Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh
dapat berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang
berasal dari masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein
dan pada satu pihak lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan
saluran cerna. Keseimbangan air ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan
pengeluaran.1
Air tubuh terdapat didalam sel (intrasel) dan diluar sel (ekstrasel).Cairan
extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi
yang sama. Natrium merupakan kation terpenting sedangkan anion terpenting
adalah klorida dan bikarbonant. Kation terpenting pada intrasel adalah kalium
dan magnesium sedangkan anion terpenting adalah fosfat organik, protein dan
sulfat. Biasanya perubahan komposisi plasma darah mencerminkan perubahan
yang terjadi dalam semua cairan tubuh.2
Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat
dibagi menjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin
serta kehilangan cairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan
abnormal yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang berupa pengurangan
masukkan cairan atau peningkatan pengeluaran cairan. Pemenuhan cairan
berdasarkan kehilangan cairan akibat penyakit dan kehilangan yang tetap
berlangsung secara normal.1
Cara pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena penyakit bisa diberikan
secara oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa sebaiknya pemberian
cairan diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak memungkinkan,
dapat pula diberikan secara intravena.1 Dalam pelaksanaannya pemberian cairan
secara intravena pada bayi dan anak yang sakit perlu diperhatikan hal-hal seperti
pemilihan jenis cairan, jumlah dan lama pemberian yang disesuaikan dengan
keadaan penyakit dan gejala klinik lainnya karena terdapat perbedaan komposisi,
metabolisme dan derajat kematangan sistem pengaturan air dan elektrolit. Untuk
itu keputusan yang tepat dan teliti dalam menentukan hal diatas mutlak
diperlukan.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan referat ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pemilihan jenis,
jumlah, cara serta lama pemberian cairan intravena yang biasa digunakan pada
beberapa penyakit bayi dan anak.
1.3 Batasan Penulisan
Mengingat banyaknya penyakit anak, maka pada referat ini dibatasi pemilihan
jenis, jumlah, cara serta lama pemberian cairan intravena yang biasa dan sering
digunakan pada beberapa penyakit bayi dan anak.
1.4 Metodologi Penulisan
Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada
berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


Setiap saat terjadi pengeluaran cairan tubuh, maka masukan air tiap hari mutlak
diperlukan agar metabolisme tubuh dapat berlangsung dengan normal.
Keseimbangan air ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan ekskresinya.
Pengaturan ekskresi air merupakan mekanisme yang lebih utama dan lebih
penting dibandingkan dengan pengaturan masukkan air.1,3
Secara alamiah masukkan air terjadi karena adanya ransangan haus yaitu suatu
mekanisme penting untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kehilangan
air dan hipertonisitas. Absorbsi air yang berasal dari masukan oral terjadi dalam
saluran cerna dengan proses difusi pasif. Transportasi natrium secara aktif dari
lumen usus ke dalam enterosit merupakan proses utama yang menyebabkan
peninggian tekanan osmotik dalam sel yang mana seterusnya diikuti oleh aliran
air dari lumen ke dalam sel secara pasif, sampai terjadi keseimbangan.1
Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi dan dapat dibagi
menjadi 3 kategori: kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangan
cairan melalui tinja. .Disamping kehilangan cairan normal, dapat pula terjadi
kehilangan cairan abnormal yang disebabkan oleh berbagai penyakit atau
keadaan abnormal.1,3,4
Dalam tubuh, faal sel bergantung pada keseimbangan cairan dan elektrolit.
Keseimbangan ini diatur oleh banyak mekanisme fisiologis yang terdapat dalam
tubuh. Pada bayi dan anak sering terjadi gangguan keseimbangan tersebut yang
biasanya disertai perubahan pH cairan tubuh.2
2.2 Komposisi Cairan Tubuh
Air tubuh terdapat didalam (intra) dan diluar (ekstra) sel. Air intrasel merupakan
35-40% dari berat badan orang sehat, sedangkan air ekstrasel lebih sedikit, yaitu
hanya 20-25 % dari berat badan. Air ekstraselular terdiri dari plasma, cairan
interstitial dan cairan transelular. Cairan interstitial berperan sebagai bufer pada
perubahan volume plasma.Cairan transelular terdiri dari cairan serebrospinal,
cairan sinovial, cairan digestif, intraokular, cairan pleural dan peritoneal. 2,3,4
Cairan extra seluler mengandung ion-ion natrium, klorida dan bikarbonat dalam
jumlah yang banyak dan juga mengandung nutrisi untuk sel seperti oksigen,
glukosa, asam lemak dan asam amino. Terdapat juga bahan ekskresi seperti

karbon dioksida yang nantinya dibawa ke paru-paru untuk dikeluarkan dan


produk selular lain yang diekskresikan melalui ginjal.2,4
Cairan intraselular terdiri dari ion-ion kalium, magnesium dan fosfat dalam
jumlah yang banyak dimana berbeda dengan cairan ekstraselular yang
mengandung banyak ion natrium dan klorida. 5
Di Indonesia umumnya masih digunakan berat badan sebagai dasar perhitungan
jumlah bahan yang diperlukan oleh tubuh. Darrow menganjurkan cara
perhitungan jumlah kalori dan cairan untuk rumat (maintanance) sebagai
berikut :2
Neonatus 50 kal/kgBB/hari
Berat badan 3-10 kg 70 kal/kgBB/hari
Berat badan 10-15 kg 55 kal/kgBB/hari
Berat badan 15-25 kg 45 kal/kgBB/hari
Kebutuhan cairan tergantung pada metabolisme kalori. Untuk membentuk panas,
metabolisme 100 kalori memerlukan 150 ml air.Untuk setiap kenaikan suhu
badan 1o diatas 37oC harus ditambah 12 % dari jumlah cairan yang telah
diperhitungkan untuk rumus tersebut. Kebutuhan mineral seperti natrium,
kalium, kalsium dan sebagainya, kira-kira 2 meq untuk metabolisme 100 kalori.2
2.3 Homeostasis
Tubuh orang sehat berusaha mempertahankan susunannya dalam batas-batas
normal. Hal ini disebut hemostasis tubuh dan dilakukan dengan beberapa sistem
tubuh yang mengoreksi setiap perubahaan misalnya perubahan jumlah cairan,
perubahan kadar natrium, kalium, klorida, fosfor dan ion hidrogen.2
Air. Bila sistem yang mengurus jumlah cairan tubuh mengetahui sesuatu
kekurangan atau kelebihan melalui osmoreseptor dalam hipothalamus, maka
produksi hormon antidiuretik ditambah atau dikurangi. Sehingga diuresis
berkurang atau bertambah untuk mengoreksi perubahan jumlah cairan
tersebut.2
Natrium Clorida. Bila kadar NaCl dalam darah turun, maka hal ini akan diketahui
oleh sistem homeostasis melalui vaskular volume stretch reseptor di sinus
karotikus. Kelenjar korteks suprarenalis akan membentuk hormon aldosteron

yang mengakibatkan pengeluaran NaCl dikurangi. Bila kadar NaCl dalam darah
naik, terjadilah hal yang sebaliknya. Disamping itu pusat haus (thirst centre) ikut
mengurus keseimbangan cairan tubuh melalui perasaan haus bila cairan tersebut
jadi hipertonik.2
pH. Tubuh berusaha mempertahankan pH antara 7,35-7,45. Bila pH kurang dari
7,35 maka keadaan tersebut dikatakan asidemia sedang bila pH jadi lebih dari
7,45 disebut alkalemia.1,2,3
Cara mempertahankan pH cairan tubuh : 2
Sistem Buffer
a. H2CO3 NaHCO3
b. NaH2PO4 Na2HPO4
c. Protein yang bersifat amfoteris : H protein Na protein
d. Pembentukan korboamino oleh hemoglobin
Hb NH 2COO Hb NH2 COOK
Sistem buffer ini mengubah asam dan basa kuat menjadi asam dan basa lemah
HCl + NaHCO3 H2CO3 + NaCl (asam kuat lemah)
NaOH + H2CO3 NaHCO3 + H2O (basa kuat lemah)
Homeostasis respiratorik
Hubungan antara pH, kadar bikarbonat dan asam karbonat dalam darah
diberikan menurut rumus Henderson Hasselbach
pH = pk + log
Nilai pK konstan yaitu 6,1 untuk sistem bikarbonat asam karbonat. Dalam
keadaan normal didapatkan :
pH = 7,4 + = 20
Homeostasis ginjal
Kelebihan asam dikeluarkan oleh ginjal dengan membentuk urin yang asam.
Walaupun demikian ginjal tidak sanggup membentuk urine dengan pH kurang
dari 4,6.
2.4 Gangguan Yang Terjadi Pada Bayi Dan Anak Sakit
Anak mempunyai kerentanan terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit,
khususnya bayi dan anak dalam keadaan sakit. Pertukaran cairan pada bayi
hampir mencapai 25% dari seluruh tubuh sedangkan pada orang dewasa hanya
sekitar 6%. Sehingga pengaruh penyakit yang mengurangi pemasukan cairan

(muntah) atau penyakit yang meningkatkan pengeluaran cairan (panas, diare),


lebih cepat timbul pada bayi dan anak dibanding orang dewasa.1
Seorang anak dengan penyakit tertentu mungkin memerlukan cairan dan
elektrolit khusus. Seperti pada keadaan dehidrasi, dimana terjadi cairan tubuh
yang dikeluarkan lebih banyak dari cairan yang masuk.Cairan yang keluar ini
biasanya disertai dengan elektrolit. Dehidrasi ini dapat dibagi berdasarkan
tonisitas darah, yaitu :1,2,4
1. Dehidrasi isotonik, dimana tidak terjadi perubahan elektrolit darah (natrium
plasma tetap normal 130 150mEq/L) disebut juga dehidrasi isonatremia
dengan kesadaran sampai koma, penurunan berat badan, turgor kulit yang jelek,
selaput lendir dan kulit kering serta nadi yang lemah dan cepat dengan
penurunan tekanan darah .
2. Dehidrasi hipotonik, konsentrasi elektrolit darah turun (natrium plasma <130
mEq/L) disebut juga dehidrasi hiponatremia dengan kesadaran yang apatis,
penurunan berat badan, turgor kulit yang jelek, selaput lendir dan kulit basah
serta nadi yang sangat lemah dan tekanan darah sangat rendah. 3. Dehidrasi
hipertonik, konsentrasi elektrolit darah naik (natrium plasma >150 mEq/L).
Disebut juga dehidrasi hipernatremia. dengan keadaan iritabel, kejang-kejang
serta hiperefleksi, penurunan berat badan, selaput lendir dan kulit kering sekali
dengan nadi cepat dan keras serta penurunan tekanan darah .
Selain itu dehidrasi ini juga dapat dibagi berdasarkan derajatnya, yaitu :2
1. Dehidrasi ringan yaitu bila kehilangan cairan 5% dari Berat badan.
2. Dehidrasi sedang yaitu bila kehilangan cairan 5 10 % dari berat badan.
3. Dehidrasi berat yaitu bila kehilangan cairan >10 % dari berat badan.
Pada dehidrasi ini tubuh akan kehilangan cairan ekstrasel, intrasel dan
interstisial. Tubuh harus tetap mempertahankan volume plasma, untuk itu perlu
diadakan rehidrasi. Rehidrasi ini baru dianggap lengkap bila cairan ekstrasel, intra
sel ataupun cairan intersisial sudah kembali normal.2
Jumlah cairan yang diberikan untuk koreksi keadaan dehidrasi agar tercapai
kembali rehidrasi haruslah dihitung berdasarkan jumlah antara PWL + NWL +
CWL /kg BB/24 jam.
Rehidrasi cairan ini harus disertai juga dengan pemberian elektrolit agar fungsi
homeostasis tubuh tetap terjaga. Elektrolit yang paling sering hilang pada

keadaan dehidrasi adalah natrium dan kalium. Oleh karena itu koreksi kedua
elektrolit tersebut perlu dilakukan.
Hiponatremia disertai hipovolemia biasanya dijumpai pada keadaan diare,
peritonitis atau insufisiensi adrenal akibat infeksi akut, perdarahan adrenal atau
penghentian pengobatan steroid yang mendadak. Pengobatan hipovolemia atau
dehidrasi dengan hiponatremia ialah pemberian cairan intravena yaitu larutan
yang mengandung natrium untuk memperbaiki sirkulasi sistemik dan ginjal serta
mengembalikan fungsi osmoreseptor ADH. Hiponatremia dikoreksi bila kadar Na
kurang dari 120 mEq. Bila kadar natrium kurang dari 110 mEq/l akan terjadi
gangguan serebral sehingga perlu diobati dengan natrium hipertonik (NaCl 3%).
Jumlah natrium yang diberikan dapat dihitung dengan rumus berikut :
Defisit Na (mEq/l) = ( 135 kadar Na sekarang ) x 0,3 x BB
(dalam 6 jam)
Hipernatremia dengan dehidrasi dapat terjadi pada keadaan diare, hiperpireksia,
hiperventilasi, pemberian elektrolit peroral secara berlebihan dan penyakit yang
menyebabakan gangguan produksi dan pelepasan ADH yang berkurang misalnya
pada penyakit diabetes insipidus nefrogenik, respon ginjal terhadap ADH yang
kurang atau tidak ada seperti pada penyakit ginjal kronik, hiperkalsemia ,
hipokalemia. Pengobatan dehidrasi dengan hipernatremia ini sering sangat sulit
karena terkait dengan hiperosmolaritas yang sangat berat. Keadaan ini
merupakan kegawatan medik pada anak- anak yang dapat menyebabkan
kerusakan otak yang permanen dan serebral palsy. Pengobatan yang dianjurkan
adalah pemberian cairan secara bertahap dalam waktu 48 72 jam. Pemilihan
cairan intravena untuk koreksi keadaan ini tidak dipersoalkan dibandingkan
sangat pentingnya pemberian cairan secara bertahap (gradual restoration) untuk
mengoreksi dehidrasinya. Pemberian cairan secara bertahap ini dapat
mengurangi insiden komplikasi. Kajang sering terjadi pada penderita dehidrasi
dengan hipernatremia yaitu saat terapi cairan diberikan dan biasanya terjadi
setelah kadar natrium serum mencapai normal kembali. Beberapa regimen yang
dianjurkan untuk tatalaksana terapi cairan pada dehidrasi dengan hipernatremia
adalah sebagai berikut :
Harris (1976)
1. Bila terjadi renjatan berikan cairan yang mengandung natrium 0,45 % dalam
larutan dextrosa 2,5 % sebanyak 20 ml/ kg BB/jam

2. Bila tidak ada renjatan atau renjatan sudah teratasi, lanjutkan dengan
pemberian plasma 20 ml/kg BB.
3. Lanjutkan dengan larutan NaCl 0,3 % dalam larutan dextrosa 4,3 % sebanyak
50 100 ml/kgBB selama 24 48 jam tergantung dari derajat dehidrasi.
4. Tambahkan kalium sebanyak 20 mEq/l ke dalam larutan infus yang diberikan
setelah diuresis ada.
5. Tambahkan 10 ml larutan kalsium glukonas10% ke dalam larutan infus selama
lebih 24 jam.
6. Berikan cairan rumatan dengan menambahkan kehilangan cairan yang masih
tetap berlangsung.
(regimen ini dilaksanakan dalam waktu 36 jam atau lebih)
Robson (1979)
1. 1 jam pertama diberikan cairan ringer laktat 40 ml/kgBB.
2. 1 jam kedua diberikan darah /plasma sebanyak 10 ml/kgBB
3. Pada jam ke 3-10 diberikan glukosa 5-10 % sebanyak 60 ml/kgBB, natrium
laktat 1/6 mol sebanyak 20ml/kgBB, kalium sebanyak 2 mEq/kg BB, kalsium
glukonas 10% dengan jumlah maksimum 10ml dimasukan ke dalam 500ml
cairan infus
4. Pada dehidrasi disertai hipernatremia hebat dengan kadar natrium serum lebih
dari 200 mEq/l perlu dilakukan peritoneal dialisis.
Hipokalemia adalah keadaan kadar kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/l.
Biasanya gejala akan muncul sesuai dengan berat ringannya kekurangan.
Penyebab hipokalemia adalah pemasukan yang kurang, masuknya kalium ke
dalam sel pada keadaan alkalosis dan hipersekresi insulin, peningkatan
pengeluaran kalium dari urin seperti pada hiperaldosteronisme, renal tubular
asidosis dan akibat pemberian diuretik, pengeluaran dari saluran pencernaan
misalnya diare, muntah muntah dan pengisapan cairan lambung. Gejala yang
muncul antara lain kelemahan umum, meteorismus, peristaltik usus yang
menurun, gangguan irama dan melemahnya bunyi jantung. Pada pemeriksaan
EKG terdapat kelaian gelombang yang merendah dan melebar, depresi segmen
ST, munculnya gelombang U dan interval PR yang memanjang. Koreksi
hipokalemia dilakukan berdasarkan berat ringannya kekurangan dan gejala.
Koreksi dapat diberikan peroral ataupun intravena. Pemberian kalium secara
intravena yang terlalu cepat dapat mengakibatkan disritmia yang fatal.

Pemberian kalium intravena dianjurkan dengan dosis 3 7 mEq/kgBB dengan


konsentrasi maksimal 40 80 mEq/l. Hipokalemia dikoreksi bila kadar kalium
kurang dari 2,5 mEq, dengan rumus :
Defisit K (mEq/l) = ( 3,5 Kadar K sekarang )x 0,3x BB
(diberikan dalam 24 jam)
Keadaan hiperkalemia dapat disebabakan oleh pemasukan kalium yang terlalu
banyak, keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel yang terjadi pada keadaan
asidosis, katabolisme jaringan yang meningkat, destruksi sel dan gangguan
ekskresi di ginjal misalnya pada gagal ginjal dan insufisiensi adrenal. Pada EKG
dapat terlihat perubahan depolarisasi dan repolarisasi atrium dan ventrikel.
Pertama-tama dapat kita lihat gelombang T yang tinggi dan sempit, interval QT
yang memendek yang menunjukan repolarisasi yang cepat, ini terjadi pada kadar
kalium 6 7 mEq/l. Bila kadar kalium 7 8 mEq/l akan terlihat melambatnya
depolarisasi seperti komplek QRS melebar dan gelombang P yang rendah,
melebar atau menghilang. Bila kadar kalum lebih meningkat lagi akan terjadi
fibrilasi ventrikel dan cardiac standstill. Pengobatan yang dianjurkan adalah
sebagai berikut :
1. Semua pemberian kalium distop
2. Suntikan natriun bicarbonas intravena 2,5 mEq/kgBB untuk menaikan PH yang
dapat menurunkan sementara kalium serum
3. Berikan kalsium glukonas 10 % sebanyak 0,5 ml/kgBB secara intravena dalam
waktu 2 4 menit dengan maksud mengurangi efek buruk kalium pada jantung
4. Berikan glukosa 10% intravena sebanyak 40ml/kgBB dan insulin 1 unit setiap
30 ml glukosa 10 %. Dengan pemberian glukosa ini diharapkan kalium akan
masuk ke dalam sel.
5. Bila kadar kalium serum lebih dari 7 mEq/l dan terdapat anuria atau oliguria,
harus dilakukan dialisis peritoneal atau hemodialisis.
Dehidrasi yang berat dapat menimbulkan keadaan asidosis. Pada keadaan
asidosis ini konsentrasi ion hidrogen dalam cairan tubuh naik akibat faktor
metabolik atau respiratorik. Asidosis dibagi menjadi dua yaitu asidosis matabolik
dan asidosis respiratorik. Asidosis metabolik pada anak dapat disebabkan oleh
1. Kehilangan fixed base (natrium dll)
2. Penyakit-penyakit yang menyebabkan suhu naik dan nafsu makan turun
(infeksi, kelaparan, dehidrasi dan diabetes)

3. Kegagalan homeostasis ginjal (GGK, keracunan salisilat dll)


Keadaan asidosis metabolik sering menyertai dehidrasi terutama pada bayi dan
anak yang menderita diare yang disebabkan oleh kehilangan bikarbonat yang
banyak melalui diarenya, tambahan lagi pada anak diare sering disertai metabolik
anaerob dengan terbentuknya asam dan benda keton yang menyebabkan PH
darah turun. Namun keadaan ini dapat dikoreksi dengan adanya korektor basa di
dalam cairan intravena ringer laktat maupun ringer asetat. Penderita yang
mengalami dehidrasi berat disertai asidosis metabolik berat dapat menggunakan
cairan diatas sebagai cairan dehidrasi intravena dan perlu ditambah lagi dengan
larutan natrium bikarbonas 8,4 %( meylon) agar koreksi dapat berlangsung.
Perhitungannya sebagai berikut :
Kebutuhan NaHCO3 (mEq) = base excess x 0,3 x BB
Sedangkan asidosis respiratorik dapat terjadi karena tekanan parsial CO2 dalam
darah naik sehingga kadar asam karbonat juga naik. Hal ini dapat terjadi pada :2
1. Obstruksi dinding alveolus (edema paru, emfisema paru,fibrosis)
2. Penyakit SSP (keracunan morfin, poliomielitis)
3. Aliran darah ke paru yang berkurang (penyaki jantung bawaan).
Asidosis respiratorik terjadi akibat tidak seimbangnya ventilasi alveolus dengan
retensi CO2. Koreksi pada keadaan ini ditujukan kepada penyebab retensi CO2.
NaHCO3 pada umumnya tidak digunakan kecuali bila terdapat hipoksia dan
asidosis metabolik. Sedative yang menekan pusat pernafasan atau penggunaan
oksigen yang berlebihan akan mengurangi pacu pusat pernafasan mungkin juga
kan menyebabkan efek yang jelek yaitu pengurangan ventilasi pernafasan
Disamping itu dapat pula terjadi keadaan alkalosis, dimana konsentrasi ion
hidrogen turun dalam cairan tubuh akibat faktor metabolik atau respiratorik.
Alkalosis respiratorik pada anak dapat disebabkan oleh :2
1. Kehilangan Cl pada muntah, stenosis pilorus, obstruksi duodenum)
2. Terlalu banyak makan
Keadaan alkalosis metabolik biasanya jarang menyertai diare dengan dehidrasi.
Biasanya alkalosis bisa terjadi pada anak diare dehidrasi berat bila pemberian
natrium bikarbonas sebagai korektor diberikan berlebihan. Untuk menghindari
kelebihan pemberian dengan resiko timbulnya alkalosis metabolik, maka
dianjurkan pemberian larutan natrium bikarbonas dibagi dua yaitu setengah

kebutuhan diberikan langsung intravena (bolus) dan setengah sisanya diberikan


secara drip melalui infus cairan. Perlu diingat pemberian bolus ini jangan terlalu
cepat karena dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak, karena itu
kecepatan pemberian dianjurkan sebanyak 1ml per menit.
Alkalosis respiratorik pada anak dapat terjadi pada:2
1. Infeksi SSP (ensefalitis dll)
2. Keracunan salisilat.
Koreksi alkalosis respiratorik dilakukan dengan menggunakan sungkup (paper
bag) unutk menambah inspirasi CO2 (rebreathing system). Bila terdapat
hiperventilasi kronik, sensitivitas pusat pernafasan terhadap CO2 akan
bertambah sehingga penggunaan sistem rebreathing merupakan suatu indikasi
kontra

BAB III
JENIS CAIRAN INTRAVENA
PADA BEBERAPA PENYAKIT ANAK
3.1 Jenis-Jenis Cairan Intravena
Umumnya terapi cairan yang dapat diberikan berupa cairan kristaloid dan koloid
atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung air,
elektrolit dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik,
hipotonik,dan hipertonik terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu
cairan yang BM nya tinggi.7,8

3.1.1 Cairan Kristaloid


Cairan kristaloid terdiri dari:
1.Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena itu
penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada
dehidrasi kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada
keadaan hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes
insipidus. Cairan ini tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada
kegawatan. Contohnya dextrosa 5%
2. Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat dan
plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler
yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya.
Cairan ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukanpun
relatif lebih pendek dibanding dengan cairan koloid.8
3. Cairan Hipertonik
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama. Oleh
karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke
dalam ekstra seluler. Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu
cairan natrium hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain
memvasodilatasi pembuluh darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk
luka bakar karena dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan
mengurangi jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%
Beberapa contoh cairan kristaloid :
Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4 mEq/l,
Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada larutan ini
dimetabolisme di dalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga terjadi dalam
ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang menyebabkan
gangguan fungsi hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi
menjadi CO2 dan H2O (80% dikatalisis oleh enzim piruvat dehidrogenase) atau
glukosa (20% dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan
membentuk HCO3.
Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi

elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini digunakan


untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Cairan ini diberikan
pada dehidrasi berat karena diare murni dan demam berdarah dengue. Pada
keadaan syok, dehidrasi atau DSS pemberiannya bisa diguyur.
Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4 mEq/l,
Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi keadaan
asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir di
dalam otot, sedangkan laktat di dalam hati. Laju metabolisme asetat 250 400
mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam. Asetat akan dimetabolisme menjadi
bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim A untuk membentuk
asetil ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase dan mengkonsumsi ion
hidrogen dalam prosesnya. Cairan ini bisa mengganti pemakaian Ringer Laktat.
Glukosa 5%, 10% dan 20%
Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9 Glukosa 5%
digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20%
digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal
ginjal akut dengan oliguria .
NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L Klorida, yang
digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk
penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia
atau alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam berdarah dengue dan
renjatan kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan dengan kehilangan
natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal dan luka bakar.
Pada anak dan bayi sakit penggunaan NaCl biasanya dikombinasikan dengan
cairan lain, seperti NaCl 0,9% dengan Glukosa 5 %.
3.1.2 Cairan Koloid
Jenis-jenis cairan koloid adalah :
Albumin.
Terdiri dari 2 jenis yaitu:
1. Albumin endogen.
Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan dihasilkan di hati

dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584 asam amino.
Albumin merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap tekanan
onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan tekanan
onkotik plasmanya 1/3nya.8
2. Albumin eksogen.
Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin eksogen yang
diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin eksogen yang dimurnikan
(Purified protein fraction) dibuat dari plasma manusia yang dimurnikan.8
Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam fisiologis. Albumin
25% bila diberikan intravaskuler akan meningkatkan isi intravaskuler mendekati
5x jumlah yang diberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan onkotik
plasma. Peningkatan ini menyebabkan translokasi cairan intersisial ke
intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi.8
Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi fungsi
miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi protein yang
dimurnikan. Hal ini karena factor aktivator prekalkrein yang cukup tinggi dan
disamping itu harganya pun lebih mahal dibanding dengan kristaloid.8 Larutan ini
digunakan pada sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom
HES (Hidroxy Ethyl Starch)
Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Cairan ini mengandung
partikel dengan BM beragam dan merupakan campuran yang sangat
heterogen.Tersedia dalam bentuk larutan 6% dalam garam fisiologis. Tekanan
onkotiknya adalah 30 mmHg dan osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari
hidroksilasi aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa.8
Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa HES merupakan volume ekspander yang
cukup efektif. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam. Pengikatan
cairan intravasuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh karena tekanan
onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi yang dijumpai adalah adanya gangguan
mekanisme pembekuan darah. Hal ini terjadi bila dosisnya melebihi 20 ml/ kgBB/
hari.8
Dextran
Campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran dan berat
molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes yang dikembang
biakkan di media sucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu sampai jutaan Dalton.

Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. dextran 70 mempunyai BM 70.000
(25.000-125.000). sediaannya terdapat dalam konsentrasi 6% dalam
garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan dextran 40.
Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander dan
merupakan pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran 40.8
Dextran 40 mempunyai BM 40.000 tersedia dalam konsentrasi 10% dalam garam
fisiologis atau glukosa 5%. Molekul kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan dapat
memberikan efek diuretik ringan. Sebagian kecil dapat menembus membran
kapiler dan masuk ke ruang intersisial dan sebagian lagi melalui sistim limfatik
kembali ke intravaskuler.8
Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan kegawatan
menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan transpor oksigen.
Cairan ini digunakan pad penyakit sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom.
Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik dan gangguan
pembekuan darah.8
Gelatin
Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada orang
dewasa dan pada bencana alam. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:
1.Modified Fluid Gelatin (MFG)
2. Urea Bridged Gelatin (UBG)
Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis gelatin ini punya efek volume
expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi yang sering terjadi adalah
reaksi anafilaksis.8
3.1.3 Cairan Kombinasi
KaEn 1 B (GZ 3 : 1)
Larutan yang mengandung Natrium 38,5 mEq/L, Klorida 38,5 mEq/L. Dextrose
37,5 gr/L. Cairan ini digunakan sebagai cairan rumatan pada penyakit
bronkopneumonia, status asmatikus dan bronkiolitis.9
Cairan 2a
Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1 : 1
yang terdiri dari dextrosa monohidrat 55gr/L, dextrosa anhidrat 50 gr/L, Natrium
150 mmol/L dan klorida 150 mmol/L. Cairan ini digunakan pada diare dengan
komplikasi dan bronkopneumoni dengan komplikasi. Sedangkan campuran

glukosa 10% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1:1 digunakan pada
bronkopneumoni dengan dehidrasi oleh karena intake kurang9
Cairan G:B 4:1
Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan Natrium Bikarbonat 1,5 % yang
merupakan campuran dari 500 cc Glukosa 5% dan 25 cc Natriun Bikarbonat
8,4%. Cairan ini digunakan pada neonatus yang sakit
Cairan DG
Cairan ini terdiri dari Natriun 61 mEq/L, Kalium 18mEq/L serta Laktat 27 mEq/L
dan Klorida 52 mEq/L serta Dextrosa 25 g/L.9 Cairan ini digunakan pada diare
dengan komplikasi.
Cairan Natrium Bicarbonat (Meylon)
Cairan ini mengandung natrium 25 mEq/25ml dan bicarbonat 25 mEq/25ml.
Cairan ini digunakan pada keadaan asidosis akibat defisit bicarbonat.9 Sediaan
dalam bentuk flakon sebanyak 25 ml dengan konsentrasi 8,4% ( 84 mg/ml)
Cairan RLD
Cairan yang terdiri dari I bagian Ringer laktat dan 1 bagian Glikosa 5% yang bisa
digunakan pada demam berdarah dengue .
Cairan G:Z 4:1
Cairan yang terdiri dari 4 bagian glukosa 5-10% dan 1 bagian NaCL 0,9% yang
bisa digunakan pada dehidrasi berat karena diare murni.
3.2 Prinsip Terapi Cairan
Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan pasien.
Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit dan kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan terapi cairan
dibagi atas resusitasi atau pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan
akut dan rumatan untuk mengganti kehilangan harian.
Kebutuhan air dan elektrolot sebagai terapi dapat dibagi atas 3 kategori:
1. Terapi pemeliharaan atau rumatan
C dibawah suhu tubuh normal. Cairan intravena untuk terapi rumatan ini
biasanya campuran Dextrosa 5% atau 10% dengan larutan NaCl 0,9% 4:1 , 3:1,
atau 1:1 yang disesuaikan dengan kebutuhan dengan menambahkan larutan KCl
2 mEq/kgBB.C kebutuhan cairan ditambah 12%. Sebaliknya IWL akan menurun
pada keadaan menurunnya aktivitas seperti dalam keadaan koma dan keadaan

hipotermi maka kebutuhan cairan rumatan harus dikurangi 12% pada setiap
penurunan suhu 1C diatas suhu tubuh 37Sebagai pengganti cairan yang hilang
melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja ( Normal Water Losses = NWL).
Kehilangan cairan melalui pernafasan dan kulit disebut Insesible Water Losses
(IWL). Kebutuhan cairan pengganti rumatan ini dihitung berdasarkan kg BB.
Kebutuhan cairan untuk terapi rumatan dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan
aktifitas terutama IWL oleh karena itu setiap kenaikan suhu 1
2. Terapi defisit.
Sebagai pengganti air dan elektrolit yang hilang secara abnormal (Previous Water
Losses=PWL) yang menyebabkan dehidrasi. Jumlahnya berkisar antara 5-15%
BB. Biasanya kehilangan cairan yang menyebabkan dehidrasi ini disebabkan oleh
diare, muntah-muntah akibat stenosis pilorus, kesulitan pemasukan oral dan
asidosis karena diabetes. Berdasarkan PWL ini derajat dehidrasi dibagi atas
ringan yaitu kehilangan cairan sekitar 3-5% BB, dehidrasi sedang kehilangan
cairan sekitar 6-9% BB dan dehidrasi berat kehilangan cairan berkisar 10% atau
lebih BB.
3. Terapi pengganti kehilangan cairan yang masih tetap berlangsung
( Concomitant water losses=CWL).
Kehilangan cairan ini bisa terjadi melalui muntah dan diare yang masih tetap
berlangsung, pengisapan lendir, parasentesis dan lainnya. Jumlah kehilangan
CWL ini diperkirakan 25 ml/kgBB/24 jam untuk semua umur.
Untuk mengatasi keadaan diatas diperlukan terapi cairan. Bila pemberian cairan
peroral tidak memungkinkan, maka dicoba dengan pemberian cairan personde
atau gastrostomi, tapi bila juga tidak memungkinkan, tidak mencukupi atau
membahayakan keadan penderita, terapi cairan secara intra vena dapat
diberikan.6
3.3 Terapi Cairan Pada Beberapa Penyakit Bayi dan Anak
3.3.1 Demam Berdarah Dengue 9,12
Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Patogenesis penyakit ini
hingga kini belum diketahui secara pasti. Ada dua teori yang banyak dianut yaitu
hipotesis infeksi sekunder (theory secondary heterologeus infection atau
hypothesis immune enhancement) dan hipotesis virulensi virus. Hipotesis

virulensi virus mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus


mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun tubuh nyamuk.
Hipotesis infeksi sekunder menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami kedua kalinya dengan serotipe virus yang heterologeus mempunyai
resiko yang lebih besar untuk menderita demam berdarah dengue.
Masuknya antigen menyebabkan terbentuknya antibodi yang akan mengaktifkan
komplemen C3 dan C5 menjadi C3a dan C5a yang akan menyebabkan
meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes
dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler yang ditandai dengan meningkatnya
hematokrit. Keadaan ini dapat mengakibatkan syok hipovolemik. Di samping itu
juga terjadi agregasi trombosit akibat dari perlengketan kompleks antigen
antibodi pada membran trombosit yang menyebabkan trombosit melekat satu
sama lain sehingga trombosit kehilangan fungsinya dan akan dihancurkan oleh
sistem retikulo endotelial (RES), maka terjadilah trombositopenia dan
pendarahan.
Derajat I dan II (tanpa syok)
Pemberian cairan IVFD pada pasien DBD tanpa renjatan diperlukan bila :
1. Anak terus menerus muntah, minum tidak mau, demam tinggi, sehingga tidak
bisa minum per oral.
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur, berat
badan pasien serta derajat kehilangan cairan. Jenis cairan yang direkomendasi
WHO adalah:
Kristaloid
* Ringer Laktat atau Dextrose 5% dalam larutan Ringer Laktat (RLD)
* Larutan Ringer Asetat atau Dextrose 5% dalam larutan Ringer Asetat (RAD)
* Larutan NaCl 0,9% atau Dextrose dalam NaCl 0,9% (D5/RF)
Koloid
* Dextran
* Plasma
Cairan Yang Diberikan Berdasarkan Berat Badan
Berat Badan Cairanyangdiberikan
/kgBB/24jam

3-10 kg
10-15 kg
15 kg 205 cc
175 cc
140 cc
Tatalaksana DBD derajat I dan II tanpa peningkatan hematokrit
20%.Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya
diberikan infus NaCl 0,9 % : Dektrose 5% (1 : 3) dipasang dengan tetesan
rumatan sesuai berat badan. Disamping itu perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht
dan trombosit setiap 6 12 jam. Tindak lanjut, diuresis diukur tiap 24 jam dan
awasi perdarahan yang terjadi. Apabila terjadi perbaikan klinis dan laboratoris,
anak dapat dipulangkan tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit
menurun, maka infus cairan ditukar dengan RingerLaktat dan tetesan disesuaikan
sebagai DBD derajat I dan II dengan peningkatan hematokrit
20 %Tatalaksana DBD derajat I dan II dengan peningkatan hematokrit
Pada saat pasien datang, diberikan cairan kristaloid RL atau NaCL 0,9% atau
RLD5 atau NaCl 0,9% + D5 6-7 ml/kgBB/jam dengan kecepatan 2
tetes/kgbb/menit. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap
6 jam, selanjutnya evaluasi 12-24 jam.
a. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, maka tetesan dikurangi
menjadi 5 ml/kgBB/jam dengan kecepatan 1 tetes/kgbb/menit. Apabila dalam
observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam dan dihentikan pada 24-48 jam.
b. Apabila keadaan klinis tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat,
frekwensi nadi meningkat. Diuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg
memburuk, serta peningkatan Ht, maka tetesan dinaikan 15 ml/kgBB/jam
dengan kecepatan 4 tetes/kgbb/menit. Apabila dalam 12 jam belum terjadi
perbaikan klinis, cairan dinaikan lagi menjadi 15/ml/kgBB/jam dengan kecepatan
4 tetes/kgbb/menit kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila terjadi distress
pernafasan dan Ht naik maka berikan cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam dengan
kecepatan 5-7 tetes/kgbb/menit, tetapi bila Ht turun, diberikan transfusi darah
segar 10 ml/kgBB/jam dengan 2-3 tetes/kgbb/menit. Bila keadaan klinis
membaik maka cairan disesuaikan.

Derajat III dan IV (dengan syok)


a. Bila pasien berada pada derajat III maka segera beri infus kristaloid (RL atau
NaCl 0,9%) 20 ml/kgBB secepatnya (berikan dalam bolus selama 30 menit) dan
oksigen 2 liter/menit. Sedangkan pada derajat IV cairan diguyur bila perlu
dengan semprit 100-200 ml. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit
dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah
b. Bila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan RL dilanjutkan 15-20
ml/kgBB dengan kecepatan 4-5 tetes/kgBB/menit ditambah plasma 10-20
ml/kgBB dengan kecepatan 2-5 tetes/kgBB/menit maksimal 30 ml/kgBB.
Observasi keadaan umum, tekanan darah, nadi tiap 15 menit dan periksa Ht tiap
4-6 jam.
1) Apabila syok telah teratasi, cairan dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dengan
kecepatan 2-3 tetes/kgbb/menit. Volume 10 ml/kgBB/jam dapat dipertahankan
sampai 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40 vol %. Selanjutnya
cairan diturunkan 5 ml dan seterusnya 3 ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian
cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, tekanan
darah, nadi, jumlah urine tiap jam. Pemeriksaan Ht dan trombosit tiap 4-6 jam
sampai keadaan umum baik. 2) Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan
kadar hematokrit menurun tetapi masih > 40 vol % berikan darah dalam volume
kecil 10ml/kg BB. Apabila tampak perdarahan masif, berikan darah segar 20
ml/kgBB dan dilanjutkan cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam.
10 mmH2O) maka berikan dopamin.c. Apabila syok masih belun teratasi
pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan dan pasang kateter urin untuk
mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal (
3.3.2 Diare
Diare adalah berak-berak encer lebih dari 3 kali (pada anak), lebih dari 4 kali
(pada bayi) disertai/ tanpa disertai adanya darah atau lendir.
Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah ,suhu tubuh bisanya
meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja
cair dan mungkin disertai darah atau lendir. Gejala muntah dapat terjadi sebelum
atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit,
maka gejala dehidrasi mulai tampak.
Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan,
sedang dan berat.

Pemberian cairan melalui intravena diberikan pada penderita diare akut dengan
dehidrasi berat. Cairan yang diberikan adalah:
Ringer Laktat atau garam normal, 100 mg/kgBB mulai diberi segera. Bila
penderita bisa minum berikan oralit sewaktu cairan iv dimulai.
Jumlah pemberian cairannya sebagai berikut:
1 bulan 1 tahun : 1 jam I = 30 ml/kgBB
5 jam II = 70 ml/kgBB
>1 tahun : jam I = 30 ml/kgBB
2 jam II = 70 ml/kgBB
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun, BB= 10 kg menderita diare akut
Dengan dehidrasi berat. Kebutuhan cairannya adalah:
jam I = 30x 10x 15
1x 60
= 75 tetes/menit.
2 jam II = 70x 10x 15
5x 60
= 35 tetes/ menit.
Catt : 1 cc = 15 tetes makro.
Ulangi bila nadi masih lemah atau tidak teraba. Nilai kembali penderita tiap 1-2
jam. Bila rehidrasi belum tercapai percepat tetesan iv. Juga berikan oralit
5ml/kgBB/jam bila penderita bisa minum untuk memberi tambahan kalium dan
basa, biasanya setelah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak). Setelah 6 jam (bayi)
atau 3 jam (anak) nilai lagi keadaan penderita. Bila tanda-tanda rehidrasi masih
belum berubah atau bertambah buruk dan terutama bila penderita juga
mengeluarkan tinja cair beberapa kali, jumlah total cairan yang diberikan untuk
rehidrasi harus ditingkatkan.
Kebutuhan cairan hari pertama pada dehidrasi berat :
3-10 kg = 205 ml/kgBB/ 24 jam ( 80+25+100)
10-15 kg = 175 ml/kgBB/ 24 jam ( 70+25+80)
10-15 15-25 kg = 140 ml/kgBB/ 24 jam ( 50+25+65)
Kebutuhan cairan hari kedua dan selanjutnya (NWL+ CWL) :
3-10 kg = 125 ml/kgBB/ 24 jam ( 25+100)

10-15 kg = 105 ml/kgBB/ 24 jam ( 25+80)


15-25 kg = 90 ml/kgBB/ 24 jam ( 25+65)
Setelah teratasi dehidrasi berat penatalaksaan dilanjutkan sesuai dengan tandatanda dehidrasi yang ada apakah dehidrasi sedang atau ringan.
Diare dengan beberapa komplikasi.
Malnutrisi energi protein ringan,sedang dan berat tipe marasmus dengan diare
dehidrasi berat.
Jenis cairan : DD atau 2a + KCl 10 mEq/500 cc
Jumlah cairan = PWL+ NWL+ CWL (dalil Darrow).
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10 kg menderita malnutrisi energi
sedang tipe marasmus dengan diare dehidrasi berat, kebutuhan cairannya
adalah:- 4 jam I = 60 x 10x 15
4x 60
= 38 tetes/menit.
20 jam II = 190x 10x 15
20x 60
= 24 tetes/menit.
Cara dan lama pemberian cairan sama dengan diare dengan dehidrasi berat
Malnutrisi energi protein berat tipe marasmik-kwaskoiskor atau tipe kwaskioskor
dengan diare dehidrasi berat.
Jenis cairan : DG atau 2a + KCl 10 mEq/500 cc
Jumlah cairan : 4/5 (PWL+ NWL+ CWL)
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10 kg menderita malnutrisi energi berat
tipe marasmik-kwaskioskor dan tipe kwaskioskor dengan diare dehidrasi berat,
kebutuhan cairannya adalah:
4 jam I = 60 x 10x 15
4x 60
= 38 tetes/menit.
20 jam II = 150x 10x 15
20x 60

= 7 tetes/menit.
Cara dan lama pemberian cairan sama dengan penatalaksanaa diare dengan
dehidrasi berat
Diare dehidrasi berat dengan bronkopneumoni tanpa disertai kelainan jantung.
Jenis cairan : DG atau 2a + KCl 10 mEq/500 cc
Jumlah cairan : PWL+ NWL+ CWL
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10 kg diare dehidrasi berat dengan
bronkopneumoni tanpa disertai kelainan jantung , kebutuhan cairannya adalah:4 jam I = 60 x 10x 15
4x 60
= 38 tetes/menit.
20 jam II = 190x 10x 15
20x 60
= 24 tetes/menit.
Cara dan lama pemberian cairan sama dengan penatalaksanaa diare dengan
dehidrasi berat.
Diare dehidrasi berat dengan malnutrisi energi protein ringan, sedang, berat tipe
marasmus disertai bronkopneumoni tanpa kelainan jantung.
Jenis cairan : DG atau 2a + KCl 10 mEq/500 cc
Jumlah cairan dan kecepatan pemberian sama seperti diare dehidrasi berat
dengan bronkopneumoni.
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10 kg diare dehidrasi berat dengan
malnutrisi energi protein ringan, sedang, berat tipe marasmus disertai
bronkopneumoni tanpa kelainan jantung , kebutuhan cairannya adalah:
4 jam I = 60 x 10x 15
4x 60
= 38 tetes/menit.
20 jam II = 190x 10x 15
20x 60
= 24 tetes/menit.

Diare dehidrasi berat dengan malnutrisi energi protein berat tipe marasmikkwasioskor dan tipe kwaskoiskor yang disertai bronkopneumoni tanpa kelainan
jantung.
Jenis cairan : Dgaa atau 2a +KCl 10 mEq/500cc
Jumlah cairan dan kecepatan pemberian sama seperti diare dehidrasi berat
dengan malnutrisi energi protein berat tipe marasmik-kwaskioskor dan tipe
kwashioskor
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10 kg diare dehidrasi berat dengan
malnutrisi energi protein berat tipe marasmik-kwaskioskor dan tipe kwaskoiskor
disertai bronkopneumoni tanpa kelainan jantung , kebutuhan cairannya adalah:
4 jam I = 60 x 10x 15
4x 60
= 38 tetes/menit.
20 jam II = 190x 10x 15
20x 60
= 24 tetes/menit.
Diare dehidrasi berat dengan kelainan jantung bawaan.
1. CHD dengan right to left shunt disertai dehidrasi berat.
Jenis cairan : DG atau 2a + KCl 10 mEq/500cc
Jumlah cairan : PWL+ NWL+ CWL
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10 kg menderita CHD dengan right to
left shunt disertai dehidrasi berat, kebutuhan cairannya adalah:
4 jam I = 60 x 10x 15
4x 60
= 38 tetes/menit.
20 jam II = 190x 10x 15
20x 60
= 24 tetes/menit.
Cara dan lama pemberian cairan sama dengan penatalaksanaa diare dengan
dehidrasi berat
2. CHD dengan left to right shunt disertai dehidrasi berat.

Jenis cairan : DG atau 2a + KCl 10 mEq/500 cc


Jumlah cairan : 4/5 (PWL+ NWL+ CWL)
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10 kg CHD dengan left to right shunt
disertai dehidrasi berat, kebutuhan cairannya adalah:
4 jam I = 60 x 10x 15
4x 60
= 38 tetes/menit.
20 jam II = 150x 10x 15
20x 60
= 24 tetes/menit.
Cara dan lama pemberian cairan sama dengan penatalaksanaa diare dengan
dehidrasi berat
3. CHD dengan gagal jantung.
Jenis cairan : DG atau 2a + KCl 10 mEq/500 cc
Jumlah cairan dan kecepatan pemberian sama seperti dengan left to right shunt
disertai dehidrasi berat.
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10, CHD dengan gagal jantung.
kebutuhan cairannya adalah:
4 jam I = 60 x 10x 15
4x 60
= 38 tetes/menit.
20 jam II = 150x 10x 15
20x 60
= 7 tetes/menit.
Diare dehidrasi berat yang disertai kejang.
Jenis cairan : DG atau 2a +KCL 10 mEq/500 cc
Jumlah cairan : PWL+ NWL+ CWL
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10 kg, diare dehidrasi berat yang
disertai kejang.
kebutuhan cairannya adalah:

4 jam I = 60 x 10x 15
4x 60
= 38 tetes/menit.
20 jam II = 190x 10x 15
20x 60
= 24 tetes/menit.
3.3.3 Kolera
Merupakan suatu penyakit akut yang menyerang saluran pencernaan dan
disebabkan bakteria jenis vibrio cholerae. Ditandai dengan gejala diare dengan
tinja seperti air cucian beras dan kadang-kadang disertai muntah dan turgor
cepat berkurang, timbul asidosis dan tak jarang disertai renjatan.
Berbeda dengan gastroenteritis akut lainnya, pada kolera dehidrasi berat dapat
terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam dengan concomitant loss berkisar antara
0-25% dari berat badan dalam 24 jam.
Guttman dan pierce (1969) telah menyelidiki tinja penderita kolera dan
berpendapat bahwa pada tinja tersebut ditemukan lebih sedikit jumlah natrium
dan lebih banyak ion kalium pada penderita kolera anak dibandingkan
dewasa.Akibat kehilangan cairan elektrolit yang banyak yang dapat terjadi dalam
waktu yang singkat, dapat timbul gangguan sirkulasi darah berupa renjatan.
Cairan yang diberikan yaitu:
a. Cairan Ringer Laktat diberikan dengan kecepatan:
1 jam I = 10 tetes/ kgBB/ menit.
7 jam berikut = 3 tetes/ kgBB/ menit.
b. Bila terdapat renjatan, cairan diberikan dengan diguyur, selanjutnya
pemberian cairan seperti diatas.
c. 4 jam kemudian hanya diberikan oralit saja, kemudian boleh pulang.
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun BB=10 kg, menderita kolera.
kebutuhan cairannya adalah:
-1 jam I = 1010
= 100 tetes.
-7 jam berikut = 3 x 10
= 30 tetes.

3.3.4 Bronkopneumoni
C dan mungkin disertai dengan kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat
gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung
dan sianosis sekitar mulut dan hidung, kadang-kadang disertai muntah dan
diare.2Bronkopneumoni biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39-40
Anak sangat sesak nafasnya memerlukan pemberian cairan intravena dan
oksigen.
Cairan yang digunakan :
KaEn 1B (GZ 3:1) yaitu campuran Glukosa 5% dan NaCl 0,9% dalam
perbandingan 3:1. Penggunaan KaEn 1B ini biasanya disertai dengan pemberian
KCl 10 mEg/ 500 ml botol infus. Perhitungan jumlah cairan berdasarkan rumus
Darrow, yaitu :
BB 3-10 kg = 105 mg/kgBB/24 jam
BB 10-15 kg = 85 mg/kgBB/24 jam.
BB 15-25 kg = 65 mg/kgBB/24jam.
Cairan dihentikan secara bertahap sesuai dengan keadaan klinis pasien.
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun, berat badan 10 kg datang dengan nafas
sesak 60x/menit dan didiagnosa sebagai bronkopneumoni, perhitungan cairannya
adalah = 105x 10x 15
24 x 60
= 11 tetes/menit.
Bronkopneumoni pada neonatus
Cairan yang digunakan GB 4:1 (Glukosa 5-10% dengan natrium bikarbonas
dalam perbandingan 4 : 1).
Kebutuhan cairan :
Umur 1 hari = 60 cc/kgBB/hari
Umur 2 hari = 70 cc/kgBB/hari
Umur 3 hari = 80 cc/kgBB/hari
Umur 4 hari = 90 cc/kgBB/hari
Umur 5 hari = 100 cc/kgBB/hari
Umur 6 hari = 110 cc/kgBB/hari
Umur 7 hari = 120 cc/kgBB/hari

Umur 8 hari = 130 cc/kgBB/hari


Umur 9 hari = 140 cc/kgBB/hari
Umur 10-14 hari = 150 cc/kgBB/hari
Umur 15-30 hari = 160 cc/kgBB/hari
Tetesan dibagi rata dalam 24 jam. Setiap kenaikkan suhu 1 derajat
celsius,kebutuhan cairan ditambah 12 %. Cairan dihentikan secara bertahap
sesuai dengan keadaan klinis.
Bronkopneumoni dengan dehidrasi karena intake kurang.
Cairan yang digunakan yaitu :
DG 10 % ( konsentrasi glukosa dalam larutan 5%) atau 2a 10%
Kebutuhan cairan dalam 24 jam : (PWL+NWL+CWL) x BB
Previous water loss = defisit , 5-15% dari berat badan.
Normal water loss = urin + insensible water loss.
Concomitant water loss : 25 ml/kgBB/hari.
Cara pemberian :
a. 4 jam I = kebutuhan
b. 20 jam II = kebutuhan.
Cara menghitung tetesan :
a. 4 jam I = 250x BBx x 15 tetes makro/menit
4x 60
b. 20 jam II = 250xBBx 3/4 x 15 tetes makro/menit
4x 60
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun, BB= 10kg dengan bronkopneumoni dengan
dehidrasi karena intake kurang, Kebutuhan cairannya adalah :
4 jam I = 250x 10x 1/4x 15
240
= 39 tetes/menit.
20 jam II = 250x 103/4x 15
1200
= 23 tetes/ menit.
Catatan : 1 cc= 15 tetes makro.

Bronkopneumoni dengan Congestive Heart Failure (Decompensatio Cordis)


Cairan yang digunakan :
Glukosa 10% + KCl 6 mEg/ 250 cc
Bila dekompensatio kordis telah teratasi, jenis cairan diganti dengan cairan 2aKCl. Jumlah cairan yang digunakan BB x (maintanance + kenaikan suhu).
Bronkopneumoni dengan CHD tanpa heart failure.
Cairan yang digunakan adalah :
Cairan 2a-KCl
Bila ada dehidrasi bukan karena GED, cairannya Dgaa.
Jumlah cairan :
Left to right shunt = xBB x ( maintenance + NWL + PWL).
Right to left shunt = 1 x BB x (maintenance + NWL + PWL).
Bila disertai PEM berat = x BB (maintenance + NWL ).
3.3.5 Status Asmatikus.
Merupakan serangan asma yang sangat berat atau tidak adanya respon terhadap
pengobatan dengan inhalasi bronkodilator ataupun suntikan adrenalin.
Gejala klinisnya :
1. Setelah pemberian obat beta-2 agonis sebanyak 2 kali atau lebih tidak berhasil
mengatasi sesak nafas.
2. Walaupun sesak sudah dapat diatasi tetapi dalam waktu kurang dari 1 jam
sudah sesak kembali.
Cairan yang digunakan :
Cairan GZ 3:1( KaEn 1B) + KCl 5 mEg/ kolf
Bila ada dehidrasi hendaknya diberikan cairan hipertonik:
Untuk BB 10-20 kg = 100-150 ml/jam.
Untuk BB >21 kg = 200 ml/jam.
Cairan ini diberikan sampai terjadi diuresis, bila sudah terjadi diuresis teruskan
dengan cairan rumatan.
3.3.6 Gagal Jantung
Gagal jantung adalah keadaan jantung yang tidak sanggup memompakan darah
secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sedangkan venous filling
pressure cukup baik.

Dalam penatalaksanaan gagal jantung ini perlu pemberian cairan dan diet karena
pada pasien gagal jantung yang berat seringkali masukan cairan dan makanan
peroral tidak memadai atau dapat menyebabkan bahaya aspirasi. Oleh karena itu
pada pasien tersebut seringkali diperlukan pemberian cairan intravena.
Jenis cairan yang diberikan dipilih yaitu cairan yang tanpa natrium karena
terdapatnya kecenderungan terjadinya retensi cairan dan natrium pada pasien
gagal jantung. Jumlah cairan dapat dikurangi menjadi 75-80% dari kebutuhan
rumatan. atau dapat dibatasi sampai 65 cc/kgBB/ hari, tapi bila anak dengan gizi
kurang, pemberian cairannya dapat diberikan sebanyak 80-100 cc/kgBB/ hari dan
maksimal 1500 cc/hari. Namun pemberian cairan ini harus terus dipantau,
mengingat kerja pernafasan yang meningkat akan dapat menyebabkan
meningkatnya kebutuhan cairan. Pemantauan biasanya secara klinis ( turgor, pola
pernafasan, balance antara masukan dan keluar) serta laboratorik (analisa gas
darah, elektrolit).2,13,14
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun, BB=10kg menderita VSD dengan gagal
jantung.
Terapi cairan yang dipilih adalah : dextrose 5%
Kebutuhannya : 65 cc/kgBB/hari.
Jumlah tetesannya = 65x 10x 15
24 x 60
= 7 tetes/menit.
3.3.7 Renjatan Kardiogenik
Gagalnya fungsi seluler akibat tidak mampunyai perfusi jantung ke jaringan vital.
Anak dengan renjatan kardiogenik akan menunjukkan hipotensi , tekanan
darahnya kurang dari 5 persentil untuk umurnya atau penurunan tekanan darah
30% dari sebelumnya. Hal ini akan menyebabkan takikardi, dingin pada
ekstermitas,asidosis, oliguri dan dapat pula disertai penurunan kesadaran.
Anak dengan ranjatan kardiogenik harus segera dilakukan penatalaksanaan yang
agresif dan pemantauan yang invasive. Terapi renjatan ini ditujukan untuk
memperbaiki curah jantung dan menormalkan perfusi organ perifer.15
Cairan yang dipilih adalah cairan garam fisiologis seperti NaCl 0,9%, diberikan
secara perlahan-lahan untuk mengkoreksi hipovolemia. Bila terdapat tanda-tanda

perbaikan fungsi miokardium, teruskan infus hingga syok teratasi. Untuk


mencegah kelebihan cairan dan odem paru,perlu diakukan monitoring TVS atau
TBKP ( Tekanan Baji Kapiler Paru ). 16
Jumlah cairan yang diberikan sebanyak 10 cc/kgBB dengan kecepatan tetesan
minimal.( protap). Pemberian cairan ini dapat memperbaiki fungsi jantung
sementara, tapi untuk selanjutnya harus diberikan dukungan inotropik untuk
memperbaiki kontraktilitas miokardium. 15
3.3.8 Sindroma Nefrotik .
Suatu penyakit dengan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan hormonal
yang ditandai dengan gejala klinis seperti proteinuria, hiponatremia,
hiperkolesterolemia dan edema.
Dengan adanya hipoproteinemia yang berat dapat menimbulkan hipovolemia dan
syok. Hipovolemia ini ditandai dengan gangguan sirkulasi perifer, hipotensi dan
ekstermitas yang dingin dan biru. Keadaan ini merupakan keadaan yang gawat
karena dapat timbul kematian yang mendadak.
Keadaan hipovolemia yang berat dengan kolaps sirkulasi, perlu expansi volume
segera dengan plasma. Keadaan gawat ini dapat dikenal secara dini dengan
adanya gejala nyeri abdomen atau peningkatan konsentrasi hemoglobin 1-2 gr/dl
( umumnya diatas 16 gr/dl)
Cairan yang dipilih adalah plasma segar, albumin, atau dextran. Bila hipovolemia
disertai komplikasi infeksi, plasma segar dapat diberikan, tapi bila tidak ada
albumin sebagai koloid pengganti sudah cukup memadai.
Jumlah cairan yang diberikan awalnya sejumlah 20 ml/kgBB/jam walaupun
diperlukan lebih banyak lagi. Pemberian plasma ini perlu observasi ketat dan
pengawasan terhadap nadi, tekanan darah, tekana vena jugularis dan perbedaan
suhu di sentral dan perifer. Kontraindikasi pemberian plasma pada penyakit ini
adalah tekanan vena yang meninggi, kardiomegali dan adanya edema pulmonal.
Contoh:
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun,BB= 10 kg dirawat dengan sindroma
nefrotik.
Cairan yang diberikan : plasma
Jumlah yang diberikan : 20 cc/kgBB/1 jam diberikan sampai syok
teratasi.

Jumlah tetesan yang diberikan : 20x 10x 15


1x 60
= 50 tetes/menit.
3.3.9 Gagal Ginjal Akut 17
Suatu sindroma yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak
dengan akibat terjadinya penimbunan hasil-hasil metabolit, persenyawaan
nitrogen seperti ureum dan kreatinin.
Gagal ginjal akut secara klinis dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
a. GGA oligurik
b. GGA non oligurik
Terapi konservatif diberikan cairan dan kalori yang cukup. Balance cairan yang
baik bila berat badan tiap hari turun 0,1-0,2%.
Jenis cairan yang dipakai adalah:
Pada penderita anuria diberikan glukosa 10-20%.
Pada penderita oliguria diberikan glukosa 10% : NaCl 0,9% = 3:1.
Bila dipakai vena sentral dapat diberikan larutan glukosa 30-40%.
Cairan diperhitungkan berdasarkan insensible water loss (IWL)+ jumlah urin 1
hari sebelumnya + cairan yang keluar dengan muntah, feses, slang
nasogastrik,dan lain-lain. Dan dikoreksi dengan kenaikan suhu tubuh setiap 1
derajat selsius sebanyak 12 % BB.
Secara praktis dapat dipakai perkiraan perhitungan sebagai berikut
Anak < 5th = 30 ml/kgBB/hari. Anak > 5 th = 20 ml/kgBB/hari.
Cairan sebaiknya diberikan peroral kecuali bila penderita sering muntah diberikan
per infus.
Contoh :
Seorang anak laki-laki umur 2 tahun, BB= 10kg menderita GGA dengan oliguria.
Cairan yang diberikan: Glukosa 10% : NaCl 0,9 % =3:1
Kebutuhan : 30 ml/kgBB/hari.
Jumlah tetesan = 30x 10x 15
24x 60
= 3 tetes/menit
Jadi pemberiannya : Glukosa 10 % =225 cc
NaCl 0,9% = 75 cc

3.3.10 Bayi Berat Badan Lahir Rendah


Bayi dengan berat badan lahir rendah biasanya tampak haus dan harus diberikan
cairan sedini mungkin, terutama ASI. Tapi bila pemberian oral belum
memungkinkan maka diberikan cairan intravena Dextrosa 5% dan Natrium
Bikarbonat 1,5% dengan perbandingan 4:1 dengan kebutuhan cairan
berdasarkan umur yaitu:
Umur 1 hari : 60 ml/kgbb/hari (2-3 tetes/kgbb/menit)
Umur 2 hari : 80 ml/kgbb/hari ( 3 4 tetes/kgbb/menit)
Umur 3 hari : 90 ml/kgbb/hari ( 4 tetes/kgbb/menit)
Umur 4 hari s/d 9 : 80 ml-100 ml/kgbb/hari ( 3-5 tts/kgbb/menit)
Umur 10 hari dan lebih : 125 150 ml/kgbb/hari (5-6 tts/kgbb/menit)
Bila pada hari ke 3 makanan oral masih belum bisa, berikan protein yaitu cairan
aminofusin pediatrik dengan dosis 20 ml/kgbb/hari dengan kecepatan 1
tetes/kgbb/hari. Pemberian cairan intravena dihentikan bila telah bisa makan
secara oral yang dilakukan secara bertahap 11.
Contoh:
Seorang bayi laki-laki cukup bulan berat badan saat lahir 2400 gram maka
diberikan cairan Dextrosa 5% 500 cc dicampur dengan larutan Natrium
Bikarbonat 8,4% 25 cc sebanyak 144 cc dengan kecepatan 6 tetes/menit pada
hari pertama dilanjutkan dengan 192 cc dengan kecepatan 8 tetes/menit pada
hari kedua.
3.3.11 Sepsis Pada Neonatus
Infeksi pada neonatus merupakan masalah yang gawat oleh karena infeksi pada
neonatus cepat sekali menjalar menjadi infeksi umum atau sepsis. Bila telah
terjadi sepsis biasanya bayi malas minum sehingga diperlukan pemasukan cairan
melalui intravena untuk pemenuhan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan
keseimbangan elektrolit dan asam basa. Pada keadaan ini diberikan larutan
Dextrosa 5% dan Natrium Bikarbonat 1,5% dengan perbandingan 4:1 dengan
kebutuhan cairan berdasarkan umur yaitu:
Umur 1 hari : 60 ml/kgbb/hari (2-3 tetes/kgbb/menit)
Umur 2 hari : 70 ml/kgbb/hari (3 tetes/kgbb/menit)
Umur 3 hari : 80 ml/kgbb/hari ( 3-4 tetes/kgbb/menit)
Umur 4 hari : 90 ml/kgbb/hari ( 4 tetes/kgbb/menit)

Umur 5 hari : 100 ml/kgbb/hari ( 4-5 tetes/kgbb/menit)


Umur 6 hari : 110 ml/kgbb/hari (5 tetes/kgbb/menit)
Umur 7 hari : 120 ml/kgbb/hari (5-6 tetes/kgbb/menit)
Umur 8 hari : 130 ml/kgbb/hari (6 tetes/kgbb/menit)
Umur 9 hari : 140 ml/kgbb/hari (6-7 tetes/kgbb/menit)
Umur 10-14 hari : 150 ml/kgbb/hari (7 tetes/kgbb/menit)
Umur 15-30 hari : 160 ml/kgbb/hari (7-8 tetes/kgbb/menit)
Bila pada hari ke 3 makanan oral masih belum bisa, berikan protein yaitu cairan
aminofuhsin pediatrik dengan dosis 20 ml/kgbb/hari dengan kecepatan 1
tetes/kgbb/hari. Pemberian cairan intravena dihentikan bila telah bisa makan
secara oral yang dilakukan secara bertahap S.

3.3.12 Hipoglikemi
Hipoglikemi pada bayi baru lahir cukup bulan bila kadar gula darah < 30 mg/dl
sedangkan pada bayi berat lahir rendah bila kadar gula darah < 20 mg/dl. Bayi
yang menunjukkan tanda-tanda hipoglikemi langsung periksa gula darah dan bila
gula darah rendah mulai pemberian cairan untuk mengatasi hipoglikemi. Kontrol
dilakukan setelah 8 jam. Jika kadar gula darah > 45 mg % setelah 3 4 x
pemeriksaan makanan cukup diberi oral. Sedangkan pada bayi yang dicurigai
adanya hipoglikemi dilakukan pemeiksaan pada 6 jam pertama kehidupan dan
dilanjutkan 24 jam kemudian sampai hari ke 3. Bila didapat kadar gula darah
yang rendah berikan terapi cairan. Khusus pada bayi dengan ibu penderita
Diabetes Mellitus pemeriksaan gula darah dilakukan selama 6 jam pertama yaitu
pada jan I, jam II dan jam IV kemudian tiap 8 jam selama 2 x 24 jam.
Hari pertama diberikan glukosa 20% 2 ml/kgbb intravena kemudian dilanjutkan
dengan Glukosa 5-10% 75 ml/kgbb/24 jam dengan kecepatan 3
tetes/kgbb/menit. Hari ke 2 dilanjutkan dengan Glukosa 5% dan NaCl 0,9%
dengan perbandingan 4:1 100 ml/kgbb dengan kecepatan 4 tetes/kgbb/menit.
Hari ketiga mulai pemberian makanan secara oral dan cairan intravena dihentikan
secara bertahap. Bila pada 24 jam pertama kadar gula darah masih dalam
keadaan hipoglikemi beri kortison 5-10 mg/kgbb.

3.3.13 Sindroma Gawat Nafas Neonatal


Sindroma gawat nafas neonatal merupakan salah satu penyebab mortalitas dan
morbiditas. Pada keadaan ini terjadi gangguan ambilan O2 dan pengeluaran CO2
yang menyebabkan asidosis respiratorik. Bila keadaan ini berlangsung terus
maka akan terjadi metabolisme anaerob berupa glikolisis glikogen tubuh. Asam
organik yang terbentuk akan menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu pada
bayi ini toleransi terhadap makanan oral kurang baik sehingga diperlukan cairan
intravena untuk sementara 1 .
Cairan yang digunakan adalah campuran larutan Glukosa 5% dan Natrium
Bikarbonat dengan perbandingan 4:1. Cairan yang diberikan pada 24 jam
pertama yaitu 68- 80 ml/kgbb dengan kecepatan 3-4 tetes/kgbb/menit kemudian
dinaikkan secara bertahap sampai 150 ml/kgbb/hari dengan kecepatan 6
tetes/kgbb/menit pada hari ketujuh. Bila ginjal telah berfungsi dan diuresis telah
timbul maka bayi harus diberikan elektrolit berupa natrium dan kalium 3-2
mEg/kgbb. Bila terjadi asidosis metabolik lakukan koreksi terhadap keadaan ini
PKB.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Pemberian cairan pada bayi dan anak sakit diusahakan secara oral dan pada
keadaan yang tidak memungkinkan diberikan secara intravena.
2. Cairan intravena yang diberikan pada beberapa penyakit bayi dan anak
diantaranya adalah larutan kristaloid, koloid dan kombinasi keduanya.
3. Prinsip terapi cairan intravena yaitu menggantikan cairan yang hilang dengan
menghitung cairan yang dibutuhkan yaitu: defisit + rumatan + kehilangan cairan
yang sedang berlangsung.
3. Pemilihan jenis, jumlah, cara dan lama pemberian cairan intravena didasarkan
atas beberapa parameter.

Anda mungkin juga menyukai