Anda di halaman 1dari 54

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritik
1. Kajian tentang Pembelajaran Ekonomi di SMA
a. Hakekat Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Setiap orang baik disadari maupun tidak selalu
melaksanakan

aktivitas

belajar.

Dengan

belajar

manusia

dapat

mengembangkan potensi-potensi yang dibawanya sejak lahir. Aktualisasi


potensi ini sangat berguna bagi manusia untuk dapat menyesuaikan diri
demi memenuhi kebutuhannya. Proses belajar dalam konteks pendidikan
formal di sekolah memiliki peranan penting dalam pencapaian tujuan
pendidikan.
Sebagai landasan penguraian mengenai apa yang dimaksud dengan
belajar, Oemar Hamalik (2007: 36) menyatakan learning is defined as
the modification or streng-thening of behavior through experiencing
artinya belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui
pengalaman. Menurut pengertian ini belajar merupakan proses suatu
kegiatan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat
akan tetapi lebih luas daripada itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan
suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan.
Aliran psikologi Gestalt yang lebih jauh lagi bersumber pada
paham organismic psychology memberikan pengertian yang berbeda
16

mengenai hakekat belajar (Abin Syamsuddin M, 2004: 160). Menurut


aliran ini, belajar merupakan perubahan perilaku dan pribadi secara
keseluruhan. Dari dua pengertian tersebut terlihat jelas bahwa belajar
pada prinsipnya sama yaitu perubahan tingkah laku hanya saja berbeda
cara atau usaha pencapainnya. Hal ini juga dipertegas oleh Sugihartono.
dkk, (2007: 74) bahwa belajar adalah suatu proses memperoleh
pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan
kemampuan beraksi yang lebih permanen atau menetap karena adanya
interaksi individu dengan lingkungannya.
Usaha

untuk

mencapai

tujuan

pendidikan

selain

belajar,

pembelajaran juga memiliki peranan yang cukup penting. Belajar dan


pembelajaran merupakan dua istilah yang memiliki keterkaitan yang
sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam proses
pendidikan. Biggs (dalam Sugihartono. dkk, 2007: 80) membagi konsep
pembelajaran dalam 3 pengertian yaitu:
1) secara kuantitatif pembelajaran berarti penularan pengetahuan dari
guru kepada murid;
2) secara institusional pembelajaran berarti penataan segala
kemampuan mengajar sehingga dapat berjalan efisien; dan
3) secara kualitatif pembelajaran berarti upaya guru untuk
memudahkan kegiatan belajar siswa.
Pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pembelajaran guru
dituntut untuk menguasai pengetahuan yang dimiliki untuk dapat
menyampaikan kepada siswa dengan sebaik-baiknya, guru harus mampu
menciptakan lingkungan belajar yang mendorong siswa belajar secara

efektif dan efisien, dan guru tidak hanya memberikan pengetahuan


kepada siswa namun juga melibatkan siswa dalam aktivitas belajar secara
optimal.
Perbedaan antara belajar dengan pembelajaran terletak pada
penekanannya. Pembahasan masalah belajar lebih menekankan pada
bahasan tentang siswa dan proses yang menyertai dalam rangka
perubahan tingkah lakunya. Adapun pembahasan mengenai pembelajaran
lebih menekankan pada guru dalam upaya membantu siswa agar dapat
belajar dengan baik.
b. Mata Pelajaran Ekonomi
Ekonomi dalam banyak literatur disebutkan berasal dari bahasa
yunani yaitu kata Oikos dan Nomos yang berarti peraturan rumah
tangga, dengan kata lain pengertian ekonomi adalah semua yang
menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan perikehidupan dalam
rumah tangga. P.A Samuelson (dalam Iskandar Putong, 2002: 15)
mendefinisikan ilmu ekonomi secara lebih khusus, yaitu:
suatu studi bagaimana orang-orang dan masyarakat membuat pilihan
dengan atau tanpa menggunakan uang, dengan menggunakan sumbersumber daya yang terbatas tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara
untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa dan
mendistribusikannya untuk kepentingan konsumsi sekarang dan di
masa datang kepada berbagai orang dan golongan masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dapat didefinisikan
bahwa mata pelajaran ekonomi adalah satuan materi ekonomi yang
mempelajari tentang perilaku atau tindakan manusia dalam memenuhi

kebutuhannya yang beraneka ragam dengan sumber daya yang terbatas


melalui berbagai alternatif. Konsep ilmu ekonomi perlu dimengerti siswa
untuk kemudian dipelajari dan digunakan dalam menyelesaikan masalah
ekonomi yang mereka hadapi sehari-hari. Karakteristik mata pelajaran
ekonomi dalam Puskur (2006) adalah sebagai berikut:
1) mata pelajaran ekonomi berangkat dari fakta atau gejala ekonomi
yang nyata;
2) mata pelajaran ekonomi mengembangkan teori-teori untuk
menjelaskan fakta secara rasional;
3) umumnya, analisis yang digunakan dalam ilmu ekonomi adalah
metode pemecahan masalah;
4) inti dari ilmu ekonomi adalah memilih alternatif yang terbaik;
5) secara umum, subjek dalam ekonomi dapat dibagi dengan beberapa
cara, yang paling terkenal adalah mikro ekonomi dan makro
ekonomi; dan
6) materi akuntansi berupa pokok-pokok bahasan dari pengertian
akuntansi secara umum, pencatatan transaksi keuangan,
penyusunan laporan keuangan baik perusahaan jasa, dagang,
maupun manufaktur.
Mata pelajaran ekonomi menurut kurikulum KTSP dalam Puskur
(2006) bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa
dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari terutama yang
terjadi di lingkungan individu, rumah tangga, masyarakat dan
negara;
2) menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi
yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi;
3) membentuk sikap bijak, rasional, dan bertanggung jawab dengan
memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi,
manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri,
rumah tangga, masyarakat dan negara; dan
4) membuat keputusan yang bertanggung jawab mengenai nilai-nilai
sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala
nasional maupun internasional.

Luasnya ilmu ekonomi dan terbatasnya waktu yang tersedia


membuat standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran
ekonomi dibatasi dan difokuskan kepada fenomena empirik ekonomi
yang ada di sekitar siswa, sehingga siswa dapat merekam peristiwa
ekonomi yang terjadi di sekitar lingkungannya dan mengambil manfaat
untuk kehidupannya yang lebih baik. Secara umum indikator yang
terdapat

dalam

standar

kompetensi

mata

pelajaran

ekonomi

dikelompokan menjadi dua aspek sebagai berikut:


1) Kemampuan untuk mengembangkan konsep dan memahami peristiwa
ekonomi.
2) Kemampuan

untuk

melakukan

aktivitas

yang

menggunakan

pendekatan ilmiah seperti memecahkan masalah, menemukan


(inquiry), dan berpikir kritis untuk menggali, membangun, dan
menggeneralisasikan konsep maupun peristiwa ekonomi.
Pendekatan, pengorganisasian materi dan penilaian mata pelajaran
ekonomi di SMA dan MA menurut Arnie Fajar (2005: 129) adalah
sebagai berikut:
1) Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pemecahan masalah,
dimana siswa dapat memecahkan masalah-masalah ekonomi di
masyarakat terutama dalam mencari alternatif pemecahannya. Agar
pembelajaran lebih bermakna maka penyajian materi dimulai dari
mengidentifikasi fakta tentang peristiwa dan permasalahan ekonomi,
pemahaman beberapa konsep dan ilmu dasar ekonomi, mencari

alternatif pemecahan masalah ekonomi serta menilai kebaikan dan


keburukan kebijakan ekonomi dalam mengatasi masalah ekonomi.
2) Pembelajaran

ekonomi

perlu

diikuti

dengan

praktik

belajar

berekonomi. Praktek ini merupakan suatu inovasi pembelajaran yang


dirancang untuk membantu siswa agar memahami fakta, peristiwa,
konsep, dan generalisasi melalui pengalaman belajar praktek empirik.
3) Pembelajaran ekonomi dapat menggunakan berbagai media yang
mempunyai potensi untuk menambah wawasaan dan konteks belajar
serta meningkatkan hasil belajar.
4) Penilaian dilakukan secara berkala dan berkesinambungan (tidak
sesaat). Penilaian bukan hanya menaksir sesuatu secara parsial,
melainkan harus menaksir sesuatu secara menyeluruh yang meliputi
proses, hasil, dan perkembangan wawasan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang dicapai siswa.
c. Tingkat Perkembangan Siswa SMA
Agar seorang guru dapat mempersiapkan pelajaran yang sesuai
dengan bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan siswa serta
menyampaikan bahan pelajaran dengan baik, dibutuhkan pengetahuan
dan kemampuan memahami tingkat perkembangan para siswanya. Dalam
menyelenggarakan pembelajaran ekonomi di SMA guru pun harus
memperhatikan

tingkat

perkembangan

siswa

SMA itu

sendiri.

Perkembangan berkenaan dengan keseluruhan kepribadian individu.

Aspek utama kepribadian yaitu sifat, kemampuan intelektual, sosial,


emosional, dan bahasa (Nana Syaodih Sukmadinata, 2003: 114).
Program pengajaran di sekolah yang baik adalah yang mampu
memberikan dukungan yang besar kepada siswa dalam menyelesaikan
tugas-tugas perkembangannya. Sehubungan dengan ini, setiap guru
selayaknya memahami proses dan tugas perkembangan manusia.
Pengetahuan perkembangan manusia memiliki banyak manfaat antara
lain (Muhibbin Syah, 2005: 83):
1) guru dapat memberikan layanan bantuan dan bimbingan yang tepat
kepada para siswa;
2) guru dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya
kesulitan belajar siswa tertentu;
3) guru dapat mempertimbangkan waktu yang tepat untuk memulai
aktivitas proses belajar-mengajar bidang studi tertentu;
4) guru dapat menemukan dan menentukan tujuan-tujuan pengajaran
(TIU dan TIK) materi pelajaran atau pokok bahasan pengajaran
tertentu.
Aristoteles seorang filosof Yunani membagi masa perkembangan
manusia menjadi empat tahap yaitu masa kanak-kanak (usia 0-7 tahun),
masa anak (usia 7-14 tahun), masa remaja (14-21 tahun) dan masa
dewasa (usia di atas 21 tahun). Sedangkan Jean Piaget (dalam
Sukmadinata, 2003: 118) mengemukakan empat tahap perkembangan
manusia dari aspek kognitif sebagai berikut:
1) tahap sensori motor usia 0-2 tahun, pada tahap ini pengetahuan anak
diperoleh melalui interaksi fisik, baik dengan orang atau objek.
Skema-skema baru berbentuk reflek-reflek sederhana, seperti:
menggenggam atau menghisap;
2) tahap pra-operasional usia 2-7 tahun, pada tahap ini anak mulai
menggunakan simbol-simbol untuk merepresentasi dunia (lingkungan)
secara kognitif. Simbol-simbol itu seperti: kata-kata dan bilangan

yang dapat menggantikan objek, peristiwa dan kegiatan (tingkah laku


yang tampak);
3) tahap operasi konktrit usia 6-11 tahun, pada tahap ini anak sudah
dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang
mereka miliki. Mereka dapat menambah, mengurangi dan mengubah.
Operasi ini memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah
secara logis; dan
4) tahap operasi formal usia 11-dewasa, tahap ini merupakan operasi
mental tingkat tinggi. Di sini anak (remaja) sudah dapat berhubungan
dengan peristiwa-peristiwa hipotesis atau abstrak, tidak hanya dengan
objek-objek konkrit remaja sudah dapat berfikir abstrak, memecahkan
masalah, berpikir deduktif dan induktif, serta berpikir analitis dan
sintesis.

Selain berkenaan dengan aspek kognitif, tingkat perkembangan


juga berkenaan dengan aspek sosial dan moral, Kohl Berg (dalam
Muhibbin Syah, 2005: 76) mengemukakan tiga tahap perkembangan
moral manusia antara lain:
1) tingkat moralitas pra konvensional, yaitu ketika manusia berada
dalam fase perkembangan prayuwana (usia 4-10 tahun) yang belum
menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial;
2) tingkat moralitas konvensional, yaitu ketika manusia menjelang
dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana (usia 10-13
tahun) yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi
sosial; dan
3) tingkat moralitas pascakonvensional, yaitu ketika manusia telah
memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana (usia 13
tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedar
kesepakatan tradisi sosial.
Berdasarkan tahap perkembangan manusia di atas, dapat kita simpulkan
bahwa siswa SMA berdasarkan aspek kognitif termasuk dalam tahap
perkembangan masa remaja yang oleh Jean Piaget disebut dengan tahap
operasi formal. Berdasarkan aspek moral dan sosial siswa SMA termasuk
dalam tahap moralitas pascakonvensional.

Tugas-tugas perkembangan masa remaja itu sendiri dalam Nana


Syaodih Sukmadinata (2003: 124) adalah sebagai berikut:
1) mampu menjalin hubungan yang lebih matang dengan sebaya dan
jenis kelamin lain;
2) mampu melakukan peran sosial sebagai laki-laki dan wanita;
3) menerima kondisi jasmaninya dan dapat menggunakannya secara
efektif;
4) memiliki kemandirian lebih baik;
5) memiliki perasaan mampu berdiri sendiri dalam bidang ekonomi;
6) mampu memilih dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan;
7) mengembangkan konsep-konsep dan keterampilan intelektual
untuk hidup bermasyarakat;
8) memiliki perilaku sosial seperti yang diharapkan masyarakat; dan
9) memiliki seperangkat
perbuatannya.

nilai

yang

menjadi

pedoman

bagi

2. Kajian tentang Pembelajaran Kontekstual (Cotextual Teaching and


Learning)
a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning)
Andreas Harefa megatakan di antara teori dan praktek terdapat
jembatan yang justru amat penting untuk memanusiakan diri seseorang
yakni ia harus belajar menjadi (Udin Saefudin Saud, 2008: 162).
Sesungguhnya inilah inti dari seluruh pembelajaran apapun model dan
strateginya dalam dunia pendidikan. Pembelajaran kontekstual akan
mendorong siswa menjadi orang yang akrab dengan lingkungan dimana,
apa, dan siapa sebenarnya dirinya itu. Dengan kata lain siswa mengerti
makna belajar, manfaat belajar dan mengerti dalam status apa yang
mereka pelajari berguna bagi hidupnya.

10

Yatim Riyanto (2009: 165), mengemukakan hakekat pembelajaran


kontekstual adalah:
konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama
pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (contrutivisme), bertanya
(questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning
community), permodelan (modeling), refleksi (reflection), dan
penilaian sebenarnya (authentic assessment).
Wina Sanjaya (2009: 255) mendefinisikan konsep pembelajaran
kontekstual (contextual teaching and learning) adalah suatu strategi
pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh

untuk

dapat

menemukan

materi

yang

dipelajari

dan

menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong


siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari dua pengertian di atas, maka dapat diuraikan bahwa pada
hakekatnya pembelajaran kontektstual menekankan pada tiga hal yaitu:
1) Proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi artinya proses
pembelajaran tidak mengharapkan siswa hanya menerima pelajaran
dan menghafalkan materi, namun siswa dituntut untuk menemukan
sendiri materi pelajaran.
2) Hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan
nyata artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara
pengalaman belajar sekolah dengan kehidupan nyata. Dengan

11

demikian materi yang dipelajari akan tertanam erat dalam memori


siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
3) Penerapan materi pelajaran dalam kehidupan artinya siswa tidak
hanya memahami materi yang dipelajari, akan tetapi bagaimana
materi pelajaran itu mewarnai perilakunya dalam kehidupan seharihari.
Pengertian

pembelajaran

kontekstual

tersebut

secara

jelas

menunjukkan bahwa dilihat dari keaktifan siswa dalam proses


pembelajaran, perlakuan siswa oleh guru, penyampaian materi, dan cara
pandang

terhadap

pengetahuan

berbeda

dengan

pembelajaran

konvensional yang lebih bersifat pasif, teoritis dan penguasaan materi


jangka pendek melalui menghafal.
b. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka terdapat lima
karakteristik penting dalam proses pembelajaran kontekstual yaitu: (Wina
Sanjaya, 2009: 256).
1) Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah

ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak


terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian
pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh
yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
yang kontekstual adalah belajar dalam rangka

2) Pembelajaran

memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).

12

Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya


pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan
kemudian memperhatikan secara detailnya.
3) Pemahaman pengetahuan (understanding

knowledge),

artinya

pengetahuan yang diperoleh bukan untuk menghafal tetapi untuk


dipahami dan diyakini.
4) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying

knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya


harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak
perubahan perilaku siswa.
refleksi (reflecting

5) Melakukan

knowledge)

terhadap

strategi

pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik


untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
c. Komponen Pembelajaran Kontekstual (CTL)
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki tujuh asas.
Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran CTL.
Seringkali

asas

ini

disebut

juga

sebagai

komponen-komponen

pembelajaran CTL. Dalam Wina Sanjaya (2009: 168) maupun Yatim


Riyanto (2009: 171) diuraikan tujuh komponen tersebut yaitu:
1) Konstruktivisme (Contructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan filsafat pembelajaran
kontekstual. Jean Peaget mengatakan bahwa pengetahuan bukanlah
merupakan gambaran dunia nyata, akan tetapi merupakan konstruksi
kenyataan melalui kegiatan subjek (Wina Sanjaya, 2009: 264).

13

Selanjutnya Jerome Brunner yang juga tokoh konstruktivisme


mengatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar
konsep dan prinsip dalam siswa adalah dengan mengkonstruksi sendiri
konsep dan prinsip yang dipelajari itu (Sugihartono. dkk, 2007: 111).
Pendapat tersebut di atas berarti bahwa pembelajaran bukan
suatu proses untuk memberi dan mengahafal konsep-konsep yang ada,
namun proses untuk memecahkan masalah dan membangun sendiri
pengetahuan yang akan dipelajari melalui keterlibatan secara aktif
dalam proses belajar mengajar. Siswalah yang menjadi pusat kegiatan
sedangkan guru memfasilitasi proses tersebut.
2) Menemukan (Inquiry)
Menemukan (Inquiry) artinya pembelajaran yang menekankan
pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan
menemukan sendiri pengetahuan. Konsep ini sejalan dengan konsep
konstruktivisme

bahwa

pengetahuan

berasal

dari

siswa

dan

pengetahuan bukanlah fakta-fakta yang siap dihafal sehingga dalam


proses pembelajaran guru bukan mempersiapkan sejumlah materi
yang

harus

dihafal,

namun

merancang

pembelajaran

yang

memungkinkan siswa menemukan sendiri materi yang harus


dipelajarinya. Berbagai topik mata pelajaran dapat dilakukan melalui
proses inquiry. Secara umum inquiry dapat dilakukan melalui
beberapa langkah, yaitu: a) merumuskan masalah, b) mengajukan
hipotesis, c) mengumpulkan data, d) menguji hipotesis berdasarkan

14

data yang ditemukan, e) membuat kesimpulan (Wina Sanjaya, 2009:


265).
3) Bertanya (Questioning)
Dalam proses pembelajaran CTL guru tidak menyampaikan
materi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat
menemukan sendiri melalui bertanya. Peran bertanya sangat penting
karena dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan
sendiri materi yang dipelajarinya. Dalam Yatim Riyanto (2009: 174)
disebutkan bahwa dalam sebuah kegiatan pembelajaran yang
produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
a)
b)
c)
d)
e)
f)

menggali informasi baik administrasi maupun akademis;


mengecek pemahaman siswa;
membangkitkan respon kepada siswa;
mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;
mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa;
memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki
guru;
g) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan
h) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Dalam masyarakat belajar, hasil pembelajaran dapat diperoleh
dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing
antar teman, antar kelompok, dan antar mereka yang belum tahu.
Metode inilah yang seharusnya lebih ditekankan dalam pembelajaran
CTL.
5) Permodelan (Modeling)

15

Dalam pembelajaran CTL guru bukan satu-satunya model,


model dapat dirancang dengan melibatkan siswa yang memiliki
kemampuan. Permodelan merupakan asas yang cukup penting sebab
melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang
teoritis-abstrak yang menggundang verbalisme (Udin Saefudin Saud,
2008: 171).
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari
atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di
masa yang lalu. Refleksi diperlukan karena pengetahuan harus
dikontekstualkan agar sepenuhnya dipahami dan diterapkan secara
luas.
7) Penilaian Sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan

gambaran

perkembangan

belajar

siswa

untuk

memastikan bahwa siswa mengalami proses belajar yang benar.


Assesment disini lebih menekankan pada proses pembelajaran
sehingga assesment tidak dilakukan di akhir periode seperti halnya
pada pembelajaran tradisional namun dilakukan bersama secara
terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran (Yatim Riyanto, 2009:
177).
3. Kajian tentang Bahan Ajar Konstruktivistik Berbasis Lokal
a. Pengertian Bahan Ajar

16

Interaksi antara guru dengan siswa dalam suatu pembelajaran akan


efektif jika tersedia media yang mendukung. Media (medium)

yaitu

segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan.


Pengajaran merupakan proses komunikasi yang di dalamnya ada sumber
pesan (guru), penerima pesan (siswa), dan pesan (materi pelajaran).
Sumber pesan harus melakukan encoding yaitu menerjemahkan gagasan,
pikiran, perasaan, atau pesan ke dalam bentuk

lambang tertentu.

Lambang tersebut dapat berupa bahasa, tanda-tanda, atau gambar.


Semakin

baik

media

yang

digunakan,

semakin

kecil

distorsi/gangguannya dan makin baik pesan tersebut diterima siswa


(Chomsin S Widodo, 2008: 39).
Media dalam proses belajar mengajar salah satunya adalah bahan
ajar. Bahan ajar merupakan fokus utama dari penelitian ini. Banyak
sekali para ahli yang mengemukakan tentang pengertian bahan ajar,
dalam penelitian ini peneliti mengutip beberapa pengertian bahan ajar
yang menurut peneliti relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Abdul Masjid (2008: 173) menyampaikan bahwa bahan ajar adalah
seperangkat materi yang disusun secara sistematis sehingga tercipta
suasana atau lingkungan yang memungkinkan siswa belajar dengan baik.
Oemar Hamalik (dalam Udin Saefudin Saud, 2008: 203) menempatkan
bahan ajar sebagai bagian dari unsur-unsur dinamis dalam proses belajar
di samping motivasi siswa, alat bantu belajar, suasana belajar dan kondisi
subjek belajar. Secara singkatnya bahan ajar diterjemahkan sebagai

17

seperangkat material yang digunakan oleh seseorang untuk melakukan


kegiatan belajar.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Chomsin S Widodo (2008: 40)
yaitu.
Bahan ajar adalah seperangkat sarana atau alat yang berisikan materi
pembelajaran, metode, batasan-batasan dan cara mengevaluasi yang
didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan
yang diharapkan yaitu mencapai kompetensi atau sub kompetensi
dengan segala kompleksitasnya.
Pengertian tersebut lebih luas dibandingkan pengertian bahan ajar
yang disampaikan oleh Abdul Masjid maupun Oemar Hamalik, namun
pada dasarnya sama yaitu bahwa bahan ajar merupakan seperangkat
materi yang disusun secara sistematis untuk digunakan sebagai sumber
belajar dalam proses pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran.
Penentuan bahan ajar harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran
yang hendak dipakai apakah berupa pengetahuan, keterampilan, sikap
atau pengalaman lainnya.
Bahan ajar tentunya berbeda dengan buku teks. Bahan ajar
merupakan bahan atau materi pembelajaran yang disusun secara
sistematis yang digunakan guru dan siswa dalam KBM, sedangkan buku
teks merupakan sumber informasi yang disusun dengan struktur dan
urutan berdasar bidang ilmu tertentu.
Bahan ajar mempunyai struktur dan urutan yang sistematis,
menjelaskan tujuan instruksional yang akan dicapai, memotivasi siswa
untuk belajar, mengantisipasi kesukaran belajar siswa sehingga

18

menyediakan bimbingan bagi siswa untuk mempelajari bahan tersebut,


memberikan latihan, menyediakan rangkuman, dan secara umum
berorientasi pada siswa secara individual (learner oriented). Biasanya
bahan ajar bersifat mandiri, artinya dapat dipelajari oleh siswa secara
mandiri karena sistematis.
E Mulyasa (2009: 21) menjelaskan bahan ajar atau materi
pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam
rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara
terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta,
konsep, prinsip, dan prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.
Pengetahuan jenis fakta berupa materi yang banyak membutuhkan
hafalan seperti nama-nama benda, nama tempat, peristiwa sejarah, nama
orang, nama lambang atau simbol. Pengetahuan jenis konsep adalah
materi berupa definisi atau pengertian. Tujuan mempelajari konsep
adalah agar siswa paham, dapat menunjukkan ciri-ciri, unsur,
membedakan, membandingkan, dan menggeneralisasikan. Pengetahuan
jenis prinsip maliputi materi yang mempelajari dalil, rumus, hukum
(law), postulat, dan teorema. Pengetahuan jenis prosedur adalah materi
yang berisi langkah-langkah mengerjakan suatu tugas secara berurutan.
Abdul Majid (2008: 174), menyebutkan bahwa suatu bahan ajar
setidaknya mencakup petunjuk belajar bagi siswa atau guru, kompetensi
yang akan dicapai, informasi pendukung, latihan-latihan, lembar kerja

19

dan evaluasi. Selain itu, Abdul Masjid juga mengelompokkan bahan ajar
menjadi empat kelompok yaitu:
1) bahan ajar cetak antara lain handout, modul, lembar kerja siswa,
brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, model/ maket;
2) bahan ajar suara/audio antara lain seperti kaset, radio, piringan
hitam, dan compact disk audio;
3) bahan ajar dengan pandang (audio visual) seperti compact disk,
film; dan
4) bahan ajar interaktif (interaktif teaching material) seperti compact
disk interaktif.
b. Pembelajaran Konstruktivistik
Dalam mengembangkan bahan ajar seseorang perlu memiliki
wawasan dan pengetahuan yang baik tentang teori-teori belajar. Hal ini
dapat membantu penerapan prinsip-prinsip dan pendekatan-pendekatan
spesifik yang diperlukan untuk mendesain sebuah produk pembelajaran.
Dalam penelitian ini secara spesifik peneliti menggunakan pendekatan
teori belajar konstruktivistik untuk mengembangkan bahan ajar.
Asal kata konstruktivisme yaitu to construct yang berarti
membentuk. Pemikiran filsoft Giambattista Vico (Haris Mudjiman,
2007: 23) merupakan pemikiran yang paling awal tentang paradigma
konstruktivisme

yang

mengatakan

bahwa

manusia

hanya

akan

memahami hal-hal yang ia bangun sendiri. Dalam arti pengetahuan baru


hanya dapat dipahami dengan kacamata pengetahuan yang telah dimiliki.
Pengetahuan baru merupakan hasil olahan siswa sendiri. Paradigma ini
menempatkan siswa sebagai komponen penting dalam proses pendidikan.
Siswa tidak hanya sebagai objek namun sebagai subjek pendidikan.

20

Menurut paradigma konstruktivisme, belajar adalah proses


menginternalisasi, membentuk kembali, atau membentuk pengetahuan
baru. Para kontruktivis meyakini bahwa pengetahuan bersifat dinamis,
pengetahuan senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan.
Pengetahuan adalah proses yang memerlukan tindakan. Belajar lebih
diartikan sebagai sebuah proses konstruksi makna dari pada hanya
sekedar mengingat dan menghafal fakta-fakta yang bersifat faktual
(Benny Pribadi, 2009: 155).
Pengertian pembelajaran konstruktivistik adalah pembelajaran yang
berbasis pada paradigma konstruktivisme. Dari apa yang telah
dikemukakan di atas dapat kita ketahui bahwa pembelajaran dalam
paradigma konstruktivisme tidak hanya mementingkan hasil namun juga
proses. Pembelajaran dilakukan
memperoleh

pengalaman

belajar

untuk menfasilitasi siswa


yang

dapat

digunakan

agar
untuk

membangun makna terhadap pengetahuan yang sedang dipelajari.


Sehubungan dengan pandangan konstruktivisme, maka peran guru
dalam pembelajaran bergeser dari menyampaikan pengetahuan kepada
siswa ke merangsang siswa untuk membangun pengetahuan sendiri. Guru
lebih dianggap sebagai fasilitator. Guru harus merencanakan bahan ajar
apa yang akan diajarkan, dengan cara apa, dengan alat bantu apa, dan
sebagainya. Tujuan penggunaan materi pendekatan konstruktivistik
dalam pembelajaran adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman

21

siswa terhadap isi atau materi pembelajaran. Sedangkan tujuan


konstruktivisme menurut Yatim Riyanto (2009: 147) sebagai berikut:
1) memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri;
2) mengembangkan pengetahuan siswa untuk mengajukan pertanyaan
dan mencari sendiri jawabannya;
3) membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau
pemahaman konsep secara lengkap; dan
4) mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang
mandiri.
Alasan

rasional

yang

mendasari

implementasi

pendekatan

konstruktivisme dalam pembelajaran yaitu anggapan mengenai hasil


belajar dan pengetahuan merupakan proses kontruksi individu,
pengetahuan merupakan konstruksi peristiwa yang dialami, proses
belajar akan berlangsung dalam konteks yang relevan, belajar akan
terjadi melalui media pembelajaran, belajar termasuk dalam dialog sosial,
siswa

sebagai

subjek

belajar

memiliki

latar

belakang

yang

beranekaragam, dapat memahami pengetahuan merupakan pencapaian


utama dalam pembelajaran.
Aktivitas pembelajaran yang menandai siswa melakukan konstruksi
pengetahuan terdiri atas beberapa bentuk seperti merumuskan pertanyaan
secara kolaboratif, menjelaskan fenomena yang dilihat, berfikir kritis
tentang isu-isu yang bersifat kompleks dan mengetahui solusi atas
masalah yang sedang dihadapi (Benny Pribadi, 2009: 159). Hal-hal yang
perlu dilakukan guru dalam menciptakan aktivitas pembelajaran seperti

22

itu menurut Yatim Riyanto (2009: 153) dan Benny Pribadi (2009: 163)
adalah sebagai berikut :
1) Mendukung dan menerima otonomi serta inisiatif siswa.
2) Menggunakan data mentah sebagai bahan yang interaktif dan nyata.
3) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan belajar
dalam konteks nyata.
4) Ketika memberi tugas, menggunakan istilah kognitif seperti
klasifikasi, analisis, meramalkan, menciptakan dll.
5) Menggunakan strategi pembelajaran yang meningkatkan aktivitas
siswa dalam pembelajaran.
6) Memilih metode dan media pembelajaran yang menarik.
7) Mencari tahu pengetahuan siswa mengenai konsep yang akan
dipelajari sebelum akhirnya menjelaskan konsep tersebut.
8) Mendorong siswa untuk bertanya baik dengan memberikan
pertanyaan yang terbuka yang mendalam dan juga mendorong siswa
untuk mengajukan pertanyaan satu dengan yang lainnya.
9) Mendorong siswa untuk melakukan kegiatan diskusi dengan
mengembangkan sistem belajar kelompok.

c. Pendidikan Berbasis Lokal

23

Sekolah sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan


merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program pendidikan
di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada siswa tentang
karakteristik dan kekhususan yang ada di lingkungannya. Pengenalan
keadaan lingkungan alam, sosial dan budaya kepada siswa di sekolah
memberikan kemungkinan kepada mereka untuk akrab dan terhindar
pada keterasingan terhadap lingkungannya (E Mulyasa, 2009: 272).
Kurikulum KTSP yang saat ini sedang berlaku merupakan
kurikulum lokal, karena kurikulum yang disusun oleh suatu sekolah
dapat berbeda dengan sekolah lain. Suatu sekolah memiliki otonomi
sendiri untuk mengembangkan kurikulum. Dengan menerapkan KTSP
diharapkan setiap sekolah paling tidak suatu daerah dapat benar-benar
memperhatikan

kondisi

daerahnya

masing-masing,

baik

kondisi

lingkungan fisik, sosial, ekonomi maupun budayanya. Mereka dapat


melestarikan dan mengembangkan berbagai budaya daerahnya dengan
memasukkannya sebagai bagian dari kurikulum, apakah itu dijadikan
sebagai isi/materi yang secara khusus dipelajari dalam bentuk mata
pelajaran maupun hanya sebagai sumber belajar.
Dalam

mengembangkan

kurikulum

KTSP,

sekolah

dapat

menjadikan lingkungan fisik dan sosialnya sebagai sumber belajar yang


sangat kaya untuk memudahkan siswa dalam memahami konsep-konsep
disiplin ilmu tertentu dengan dimasukkan ke dalam kelompok mata
pelajaran tertentu, selain itu pemanfaatan lingkungan sekitar juga dapat

24

dikembangkan dalam kurikulum yang berupa mata pelajaran tersendiri


dengan alokasi waktu tersendiri yang khusus berisi muatan lokal.
Kurikulum muatan lokal adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang ditetapkan oleh daerah
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar (Depdikbud dalam E Mulyasa, 2009: 273).
Penentuan isi dan bahan pelajaran muatan lokal didasarkan pada
keadaan dan kebutuhan lingkungan yang dituangkan dalam mata
pelajaran dengan alokasi waktu yang berdiri sendiri. Adapun materi dan
isinya ditentukan oleh satuan pendidikan, yang dalam pelaksanaannya
merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah.
Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah
tertentu yang pada dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam,
lingkungan sosial dan ekonomi, serta lingkungan budaya. Sedangkan
kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat
di suatu daerah khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan
taraf kehidupan masyarakat sesuai dengan arah perkembangan serta
potensi daerah yang bersangkutan (E Mulyasa, 2009: 273).
Lokal berasal dari kata local yang berarti setempat. Makna
lokal tidak dibatasi oleh wilayah pemerintahan tertentu, tetapi

25

tergantung dari tujuan yang dipelajari. Beberapa kemungkinan makna


lokal dalam kurikulum KTSP adalah (E Mulyasa, 2009: 276):
1) seluruh kabupaten/kota dalam suatu provinsi, khususnya di
SMA/MA, dan SMK;
2) hanya pada satu kabupaten/kota atau beberapa kabupaten/kota
tertentu dalam suatu provinsi yang memiliki karakteristik yang
sama; dan
3) pada seluruh kecamatan dalam suatu kaupaten/kota yang memiliki
karakteristik yang sama.
Makna lokal ditunjukkan oleh tempat suatu bahan kajian diberlakukan.
Konteks pengertian masalah yang dibahas di sini dimaksudkan sebagai
lingkungan tempat peserta didik berdomisili, hidup, dan dibesarkan yakni
di provinsi Yogyakarta.
Pendidikan berbasis lokal adalah pendidikan/program pembelajaran
yang

diselenggarakan

sesuai

dengan

kebutuhan

daerah

dengan

memanfaatkan berbagai sumber daya alam, sumber daya manusia,


geografis,

budaya,

historis

dan

potensi

daerah

lainnya

yang

bermanfaat dalam proses pengembangan kompetensi sesuai dengan


potensi, bakat dan minat siswa.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan berbasis
lokal adalah pengorganisasian bahan pelajaran. Bahan pelajaran menurut
E Mulyasa (2009: 282) hendaknya:
1) Sesuai dengan tingkat perkembangan siswa baik perkembangan
pengetahuan, cara berpikir, maupun perkembangan sosial dan
emosionalnya;

26

2) Dikembangkan dengan memperhatikan kedekatan dengan siswa, baik


secara fisik maupun psikis;
3) Dipilih yang bermakna dan bermanfaat bagi siswa dalam kehidupan
sehari-hari;
4) Mengacu pada pembentukan kompetensi dasar tertentu secara jelas.
Konsep pendidikan berbasis lokal sejalan dengan konsep
pembelajaran konstruktivistik sebagaimana dikemukakan di atas.
Pembelajaran konstruktivistik selalu mengangkat masalah dunia nyata di
sekitar siswa untuk merangsang siswa berpendapat dan berpikir kritis.
Haris Mudjiman (2007: 29) menyampaikan perlunya mengangkat
masalah-masalah dunia nyata dalam pembelajaran didasarkan pada
alasan-alasan sebagai berikut:
1) dalam dunia nyata masalah umumnya bersifat kompleks dan
multifaset;
2) rangsangan belajar yang berupa dunia nyata akan mendorong siswa
untuk memanfaatkan file-file yang dimilikinya guna menciptakan
file baru sehingga memperkaya memorinya; dan
3) pembelajaran yang berpangkal dari masalah dunia nyata akan
bersifat autentik karena permasalahan bukan buatan atau artifisial.
Banyak keuntungan yang diperoleh dari memasukan hal-hal yang
bersumber dari lingkungan sekitar dalam proses belajar-mengajar (Nana
Sudjana, 1998: 34) antara lain:
1) kegiatan lebih menarik dan tidak membosankan sehingga motivasi
belajar siswa akan lebih tinggi;
2) hakekat belajar akan lebih bermakna sebab siswa dihadapkan
dengan situasi dan keadaan yang sebenarnya atau bersifat alami;
3) bahan-bahan yang dipelajari lebih kaya serta lebih faktual;

27

4) kegiatan siswa lebih komprehensif dan lebih aktif sebab dapat


dilakukan dengan berbagai cara seperti mengamati, bertanya atau
wawancara, mendemonstrasikan, menguji fakta dan lain-lain;
5) sumber belajar menjadi lebih kaya sebab lingkungan yang
dipelajari bisa beraneka ragam; dan
6) siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan
yang ada di lingkungannya, sehingga dapat membentuk pribadi
yang tidak asing dengan kehidupan di sekitarnya, serta dapat
memupuk cinta lingkungan.
d. Hakekat Bahan Ajar Konstruktivistik Berbasis Lokal
Berdasarkan

pengertian

pembelajaran

konstruktivistik

dan

pendidikan berbasis lokal tersebut di atas, peneliti mengambil


kesimpulan mengenai hakekat bahan ajar konstruktivistik berbasis lokal
yaitu bahan/materi pelajaran yang bersumber dari kondisi lingkungan,
kehidupan nyata serta fenomena yang ada di lingkungan siswa termasuk
lingkungan fisik, sosial, budaya, dan ekonomi yang relevan yang disusun
secara sistematis dengan menggunakan pendekatan teori belajar
konstruktivistik.
4. Kajian tentang Pengembangan Bahan Ajar Berbentuk Modul
a. Pengertian Modul
Menurut

Badan

Penelitian

Pengembangan

Pendidikan

dan

Kebudayaan, modul didefinisikan sebagai suatu unit program belajar


mengajar terkecil yang secara rinci menggariskan tujuan instruksional
yang akan dicapai, topik yang akan dijadikan pangkal proses belajar
mengajar, pokok-pokok yang akan dipelajari, kedudukan fungsi modul
dalam kesatuan program yang lebih luas, peranan guru, alat dan sumber

28

yang

harus digunakan, kegiatan belajar yang harus dilakukan dan

dihayati siswa secara berurutan, lembar kerja yang harus diisi oleh siswa,
dan program evaluasi yang akan dilaksanakan (Made Wena, 2009: 231).
Sugihartono. dkk, (2007: 65) juga mengemukakan pengertian
modul yaitu suatu unit yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas
suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun secara sistematis untuk
membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara
khusus dan jelas.
Depdiknas (2008) mendefinisikan modul sebagai alat atau sarana
pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan, dan cara
mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik untuk
mencapai

kompetensi

yang

diharapkan

sesuai

dengan

tingkat

kompleksitasnya. Modul merupakan bahan ajar cetak yang dirancang


untuk dapat dipelajari secara mandiri oleh peserta pembelajaran. Modul
disebut juga media untuk belajar mandiri karena di dalamnya telah
dilengkapi petunjuk untuk belajar sendiri.
Walter Dick dan Lou Carey mendefinisikan modul ditinjau dari
wujud fisik berupa bahan pembelajaran cetak yang fungsinya sebagai
media belajar mandiri dan isinya berupa satu unit materi pembelajaran
(Made Wena, 2009: 231). Modul dikatakan berfungsi sebagai media
belajar. Pengertian media itu sendiri menurut Gerlach adalah orang,
bahan atau alat kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan

29

siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap (Wina Sanjaya,


2008: 204).
Ada beberapa poin penting dari beberapa pengertian di atas, modul
merupakan suatu unit pelajaran, jadi materi pelajaran dikemas dalam
unit-unit kecil yang nantinya saling berkaitan. Satu unit pelajaran
tersebut mencakup tujuan khusus yang ingin dicapai, biasanya satu
kompetensi dikemas menjadi satu modul. Modul merupakan bahan ajar
cetak yang berfungsi sebagai media belajar mandiri artinya mendorong
siswa untuk belajar sendiri tanpa harus dengan guru. Modul jelas
dirancang secara khusus untuk membantu siswa mencapai kompetensi
yang di dalamnya terdiri atas komponen tertentu.
b. Tujuan Penulisan Modul
Tujuan penulisan modul dalam Depdiknas (2008) adalah sebagai
berikut:
1) Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu
bersifat verbal;
2) Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik siswa
maupun guru/ instruktur;
3) Agar dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti untuk
meningkatkan motivasi dan gairah belajar;
4) Mengembangkan kemampuan dalam berinteraksi langsung dengan
lingkungan dan sumber belajar lainnya yang memungkinkan siswa
belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya;

30

5) Memungkinkan siswa dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri


hasil belajarnya.
Dengan memperhatikan tujuan-tujuan di atas, modul sebagai bahan
ajar akan sama efektifnya dengan pembelajaran tatap muka. Hal ini
tergantung pada proses penulisan modul. Penulis modul yang baik
menulis seolah-olah sedang mengajarkan kepada seorang peserta
mengenai suatu topik melalui tulisan. Segala sesuatu yang ingin
disampaikan oleh penulis saat pembelajaran, dikemukakan dalam modul
yang ditulisnya. Penggunaan modul dapat dikatakan sebagai kegiatan
tutorial secara tertulis (Depdiknas, 2008).
c. Karakteristik Modul
Sesuai dengan pedoman penulisan modul yang dikeluarkan oleh
Direktorat

Pendidikan

Menengah

Kejuruan,

Direktorat

Jendral

Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional


Tahun 2003 yang disampaikan dalam Chomsin S Widodo (2008: 50),
agar

modul

mampu

meningkatkan

motivasi

dan

efektivitas

penggunaannya, modul harus memiliki karakteritik modul sebagai


berikut:

1) Self Instructional

Merupakan karakteristik penting dalam modul, dengan karakter


tersebut memungkinkan seseorang belajar secara mandiri dan tidak

31

tergantung pada pihak lain. Untuk memenuhi karakter self instruction,


maka modul harus:
a) Memuat

tujuan

pembelajaran

yang

jelas,

dan

dapat

menggambarkan pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi


Dasar.
b) Memuat materi pembelajaran yang dikemas dalam unit-unit
kegiatan yang kecil/spesifik, sehingga memudahkan dipelajari
secara tuntas.
c) Tersedia

contoh

dan

ilustrasi

yang

mendukung

kejelasan

pemaparan materi pembelajaran.


d) Terdapat

soal-soal

latihan,

tugas,

dan

sejenisnya

yang

memungkinkan untuk mengukur penguasaan siswa.


e) Kontekstual, yaitu materi yang disajikan terkait dengan suasana,
tugas atau konteks kegiatan dan lingkungan siswa.
f) Menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif,
g) Terdapat rangkuman materi pembelajaran.
h) Terdapat

instrumen

penilaian,

yang

memungkinkan

siswa

melakukan penilaian mandiri (self assessment).


i) Terdapat umpan balik atas penilaian siswa, sehingga siswa
mengetahui tingkat penguasaan materi.
j) Terdapat informasi tentang rujukan/pengayaan/referensi yang
mendukung materi pembelajaran dimaksud.
2) Self contained

32

Modul

dikatakan

self

contained

bila

seluruh

materi

pembelajaran yang dibutuhkan termuat dalam modul tersebut. Tujuan


dari konsep ini adalah memberikan kesempatan siswa mempelajari
materi pembelajaran secara tuntas, karena materi belajar dikemas
kedalam satu kesatuan yang utuh. Jika harus dilakukan pembagian
atau pemisahan materi dari satu standar kompetensi/kompetensi dasar,
harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan keluasan standar
kompetensi/kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa.
3) Beridiri sendiri (Stand Alone)

Stand alone atau berdiri sendiri merupakan karakteristik modul


yang tidak tergantung pada bahan ajar/media lain, atau tidak harus
digunakan bersama-sama dengan bahan ajar/media lain. Dengan
menggunakan modul, siswa tidak perlu bahan ajar yang lain untuk
mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika
siswa masih menggunakan dan bergantung pada bahan ajar lain selain
modul yang digunakan, maka bahan ajar tersebut tidak dikategorikan
sebagai modul yang berdiri sendiri.
4) Adaptif
Modul hendaknya memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul
tersebut dapat menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta fleksibel/luwes digunakan di berbagai perangkat keras
(hardware).
5) Bersahabat (User Friendly)

Modul hendaknya juga memenuhi kaidah user friendly atau


bersahabat/akrab dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan

33

informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan


pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon dan
mengakses sesuai dengan keinginan. Modul menggunakan kalimat
aktif dengan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, serta
menggunakan istilah yang umum digunakan.
d. Komponen Modul
Komponen modul dalam Vembriarto (1975: 45) disebutkan terdiri
atas rumusan tujuan pembelajaran yang spesifik, pedoman atau petunjuk
untuk guru dalam menyelenggarakan pembelajaran menggunakan modul
tersebut, lembar kegiatan siswa yang memuat materi pelajaran yang akan
dipelajari, lembar evaluasi, dan kunci lembar evaluasi.
Chomsin S Widodo (2008: 59-70) menyampaikan komponen
modul dalam kerangka isi modul sebagai berikut:

Tabel 1. Kerangka Isi Modul


Halaman judul
Kata pengantar
Daftar isi
Glosarium
BAB I PENDAHULUAN
A. Diskripsi
B. Prasyarat
C. Petunjuk Penggunaan
1. Bagi Siswa
2. Bagi Guru
D. Tujuan Akhir

34

E. Kompetensi
BAB II PEMBELAJARAN
A. Kegiatan belajar 1
1. Uraian Materi
2. Rangkuman
3. Tugas
4. Tes Formatif
5. Kunci Jawaban
6. Lembar kerja
B. Kegiatan belajar II, dst
BAB III EVALUASI
A. Tes Kognitif
B. Tes Psikomotorik
C. Tes Afektif
DAFTAR PUSTAKA
Dalam Depdiknas (2008) disampaikan pula komponen isi modul
yaitu terdiri atas bagian pembuka (judul, daftar isi, peta informasi, daftar
tujuan kompetensi, tes awal), bagian inti (tinjauan materi, hubungan
dengan materi lain, uraian materi, penugasan, rangkuman) dan bagian
akhir (glosarium, tes akhir, indeks).

e. Penulisan Modul
Modul merupakan media pembelajaran yang dapat berfungsi sama
dengan pengajar pada pembelajaran tatap muka. Oleh karena itu,
penulisan

modul

perlu

didasarkan

pada

prinsip-prinsip

belajar,

bagaimana pengajar mengajar dan siswa menerima pelajaran. Dalam


Depdiknas (2008) dijelaskan prinsip-prinsip penulisan modul sebagai
berikut:

35

1) Siswa perlu diberikan secara jelas hasil belajar yang menjadi tujuan
pembelajaran sehingga mereka dapat menyiapkan harapan dan dapat
menimbang untuk diri sendiri apakah mereka telah mencapai tujuan
pembelajaran.
2) Siswa perlu diuji untuk dapat menentukan apakah mereka telah
mencapai tujuan pembelajaran.
3) Modul perlu diurutkan sedemikian rupa sehingga memudahkan
siswa untuk mempelajarinya. Urutan bahan ajar tersebut adalah dari
mudah ke sulit, dari yang diketahui ke yang tidak diketahui, dari
pengetahuan ke penerapan.
4) Siswa perlu disediakan umpan balik sehingga mereka dapat
memantau proses belajar dan mendapatkan perbaikan bilamana
diperlukan.
5) Strategi penyampaian materi dalam modul dapat menarik perhatian
siswa untuk memahami informasi yang disajikan.
6) Siswa diarahkan untuk fokus pada hal-hal yang menjadi tujuan
pembelajaran pada modul.
7) Menghubungkan pengetahuan yang merupakan informasi baru bagi
siswa dengan pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya dengan
mengaktifkan struktur kognitif melalui pertanyaan-pertanyaan.
8) Informasi perlu dipenggal-penggal untuk memudahkan pemprosesan
dalam ingatan pengguna modul.

36

9) Untuk memfasilitasi siswa memproses informasi secara mendalam,


siswa perlu didorong supaya mengembangkan peta informasi pada
saat pembelajaran atau sebagai kegiatan merangkum setelah
pembelajaran.
10) Supaya siswa memproses informasi secara mendalam, siswa perlu
disiapkan latihan yang memerlukan penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi.
11) Penyajian modul harus dapat memberikan motivasi untuk belajar.
Modul.
12) Meminta siswa menerapkan yang dipelajari ke dalam situasi nyata.
Hal ini dapat dilaksanakan dengan memberikan tugas berupa
menerapkan yang dipelajari ke dalam pekerjaan atau situasi seharihari.
13) Siswa difasilitasi untuk mengembangkan pengetahuan mereka
sendiri bukan menerima pengetahuan saja.
14) Siswa perlu didorong bekerja sama dalam mempelajari modul.
Bekerjasama dengan peserta lain dalam suatu kelompok akan
memberikan pengalaman nyata yang bermanfaat.
Untuk menghasilkan modul pembelajaran yang memerankan fungsi
dan peranannya dalam pembelajaran yang efektif, selain memperhatikan
prinsip-prinsip tersebut, penulisan modul perlu memperhatikan elemen
mutu modul atau kualitas modul sebagai berikut (Suaidinmatch, 2010).
1) Format

37

a) Menggunakan

format

kolom

(tunggal

atau

multi)

yang

proporsional. Penggunaan kolom tunggal atau multi harus sesuai


dengan bentuk dan ukuran kertas

yang digunakan. Jika

menggunakan kolom multi, hendaknya jarak dan perbandingan


antar kolom secara proporsional.
b) Menggunakan format kertas (vertikal atau horisontal) yang tepat.
Penggunaan format kertas secara vertikal atau horizontal harus
memperhatikan tata letak dan format pengetikan.
c) Menggunakan tanda-tanda (icon) yang mudah ditangkap dan
bertujuan untuk menekankan pada hal-hal yang dianggap penting
atau khusus. Tanda dapat berupa gambar, cetak tebal, cetak miring
atau lainnya digunakan secara konsisten.
2) Organisasi
a) Menampilkan peta/bagan yang menggambarkan cakupan materi
yang akan dibahas dalam modul.
b) Mengorganisasikan isi materi pembelajaran dengan urutan dan
susunan yang sistematis, sehingga memudahkan siswa memahami
materi pembelajaran.
c) Menyusun dan menempatkan naskah, gambar serta ilustrasi
sedemikian rupa sehingga informasi mudah dimengerti oleh siswa.
d) Mengorganisasikan antarbab, antar unit, dan antar paragrap dengan
susunan dan alur yang memudahkan siswa memahaminya.

38

e) Mengorganisasikan antar judul, subjudul, dan uraian yang mudah


diikuti oleh siswa.
3) Daya tarik
a) Mengkombinasikan warna, gambar (ilustrasi), bentuk dan ukuran
huruf pada sampul depan (cover) dengan serasi.
b) Menempatkan

rangsangan-rangsangan

berupa

gambar

atau

ilustrasi, pencetakan huruf tebal, miring, garis bawah atau warna


pada bagian isi modul.
c) Mengemas tugas dan latihan sedemikian rupa sehingga menarik.
4) Bentuk dan ukuran huruf
a) Menggunakan bentuk dan ukuran huruf yang mudah dibaca sesuai
dengan karakteristik umum siswa.
b) Menggunakan perbandingan huruf yang proporsional antar judul,
sub judul dan isi naskah.
c) Hindari penggunaan huruf kapital untuk seluruh teks, karena dapat
membuat proses membaca menjadi sulit.
5) Ruang (Spasi Kosong)
Gunakan spasi atau ruang kosong tanpa naskah atau gambar untuk
menambah kontras penampilan modul. Spasi kosong dapat berfungsi
untuk menambahkan catatan penting dan memberikan kesempatan
jeda kepada siswa/siswa. Gunakan dan tempatkan spasi kosong
tersebut secara proporsional. Penempatan ruang kosong dapat
dilakukan di beberapa tempat seperti:

39

a) Ruangan sekitar judul bab dan subbab.


b) Batas tepi (marjin), batas tepi yang luas memaksa perhatian siswa
untuk masuk ke tengah-tengah halaman.
c) Spasi antar kolom, semakin lebar kolomnya semakin luas spasi
diantaranya.
d) Pergantian antar paragraf dan dimulai dengan huruf kapital.
Pergantian antar bab atau bagian.
6) Konsistensi
a) Menggunakan bentuk dan huruf secara konsisten dari halaman ke
halaman. Usahakan agar tidak menggabungkan beberapa cetakan
dengan bentuk dan ukuran huruf yang terlalu banyak variasi.
b) Menggunakan jarak spasi secara konsisten. Jarak antar judul
dengan baris pertama, antara judul dengan teks utama. Jarak baris
atau spasi yang tidak sama sering dianggap buruk, tidak rapih.
c) Menggunakan tata letak pengetikan yang konsisten, baik pola
pengetikan maupun margin/batas-batas pengetikan.
f. Pengembangan Bahan Ajar Berbentuk Modul
Pengembangan bahan ajar erat kaitannya dengan istilah desain
sistem pembelajaran. Pengembangan termasuk komponen atau bagian
kegiatan desain sistem pembelajaran. Menurut Briggs desain sistem
pembelajaran diartikan sebagai suatu keseluruhan proses yang dilakukan
untuk

menganalisis

kebutuhan

dan

tujuan

pembelajaran

serta

pengembangan sistem penyampaian materi pembelajaran untuk mencapai

40

tujuan tersebut (Benny Pribadi, 2009: 58). Pengertian menurut Briggs ini
termasuk

proses

pengembangan

paket

pembelajaran,

kegiatan

pembelajaran, uji coba, revisi dan kegiatan evaluasi belajar.


Komponen desain sistem pembelajaran berisi langkah-langkah
yang sistematis dan terarah yang dilakukan untuk menciptakan proses
belajar yang efektif dan efisien. Desain sistem pembelajaran ini
merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan sehingga pengembangan
mencakup kegiatan analisis kebutuhan, desain, menciptakan produk, dan
evaluasi.
Suaidinmacth (2010) maupun Depdiknas (2008) menyampaikan
langkah-langkah pengembangan modul sebagai berikut:
1) Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan modul merupakan kegiatan menganalisis
kompetensi/tujuan untuk menentukan jumlah dan judul modul yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu kompetensi tersebut. Penetapan
judul modul didasarkan pada kompetensi yang terdapat pada garisgaris besar program yang ditetapkan. Analisis kebutuhan modul
bertujuan untuk mengidentifikasi dan menetapkan jumlah dan judul
modul yang harus dikembangkan. Analisis kebutuhan modul dapat
dilakukan dengan langkah sebagai berikut (Depdiknas, 2008):
a) tetapkan satuan program yang akan dijadikan batas/lingkup
kegiatan. Apakah merupakan program tiga tahun, program satu
tahun, program semester atau lainnya;
b) periksa apakah sudah ada program atau rambu-rambu
operasional untuk pelaksanaan program tersebut. Misal program

41

c)
d)
e)
f)

tahunan, silabus, RPP, atau lainnya. Bila ada, pelajari programprogram tersebut;
identifikasi dan analisis standar kompetensi yang akan
dipelajari, sehingga diperoleh materi pembelajaran yang perlu
dipelajari untuk menguasai standar kompetensi tersebut;
selanjutnya, susun dan organisasi satuan atau unit bahan belajar
yang dapat mewadahi materi-materi tersebut. Satuan atau unit
ajar ini diberi nama, dan dijadikan sebagai judul modul;
dari daftar satuan atau unit modul yang dibutuhkan tersebut,
identifikasi mana yang sudah ada dan yang belum ada/tersedia
di sekolah;
lakukan penyusunan modul berdasarkan prioritas kebutuhannya.

2) Desain Produk
Penyusunan draft modul merupakan proses penyusunan dan
pengorganisasian materi pembelajaran dari suatu kompetensi atau sub
kompetensi menjadi satu kesatuan yang sistematis. Penyusunan draft
modul bertujuan menyediakan draft suatu modul sesuai dengan
kompetensi atau sub kompetensi yang telah ditetapkan. Penulisan
draft modul dapat dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut (Depdiknas, 2008):
a) tetapkan judul modul;
b) tetapkan tujuan akhir yaitu kemampuan yang harus dicapai
oleh siswa setelah selesai mempelajari satu modul;
c) tetapkan tujuan antara yaitu kemampuan spesifik yang
menunjang tujuan akhir;
d) tetapkan garis-garis besar atau outline modul;
e) kembangkan materi pada garis-garis besar;
f) periksa ulang draft yang telah dihasilkan.
Kegiatan penyusunan draft modul hendaknya menghasilkan draft
modul yang sekurang-kurangnya mencakup:
a. judul modul yang menggambarkan materi yang akan
dituangkan di dalam modul;

42

b) kompetensi atau sub kompetensi yang akan dicapai setelah


menyelesaikan mempelajari modul;
c) tujuan terdiri atas tujuan akhir dan tujuan antara yang akan
dicapai siswa setelah mempelajari modul;
d) materi pelatihan yang berisi pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang harus dipelajari dan dikuasai oleh siswa;
e) prosedur atau kegiatan pelatihan yang harus diikuti oleh siswa
untuk mempelajari modul;
f) soal-soal, latihan, dan atau tugas yang harus dikerjakan atau
diselesaikan oleh siswa;
g) evaluasi atau penilaian yang berfungsi mengukur kemampuan
siswa dalam menguasai modul;
h) kunci jawaban dari soal, latihan dan atau pengujian.
3) Validasi dan Evaluasi
Bahan ajar yang khususnya berbentuk modul sebelum di
implementasikan atau diuji cobakan dalam kegiatan belajar mengajar,
perlu dilakukan validasi terlebih dahulu untuk perbaikan dan
pengembangan bahan ajar. Validasi adalah proses permintaan
persetujuan atau pengesahan terhadap kesesuaian modul dengan
kebutuhan (Depdiknas, 2008).
Validasi modul bertujuan untuk memperoleh pengakuan atau
pengesahan kesesuaian modul dengan kebutuhan sehingga modul
tersebut layak dan cocok digunakan dalam pembelajaran. Validasi
modul meliputi: isi materi atau substansi modul, penggunaan bahasa,
serta penggunaan metode instruksional. Validasi ini dilakukan dengan
melibatkan pihak praktisi yang ahli dibidang modul (Depdiknas,
2008).
Evaluasi terhadap modul dimaksudkan untuk mengetahui
kelemahan dan kebaikan dari modul. Sasaran evaluasi dapat berupa

43

efektifitas modul yakni dapat atau tidaknya tujuan-tujuan instruksional


khusus yang tercantum di dalamnya dicapai oleh siswa yang
mempelajari modul dan evalusi terhadap kualitas modul itu sendiri
(Chomsin S Widodo, 2008: 71).
Evaluasi terhadap efektivitas modul dapat dilakukan dengan
cara menguji cobakan pada sekelompok siswa. Mereka diminta
mempelajari materi modul tersebut dan perbuatan mereka dalam
mempelajari modul diukur dengan seksama (Vembriarto, 1975: 99).
Sedangkan evaluasi kualitas atau kelayakan modul dapat dilakukan
dengan cara menvalidasi modul tersebut kepada seorang ahli baik ahli
materi mapun media dan mengujicobakan modul tersebut kepada
calon pengguna untuk menilai.
Evaluasi kelayakan modul salah satunya dapat dilakukan dengan
menyebarkan kuesioner. Evaluasi kualitas modul dapat dilakukan
terhadap isi/materi, penyajian pembelajaran, bahasa dan tampilan.
Hasil kuesioner dapat digunakan sebagai bahan masukan perbaikan
sebelum bahan ajar tersebut benar-benar diimplementasikan.
Dalam Norma Yunita (2010) disampaikan komponen kelayakan
isi, penyajian, bahasa, dan kegrafisan sebagai berikut:
1) komponen kelayakan isi mencakup, antara lain: kesesuaian
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar, kesesuaian
dengan perkembangan siswa, kesesuaian dengan kebutuhan
bahan ajar, kebenaran substansi materi pembelajaran, manfaat
untuk penambahan wawasan, kesesuaian dengan nilai moral,
dan nilai-nilai sosial;

44

2) komponen kebahasaan antara lain mencakup: keterbacaan,


kejelasan informasi, kesesuaian dengan kaidah Bahasa
Indonesia yang baik dan benar, pemanfaatan bahasa secara
efektif dan efisien (jelas dan singkat);
3) komponen penyajian antara lain mencakup: kejelasan tujuan
(indikator) yang ingin dicapai, urutan sajian, pemberian
motivasi dan daya tarik, interaksi (pemberian stimulus dan
respon), kelengkapan informasi;
4) komponen kegrafisan antara lain mencakup: penggunaan font,
jenis dan ukuran, tata letak (lay out), ilustrasi, gambar, dan foto
desain tampilan.
4) Revisi dan Produksi
Revisi atau perbaikan merupakan proses penyempurnaan modul
setelah memperoleh masukan dari kegiatan uji coba dan validasi.
Kegiatan revisi draft modul bertujuan untuk melakukan finalisasi atau
penyempurnaan akhir yang komprehensif terhadap modul, sehingga
modul siap diproduksi sesuai dengan masukkan yang diperoleh dari
kegiatan sebelumnya, perbaikan modul harus mencakup aspek-aspek
penting penyusunan modul di antaranya yaitu (Depdiknas, 2008):
a)
b)
c)
d)

pengorganisasian materi pembelajaran;


penggunaan metode instruksional;
penggunaan bahasa; dan
pengorganisasian tata tulis dan perwajahan yang mengacu pada
prinsip peningkatan mutu berkesinambungan secara terus
menerus agar modul dapat ditinjau ulang dan diperbaiki.

g. Pembelajaran Modul
Penggunaan modul dalam pembelajaran merupakan salah satu
upaya menerapkan konsep dan prinsip pembelajaran individual,
memberikan kepercayaan pada kemampuan individu untuk belajar secara
mandiri. Siswa bebas melaksanakan kegiatan belajar sesuai dengan

45

kecepatan dan kesempatan masing-masing. Lebih penting lagi adalah


bahwa siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran. Siswa tidak lagi
pasif mendengarkan ceramah guru, tetapi sebaliknya siswa aktif
memberikan respon dan interaksi dengan pembelajaran dengan jalan
membaca,

mendengarkan,

mengadakan

percobaan,

menyaksikan,

demonstrasi, berinteraksi dengan sesama siswa, dan guru.


Pembelajaran modul adalah pembelajaran yang sebagian atau
seluruhnya didasarkan atas modul. Pembelajaran menggunakan modul
memiliki tujuan antara lain yaitu memberikan kesempatan untuk memilih
di antara sekian banyak topik dalam rangka suatu program, mengadakan
penilaian secara berkala tentang kemajuan siswa, memberian kesempatan
bagi siswa untuk belajar menurut kecepatan masing-masing dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar menurut caranya
masing-masing (Sugihartono, 2007: 65).
Cece Wijaya. dkk, (1987: 91) maupun Vembriarto (1975: 35-39)
menyebutkan ciri-ciri pembelajaran modul sebagai berikut:
1) Siswa dapat belajar secara individual, siswa belajar dengan aktif tanpa
bantuan maksimal dari guru.
2) Tujuan pembelajaran dirumuskan secara khusus.
3) Pembelajaran modul bersifat self-instruction sehingga membuka
kesempatan siswa untuk mengembangkan dirinya secara optimal.

46

4) Pengetahuan disampaikan secara sistematis mengikuti struktur


pengetahuan secara hirarkis sehingga siswa dapat mengikuti urutan
belajar secara teratur.
5) Menggunakan berbagi macam media dalam pembelajaran.
6) Adanya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran.
7) Adanya reinforcement langsung terhadap respon siswa.
8) Adanya evaluasi terhadap penguasaan siswa atas hasil belajarnya.
Pembelajaran menggunakan modul idealnya dimulai dengan pretest pada siswa untuk mengikuti apakah siswa memenuhi syarat-syarat
yang diperlukan untuk mengikuti modul tersebut. Jika tidak, maka siswa
diberi pengajaran remidial. Sebaliknya jika siswa telah menguasai modul
yang akan dipelajari, siswa dapat melampaui modul itu dan memilih
modul yang lebih tinggi tarafnya. Kemudian diberikan pos-test untuk
menilai sampai manakah siswa telah menguasai modul itu. Bila hasilnya
baik, siswa dapat melanjutkan ke modul berikutnya.
B. Penelitian yang Relevan
Sebelum penelitian ini dilaksanakan, diketahui telah terdapat beberapa
penelitian yang berhubungan dengan bagaimana mengembangkan bahan ajar
berbentuk modul yang bisa dijadikan sebagai acuan penelitian yaitu penelitian
pengembangan yang dilakukan oleh Adriana Gandasari (2009) yang berjudul
Pengembangan Modul Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah Dasar
dengan Pendekatan Teori Multiple Intellegent penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan modul dan sekaligus menilai efektifitas pembelajaran

47

menggunakan modul yang spesifikasinya meningkatkan pemahaman siswa.


Modul ini dapat digunakan sebagai acuan mengajar variasi dalam pembelajaran
IPA dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Dalam penelitian tersebut modul yang dikembangkan terdiri atas lima
komponen penting yaitu test penjajakan multiple intelengent, RPP, dan lembar
kerja guru, lembar kerja siswa, dan evaluasi. Berdasarkan hasil analisis pre test
dan post test yang di uji cobakan pada kelas III A siswa SD N 1 Jetis
Yogyakarta, modul ini mampu meningkatkan pemahaman belajar siswa. Pada
pre test 13,67>mean dan post test 23,73>mean. Minat siswa terhadap
pembelajaran IPA menggunakan modul sebesar 83,33%.
Penelitian Wahyu Wiji Astuti (2010) yang berjudul Pengembangan
Modul Pembelajaran Sains Terpadu Berbasis Aktivitas Laboratorium Yang
Layak Untuk Pembelajaran SMP Kelas VIII SMP 5 Depok Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai kelayakan modul sekaligus menilai
efektifitas modul tersebut terhadap prestasi belajar siswa. Penelitian
pengembangan ini mengacu pada 4D yaitu define, design, develop, dan
disseminate. Subjek penelitian ini adalah ahli, teman sejawat, guru dan siswa
SMA. Berdasarkan penilaian kelayakan modul dari aspek isi, aspek bahasa
/gambar, dan aspek kegrafisan, modul dinyatakan layak digunakan.
Berdasarkan uji efektifitas dengan menggunakan uji t, menunjukan adanya
perbedaan signifikan antara siswa yang menggunakan modul sains terpadu
berbasis laboratorium dengan siswa yang menggunakan buku cetak biasa. Hal

48

ini ditunjukkan dengan nilai P pada aspek kognitif sebesar 0,031, aspek
psikomotorik 0,028 dan afektif sebesar p=0,035.
Terkait dengan pengembangan modul, Penelitian juga dilakukan oleh
Fita Ika Agustina (2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan
modul pengayaan kimia untuk SMA kelas XII dan menguji kelayakan modul
tersebut. Komponen modul yang terdiri dari petunjuk penggunaan modul,
lembar kegiatan siswa, lembar kerja siswa, kunci lembar evaluasi, dan
glosarium dinyatakan mempunyai kualitas baik berdasarkan penilaian
validator.
Penelitian Ika Susanti (2010) yang berjudul Pemanfaatan Potensi
Budaya Lokal Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Ekonomi Di SMK
1 Pedan Klaten juga cukup relevan dengan variabel penelitian ini. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran ekonomi berbasis budaya lokal
sebagai sumber belajar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran ekonomi di
SMK N 1 Klaten. Kualitas pembelajaran salah satunya dilihat dari adanya
peningkatan hasil belajar siswa sebesar 72,3%.
Penelitian Sumaryati (2009) dengan judul Penerapan Pembelajaran
Kontekstual (Konstruktivistime, Questioning dan Learning Community) Untuk
meningkatkan Kualitas Pembelajaran Ekonomi Kelas X SMA N 1 Depok.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui
pendekatan kontekstual. Kualitas pembelajaran ditinjau dari siswa mengalami
peningkatan khususnya peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran

49

(mendengarkan, mengerjakan tugas, partisipasi di kelas), dan peningkatan


prestasi belajar siswa.
Penelitian tentang pembelajaran CTL juga dilakukan oleh Sugeng Widadi
(2009) yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan pendekatan CTL dengan
konvensional. Dengan menggunakan analisis uji beda rata-rata diperoleh
kesimpulan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pendekatan CTL
dengan konvensional dalam hal kemampuan pemahaman, penerapan konsep
sains, dan kualitas pembelajaran. Penerapan pendekatan CTL dapat
meningkatkan kemampuan pemahaman, penerapan konsep sains, dan kualitas
pembelajaran sains di kelas VII SMP 4 Wates.
C. Kerangka Berpikir
Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, salah satunya yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang No.
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan. Undang-Undang tersebut
memberikan rambu-rambu kearah perlunya perbaikan kualitas pembelajaran
dengan mengubah paradigma pembelajaran lama ke dalam paradigma
pembelajaran baru yang tidak hanya mengutamakan hasil namun juga proses,
memposisikan siswa sebagai subjek belajar dan mengembangkan potensi siswa
secara lebih komprehensif. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan
pemerintah juga memberlakukan kurikulum terbaru yaitu kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP), dengan kurikulum tersebut diharapkan setiap
sekolah mampu mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum sesuai
dengan situasi, kondisi, dan potensi lokal yang dimiliki.

50

Pembelajaran yang berkualitas seperti yang diamanatkan UndangUndang dan kurikulum KTSP tersebut ternyata dalam prakteknya masih jauh
dari harapan. Pembelajaran cenderung masih dilaksanakan dengan metode
ceramah (teacher centered), aktifitas siswa dalam pembelajaran kurang,
kegiatan menghafal konsep masih dominan, text book oriented, dan lebih
mengutamakan hasil. Hal ini menunjukan bahwa strategi pembelajaran yang
digunakan masih strategi tradisional.
Selain strategi pembelajaran, kualitas pembelajaran tentunya juga
dipengaruhi oleh bahan ajar yang digunakan. Bahan ajar termasuk komponen
penting yang membantu siswa mencapai kompetensi yang diharapkan. Namun
realita yang ada di lapangan, sebagian besar bahan ajar yang digunakan guru
hanya berupa buku teks. Jarang sekali guru yang merancang bahan ajar sendiri
untuk digunakan dalam pembelajaran di kelas. Buku teks biasanya dirancang
untuk misi penyampaian pengetahuan atau fakta belaka. Kaidah-kaidah
psikologi pembelajaran dan teori-teori belajar tidak diaplikasikan dalam
penyusunan buku teks. Contoh-contoh yang disampaikan dalam buku teks
tidak bersumber dari lingkungan sekitar siswa.
Fenomena tersebut mengakibatkan proses pembelajaran kurang optimal.
Siswa akan merasa kesulitan dalam memahami materi yang diajarkan, contohcontoh yang tidak bersumber dari lingkungan sekitar akan membuat materi
terkesan abstrak dan tidak bermakna, siswa kurang termotivasi untuk belajar
secara mandiri. Bahan ajar berupa buku teks biasanya tidak disertai dengan
langkah-langkah pembelajaran yang harus ditempuh guru sehingga membuat

51

guru kurang kreatif, pembelajaran pun kurang terencana dengan baik dan
akhirnya guru hanya mengandalkan metode ceramah yang tentunya tidak
menyenangkan bagi murid.
Upaya untuk mengatasi permasalahan pembelajaran di atas dapat
dilakukan dengan mengubah strategi pembelajaran yang digunakan. Salah satu
strategi yang relevan dengan kurikulum KTSP adalah strategi pembelajaran
kontekstual yaitu strategi belajar yang membantu guru mengkaitkan antara
materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa

membangun

pengetahuan

yang

dimilikinya

sehingga

mampu

menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.


Agar

strategi

pembelajaran

kontekstual

bisa

benar-benar

di

implementasikan dalam pembelajaran, maka perlu didukung bahan ajar yang


secara khusus menunjang pelaksanaan pembelajaran CTL yaitu bahan ajar
konstruktivistik berbasis lokal. Bahan ajar dengan konsep seperti ini belum
tersedia sehingga menginspirasi peneliti untuk mengembangkannya. Bahan ajar
yang dikembangkan berbentuk modul yang akan dirancang dengan
memasukkan prinsip-prinsip teori belajar konstruktivistik dan mengangkat
fenomena lokal yang ada di sekitar siswa.
Sebelum diimplementasikan tentunya bahan ajar perlu di validasi dan di
uji coba agar dihasilkan bahan ajar yang benar-benar valid dan layak digunakan
dalam pembelajaran ekonomi di SMA. Dengan adanya bahan ajar ini,
diharapkan aktivitas siswa dalam pembelajaran meningkat sejalan dengan
asumsi teori konstruktivistik yaitu bahwa pengetahuan dibangun sendiri oleh

52

siswa melalui pengalaman yang dimilikinya. Modul memiliki karakteristik self


instructional, self contained, stand alone, adaptif, dan user friendly yang
memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri. Kontruktivistik dan
berbasis lokal akan menciptakan pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning) yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran. Paradigma penelitian secara jelas dapat digambarkan dalam
skema sebagai berikut:
Kondisi Ideal
(Pembelajaran berkualitas)
Perlu
Perlu
dikembangkan
diterapkanbahan
strategi
ajar pembelajaran
konstruktivistikCTL
berbasis lokal

Masalah
Kenyataan

Teori berlajar konstruktivistik

Permasalahan, peristiwa, fenomena ekonomi di sekitar siswa

Validasi
dan Uji coba

Valid/Layak

Bahan Ajar Konstruktivistik Berbasis Lokal

Gambar
1. Paradigma Penelitian
D. Pertanyaan
Penelitian

53

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan dalam bab 1, maka


permasalahan tersebut dapat dirinci menjadi beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah mengembangkan bahan ajar konstruktivistik berbasis lokal
pada mata pelajaran ekonomi?
2. Apakah produk bahan ajar konstruktivistik berbasis lokal berdasarkan
penilaian aspek isi dan aspek kebahasaan oleh ahli materi layak digunakan
dalam pembelajaran ekonomi di SMA?
3. Apakah produk bahan ajar konstruktivistik berbasis lokal berdasarkan
penilaian aspek penyajian dan aspek tampilan oleh ahli media layak
digunakan dalam pembelajaran ekonomi di SMA?
4. Apakah produk bahan ajar konstruktivistik berbasis lokal berdasarkan
penilaian aspek isi, kabahasaan, penyajian, dan tampilan oleh Guru SMA
layak digunakan dalam pembelajaran ekonomi di SMA?
5. Apakah produk bahan ajar konstruktivistik berbasis lokal berdasarkan
penilaian aspek isi, kabahasaan, penyajian, dan tampilan oleh siswa SMA
layak digunakan dalam pembelajaran ekonomi di SMA?
6. Apakah Ahli Materi, Ahli Media, dan guru SMA berpendapat bahwa bahan
ajar konstruktivistik berbasis lokal sesuai dengan pembelajaran kontekstual
(contextual teaching and learning)?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah pertanyaan sebagai pijakan
untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Dengan pertanyaan ini langkahlangkah penelitian akan semakin terarah tanpa adanya kekhawatiran bahwa

54

penelitian ini akan mengalami pembelokan arah. Pertanyaan pertama terkait


dengan bagaimana proses pengembangan yang dilakukan untuk menghasilkan
produk bahan ajar konstruktivistik berbasis lokal. Pertanyaan kedua, ketiga,
keempat, dan kelima terkait dengan layak atau tidaknya bahan ajar untuk
digunakan dalam pembelajaran ekonomi di SMA. Jika penilaian bahan ajar
oleh Ahli Materi, Ahli Media, guru SMA, dan siswa SMA minimal dalam
kriteria Cukup, maka bahan ajar dikatakan layak. Sedangkan pertanyaan
keenam terkait dengan kesesuaian antara bahan ajar konstruktivistik berbasis
lokal dengan pembelajaran kontekstual. Jika ahli materi, ahli media, dan guru
SMA berpendapat bahwa bahan ajar tersebut sesuai dengan pembelajaran
kontekstual, maka penggunaan bahan ajar tersebut diasumsikan dapat
menciptakan pembelajaran yang kontekstual.

Anda mungkin juga menyukai