'an,
keyakinan ini membentuk pandangan-dunia (world-view)
umat Islam bahwa semua bentuk terjemahan al-Qur'an ke
dalam bahasa lain tidak sama dengan al-Qur'an itu sendiri.
Argumentasi ini didasarkan pada asumsi bahwa secara
antropologis, setiap bahasa memiliki karakteristik, latar
belakang budaya, cara penyampaian makna, struktur dalam
membangun komunikasi, dan idiomnya3 yang memiliki ciri
khas tersendiri. Karena penggunaan bahasa Arab yang unik
ini, bahasa al-Qur'an dianggap sebagai aspek yang sangat
penting dari ekspresi sastra al-Qur'an dan menjadikannya
sebagai sebuah karya agung yang mampu survive sepanjang
1Ontologi ialah bagian dari metafisika, yang mempelajari hakikat dan
digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan atau menjawab
apakah itu? Lihat Jujun Sumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993), hlm. 63-91.
2Epistimologi ialah suatu kajian tentang tata cara mendapatkan ilmu atau
menjawab bagaimana ilmu itu diperoleh dari mana sumbernya. Lebih Jelas
pembahasan tentang epistimologis. Lihat. Keneth T. Gallagher, Epistimologi:
Filsafat Pengetahuan, saduran. P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisus, 1994).
3Keistimeaan bahasa; kehususan bentuk bahasa

masa.
al-Qur'an sebagai sarana komunikasi Tuhan dan
manusia tidak akan terjadi tanpa melibatkan suatu sistem
linguistik tertentu.
Ketiga, secara aksiologis,4 di samping sentralitas al-Qur'an
dalam kebudayaan Arab karena distingtif bahasa Arab yang
digunakannya, namun yang lebih penting lagi ia menempati
posisi sentralitas al-Qur'an yang unik dalam keimanan
masyarakat muslim. Perspektif sentralitas ini menjadikannya
sebagai kekuatan yang membentuk kehidupan dan
kebudayaan
Islam
selama
berabad-abad,
terus
mempengaruhi pikiran dan hati umat Islam dengan maknanya
yang tertulis dalam keunikan bahasa Arab.
Berdasarkan pembagian landasan filsafat di atas, sumber
tafsir kontekstual terdapat dua aspek konteks yang perlu
diperhatikan. Pertama konteks kesejarahan al-Qur'an5 dan
konteks sastra al-Qur'an dan Hadis. Konteks kesejarahan
meliputi pertama indikasi gejala moral dan sosial masyarakat
Arab ketika itu, sikap al-Qur'an dan Hadis terhadapnya, dan
cara al-Qur'an dan Hadis momodifikasi atau mentransformasi
gejala itu hingga sejalan dengan pandangan dunia al-Qur'an.
Kedua al-Qur'an dan Hadis sebagai pedoman umat islam
dalam mengindikasi dan menangani semua problem yang
mereka hadapi. Ketiga pemahaman tantang konteks
kesejarahan pra-Quran dan dan masa al-Qur'an dapat

Sering dikatakan bahwa kini filsafat dan filsafat agama sedang mengalami
pembalikan ke arah bahasa (linguistic turn). Seratus tahun yang lalu istilah
kunci filsafat adalah akal, roh, pengalaman, dan kesadaran. Kini istilah
kunci yang dianggap pokok adalah bahasa. Walaupun istilah akal, roh, dan
lainnya itu hingga kini masih beredar dan masih menjadi bahan telaah filsafat,
namun diskursus bahasa merupakan suatu gejala yang kompleks, mencakup
banyak aliran pemikiran seperti semiologi, strukturalisme, poststrukturalisme,
filsafat bahasa sehari-hari, teori, speech-act, hermeneutik dan lain
sebagainya. Lihat. I. Bambang Sugiarto, Postmodernisme: Tantangan Bagi
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 79.
4Aksiologi merupakan keterangan kegunaan (nilai) ilmu yang telah
didapatkan, untuk apa, apa manfaat dan guna yang didapatkannya.
5Menurut penulis babad tanah konteks kesejarahan ini dimaksudkan
kesejarahan penafsiran (sebagai playback and reading of realitty) mulai praQuran, masa turun Quran, dan pasca-Quran (sampai masa sekarang)

menghindari dari praktek-praktek


prakonsepsi dalam penafsiran.6

pemaksaan-pemaksaan

Konteks sastra memperlihatkan betapa pentingnya


pemahaman terhadap konteks sastra al-Qur'an. Al-Qur'an
hadir di tengah masyarakat Arab dengan gaya bahasa indah
dan mempesona, melebihi pesona bahasa sastra kreasi
mereka. Tradisi kompetitip kesusastran membawa bangsa ini
mencapai puncak kemajuan di bidang itu dan di samping itu
melahirkan suatu harga diri al-Qur'an hadir di tengah
masyarakat menantang untuk berkompetisi menandingi
estetika bahasa al-Qur'an -.7
al-Naz}z}am (w.846) ahli bahasa yang berpaham
Mutazilah, memberikan pandangan mengenai kompetitip
sastra di kalangan masyarakat Arab yaitu banyak penjelasan
tentang kegagalan maestro sastra (Fus}ah}a al-Arab) dalam
menandingi kualitas al-Qur'an. Menurutnya kegagalan para
musuh Islam dalam menandingi al-Qur'an dikarenakan sirfah
(pemalingan) yakni Tuhan memalingkan kemampuan lawan
untuk meniru al-Qur'an. Kalau tidak maka kualitas sastra kitab
suci dapat ditandingi.8
Ami>n al-Khu>li>, Guru Besar studi al-Qur'an dan sastra
Arab Universitas Kairo menyebut al-Qur'an sebagai kitab
sastra Kita>b al-Arabiyyah al-Akbar.9 Al-Qur'an memberikan
pengaruh luar biasa kepada seni sastra. Turunnya al-Qur'an
6Taufik Admal Amal dan Syamsul Rizal Pangabean, Tafsir Kontekstual alQur'an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 52.
7Q.S Al-Baqarah 1: 26.
8Didin Syafruddin, Ilmu al-Qur'an Sebagai Sumber Pemikiran, dalam Taufik
Abdullah (ed.), dalam Khazanah Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t), Jilid IV, hlm. 49.
9M. Nur Kholis S, Kata Pengantar dalam J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir alQur'an Modern, terj. Hairussalami dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1997), hlm. xv. Ami>n al-Khu>li>, Muh}ammad Ah}mad
Khalafullah, dan A'isyah Binti al-Syathi' merupakan pemikir muslim yang
mengembangkan pendekatan kritik sastra terhadap Kitab Suci. Pendekatanpendekatan itu dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menjelajahi Kitab
Suci. Para ahli hermeneutika menyebut, dalam setiap teks ada makna-makna
tertunda. Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Muh}ammad Sah}ru>r, Muh}ammad
Arkoun dan Muh}ammad Abid al-Jabiri> merupakan pemikir garda depan yang
menyemangati pandangan linguistik, semiotik, hermeneutik terhadap Kitab
Suci.

telah membakukan bahasa Arab serta kategori-kategori


logika, pemahaman dan keindahan yang terkandung dalam
bahasa itu sekejap saja bahasa al-Qur'an menjadi kriteria dan
norma bahasa Arab. Setiap orang memandangnya sebagai
kriteria puncak kesempurnaan komposisi sastrawi. Di seluruh
dunia Islam sepanjang sejarah Islam, al-Qur'an tetap
merupakan puncak sastra yang mutlak dan tidak
tertandingi.10 Namun yang lebih menarik al-Khatibi (w.998) yang hidup semasa al-Rumani- mengatakan bahwa sumber
kemukjizatan al-Qur'an ialah dari caranya mengemukakan
makna dan pengungkapannya yang menggunakan kualitas
sastra yang unik. Suatu hal yang tepat ketika Tuhan
menyampaikan al-Qur'an dengan gaya bahasa yang
mempesona pada tatanan masyarakat yang menyenangi
keindahan sastra.11
Kontkes sastra ini sesuai dengan tema yang berdimensi
sastra di dalam al-Qur'an, terletak pada empat aspek.
Pertama untuk membedakan konsepsi dan makna pra-Quran
dengan yang di dalam al-Qur'an. Kedua, untuk memahami
makna suatu istilah atau terma di dalam sistem linguistik alQur'an, perubahan makna atau perkembangannya di dalam
sistem linguistik al-Qur'an. Ketiga untuk membedakan
pemakaian atau konsepsi pasca-Quran dalam sistem fikih,
teologi, sufisme, dan lain-lain. Keempat secara keseluruhan,
pemahaman atas konteks sastra dan kesejarahannya.12
10Isma>'i>l Ra>zi> al-Faruqi, Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam,
terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Bentang, 1999), hlm. 52-55.
11Didin Syafruddin, Ilmu al-Qur'an Sebagai Sumber Pemikiran, dalam Taufik
Abdullah (ed.), op.cit., hlm. 50. Tidak sedikit penyair yang lahir pada awal
perkembangan Islam. Kalangan mukhadarim, yaitu penyair yang hidup pada
dua jaman (Jahiliyah dan Islam) banyak merekam peristiwa penting pada
masa itu yang mempunyai nilai sejarah. Pada umunya mereka tidak banyak
mengalami perubahan dalam sikap hidup mereka kecuali mereka yang
memang dekat dengan Rasulullah, seperti H{asan bin S|abit, Kaab bin Malik,
Kaab bin Zuhair bin Abi> Salma dan Labid bin Rabiah. Mereka relatif bersikap
lebih rendah hati dan tahu bagaimana al-Qur'an. Sebagaimana disebutkan
dalam al-Qur'an surat al-Syuara>' 26: 227 yang melukiskan kehidupan para
penyair yang beriman dan beramal salih. Ali Audah, Sastra dalam Taufik
Abdullah (ed.), Khazanah Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t), Jilid IV, hlm. 343.
12Taufik Admal Amal dan Syamsul Rizal Pangabean, op.cit., hlm. 52

C. HERMENEUTIK: SENI MENANGKAP, MERAJUT MAKNA


1. Hermeneutik: Tumbuh dan Kembangnya

Hermeneutika
hermeneutics,

dalam
atau

bahasa

dalam

Inggrisnya

bahasa

adalah

Jerman

yaitu

hermeneutik, dalam bahasa Perancis yakni hermeneutique,


dan dalam bahasa Latin yakni hermeneutica,13 semuanya
berderivasi dari kata kerja Yunani

hermneuein

yang

artinya menafsirkan.14
Kegiatan menafsirkan tersebut secara umum meliputi
linguistic formulation yaitu pengekspresian pikiran-pikiran
seseorang ke dalam tingkat bahasa, cultural movement
yakni penerjemahan dari bahasa yang masih asing ke
dalam bahasa sendiri yang sudah dikenal, dan logical
formulation yaitu pemberian komentar atas makna yang
masih absurd menuju makna yang lebih konkrit-eksplisit.15
Dari

literatur

hermeneutik,

yang

ada

penulis

tentang

awal

munculnya

memberikan

dua

klasifikasi

pemaknaan. Mengenai makna hermeneutik, setidaknya


mengambil

dua

reproduktif

dan

bentuk
makna

yaitu

makna

hermeneutis-

hermeneutis-produktif.

Makna

hermeneutis model reproduktif, pada awalnya, dibangun


13Richard E. Palmer, Hermeneutics : Interpretation Theory in Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger, and Gadamer, (Evanston : Northwestern University Press,
1969), hlm.xiv
14Van A. Harvey, Hermeneutics, dalam Mircea Eliade (ed.), The
Encycclopedia of Religion, vol.VI, (New York : Macmillan Publishing Co, t.th.),
hlm. 279.
15James M. Robinson, Hermeneutic Since Barth, dalam James M. Robinson
dan John B. Cobb, Jr (ed.), The New Hermeneutic, vol.II, (New York, Evanston
and London : Harper and Row Publishers, 1964), hlm.6. Komparasikan pula
dalam Richard E. Palmer, op.cit., hlm.13, bahwa kegiatan tersebut meliputi to
express atau mengungkapkan yang sifatnya oral (oral recitation), to translate
atau menerjemahkan yang berkaitan dengan penggantian dari satu bahasa ke
bahasa yang lain, dan to explain atau menjelaskan yang sifatnya kegiatan
akali (reasonable explanation).

oleh

Schleiermacher

menyempurnakan

dan

Dilthey

seperti

pemikiran

Karl-Otto

lainnya

Apel

dengan

menggabungkan science, teori kritis dan hermenutik.


Makna

bagi

Schleiermacher

dan

Dilthey

haruslah

berkarakter imanen, dalam artian bahwa pencapaian


makna wajib dengan cara menginterrograsi teks sebagai
pengejawentahan dari kondisi kejiwaan pengarang, dalam
bahasa Schleiermacher yakni mengalami kembali atau
menghidupkan kembali proses mental teks milik pengarang
atau Reexperiences of the mental processes of the texts
author,

16

sedangkan dalam bahasa Dilthey adalah dengan

cara mengidentifikasi teks sebagai aktualisasi dari kondisi


historikalitas pengarang. Dengan perkataan lain bahwa
makna yang ideal tidak ditentukan oleh subyek yang
transendental, tetapi lahir dari realitas sejarah kehidupan
atau The ideality of meaning was not to be assignated to
a transcendental subject but emerged from the historical
reality of life.17 Jadi, yang disebut makna dalam model ini
adalah

makna

bagi

pengarang

atau

makna

dari

peristiwanya sendiri.
Sedangkan Aple masih melihat obyektifitasnya Betti
yang

kemudian

dengan

teori

mempertanyakan
etika

yang

realitas

disebut

kekinian

dengan

etika

masyarakat komunikatif.18 Tipe masyarakat komunikatif


yang diusulkan sebagai sebuah aturan ideal Peirce
membuka

jalan

untuk

mengelaborasi

pragmatika

16Richard E. Palmer. op.cit.,hlm. 86.


17Hans-Georg. Gadamer, Truth and Method, (New York : The Seabury Press,
1975), hlm. 197.
18Karl-Otto Apel, Is the Ethics of the Ideal Communication Community a
Utopia? On the Relation Between Ethics, Utopia, and the Critique of Utopia,
dalam Seyla Benhabib dan Fred Dallwar, eds. The Communicative Ethics
Controversy (Cambridge: The MIT Press, 1995), hlm. 40-41.

transendental

yang

menjadi

cukup

kaya

telah

mencakupi sain dan etika, wacana teoritis dan praktis.


Ekpresi pragmatika-transendental merupakan indikasi
kehati-hatian menemukan sintesis dialektika dari filsafat
Anglo-Amerika dan Kontinental.
Adapun
produktif
makna

mengenai
telah

makna

dipelopori

hermeneutik

hermeneutik

oleh

adalah

Gadamer.

bersifat

model
Baginya,

transendental,

dalam arti akan melampaui teksnya. Pencapaian makna


dilakukan dengan terlebih dahulu membiarkan berbagai
horison untuk saling berbenturan, sebelum akhirnya
muncul makna baru sebagai hasil dari negoisasi antar
horison-horison tersebut, atau secara umum, seringkali
proses ini disebut

fusing of horizon19 atau

sebagai

merging of horizon.20 Dengan begitu, makna tidak lagi


sebagai makna bagi pengarang, tetapi makna bisa
melampaui intensi pengarangnya.
Pemaknaan model ini tidaklah memerlukan upayaupaya

reproduktif,

upaya-upaya

yang

tetapi

yang

produktif

dibutuhkan

dan

kreatif.

adalah

Gadamer

mengatakan bahwa The meaning of a text goes


beyond its author. That is why

understanding is not

merely reproductive but always a productive attitude.


(makna

sebuah

pengarangnya.
semata-mata

teks

Itulah

akan

mengapa

reproduktif,

tetapi

pergi

melampaui

pemahaman
selalu

tidak

bersikap

produktif).21
19Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason,
(Cambridge : Polity Press, 1987), hlm. 107.
20Anthony C. Thiselton, The New Hermeneutic, dalam Donald K. McKim
(ed.), A Guide to Contemporary Hermeneutics, (Michigan : William B.
Eerdmans Publishing Company, 1986), hlm. 92.
21Hans Georg. Gadamer, op.cit., hlm. 264.

Gadamer meringkas teorinya dengan tiga istilah


dalam bahasa latin.22 Pertama subtilitas intelgendi,
berupa kemampuan verstehen/ understanding, untuk
menangkap suatu keseluruhan sebagai makna yang
bulat, yang dapat dipahami secara mendalam dengan
tidak mengesampingkan aspek perjalanan sejarah wirkungsgeschicthe
pemahaman

(sejarah

merupakan

efektif)-

suatu

teks,

kontinuitas

yakni
proses

sejarah, sehingga bersifat imanen.


Kedua,

subtilitas

mengeksplikasikan

explicandi
atau

yaitu

kemampuan

menguraikan

keseluruhan

menjadi bagian-bagian sekaligus mengungkap makna


tersirat menuju makna tersurat.
Ketiga

subtilitas

applicandi

yaitu

kemampuan

menerapkan pengertian tersebut dalam situasi kongkrit


dan menghubungkan sejarah dengan masa kini, 23 ini
mengeksplisitkan

adanya

kesadaran

sejarah

efektif

22E. Sumaryono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta :


Kanisius, 1999), hlm. 82-83. Lihat. Ignas Kliden, Sikap Ilmiah dan Kritik
Kebudayaan, (Jakarta: LP3S, 1989). hlm. 156-157.
23Ketiga istilah tersebut diformulasikan pada hermeneutic circel yaitu
Gadammer menawarkan teori dekomparasi keindahan yang artinya
kelangsungan nilai seni. Suatu pemahaman bahwa karya seni (yang dibuat di
masa lalu) mempunyai sifat berkembang, aktual sampai pada masa kini. Dan
dengan hermeneutika hal tersebut bisa diatasi melaui pemahaman,
penafsiran dan dialog. Penafsir dengan cara ini melakukan pengembaraan
untuk menemukan keserasian antara si penafsir tersebut dengan obyek
(teks). Keserasian ini tidak berarti penafsir tergantung pada teks tapi
maksudnya si penafsir membuka diri untuk berdialog dengan yang lain.
Meskipun Gadammer menekankan pada hakikat dan kandungan nilai karya
seni, ia tidak menafikan bentuk lahir. Sebab bentuk lahir merupakan media
yang memungkinkan penafsir (dalam hal ini pengamat seni) melalui
eksperimen-eksperimennnya yang terus menerus- bisa mendapatkan suatu
makna yang pasti. Demikian juga dengan adanya bentuk lahir, generasi
mendatang bisa turut memberikan apresiasi terhadap karya seni tersebut.
Dengan kata lain, keberadaan wujud luar mempunyai kekuatan yang dinamis,
dalam arti karya seni tidak hanya dilihat dari sisi keindahan belaka, tapi juga
makna terdalam yang terkandung. Juga beragamnya apresiasi, pemahaman
menjadi lestari tidak akan berhenti pada satu tahapan atau orang penafsir
tertentu.

10

(wirkungsgeschicthes bewusstein) bahwa hermeneutik


tidak hanya reproduktif tetapi juga produktif, karena
pegetahuan merupakan cakrawala yang tidak bersifat
statis.
Apabila

dilukiskan,

maka

pemaknaan

model

ini

adalah hasil dialog sebagai berikut :

texts horizon
authors horizon
the past
the present
hermeneutic meanings

Bagan 1. makna dalam hermeneutik


Berangkat dari pembacaan yang demikian, maka
makna yang terbangun akan sama sekali baru, akan
lebih bersifat kontekstual-aplikatif di masa kini, akan
lebih bersifat fungsional untuk setiap generasi. Menurut
Amin Abdullah bahwa makna model ini

disebut

al-

qirah al-muntijah.24
Berbeda dengan Gadamar, hermeneutik yang dibangun oleh Apel
secara metodologis merenovasi kembali peranan subyek sebagai sang
penafsir atas obyeknya. Tetapi penafsiran ini tidak seperti pendapat
Cartesian,

melainkan

dihasilkan

melalui

proses

komunikasi

intersubyektif sebagai suatu syarat dasar bagi pemahaman dari sini


disebut dengan hermeneutik kritis.

24Amin Abdullah, al-Tawl al-Ilm : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran


Kitab Suci, dalam Al-Ja>miah, vol.39, no.2, (July-December 2001), hlm. 362,
378.

11

Sedangkan aspek praktis dalam dunia antropologis pengetahuan,


Apel memberikan prinsip regulatif, yaitu prinsip pemikiran yang
selalu berupaya perbaikan dan penyempurnaan seiring dengan
perubahan ruang dan waktu. Prinsip ini akan memberikan ruang
emansipatoris

membentuk

masyarakat

yang

bebas

dengan

memperkenalkan konsep komunikatif. Hermeneutik Apel telah


memberikan fondasi berfikir yang inklusif-kreatif dan
kritis-kontrukstif, sehingga ada upaya terus-menerus
untuk mencari kebenaran dan kebaikan hidup tanpa
henti, tiada dogmatisme.
Pemikiran

hermeneutik

Kritis

Apel

berdasarkan

pendekatan bahasa25 dan pragmatik.26 memadukan


yaitu, pertama ilmu pengetahuan Hermeneutik kritis
menekankan pada pendekatan intersubyektif untuk
mendapat pemahaman ekstra-linguistik.
Text

co-understanding/Intersubyektif

Praxis
Science
Bagan 2. Hermeneutik Kritis Karl-Otto Aple
2. Hermenutik Al-Qur'an: dari Tafsir Sastra Tematis menuju

Kontekstual
a. Hermeneutik Sastra al-Quran

25Terutama menempatkan kajian bahasa pada tempatnya yang terpengaruh


oleh Ludwig Wettgenstein.
26Pengaruh dari epistimologi Amerika yaitu miliorisme, adalah pemikiran
James (di samping pengaruh Peirce) yaitu asumsi manusia berada dalam tak
keberdayaannya sehingga berusaha membangun pragmatisme lewat studi
yang berkenaan dengan psikologi dan kebutuhan vital manusia. Dalam hal ini
filsafat pragmatisme lebih mementingkan melihat aspek manfaat ke depan,
akibat-akibat, dan hasil praksis filsafat.

12

Penafsiran kontekstual al-Qur'an berdasarkan proses


dan prosedur dapat dikemukakan dalam dua tahap:
pertama

penafsiran

heuristik,

kedua

penafsiran

hermeneutik. Penafsiran heuristik. Sedangkan dalam aktivitas


tafsr atau tawl di dunia Islam, secara eksplisit-tekstual, memang tidak
mengenal terminologi hermeneutika, sampai sambutan atasnya dilakukan
oleh generasi Fazlur Rahman dan kawan-kawan. Meskipun demikian,
bukan berarti model penafsiran yang mempertimbangkan ruang-waktu,
sosio-kultural, dan seterusnya tidak ada. Model penafsiran kontekstualhistoris di dunia Islam pada generasi sebelum Fazlur Rahman telah mulai
dirintis, misalnya, oleh kelompok Syiah, seperti Fakhr al-Dn al-Rz,
kelompok Sufistik, seperti Muhy al-Dn al-Arab, kelompok Mutazilah,
seperti al-Zamakhshar, dan kelompok pembaru seperti Muhammad
Abduh. Penafsiran seperti itulah yang telah membuat al-Quran tetap
pada lan vitalnya, akan selalu mampu berdialog dengan umatnya, meski
dalam beda tempat, waktu, bahkan beda bendera.
Pandangan
historisme

dan

ini

sejalan

empirisme

dengan
dalam

menguatnya

keilmuan

Islam

kontemporer. Tentang Allah mengetahui makna al-Quran,


sudah tidak menjadi persoalan dalam paradigma ini, yang
mendapatkan penekanan adalah pluralitas makna alQuran dan kebermaknaannya bagi kehidupan manusia
kontemporer secara lebih fungsional. Metode yang dipakai
adalah

penafsiran

kontekstual

atau

historis-kritis.

Paradigma semacam ini hanya mendasari hermeneutika


neo-modernis al-Quran Fazlur Rahman,27 hermeneutika
27Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik).
Pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami
arti atau makna suatu pernyataan Al-Quran, dengan mengkaji situasi
atau problem historis saat al-Qur'an diturunkan. Mengetahui makna
spesifik dari latar belakang spesifiknya (sebab mikro) dan juga harus ditopang
dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama,
masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan
menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari langkah

13

feminis al-Quran Riffat Hasan dan Amina Wadud Muhsin,


hermeneutika al-Quran untuk pembebasan Asghar Ali
Engineer,

hermenutk

sintagmatik-paradigmatik

M.

Syahru>r28. serta hermeneutika populis al-Quran Hassan


Hanafi, dan hermeneutik sastra Nas}r Ha>mid Abu> Zaid.
Pada pembahasan ini penulis mengkhususkan pada
pendekatan heremeneutik sastra. Ada di antaranya yang
mengungkapkan aspek-aspek legal yang dimiliki al-Qur'an,
keunggulan dan kecantikan sastra qurani. Qa>di> Abd alJabbar

(w.1025)

menekankan

keindahan

dan

kesempurnaan al-Qur'an dalam karyanya al-Mugni> (yang


mencukupi ia menegaskan bahwa kefasihan al-Qur'an
ditemukan

karena

keunggulan

dalam

makna

dan

pengucapannya. Kehebatan suatu karya adalah dalam


pilihan kata dan susunannya dalam kitab suci.29
Abd al-Qa>hir al-Jurza>ni> (w.1078) mengelaborasi
secara

sistematis

mengungkap

teori

keindahan

naz}m
dan

sehingga

kemukjizatan

mampu

al-Qur'an. 30

pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik,


pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang
dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis
dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus
diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Quran sebagai keseluruhan,
sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap
tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim AlQuran sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan
koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu
oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut
Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk
memahami Al-Quran secara keseluruhan.
28Syahrur dalam memahami al-Quran menggunakan dua pendekatan,
pertama metode intertekstualitas menggabungkan atau mengkompromikan
seluruh ayat yang memiliki topik pembahasan yang sama (al-Qur'a>n
yufassiru bad}uhu bad}an). Kedua menggunakan pendekatan semantik dan
pendekatan sintagmatik-paradigmatik.
29Didin Syafruddin, Ilmu al-Qur'an Sebagai Sumber Pemikiran, Taufik
Abdullah. (ed.), dalam Khazanah Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t), Jilid IV, hlm. 50.
30Didin Syafruddin. lihat juga Ami>n al-Khu>li> dan Nas}r H}a>mid Abu>
Zaid, Metode Tafsir Sastra: terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: Adab Press

14

kemudian dipakai secara praktis oleh al-Zamakhsyari


(w.1144) untuk memahami al-Qur'an dalam kitab tafsirnya
al-Kasyya>f, disusun lebih secara sistematis oleh Fakhr alDi>n al-Ra>zi> (w.1209) dalam Nihayah al-Ija>z fi>
Dirayah al-Ija>z31
Studi al-Qur'an dengan penafsian sosio-historis diawali
oleh Muh}ammad Abduh dengan menafsirkan ayat alQur'an yang menganggap bahwa kisah nabi Adam turun
dari

surga

menurutnya

hanyalah

perumpamaan. 32

Muh}ammad Abduh merealisasikan keberadaan al-Qur'an


sebagai al-hidayah atau petunjuk dan rahmat Allah dengan
menjelaskan hikmah kodifikasi kepercayaan, etika, dan
hukum menurut cara yang paling bisa diterima oleh pikiran
dan menenangkan perasaan dengan kata lain untuk
mencari petunjuk kebenaran al-Qur'an. kepada seluruh
umat manusia untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia
dan

akhirat.33

Karakteristik

penafsiran

al-Qur'an

Muh}ammad Abduh yaitu Adabi> al-Ijtima>i> secara


bahasa

mengandung

kemasyarakatan.

arti

Istilah

sastra

adab

dan

budaya

disebutkan

dalam

Ensiklopedi Islam pada abad ke-19 identik dengan ulama,


yakni mempunyai ilmu pengetahuan dan wawasan yang
luas dalam berbagai disiplin ilmu. Tetapi pada abad modern
istilah

ini

tidak

lagi

mencakup

segala

aspek

ilmu

IAIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 116.


31Didin Syafruddin, Ilmu al-Qur'an Sebagai Sumber Pemikiran, Taufik
Abdullah. (ed.),loc.cit.
32Ami>n al-Khu>li> dan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Metodeop.cit., hlm.
127-128. Wawancara dengan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid Nashr Hamid Abu
Zayd: Otoritas Tak Berhak Mengarahkan Makna Agama dalam Tashwirul
Afkar: Jurnal Repleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan edisi No. 18
Tahun 2004 (Jakarta: LAKSPEDAM dan TAF, 2004), hlm. 144.
33Rifat Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 99.

15

pengetahuan, tetapi khusus mengenai sastra Arab, yakni


bahasa yang baik, yang dapat menimbulkan rasa indah
dalam diri pembaca.34
Adapun definisi tafsir Adabi> al-Ijtima>i>, mengutip
pendapat Abdul Hayy al-Farmawi seperti yang dikutip dari
M. Quraish Shihab ialah corak tafsir yang menitikberatkan
penjelasan ayat-ayat al-Quran pada segi ketelitian redaksi,
kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi
yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk al-Quran
bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayatayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam

masyarakat

dan

pembangunan

dunia

tanpa

menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam


batas-batas

yang

sangat

dibutuhkan.35

H{usain al-Z|ahabi> mendefinisikan tafsir

Muh}ammad
Adabi> al-

Ijtima>i> ialah Tafsir yang menyingkapkan balagah,


keindahan bahasa al-Quran dan ketelitian redaksinya
dengan menerangkan makna dan tujuannya, kemudian
mengaitkan
Sunatullah

kandungan
dan

aturan

ayat-ayat
hidup

al-Quran

dengan

kemasyarakatan,

yang

berguna untuk memecahkan problematika umat Islam


khususnya dan umat manusia pada umumnya.36

34lihat Tim Depag, Ensiklopedi Islam, Juz. I (Jakarta: Anda Utama, 1992), hlm.
62.
35M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan
M. Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 25.
36Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Mesir:
Da>r al-Kutub al-Arabi, 1976), Jilid II, hlm. 215. Abu Ameenah memberikan
definisi yang hampir sama yaitu tafsir yang mencoba menyesuaikan ayat-ayat
al-Quran dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern abad ini,
menguraikan dasar-dasar al-Quran tentang masyarakat manusia, pembuatan
Undang-undang dan teori-teori ilmiah. Lihat: Abu Ameenah Bilal Philips,
Menolak Tafsir Bidah; Penafsiran al-Quran Surat al-Hujurat menurut Metode
Tafsir bi al-Matsur, terj. Elyasa Bahalwan (Surabaya: Andalus Press, 1990),
hlm. 24.

16

Menurut al-Z|ahabi>, aliran tafsir yang diprakarsai oleh


Abduh ini diberi pengertian sebagai mengkaji al-Qur'an
dengan

pertama-tama

kecermatan

ungkapan

berusaha
bahasanya;

untuk

menunjukan

dilanjutkan

dengan

merajut makna-makna yang dimaksudkan dengan cara


yang menarik; kemudian diusahakan ekplorasi penerapan
teks kitab suci itu dalam kenyataan sesuai dengan hukumhukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat dan
untuk membangun peradaban.37
Al-Z|ahabi> juga menyebut metode tafsir Muh}ammad
Abduh

dengan

metode

metodenya

ini

Abduh

keindahan

bahasa

semantik-sosial.

berusaha
dan

untuk

kemukjizatan

Dengan

mengungkap
al-Qur'an;

menjelaskan makna dan maksud-maksudnya; menunjukan


hukum-hukum yang berlaku di alam raya dan masyarakat
manusia; menawarkan solusi bagi problem-problem yang
dihadapi umat Islam khususnya dan bangsa-bangsa di
seluruh dunia pada umumnya. Berdasarkan petunjuk dan
ajaran al-Qur'an; mempertemukan kebaikan dunia dan
akhirat; memadukan al-Qur'an dengan teori-teori ilmu
pengetahuan

yang

valid

kebenarannya;

menunjukan

bahwa al-Qur'an merupakan kitab yang bisa sesuai dengan


37Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, op.cit., II, hlm. 547. Hamim Ilyas dalam
tulisannya mengatakan bahwa komitmen dan tujuan tafsir seperti ini disebut
sebagai Tafsir Modern, karena tujuan tafsir modern pada dasarnya identik
dengan tujuan ilmu pengetahuan yang dikembangkan untuk mewujudkan
kesejahteraan umat manusia. Karena itu metode-metode yang digunakannya
secara umum bisa disebut dengan Tawi>l Ilmi, dengan pengertian tafsir yang
mempunyai komitmen pada ilmu pengetahuan. Komitmen secara
epistemologis dilakukan dengan mengapresiasi akal dan empiri yang menjadi
sumber pengetahuan; dan komitmen secara aksiologis dilakukan dengan
memproduksi makna yang maslahat bagi kehidupan manusia, yang menurut
istilah Abduh adalah kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Lihat Hamim
Ilyas, Hermeneutika al-Qur'an Studi Tafsir Modern, Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Hermeneutika Al-Qur'an: Pergulatan tentang
Penafsiran Kitab Suci, Yogyakarta 10 April 2003.

17

perkembangan umat manusia; dan menolak salah persepsi


terhadap al-Qur'an. Al-Z|ahabi> mengkritik aliran yang
digagas Abduh ini karena memberikan kebebasan yang
besar kepada akal,38pendapat al-Z|ahabi> senada dengan
M. Qurash Shihab.39
Langkah-langkah hermeneutik yang diformulasikan oleh
Muh}ammad Abduh untuk memahami al-Qur'an adalah
sebagai berikut:40
1. Memahami data-data kosakata yang ada dalam alQur'an menurut makna umumnya sebagaimana ketika
diturunkan, dengan tidak mengikuti makna para
mufassir terdahulu.
2. Memahami stilistika. Dalam hal ini diperlukan ilmu Irab
dan ilmu stilistika (maa>ni>).
3. Sebagai tindak lanjut langkah ke tiga dan merupakan
derivasinya yaitu memahami tentang kondisi yang
melekat pada masyarakat Arab dan lainnya pada saat
al-Qur'an diturunkan.
4. Kelanjutan dari langkah kelima yaitu pengetahuan
tentang masyarakat Arab dan lainnya dan pada era
kenabian yaitu perjalanan hidup Rasulullah SAW. dan
sahabat-sahabatnya, serta tingkah laku yang berkaitan
dengan dunia dan ukhrawi yang mereka jalankan.
5. Langkah ketiga yaitu memahami ilmu mengenai kondisi
manusia. sebab orang yang meniliti al-Qur'an mesti
mempertimbangkan
kondisi-kondisi
perkembangan
manusia, faktor-faktor yang mempengaruhi. Di samping
itu juga mengetahui perlambangan dunia dan global. Di
sini dibutuhkan berbagai disiplin, yang terpenting
adalah sejarah dengan segala jenisnya.
Studi al-Qur'an kritisisme sastra mengenai keunikan
epistimologis dan aksiologi sastra al-Qur'an, yang telah
melahirkan lingkaran struktur sastra makna keagamaan
38Muh}ammad H{usain al-Z|ahabi>, op.cit., II, hlm. 548-549.
39M. Quraish Shihab, Persoalan Penafsiran Metafori atas Fakta-Fakta
Tekstual dalam
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Metaforis1.html.
40Ami>n al-Khu>li> dan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Metodeop.cit., hlm.
127-129.

18

berdasrakan al-Qur'an. Pertama aspek sastra al-Qur'an


tidak terbatas pada dua unsur struktural meminjam bahasa
Ta>ha> H{usain dengan pertalian (qayud bentuk tunggal
qayd) al-Qur'an mengikat dirinya sendiri dengan merujuk
kepada (1) persajakan dan bunyinya (assonant) pada akhir
ayat-ayat, (2) suara musik yang khas susunan katakatanya.

Bahkan

aspek

sastra

al-Qur'an

banyak

mengandung unsur yang mencakup, gaya bahasa, retorika


(Ilm balagah), fonologi (Ilm al-S{aut), morfologi (Ilm alS{arf), sintaks, ritme, komposisi dan. (3) hal-hal yang
berhubungan dengan nada, suara, oralitas, imajinasi,
simbolisme,

alegori,

aliran

(genre),

sudut

pandang,

intertekstualitas dan aspek sastra lainnya.41


Dua premis yang dibicarakan oleh Abduh tentang
uslu>b narasi dalam cerita al-Qur'an hanya dimaksudkan
untuk tujuan keagamaan, untuk mendapatkan pelajaran
dari cerita dan tidak ada kaitannya dengan pengamatan
alami yang logis atau historis terhadap relitas di luar alQur'an; Pengantar Abduh (1848-1905) dijadikan oleh
muridnya
Ta>ha>
H{usain
(1889-1937)42
untuk
membangun kajian kebaruan al-Qur'an dari sisi uslu>b.
Dalam pandangan Ta>ha> H{usain pada initinya bahwa alQur'an merupakan pengaruh artistik yang indah, dan alQur'an memainkan perangaruhnya terhadap masyarakat
pada zamannya melalui kenyataan.43
Pandangan yang dibangun oleh Abduh dan Ta>ha>
H{usain menjadi pijakan intelektual lainya yang berusaha
memahami al-Qur'an dengan pendekatan sastra yaitu
Ami>n al-Khulli> (1895-1965). Berbeda dengan Abduh
41Dede Iswadi, Hermeneutik Sastra al-Qur'an Resensi buku Issa J. Boulatta
(ed.) Literary Structures of Religion Meaning in The Qurani, dalam Jurnal
Agama Islam, Volume 1. No. 2 Jan-Des 2002 (Yogyakarta: IAIN Sunan Kaljaga,
2002), hlm. 402-403.
42Ami>n al-Khu>li> dan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Metodeop.cit., hlm.
121-122.
43Ibid., hlm. 150-151.

19

menurut Ami>n al-Khu>li> bahwa tujuan tafsir adalah


bukan untuk mendapat hidayah tetapi tujuan tafsir adalah
al-baya>n, tujuan tersebut harus dipahami terlebih dahulu
sebelum mewujudkan tujuan sesuatu yang lainnya, baik
tujuan yang bersifat ilmiah, praksis, keagamaan ataupun
duniawi. Nas}r H}a>mid Abu> Zaid menjelaskan bahwa
yang dimaksud al-baya>n oleh Ami>n al-Khu>li> adalah
pengantar sastra secara semantik mirip seperti yang
diungkapka oleh Ami>n al-Khu>li> dengan konsep
metode bahasa-artistik Ta>ha> H{usain44
Ami>n al-Khu>li> berupaya mendekontruksi wacana
tafsir ke dalam dua metode kajian sastra, metode kritik
ektstrinsik (al-naqd al-kha>riji), dan metode kritik intrinsik
(al-naqd al-da>khili>) yang lahir pada awal pembaharuan
tentang pemahaman turas\ secara total dan menghidupkan
budaya kritik terhadapnya.45
Kritik ekstrinsik diarahkan pada kritik sumber, kajian
holistik terhadap faktor-faktor eksternal munculnya sebuah
karya, baik sosial-geografi, religio-kultural maupun politis
untuk dapat memetakan karya sastra secara proposional.
Sedangkan kritik intrinsik diarahkan pada teks sastra itu
sendiri dengan analisis linguistik menggunakan perangkat
analisis ilmu balagah; maa>ni> (berkenaan dengan analisi
struktur teks), baya>n berhubungan dengan bentukbentuk ekpresi kalimat), badi> (berkaitan dengan
keindahan
ungkapan).46
Fann
al-Qawi
mencoba
menguraikan internalisasi bahasa dengan budaya dengan
melihat
pengaruh
bahasa
terhadap
pertumbuhan
47
peradaban.
Ami>n al-Khu>li> dalam memahami teks al-Qur'an,
membangun wilayah hermeneutik sastra dari unthinkable
menjadi thinkable. Ami>n al-Khu>li memahami teks al44Ibid., hlm. 125-126.
45Mohamad Nur Kholis S, Pengantar dalam J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir alQur'an Modern (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm. xiv.
46Ibid.
47Ibid.

20

Qur'an sebagai kitab sastra dengan pisau analisis


linguistik-filologis teks yang merupakan upaya untuk
menangkap pesan moral al-Qur'an.48
Usaha yang dilakukan oleh Ami>n al-Khu>li> tidak
bermaksud untuk menyamakan al-Qur'an setara dengan
karya sastra pada umumnya, akan tetapi ia bermaksud
menemukan ruh sosial kebudayaan al-Qur'an dan hidayah
yang terkandung dalam komposisinya sebagaimana yang
ditangkap oleh Rasulullah SAW., dengan memetakan
wilayah kajian al-Qur'an terbagi dua yakni studi sekitar alQur'an (dira>sah ma> h}awla al-Qur'a>n) dan studi
tentang teks itu sendiri (dira>sah fi> al-Qur'a>n).49
Kajian pertama diarahkan pada investigasi latar
belakang al-Qur'an dari proses pewahyuan, perkembangan,
dan sirkulasinya dalam masyarakat. Arah sebagai obyek
wahyu beserta kodifikasi dan variasi cara baca disiplin
ilmu al-Qur'an-. kajian ini pula difokuskan pada aspek
sosio-historis al-Qur'an termasuk di dalamnya situasi
intelektual, kultural, geografis dan antropologis wahyu
dengan masyarakat Arab abad ke 7 saat al-Qur'an
diturunkan sebagai obyek langsung teks wahyu tersebut.50
Langkah-langkah penafsiran yang dibangun Ami>n alKhu>li> seperti yang disimpulkan dari kitab mana>hij
tajdi>d oleh Aisyah Abd al-Rah}ma>n atau Bintu alSyat}i> sebagai berikut:51
1. Pokok

prinsip metodologinya memahami al-Qur'an


secara obyektif memulainya dengan mengumpulkan
surat atau ayat secara tematik.

2. Memahami gagasan yang terkandung dalam al-Qur'an

menurut konteksnya, seperti riwayat-riwayat asba>b al48Mohamad Nur Kholis S, Pengantar dalam J.J.G. Jansen, Diskursusop.cit.,
hlm. xv.
49Ami>n al-Khu>li> dan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Metodeop.cit., hlm. 64.
50Mohamad Nur Kholis S, lo.cit.
51A<isyah Abd al-Rah}ma>n, Kata Pengantar Cetakan Kelima,Tafsir
Bintusy-Syathi terj. Mudzakir Abdussalam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 4142.

21

nuzu>l sebagai konteks yang menyertainya turunnya


ayat berpegang pada keumuman lafalnya, bukan pada
sebab khusus turunnya ayat.
3. Memahami pentunjuk lafal atau memahami arti kata-

kata dalam al-Qur'an -bahasa Arab yang digunakan oleh


al-Qur'an- harus dicari arti linguistik aslinya yang
memiliki rasa kearaban kata tersebut dalam berbagai
penggunaan material dan figuratif.
4. Memahami rahasia-rahasia ungkapan berpegang pada

makna teks maupun semangatnya, kemudian makna


tersebut diformulasikan dengan pendapat mufassir.
Melalui cara dengan menerima apa yang ditetapkan
dengan nas}, menjauhi kisah-kisah isra>iliyat, nodanoda nafsu, paham sekterian, dan takwil yang berbau
bidah.

Perbedaan antara Ami>n al-Khu>li> dengan


A<isyah Abd al-Rah}ma>n yaitu Ami>n al-Khu>li>
berakar
pada
Fann
al-qaul
(seni
wacana)
mengembangkan teori balagah klasik dengan teori
sastra, sementara A<isyah Abd al-Rah}ma>n hanya
sebatas pada kajian balagah.52
Salah satu murid Ami>n al-Khu>li> yang mengikuti
jejak langkahnya yaitu Muh}ammad A. Khalafullah dalam
karyanya al-Fann al-Qas}as} fi> al-Qur'a>n al-Kari>m.
Ada
dua
faktor
yang
mendorong
Khalafullah
memofokuskan pada kajian sastra. Pertama gagasan
dasar
Ami>n
al-Khu>li>
tentang
penggunaan
pendekatan sastra dalam hal ini menafsirkan kisah-kisah
al-Qur'an. Kedua kekagumannya terhadap ulama us}u>l
al-fiqh dalam pembahasan linguistik dan pemahaman
teks al-Qur'an ketika mengeluarkan hukum dan
52Wawancara dengan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid Nashr Hamid Abu Zayd:
Otoritas Tak Berhak Mengarahkan Makna Agama dalam Tashwirul Afkar:
Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, edisi No. 18 Tahun
2004 (Jakarta: LAKSPEDAM dan TAF, 2004), hlm. 145.

22

menetapkan ketentuan-ketentuan syariat yang berasal


dari al-Qur'an.53
Khalafullah menegaskan bahwa dalam memahami
dan
menangkap
pesan
al-Qur'an
tidak
boleh
mencampuradukan arti teks dengan budaya, ilmu, dan
teologi yang dipegang oleh mufassir, hal itu untuk
menggali berbagai macam gagasan, keyakinan dan
pemikiran ilmiah, serta sosial dari pesan-pesan yang
tersirat
yang
terdapat
dalam
teks
al-Qur'an. 54
Sebagaimana diungkapkan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid
bahwa dalam menafsirkan teks untuk seorang mufassir
meninggalkan ideologi (talwi>n).55
Langkah-langkah dalam kajiannya tak jauh dengan
yang diutarakan oleh Ami>n al-Khu>li> dengan
dimodifikasi Khalafullah menguraikan sebagai berikut:56
1. Menentukan dan mengumpulkan teks secara tematik.
2. Mensistemasi historis teks, perkembangan aktivitas

keilmuan sastra dan peranan dinamika sastra secara


global.
3. Menafsirkan teks yang terbagi dalam dua model.

Pertama
pemahaman
tekstual
(h}arfi)
yaitu
pemahaman terhadap arti kata, susunan dan betuk
kalimat. Kedua pemahaman sastra yaitu kemampuan
mengapresiasikan sisi logika, psikologis, seni yang
dimiliki teks.
4. Pembagian

dan penyusunan yang merupakan


pemahaman
sastra.
Teks-teks
yang
sudah
dikumpulkan diklarifikasi ke dalam unit-unit kesamaan
frase, tema, dan tujuan. Kemudian dimensi seni sastra
dan fenomena sastra al-Qur'an.

53Muh}ammad A. Khalafullah, al-Qur'an Bukan Kitab Sejarah: Seni Sastra dan


Moralitas dalam Kisah-Kisah al-Qur'an, terj. Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin
(Jakarta: Paramadina, 2002) hlm. 11.
54Ibid., hlm. 12.
55Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Kritik Wacanaop.cit., hlm. 119-122.
56Muh}ammad A. Khalafullah, op.cit., hlm. 19-21.

23

5. Orisinalitas dan taklid. Persoalan ini sangat penting

bagi para pemerhati wacana ilmu pengetahuan atau


seni, serta bagi siapa saja yang tertarik dalam
memahami persoalan sastra dan ilmu pengetahuan.

Penafsiran menurut Nas}r H}a>mid Abu> Zaid adalah


proses decoding atas teks karena dinamika encoding
linguistik yang spesifik dari teks al-Qur'an menyebabkan
proses decoding yang tiada berakhir. Namun dalam proses
decoding

penafsir

sosio-kultural

harus

kontekstual

mempertimbangkan
dengan

makna

menggunkan

kritik

historis sebagai analisis permulaan kemudian analisis


linguistik dan kritik sastra dengan memanfaatkan teori
sastra.57
Gagasan Ami>n al-Khu>li> tentang nilai sastrawi alQur'an (adabiyyah al-Qur'a>n) dijadikan acuan oleh Nas}r
H}a>mid Abu> Zaid, kemudian dikembangkan menjadi
hermenutika

sastra

al-Qur'an

yang

didasarkan

atas

metode linguistik dan kritik sastra kontemporer. Nas}r


H}a>mid Abu> Zaid menguraikan bahwa sebenarnya
kajian tentang konsep teks adalah kajian tentang hakikat
dan sifat al-Qur'an sebagai bahasa dalam artian dari
struktur teks, semantik dan kaitannya dengan teks-teks
lainnya dalam kebudayaan tertentu (intertekstual), masuk
pada

wilayah

kajian

sastra

menurut

kesadaran

kontemporer. Teks dapat menjadi kajian ilmu-ilmu lain,


dari segi linguistik dengan berbagai cabangnya, fonetik,
semantik dan leksiografi.58 Kajian sastra dengan teks
57Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur'an: Teori Hermeneutika
Nashr Abu Zayd (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 101.
58Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Tekstualitas al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulum alQur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 1993), hlm. 12. Prinsip
penafsiran terhadap al-Qur'an secara obyektif Nas}r H}a>mid Abu> Zaid

24

sebagai konsep sentralnya cukup menjamin terwujudnya


kesadaran

ilmiah

untuk

mengatasi

dominasi

kepentingan ideologis.59
Oleh karena itu, wajar jika teks al-Qur'an dirumuskan
sebagai wujud komunikasi melalui oposisi biner linguistiksosiologis, yakni relasi antara pengirim (Allah) dengan
penerima melalui kode atau simbol bunyi bahasa. Akan
tetapi bahasa mengalami perkembangan seiring gerak
lajunya

masyarakat

dan

budaya.

Konteks

linguistik

berkembang melampaui makna yang tersurat, karena


melalui struktur bahasa akan terungkap makna yang lebih
luas. 60

mengajukan dua premis yaitu premis mayor dan premis minor, premis minor
berkaitan dengan bahasa keagamaan teks yakni mengubah makna bahasa
menjadi makna keagamaan yang baru. Premis mayor bahwa al-Qur'an
dibahasakan dengan bahasa Arab secara umum dan dari penggunaan secara
historis. Misalnya kata al-S{alat, al-Zakat, al-Saum dan lain-lainnya
dipergunakan sebagai term-term dan praktek peribadatan dan ritual
keagamaan Islam yang berbeda dari makan asli pada sebelum Islam. Moch.
Nur Ichwan, Meretas op.cit., hlm. 96-97.
59Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Tekstualitas ibid., hlm. 3. Gagasan awal Nas}r
H}a>mid Abu> Zaid adalah al-Qur'an sebagai teks (al-Qur'a>n ka Nas}s})
kemudian mengusulkan al-Qur'an sebagai wacana (al-Qur'a>n ka Khita>bin)
yang dimaksud dengan wacana di sini adalah konsep teks yang didasarkan
pada teks-teks tertulis, dengan penulisnya, desainnya yang tersusun dengan
baik yang memiliki koherensi tanpa kontradiksi, namun ketidakcocokan
terletak pada perdebatan yang mengarah pada ideologisasi, seperti masalah
muh}kam dan mutasya>bih masing-masing maz\hab memiliki pegangan yang
berbeda, baik Mutazilah, Hanafiyyah, Syafiiyyah maupun mazhab yang
lainnya. Hingga saat ini ideologi sangat kuat mewarnai penafsiran al-Qur'an,
ideologi fundamental, ideologi Ahmadiyah, ideologi NU, ideologi
Muhammadiyah dan seterusnya. Oleh karena itu al-Qur'an sebagai teks
mudah terperangkap oleh ideologisasi al-Qur'an, akan tetapi jika melihat
gerak ke belakang pada saat turunya al-Qur'an sebelum menjadi mus}haf
sekitar 22-23 tahun al-Qur'an sebagai wacana, sebagai diskusi, sebagai
dialog bersama dengan Rasulllah SAW., ini apa yang disebut oleh Arkoun
sebagai fenomena yang hidup dari al-Qur'an. Wawancara dengan Nas}r
H}a>mid Abu> Zaid Nashr Hamid Abu Zayd: Otoritas Tak Berhak
Mengarahkan
60Makna Agama dalam Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan dan Kebudayaan, edisi No. 18 Tahun 2004 (Jakarta: LAKSPEDAM
dan TAF, 2004), hlm. 146-147.
Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Kritik Wacanaop.cit., hlm. 109.

25

Transformasi

sistem

bahasa

menjadi

tanda-tanda

semiotik dalam sistem lain yang lebih tinggi ini adalah


proses yang disebut semiosis. Dalam hal ini Nas}r
H}a>mid Abu> Zaid menjelaskan uraian Abd al-Qa>hir
al-Jurjani> tentang transformasi makna yang terjadi
dalam berbagai retorika, khususnya metafora (istia>rah),
analogi (tams\i>l), dan alusi (kinayah). Makna yang lahir
di sini tidak semata-mata dihasilkan dari hubungan katakata/tanda-tanda, juga tidak komposisi/gramatikal belaka,
namun melalui transformasi makna umum (yang lahir
dari

interaksi

makna

kata-kata

dengan

relasi-relasi

komposisi) ke dalam tanda umum yang mengarah pada


pengertian lain.61
Tanda umum yang dihasilkan dari hubungan semiosis
ini

-citra

inderawi

pandangan

nyata,

pendengaran,

perabaan, penciuman, dan sebagainya- serupa dengan


ikon-ikon/simbol-simbol. Proses semiosis tersebut kata
menunjukan arti lahiriyah, lalu pendengaran dengan cara
deduksi mempercantik arti lahiriah kepada tingkatan
makna yang kedua.62
Konsep bahasa sebagai sistem tanda termasuk sistem
gerak dan isyarat Abd al-Qahir al-Jurja>ni> berpendapat
bahwa kata tidaklah menunjukan dalam dirinya, tetapi
karena adanya konvensasi dari masyarakat. Dari sini
Nas}r

H}a>mid

Abu>

Zaid

beralih

ke

teori

yang

dikembangkan F. De Sasusure tentang penanda (signifier)


dan

penanda(signified)

tanda

bahasa

(unit

bahasa)

tidaklah menunjuk kepada sesuatu tapi kepada konsep


61Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema
(Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 261.
62Ibid.

26

mental

63

tertentu. Konsep mental inilah yang disebut

petanda. Petanda bukanlah sesuatu yang dikatakan atau


simbol yang ditulis, tetapi gambar suara, yakni efek
psikologis yang ditinggalkan suara yang didengar atau
simbol

yang

tertulis,

dengan

kata

lain

adalah

penggambaran suara dalam hati.64


Kemudian Nas}r H}a>mid Abu> Zaid mengembangkan
teori makna dan signifikansi yang dirujuk dari E.D Hirch.
Makna adalah makna yang dipresentasikan oleh teks dan
signifikansi adalah apa yang muncul dalam hubungan
antara makna dan pembaca. Bukanlah makna teks yang
berubah tetapi yang berubah signifikansinya.65
Menurut Nas}r H}a>mid Abu> Zaid Level makna
pesan teks mempunyai tiga level. Pertama makna yang
hanya menunjukan kepada bukti historis yang tidak
ditafsirkan secara metaforis. Di sini makna berhenti pada
karitik historis. Kedua makna yang menunjuk fakta historis
dan dapat ditafsirkan secara metaforis. Ketiga adalah
makna yang diperluas oleh signifikansi yang diturunkan
dari makna yang obyektif.

66

Langkah-langkah penafsiran al-Qur'an yang dibangun


oleh Nas}r H}a>mid Abu> Zaid adalah sebagai berikut:
1. Menentukan ayat-ayat al-Qur'an secara tematik yang
dimaksudkan untuk memahami perbedaan konteks
historis dan linguistiknya.
2. Menganalisis ayat dari level-level makna
63Contoh dalam al-Qur'an surat Jinn menjelaskan bahwa Jinn itu ada dan alQur'an menggunakan kepercayaan kultural atau yang disebut Nas}r H}a>mid
Abu> Zaid dengan konsep mental yang ada dalam budaya Arab pra-Islam.
Moch. Nur Ichwan, op.cit., hlm. 92.
64Ibid., hlm. 88.
65Ibid., hlm. 88-89.
66Ibid., hlm. 90.

27

3. Memperhatikan arah teks yang dibaca yakni makna


yang dimaksud dengan memahami ilmu-ilmu al-Qur'an
secara kritis.
4. Mencari

aspek-aspek

yang

tersirat

dengan

menggunakan kritik historis dan kritik linguistik.


5. Menafsirkan teks al-Qur'an secara obyektif dengan
tidak terpengaruh oleh ideologi penafsir.
Teori

bahasa

Chomsky

Transformasi-generatif
Descartes

melalui

yang

dikenal

sebagai

dihubungkan

dengan

falsafah

istilah

Cartesian

Linguistics

yang

diciptakan oleh Chomsky sendiri. Bahkan salah satu buku


chomsky yang penting berjudul Cartesian Linguistics.
Gagasan Descartes demikian berpengaruhnya kepada
chomsky sehingga kemudian dapat digariskannya ciri-ciri
penting Cartesian Linguistics, Yaitu: a) Bahasa tidak
semata-mata

untuk

fungsi

komunikatif,

tetapi

lebih

sebagai alat pernyataan pemikiran dan sebagai gerak


balas yang tepat kepada situasi baru. b) Bahasa memiliki
dua aspek, yaitu aspek dalam dan aspek luar. c)
Pengolahan rumus-rumus tata bahasa tidak takluk kepada
data empiris. d). Yang penting dalam tata bahasa dan
logika

ialah

bagaimana

menggabungkan

ide-ide,

bahasa
bukan

menampilkan
soal

kaitan

dan

bahasa

dengan realiti.67
Suatu aspek lain yang penting dalam teori Chomsky
ialah hakikat bahasa

mempunyai struktur dalam dan

struktur luar. Secara ringkas, struktur dalam ialah struktur


bahasa yang berada jauh dalam fikiran dan tidak dapat
67Awang Sariyan, Falsafah Bahasa dalam Tradisi Barat: Perkembangan
Dalam
Zaman
Modern,
http://dbp.gov.my/dbp98/majalah/bahasa99/j07jaran.html.

28

ditangkap oleh pancaindera, sedang struktur luar ialah


struktur

yang

dapat

diamati

atau

diperhatikan.

Pembedaan dua struktur ini dilakukan oleh Chomsky


berdasarkan teori Descartes dan Port Royal yang juga
tergolong sebagai mentalis. Penelitian terhadap dua aspek
bahasa ini penting dalam konteks memahami bahasa
sebagai wahana yang melahirkan makna (struktur dalam)
dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa yang tersusun menjadi
kalimat (struktur permukaan).68
Mekanisme yang menghubungkan kedua struktur,
atau lebih tepat lagi yang memperjelas struktur dalam
(proposisi, makna, dan fikiran) menjadi struktur luar
(struktur kalimat yang tercermin oleh representasi fonetik)
ialah tata bahasa. Tata bahasa ini disebut tata bahasa
transformasi-generatif,

yaitu

tata

bahasa

yang

mentransformasikan dan membentuk makna menjadi


kalimat. Walau bagaimanapun, dalam versi-versi tata
bahasa generatif sesudah Syntactic Structures.
Langkah-langkah pendekatan hermeneutik yang harus
diperhatikan dalam memahami al-Qur'an adalah sebagai
berikut:
1. Pada prinsipnya metodologi adalah penanganan yang
obyektif terhadap al-Qur'an, penilitian ini dimulai
dengan

mengidentifikasi

ayat-ayat

Qur'an

berdasarkan kriteria yang telah dibangun oleh para


ahli tafsir.
2. Memhami

kosakata-kosakata

dalam

konteks

pemakaian kebahasaannya saat al-Qur'an diturunkan,


dan memahami latar belakang turunnya al-Qur'an .
68Ibid.

29

3. Memahami ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan secara


tematik.
4. Memahami stilistika, dalam hal ini diperlukan ilmu
irab dan ilmu stilistika (al-maa>ni> dan al-baya>n).
5. Mengetahui ilmu tantang manusia, faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan, situasi, dan kondisi
latar belakang. Dalam hal ini membutuhkan berbagai
disiplin yang terpenting adalah sejarah dengan segala
jenisnya.
6. Memahami teks al-Qur'an untuk menggali pesanpesan yang tersirat dengan memahami penafsiran
para mufassir, dan kontekstualisasi.
7. Memahami teks al-Qur'an secara obyektif, dengan
kesadaran

ilmiah

yang

tinggi

untuk

mengatasi

dominanasi kepentingan ideologis.


Dari uraian singkat di atas penulis mencoba meringkas
beberapa karakteristik dari pendekatan hermeneutik sastra
al-Qur'an sebagai berikut :
1. Hermeneutika adalah metode penafsiran teks atau
penafsiran

kalimat

sebagai

simbol.

Materi

pembahasannya meliputi dua sektor yaitu: pertama


perenungan filsofis tentang dasar-dasar dan syaratsyarat konstruksi pemahaman, kedua pemahaman dan
penafsiran teks itu sendiri melalui media bahasa.
2. Pendekatan sastra bersifat normatif dan deskriptif
maka

hermeneutik

menguraikan

adalah

keseluruhan

pendekatan

menjadi

yang

bagian-bagian

(makna dari struktur permukaan), memahami bagianbagian menjadi keseluruhan (makna struktur dalam).
Sebab yang dicapai oleh hermeneutik adalah makna

30

terdalam atau nilai dari suatu teks, nilai ini tidak


berada di belakang teks tapi melanglang ke depan
teks,

dengan

demikian

arti

suatu

teks

menurut

pendekatan heremeneutik sastra adalah berkelanjutan


dan senantiasa baru.
3. Hermeneutika sastra al-Qur'an adalah pendekatan
yang mendasarkan pada pengkompromian filsafat dan
kritik sastra yang memfokuskan problem pemahaman
dan penafsiran al-Qur'an. Memahami teks al-Qur'an,
adalah upaya memahami realitas kekinian melalui
bahasa. Keberadaan bentuk ini menjadikan proses
pemahaman menjadi mungkin, fleksibel, dan lestari.
b. Hermeneutik al-Quran dan Hadis: Fiqh al-Tafsi>r wa al-

Tawi>l
Pembahasan di bawah ini merupakan suatu hasil dari
rangkaian perkuliahan pada matakuliah Hermeneutik al-Quran
yang telah diajarkan oleh M. Amin Abdullah di Kelas Studi alQuran Hadis Universitas Islam Negeri Yogyakarta. M. Amin
Abdullah memberikan berbagai referensi yang dapat
menunjang kajian Hermeneutik al-Quran dan referensi itu
dibahas bersama dalam diskusi dan perbedatan yang indah.
Dari perkuliahan itu, hermeneutik al-Quran dan Hadis didasari
atas beberapa hal yang terdiri atas: 1. rekontruksi teks, 2.
membongkar otoritarianisme, 3. lingkaran hermeneutik.
Penafsir harus memahami komunitas interpretasi dengan
memperhatikan aspek-aspek disiplin ilmu yang berkaitan, 4.
menghadapi ambang batas relativisme sebagai suatu upaya
memahami keragaman makna dan tidak terjebak pada sikap
relativ. Suatu yang berkaitan dengan hermeneutik al-Quan
dan Hadis diuraikan di bawah ini.
1. RekontruksiTeks: Terbuka dan Tertutup

31

Problem utama penafsiran adalah merekontruksi teks yang


tertutup menjadi terbuka. Ketika ditafsirkan Teks bersifat
otonom, dalam artian dapat ditafsirkan oleh siapa saja
yang mempunyai kemampuan untuk menafsirkannya. Teks
tidak lagi terpampang dalam etalase keilmuan yang tak
boleh disentuh, akan tetapi ditafsirkan dalam rangka
memberikan pemaknaan sesuai dengan perkembangan
pemikiran manusia.
Peradaban sekarang merupakan peradaban teks. Teks
merupakan realita yang terbahasakan dengan bahasa
manusia sedangkan bahasa tersusun secara terstruktur
dan berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran
manusia. Oleh karena itu bahasa bukan merupakan wahyu
(tauqi>fi>) melainkan dibuat dan direkonstruksi dari kodekode yang terdapat dalam realitas. Hal ini juga al-Qur'an
dan al-Hadis yang telah terkodifikasi dalam sebuah mushaf
dan kitab-kitab hadis.
Sejumlah tradisi dibentuk oleh komunitas kaidah bahasa,
asumsi historis, dan keyakinan umum. Dalam pandangan
Gadamer, komunitas interpretasi ini secara historis tidak
mandiri, bersandar pada prasangka historis, dan selalu
berubah dan berkembang. Pandangan gadamer ini dikritik
oleh

para

pengikutnya

khususnya

Habermas,

bahwa

Gadamer sebagai penganut relativitas dan pendukung


ketidakpastian makna.
Al-Qur'an dipandang sebagai firman Tuhan yang abadi,
diwahyukan, dihafal, diriwayatkan secara lisan, dihimpun,
dan ditulis pada masa sahabat sepeninggal Nabi. Proses
periwayatan secara lisan ini banyak mengundang beberapa
pertanyaan.

Di

antaranya

bagaimana

konteks

32

kepengarangan periwayatan secara lisan? apakah para


perawi al-Qur'an dipandang sebagai bagian dari proses
kepengarangan?
Gagasan kepengarangan al-Qur'an tidak tercipta begitu
saja dan telah mengalami perubahan. Namun untuk
menghormati perasaan umat Islam, tidak menggunakan
ungkapan

proses

kepengarangan

al-Qur'an.

Namun

berbeda dengan sunnah, tidak ada dogma Islam yang


menegaskan keabadian Hadis dan perlindungan Tuhan
terhadap literatur hadis dari campur tangan manusia
memunculkan ada tingkat subjektivitas kreatif yang tinggi
dalam

proses

pengujian

autentisitas,

dokumentasi,

penyusunan, dan penyampaian riwayat.


Meskipun Tuhan menjadikan al-Qur'an menjadi media
dengan cara sempurna untuk mengungkapkan dirinya,
akan tetapi bahasa yang dijadikan mediasi sangat terbatas.
Jika sebuah bahasa dapat menampung keluhuran Tuhan,
maka

bertentangan

dengan

kagunaan

Tuhan

dan

keabadian-Nya.
Berbeda dengan Sunnah dipandang sebagai sebuah korpus
riwayat tak berbentuk tentang perilaku, sejarah (sirah), dan
perkataan (hadis) Nabi dan juga mencakup berbagai ragam
riwayat tentang sahabat Nabi. Pada mulanya, sunnah
dituturkan secara lisan hingga akhirnya didokumentasikan
dalam berbagai kitab yang dikenal dengan isilah sunan
atau musnad. Dalam bentuk lisan, sunnah merekam tradisi
yang hidup dalam masyarakat muslim terdahulu. Dalam
bentuk lisan, hadis-hadis tersebut tidak lagi berubah dan
berkembang tapi rekaman dalam bentuk yang terstruktur
dan terorganisir.

33

Rekonstruksi ilmu-ilmu hadis dengan mempertimbangkan


di luar pembahasan terdahulu yang telah dilakukan oleh
para ulama. Misal Ilmu al-adl wa al-tarjih, kajian ilmu ini
harus mendapat warna baru dalam kajian Hadis, maka
selain prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh ulama
terdahulu penting untuk dicatat yaitu berkaitan dengan
pertimbangan sosial, politik, dan teologis masuk kedalam
kajian kredibilitas para perawi hadis. Ilm ila al-matn yaitu
pendekatan

yang

ditawarkan

dalam

mengevaluasi

persoalan yang terkait dengan subtansi redaksi hadis


(matn), rantaian tranmisi (isnad), kondisi historis (zharf alriwayah), dan konsekuensi moral serta solusinya.
Kritik terhadap pemilihan, pengujian autentisitas, dan
pembukuan hadis bukanlah hasil formula matematika, atau
proses

yang

sangat

terstruktur.

Namun

para

ulama

tersebut memahami dan menanggapi, menegosiasikan dan


menciptakan,

serta

dipengaruhi

dan

memperngaruhi

berbagai konteks ketika mereka memutuskan bahwa suatu


hadis itu berasal dari Rasulullah, sahabat, atau bukan.
Kiadah-kaidah interpertesi, muhkam-mutasyabih, ammkha>s}s},

mutlaq-muqayyad,

seperangkat

kaidah

seperangkat

metodologis

mengkontrol

dan

h}aqi>qi-majzi,

interpretasi
yang

membatasi

dipandang

dan

sebagai

dimaksudkan

subjektivitas

untuk

interpretsi

pembaca terhadap teks. Namun seperangkat metodologis


ini

merupakan

suatu

konteks

dalam

rangka

mengedepankan pengendalian diri dan tanggungjawab


dalam mendiskusikan teks.
Mengenai

dinamika

makna

yang

diciptakan

oleh

komunitas interpretasi cenderung berfokus pada hubungan

34

antara

makna

bahasa

dan

representasi

mental,

kemungkinan antara interpretasi bahasa berbasis logika


dan interpretasi berbasis psikologi. Kemajuan dalam bidang
semoitik

dan

dengan

lebih

psikologi
baik

membantu

metode

untuk

yang

memahami

digunakan

untuk

memformulasikan makna, dan peran sumber rujukan,


asosiasi, tanda dan simbol dalam membentuk makna.

2. Membongkar otoritarianisme
Dalam penafsiran al-Qur'an dan hadis perlu ada penafsiran
dan pemaknaan baru, karena seringkali para penulis yang
menggunakan frasa ini, dalam hidup bermasyarakat dan
sikap intelektualnya masih cenderung otoriter-angkuh.
Penafsiran otoriter cenderung menafsirkan teks secara
sewenang-wenang dan tidak mengindakan rasa keadilan
pada

semua

pihak.

otoritarianisme

harus

Untuk

tidak

diperhatikan

terjebak
5

syarat

pada
dalam

menafsirkan.
Dalam hal ini untuk mempermudah ingatan terhadap
mengusulkan
pengaman

ada

supaya

sewenang-wenang

lima

persyaratan

tidak

mudah

atas

sebagai

katup

melakukan

tindak

penafsiran,

Penulis

memformulasikan pemikiran Khaled Abu al-Fadhl yang


dengan istilah MERCEDHEST yaitu;
secara

reasonableness,

CE

ME

menafsirkan

comprehensiveness,

Diligence, HE Honesty dan ST Self-Restraint


Uraian tersebut yaitu, (1) tindakan yang masuk akal
(reasonableness); (2) mempertimbangkan berbagai aspek
yang terkait (comprehensiveness); (3) sungguh-sungguh

35

(diligence) ; (4) kejujuran (honesty); dan (5) kemampuan


dan keharusan seseorang, kelompok dan organisasi atau
lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan diri (selfrestraint)

;.

Kelima-limanya

dijadikan

sebagai

acuan

parameter uji sahih untuk meneliti berbagai kemungkinan


pemaknaan

teks

sebelum

pada

akhirnya

harus

memutuskan dan merasa yakin bahwa dirinya memang


mengemban sebagian perintah Tuhan
3. Lingkaran Hemeneutik: New Horison
Tiga komponen hermeneutik yang harus diperhatikan
ketika menafsirkan teks yaitu, teks, pengarang atau
penafsir dan audiens (pembaca) yang disebut hermeneutic
circle. Hermeneutic circle ini, masing-masing memiliki
horizon ruang dan waktu yang berbeda. Teks lahir pada
dimensi ruang dan waktu tertentu; penafsir membumikan
teks dalam sejarah yang berbeda; sementara pembaca
silih berganti lintas ruang dan waktu. Tugas hermeneutik
pada

intinya

adalah

mendialogkan dengan

seimbang

triadic structure tersebut.


Dalam bagain di bawah ini, ketiga komponen hermeneutik
harus ditafsirkan dalam multidisiplin keilmuan. Baik teks
berupa antropologi, psikologi, sosiologi, filasafat, politik,
kedokteran, saint, religi. Begitu juga pengarang harus
ditelaah dari segi antropologi, psikologi, sosiologi, filasafat,
politik, kedokteran, saint, religi, dan tak ketinggalan pula
audien dalam menelaah sesuatu yang baru didasarkan
pada beberapa disiplin ilmu di atas.
Sosiopolitik
Antopologi Author

Arkeologi
Text

Audience

Filsafat

36

Religi (ulum alQur'an dan hadis)

Sejarah

Psikologi

Saintek

1. Lingkaran Hermeneutik al-Quran dan al-Hadis


Dimensi sosiologis-antropologis-psikologis manusia dalam
penafsiran

harus

diikut

sertakan

dalam

penafsiran

untuk

mendekatkan rasa keadilan dan kepastian hukum haruslah


melibatkan partisipasi seluruh komunitas penafsir (community of
interpreters). Dalam prosedur kerjanya, selain menggunakan
bukti-bukti teks yang tersedia, juga memanfaatkan pengalaman
kultural-sosiologis, mempertimbangkan kebiasaan dan perangai
psikologis manusia, mencermati nilai-nilai fundamental secara
filosofis, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Tanpa melibatkan
komunitas atau kelompok masyarakat penafsir dari berbagai
latas belakang keahlian dan keilmuan, agaknya hukum Islam
akan mudah terjebak pada authoritarianism dan keilmuan
syariah yang berimplikasi pada keilmuan tarbiyah berikut praktek
pendidikannya dan keilmuan dakwah berikut praktek bimbingan
oleh

pengembangan

masyarakatnya

akan

menghadapi

tantangan serius pada era kontemporer.


Masing-masing komunitas interpretasi memberikan makna
tehadap teks mempunyai pre-suposisi sebelum pada tahap
proposisi. Teks tidak bersifat pasif dan pembacanya juga tidak
mendekati teks dengan kepala kosong. Dinamika interaktif
menciptakan

komunitas

interpretasi

yang

terus

berkesinambungan, interpretasi dan reinterpretasi terhadap teks.


Hal ini akan muncul keberagamaan makna.

37

4. Menghadapi Ambang Batas Relativisme


Kebaragamaan makna dalam penafsiran harus dihargai,
karena tidak ada penafsiran teks yang melahirkan makna
tunggal. Keberagamanmakna ini harus diatasi untuk tidak
terjebak

pada

otoritarianisme

dan

relativisme

maka

ada

beberapa 3 realita.
1. Absolutly absolut, kelompok ini akan menjadikan suatu
penafsiran atau pemikiran yang absolut banget. Golongan
ini akan melahirkan pada taklid buta, hanya mengekor
pada

penafsiran

terdahulu

dan

akan

mengakibakan

penafsiran yang otoriter.


2. Absolutly relative, kelompok ini akan menjadikan semua
relative tak ada suatu bentuk yang absolut padahal absolut
perlu akan tetapi tidak terjebak pada absolutly absolut.
3. Relatively absolut, kelompok ini merupakan penafsir harus
menyakinkan

bahwa

penafsirannya

juga

suatu

yang

absolut dalam artian dirinya benar-benar menafsirkan


dalam rangka mengemban perintah Tuhan akan tetapi
penafsiran itu berkembang. Ketika terjadi suatu penafsiran
baru yang memberikan suatu kajian ulang terhadap
penafsiran maka harus menghargai penafsiran yang lain
sehingga tidak hanya penafsiran sendiri yang merasa
benar.

D. Kesimpulan
Dari

uraian

di

atas

penafsiran

kontekstual

kerangka

konseptualnya pertama memahami konteks kesejarahan dan


konteks kesusastraan, lalu mempronyeksikannya kepada situasi

38

masa

kini.

Kedua

konteks

sosiologi

membawa

fenomena-

fenomena sosial ke dalam tujuan-tujuan al-Qur'an.


Konseptual pertama dapat dibagi kedalam dua langkah: 1.
Memahami

al-Qur'an

dalam

konteks.

2.

Memproyeksikan

pemahaman al-Qur'an dalam konteksnya.


1. Memahami al-Qur'an dan Hadis dalam konteks.
a. pemilihan penafsiran obyektif, yaitu pembahasan ayat-ayat
yang satu tema
b. Mengkaji tema dalam kontkes kesejarahan pra-al-Qur'an,
masa al-Qur'an dan pasca al-Qur'an.
c. Mengkaji respon al-Qur'an dalam urutan kronologis dengan
memperhatikan konteks sastra dengan asbab nuzul.
d. Mengkaitkan tema dengan tema yang relevan.
2. Memproyeksikan

pemahaman

al-Qur'an

dan

Hadis

dalam konteksnya, setelah melakukan kajian mengenai


situasi kekinian dengan tema yang akan dibahas.
Konseptual ke dua memahami fenomena-fenomena sosial
dalam tujuan-tujuan al-Qur'an dan Hadis. Langkah-langkahnya
yaitu.
a. Penafsir mengkaji dengan cermat fenomena sosial yang
dimaksud,

dilakukan

berkerjasama

dengan

dengan

pendekatan

keilmuan

multidisiplin

antropologi,

sejarah,

aerkologi, sosiologi, serta disiplin ilmu lainnya sesuai


dengan tema pembahasannya.
b. Penafsir Menilai dan menangani fenomena itu berdasarkan
tujuan-moral
implikasi.

al-Qur'an.

Pertama

Dalam

Fenomena

hal
itu

ini
tidak

terdapat

dua

bertentangan

dengan al-Qur'an. Kedua. Fenomena sosial diarahkan


dengan tujuan al-Qur'an.

39

c. Penafsir

tidak

mementingkan

otoritarianisme

dan

relativisme.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin al-Tawl al-Ilm : Kearah Perubahan Paradigma
Penafsiran Kitab Suci, dalam Al-Ja>miah, vol.39, no.2,
.July-December 2001.
Amal, Taufik Admal dan Syamsul Rizal Pangabean,
Kontekstual al-Qur'an. Bandung: Mizan, 1992.

Tafsir

Apel, Karl-Otto Is the Ethics of the Ideal Communication


Community a Utopia? On the Relation Between Ethics,
Utopia, and the Critique of Utopia, dalam Seyla
Benhabib dan Fred Dallwar, eds. The Communicative
Ethics Controversy .Cambridge: The MIT Press, 1995.
Audah, Ali. Sastra, dalam Taufik Abdullah (ed), Khazanah
Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban .Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t., Jilid IV
al-Faruqi, Isma>'i>l Ra>zi>, Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi
Estetika Islam, terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta:
Bentang, 1999.
Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method,
Seabury Press, 1975

New York : The

Gallagher, Keneth T. Epistimologi: Filsafat Pengetahuan, saduran.


P. Hardono Hadi Yogyakarta: Kanisus, 1994.
Harvey, Van A. Hermeneutics, dalam Mircea Eliade .ed.., The
Encycclopedia of Religion, vol.VI, .New York : Macmillan
Publishing Co, t.th.
Ichwan, Moch. Nur Memahami Bahasa al-Qur'an; Refleksi atas
persoalan Linguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002.
Ichwan, Moch. Nur. Meretas Kesarjanaan al-Qur'an; Teori
Hermeneutika Nashr Abu Zayd. Jakarta: Teraju, 2003.
al-Jurja>ni>, Abd al-Qa>hir. Asra>r al-Bala>gah. Beirut: Da>r alFikr, t.th.

40

Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah


Yogyakarta: Paradigma, 2001.

dan

Perkembangannya.

Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan Jakarta: LP3ES,


1988.
Khalafullah, M., al-Qur'an Bukan Kitab Sejarah: Seni, sastra dan
Moralitas dalam Kisah-kisah al-Qur'an terj. terj. Zuhairi
Misrawi dan Anis Maftukhin. Jakarta: Paramadina, 2002.
Latief, Hilman. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan.
Yogyakarta: Elsaq Press, 2003.
Muh}ammd bin Ahmad bin Ah}mad Talkhis al-Khitabi li Ibnu
Rusyd. Kairo: Nasyar li Jannati Ih}ya> al-Tura>s\ alIslami>, 1967.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistimologi Tafsir: Dari Nalar
Mistis-Ideologis Hingga Nalar Kritis dalam Tashwirul
Afkar:
Jurnal
Refleksi
Pemikiran
Keagamaan
&
Kebudayaan, Edisi No. 18. Tahun 2004. Jakarta:
LAKSPEDAM dan TAF, 2004.
Nawawi, Rifat Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh
Kajian Masalah Akidah dan Ibadat. Jakarta, Paramadina,
2002.
Palmer, Richard E. Hermeneutics : Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, .Evanston :
Northwestern University Press, 1969., .xiv
al-Rah}ma>n,
A<isyah
Abd.
Kata
Pengantar
Cetakan
Kelima,Tafsir Bintusy-Syathi terj. Mudzakir Abdussalam.
Bandung: Mizan, 1996.
Robinson, James M. Hermeneutic Since Barth, dalam James M.
Robinson dan John B. Cobb, Jr .ed.., The New Hermeneutic,
vol.II, .New York, Evanston and London : Harper and Row
Publishers, 1964.
Sariyan, Awang. Falsafah Bahasa Dalam Tradisi Barat:
Perkembangan
Dalam
Zaman,
Modern
http://dbp.gov.my/dbp98/majalah/bahasa99/j07jaran.
html.

41

Setiawan, Muhammad Nur Kholis. kata Pengantar dalam J.J.G


Jansen,
Diskursus
Tafsir
al-Quran
Modern,
Terj.
Hairussalami dan Syarif Hidayatullah. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1997.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan,
1992.
---------. Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan
M. Rasyid Ridha. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
--------. Mujizat al-Qur'an: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Syarat
Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib. Bandung: Mizan, 2001.
--------. Persoalan Penafsiran Metaforis Atas Fakta-Fakta Tekstual
dalam
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Metafori
s1.html.
Sugiarto, I. Bambang. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat Yogyakarta:
Kanisius, 1999.
Sumantri, Jujun. Filsafat ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993.
Syafruddin, Didin Ilmu al-Qur'an Sebagai Sumber Pemikiran,
Taufik Abdullah. .ed.., dalam Khazanah Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t.,
Jilid IV.
Thiselton, Anthony C. The New Hermeneutic, dalam Donald K.
McKim .ed.., A Guide to Contemporary Hermeneutics
.Michigan : William B. Eerdmans Publishing Company,
1986.
Tim Redaksi, Wawancara dengan Nas}r H}a>mid Abu> Zaid
Nashr Hamid Abu Zayd: Otoritas Tak Berhak
Mengarahkan Makna Agama dalam Tashwirul Afkar:
Jurnal Repleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan

42

edisi No. 18 Tahun 2004 Jakarta: LAKSPEDAM dan TAF,


2004.
Warnke, Georgia Gadamer : Hermeneutics, Tradition and Reason.
Cambridge : Polity Press, 1987
al-Z|aha>bi, Muh}ammad Husain, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n.
Beiru>t: al-Maktabah, 2000.
Zaid,

Nas}r H}a>mid Abu>. Tekstualitas al-Qur'an: Kritik


Terhadap Ulum al-Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin.
Yogyakarta: LkiS, 1993.

----------. Teks Otoritas Kebenaran,


Yogyakarta: LkiS, 2003.
---------- Kritik Wacana Agama,
Yogyakarta: LkiS, 2003.

terj.
terj.

Sunarwoto
Khoiron

Dema.

Nahdiyyin.

---------- Nashr Hamid Abu Zayd: Otoritas Tak Berhak


Mengarahkan Makna Agama dalam Tashwirul Afkar:
Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan,
Edisi No. 18 Tahun 2004. Jakarta: LAKSPEDAM dan TAF,
2004.
al-Zarkasyi>, Badr al-Di>n Muhammad bin Abd Allah al-Burha>n
fi> Ulu>m al-Qur'a>n. Beiru>t: Da>r al-Kutub alIlmiyyah, 1988.

Anda mungkin juga menyukai