Anda di halaman 1dari 4

:: Anda berada di halaman: Media - Edisi: 118/XI/2010

Foto: 01 02 03
Etnodokumenter dan Seni Pertunjukan Tradisi
Oleh: Gerzon Ayawaila, Praktisi Dokumenter & Staf Pengajar FFTV-IKJ.
Etnodokumenter bukan sekadar terminologi. Ia bisa menjadi metode kolaborasi sekaligus
arsip visual budaya.
Indonesia sangat kaya dengan seni pertunjukan tradisional, sayangnya kebijakan
pemerintah tidak memiliki konsep strategi budaya yang konkret untuk eksistensi seni
pertunjukan tersebut. Kebijakan yang lebih diarahkan pada komoditi pariwisata, secara tidak
langsung telah menyeret eksistensi seni pertunjukan tradisi ke dalam kubangan industri budaya.
Itu tak sepenuhnya salah. Persoalannya adalah tidak adanya imbalan seimbang dan
memadai bagi eksistensi penggiat untuk bisa menjaga perbedaan antara kemurnian dan objek
industri. Strategi politik budaya yang dirancang sebagai ideologi globalisasi, terlihat memotivasi
semua perbedaan yang ada untuk masuk ke dalam kesatuan keberagaman yang terkontrol
(heterogenisasi dalam hegemonisasi). Istilah ini mengacu pada tulisan Yasraf Amir Piliang
heterogenisasi dalam homogenisasi.
Menurut hemat saya, alternatif yang mumpuni adalah pendataan hingga pengarsipan
visual bagi semua seni pertunjukan yang ada di Nusantara.
Etnografi dan Dokumenter
Merekam gambar seni pertunjukan tradisi, baik dalam bentuk upacara ritual maupun
pagelaran, diperlukan beberapa pendekatankarena seni pertunjukan tradisi memiliki makna
spiritual yang semuanya terpolarisasi pada aspek intrinsik dan ekstrinsik. Permasalahan sekaligus
tantangannya adalah bagaimana kita mampu memahami kedua aspek tersebut untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa film.
Ketika direkam oleh lensa kamera, maka akan terjadi perubahan sudut pandang, dari
kasat mata berpindah pada sudut pandang point of view kamera sebagai mata film. Sudut
pandang secara kasat mata manusia sebagai perspektif kognitif mampu melihat dengan sudut
lebar yang tak terhingga, sedangkan point of view mata film memiliki batasan yang diformat
ulang dalam bingkai (framing) terkait dengan rasio layar (screen ratio).
Ada dua alternatif pendekatan. Pertama, pendekatan bahasa film dengan genre
dokumenter, dan kedua, pendekatan antropologis dengan perspektif antropologi visual/film
etnografi. Keduanya memiliki kemampuan merepresentasikan seni pertunjukan tradisi dengan
visi visual yang berbeda, tetapi mampu mewakili setiap tujuan dan kepentingan. Pilihan pada
pendekatan film etnografi jelas memiliki aspek edukasi, sedangkan pilihan pendekatan film
dokumenter harus berisikan aspek estetika dan aktual.
Bagaimana menerjemahkan seni pertunjukan tradisi melalui bahasa film atau audiovisual
tersebut? Sudut pandang antropologi dan dokumenter agaknya cukup representatif sebagai
perspektif yang memiliki persamaan sekaligus perbedaan dalam menggunakan media
audiovisual.
Terdapat perdebatan yang menarik dari perspektif kedua disiplin ilmu itu. Antropologi
menganggap bahwa karya etnografi lebih detil dalam merepresentasikan sebuah peristiwa

khususnya yang berkaitan dengan pranata budaya dari masyarakat lokal, dibanding karya
dokumenter. Antropologi menggunakan media audiovisual untuk membantu saat melakukan
pengumpulan data sekaligus sebagai dokumentasi riset lapangan (fieldwork), sementara
dokumenter tahap ini dianggap hanya proses mengumpulkan materi gambar (footage/raw
material). Dalam dokumentar materi itu harus dilanjutkan pada tahap editing, di mana footage
diseleksi dan diolah menjadi struktur penuturan sesuai dengan ide dan konsep estetika filmis.
Fenomena yang cukup menarik adalah ketika televisi komersil Indonesia (tidak termasuk
televisi publik TVRI yang memang sejak dulu aktif menayangkan acara seni pertunjukan tradisi),
mulai memberi ruang-ruang jasa pada seni pertunjukan tradisi, seperti ketoprak, ludruk dan
beberapa seni tradisi yang diformat ulang untuk menjaga nilai rating.
Menyoal Framing
Analisa wacana menjadi wadah untuk membahas bagaimana setiap tafsir dalam merekam
sebuah adegan atau peristiwa. Interpretasi merupakan gambaran tentang bagaimana penentuan
pembingkaian framing dari adegan atau peristiwa yang akan direkam gambarnya (shooting).
Framing adalah hasil dari keputusan mengenai pemilihan sudut pengambilan gambar (shot
angle) pada setiap adegan.
Dapat dipastikan bahwa pemilihan shot ditentukan oleh bagaimana kita mampu
memahami setiap tanda dari gerak tubuh, vokal (dialog, nyanyian) dan ekspresi dari para pelaku
upacara ritual (pawang, belian, dukun, tokoh adat). Antropolog maupun sineas dokumenter
merupakan penerima tanda yang disampaikan oleh penggiat ritual seni pertunjukan tradisi
(penanda). Inilah tantangan yang kemudian harus ditafsir berdasarkan landasan metodologi
disiplin ilmu masing-masing.
Sebagai contoh objek karya dokumenter tentang seni pertunjukan tradisi dari suku Dayak
Benuaq di Tenggarong, Kalimantan Timur. Dikenal dengan nama upacara atau ritual
penyembuhan Belian Sentiu.
Saya berpandangan bahwa seni pertunjukan tradisi dapat dilihat sebagai antena transmisi
untuk mengomunikasikan dialog-dialog kultural, yang dilakukan secara berkesinambungan
untuk membuka cakrawala baru pamahaman kita mengenai hakikat kemanusiaan. Seni
pertunjukan tradisi serta bentuk seni pertunjukan lainnya dapat menjadi suatu catatan atau arsip
sejarah budaya bangsa. Media audiovisual (film) adalah salah satu alternatif untuk membuat
arsip seni pertunjukan tradisi.
Baik dokumenter maupun antropologi memiliki salah satu kesamaan pada metode
penelitiannya. Metode penelitian lapangan (fieldwork) observasi partisipan, merupakan metode
penelitian antropologis yang diperkenalkan Malinowski dalam teori empirisnya ketika
melakukan penelitian selama tiga tahun pada etnis Trobriand di Papua Nuigini. Pada prinsipnya
metode ini mengharuskan peneliti sebagai observator tinggal dalam waktu lama bersama subjek
yang ditelitinya, semakin lama peneliti menetap bersama subjeknya maka hasil penelitiannya
semakin sempurna.
Dalam riset lapangan (fieldwork), antropolog, umumnya menerapkan beberapa metode
penelitian lapangan untuk melakukan pendekatan dan komunikasi dengan komunitas lokal yang
menjadi subjek penelitiannya, untuk mendapatkan sejumlah data akurat mengenai bagaimana
karakter, pola hidup, sistem kekerabatan, pengorganisasian kehidupan sosial yang merupakan
gambaran pranata budaya mereka. Pada prinsipnya Antropologi menggunakan media audiovisual
sebagai alat catat data sekaligus dapat dijadikan sebagai dokumentasi penelitian lapangan
fieldwork. Bagi sineas, dokumenter ini merupakan proses pengumpulan materi gambar shot. Bagi

antropolog perekaman materi shot (raw material/footage) sebagai dokumentasi visual dapat
dianggap rampung sebagai data yang dikumpulkan, sedangkan bagi dokumenter itu adalah
proses awal dari produksi film dokumenter. Apabila antropologi ingin menjadikan materi shot
sebagai film etnografi, maka perlu disusun kembali sesuai kerangka teori dan tujuan penelitian
yang sudah dikonsepkan.
Karya dokumenter Belian Sentiu pada prinsipnya menggunakan metode kombinasi.
Pendataan dan dokumentasi di lapangan dilakukan oleh para etnomusikolog dengan
menggunakan kamera video untuk merekam semua peristiwa atau adegan orisinil dari seni
pertunjukan Belian Sentiu. Kerja antropologi sudah selesai dengan menghasilkan footage
berdurasi 8 jam. Langkah berikutnya adalah penyuntingan. Pada hakikatnya sudut pandang
antropologi dalam merekam peristiwa berdasarkan pandangan kasat mata. Sudut pandang kasat
mata sama seperti melihat sebuah pagelaran seni pertunjukan baik dilokasi maupun di atas
panggung. Sementara, sudut pandang filmis menggunakan tipe shot yang variatif, karena
berkaitan dengan kebutuhan proses editing.
Apabila tujuan dari perekaman gambar peristiwa ini untuk edukasi tentu ideal meski
beberapa tipe seperti close up perlu juga untuk menerangkan detil ekspresi serta artefak yang
ada. Dokumenter dengan konsep estetikanya akan lebih aktif dalam mencari komposisi menarik
dengan menggunakan gerak kamera yang dinamis dan variasi tipe shot yang memukau.
Konsep bertutur dalam dokumenter akan melihat melalui mata kamera, yang memiliki
batasan rasio layar atau frame, sehingga penentuan sudut pengambilan (shot angle) akan
ditentukan sejak awal membangun ide, saat mengembangkan dalam konsep, maupun diputuskan
secara spontan. Apabila menggunakan pendekatan atau gaya observasional maka spontanitas
menentukan tipe shot sangat bermanfaat. Penentuan shot angle akan diputuskan secara cepat
dilapangan on the spot. Sineas dokumenter memosisikan diri sebagai seorang observator,
sehingga penentuan pembingkaian framing dapat dicermati adanya perbedaan perspektif antara
antropologi dan documenter.
Bukan Sekadar Terminologi
Robert Gardner banyak membuat film etnografi, sebutlah The Hunters dan Dead Birds.
Dead Birds menuturkan kehidupan suku Dani di Papua, sedangkan The Hunters menuturkan
kehidupan suku Kung Bushman di Afrika. Film Gardner oleh sebagian besar antropolog
dianggap sebagai film etnografi yang cukup layak menjadi acuan. Gardner melakukan kolaborasi
dengan antropolog, seperti ketika membuat Dead Birds, Gardner bekerja-sama dengan
antropolog Belanda, Jan Broekhuijse yang telah lama melakukan penelitian pada suku Dani di
Papua. Demikian pula dengan Jean Rouch yang bekerja-sama dengan sosiolog Edgar Morin
dalam memproduksi film Chronicle of a Summer pada 1961.
Hal itu membuktikan permasalahan perbedaan pijakan disiplin ilmu maupun tujuan serta
sudut pandang akan terjembatani dengan sebuah kerja kolaborasi. Sherman dalam bukunya
mengemukakan istilah Ethnodocumentary untuk menunjukkan sebuah karya kolaborasi antara
sineas dokumenter dengan antropolog ataupun rekanan dari disiplin ilmu lainnya (Sherman,
1998: 31). Karya dokumenter Belian Sentiu dapat pula dikatakan sebagai contoh kerja sama
produksi, antara sineas dokumenter dengan etnomusikolog. Formulasi baru dalam usaha
membuat arsip visual mengenai eksistensi seni pertunjukan tradisi akan tercipta dengan
memuaskan dan ideal, tanpa mengurangi aspek tradisi kemurnian seni pertunjukan tradisi yang
penuh dengan makna spiritual dan estetika lokal. Dengan demikian Etnodokumenter tidak
sekadar istilah, akan tetapi merupakan suatu formula untuk mengabadikan serta

merepresentasikan sebuah keindahan seni pertunjukan yang merupakan bagian dari pranata
budaya lokal.

Anda mungkin juga menyukai