Anda di halaman 1dari 29

As Siyasah Syariyah

Fi Islahil Rai Wa
Raiyyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Nama Lengkap Ahmad bin Abdis


Salam bin Abdillah bin Al-Khidir bin
Muhammad bin Taimiyah An-Numairy
al-Harrany al-Dimasyqy. Ia dilahirkan
di Harran, sebuah kota induk di Jazirah
Arabia yang terletak di antara sungai
Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin,
12 Rabi'ul Awal 661 H (1263 M).

DEFINISI
fikih islam yang mencakup hubungan individu
dengan daulah (negara dan pemerintahan), atau
hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan
kekuasaan dengan masyarakat yang dalam
terminologi modern disebut sistem
ketatanegaraan, sistem keuangan, sistem
pemerintahan dan sistem hubungan
internasional

Sepanjang sejarah kaum muslimin tidak


pernah mengenal adanya pemisahan antara
agama dan dunia, agama dan politik, atau
agama dan Negara seperti sekarang ini.

Wajib diketahui bahwa kepemimpinan


yang mengurus urusan manusia
termasuk kewajiban agama yang
paling besar, bahkan agama dan dunia
tidaklah tegak kecuali dengannya.
Segala kemaslahatan manusia tidaklah
sempurna kecuali dengan memadukan
antara keduanya
Jika tiga orang keluar bepergian maka
hendaknya salah seorang mereka
menjadi pemimpinnya.

Asal Usul Negara


Ibnu Taimiyyah berkata:
Kesejahteraan umat manusia tidak
dapat diwujudkan kecuali di dalam
tata sosial dimana setiap orang
tergantung kepada yang lain-lainnya,
dan oleh karena itu tidak bisa tidak
masyarakat memerlukan seseorang
atau perangkat untuk mengatur
mereka.

Ibnu Taymiyyah juga pernah menyatakan


bahwa agama tidak mungkin hidup
tanpa adanya negara.
Ibnu Taimiyyah mencela bentuk agama
tanpa kekuasaan, demikian pula
kekuasaan tanpa agama. Baginya, ini
adalah jalan bagi maghdbi alaihim wa
al-dhlln.
Ibnu Taimiyyah menyebut negara
sebagai suatu tugas suci yang
dituntut agama dan merupakan salah
satu perangkat untuk mendekatkan diri
kepada Allah.

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasulrasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. dan
Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat
bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya
dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi
Maha Perkasa. (QS. Al Hadid (57): 25)

Allah Subhanahu wa Taala


menjelaskan, bahwa Dia menurunkan
Al Kitab dan neraca keadilan, dan
apa-apa yang dengannya keadilan
itu bisa diketahui, agar manusia
dapat menegakkan keadilan itu, dan
Dia juga menurunkan besi.
Barangsiapa yang telah keluar dari Al
Quran dan Neraca, maka dia
diluruskan oleh besi
(pedang/kekuataan). (Majmu
Fatawa, 9/276. Mawqi Al Islam)

Ibnu Taimiyyah berpendapat negara


dan agama adalah saling
melengkapi.
Tanpa kekuasaan negara yang
bersifat memaksa agama berada
dalam bahaya, demikian juga
sebaliknya, tanpa disiplin hukum
wahyu, negara pasti menjadi sebuah
organisasi yang tiranik.
Negara hanyalah sebagai suatu alat
yang dibutuhkkan untuk
menegakkan perintah agama
(Maqashidus Syariah : Agama, Jiwa,

Ia tidak pernah menganggap khilafah


sebagai sebuah institusi yang harus
ditegakkan di dalam Islam.
Ibnu Taymiyyah menggunakan kata
imarah (pemerintahan atau
penguasa) daripada khilafah.
Bagaimana pun bentuk negara dan
bagaimana pun cara terbentuknya
negara tersebut, ia menghendaki
agar Syariah merupakan kekuasaan
tertinggi di negara tersebut.

Beliau justru mendukung formasi beberapa


kemerdekaan yang terikat bersama oleh
ikatan iman, meskipun berdiri beberapa
Negara Islam.
Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan
Syiah tidak ada dasar dalam Al-Quran dan
As-Sunnah tentang teori kekhalifahan
tradisional ala Sunni dan tidak ada teori
imamah Syiah yang mutlak.
negara Islam yang diangap memenuhi
syarat adalah suatu pemerintahan yang
mendasarkan pada syariat sebagai
penguasa tertinggi dan tidak memandang
apakah negara itu berbentuk khalifahan,
monarki, ataupun republik

Beliau lebih memilih meletakkan


keadilan pada setiap
pemerintahan sebagai esensi
kekuasaan, ketimbang meributkan
bentuk negara.
Syariat dapat memberikan
bimbingan yang benar untuk setiap
masalah hanya jika manusia
menggunakan seluruh upayanya
(berijtihad).
Maka menegakkan daulah Islamiah
merupakan perkara yang wajib untuk

Tujuan dan Fungsi Negar


Ibnu Taymiyyah mencoba menelusuri sejarah
kehidupan Nabi saw Baginya, Nabi saw. tidak
pernah menegakkan Negara. Namun demikian,
Nabi telah menegakkan semacam tata sosial
(ketatanegaraan :istilah moderen) yang
mirip dengan Negara.
Al-Quran menyebutkan bahwa tugas Rasul
adalah, membacakan kepada manusia ayatayat Allah, membersihkan jiwa mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (AlQuran dan al-hikmah).

Meskipun Ibnu taimiyah tidak begitu memikirkan


mengenai masalah format bentuk pemerintahan
tetapi Ia lebih melihat kepada urgensi dari
kekuasaan pemerintah untuk mendukung
tegaknya syariat Islam (Essensi).
Dia mendukung penalaran individual (ijtihad)
dalam konsep berengara dan pemerintahan
Syekhul islam Ibnu Thaimiyyah mengatakan
tugas utama negara ada dua, Pertama,
menegakkan syariat, dan kedua,
menciptakan sarana untuk menggapai
tujuan tersebut.

Memilih Pemimpin
Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa
masyarakat Muslim ketika itu menerima dua
metode, yaitu metode penunjukan dan metode
pemilihan
Ibnu Taymiyyah mencela ketentuan kualifikasi
imam yang berasal dari suku Quraisy.
Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
(mampu) lagi dapat dipercaya (amanah).

"Kami tidak akan memberikan


jabatan pemerintahan ini kepada
orang yang memintanya dan
berambisi untuk
mendapatkannya." Fathul-Bri
Syarah Shahh al-Bukhri, Ibnu Hajar
al-Asqalni.

Ibnu Taimiyyah menolak konsep Ahl


al-halli wa al-aqdi tapi Ia
mengajukan konsep ahl al-syaukah.
Seorang penguasa politik bertugas
wajib menyampaikan amanat
kepada pemberi amanat itu dan
untuk menghukumi secara adil
(QS. An-Nisa [4]: 61-62).

Kaidah Memilih
1. Memilih orangPemimpin
yang profesional dan sholeh.
2. Jika ada 2 orang yang memiliki kekuatan dan
kesholehan yang sama, maka dipilih yang paling
baik sesuai dengan kebutuhan yang ada.
3. Jika ada orang yang kuat tapi kurang sholeh dan
orang yang sholeh tapi lemah, maka yang dipilih
adalah orang yang kuat meskipun kurang sholeh.
4. Jika ada 2 orang yang kurang memilki kemapuan
dan integrtas maka yang dipilih adalah yang paling
sedkit madhorotnya.
Akan tetapi menurut Ibnu Thaimiyyah memilih
seseorang juga didasari atas kebutuhan pada saat
itu

Rasulullah SAW bersabda: Siapa


saja yang mengangkat seseorang
untuk mengurusi perkara kaum
Muslimin, lalu mengangkat orang
tersebut, sementara ia mendapatkan
orang yang lebih baik, lebih layak
dan sesuai daripada orang yang
diangkatnya, maka dia telah
berkhianat kepada Allah dan RasulNya. (H.R. Hakim dalam kitab

Pada saat Rasulullah SAW menaklukkan


kota Makkah dan menerima kunci Kabah
dari bani Syaibah, kunci tersebut hendak
diminta oleh Abbas bin Abdil Muththalib
agar dia memegang dua tugas sekaligus,
yakni memberi minum jamaah haji serta
menjadi pelayan Kabah. Berkenaan
dengan peristiwa itu, surat An-Nisa [4]
ayat 58-59 diturunkan yang
mengindikasikan agar Rasulullah SAW
tetap memercayakan kunci itu kepada
bani Syaibah.

Otoritas Imam
Imam atau kepala Negara Mungkin
saja berindak benar atau salah,
karena itu kita kaum muslim
mendukung jika Imam berbuat baik
sebaliknya.
Imam tidak memiliki sifat kekebalan
hukum, karena jabatan itu Beban
(Umar Bin Abdul aziz) bukan
penghormatan.
Kisah Ali dan seorang Nasrani

Rasulullah sendiri di luar hal2 yang


berhubungan dengan wahyu di
perdebatkan dan di usulkan,
beliaupun sering Mundur dari
pendapatnya.
Ketika perang Khandaq dan Badar

Ciri-Ciri Sistem Politik


Negara Islam
1.Dalam Islam kekuasaan penuh dipegang oleh
umat;
2.Masyarakat ikut berperan dan bertanggungjawab;
3.Kebebasan adalah hak semua orang;
4.Persamaan di antara semua manusia (egaliter);
5.Kelompok yang berbeda (minoritas) juga memiliki
legalitas (asas pluralisme);
6.Kezaliman (tirani) mutlak tidak diperbolehkan dan
usaha meluruskannya adalah wajib bagi semua
umat;
7. Undang-undang di atas segalanya.

rinsip Dasar Negara Isla


1.Keadilan, yaitu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh kepala negara.
2.Musyawarah,
3.Tanggungjawab pemerintah, yakni
pemerintah harus bertanggungjawab
terhadap keselamatan negara dan
rakyat.

Tegaknya keadilan tidak mungkin


dapat dicapai tanpa adanya
kerjasama. Manusia berkumpul dan
membentuk sebuah komunitas
politik, kemudian menunjuk salah
seorang sebagai pemimpin untuk
mengorganisir untuk mewujudkan
keadilan dan kebermanfaatan
bersama.

YARAT AGAR PEMIMPIN D


PEMERINTAH SUSKES
1. Pemberian Jabatan (Amanah) Kepada Orang
Terbaik (Ahlinya).
2. Membangun hukum yang adil
kapitalisme mendefenisikan adil sebagai
Anda dapat apa yang anda upayakan (you
get what you deserved), dan sosialisme
mendefenisikannya sebagai sama rasa sama
rata (no one has previlege to get more than
other), maka islam mendefenisikan adil
sebagai tidak mendzalimi tidak pula dizhalimi
(la tazhlimun wala tuzhlamun).

3. Dukungan dan kepercayaan dari


masyarakat (legitimasi).
4. Ketaatan tidak boleh dalam
kemaksiatan
5. Konstitusi yang berlandaskan AlQuran Dan as-sunah

Bagaiamana Dengan
Negara Kita
Indonesia ?
UU NO.12 Tahun
2008
UU No.42 Tahun
2008

Isu Siyasah Syariah


Kepemimpinan
Figur Kepemimpinan Politik Islam di
Indonesia
Sistem Pemerintahan
DIY = Monarki, Sistem Penetapan,
Otoritas Pemimpin
DIA = Pelaksanaan Syariah Islam
(Sejarah)
3 Partai Lokal

Anda mungkin juga menyukai