membedakan lima periode dalam perkembangan etika dalam bisnis menjadi etika bisnis
ini.
1. Situasi Dahulu
Pada awala sejarah filsafat, Plato, Aristolteles, dan filsuf-filsuf Yunani
lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama
dalam Negara dan dalam konteks itu mereka membahas juga bagaimana
kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. Dalam filsafat dan teologi
abad pertengahan pembahasan ini dilanjutkan, dalam kalangan Kristen maupun
Islam. Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput dari filsafat
dn teologi di zaman modern.
Dengan membatasi dari pada situasi di Amerika Serikat selama paro
pertama Abad ke-20, De George melukiskan dimana di perguruan tingghi
masalah moral disekitar ekonomi dan bisnis terutama disoroti dalam teologi. Pada
waktu itu di banyak universitas diberikan kuliah agama dimana mahasiswa
mempelajari masalah-masalah moral sekitar ekonomi dan bisnis. Pombahasannya
tentu berbeda, sejauh mata kuliah ini diberikan dalam kalangan Katolik atau
Protestan. Dalam kalangan Katolik umumnya mata kuliah ini mendalami Ajaran
Sosial Gereja. Maksudnya adalah uraian sistematis dari ajaran para paus dalam
ensiklik-ensiklik social, muali dengan ensiklik Rerum Novarum (1819) dari paus
Leo XIII. Disini disinggung banyak tema yang menyangkut moralitas dalam
kehidupan social ekonomi seperti hak pekerja atas kondisi pekerja yang baik dan
imbalan ynag pantas; pentingnya nilai-nilai moral bertentangan dengan suasana
materialistis dan konsumeristis; keadilan social dan upaya memperbaiki taraf
hidup orang miskin; tanggung jawab Negara-negara kaya terhadap Negara-negara
miskin, dan sebagainya. Dalam kalangan protestan, buku teolog Jerman Reinhold
Neibuhr Moral Man and Immoral Society (New York , 1932) menjalankan
Dilatarbelakangi
krisis moral yang umum itu, dunia bisnis Amerika tertimpa oleh krisis moral
yang khusus. Pada wal tahun 1970-an terjadi beberapa skandal dam bisnis
Amerika, di mana para pebisnis berusaha menyuap para politisi atau memberi
sumbangan illegal kepada kampanye politik. Yang mendapat publisitas paling
luas diantara skandal-skandal bisnis ini adalah Lockheed Affair, kasus korupsi
yang melibatkan perusahaan pewasat terbang Amerika yang terkemuka ini. Kasus
korupsi dan komisi seperti itu menyebabakan moralitas dalam berbisnis ada
suasana kurang sehat dalam dunia bisnis dan bahwa krisis moral itu harus segera
diatasi.
Sebagian sebagai reaksi atas terjadinya peristiwa-peristiwa tidak etis ini
pada awal tahun 1970-an dalam kalangan pendidikan Amerika dirasakan
kebutuhan akan refleksi etika dibidang bisnis sebagai mata kuliah dari kurikulum
perguruan tinggi yang mendidik manager dan ahli ekonomi. Keputusan ini
ternyata berdampak luas. Jika mata kuliah etika bisnis menjadi mata kuliah
tersendiri, harus ada dosen, buku pegangan dan bahan pengajaran lainnya,
pendidikan dosen etika bisnis harus diatur, komunikasi ilmiah anatar para ahli
etika bisnis harus dijamin dengan dibukanya organisasi profesi serta jurnal
ilmiah, dan seterusnya. Misalnya. Norman E. Bowie, sekertri seksekutif dari
American Philosophical Association,
maupun kultural paling dekat dengan Amerika Serikat, tetapi tidak lama
komunis lainnya dirasakan kebutuhan besar akan pegangan etis, karena didasari
peralihan ke ekonomi pasar bebas tidak bisa berhasil jika tidak disertai etika
bisnis. Tidak mengherankan apabila bisnis mendapat perhatian khusus di Negara
yang memiliki ekonomi paling kuat di luar dunia Barat: Jepang. Yang terutama
aktif didunia sana adalah Institute of Moralogy yang bermukim pada Universitas
Reitaku di Khasiwa-Shi, pinggiran kota metropolitas Tokyo. Institute ini sebagian
disponsori oleh pemerintah Jepang dan berusaha mendekatkan etika pada dunia
bisnis. Pada tahun 1989 dan 1991 mereka menyelenggarakan konferensi tentang
etika dalam ekonomi global, yang dihadiri oleh akademisi seluruh Asia. Di India
etika bisnis terutama dipraktekan oleh Management Center for Human Values
yang didirikan oleh direksi dari Indian Instittute for Management di Kalkutta
pada tahun 1992. Pusat yang dipimpin oleh Prof. S.K. Chakraborty ini sejak 1995
mengeluarkan majalah tentang etika bisnis yang berjudul Journal of Human
Values. Juga di Hongkong selama beberaoa taun terakhir ini etika bisnis
mendapat perhatian khusus, yang tentu tidak terlepas dari perubahan status
kekuasaan yang berlangsung disana tahun 1997. Seperti dibanyak tempat lain,
pengalaman dengan beberapa kasus korupsi memacu dirasakannya kebutuhan
akan refleksi etika akan praktek bisnis.
Dalam hal ini berperan besar Independent Commission Against
Corruption (didirikan tahun 1974) . Universitas Hongkong memiliki Center of
Business Values (1994). Sedikit sebelumnya Hongkong Baptist College
mendirikan Center for Applied Ethics.
Tanda bukti terakhir bagi sifat global etika bisnis adalah didirikannya
International Society for Business, Economic, and Ethics (ISBEE). ISBEE
mengadakan pertemuan perdananya dengan The First World Congress of
Busines, economic and Ethics di Tokyo pada 25-28 Juli 1996. Disitu antara lain
di antara ilmu-ilmu yang sudah mapan dan memiliki ciri-ciri yang biasanya menandai
sebuah ilmu. Tentu saja masih banyak yang harus dikerjakan. Etika bisnis harus bergumul
terus untuk membuktikan dari sebagai disiplin ilmu yang dapat disegani. Dan karena
corak filosofinya (pada kenyataannya filsafat lebih banyak didorong perbedaan pendapat
disbanding ilmu-ilmu lainnya), pergumulan ini akan sangat berat. Namun demikian, etika
bisnis sudah mencapai status sebagai suatu bidang intelektual dan akademis yang pantas
diperhitungkan. Disini kami berusaha menggambarkan beberapa pertanda yang
menunjukan status itu dengan cukup meyakinka, sekaligus kami mencoba melukiskan
profil ilmiah dari etika bisnis sebagaimana tampak sekarang.
bisnis.
Sekurang-kurangnya sudah ada tiga seri buku tentang etika bisnis :
- The Ruffin Seriesin Business Ethics, New York, Oxford University
Press, sejak 1989, editor: R. Edward Freeman;
Issues in Business Ethics, Dordrecht (Belanda), Kluwer Academi
Richmond.
Sudah ada cukup banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika bisnis.
Munculnya jurnal berspesialisasi merupakan suatu gejala pentingyang
menunjukan tercapainya kematangan ilmiah bagi bidang bersangkutan.
Dalam bahasa Inggris saja sekarang sudah terrdapat paling sedikit lima
jurnal tentang etika bisnis. Tentu saja disamping itu banyak artikel tematema etika bisnis diterbitkan dalam majalah ilmiah lainnya, bisa majalah
ekonomi, manajemen, atau filsafat. Dalam lima majalah etika bisnis
berbahasa Inggris yang disebut di bawah ini, sepatutnya kita perhatikan
tahun terbitannya yang masih muda.
- Business of Professional Ethics (University of Florida,
-
Thomas Donaldson;
Di Inggris: Centre for Business and Professional Ethics,
University of Leeds, direktur: Jenifer Jackson;
disebut sebelumnya.
Di Amerika Serikat dan Eropa Barat disediakan beberapa program
study tingkat S-2 dan S-3, khusus dibidang etika bisnis. Salah satu
contohnya adalah program the Master of Arts in Business Policy and
memilih kegiatan bisnis sebagai profesi tetap. Bisnis sebagai pekerjaan tidak dinilai dari
kurang dari profesi lain, terutama kalau menghasilkan pendapan yang tinggi.
Jika kita mempelajari sejarah, dan khususnya sejarah dunia Barat, sikap positif
ini tidak selamanya menandai pandangan terhadap bisnis. Sebaliknya, berabad-abad
lamanya terdapat tendensi cukup kuat yang memandang bisnis atau perdagangan sebagai
kegiatan yang tidak pantas bagi manusi beradab. Pedagang tidak mempunyai nama baik
dalam masyarakat Barat dimasa lampau. Orang seperti pedagang jelas dicurigakan
kualitas etisnya. Sikpa negative terhadap bisnis ini berlangsung terus sampai zaman
modern dan baru menghilang seluruhnya sekitar waktu industrialisasi.
Dibawah ini beberapa unsur yang memperlihatkan bahwa pandangan etis tentang
perdagangan dan bisnis berkaitan erat dengan factor sejarah dan budaya.
1. Kebudayaan Yunani Kuno
Masyarakat yunani kuno pada umumnya berprasangka terhadap kegiatandagang
dan kekayaan. Warga Negara yang bebas seharunya mencurahkan perhatian dan
waktunya untuk kesenian dan ilmu pengetahuan (filsafat), disamping itu tentu
memberi sumbangsih kepada pengurusan Negara dan kalau keadaan mendesak
terut membela Negara. Perdagangan sebaiknya diserahkan kepada orang asing
atau pendatang. Pandangan negative ini juga dikemukakan oleh filsafat yunani
kuno. Pada filsuf Plato (427-347 SM) hal itu tampak dengan jelas dalam karya
terakhirnya yang berjudul Undang-undang. Disini di gambarkan bagaimana
sebaiknya perundang-undangan dalam Negara yang dianggap ideal. Letaknya
Negara ideal itu seharusnya cukup jauh dari pantai laut, paling sedikit 80 stadia
(kira-kira 14,5 Km). maksudnya tentu supaya tidak menjadi pusat perdagangan
dan pusat maritime. Laut adalah seorang kawan keseharian yang cukup
menyenangkan, namun memiliki juga ciri yang payau dan pahit. Dekatnya laut
menyebabkan jalanan dibanjiri dengan pedagang dan pemilik took dan
menanamkan dalam jiwa orang kebiasaan seperti ketidak setiaan dan penipuan,
sehingga Negara menjadi tidak setia dan kurang ramah baik terhadap warganya
maupun terhadap dunia luar. Menurut Plato Negara ideal adalah negar agraris
yang sedapat mungkijn berdikari, sehingga perdagangan hamper tidak perlu.
Perdagangan mempertebal keserakahan manusia.
manusia adalah kautamaan dan bukan kekayaan duniawi. Orang yang dihantui
nafsu untuk memperoleh uang dengan cara tidak benar dan tidak merasa jijik
dengan perolehan itu, akan mendapatkan bahwa jiwanya tidak diperintah dengan
harta itu. Semua emas di atas bumi dan semua emas di bawahnya tidak dapat
mengimbangi kekurangan keutamaan.
Penolakan terhadap perdagangan dan kekayaan diberi dasar lebih teoritis oleh
Aristoteles (384-322 SM). Dalam karyanya Politica ia menilai sabagai tidak etis
setiap kegiatan menambah kekayaan. Kalau kita sepakat kalau bisnis selalu
mengandung unsur mencari keutnungan, Aristoteles menolak bisnis dalam arti
modern itu sebagai tidak etis. Ia membedakan antara oikonomike tekhne dan
khrematistike tekhne: kegiatan ekonomi dan kegiatan krematistik. Orang modern
akan mengalami kesulitan menerima perbedaan ini. Dan Aristoteles juga
mengakui bahwa banyak orang pada waktu itu pun tidak akan membedakan dua
hal itu, tetapi bagi dirinya sendriri pembedaan ini sangat hakiki.yang satu itu
dinilai etis, sedangkan yang lain ditolak karena menyalahi batas etika.
Ekonomi (oikonomia berarti: pengaturan rumah tangga; oikos: rumah, ruamh
tangga; nomos = pengaturan, aturan, hukum) adalah tukar-menukar untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Misalnya, satu rumah tangga memiliki
sepasang sepatu yang tidak dibutuhkan dan ditukar dengan barang lain.
Pertukaran ini bisa berupa barang dengan barang (barter) atau bisa dengan uang
(natural).
benar, Hermes menjadi pelindung untuk dua golongan orang itu. Tetapi rupanya
dengan itu tidak dimaksudkan suatu kualifikasi etis, yaitu bahwa pedagang dapat
disetarafkan dengan pencuri. Menurut para pakar kebudayaan yunani kuno,
Hermes adalah dewa pelindung semua orang yang memepergunakan jalan.
Pedagang dan pencuri terutama termasuk orang yang banyak berpergian dari
tempat satu ketempat lainnya dank arena itu mempergunakan jalan. Namun
demikian, bagi orang modern tetap bisa timbul keheranan, karena pedagang dan
pencuri tanpa merasa keberatan dapat disebut dalam satu tarikan nafas.
2. Agama Kristen
Dalam Kitab Suci Kristen terdapat cukup banyak teks yang bernada kritis terhdap
kekayaan dan uang, dalam perjanjian lama maupun perjanjian baru. Dalam
seluruh Alkitab, orang kaya diminta membuka hatinya untuk kaum miskin, untuk
janda dan yatim piatu, untuk merak yang sial dalam perjuangan hidup di dunia
ini. Dibderi peringatan bahwa hartawan tidak bisa kekayaannya kedalam kubur
(Mazmur 49:17-18). Orang miskin dinyatakan berbahagia dan orang kaya
dinyatakan terkutuk (Luk. 6 :20.24). Lebih mudah seekor unta masuk kedalam
lubang jarum daripada orang kaya masuk kedalam Kerajaan Surga (Mat. 19:24).
Harta benda dan kekayaan disebut Mamon yang dianggap personifikasi dari
yang jahat (Mat. 6:24; Luk. 16:9). Akar segala kejahatan adalah cinta uang
(philargyria) (1 Tim. 6:10). Karena itu umat dianjurkanm: Janganlah kamu
menjadi hamba uang dan cukuplah dirimu dengan apa yang ada padamu (Ibr.
13:15)
Dalam Alkitab itu sendiri perdagangan tidak ditolak sebagai kurang etis. Akan
tetapi, karena perdagangan merupakan salah satu jalan biasa menuju kekayaan,
dapat dimengerti juga kalau pada permulaan sejarah Gereja Kristen perdagangan
dipandang dengan syak wasangka. Dalam kalangan kristiani pada zaman kuno
dan abad pertengahan, profesi pedagang sering dinilai kurang pantas. Dan karena