Karena-Mu ya Allah, saya akan berdakwah, mencari daerah hitam yang penuh dengan
kemunafikan, tempat-tempat yang terjangkit penyakit munafik, bermalas-malas, linglung tentang
hidup; tak ada nafas cinta, yang hadir hanya lamat-lamat kebencian yang semakin mendesir. Saya
akan pergi ke tempat seperti itu. Jihad yang selalu tumbuh dalam hatinya meronta-ronta. Baginya
menularkan kebajikan adalah kewajiban. Dia berkeyakinan bahwa di setiap dada insan, selalu hadir
kerinduan bercengkrama dengan cahaya; cahaya yang sampai saat ini sulit ditemukan bagi sebagian
orang. Dan dia dilahirkan untuk mentransfer cahaya itu; Cahaya hanya bertemu dengan cahaya.
Pertemuan dengan cahaya harus dimulai dingan setitik cahaya pikirnya.
Tuhan, kuatkanlah hambamu untuk terus berjibaku dengan setan. Aku tahu hanya Engkaulah yang
mampu mengendalikan nafsu ciptaanmu. Dengan kehadiranmu dalam urat nadiku dan asmamu
yang menjalar dalam aortaku, aku tak kan pernah takut menganiaya kebatilan. Ya Tuhan, biarkan
selaksa cahaya menetap di jiwaku, jangan pernah kau padamkam Niat Tarman telah lurus.
Berdakwah! Doanya mengangkasa, menembus udara, meretas ke atas langit; bersemayam di muara
surga.
***
Tarman dengan segala kemantapannya melangkahkan kaki ke tempat itu, kampung Suka Endah.
Satu langkah lagi, maka dia masuk ke tempat itu. Setelah berkomat-kamit, Tarman memberanikan
diri untuk memasukinya. Dilihatnya pemandangan itu. Tak ada yang istimewa, tak ada wah disini.
Tak ada beda dengan perkampungan lainnya. Kata orang-orang disini tempat iblis bersemayam, tap
saya tak melihat tanda-tandanya. Tarman berseloroh di sukmanya. Ustadz muda itu terus berjalan
menyusuri sawah dan pematang, hingga dia bertemu dengan seorang tua, linggis di pundaknya.
Tarman menyunggingkan senyum manisnya; tak dibalas. Tarman mengucapkan salam; tak terbalas.
Tarman ingin berjabat tangan; tak dijabat. Allah, aku tahu ini ujian untukku kembali Tarman
berseloroh, seloroh yang tak terucap.
Maaf Pak, bolehkah saya bertanya?
Kamu telah bertanya Ustadz. Tarman agak kikuk.
Ehm, begini Pak saya.... Pak Tua itu menyekat pembicaraannya.
Kamu seorang Ustadz yang ingin berdakwah bukan? Kamu jauh-jauh datang kesini karena banyak
orang yang menyatakan bahwa di tempat ini maksiat sedang berkecamuk, dan kamu ingin
memberantasnya bukan? Kamu ingin mengaplikasikan teori-teori yang kamu punya di tempat ini
bukan?
Pertanyaan yang bertubi-tubi itu sempat membuat mata Tarman tak bergeming dari kelopaknya,
melotot.
Dari mana bapak tahu?
Saya tahu dari matamu anak muda, saya tahu dari pakaianmu, saya tahu dari gerak gerikmu. Mari
kita berteduh di pohon teduh itu. Tarman bergegas mengikuti Pak Tua. Kemudian mereka
melanjutkan pembicaraan.
Ketahuilah Ustadz, disini adalah kampung yang rukun. Warga disini orangnya baik-baik, bahkan
terlampau baik. Kalau tadi saya tak merespon Ustadz, bukan berarti saya sombong. Sambil
membetulkan tempat duduknya, Pak Tua melanjutkan kata-katanya. Tarman sibuk mencatat
berbagai pertanyaan di benaknya.
Warga kampung disini sudah bosan dengan pendatang yang hanya ingin memberi petuah,
wejangan-wejangan dan dalil-dalil.
Ada yang harus saya luruskan Pak. Saya datang kesini semata-mata karena Allah, bukan ada
maksud tertentu dibalik semua ini. Saya hanya ingin berbagi pengalaman dengan warga disini atas
ilmu yang pernah saya dapatkan di pesantren. Lagi pula, saya yakin tidak semua warga taat
beribadah bukan? Nah saya datang kesini untuk menyeru pada jalan kebenaran, jalan yang diridhoi
Allah.
Ustadz, saya mengerti maksud baik saudara. Saya juga mahfum bahwa tak semua warga baik.
Itulah mengapa kami masih bisa bertahan hidup.
Maksud Bapak?
Kalau semua Ustadz datang kemari, lantas kapan kami bisa berdakwah? Dakwah tidak hanya
Ustadz saja bukan? Ustadz jangan serakah seperti itu dong. Allah tidak menyukai orang-orang
serakah Ustadz. Kalau Ustadz berdakwah disini, lalu kami berdakwah dimana? Kalau kami tidak