Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SOSIOLOGI dan POLITIK EKONOMI

Oleh

Dwi Sisworo

Luvi Rindi Andira

Istivarin

Zaiq Riyadi R.F

Handri Wira

Nurul Mahmudi

Dosen Pembimbing
Nur Saidah, S.E, M.M

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ABDURRACHMAN SALEH
SITUBONDO
Tahun Ajaran 2013/2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, karna berkat rahmat dan hidayah-Nya
makalah ini dapat kami selesaikan. Shalawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada
junjungan kita Rasullullah SAW, yang telah sukses mengembangkan agama islam dalam
kehidupan manusia.
Terima kasih kepada dosen yang mengajar mata kuliah Sosiologi dan Politik Ekonomi
yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini yang membahas tentang Ekonomi
Moral dan Ekonomi Rasional. Dengan tujuan dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa dalam
menjalankan diskusi.
Sesuai dengan materi yang akan kami diskusikan yaitu Ekonomi Moral dan Ekonomi
Rasional maka kami membuat makalah ini yang mungkin keberadaannya kurang sempurna.
Maka kami selaku mahasiswa yang masih dalam proses pencarian ilmu, mengharapkan masukan
dan saran kepada dosen yang bersangkutan. Karna kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah
kami buat sangat jauh dari kesempurnaan dalam segala hal. Untuk itu kepada para pembaca juga
teman-teman kami juga sangat mengharapkan saran dan kritiknya demi kesempurnaan makalah
kami ini.

Situbondo, 12 Mei 2014

Kelompok 5

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi.
Bab I

: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Masalah
C. Tujuan .
Bab II

: PEMBAHASAN

A. Tindakan ekonomi ...


B. Ekonomi Moral .
1.
Moral ekonomi petani ..............................
2.
Moral ekonomi pedagang.............................................................
C. Ekonomi Rasional
D. Masyarakat Indonesia: Ekonomi Moral atau Ekonomi Rasional??
Bab III

: PENUTUP

A. Kesimpulan..
B. Saran....

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Moral ekonomi menjadi topik perbincangan yang semakin menarik akhir-akhir ini seiring
dengan semakin derasnya arus globalisasi. James Scoot mendefenisikan moral ekonomi sebagai
pengertian petani tentang keadilan ekonomi dan defenisi kerja mereka tentang eksploitasi
pandangan mereka tentang pungutanpungutan terhadap hasil produksi mereka mana yang dapat
ditolerir dan mana yang tidak dapat.
B. Masalah
Dalam makalah ini membahas masalah tentang Ekonomi Moral dan Ekonomi Rasional.
Karena masih banyak mahasiswa yang belum memahami tentang apa itu Ekonomi Moral dan
Ekonomi Rasional serta penjelasan lainnya yang membahas tentang moral dan tindakannya.
C. Tujuannya
Untuk memberikan ilmu pengetahuan dan pemahaman kepada semua mahasiswa yang masih
belum mengetahui tentang Ekonomi Moral dan Ekonomi Rasional, agar mahasiswa juga
dapat memahami apa yang telah di ketahuinya, dan tidak hanya menjadi ilmu tapi bisa untuk di
amalkan dan juga di manfaatkan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. TINDAKAN EKONOMI
Konsep tindakan ekonomi telah diperbincangkan pada beberapa bab sebelumya. Tidak dimungkiri
bahwa salah satu diskusi utama dalam sosiologi ekonomi adalah tindakan ekonomi. Meskipun antara para
ekonom dan sosiolog berbeda pendapat tentang pengertian tindakan ekonomi, namun menurut Portes
( 1995 : 3 ), para sosiolog dan ekonom sepakat bahwa tindakan ekonomi merujuk pada kemampuan dalam
dan penggunaan sarana-sarana yang langka. Aktor dalam ekonomi, seperti telah didiskusikan,
diasumsikan, memiliki seperangkat pilihan dan preferensi yang telah tersedia dan stabil. Tindakan aktor
bertujuan untuk memaksimalkan pemanfaatan ( individu ) & keuntungan ( perusahaan ).
Para sosiolog melihat tindakan ekonomi dapat sebagai suatu bentuk dari tindakan social. Untuk
mengerti hal ini, maka terlebih dahulu didiskusikan tentang tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan
suatu tindakan individu yang memiliki arti atau makna subjektif bagi dirinya dan dikaitkan dengan orang
lain. Untuk memahami batasan konsep tindakan sosial ada baiknya kita ambil suatu contoh.
Contoh : Katakanlah ada seorang pria , biasanya dipandang tidak sebagai pesolek. Ketika gaya
rambut pria tersebut berubah, dari sisiran ke samping, dikenal dengan beatle, menjadi belah tengah,
membuat para sahabat pria itu memberikan bermacam komentar. Maka aktivitas mengubah gaya rambut,
apapun alasannya , dapat dipandang sebagai tindakan sosial. Kenapa demikian ? Apa pun alas an anda,
tetap akan berujung pada keberadaan kaitan dengan orang lain atau dikenal dengan konsep sosial. Oleh
sebab itu , tindakan ekonomi dikontruksikan secara sosial. Sebab tindakan ekonomi, pada umumnya,
tidak berada di ruang hampa sosial. Namun sebaliknya, ia dibangun, di pertahankan, dan di bubarkan
pada ruang sosial. Tindakan ekonomi yang diorientasikan secara sosial pada masyarakat yang sering pula
diperbincangkan dalam dunia akademik adalah ekonomi moral dan ekonomi rasional.

A. Ekonomi Moral
Tindakan ekonomi dalam masyarakat yang berhubungan dengan ekonomi moral, tidak hanya
dihadapi oleh komunitas petani, tetapi juga oleh komunitas pedagang. Dalam bagian ini, kedua komunitas
ini akan dibahas.
1. Ekonomi Moral Petani
Dalam The Making of the English Working Class, E.P. Thompson memperkenalkan konsep ekonomi
moral ( moral economy ) dalam dunia akademik. Konsep ini digunsksn oleh James C. Scoot untuk
menjelaskan tindakan ekonomi yang terjadi pada masyarakat Asia Tenggara. Dalam bukunya, The Moral
of the Peasant : Rebellion and Subsistence in Southeast Asia, Scoot melihat tindakan ekonomi yang ada
pada masyarakat Barat.
Scoot mendefinisikan ekonomi moral sebagai pengertian petani tentang keadilan ekonomi dan
definisi kerja mereka tentang eksploitasi pandangan mereka tentang pungutsn pungutan terhadap hasil
produksi mereka mana yang dapat ditoleransi mana yang tidak dapat. Dalam mendefinisikan ekonomi
moral, menurut Scoot, petani akan memerhatikan etika subsistensi dan norma resiprositas yang berlaku
dalam masyarakat mereka.
Etika subsistensi merupakan perspektif di mana petani yang tipikal memandang tuntutan yang
tidak dapat dielakkan atau sumber daya yang dimilikinya dari puhak sesama warga desa, tuan tanah, atau
pejabat. Etika subsistensi tersebut, berdasarkan pandangan Scoot, muncul dari kekhawatiran akan
mengalami kekurangan pangan dan merupakan konsekuensi dari satu kehidupan yang begitu dekat
dengan garis batas dari krisis subsistensi.
Oleh karena kebanyakan rumh tangga petani hidup begitu dekat dengan batas batas subsistensi
dan menjadi sasaran sasaran permainan alam seta tuntutan tuntutan dari pihak luar, maka mereka
meletakkan etika subsistensi atas dasar pertimbangan prinsip safety first ( dahulukan selamat ). Hal ini
ditunjukkan oleh kebanyakan pengaturan teknis, sosial, dan moral dalam masyarakat ini dilatarbelakangi
oleh prinsip dahulukan semangat. Dalam bercocok tanam, misalnya, mereka berusaha menghindari
kegagalan yang akan menghancurkan kehidupan mereka dan bukan berusaha memperoleh keuntungan
besar dengan mengambil resiko. Kenyataan dari prinsip dahulukan selamat untuk mencapai tejaminnya
subsistensi diperlihatkan dalam keberagaman pilihan dalam proses produksi memilih tanaman tumpang
sari sehinnga dapat memetik hasil tanaman tanaman yang menumpang misalnya tanaman kacang
kacangan sebelum tanaman yang ditumpang atau utama ( padi ) dapat dipanen, kecenderungan
menggunakanbeberapa jenis bibit untuk memencarkan risiko,memilih jenis jenis bibit yang hasilnya

mantap meskipun tidak banyak karena telah teruji dari pengalaman mereka bertahun tahun dan dipetik
dari pengetahuan pertanian tradisi.

Dari sudut pandang ekonomi moral petani, subsistensi itu sendiri merupakan hak, oleh sebab itu
ia sebagai tuntutan moral. Maksudnya adalah petani merupakan kaum yang miskin mempunyai hak sosial
atas subsistensi. Oleh karena itu, setiap tuntutan terhadap petanidari pihak tuan tanah sebagai elite desa
atau Negara tidaklah adil apabila melanggar kebutuhan subsistensi. Pandangan moral ini mengandung
makna bahwa kaum elite tidak boleh melanggar cadangan subsistensi kaum miskin pada musim baik dan
memenuhi kewajiban moralnya yang positif untuk menyediakan kebutuhan hidup pada musim jelek.
Norma resiprositas merupakan rumus moral sentral bagi perilaku antar - individu : antara petani
dan sesama warga desa, petani, dan tuan tanah, petani dan Negara. Prinsip moral ini berdasarkan gagasan
bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantu atau paling tidak jangan merugikannya.
Lebih khususnya, lanjut Scoot ( 1976 ), prinsip itu mengandung arti bahwa satu hadiah atau jasa yang
diterima menciptakan, bagi penerima, satu kewajiban timbal balik untuk membalas satu hadiah atau jasa
dengan nilai yang setidak tidaknya sebanding dikemudian hari. Ini berarti bahwa kewajiban untuk
membalas budi merupakan suatu prinsip moral yang paling utama yang berlaku bagi hubungan baik
pihak- pihak sederajat maupun pihak pihak yang tidak sederajat. Hubungan sederajat di sini
dimaksudkan antara petani dan sesama warga desa.
Berdasarkan prinsip etika subsistensi yaitu semua keluarga dalam desa akan dijamin subsistensi
minimalnya segala sumber sumber daya yang dikuasai oleh warga desa memungkinkannya, maka
dengan demikian berarti bahwa setiap warga mempunyai asuransi risiko terhadap krisis subsistensi.
Jaminam subsistensi tersebut merupakan pengejawantahan dari kontrol kontrol sosial yang informal dan
norma resipositas.
Dalam kaitan keamanan subsistensi dengan pilihan terhadap risiko, petani lebh suka memilih
sistem bagi hasil daripada sistem sewa. Karena sistem sewa mempunyai risiko subsistensi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bagi hasil. Adapun pada sistem bagi hasil, jumlah panennya dibagi dua antara
tuan tanah dan petani. Di samping itu, jika musim buruk, tuan tanah akan menjamin kebutuhan
subsistensi petani.

Hubungannya dengan nilai dan pilihan terhadap risiko, konsepsi petani tentang Negara yang baik
dari dunia nyata ini adalah Negara yang hanya memungut pajak atas surplus dalam musim dan
membantunya dalam musim sulit. Pajak yang disukai adalah pajak proporsional daripada pajak tetap.
Artinya penetapan pajak berdasarkan jumlah yang diperoleh oleh petani dan tidak menghadapkan petani
kepada krisis subsistensi.
Gambaran yang disajikan diatas merupakan keadaan masyarakat petani yang belum mengalami
perubahan. Pertumbuhan Negara kolonial dan komersialisasi pertanian yang membawa masyarakat petani
ke dalam ekonomi dunia telah memperumit dilema keterjaminan subsistensi kaum petani. Hal ini
disebabkan sekurang kurangnnya oleh lima cara :
a. Ketidakstabilan yang Bersumber dari Pasar
Ekonomi pasar yang diperkenalkan ke dalam masyarakat petani tidak hanya berlingkup pasar
setempat ( lokal ) tetapi juga pasar dunia. Pada pasar dunia hubungan antara hasil panen setempat
dan harga terputus. Dengan kata lain, naik turunnya harga terlepas dari permintaan penawaran
setempat. Dengan demikian, bisa saja terjadi hasil panen yang kecil menghasilkan harga per unit
yang besar, sama halnya dengan hasil panen yang besar karena harga per unitnya kecil. Hal ini
disebabkankarena terputusnya antara permintaan lokal harga.
b. Perlindungan Desa yang Semakin Lemah
Terjadi erosi dalam pemberian perlindungan dan pemikul risiko oleh kelompok kerabat dan pada
nilai desa, karena terjadi perubahan struktural seperti berkurangnya sumber daya yang dimiliki
oleh kelompok kerabat maupun desa secara bersama ( komunal ) dan diperkenalkannya hukum
hukum positif kolonial sebagai pengganti hukum-hukum yang diwarisi secara turun-temurun
c. Hilangnya Sumber Daya Subsistensi Sekunder
Tanah milik desa dimana para warga menggembalakan ternak dan hutan milik desa dimana petani
mengambil kayu bakar bukan lagi milik komunal masyarakat desa, ia sudah menjadi sesuatu yang
komersial dan seseorang yang memanfaatkannya harus bayar pajak.
d. Buruknya Hubungan Kelas Agraris
Ditandai dengan perubahan sifat peran tuan tanah dari paternalistik dan pelindung menjadi
impersoanal dan kontraktual. Tuan tanah bukan lagi pemikul risiko di masa sulit tetapi tukang
pungut uang sewa tetap, bukan hanya dilakukan pada musim baik tetapi juga pada musim buruk.

e. Negara Kolonial yang Semakin Ekstensif dan Intensif dalam Memungut Pajak
Bukan hanya pajak kepala dan tanah, yang pernah dipungut oleh pemerintah tradisional
prakolonial, tetapi juga diperluas kepada aktivitas yang berkaitan dengan subsistensi seperti pajak
perahu, pajak garam, dan seterusnya. Selain itu, juga dengan kemampuan birokrasi yan rapi baik
melalui kertas maupun melalui senapan membuat petani tidak berdaya untuk menolak membayar
pajak, seperti ketika masa prakolonial mereka bisa menolak dengan melarikan diri ke daerah lain
dengan meminta perlindungan kepada raja dimana tepat melarikan diri tersebut dilakukan.

2. Ekonomi Moral Pedagang


Pandangan James C. Scoot tersebut memberikan inspirasi pula bagi HansDieter Evers dan kawankawan untuk menulis ekonomi moral pedagang. Evers dan kawan kawan dalam buku mereka, The
Moral Economy of Trade : Ethnicity and Developing Market ( 1994 : 7 ) menyetujui pendapat James
Scoot (1976 : 176 ) bahwa masyarakat petani umumnya dicirikan dengan tingkat solidaritas yang tinggi
dan dengan suatu nilai yang menekan tolong menolong, pemilikan bersama sumber daya dan keamanan
subsistensi.
Para pedagang dalam masyarakat petani dihadapkan dengan sejumlah masalah pokok. Pedagang
mungkin harus membeli berbagai komoditas dari petani petani yang masuk anggota dari komunitas
mereka sendiri, tetapi menjual komoditas tersebut kepada pihak pihak lain diluar desa mereka. Di desa
mereka sendiri, harga harga dipengaruhi jika tak dapat dianggap ditentukan oleh suatu moral ekonomi
terhadap harga harga yang wajar, serta dipengaruhi juga oleh keunggulan nilai pakai daripada nilai tukar
terhadap berbagai macam hasil panen subsistensi.
Evers ( 1994 : 8 ) memberikan suatu kasus menarik tentang bagaimana seorang wanita, pada sebuah
komunitas kecil, yang mendirikan sebuah warung menghadapi dilema tersebut. Dia menjual peralatan
dapur dan beraneka ragam barang lainnya. Jika dia menetapkan harga tertinggi yang diperkirakan
terjangkau oleh sesama warga desa, maka dia akan diasingkan karena dianggap rakus. Tetapi sebaliknya,
jika dia bermurah hati dengan menetapkan harga yang rendah atau memperpanjang jangka waktu
pembayaran, maka dia akan menghadapi kerugian dan bahkan mungkin saja gulung tikar.
Menghadapi dilema seperti itu, para pedagang dalam masyarakat petani telah mencoba mengatasinya
dengan cara cara mereka sendiri. Evers ( 1994 : 10 ) telah menemukan lima solusi atau jalan keluar Yng
berbeda yang dilakukan oleh para pedagang menghadapi dilema tersebut yaitu :

a. Imigrasi Pedagang Minoritas


Kelompok minoritas baru dapat diciptakan melalui migrasi atau dengan etnogenesis, yaitu
munculnya identitas etnis baru. Cara diferensiasi etnis dan budaya tersebut secara efektif dapat
mengurangi dilema pedagang.
b. Pembentukan Kelompok kelompok Etnis atau Religius
Munculnya dua komunitas moral yang menekan pentingnya kerja sama tetapi tidak keluar dari
batas batas moral. Menurut Evers ( 1994 : 8-9 ) ada beberapa cara yang dilakukan agar hal ini
dapat berlangsung. Satu kemungkinan, misalnya menerima suatu agama baru atau menganut
agama sebagaimana yang digariskan oleh aturan aturan yang telah ditentukan dengan
memperlihatkan kegairahan dalam menjalankan aturan aturan tersebut. Kemungkinan lain
adalah menekankan nilai nilai budaya hingga batas menentukan identitas etnis milik sendiri.
c. Akumulasi Status Kehormatan ( Modal Budaya )
Kembali kepada studi Geerzt (1963), kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat,
berziarah, menunaikan ibadah haji yang dilakukan oleh santri memberi dampak kepada akumulasi
modal budaya yang dimiliki. Hal ini menghindari dari cemoohan masyarakat sebagai orang kikir
dan tamak harta dan malah sebaliknya dianggap orang yang berbudi baik dan murah hati. Dengan
kata lain, peningkatan akumulasi modal budaya berarti peningkatan derajat kepercayaan
masyarakat sehingga memudahkan pedagang untuk melakukan aktivitasnya.
d. Munculnya Perdagangan Kecil dengan Ciri ada uang ada barang
Dengan mengambil fenomena pedagang bakul di Jawa, Evers melihat bahwa para pedagang
bakul kurang ditundukkan oleh tekanan solidaritas desa bila dibandingkan denagn pedagang yang
lebih besar dan lebih kaya serta suka pamer. Menurut Evers ( 1994 : 9 ) perdagangan kecil yang
diperlihatkan di atas merupakan ciri-ciri standar pada semua masyarakat petani. Dengan cirri-ciri
yang dimiliki oleh perdagangan kecil tersebut memungkinkan pedagang untuk menghindari
dilema yang biasanya dihadapi pedagang dalam masyarakat petani.

e. Depersonalisasi ( Ketidaklekatan ) Hubungan-hubungan Ekonomi


Jika ekonomi pasar berkembang dan hubungan ekonomi relatif tidak terlekat atau terdiferensiasi,
maka dilema pedagang ditransformasikan ke dalam dilema sosial semua pasar ekonomi kapitalis.
Ini berarti, anjut Evers (1994) menjelaskan, suatu ekonomi modern memerlukan rasionalisasi
hubungan-hubungan ekonomi (seperti dianalisis oleh Weber) dan keunggulan produktivitas di
satu sisi, juga di sisi lain keadilan sosial dan redistribusi dibutuhkan untuk mempertahankan
legitimasi penguasa serta tatanan sosial dan politiknya. Ini bukan berarti dilema pedagang hilang
tetapi nilainya turun dan ditransformasikan ke dalam suatu figur sosial dan budaya baru.

B. Ekonomi Rasional
Gambaran desa petani ( peasant villages ) pada ekonimi moral dari James Scoot tersebut, kata Samuel L.
Popkin (1986), merupakan idealisasi masyarakat desa yang tertutup, desa yang belum memiliki kontak
dan terbuka terhadap masyarakat lain. Desa-desa yang memilki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pembayaran pajak secara kolektif sebagai tanggung jawab desa.
b. Adanya batas tegas antara desa dengan dunia luar.
c. Terdapatnya larangan penguasaan tanah sebagai hal milik pribadi.
d. Konsep kewargaan desa yang jelas.
e. Tanah adalah hak ulayat desa.
Sementara desa petani tertutup ( closed villages ) tersebut, lanjut Popkin (1986), sebagian besar telah
mengalami transformasi menjadi desa terbuka ( open villages ). Sehingga ciri-cirinya berubah menjadi :
a. Pembayaran pajak merupakan tanggungjawab individual.
b. Batas desa dengan dunia luar kabur.
c. Tidak ada atau sedikit larangan pemilikan tanah bagi orang luar desa.
d. Konsep kewargaan desa kabur.
e. Terjadinya privatisasi kepemilikan tanah.
Hubungan patron dan klien dalam masyarakat petani yang dipandang sebagai suatu bentuk hubungan
harmonis yang menjaga kepentingan petani miskin menurut ekonomi moral. Hubungan ini, sebenarnya
lebih menguntungkan pihak patron dibandingkan klien. Karena sumber daya yang diinvestasikan oleh
patron bukan hanya untuk memperbaiki keamanan dan subsistensi hubungan tersebut tetap diadik serta
menghambat petani, menghambat keterampilan yang bisa merubah keseimbangan kekuatan ( 1986 : 23 )

Selanjutnya ekonomi moral melihat bahwa pasar merupakan ancaman terhadap tatanan desa yang
harmonis dan komunal serta yang memberikan jaminan subsistensi. Penjelasan tersebut, menurut
ekonomi rasional, mengakibatkan kenyataan bahwa pasar memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Pasar telah menyebabkan petani menghadapi ketidakpastian yang baru dan berbeda-beda, namun pasar
menyediakan kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh lembaga lain seperti harga yang stabil dan pasokan
makanan yang lebih banyak ( Popkin, 1986 : 59 )

C. Masyarakat Indonesia : Ekonomi Moral Atau Ekonomi Rasional ?


Perdebatan pendekatan antara ekonomi moral dan ekonomi rasional merupakan perdebatan yang
susah untuk didamaikan pada komunitas antropologi. Sememtara, dalam sosiologi, perdebatan tersebut
telah diakhiri dengan penjelasan Max Weber tentang tindakan sosial dalam aktivitas ekonomi dimana
tindakan tersebut tidak hanya bersifat tindakan rasional, tetapi juga bisa tindakan tradisional, dan tindakan
spekulatif-irrasional.
Di Indonesia, salah seorang ilmuan yang menjembatani kedua pendekatan tersebut adalah Destha
T. Raharjana. Dalam penelitian tesis Raharjana, seperti disunting oleh Ahimsa-Putra ( 2003: 61-138 ),
tentang siasat usaha kaum santri dalam usaha konfeksi ditemukan bahwa para pengusaha konfeksi
menggunakan baik strategi moral maupun strategi rasional dalam melakukan usaha konfeksi mereka.
Strategi moral yang digunakan para pengusaha santri dalam menggerakkan usaha mereka berupa
mendidik orang menjadi pengusaha, melibatkan santri sebagai tenaga, dan membentuk hubungan
langganan. Hubungan antara pengusaha dan santri ini membentuk suatu hubungan patron-klien yang
dipandang saling menguntungkan. Selanjutnya, pengusaha juga memiliki hubungan ngalap nyaur, yaitu
hubungan kepercayaan antara kedua belah pihak dalam meminjam barang dagangan untuk dijual di pasar,
dengan para pedagang yang ada di pasar. Ketika seorang pedagang tidak memiliki suatu jenis barang yang
diminta oleh pembeli, maka pedagang tersebut akan mencari pada pengusaha yang memiliki barang yang
diminta oleh calon pembeli.

Sementara strategi rasional yang dilakukan oleh para pengusaha adalah berupa tindakan ekonomi
yang dilatarbelakangi untuk mendapatkan keuntungan, meliputi menyerahkan pekerjaan kepada lain,
mengerjakan produk yang sedang laku, dan mempermainkan harga. Penyerahan pekerjaan kepada
puhakmlain dipandang suatu tindakan rasional karena melaluinya pengusaha dapat meminimalkan
pengeluaran untuk ongkos produksi dan beban hubungan sosial antara pengusaha dan pekerja. Adapun
pengerjaan produk yang sedang laku juga dilihat sebagai suatu strategi rasional karena permintaan akan
produk tersebut relatif tinggi dan menghindari beban biaya spekulasi terhadap produk coba-coba .
Perilaku ini menimbulkan sikap peniruan produk, oleh peneliti dipandang suatu hal yang tidak produktif.
Adapun permainan harga terkait dengan strategi rasional yang berhubungan dengan musim tinggi
rendahnya suatu permintaan. Apabila permintaan tinggi, maka harga dinaikkan, sementara bila musim
sepi maka harga diturunkan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
moral ekonomi menjadi topik perbincangan yang semakin menarik akhir-akhir ini seiring
dengan semakin derasnya arus globalisasi. James Scoot mendefenisikan moral ekonomi sebagai
pengertian petani tentang keadilan ekonomi dan defenisi kerja mereka tentang eksploitasi
pandanga mereka tentang pungutanpungutan terhadap hasil produksi mereka mana yang dapat
ditolerir mana yang tidak dapat. Dalam mendefinisikan moral ekonomi, petani akan
memperhatikan etika subsistensi dan norma resiprositas yang berlaku dalam masyarakat mereka.
Etika subsistensi merupakan perspektif dari mana petani yang tipikal memandang tuntutantuntutan yang tidak dapat di letakkan atas sumber daya yang dimilikinya dari pihak sesama
warga desa,tuan tanah atau pejabat.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini kami harapkan pembaca dapat memahami atau mengambil ilmu
pengetahuan dari pemakalah ini. Pemakalah juga menyadari masih banyak kekurangan dalam
kesempurnaan makalah ini, jadi kami menerima kritik dan saran dari pembaca dan teman-teman
semuanya.

Anda mungkin juga menyukai