Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi-infeksi pada sistem saraf pusat menimbulkan masalah medis yang


serius dan membutuhkan pengenalan dan penanganan segera untuk memperkecil
gejala sisa neurologis yang serius dan memastikan kelangsungan hidup pasien.
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme seperti bakteri,virus,parasit,fungus dan riketsia. Terdapat 2 jenis
ensefalitis yaitu, ensefalitis primer atau yang disebut ensefalitis virus akut yang
disebabkan oleh infeksi virus secara langsung pada medulla spinalis dan otak.
Infeksi yang terjadi berupa infeksi lokal, hanya pada area tertentu atau tersebar
diberbagai tempat. Yang kedua disebut ensefalitis sekunder atau yang disebut
ensefalitis post-infeksi, merupakan komplikasi dari infeksi virus yang telah terjadi
yang merupakan akbat dari reaksi imun tubuh atau infeksi virus terdahulu yang
biasa disebut sebagai acute disseminated encephalitis. Penyakit ini muncul pada
2-3 minggu setelah infeksi virus yang sebenarnya. 1
Beberapa jenis virus yang dapat menginfeksi susunan saraf pusat (SSP)
manusia, diantaranya HIV (HIV-1 dan HIV-2), Herpes simplek virus (HSV-1 dan
HSV-2), Cytomegalovirus (CMV), Varicella Zooster Virus (VZV), dan Dengue
Virus. Ensefalitis herpes simplek (EHS) sendiri disebabkan oleh Herpes simplek
virus baik HSV-1 maupun HSV-2 yang masih merupakan salah satu penyebab
utama infeksi viral SSP di dunia. HSV cenderung menempati bagian medial lobus
temporal, merusak neuron, sel glia, mielin, dan pembuluh darah. Dapat
menimbulkan gejala dan gambaran EEG khas.2
Angka kematian akibat penyakit ini mencapai 70% dan hanya 2,5% pasien
kembali normal bila tidak diobati. Encefalitis herpes simplek mendapat perhatian
khusus karena dapat diobati, keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes simplek
sendiri tergantung pada diagnosis dini dan waktu memulai pengobatan. Virus
herpes simpleks tipe 1 umumnya ditemukan pada anak, sedangkan tipe 2 banyak
ditemukan pada neonatus.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Ensefalitis Herpes simplek adalah penyakit infeksi yang menyerang

susunan saraf pusat terutama bagian medial lobus temporalis dan bagian inferior
lobus frontalis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks yaitu: HSV1 &
HSV-2.4
2.2

Epidemiologi
EHS adalah penyebab paling umum dari ensefalitis sporadis di negara-

negara barat, Diperkirakan insidennya pada populasi umum adalah 1-4 kasus per
juta penduduk pertahunnya. Ensefalitis herpes simplek (EHS), terjadi pada kurang
lebih 10 % dari semua kasus ensefalitis, dengan frekuensi sebanyak 2 kasus tiap
tahunnya. Lebih dari sebagian kasus yang tidak diterapi dapat berakibat fatal.
Sekitar 30% kasus merupakan akibat dari infeksi sebelumnya dan kebaanyakan
kasus karena reaktivasi dari infeksi sebelumnya, dengan angka kematian
mencapai 70% .3,5
Di Amerika Serikat, HSE merupakan penyebab 10% kasus-kasus
ensefalitis dan merupakan penyebab tersering dari kasus ensefalitis fatal yang
timbul secara sporadik dan diperkirakan mencapai 1 dari 250.000500.000
penderita per tahun. Angka kematian tanpa pengobatan berkisar 70% dan hanya
2,5% pasien kembali normal bila tidak diobati, sedangkan pada kasus dengan
terapi, angka kematiannya mencapai 19% dan >50% penderita yang bertahan
hidup mengalami defisit neurologi sedang hingga berat.6
Klinis EHS termasuk anak-anak dan orang dewasa menggambarkan
distribusi usia dengan kira-kira sepertiga dari kasus ditemukan pada populasi
anak (terutama antara 6 bulan dan 3 tahun) dan setengahnya pasien usia lebih dari
50 tahun. EHS terjadi pada setiap saat tahun dan tidak ada predominan musiman.
Setelah periode neonatal, EHS disebabkan oleh HSV tipe 1, meskipun HSV tipe 2
mungkin jarang terjadi Studi EHS dilakukan pada populasi umum menunjukkan
distribusi yang sama antara laki- laki dan perempuan. Pada

lima penelitian

ditemukan lebih dari 20 anak dengan terbukti EHS, lebih tinggi proporsi anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan.7

2.3

Etiologi
HSE disebabkan oleh HSV, double-stranded DNA virus. HSV-1 dan HSV-

2 keduanya anggota herpesvirus manusia yang lebih besar (HHV) famili, yang
juga termasuk virus varicella-zoster (VZV, atau HHV-3) dan sitomegalovirus
(CMV, atau HHV-5). HSV-1, atau HHV-1, adalah penyebab yang lebih umum dari
ensefalitis dewasa; ia bertanggung jawab untuk hampir semua kasus pada orang
yang lebih tua dari 3 bulan. HSV-2, atau HHV-2, bertanggung jawab untuk
sejumlah kecil kasus, terutama pada pasien immunocompromis.
HSV-1 menyebabkan lesi oral, penyakit ini adalah umum dan berespon
dengan obat antivirus meskipun dapat remisi secara spontan dalam kebanyakan
kasus,. HSV-2 menyebabkan lesi genital. HSV-2 dapat diobati dengan obat
antivirus.Pada orang dewasa, respon imun, dikombinasikan dengan faktor virus,
menentukan derajat invasi dan virulensi. Derajat invasi HSV-1 varian glikoprotein
dikendalikan oleh respon host. Status sosial ekonomi dan geografi dapat
mempengaruhi tingkat seropositif virus. Namun, korelasi klinis sulit, karena EHS
dapat terjadi setiap saat, terlepas dari status sosial ekonomi pasien, usia, ras, atau
jenis kelamin.Pada anak-anak, ensefalitis sering merupakan infeksi primer dari
HSV. Sekitar 80% anak dengan EHS tidak memiliki riwayat herpes labialis.
Pada beberapa studi melaporkan kasus EHS sebagai komplikasi dari
kemoterapi untuk kanker payudara.Pada neonatal herpes Simpleks ensefalitis
patogen yang dominan adalah HSV-2 (75% kasus), yang biasanya diperoleh dari
ibu selama persalinan. Seorang ibu yang sudah terinfeksi sebelumnya, tetapi
berulang hasil infeksi genital herpes beresiko 8% teriinfeksi dengan gejala,
biasanya ditularkan pada tahap kedua persalinan melalui kontak langsung. Jika ibu
mendapatkan herpes kelamin selama kehamilan, risiko meningkat menjadi 40%.
Tidak adanya riwayat ibu herpes kelamin sebelumnya tidak menghilangkan risiko;
pada 80% kasus EHS neonatal, ibu tidak memiliki riwayat infeksi HSV
sebelumnya. Pecahnya selaput ketuban yang lama (> 6 jam) dan pemantauan
intrauterin (misalnya, pemasangan elektroda pada kulit kepala) merupakan faktor

risiko. Pada sekitar 10% dari kasus, HSV (sering tipe 1) diperoleh post partum
melalui kontak dengan individu yang menularkan HSV dari vesikel, infeksi jari,
atau lesi kulit lainnya.8

2.4

Patogenesis

Gambar 1 Struktur Virus Herpes Simplek 9


Virus herpes simpleks tipe 1 dan 2 merupakan bagian dari famili virus
yang dapat menyebabkan herpes pada manusia. Virus ini berukuran ukuran besar,
berkapsul, dengan selaput nukleus icosahedral, mengandung 162 kapsomer
dengan inti asam deoksiribonukleat (DNA). Genom virus terdiri atas dua
komponen untuk berikatan yaitu komponen L (panjang) dan S (pendek). Masing
masing komponen dapat berikatan satu sama lain membentuk empat isomer.
Setiap VHS mengandung salah satu dari keempat isomer tersebut dan masing
masing isomer tersebut memiliki virulensi yang sama terhadap sel penjamu.
Asam deoksiribonukleat VHS tipe 1 dan 2 umumnya kolinear dan genom
genom kedua virus ini adalah homolog, sehingga dapat terjadi reaksi silang antara
glikoprotein VHS tipe 1 dan 2, meskipun masing masing virus memiliki antigen
tersendiri. Glikoprotein-glikoprotein pada permukaan VHS sebagai perantara

melekatnya VHS dan penetrasinya ke dalam sel penjamu sehingga menrangsang


respon imun. Sebelas glikoprotein telah diidentifikasi (gB, gC, gD, gE, gG, gH,
gI,gJ, gK, gL, and gM), dan diduga gN sebagai yang ke-duabelas. Spesifisitas
antigen virus yang ditentukan oleh gG yang menentukan perbedaan respon
antibodi terhadap infeksi VHS tipe 1 dan 2.10
Patogenesis EHS pada manusia kurang dipahami. Neuron dengan cepat
kewalahan dengan proses litik dan hemoragik yang didistribusikan dalam mode
asimetris seluruh lobus temporal medial dan inferior frontal. Wasay dkk
melaporkan keterlibatan lobus temporal dalam 60% pasien, lima puluh lima
persen pasien menunjukkan patologi pada temporal dan extratemporal, dan 15%
dari pasien menunjukkan patologi extratemporal secara eksklusif. Keterlibatan
basal ganglia, serebelum, dan batang otak jarang terjadi. Mekanisme yang tepat
dari kerusakan sel tidak jelas, tetapi mungkin melibatkan baik proses langsung
yang dimediasi virus dan proses tidak langsung yang dimediasi proses kekebalan.
Kemampuan HSV-1 untuk menginduksi apoptosis dalam sel saraf, sebuah properti
yang tidak dimiliki oleh HSV-2, mungkin menjelaskan mengapa virus ini menjadi
penyebab hampir semua kasus ensefalitis herpes simpleks pada anak yang lebih
tua dan orang dewasa yang imunokompeten.
Sebuah deskripsi yang jelas dari kerusakan jaringan temporal diberikan
dalam studi otopsi immunohistologic pasien yang meninggal karena EHS selama
periode hari sampai minggu di era sebelum asiklovir: Kesan dari penyebaran yang
cepat infeksi virus dalam struktur limbik, mungkin dimulai di salah satu sisi otak
dan menyebar di dalamnya dan pada sisi lain, berlangsung sekitar 3 minggu dan
meninggalkan di belakangnya suatu jejak nekrosis yang sangat parah dan radang
pada bagian otak yang terinfeksi.Infeksi otak diduga terjadi dengan cara transmisi
saraf langsung virus dari situs perifer ke otak melalui saraf trigeminal atau saraf
olfaktori.11
Virus masuk melalui intranasal, HSV-1 memasuki pusat sistem saraf (SSP)
di sepanjang nervus olfaktori dan trigeminal. Rute infeksi ini menghasilkan
necrotizing ensefalitis akut melibatkan ofaktori dan sistem limbik, termasuk
bulbus olfaktori, hipothalamus,thalamus, amigdala, hipokampus, dan olfaktory
dan kortek entorhinal . Infeksi neuron dan glia menginduksi produksi sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh mikroglia dan infiltrasi makrofag, serta produksi
5

chemokines dan sitokin antivirus. Sebagai replikasi virus berlanjut, baik CD4 +dan
CD8+, limfosit T menginfiltrasi otak.12
Virus menimbulkan infeksi laten dalam populasi yang besar, dapat
diketahui bahwa mayoritas (70%) pasien EHS memiliki antibodi atas virus diluar
waktu sakit, menunjukkan bahwa bahwa telah terjadi paparan dari virus
sebelumnya (Nahmias et al,1982) penelitian oleh Itzhaki (1997-1998) dan lin et al
(2001) ,menyatakan bahwa ada preposisi genetik untuk menimbulkan gejala dan
infeksi HSV perifer dan menimbulkan HSV 1 ensephalitis. Telah lama diketahui
bahwa kerusakan yang ditimbulkan EHS paling luas pada sistem limbik, ketika
virus telah mencapai sistem limbik, akan menyebar sepanjang koneksi kolateral
dan ipsilateral .Bagaimana virus bisa sampai pada sistem limbik, diketahui bahwa
kecendrungan virus melewati sepanjang jalur neuron, oleh karena itu lokasi
kerusakan di limbik menggambarkan virus masuk ke otak melalui

jalur

olfaktori.13

2.5

Manifestasi klinik
EHS dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut dan sub akut yang

menyebabkan tanda-tanda umum dan disfungsi fokal serebral. Meskipun adanya


temuan-temuan demam, sakit kepala, perubahan perilaku, kebingungan, kelainan
neurologis fokal, dan abnormal cairan serebrospinal, tetapi tidak terdapat adanya
temuan klinis patognomonik yang membedakan EHS dari gangguan neurologis
lain dengan manifestasi serupa.
Pada fase prodromal, pasien mengalami malaise dan demam berlangsung
selama 1-7hari, malaise, sakit kepala, dan mual. EHS akut ditandai dengan demam
penurunan tingkat kesadaran, gangguan perilaku dan atau gejala neurologis fokal,
kejang atau defisit motorik, sakit kepala, muntah, fotofobia juga ditemui. Kejang
dapat berupa fokal atau umum, harus diingat bahwa kejang umum dapat diawali
dengan kejang fokal yang berkembang menjadi kejang umum. Bila kejang fokal
sangat singkat, orang tua sering tidak mengetahui.14
Gejala neurologi atipik sub akut atau bentuk ringan EHS, telah berulang
kali dilaporkan pada anak-anak. Demam biasanya dianggap sebagai gejala tetap
pada fase awal penyakit tetapi mungkin tidak ditemukan pada beberapa kasus
6

selama hari pertama. Gejala awal EHS pada anak-anak mungkin tidak spesifik
dengan gejala meningeal lainnya, manifestasinya hanya letargi atau gangguan
perilaku, kebingungan dan delirium.
Tanda dan gejala EHS neonatal mulai muncul sekitar 6-12 hari setelah
dilahirkan, di mana akan ditemukan kelesuan, makan yang buruk, iritabel, tremor,
atau kejang. Berbeda dengan pasien yang lebih tua, neonatus sering memiliki lesi
kulit herpetik. Manifestasi awal dapat ringan atau atipikal pada pasien
immunocompromised (misalnya, orang-orang dengan infeksi HIV atau mereka
yang menerima terapi steroid). Temuan yang paling sering pada pemeriksaan fisik
adalah demam dan kelainan status mental. Tanda-tanda meningeal mungkin ada,
tapi meningismus jarang ditemukan.Temuan khas pada pemeriksaan fisik meliputi
: Perubahan kesadaran (97%), demam (92%), dysphasia (76%), ataksia (40%),
kejang (38%), hemiparesis (38%), kelainan saraf kranial (32%), bidang visual loss
(14%), dan papilledema (14%).
Hubungan kausal antara lesi perifer (misalnya, herpes labialis) dan EHS
tidak ada. Selain itu, penyakit demam banyak dapat menimbulkan herpes labialis.
Oleh karena itu, ada atau tidak adanya lesi tersebut tidak menegakan maupun
menyingkirkan diagnosis.Gejala yang tidak biasa terjadi pada kedua virus herpes
simpleks tipe 1 (HSV-1) dan herpes simplex virus tipe 2 (HSV-2) adalah dapat
menghasilkan ensefalitis yang lebih subakut berupa sindrom kejiwaan yang jelas
telihat, dan meningitis jinak yang berulang. Hal yang kurang umum, HSV-1 dapat
menyebabkan ensefalitis batang otak, dan HSV-2 dapat menyebabkan suatu
myelitis. Manifestasi yang unik dari EHS pada pasien bilingual, yang
menyebabkan aphasia global untuk 1 bahasa (bahasa yang baru dipelajari) tetapi
sebagian besar kemampuan bahasa kelahirannya tetap. Para peneliti menyarankan
bahwa manifestasi yang unik (misalnya, sindrom opercular anterior), harus
waspada dokter untuk kemungkinan EHS. Keterlibatan ganglia basal pada anak
dengan HSE, menunjukkan gejala ekstrapiramidal. EHS terkait pendarahan otak
pada orang HIV-positif.
Pada penelitian 42 orang pasien dengan EHS (anak-anak dan orang
dewasa), McGrath et al. menunjukkan bahwa diagnosis primer lainnya dicurigai
setelah penilaian awal adalah lebih dari 50% dari pasien tersebut. Alasan paling
umum untuk kegagalan untuk mendiagnosa EHS adalah gejala klinik non-spesifik

awal. Jika manifestasi neurologis yang lebih spesifik tidak ditemukan pada gejala
awal (demam, defisit neurologis fokal, kejang,dll), gejala-gejala tersebut akan
muncul di hari berikutnya. Adanya laporan menjelaskan bahwa akut opercular
sindrom sebagai salah satu manifestasi neurologis awal EHS pada anak-anak.
sindrom Opercular secara klinis ditandai dengan gangguan kontrol volunter otot
facio-linguo-glosso-faring menyebabkan oro-facial palsy, disartria dan dysphagia .
Gejala gejala ini harus disadari kemungkinan dapat terjadi pada EHS anak-anak,
hal ini disebabkan frekuensi yang tinggi dari lesi ekstra-temporal otak pada
penderita.15

2.6

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction)
Pemeriksaan PCR merupakan alat diagnostik awal dan non invasif,

merupakan baku emas untuk mendiagnostik EHS dan mempunyai sensitivitas


75% serta spesifisitas 100 %. DNA HSV dapat tetap berada dalam LCS kira kira
10 hari, setelah onset neurologis . Asam deoksiribonukleat VHS di dalam CSS
dapat ditemukan positif 24 jam setelah munculnya gejala klinis hingga satu
minggu setelah dimulainya terapi. Nilai diagnostik dari deteksi DNA VHS
dikatakan menyerupai biopsi lobus temporalis. Analisis PCR CSS bersifat sensitif
dan spesifik untuk menegakkan diagnosis EHS dengan sensitivitas 94% dan
spesifisitas 98%, walaupun sudah mendapat terapi antivirus.
Hasil pemeriksaan PCR yang negatif pada CSS tidak menyingkirkan
adanya EHS. Nilai negatif palsu pada pemeriksaan PCR dapat terjadi bila
pemeriksaan dilakukan terlalu dini atau terlalu lambat, kegagalan PCR dalam
mendeteksi VHS terjadi pada 24-48 jam pertama. Hasil negatif palsu dapat juga
disebabkan oleh transpor bahan yang salah, volume CSS yang sedikit, atau adanya
hemoglobin maupun inhibitor lain dalam CSS. Bila klinis dan pemeriksaan lain
sangat mendukung diagnosis EHS, pemberian asiklovir hendaknya diteruskan,
serta diindikasikan untuk pungsi lumbal dan pemeriksaan PCR ulangan 1-3 hari
setelah pemberian terapi atau pemeriksaan biopsi otak.16

Neuroimaging
Teknik pencitraan yang digunakan Computerised tomography (CT) scan

dan Magnetic resonance Imaging (MRI). CT scan cerebral dapat normal dalam
hari-hari pertama. Gambaran yang agak khas pada CT scan dan terlihat pada 5075% kasus, berupa gambaran daerah hipodens di lobus temporal atau frontal
kadang-kadang meluas sampai ke lobus oksipital. Daerah hipodens ini disebabkan
oleh nekrosis jaringan otak dan edema otak. Lesi thalamus juga telah berulang
kali ditemukan pada anak dengan lesi parietalis atau opercular dan mungkin
terkait dengan keberadaan berbagai koneksi thalamo-kortikal. Hal

ini

menggambarkan spektrum luas dari lesi kortikal dan subkortikal pada anak-anak,
yang berbeda dari neonatus dan dewasa. Temuan ini menunjukkan bahwa rute
akses HSV ke SSP, dimana nervus olfaktori yang diyakini menjadi jalur utama
akses ke otak. MRI lebih sensitif dan memperlihatkan hasil lebih awal dibanding
kan CT scan.17

LCS dan Serologis


Konsensus AAP (American Academy of Pedi- atrics) sangat menganjurkan

pungsi lumbal pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejang demam sederhana
pertama, dan dipertim- bangkan pada anak usia 12-18 bulan dengan kejang
demam sederhana pertama.
LCS ditemukan peningkatan jumlah leukosit dengan dominasi suatu
limfosit dan konsentrasi protein meningkat. Sel darah merah biasanya ditemukan
dan mungkin mencerminkan sifat nekrotik-hemoragik lesi di otak. Analisis LCS
secara khas menunjukkan pleositosis mononuklear dengan peningkatan ringan
kadar protein sedangkan kadar glukosa normal atau menurun sedikit. Pada fase
awal penyakit, kadang-kadang jumlah sel mungkin normal; walaupun pada
pemeriksaan serial selalu dijumpai peningkatan jumlah sel dan protein. Apabila
terdapat proses perdarahan dalam parenkim otak, jumlah eritrosit selalu
meningkat dan peningkatan tersebut menetap pada semua tabung pemeriksaan.
HSV jarang didapatkan pada kultur LCS penderita EHS. 16,17
Titer antibodi terhadap HSV dapat diperiksa dalam serum dan LCS. Titer
antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi merupakan infeksi primer atau
infeksi rekuren. Pada infeksi primer antibodi didalam serum menjadi positif

setelah satu sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat
menemukan peningkatan titer antibodi dalam 2 pemeriksaan, fase akut dan
rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase konvalesen merupakan tanda
bahwa infeksi sedang aktif. 1 HSV Harus diingat bahwa peningkatan kadar
antibodi serum belum membuktikan bahwa ensefalitis disebabkan oleh VHS.
Sayang sekali kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal sering terlambat,
dan baru dapat dideteksi pada hari 10-12 setelah permulaan sakit.18

Biopsi otak
Banyak pusat penelitian tidak ingin mengerjakan prosedur ini karena

bahaya dan kurangnya fasilitas untuk isolasi virus, dan merupakan pemeriksaan
definitif. Kelemahan dari prosedur ini adalah kemungkinan ditemukannya hasil
negatif palsu karena biopsi dilakukan bukan pada tempat yang tepat.1
Pada pemeriksaan biopsi otak serta post mortem, ditemukan lesi nekrosis
hemoragik di lobus temporal inferior dan medial, dapat meluas sampai ke girus
cinguli dan terkadang sampai ke insula atau bagian lateral lobus temporalis, atau
secara kaudal ke otak tengah. Lesi area ini biasanya bitemporal, tetapi tidak
simetris. Pada fase akut ensefalitis dan nekrosis hemoragik, ditemukan inklusi
eosinofilik intranuklear di neuron dan sel glia.16

Elektroensefalografi (EEG)
EEG memiliki sensitivitas 84% dan spesifitasnya 32.5 %, Gambaran EEG

tampak, perlambatan fokal atau diffus,focal sharp wave dan spikes pada lobus
temporalis. Pada beberapa penelitian, periodic lateralised epileptiform discharges
(PLEDs) atau perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal, yaitu
gelombang tajam kompleks fokal atau unilateral dengan amplitudo besar yang
berulang dengan interval 1- 3 detik (Gambar 2). Pola tersebut biasanya tampak 215 hari setelah awitan penyakit. Dengan berkembangnya penyakit, dan adanya
keterlibatan hemisfer otak yang lain, kompleks- kompleks periodik tersebut dapat

10

menghilang pada hemisfer otak yang terkena sebelumnya dan muncul pada
hemisfer otak yang baru terkena. Bila kedua hemisfer otak terlibat, komplekskompleks periodik tersebut bisa tampak pada kedua hemisfer otak; dimana
kompleks tersebut dapat muncul secara bersamaan ataupun tersendiri pada kedua
sisi hemisfer otak.18

Gambar 2. EEG pada penderita EHS yang menunjukkan gelombang epileptogenik


periodik pada regio temporal kanan yang berulang setiap 1-2 detik.19

2.7

Diagnosis
Diagnosis dini EHS adalah sangat penting, mengingat terapinya telah

tersedia. Berbagai pendekatan diperlukan dalam diagnosis EHS mengingat


manifestasi klinis yang sangat tidak spesifik. Pada penderita dengan ensefalitis
akut, penting dibedakan defisit neurologis yang terjadi apakah fokal atau general,
bila terdapat kejang terutama kejang fokal dan gejala neurologis fokal yang lain,
sering disebabkan oleh VHS.. Analisis LCS secara khas menunjukkan pleositosis
mononuklear dengan peningkatan ringan kadar protein, sedangkan kadar glukosa
normal atau menurun sedikit. Pada fase awal penyakit, kadang-kadang jumlah sel
mungkin normal, walaupun pada pemeriksaan serial selalu dijumpai peningkatan
11

jumlah sel dan protein. Kadar glukosa dalam LCS umumnya normal, namun pada
7 % kasus kadarnya kurang dari setengah kadar gula dalam darah. Pada 3-5%
penderita bisa didapatkan hasil analisa LCS yang normal.
Adanya gambaran PLEDs atau perlambatan fokal di daerah temporal atau
frontotemporal pada EEG mendukung adanya EHS. Magnetic resonance imaging
terbukti lebih sensitif mendeteksi adanya EHS lebih awal, dimana didapatkan
gambaran peningkatan intensitas sinyal pada korteks dan substansia alba pada
lobus temporal dan lobus frontal. Identifikasi organisme dalam CSS dengan
menggunakan PCR telah dapat menggantikan biopsi otak untuk diagnosis pasti
dengan sensitivitas 94% dan spesifisitas 98%.5,16,17

2.8

2.9

Diagnosis Banding
Diagnosis banding HSE adalah :
Sindrom Aseptik Meningitis
Kejang demam
Ensefalitis
Neoplasma otak
Iskemia otak.20

Penatalaksanaan

12

Gambar 3. Skema managemen suspek EHS. 21


Pengobatan diberikan

simptomatik dan suportif, termasuk pengobatan

kejang, edema otak, peninggian tekanan intrakranial, hiperpireksia, ganguan


respirasi dan infeksi sekunder.
Asiklovir merupakan bahan anivirus yang secara selektif menghambat
replikasi virus tanpa merusak sel normal yang mengadakan kompetisi dengan
guanoside untuk DNA polimerase virus. Obat ini diekskresikan melalui ginjal dan
dosis harus diturunkan pada penderita dengan disfungsi ginjal. Direkomendasikan
pemberiannya selama 10 hingga 14 hari (dapat hingga 21 hari) secara IV dengan
dosis 10 mg/kg setiap 8 jam untuk mencegah relaps dapat dihentikan bila
pemeriksaan mengarah ke diagnostik lain. Asiklovir, sebuah nukleosida purin
sintetik analog, dalam uji in vitro, pembentukan plak virus dikurangi sebesar 50%
dengan konsentrasi obat plasma 0,02-0,2 mg / ml untuk Herpes simpleks tipe 1
dan 0,03-0,5 mg / ml untuk Herpes simpleks tipe 2.
Jika kelarutan maksimum fraksi bebas asiklovir melebihi batas, terjadi
kristal yang dapat menginduksi terjadinya nefropati. Faktor resiko timbulnya
nefropati adalah cara pemberian intravena, pemberian dalam infus secara cepat,
dehidrasi, diberikan bersama dengan pemberian obat lain yang juga bersifat
nefrotoksik, penyakit ginjal sebagai penyakit dasar dan dosis pemberian terlalu

13

tinggi. Resiko terjadi toksis dapat dihindari dengan melakukan hidrasi secara
adekuat (misalnya 1 cc cairan perhari tiap 1 mg acyclovir yang diberikan tiap
hari). Karena pH yang ditimbulkan tinggi, pemberian iv mengakibatkan flebitis
dan inflamasi lokal jika terjadi ekstravasasi. Gangguan pencernaan, nyeri kepala
dan ruam kulit sering dijumpai sebagai efek samping. Asiklovir dapat digunakan
pada ibu hamil yang mengalami infeksi berat.
Asiklovir dianggap tepat untuk infeksi serius selama kehamilan. Produsen
memperingatkan bahwa obat dapat digunakan pada kehamilan hanya ketika
manfaat lebih besar daripada potensi resiko. Pada pasien imunokompeten,
resistensi virus untuk asiklovir secara klinis tidak signifikan, dengan prevalensi
yang dilaporkan kurang dari 1%. Namun., Pada pasien immunocompromised,
angka ini meningkat menjadi 6%.22
Kasus alergi ataupun resisten asiklovir dapat diberikan vidarabin 15mg/kg
per hari selama 14 hari. Pengendalian edema serebri dengan deksametason IV
0,15 mg/kg/dosis tiap 6 jam selama 2 hari, serta mengurangi asupan cairan
menjadi 2/3 kebutuhan dalam 24 jam, dapat mengurangi kemungkinan
peningkatan tekanan intrakranial.
Tatalaksana kejang sesuai dengan algoritma kejang akut dan status
konvulsif dengan tujuan utamanya adalah mempertahankan fungsi kehidupan
(airway, breathing, circulation), identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor
[redisposisi, dan menghentikan aktivitas kejang.23

14

Gambar 4. Penatalaksanaan Kejang

2.10

Komplikasi
Kejang sering dijumpai dan beberapa penulis merekomendasikan terapi

profilaksis obat anti kejang pada penderita dengan HSE berat. Edema otak yang
terjadi kadang-kadang dapat diatasi dengan terapi steroid; walaupun penggunaan
steroid pada HSE masih bersifat kontroversi. Terapi tambahan untuk edema otak
meliputi hiperventilasi dan barbiturat. 3,6,24
ESH dapat menimbulkan komplikasi dan gejala sisa (baik fokal maupun
global) yang tidak biasa. Jika pengobatan EHS tertunda, defisit neurologis
permanen dapat berkembang pada pasien.Gejala sisa yang umum di antara korban

15

adalah defisit motorik, gangguan kejang, dan perubahan status mental. Kognitif
dan memori defisit juga sangat umum. Demikian juga kejang berulang, beberapa
pihak merekomendasikan pengobatan profilaksis dengan obat antikonvulsan pada
pasien dengan HSE berat.Selain itu, pasien dengan HSE juga mempunyai
kemungkinan komplikasi yang sama seperti pada pasien sakit serius dan
immobilisasi lain dengan tingkat kesadaran turun seperti, aspirasi, trombosis vena
dalam, dan ulkus dekubitus.25
2.11

Pencegahan
Tidak ada tindakan yang diketahui efektif untuk mencegah HSE pada

orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua. Langkah pencegahan untuk HSE
neonatal termasuk kelahiran sesar aktif pada wanita dengan infeksi genital herpes
pada saat persalinan dan perlindungan neonatus dari orang-orang dengan infeksi
herpes aktif. Beberapa otoritas merekomendasikan program terapi asiklovir pada
saat dekat waktu kelahiran pada ibu dengan riwayat herpes kelamin.24

2.12

Prognosis
Prognosis EHS yang tidak diobati sangat buruk dengan kematian 70-80%

setelah 30 hari dan meningkat menjadi 90% dalam 6 bulan, pengobatan dini
dengan asiklovir akan menurunkan mortalitas menjadi 28 %. Gejala sisa lebih
sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Sequele di antara
pasien sangat signifikan dan tergantung pada usia pasien dan status neurologis
pada saat diagnosis. Pasien yang koma saat didiagnosis memiliki prognosis buruk
tanpa memandang usia mereka. Pada pasien noncomatose, prognosisnya terkait
usia, dengan prognosis yang lebih baik pada pasien yang lebih muda dari 30
tahun. Keterlambatan pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis
buruk, demikian juga koma, pasien yang mengalami koma seringkali meningggal
atau sembuh dengan gejala sisa berat. 25

BAB III
KESIMPULAN
16

Ensefalitis Herpes simplek adalah penyakit infeksi yang menyerang


susunan saraf pusat terutama bagian medial lobus temporalis dan bagian inferior
lobus frontalis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks yaitu: HSV1 &
HSV-2. Angka kematian tanpa pengobatan berkisar 70% dan hanya 2,5% pasien
kembali normal bila tidak diobati, sedangkan pada kasus dengan terapi, angka
kematiannya mencapai 19% dan >50% penderita yang bertahan hidup mengalami
defisit neurologi sedang hingga berat. Patogenesisnya masih kurang dipahami,
namun dicurigai penyebaran melalui nervus olfaktorius dan trigeminus.
Pada fase prodromal, pasien mengalami malaise dan demam berlangsung
selama 1-7hari, malaise, sakit kepala, dan mual. EHS akut ditandai dengan demam
penurunan tingkat kesadaran, gangguan perilaku dan atau gejala neurologis fokal,
kejang atau defisit

motorik, sakit kepala, muntah, fotofobia juga ditemui.

Pemeriksaan baku emas EHS adalah dengan PCR dibantu dengan jenis
pemeriksaan lainnya. Asiklovir merupakan pengobatan utama untuk EHS dan
penanggulangan kejang dilakukan berdasarkan algoritma kejang.
Komplikasi yang sering muncul adalah defisit neurologis permanen dan
lebih banyak menimbulkan gejala sisa. Adapun pencegahan dari EHS sendiri
adalah dengan menghindari kontak pada penderita herpes aktif. Prognosis
dianggap buruk dengan pasien tanpa pengobatan, dan prognosis bergantung
terhadao usia pasien, serta keterlambatan pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

17

1. Creator, Graham. Dr. Herpes Simplex Encephalitis. 2003 . Available from :


www.encephalitis.info/Info/.../TypesEncephalitis/HSE.aspx
2. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victors Principles of Neurology. 8 th
ed. McGraw-Hill; 2005. pp. 631-40.
3. Bale JF. Viral infection of the nervous system. Dalam:Swaiman KF,
Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology principles and
practice. Edisi ke-4. Philadelphia:Mosby; 2006. H.1595-6
4. Saharso D,Erny Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Herpes Simplex
Encephalitis. Lab IKA FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo 1999; 1-2.
5. Elbers JM, Bitnun A, Richardson SE, Ford-Jones EL, Tellier R,Wald RM,
et al. A 12-year Prospective Study of Childhood Herpes Simplex
Encephalitis: is There a Broader Spectrum of Disease? Pediatrics
2007;119: 399407.
6. Kohl S. Postnatal herpes simplex virus infection. In: Feign RD, Cherry JD,
eds. Textbook of pediatric infectious diseases. Philadelphia: WB Saunders;
1992.
7. De Tie`ge X, Heron B, Lebon P, Ponsot G, Rozenberg F. Limits of Early
Diagnosis of Herpes Simplex Encephalitis in Children: a Retrospective
study of 38 Cases. Clin Infect Dis 2003;36:13359.
8. Anderson WE, 2011. Herpes Simplex Encephalitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1165183-overview#showall
9. Soedarmo SS,Garna H,Hadinegoro SR,Satari HI Penyunting. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis Anak. Edisi Pertama IDAI. 2002; 143-4
10. Skoldenberg B, Forsgren M, Alestig K, Bergstrom T, Burman L,Dahlqvist
E, et al. Acyclovir Versus Vidarabine in Herpes Simplex Encephalitis.
Randomised Multicentre Study Inconsecutive Swedish Patients. Lancet
1984;2:70711.
11. Enquist LW, Husak PJ, Banfield BW, Smith GA. Infection and Spread
of Alphaherpesviruses in The Nervous System. Adv Virus Res. 1998;51:
237347.
12. Anglen CS, Truckenmiller ME, Schell TD, Bonneau RH. The Dual Role
of CD81 T lymphocytes in The Development of Stress-Induced Herpes
Simplex Encephalitis. J Neuroimmunol. 2003;140:1327
13. Boss J and Esiri M. Viral Enchepalitis in Humans,Washington DC : ASM
Press, 2003 ; 47-48.

18

14. DeVincenzo JP, Thorne G. Mild Herpes Simplex Encephalitis Diagnosed


by Polymerase Chain Reaction: A Case Report and Review. Pediatr Infect
Dis J 1994;13:6624.
15. Garcia-Ribes A, Martinez-Gonzalez MJ, Prats-Vinas JM. Suspected
Herpes Encephalitis and Opercular Syndrome Inchildhood. Pediatr Neurol
2007;36:2026.
16. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roos KL, dkk.
The Management of encephalitis: clinical practice guidelines by the
infectious diseases society of america. CID. 2008;47:303 27.
17. Kennedy PGE , Viral encephalitis: Causes, Differential Diagnosis, and
Management. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004:1015
18. Domingues RB, Tsanalics AM, Pannuti CS, et al. Evaluation of the range
of clinical presentations of herpes simplex encephalitis by using
polymerase chain reaction assay of cerebrospinal fluid samples. Clin Infect
Dis, 1997; 25: 86-9.
19. Maria BL, Bale Jr JF. Infections of the nervous system. Dalam: Menkes
JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7.
California: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h. 435-518.
20. Whitley RJ, Cobbs CG, Alford CA Jr, et al. Disease that mimic herpes
simplex encephalitis. Diagnosis, presentation and outcome. NIAD
Collaborative antiviral study group. JAMA, 1989; 262; 234-9.
21. Douglas RG (Jr.). Antimicrobial agents; Antiviral agents. In: The
Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th edn. Eds. Cilman AG,
Theodore WR, Nies AS, Taylor P. New York, Pergamon Press, 1991,
1182-1201.
22. Ito Y, Kimura H, Yabuta Y, et al. Exacerbation of Herpes simplex
Encephalitis after Successful Treatment with Acyclovir. Clin Infect Dis
2000; 30: 18587.
23. Bahtera T. Faktor resiko kejang demam berulang sebagai predictor
bangkitan kejang demam berulang. Kajian mutasi pintu voltase kanal ion
natrium. Disertasi. 2007.
24. Barkovich AJ. Infections of the nervous system. In: Barkovich AJ, ed.
Pediatric Neuroimaging. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins;
2005:807-9.
25. Pudjiadi AH, Hegar. B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman pelayanan medis. Edisi 1. Ikatan Dokter Anak

19

Indonesia; 2010. pp. 310-3.

20

Anda mungkin juga menyukai