Anda di halaman 1dari 15

Kapita Selekta Teori Ekonomi

PERAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)


TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
INDONESIA
Disusun Oleh :
Christian Anarga

2012110023

Christiana Dwicaesaria

2011110027

Mario Istar

2010110056

Abstrak
Dalam artikel ini dibahas tentang peran Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat

Indonesia.

Pemerintah

Indonesia

berupaya

memberikan fasilitas dan layanan kesehatan yang terbaik.


Melalui program BPJS masyarakat akan mendapatkan jaminan
sosial (kesehatan & tenaga kerja). Intervensi kebijakan
pemerintah ini adalah bentuk investasi dalam human capital
(SDM). Skema asuransi yang ditawarkan BPJS lebih murah dan
terjangkau oleh masyarakat luas. Program BPJS diharapkan
dapat meningkatkan produktivitas, memberikan kontribusi secara
signifikan terhadap perekonomian melalui kenaikan pendapatan
(GDP), yang diharapkan dapat berpotensi menghasilkan
ketahanan kesehatan tenaga kerja yang berkelanjutan, dan dapat
menigkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Keywords: jaminan sosial, investasi SDM, asuransi


kesehatan, produktifitas

1. Pendahuluan
Pemerintah Indonesia telah menyadari bahwa pentingnya investasi kesehatan dalam
pembangunan ekonomi. Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak
dasar rakyat, yaitu hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pelayanan kesehatan.
Pembangunan kesehatan juga harus dipandang sebagai suatu investasi dalam kaitannya untuk
mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi, serta memiliki
peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Bentuk investasi di bidang kesehatan ini
dapat berupa pembangunan infrastruktur rumah sakit di daerah daerah yang masih belum
1

mendapat fasilitas kesehatan dengan baik, puskesmas, dan peningkatan instalasi kesehatan.
Pada kali ini pemerintah mengeluarkan investasi kesehatan dalam bentuk program Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas


kesehatan masyarakat di Indonesia. Rendahnya tingkat kesehatan dan pelayanan kesehatan di
Indonesia menjadi salah satu penghambat pertumbuhan dan produktivitas negara. Adapun masalah
kesehatan yang dihadapi dewasa ini, seperti, rendahnya kualitas kesehatan penduduk miskin, masih
rendahnya kualitas, kuantitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, merupakan
tantangan tantangan nyata yang dihadapi selama era otonomi daerah. Selain itu, pelayanan
kesehatan juga dihadapkan pada rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, serta masalah pendanaan
kesehatan. Meskipun secara naisonal kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi
disparitas status kesehtan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan
perdesaan masih cukup tinggi. Disparitas kesehatan ini dilihat dari angka kematian bayi yang lebih
tinggi di daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat
pendidikan rendah.
Faktor utama penyebab rendahnya kualitas kesehatan dan tingginya angka kematian bayi di
Indonesia sebenarnya adalah kinerja pelayanan kesehatan yang masih rendah dan tidak merata. Hal
ini, sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi yang dapat terjangkau dan sederhana, oleh karena itu
kinerja pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan kualitas
kesehatan penduduk. Pada saat ini masyarakat sering dikeluhkan dengan rendahnya kualitas,
pemerataan, keterjangkauan pelayanan kesehatan, serta terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi
yang tidak merata. Pada tahun 2002, rata-rata setiap 100.000 penduduk baru dapat dilayani dilayani
oleh 3-5 Puskesmas. Selain jumlahnya yang kurang, kualitas, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan di Puskesmas masih menjadi kendala. Pada tahun 2003 terdapat 1.179 Rumah
Sakit (RS), terdiri dari 598 RS milik pemerintah, dan 581 RS milik swasta. Jumlah seluruh tempat
tidur (TT) di RS sebanyak 127.217 TT. Dengan demikian rata-rata 61 TT melayani 100.000
penduduk. Walaupun rumah sakit terdapat di hampir semua kabupaten/kota, namun kualitas
pelayanan sebagian besar RS pada umumnya masih dibawah standar. Pelayanan kesehatan masih
belum memenuhi harapan masyarakat. Masyarakat merasa kurang puas dengan mutu pelayanan
rumah sakit dan puskesmas, karena lambatnya pelayanan, kesulitan administrasi dan lamanya waktu
tunggu.
Buruknya mutu pelayanan dan kualitas kesehatan di Indonesia jika terus berlanjut dan tidak
segera diatasi akan berakibat pada sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Kualitas SDM yang
rendah akan menghasilkan output yang kecil, tenaga kerja yang tidak produktif, dan akan berdampak
pada terhambatnya kinerja perekonomian. Menurut kami hal ini akan menjadi masalah yang penting
untuk dibahas dan diteliti serta butuh perhatian lebih dari Pemerintah Indonesia. Untuk memperbaiki
2

mutu pelayanan kesehatan di Indonesia, pemerintah mengambil kebijakan yaitu dengan meluncurkan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) per 1 Januari 2014. BPJS diharapkan dapat memberikan
perlindungan kepada masyarakat luas melalui skema asuransi kesehatan dengan harga premi yang
terjangkau oleh publik. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa besar peran
pelayanan kesehatan melalui BPJS terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kontribusinya
terhadap perekonomian Indonesia.

2. Tinjauan Pustaka
Teori yang digunakan untuk mengkaji peran BPJS adalah teori produksi. Salah satu bentuk
investasi sumber daya manusia tidak hanya melalui pendidikan namun juga dapat melalui kesehatan.
Kesehatan adalah salah satu faktor utama agar manusia dapat bekerja dan beraktifitas. Manusia yang
sehat tentunya akan dapat bekerja lebih baik dan lebih produktif. Dalam artikelnya Howitt (2005)
berpendapat bahwa ada korelasi antara kesehatan, sumber daya manusia, dan pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara berkembang berjuang keras untuk dapat keluar dari jurang kemiskinan, sedangkan
negara maju menikmati kekayaan dan kesejahteraan ekonomi. Kondisi kesehatan masyarakat di suatu
negara akan mempengaruhi pendapatan per kapita negara tersebut (Barro dan Barro, 1996). Usaha
pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik adalah upaya untuk
meningkatkan produktifitas tenaga kerja. Teori investasi tenaga kerja dapat dilihat dalam fungsi
produksi dibawah ini:

Q = f(K, L, H (e, h))


Q adalah fungsi dari K (kapital), L (land), dan H (human capital). Tenaga kerja dipengaruhi
oleh pendidikan (education) dan kesehatan (health). Investasi dibidang kesehatan akan dapat
meningkatkan produktifitas tenaga kerja sehingga output yang dihasilkan akan lebih banyak.
Kontribusi human capital terhadap pertumbuhan ekonomi dan Gross Domestic Product (GDP) dapat
dilihat pada diagram dibawah ini:

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi GDP


Dalam teori tenaga kerja dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
tingkat pendapatan yang didapat orang tersebut akan semakin besar dan kesejahteraan akan lebih baik.
Pendidikan dapat ditempuh melalui pendidikan formal maupun pelatihan atau kursus yang didapat
dari tempat bekerja. Pada teori investasi tenaga kerja, kondisi kesehatan tenaga kerja yang fit dapat
meningkatkan produktifitas dan output orang tersebut. Kondisi tersebut dapat dijelaskan melalui
diagram di bawah ini:

Gambar 2. Grafik pengaruh human capital terhadap output

Selanjutnya teori risiko dan ketidakpastian juga digunakan sebagai pendeketan


ekonomi mikro dalam menjelaskan peserta yang mengikuti program BPJS. Kita sering
dihadapkan pada berbagai alternatif yang bersifat tidak pasti dan penuh risiko. Pada kali ini
masalah kesehatan menjadi suatu risiko yang bersifat tidak pasti, dan bahkan menjadi
persoalan masyarakat dalam sehari hari. Setiap orang memiliki cara yang berbeda beda
dalam mengambil sebuah keputusan dan menghadapi risiko yang mereka hadapi. Individu
yang selalu menghindari risiko meskipun risiko tersebut adil disebut risk-averse, sedangkan
individu yang menyukai tantangan yang terkandung dalam risiko dsebut risk-lovers. Para
peserta BPJS termasuk kedalam orang yang yang tidak menyukai risiko ataupun menghindari
ketidakpastian dalam kehidupannya, maka para peserta BPJS termasuk kedalam risk-averse.
Kesehatan pada saat ini merupakan barang langka bagi sebagian besar orang pada
tingkat risiko tertentu. Sehingga saat ini keinginan masyarakat untuk memperkecil risiko ini
telah memunculkan sebuah pasar khusus, yaitu asuransi. Program BPJS ini sama dengan
sistem asuransi, dimana para peserta BPJS akan membayar premi yang mereka pilih sesuai
dengan kemampuan masing masing secara periodik untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Kerugian yang diderita seseorang akan ditanggung secara kolektif oleh masyarakat
pemakai jasa BPJS tanpa menjadikan orang menjadi lebih kaya. Dengan adanya progam BPJS
ini diharapkan masyarakat Indonesia dapat menimimalisir biaya yang akan dikeluarkannya
pada saat menghadapi berbagai musibah (mis : biaya rumah sakit, keselamatan kerja , dan
jaminan hari tua). Risiko tidak mungkin dihilangkan , namun setidaknya dengan melakukan
investasi kesehatan dalam progam BPJS dengan cermat dan perhitungan matang maka risiko
bisa dihindari dan beban akan risiko tersebut menjadi berkurang.

3. Metode dan Objek Penelitian


Metode yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah metode descriptive analysis. Metode
ini merupakan salah satu cara analisis yang berusaha mengubah kumpulan data mentah menjadi
bentuk atau gambaran yang mudah dimengerti/dipahami dalam bentuk informasi yang lebih ringkas.
Metode ini dapat menganalisis prosedur, proses dan tahapan dalam peringkasan hasil-hasil
pengamatan secara kuantitatif. Fungsi descriptive analysis ini adalah untuk memberikan gambaran
umum mengenai data yang diperoleh. Gambaran umum ini bisa menjadi acuan untuk melihat
karakteristik data yang kita peroleh. Kami menggunakan metode descriptive analysis karena
keterbatasan waktu dalam melakukan penelitian ini.
Obyek penelitian kami adalah seluruh masyarakat Indonesia di 34 provinsi yang penjadi
peserta program BPJS. Karena BPJS baru diresmikan awal tahun 2014, belum ada data yang tersedia
untuk dianalisis namun berdasarkan laporan WHO-SEAR (2002) bahwa program pemerintah dalam

meningkatkan layanan kesehatan di negara berkembang dapat menekan angka kematian di bawah usia
60 tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1, berikut ini:

Tabel 1. Angka Kematian Dibawah Usia 60 Tahun, Dibandingkan Ada Tidaknya Intervensi,
Tahun 19982020

1998

2010

2020

Tahun
Dasar

Tanpa
Intervensi

Dengan
Intervensi

Tanpa
Intervensi

Dengan
Intervensi

Grup 1

13,956,996

13,255,530

5,155,625

12,671,000

4,593,479

Infeksi dan
kurang gizi
Gangguan
Kesehatan Ibu
Infeksi Saluran
Nafas
Gangguan

9,073,059

8,903,935

2,849,259

8,763,000

2,804,160

491,185

360,720

203,645

252,000

87,400

2,101,802

2,175,873

718,038

2,080,000

686,400

2,101,802

1,815,001

1,384,682

1,576,000

1,015,519

Kesehatan
Perinatal
Sumber: WHO-SEAR, 2002

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Kesehatan dan Pembangunan
Pada tingat mikro khususnya pada tingkat individual dan keluarga, kesehatan adalah dasar
bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk melakukan kegiatan sehari hari. Tenaga kerja yang
sehat secara fisik, jasmani, dan mental akan lebih enerjik dan kuat, lebih produktif, dan mendapatkan
penghasilan yang tinggi. Keadaan ini terutama terjadi di negara negara sedang berkembang dimana
proporsi terbesar dari angkatan kerja masih bekerja secara manual. Di Indonesia sebagai contoh,
tenaga kerja yang rentan terhadap penyakit mengakibatkan tingkat kerja seseorang menjadi menurun,
menurunnya tingkat kerja dapat menurunkan presentase kehadiran kerja seseorang yang akan
berdampak kepada upah atau gaji dari seseorang menjadi menurun. Selanjutnya, anak yang sehat
memiliki kemampuan belajar yang lebih baik dan akan tumbuh menjadi dewasa yang lebih baik dan
akan tumbuh menjadi dewasa yang terdidik. Dalam keluarga yang sehat, pendidikan anak cenderung
tidak terputus jika dibandingkan dengan keluarga yang tidak sehat (Atmawikarta, 2009).

Bukti-bukti makroekonomi menjelaskan bahwa negara-negara dengan kondisi kesehatan dan


pendidikan yang rendah, mengahadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan
berkelanjutan jika dibandingkan dengan negara yang lebih baik keadaan kesehatan dan
pendidikannya. Pada Tabel 2 dibawah ini ditunjukkan tingkat pertumbuhan dari beberapa negara
sedang berkembang pada periode 1965-1994. Pengelompokan negara-negara tersebut didasarkan atas
tingkat pendapatan dan angka kematian bayi (sebagai proksi dari seluruh keadaan penyakit pada tahun
1965). Tabel tersebut menjelaskan di negara-negara dengan tingkat angka kematian bayi yang rendah
menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode tertentu.
Tabel 2. Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita, 1965-1994
(Didasarkan atas Pendapatan dan Angka Kematian Bayi,1965)

Angka Kematian Bayi (AKB),1965

AKB<

AKB 50-100

AKB 100-150

AKB > 150

50
Tahun Dasar Pendapatan, 1965
GDP < US$ 750

3.7

1.0

0.1

GDP US$ 750-1500

3.4

1.1

-0.7

GDP US$ 1500-3000

5.9

1.8

1.1

2.5

GDP US$ 3000-6000

2.8

1.7

0.3

GDP > US$ 6000

1.9

-0.5

Sumber: WHO-SEAR, 2002


Peningkatan kesejahteraan ekonomi sebagai akibat dari bertambah panjangnya usia sangatlah
penting. Dalam membandingkan tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat, sangatlah penting
untuk melihat angka harapan hidup, seperti halnya dengan tingkat pendapatan tahunan. Di negaranegara yang tingkat kesehatannya lebih baik, setiap individu memiliki rata-rata hidup lebih lama,
dengan demikian secara ekonomis mempunyai peluang untuk untuk memperoleh pendapatan lebih
tinggi. Keluarga yang usia harapan hidupnya lebih panjang, cenderung untuk menginvestasikan
pendapatannya di bidang pendidikan dan menabung. Dengan demikian, tabungan nasional dan
investasi akan meningkat, dan pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Peranan kesehatan diantara berbagai faktor pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan dalam
Diagram 1 dibawah ini. Dalam diagram tersebut dapat dilihat, pembangunan ekonomi disatu fihak,
merupakan fungsi dari kebijakan dan institusi (kebijakan ekonomi, pemerintahan yang baik, dan
penyediaan pelayanan publik), dan faktor masukan (sumber daya manusia, teknologi, dan modal
7

perusahaan) dilain fihak. Kesehatan mempunyai peranan ekonomi yang sangat kuat terhadap sumber
daya manusia dan modal perusahaan melalui berbagai mekanisme seperti digambarkan.
Diagram 1: Kesehatan Sebagai Masukan Untuk Pembangunan Ekonomi

Sumber: Atmawikarta (2009)


4. 2 Kesehatan dan Kemiskinan
Kesehatan yang buruk akan memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan ekonomi, hal
ini antara lain terjadi di sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Beban berat yang diakibatkan oleh
penyakit dan pengaruh gandanya terhadap produktivitas, kependudukan, dan pendidikan mempunyai
peranan dalam kinerja ekonomi yang buruk dan kronis di negara-negara Afrika. Berbagai indikator
kesehatan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah jika dibandingkan dengan negaranegara berpendapatan tinggi, memperlihatkan bahwa angka kesakitan dan kematian secara kuat
berkorelasi terbalik dengan pendapatan, seperti terlihat dalam Tabel 2 dibawah ini. Studi lain
dilakukan oleh Bank Dunia yang membagi keadaan kesehatan antara kelompok penduduk
berpenghasilan tinggi dan rendah pada negara-negara tertentu. Sebagai contoh, tingkat kematian anak
pada quantil termiskin di Bolivia dan Turki diperkirakan empat kali lebih besar dibandingkan dengan
tingkat kematian pada quantil terkaya. Dengan demikian kebijakan yang diarahkan untuk
menanggulangi penyakit malaria dan kekurangan gizi secara langsung merupakan implementasi dari
kebijakan mengurangi kemiskinan.
Komitmen global untuk meningkatkan status kesehatan secara jelas dicantumkan dalam
Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs). Tujuan pembangunan
milenium tersebut antara lain: (1) menurunkan angka kematian anak sebesar dua pertiganya pada
tahun 2015 dari keadaan tahun 1990; (2) menurunkan angka kematian ibu melahirkan sebesar tiga
perempatnya pada tahun 2015 dari keadaan 1990; dan (3) menahan peningkatan prevalensi penyakit
HIV/AIDS dan penyakit utama lainnya pada tahun 2015. Tujuan pembangunan milenium difokuskan
terhadap pengurangan kemiskinan pada umumnya dan beberapa tujuan kesehatan pada khususnya,
8

sehingga terdapat keterkaitan antara upaya keseluruhan penurunan kemiskinan dengan investasi di
bidang kesehatan.
Tabel 3. Angka Harapan Hidup Dan Tingkat Kematian, Menurut Tingkat Kemajuan
Pembangunan Negara (1995-2000)
Tingkat

Penduduk

Rata-rata

Angka

Angka

Angka

Pendapatan

Harapan

Kematian

Kematian

Tahunan

Hidup

Bayi

Juta

(US$)

(Tahun)

1000)

(Per-1000)

643

296

51

100

159

1777

538

59

80

120

2094

1200

70

35

39

573

4900

71

26

35

Pendapatan Tinggi

891

25730

78

Sub-Sahara Afrika

642

Pembangunan
Negara

Sangat

(1999)

(Per- Anak

Balita

Terbelakang
Pendapatan
Rendah
Pendapatan
Menengah-Bawah
Pendapatan
Menengah-Atas
500
51
92
Sumber: Human Development Report 2001, WHO

151

4.3 Aspek Demografi


Hal yang paling merugikan, namun kurang diperhatikan, biaya yang tinggi dari kematian bayi
dan anak dapat ditinjau dari aspek demografi. Keluarga miskin akan berusaha mengganti anaknya
yang meninggal dengan cara memiliki jumlah anak yang lebih banyak. Jika keluarga miskin
mempunyai banyak anak maka keluarga tersebut tidak akan mampu melakukan investasi yang cukup
untuk pendidikan dan kesehatan untuk setiap anaknya. Dengan demikian, tingginya beban penyakit
pada keluarga yang memiliki banyak anak akan menyebabkan rendahnya investasi untuk kesehatan
dan pendidikan untuk setiap anaknya.
Bukti empiris tentang adanya hubungan antara tingkat fertilitas dengan tingkat kematian anak
adalah sangat kuat. Negara-negara yang memiliki angka kematian bayi kurang dari 20, mempunyai
angka rata-rata tingkat fertilitas (Total Fertility Rate) sebesar 1.7 anak. Negara-negara dengan tingkat
kematian bayi diatas 100 mempunyai angka rata-rata tingkat fertilitas 6,2 anak. Pola ini menuntun
pengertian kita bahwa negara-negara yang mempunyai tingkat kematian bayi yang tinggi mempunyai
tingkat pertumbuhan penduduk tercepat di dunia dengan segala konsekwensinya.

Ketika angka kematian anak menurun, disertai dengan turunnya tingkat kesuburan, secara
keseluruhan tingkat pertumbuhan penduduk juga menurun dan rata-rata umur penduduk akan
meningkat. Ratio ketergantungan penduduk juga akan menurun. Perubahan demografi ini

akan

mendorong keseluruhan peningkatan GNP per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya
proporsi penduduk usia kerja secara langsung meningkatkan GNP per kapita.

4.4 Aspek Hukum


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun
2004 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011. Sesuai UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba. Berdasarkan UU No 24 Tahun 2011,
BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga
asuransi jaminan kesehatan PT Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan dan lembaga jaminan sosial
tenaga ketenagakerjaan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Transformasi PT Askes dan PT
Jamsostek menjadi BPJS dilakukan secara bertahap. Pada awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS
Kesehatan, selanjutnya pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
4.5 Mekanisme Jaminan Kesehatan Nasional
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah tata cara penyelenggaraan program Jaminan
Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan di Indonesia merupakan bagian dari SJSN.
Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial
yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem
asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak.

Perbedaan sistem asuransi sosial dibandingkan dengan asuransi komersial:


Asuransi Sosial
1.Kepesertaan bersifat
(untuk seluruh penduduk)
2. Non profit
3. Manfaat Komprehensif

Asuransi Komersial
wajib 1. Kepesertaan bersifat sukarela
2. Profit
3. Manfaat sesuai dengan premi
yang dibayarkan

4.6 Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan


BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi.
Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket
10

Indonesia Case Base Groups.(INA-CBGs). INA-CBGs adalah sebuah sistem pembayaran dengan
sistem paket berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Sistem ini menghitung layanan apa saja
yang akan diterima pasien berikut dengan pengobatannya sampai ia dinyatakan sembuh. Paket
layanan kesehatan yang didapat pasien merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan yang di dalamnya
mencakup jenis obat dan kelas perawatan bila harus menjalani rawat inap. Di dalam sistem ini ada
standar mutu pelayanan yang seragam bagi setiap peserta.Sistem ini diterapkan lebih dulu untuk Kartu
Jakarta Sehat (KJS).
Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau dengan
mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan Kapitasi, BPJS
Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih
berhasil guna. Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS
Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya
teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan akan membayar kepada
fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara
dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.
4.7 Sasaran BPJS
Sesuai dengan visi dari BPJS kesehatan, pada tahun 2019 seluruh masyarakat diharapkan
terdaftar dalam fasilitas jaminan sosial ini. Kementrian kesehatan menargetkan pada tahun 2014 ini
121,6 jiwa terdaftar sebagai peserta BPJS kesehatan. Menurut Sekjen Kementerian Kesehatan
Supriyantoro sampai dengan 7 Februari 2014 realisasi kepesertaan BPJS Kesehatan sudah mencapai
116.497.209 jiwa (Beritasatu, 2012). Selain itu

menurut Kepala Pusat Komunikasi Publik

Kementerian Kesehatan, Murti Utami, rumah sakit yang bekerja sama dalam program jaminan
kesehatan nasional ini sudah mencapai 641 rumah sakit milik pemerintah dan 919 rumah sakit milik
swasta. Jika ditotal dengan jumlah puskesmas, dokter umum, klinik swasta dan lainnya, jumlah
pelayan kesehatan untuk peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai 1.750.
4.8 Kendala BPJS dalam asuransi kesehatan negara
Dalam penerapannya, program BPJS mengalami beberapa kendala di lapangan. Kendalakendala tersebut adalah:
(1) masalah pengadaan obat obatan. Sebelum BPJS kesehatan diberlakukan, pasien diberikan obat
untuk jangka waktu 30 hari. Namun setelah BPJS kesehatan diberlakukan, pasien hanya diberikan
obat dalam jangka waktu 7 hari. Bagi pasien yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Bandung
maupun Surabaya, masalah pengadaan obat dalam waktu 7 hari, tidak ada masalah karena transportasi
cukup mudah. Ketika obat habis, mereka langsung bisa pergi ke puskemas. Bagi pasien yang tinggal
11

di daerah pelosok, cukup sulit bagi mereka untuk menjangkau puskemas karena jauh.
(2) masih banyak rumah sakit swasta yang belum bergabung pada BPJS kesehatan. Kurangnya
sosialisasi menjadi penyebab utama belum bergabungnya rumah sakit swasta menjadi jejaring BPJS
kesehatan. Sosialisasi ke rumah sakit swasta hendaknya dilakukan oleh daerah bersama dengan
ormas.
(3) banyak pasien yang ditolak rumah sakit. Rumah sakit pemerintah seharusnya bertanggung jawab
atas keselamatan pasien karena untuk saat ini rumah sakit pemerintah menjadi prioritas utama.

5. Analisis Kajian
5.1 Analisis dari Kajian EMK
BPJS kesehatan merupakan fasilitas jaminan sosial yang disediakan oleh pemerintah pusat
untuk seluruh masyarakat Indonesia. Sumber pendanaan BPJS pun berasal dari pemerintah pusat,
yaitu dari APBN. Kementerian Kesehatan dalam APBN tahun 2014 ditetapkan mendapat alokasi
anggaran sebesar Rp46.459,0 miliar. Jumlah ini lebih tinggi Rp9.866,9 miliar atau 27,0 persen bila
dibandingkan dengan pagu APBNP tahun 2013 sebesar Rp36.592,2 miliar. Alokasi tersebut akan
dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pembinaan upaya
kesehatan; (2) program pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan
(PPSDMK); (3) program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak; (4) program pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan; dan (5) program kefarmasian dan alat kesehatan.
Pemerintah juga mengalokasikan anggaran bidang kesehatan dalam rangka pelaksanaan SJSN
kesehatan sebesar Rp19.932,5 miliar diperuntukkan bagi kelompok penerima bantuan iuran (PBI)
untuk pembayaran premi sebesar Rp19.225 per orang per bulan untuk 86,4 juta jiwa selama 12 bulan.
Alokasi anggaran tersebut merupakan bagian dari anggaran Kementerian Kesehatan dalam APBN
tahun 2014.
Alokasi anggaran pada fungsi kesehatan dalam APBN tahun 2014 sebesar Rp13,1 triliun,
menunjukkan penurunan sebesar 25,2 persen jika dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN
tahun 2013 sebesar Rp17,5 triliun. Anggaran fungsi kesehatan tersebut, antara lain terdiri atas alokasi
untuk: (1) subfungsi obat dan perbekalan kesehatan sebesar Rp2,6 triliun (19,7 persen terhadap fungsi
kesehatan); (2) subfungsi pelayanan kesehatan perorangan sebesar Rp5,2 triliun (39,9 persen); (3)
subfungsi pelayanan kesehatan masyarakat sebesar Rp1,7 triliun (12,9 persen); (4) subfungsi
kependudukan dan keluarga berencana sebesar Rp2,9 triliun (23,8 persen); (5) subfungsi Litbang
12

kesehatan sebesar Rp427,1 miliar (3,3 persen); dan (6) subfungsi kesehatan lainnya sebesar Rp282,0
miliar (2,2 persen).
Gambar 2. sumber pendapatan BPJS

Sumber: www.bpjs-kesehatan.go.id

5.2 Analisis dari Kajian EKL


Adalah kewajiban utama dari pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang terbaik untuk warganya. BPJS adalah program pemerintah untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan agar SDM Indonesia lebih baik. Selama ini layanan
kesehatan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas dan masyarakat di perkotaan.
BPJS diharapkan dapat menjangkau seluruh lapisan sosial masyarakat dan seluruh masyarakat di
pelosok daerah agar dapat terlindungi oleh asuransi kesehatan dan dapat mendapatkan fasilitas
kesehatan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi ketimpangan regional dalam hal pengadaan
pelayanan kesehatan.

6. Simpulan
Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk memberikan pelayanan perlindungan kesehatan bagi
seluruh warga Indonesia patut diapresiasi dan didukung. BPJS adalah kelanjutan dari Askes dan
Jamsostek dengan program-program yang lebih baik dan terjangkau. Secara teori peningkatan fasilitas
dan pelayanan kesehatan adalah bentuk dari investasi di bidang tenaga kerja. Laporan WHO (2002) di
13

negara berkembang menunjukan bahwa kebijakan intervensi pemerintah pada bidang kesehatan dapat
menurunkan angka kematian di bawah usia 60 tahun. Tingkat harapan hidup meningkat, angka
kematian bayi menurun, dan GDP bertambah. Laporan dari Voice of America pada bulan April 2014
bahwa di Bandung, Jawa Barat, animo penduduk terhadap program asuransi kesehatan yang
ditawarkan BPJS sangat tinggi. Partisipasi serta sambutan masyarakat yang tinggi ini menjadi bukti
bahwa BPJS berpotensi untuk mewujudkan ketahanan kesehatan SDM Indonesia yang berkelanjutan
dalam jangka panjang (long term) Bila semua penduduk sudah memiliki asuransi kesehatan dan
asuransi tenaga kerja BPJS maka mereka diharapkan akan bekerja lebih giat dan produktif karena
tidak perlu khawatir kalu jatuh sakit karena sudah mendapatkan jaminan kesehatan. Tentunya hal ini
akan sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian Indonesia dan akan meningkatkan
pendapatan (GDP) yang lebih besar dan akan meningkatkan kesejahteraan sosial (social welfare)
masyarakat Indonesia.

7. Daftar Pustaka
Atmawikarta, A. (2009). Investasi Kesehatan Dalam Pembangunan Ekonomi. BAPPENAS
Barro, Robert J., & Barro. J. R.(1996). Three Models of Health and Economic Growth. Preliminary
Draft.
BPJS Kesehatan. (2013, 17 Desember). Iuran. Diunduh dari http://www.bpjs-kesehatan.go.id/statis14-iuran.html.
BPJS Kesehatan. (2014, 3 April). Sumber dana banyak, BPJS sangat sehat. Diunduh 24 April 2014
dari http://www.bpjs-kesehatan.go.id/berita-131-sumber-dana-banyak-bpjs-sangat-sehat.html.
Howitt, P. (2005). Health, Human Capital and Economic Growth: A Schumpeterian Perspective.
Brown University, Rhode Island
Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi. (2009,12 Oktober). Diunduh pada 24 April 2014
dari

http://

http://www.bappenas.go.id/data-dan-informasi-utama/makalah/artikel-majalah-

perencanaan/edisi-30-tahun-2003/investasi-kesehatan-untuk-pembangunan-ekonomi---oleharum-atmawikarta/.html.
Jamkesmas, Awal Program BPJS. Diunduh pada 26 April 2014 dari http://www.kpmakugm.org/news/208-jamkesmas,-awal-program-dari-bpjs.html
Kementerian Kesehatan. (2012). Buku pegangan sosialisasi jaminan kesehatan nasional (JKN) dalam
sistem jaminan sosial nasional.

14

Kuwado, F.J. (2013, 29 Mei). Ramai-ramai KJS, apasih INA-CBGs itu. Diunduh 24 April 2014 dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/05/29/06475541/Ramairamai.KJS..Apa.Sih.INAC
BGs.Itu.
Kemkes optimistis realisasi peserta JKN rampung pada Februari. (2014, 13 Februari). Diunduh pada
24 April 2014 dari http://www.beritasatu.com/kesehatan/165973-kemkes-optimistis-realisasipeserta-jkn-rampung-pada-februari.html.
Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Layanan Kesehatan Yang Lebih Berkualitas. (2004, 12
Desember).

Diunduh

pada

26

April

2014

dari

http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/8108/1653/.
Wulan Teja, R. (2014). BJPS Kesehatan Diserbu Calon Peserta di Bandung. Voice of America.
Diunduh pada 25 April 2014 dari http://www.voaindonesia.com/content/bpjs-kesehatan-

diserbu-calon-peserta-di-bandung/1825531.html
WHO Regional Office For South-East ASIA( 2002): Regional Conference of Parliamentarians on the
Report of the Commission on Macroeconomics and Health :Health and Development
Regional Initiatives, Bangkok, Thailand 15 17 December 2002.
WHO Regional Office For South-East ASIA( 2002): Regional Conference of Parliamentarians on the
Report of the Commission on Macroeconomics and Health: Selecting Interventions For
Better Health Outcomes, Bangkok, Thailand 15 17 December 2002.
WHO Regional Office For South-East ASIA( 2002): Regional Conference of Parliamentarians on the
Report of the Commission on Macroeconomics and Health: What needs to be done:
Resources to do the needful Bangkok, Thailand 15 17 December 2002.

15

Anda mungkin juga menyukai