Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Tumbuhan Nanas (Ananas comosus L)


2.1.1

Taksonomi

Penggolongan nanas berdasarkan taksonominya adalah:


Divisio

: Plantae

Sub divisio

: Magnoliophyta

Classis

: Liliopsida

Odro

: Poales

Familia

: Bromeliaceae

Genus

: Ananas

Spesies

2.1.2

: Ananas comosus L

Karakteristik
Kata pineapple berasal dari pine cone, karena bentuk buahnya

yang mirip dengan organ reproduksi tumbuhan konifer, dan apple,


karena daging buahnya yang segar, renyah mirip dengan apel. Ananas
comosus atau nanas merupakan buah tropis yang banyak terdapat di
Brazil, Bolivia, Peru, dan Paraguay, yang merupakan tumbuhan asli
negara tersebut. Di Indinesia, pesebaran nanas banyak terdapat di
Lampung, Riau, Bogor, dan Sadang. Tumbuhan nanas termasuk jenis
semak, batangnya pendek, hanya sekitar 1-1,5 m, dengan dikelilingi oleh
daun yang bulat pipih dan berduri di tepinya. Satu batang nanas
mempunyai minimal 30 daun dengan panjang 30-100 cm.
Mata tunas yang terdapat pada buah nanas membentuk dua
kelompok spiral yang saling terikat, delapan spiral pada arah yang satu,
dan tigabelas spiral pada arah yang berbeda. Masing-masing kelompok
menggambarkan bilangan Fibonacci.
Nanas membutuhkan 18 bulan untuk tumbuh hingga berbuah.
Untuk memperoleh tanaman nanas, mahkota dari tumbuhan nanas yang
lain ditanam dengan tangan. Setelah satu tahun, akan muncul bunga
kecil seperti pine cone berwarna merah muda. Dari bungan itulah akan

muncul buah nanas. Nanas dipanen ketika sudah benar-benar masak.


Untuk memastikan bahwa nanas tersebut telah siap panen, kadar
gulanya diperiksa terlebih dahulu. Buah nanas yang sudah masak bisa
langsung dimakan, biasanya disajikan sebagai makanan penutup, dalam
bentuk irisan, maupun potongan berbentuk dadu, atau sebagai salad
buah. Selain itu, nanas juga dapat disajikan dalam bentuk jus, wine, dan
topping pizza khas Hawaii.

2.1.3

Varietas
Ada empat varietas nanas yang dijual di Amerika. Pertama, Smooth

Cayenne, yaitu varietas Hawaii dengan berat rata-rata 3-5 pon, deging
buah berwarna kuning segar. Kedua, Red spanish yang bentuknya hampir
persegi dengan kulit yang lebih tebal, daging buahnya berwarna kuning
pucat, dan lebih harum dibanding varietas pertama. Sugar Loaf,
merupakan varietas yang paling umum, dengan berat mencapai 10 pon,
daging buah berwarna agak putih, dan bonggol yang agak lunak. Dan
Golden Supreme, rasanya lebih manis dibandingkan yang lainnya karena
kandungan asamnya lebih sedikit. Sedangkan n=yang banyak terdapat
di Indonesia adalah varietas Smooth Cayenne.
2.1.4

Kandungan

2.2Tumbuhan Temu giring (Curcuma heyneana Val et van Zijp.)


Temu giring banyak ditemukan tumbuh liar di hutan-hutan kecil atau
peladangan dekat rumah penduduk, terutama di Kawasan Jawa Timur. Kini,
temu giring sudah banyak diusahakan oleh mansyarakat sebagai tanaman
apotik hidup, terutama di pilau Jawa. Penduduk jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Jawa Barat sudah mengusahakannya sebagai bahan jamu atau obat
tradisional yang relatif menguntungkan (Muhlisah, 1999)
2.2.1

Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan temu giring menurut Citrosoepomo (1991)


adalah sebagai berikut:
Kingdom
Divisi

: Plantae

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales
Suku

: Zingiberaceae

Marga

: Curcuma

Jenis

: Curcuma heyneana Val et van Zijp.

2.2.2

Nama Daerah

Jawa

: Temu giring

Bali

: Temu poh (Ditjen POM,1989).

2.2.3

Nama Asing

Inggris : Pale tumeric

2.2.4

Morfologi Tumbuhan
Temu giring merupakan suatu tumbuhan tahunan. Tumbuh temu

giring memiliki ketinggian mencapai 2 meter (wijayakusuma,2006)


Batang temu giring berwarna hijau pucat dan tumbuh tegak yang
tersusun atas banyak pelepah daun. Daunnya berbentuk lanset yang
melebar. Helaian daunnya tipis, uratnya kelihatan dan berwarna hijau
muda. Bunga temu giring muncul dari bagian samping batang semu.
Pinggiran mahkota bunga berwarna merah. Bunga ini memiliki daundaun pelindung yang berujung lancip. Musim bunga berlangsung dari
bulan Agustus sampai bulan Mei tahun berikutnya, namun paling banyak
dijumpai pada bulan September sampai Desember (Muhlisah,1999)
Rimpang temu giring tumbuh menyebar di sebelah kiri dan kanan
batang secara memanjang sehingga terlihat kurus atau membengkok ke
bawah. Secara keseluruhan , rimpang temu giring umumnya tumbuh
mengarah ke bawah dengan percabangan berbentuk persegi. Apabila
rimpang di belah, akan terlihat daging rimpang berwarna kuning, berbau
khas temu giring. Rimpang bagian samping umumnya memiliki rasa
lebih pahit (muhlisah,1999)
Tanaman ini tumbuh pada daerah hingga ketinggian 750 m di atas
permukaan laut. Temu giring dijumpai sebagai tanaman liar di hutan jati
atau di halaman rumah, tarutama di tempat yang teduh. Perbanyakkan

di lakukan dengan stek rimpang induk atau rimpang cabang yang


bertunas (mursito,2003).
2.2.5 kandungan kimia
Kandungan kimia rimpang temu giring antara lain minyak atsiri
dengan komponen utama 8(17),12-labdadiene-15,16-dial, tanin dan
kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksi-kurkumin dan bisdesmetoksi-kurkumin, pati, saponin, dan flavonoid (Ditjen POM, 1989).
2.2.6

Khasiat
Secara tradisional rimpang temu giring mempunyai beberapa

khasiat antara lain sebagai obat lika (Ditjen POM, 1989), obat cacing,
obat sakit perut, obat pelangsing, memperbaiki warna kulit (Mursito,
2003), obat untuk mengatasi perasaan tidak tenang atau cemas, jantung
berdebar-debar, haid tidak teratur, obat rematik, menambah nafsu
makan, meningkatkan stamina, menghaluskan kulit, obat jerawat, obat
cacar air dan obat batuk (Wijayakusuma, 2006).
2.3Senyawa flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari senyawa yang terdiri dari C 6C3-C6 dan umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Bagi
tumbuhan, flavonoid ini dapat berguna sebagai senyawa yang dapat
menarik serangga, yang dapat membantu dalam proses penyerbukan dan
dapat berguna sebagai senyawa yang dapat menarik perhatian binatang
untuk membantu penyebaran biji (Harbonw, 1987). Sedangkan untuk
manusia dalam dosis kecil flavonoid ini dapat bekerja sebagai stimulan pada
jantung (Sirait. Midian, 2007).

Gambar 2.1 Struktur Flavonoid ( Sumber: Markham, 1988)


Flavonoid merupakan senyawa khas pada tumbuhan hijau dengan
mengecualikan alga. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian
tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, bunga, dan biji (Markham,
1988).

Flavonoid merupakan senyawa yang bersifat polar. Hal ini disebabkan


karena

adanya

gula

yang

terikat

pada

flavonoid

yang

cenderung

menyebabkan flavonoid mudah larut dalam pelarut polar, sehingga flavonoid


dapat diekstraksi dengan pelarut etanol 70%. Senyawa ini merupakan
senyawa yang mengamdung sistem aromatik yang terkonjugasi dan dapat
menunjukkan pita spektrum kuat pada spektrum UV dan spektrum tampak
( Harbone, 1987 dan Markham, 1988).
2.4Sinar Ultraviolet (UV)
Sinar ultraviolet (UV) adalah salah satu sinar yang dipancarkan oleh
matahari yang dapat mencapai permukaan bumi selain cahaya tampak dan
sinar inframerah. Sinar UV berada pada kisaran panjang gelombang 200400nm.
Spektrum UV terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan panjang
gelombang, antara lain:
1. Sinar UV A, merupakan sinar ultraviolet yang dapat mencapai bumi
dengan panjang gelombang 320-400 nm dan dalam merusak kulit perlu
bantuan berbagai bahn kimia yang lain.
2. Sinar UV B, merupakan sinar ultraviolet yang dapat mencapai bumi
dengan panjang gelombang 290-320 nm dan merupakan komponen yang
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk merusak kulit.
3. Sinar UV C (200-290 nm), merupakan sinar ultrviolet yang memiliki energi
terbesar, sehingga tidak dapat mencapai permukaan bumi karena
mengalami penyerapan di lapisan ozon.
Energi dari radiasi sinar ultraviolet yang mencapai permukaan bumi
dapat memberikan tanda dan simtom terbakarnya kulit. Diantaranya adalah
kemerahan pada kulit ( eritema), rasa sakit, kulit melepuh dan terjadinya
pengelupasan kulit ( Parrish, Jaenicke & Anderson, 1982). UV B yang
memiliki panjang gelombang 290-320 nm lebih efektif dalam menyebabakan
kerusakan

kulit

dibandingkan

dengan

UV

yang

memiliki

panjang

gelombang 320-400 nm. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.1 sinar
ultraviolet pada daerah UV B memiliki kekuatan 1000 kali lebih kuat
daripada UV A pada peristiwa pembentukan eritema kulit ( McKinlay &
Diffey, 1987).

2.5Sun Protection Factor (SPF)


Efektivitas dari suatu sediaan tabir surya dapat ditunjukkan salah
satunya dengan nilai Sun Protection Factor (SPF)
Penelitian yang dilakukan oleh Bauer et al (2004) memberikan hasil
bahwa menggunakan tabir surya dengan SPF (Sun Protection Factor) tinggi

memberi efek perlindungan lebih lama terhadap cahaya matahari dan


mencegah terbakar cahaya matahari. Berdasarkan Wasitaatmadja (1997)
kemampuan menahan cahaya ultraviolet dari tabir surya dinilai dalam faktor
proteksi cahaya (Sun Protection Factor/SPF) yaitu perbandingan antara dosis
minimal untuk menimbulkan eritema pada kulit terolesi tabir surya dengan
yang tidak.Nilai SPF ini berkisar 0 sampai 100, dan kemampuan tabir surya
dianggap baik apabila berada diatas 15. Kemampuan tabir surya sebagai
berikut:
a. Minimal bila SPF antara 2-4, contoh: salisilat, antranilat.
b. Sedang bila SPF antara 4-6, contoh: sinamat, benzofenon.
c. Ekstra bila SPF antara 6-8, contoh: derivate PABA.
d. Maksimal bila SPF antara 8-15, contoh: PABA.
e. Ultra bila SPF lebih dari 15, contoh: kombinasi PABA, non-PABA, dan tabir
surya fisik.

2.6Eritema
2.7Pigmentasi
Efektivitas tabir surya dapat ditentukan dengan metode penentuan
persen eritema dan persen pigmentasi. Ekstrak yang diperoleh diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 292,5-372,5 nm. Dari nilai serapan
yang diperoleh dihitung nilai serapan dan nilai persen transitannya dengan
rumus A = - log T. Nilai transmisi eritema dihitung dengan cara mengalikan
nilai transmisi dengan faktor efektivitas eritema (Fe) pada panjang
gelombang 292,5-372,5 nm. Nilai transmisi pigmentasi dihitung dengan cara
mengalikan nilai transmisi (T) dengan faktor efektivitas pigmentasi (Fp) pada
panjang gelombang 292,5-372,5 nm. Selanjutnya nilai persen transmisi
ertitema dihitung dengan rumus:
( T x Fe)
% Te =
Fe
% Tp =

( T x Fp)
Fp

Keterangan :
% Te = Nilai persen transmisi eritema
% Tp = Nilai persen transmisi pigmentasi
Ee
= (% T x Fe)
Ep
= (% T x Fp)
Berikut ini merupakan nilai fluks eritema (Fe) dan fluks pigmentasi (Fp)
untuk sediaan tabir surya.
Tabel 2.1 Transmisi Eritema dan Pigmentasi Sediaan Tabir Surya

Rentang Panjang Gelombang (nm)


290 295
295 300
300 305
305 310
310 315
315 320
Rentang total eritema, 290-320 nm

Fluks Eritema
0,1105
0,6720
1,0000
0,2008
0,1364
0,1125
2,2322 (76,3%)

Rentang panjang Gelombang (nm)


320 325
325 330
330 335
335 340
340 345
345 350
350 355
355 360
360 365
365 370
370 375
Rentang total pigmentasi, 320-375

Fluks pigmentasi
0,1079
0,1020
0,0936
0,0798
0,0669
0,0570
0,0488
0,0456
0,0356
0,0310
0,0260
0,6942 (23,7%)

nm
Fluks total pigentasi, 290-375 nm

2,9264(100%)

Suatu tabir surya mendapatkan kategori penilaian sebagai berikut:


Tabel 2.2 Kategori Penilaian Tabir Surya
% Te
<1
1-6
6-12
10-18

%Tp

Kategori penilaian tabir

3-40
42-86
45-86
45-86

surya
Sunblock
Proteksi ultra
Suntan
Fast tanning

2.8Ekstraksi (Depkes RI, 2000)


Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan
senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lainlain.

Senyawa

aktif

yang

terdapat

dalam

berbagai

simplisia

dapat

digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lainlain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta
senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam
berat, dan derajat keasamam. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang

dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara


ekstraksi yang tepat.
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai , kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan
dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang ditetapkan.
2.8.1
Proses pembuatan ekstrak (Depkes RI,200)
1. Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan
serbuk simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia kdibuat
serbuk

simplisia

dengan

peralatan

tertentu

sampai

derajat

kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak.


Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif dan
makin efisien, namun makin halus serbuk, maka makin rumit
secara teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi.
2. Cairan pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak aslah pelarut
yang

baik

(optimal)

untuk

senyawa

kandungan

aktif

yang

berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut


dapat dipisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya,
serts

ekstrak

hanya

mengandung

sebagian

besar

senyawa

kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan


pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder
yang

terkandung.

Faktor

utama

untuk

pertimbangan

pada

pemilihan cairan penyari antara lain: selektivitas, kenudahan


bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah
lingkungan, dan keamanan.
3. Separasi dan pemurnian
Tujuan dari tahapan ini adalah menghilangkan (memisahkan)
senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa
berpengaruh pada senyawa yang dikehendaki, sehingga diperoleh
ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahapan ini adalah
pengendapan, pemisahan dua cairan tidak bercampur, sentrifugasi,
dekantasi, filtrasi serta proses adsorpsi dan penukar ion.
4. Pemekatan atau penguapan (vaporasi dan evaporasi)
Pemekatan berarti jumlah parsial senyawa terlarut (solute)
secara penguapan pelarut tidak sampai menjadi kering, melainkan
ekstrak hanya menjadi kental atau pekat.
5. Randemen

Randemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh


dengan simplisia kering.
2.8.2

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes RI,2000)


Eksrtaksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua cara

yaitu cara dingin dan cara panas.


1. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi
menggunakan

adalah

proses

pelarut

dengan

pengekstrakan
beberapa

kali

simplisia

dengan

pengocokan

atau

pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cara ini dapat


menarik zat-zat berkhasiat yanb tahan pemanasan maupun yang tidak
tahan panas.
b. Perkolasi
perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhausive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan. Ekstraksi ini membutuhkan pelarut yang lebih
banyak.
2. Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan
pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga
dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
b. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjasi
ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik ( dengan pengadukan kontinyu)
pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangang (kamar),
yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C.
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas
air (bejana infus dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96980C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur
sampai titik didih air.

2.9Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer UV-Vis adalah analisis spektroskopik yang memakai


sumber radiasi elektromagnetik ultra violet dekat (190-380 nm) dan sinar
tampak

(380-780

nm)

dengan memakai

instrumen

spektrofotometer.

Spektrofotometer UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar


pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih
banyak

dipakai

untuk

analisis

kuantitatif

dibandingkan

kualitatif

(Silverstein,1986).
Spektrofotometer UV-Vis yang merupakan korelasi absorban (sebagai
ordinat) dan panjang gelombang (sebagai absis) tidak merupakan garis
spektrum akan tetapi merupakan pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum
UV-Vis tersebut disebabkan oleh transisi energi yang tidak sejenis dan
terjadinya eksitasi elektronik lebih dari satu macam pada gugus molekul
yang kompleks. Analisis dengan spektrofotometer UV-Vis selalu melibatkan
pembacaan absorabansi radiasi elektromagnetik oleh molekul atau radiasi
elektromagnetik yang diteruskan, absorpsi direkam sebagai absorbansi
(Mulja dan Suharman, 1995).
Dalam analisis kuantitatif pada spektrofotometer UV-Vis ini didasarkan
pada hukum Lambert-Beer, yang menyatakan bahwa fraksi penyerapan
sinar tidak tergantung dari intensitas sumber cahaya dan kemudian
menyatakan bahwa penyerapan sebanding dengan jumlah molekul yang
diserap. Dari hukum Lambert-Beer dapat diketahui hubungan antara
transmitan, tebal cuplikan, dan konsentrasi.
T=

I
x 100
I0

A = - Log T
A = Log

I0
I

Keterangan :
T = Transmitan
A = Absorbansi
I

= Intensitas radiasi diteruskan

Io = Intensitas radiasi yang datang

Anda mungkin juga menyukai