Disusun Oleh :
Khoirul Anam, S.KG
04104707003
Pengantar
Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di
bidang kesehatan. Kalimat dalam UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan ini mengandung
konsekuensi logis bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya di
bidang kesehatan agar dapat dinikmati oleh seluruh Warga Negara Indonesia secara merata. Atas
dasar pemikiran inilah, pemerintah mengatur regulasi seluruh komponen kesehatan masyarakat.
Salah satu komponen tersebut adalah pendidikan kedokteran gigi yang pada gilirannya lulusan
hasil pendidikan tersebut akan menjadi ujung tombak pemeliharaan kesehatan gigi masyarakat.
Sejalan dengan Undang-undang no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yang telah
disahkan sebelumnya, pemerintah mencoba mengatur penyelenggaraan pendidikan kedokteran
gigi sebaik mungkin agar dihasilkan lulusan drg yang memiliki kompetensi yang sama dalam
melayani masyarakat. Salah satu tahap pendidikan yang harus dilalui oleh calon drg adalah
tahap pendidikan klinis (koas). Akan tetapi terdapat pertanyaan mendasar, sejauh mana Negara
mengatur legalitas formal tindakan kedokteran yang dilakukan oleh mahasiswa klinis kedokteran
gigi? Bagaimana pula implikasi hukum yang akan terjadi bila mahasiswa klinis melakukan
kelalaian maupun kesalahan yang di kemudian hari mengakibatkan timbulnya kerugian di pihak
pasien dan menyebabkan tuntutan hokum baik pidana maupun perdata.
Selain UU nomor 36 tahun 2009 dan UU nomor 29 tahun 2004, Paling tidak terdapat dua
UU lagi yang memiliki keterkaitan dengan dasar hokum tindakan medis yang dilakukan oleh
mahasiswa klinis kedokteran gigi, yaitu UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
dan UU nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit.
Kajian sederhana ini penulis buat atas rasa kegelisahan tentang ada atau tidaknya payung
hukum selama penulis melakukan tindakan medis terhadap pasien dalam proses pendidikan
klinis. Dengan segala keterbatasan referensi dan kemampuan, penulis mencoba menyajikan
kajian sederhana terhadap keempat UU di atas terkait legal formal tindakan medis yang
dilakukan mahasiswa klinis kedokteran gigi.
dan/atau garansi atas barang dan/atau jasa bertentangan dengan prinsip dalam dunia
kedokteran itu sendiri. Hal ini seringkali menimbulkan kerancuan dan menjadi pintu masuk
untuk memperkarakan dokter gigi secara perdata walaupun belum tentu kegagalan
perawatan adalah kesalahan dokter gigi tersebut, ketentuan pidana pasal 7 tidak diatur dalam
UU perlindungan konsumen, sehingga kemungkinan pidana dapat dieliminir, tetapi tetap
saja kerancuan dalam UU ini berpotensi merugikan drg yang taat peraturan sekalipun.
II. ASPEK LEGAL FORMAL PENDIDIKAN KLINIS MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI.
Pendidikan kedokteran gigi di Indonesia sudah dimulai sejak Stovit (FKG UNAIR)
didirikan tahun 1928. Sejak saat itu pula sistem pendidikan klinis dikenal. Dalam
perkembangannya, sistem pendidikan kedokteran gigi memiliki dua tipe, yaitu sistem H
dan sistem Z. sistem H secara sederhana diartikan sebagai sistem yang mengatur
pendidikan teori dan pendidikan klinis berada dalam satu alur waktu yang sama. Setelah
mahasiswa dinyatakan lulus kuliah mata pelajaran A, secara otomatis mahasiswa tersebut
diizinkan mengikuti pendidikan klinis mata kuliah A. sedangkan sistem Z adalah sistem
pendidikan yang memisahkan teori dengan klinis. Mahasiswa diwajibkan untuk
menyelesaikan seluruh proses pendidikan teori, baru kemudian memasuki pendidikan klinis.
Pemerintah
melalui
departemen
pendidikan
akhirnya
menyeragamkan
seluruh
penyelenggara pendidikan kedokteran gigi agar menggunakan sistem Z hingga saat ini.
Meskipun pendidikan kedokteran gigi sudah berjalan hampir 85 tahun, akan tetapi
peraturan perundang-undangan yang memayungi pendidikan kedokteran gigi masih sangat
kurang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
(1) Mahasiswa klinis kedokteran gigi diwajibkan untuk melakukan serangkaian
tindakan medis di rumah sakit gigi dan mulut pendidikan untuk memenuhi syarat
lulus menjadi dokter gigi (sesuai draft standar pendidikan profesi dokter gigi).
Pertanyaan yang timbul adalah, sejauh mana legalitas tindakan medis yang
dilakukan oleh mahasiswa klinis kedokteran gigi? Bila kita perhatikan UU nomor
44 tahun 2009 tentang rumah sakit pasal 13 ayat 1, Tenaga medis yang
melakukan praktik kedokteran di rumah sakit wajib memiliki surat ijin praktik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka jelas sekali
syarat melakukan tindakan medis di rumah sakit adalah memiliki SIP dan ini
diperkuat dengan UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 23 ayat 3,
Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah. Lantas bagaimana dengan status mahasiswa
klinis yang tidak memiliki SIP (izin dari pemerintah) tetapi diharuskan
melakukan tindakan medis? Bila konsisten dengan pasal ini, maka sesungguhnya
RS tempat mahasiswa klinis belajar di manapun telah melanggar UU, dan
sanksinya izin rumah sakit dapat dicabut, sesuai pasal 27 UU rumah sakit. ???
(2) Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana implikasi hukumnya bila mahasiswa
klinis melakukan kelalaian/ kesalahan dalam tindakan medis di rumah sakit yang
dibebankan padanya? Bila kita pelajari UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran secara teliti, UU tersebut sama sekali tidak mengikat mahasiswa
klinis baik secara tata aturan perizinan maupun aturan pidana atas pelanggaran.
Hal ini berarti mahasiswa klinis yang melakukan kelalaian dan/atau kesalahan
atas tindakan medis di rumah sakit, sepenuhnya tidak dapat dituntut secara
pidana maupun perdata, dan berdasarkan UU rumah sakit pasal 46, Rumah sakit
bertanggung jawab secara hokum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Jadi selama
REFERENSI