Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyaknya kasus yang terjadi pada penyelenggaraan pemilihan umum pada tingkat lokal
maupun nasional di Indonesia mencerminkan bahwa belum berhasilnya penyelenggaraan pemilu
sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia. Sering terjadi pada saat pemilihan kepala daerah
telah usai, pesta demokrasi politik lokal tersebut masih menyisakan masalah. Tak ayal, seluruh
hasil pilkada dipastikan berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab tidak jarang sejumlah
mantan kandidat keberatan dan tidak puas terhadap hasilnya. Hal ini membuktikan sangat
rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan
umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul
masalah masalah tersebut.
Potensi pilkada menjadi sengketa sebenarnya telah diprediksi banyak orang akan berakhir ke
MK. Sebab, masing-masing pihak sejak awal tahapan pilkada saling tuding melakukan
kecurangan dan pelanggaran. Mulai dari yang bersifat administratif, dugaan money politics
hingga penghitungan suara.
Bahkan yang lebih parah para kandidat lebih baik menang bermasalah daripada kalah
terhormat. Hal tersebut sepertinya menjadi filosofi baru para elite dan politisi kita. Rasanya tidak
gagah kalau kalah disikapi dengan legowo dan pasrah menerima begitu saja hasil penghitungan
suara oleh KPU setempat. Atau sebaliknya, tidak puas kalau menang tanpa melakukan
kecurangan atau tidak menzalimi hak suara milik kandidat lain.
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu isu yang
paling penting dengan disahkannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ini adalah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat daerah.
Revisi tersebut dilakukan karena implementasi Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
dimulai sejak tahun 2001 masih terdapat banyak permasalahan, terutama menyangkut masalah
kepala daerah. Laporan pertanggung jawaban kepala daerah dan pemilihan kepala daerah sering
menjadi persoalan diberbagai provinsi maupun kabupaten/kota.
1

Praktik pertanggungjawaban kepala daerah sebagaimana ketentuan Undang Undang Nomor 22


Tahun 1999 juga merupakan persoalan yang selalu menarik perhatian. Berbagai permasalahan
yang muncul dalam kaitannya dengan laporan pertanggung jawaban kepala daerah merupakan
akses dari pola pertanggung jawaban semacam ini telah mengakibatkan kritik ketidakpuasan
banyak kalangan. Pada kenyataannya proses pertanggungjawaban semacam ini telah
memunculkan banyak konflik. Momen pertanggungjawaban telah disalah arahkan menjadi dan
kesempatan menyandera kepala daerah. DPRD menjadi powerfull karena segala sesuatunya
DPRD yang menentukan dan pada akhirnya bermuara kepada kompromi laporan
pertanggungjawaban dapat diterima atau disetujui dengan tambahan beberapa catatan. Tambahan
beberapa catatan ini hanya sebagai basa basi atau ditindaklanjuti tidak ada informasi lebih
lanjut.
Begitu pula problematika dalam aktualisasi Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
banyak mendapat kritikan adalah bahwa ketentuan yang mengatur tentang penunjukan sekretaris
daerah rawan intervensi dari kalangan partai politik yang ada di DPRD, dengan keharusan
adanya persetujuan pimpinan DPRD sehingga dapat mengurangi bobot profesionalitas. Jabatan
sekda sebagai bahan sharing kekuasaan pada akhirnya lebih dominan daripada pertimbangan
kemampuan teknis dan profesionalitas. Kemudian ditambah lagi oleh perilaku dan kinerja
anggota DPRD yang merupakan wakil wakil partai politik peserta pemilu, belum
mencerminkan sebagai pemegang amanah dalam rangka memenuhi aspirasi dan keinginan
masyarakat daerah.
Perspektif Marxis. Berbeda dengan kelompok pluralis, marxis menganggap Negara dilihat dari
satu kesatuan yang utuh yang berfungsi sebagai benteng terakhir bagi pasar (rejim neoliberal)
dengan menindas kepentingan kaum buruh. Hal ini sejalan dengan pandangan mereka tentang
analisis kelas dan mereka meyakini bahwa kekuasaan memusat pada kelas yang berkuasa serta
kepemilikan alat produksi (kapitalis). Karl Marx dalam Manisfesto Komunis menggambarkan
bahwa eksekutif dari Negara-negara modern adalah suatu komite untuk mengatur masalah umum
dari kaum borjuis secara keseluruhan. Pemerintahan pusat dinilai lebih penting dalam mengubah
Negara kapitalis dibanding pemerintah lokal yang ditempatkan sebagai factor sekunder.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dikemukakan oleh penyusun adalah sebagai berikut :
1.

Mengapa terjadi konflik pada pemilihan kepala daerah di Lampung?

2.

Apa saja faktor konflik pada pemilihan kepala daerah di Lampung ?

3.

Bagaimana penyelesaian konflik yang terjadi pada pemilihan kepala daerah di Lampung ?
1.3 Tujuan Penulisan

1.

Sebagai syarat untuk memenuhi kriteria penilaian mata kuliah Politik Desentralisasi dan
Otonomi Daerah.

2.

Untuk mengetahui apa saja faktor konflik pada pemilihan kepala daerah di Lampung.

3.

Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian konflik pada pemilihan kepala daerah di lampung.

BAB II
KERANGKA KONSEP

Setiap masalah yang timbul dalam proses kompetisi adalah sesuatu yang wajar dan dianggap
sebagai suatu keharusan untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi. Semakin tinggi
kedudukan seseorang, maka akan semakin besar peluang untuk melakukan kecurangan dalam
menjalankan kekuasaannya. Hal ini sependapat dengan teori Marx. Menurut teori Marx, konflik
bermula dari keserakahan, di mana materi, harga diri (prestige), kekuasaan (power) adalah
sesuatu yang mutlak untuk dimiliki. Karena itu dalam rangka untuk melakukan suatu perubahan,
maka konflik adalah jalan terbaik untuk ditempuh. Konflik adalah faktor yang melekat pada diri
manusia sehingga konflik adalah sesuatu hal yang dianggap wajar dan langkah konstruktif dalam
konteks politik di alam demokrasi.
Konsep Marxis pada konflik Pilkada dalam makalah ini adalah banyaknya konflik yang terjadi
ketika proses pilkada berlangsung. Berbagai macam cara yang dilakukan oleh para kandidat
untuk memenangkan pilkada sebagai kepala daerah dilatarbelakangi oleh sifat alamiah manusia
yang selalu ingin menguasai orang lain untuk mendapatkan hal yang mereka inginkan, walaupun
diperoleh dengan cara yang tidak benar.
Teorisasi Marx yang problematis ibarat dua sisi pada mata uang yang sama. Di satu sisi,
teorisasinya memang sengaja bersifat problematis. Usahanya untuk memadukan teori dan praktik
juga problematis. Praktik selalu tergantung pada konteks, dan konteks yang menjadi ajang
tindakan politik selalu mengalami perubahan. bentuk negara dan aktivitas para tokoh-tokoh
politiknya dalam perjuangan kelas yang penuh dengan konflik.
Dalam manajemen konflik, penyelesaian konflik pilkada ini sebenarnya ada opsi lain yaitu
konsensus. Dalam opsi ini adanya pemahaman bersama, di mana semua pihak harus duduk
bersama dan menyelesaikan masalah secara terbuka, dengan kepala dingin, transparan, serta
menjunjung tinggi asas kejujuran dan keadilan.
Keyakinan, nilai-nilai, dan norma, serta tujuan otonomi daerah menjadi suatu landasan ideal
untuk menuju suatu penyelesaian dalam konflik. Dengan begitu perubahan sosial terjadi dalam
ruang lingkup konsensus dan berlangsung secara damai.
4

Karena itu, guna menghindari konflik pilkada dalam dunia politik dibutuhkan kedewasaan dalam
berpolitik dan kematangan para tokohnya. Selain itu, mesti ada kesepakatan awal bagi para calon
untuk siap menang dan kalahselain deklarasi damaisehingga pemenang dengan perolehan
suara berapa pun harus diterima.
Bukan justru sebaliknya, tidak menerima hasil kekalahan dan mencari kambing hitam sebagai
penyebab kekalahan tersebut. Boleh jadi, di balik tudingan kecurangan dan pelanggaran yang
dilakukan pihak tergugat, tanpa disadari sesungguhnya juga dilakukan oleh pihak penggugat itu
sendiri.
Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing
masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini
agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara,
hingga pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian
ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut
dapat lolos bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang
bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan
juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak ikhlas ingin memimpin maka
tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kembali atau
balik modal.
Mengamati fenomena politik lokal sepanjang periode ini, publik dikecewakan oleh kualitas
proses elektoral pada Pilkada Langsung tersebut. Money politics yang diharapkan bisa
diminimalisir melalui Pilkada Langsung, ternyata justru terjadi pada skala yang lebih besar dan
masif dibandingkan dengan Pilkada melalui DPRD. Rakyat yang diharapkan mempunyai
otonomi yang lebih besar dalam mencalonkan dan memilih calon pemimpin yang diinginkan,
ternyata otonomi yang besar itu berada di tangan para elit parpol. Adalah para elit parpol dan
para sponsor politik yang mengendalikan seluruh proses elektoral sehingga peran masyarakat
luas selaku pemilih menjadi sangat marjinal.

Penjelasan dominan terhadap sumber permasalahan ini adalah desain elektoral Pilkada yang
tidak tepat, terutama pada monopoli partai politik dalam proses pencalonan Kepala Daerah.
Sebagaimana ditetapkan dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasangan calon
Kepala Daerah hanya diajukan oleh partai politik yang memenuhi syarat.
Melihat apakah dalam Pilkada Langsung selama ini telah terdapat indikasi peran 'calon
independen'. Tentu saja 'calon independen' yang dimaksud di sini bukanlah calon pasangan
Kepala Daerah yang dicalonkan melalui jalur non-partai. Sebab, dalam Pilkada Langsung, semua
pasangan Kepala Daerah harus dicalonkan oleh partai politik. Namun, tidak semua parpol atau
gabungan parpol mencalonkan kader parpol. Dalam prakteknya, banyak tokoh di luar partai
politik yang kemudian dicalonkan oleh satu atau gabungan partai politik. Fenomena inilah yang
walaupun secara formal adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik, namun secara
substantif adalah 'calon independen' yang kemudian diformalisasi oleh partai politik sebagai
pasangan calon yang diajukan oleh parpol.
Sebagaimana banyak diindikasikan oleh beberapa studi sebelumnya bahwa dalam banyak kasus
parpol tidak dalam posisi yang mencalonkan pasangan calon. Peran parpol lebih dalam posisi
menyediakan legitimasi pencalonan, yang biasanya ditransaksikan dengan pihak-pihak yang
ingin dicalonkan atau ingin mencalonkan seseorang menjadi Kepala Daerah. Dalam bahasa
sehari-hari hal ini sering dipresentasikan secara sinis dengan istilah 'beli perahu' (artinya
membeli formalitas parpol), 'beli tiket' (artinya memberi tiket pencalonan), dan istilah-istilah lain
dengan pengertian sejenis. Monopoli parpol dalam pencalonan ini akhirnya dimanfaatkan oleh
elit partai sebagai ajang bisnis dengan memasang tarif milyaran rupiah bagi kandidat yang akan
memakai partainya untuk maju dalam proses pencalonan.
Hal ini mengindikasikan bahwa individu politisi, yang tidak selalu aktivis parpol, dalam posisi
yang aktif dalam proses pencalonan calon pasangan Kepala Daerah.

Konflik internal parpol dalam proses Pilkada menggejala di banyak daerah dan di banyak parpol.
Konflik ini terjadi baik antar tingkat organisasi partai, maupun antar organisasi partai dengan
massa. Hal ini bisa dimengerti karena karakter partai politik di Indonesia yang terkesan masih
sangat sentralistis. Dimana proses pengambilan keputusan kebanyakan masih didominasi oleh
kalangan elit partai.
Kecenderungan oligarki partai ini mengakibatkan termarginalkanrtya peran dan partisipasi massa
atau kader di daerah. Kekecewaan pengurus di daerah atau massa pendukung inilah yang
kebanyakan menimbulkan konflik terbuka pada tahap pencalonan kandidat Pilkada melalui partai
politik. Tabel berikut menunjukkan beberapa konflik yang terjadi pada tahap pencalonan dalam
Pilkada.
Beberapa kasus konflik yang banyak terjadi di berbagai daerah telah mengindikasikan beberapa
hal. Pertama, hal tersebut menandakan bahwa demokrasi internal parpol tidak terjadi dan struktur
organisasi partai di Indonesia kebanyakan masih tersentralisasi. Dalam kasus ini, meskipun
Pilkada adalah kepentingan lokal, dan merupakan bagian dari demokrasi lokal, namun elit pusat
masih banyak ikut mengintervensi proses pencalonan. Akibatnya, konflik terbuka antar tingkat
organisasi partai tidak bisa dihindari. Kedua, munculnya konflik ini juga menunjukkan
marginalisasi massa dan kader di daerah dalam proses pembuatan keputusan partai. Pola
kepemimpinan partai yang bersifat oligarkis mengakibatkan terbatasnya ruang partisipasi massa
dalam proses pembuatan keputusan partai. Hal ini menyebabkan tahirnya konflik antar organisasi
partai dengan kader pada level akar rumput sangat sering terjadi. Hal ini bisa dipahami
mengingat massa akar rumput merasa tidak puas terhadap proses pencalonan dan dengan
kandidat yang diatur dari organisasi partai.

BAB III
ANALISIS
Di tengah pertarungan kepentingan dan kekuasaan elite menjelang pemilu sebenarnya tekad
reformasi dipertaruhkan. Bukan sekedar pesta pemilu, tetapi dengan kemauan dan konsolidasi
kekuatan masyarakat sendiri melawan keterpurukan dan kebusukan sistem dan segenap
aparatusnya. Pemilu tak lain hanya seperti pesta perkawinan di kampung-kampung yang dibuat
meriah, dimana berlaku hukum pertukaran uang, makanan dan kekuasaan. Begitu pula yang
terjadi pada pemilukada tahun 2010 di bandar Lampung. Pemilukada seperti ajang pertukaran
materi dengan kekuasaan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dalam anggota KPU dan
kandidat kepala daerah.
Dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Lampung, Bandar Lampung berbeda.
Perekonomiannya lebih banyak digu;irkan oleh sektor industri dan perdagangan. Buktinya yaitu
kontribusi industri dan perdagangan terhadap PRDB masing-masing 30,7% dan 23,2%. Maka
dari hal tersebut kota Bandar Lampung menjadi salah satu kota yang tinggi kasus suap dan
korupsi para politisi.
3.1. Landasan konstitusional Pemilu
Partai Politik dalam Undang Undang Pemerintahan Daerah.
Dengan memperhatikan apa yang terjadi dalam penyelenggaran otonomi daerah di Indonesia,
sebenarnya terdapat beberapa isu penting yang menyangkut keberadaan partai politik, terutama
pada tingkat lokal yang salah satunya adalah kepala daerah. Didalam pelaksanaan suksesi kepala
daerah yang diatur Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, DPRD yang notabene wakil dari
partai partai politik mempunyai posisi yang leluasa dan mempunyai kewenangan besar dalam
menentukan calon kepala daerah, disebabkan barganning politik yang muncul dari proses
pencalonan, pemilihan dan penetapan berujung pada kepentingan kepentingan anggota DPRD.
Kewenangan yang begitu besar yang dimiliki oleh DPRD didalam pemilihan kepala daerah
menimbulkan dampak yang negatif karena kewenangan yang besar ini menimbulkan suatu
praktik praktik perpolitikan ditingkat daerah. Kepentingan individu, partai politik, dan kelompok
telah meminggirkan aspirasi rakyat yang menginginkan munculnya kepemimpinan yang peduli
dan respek terhadap kepentingan rakyat daerah. Dengan adanya legitimasi dari Undang
8

Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur kedudukan DPRD didalam pemilihan kepala
daerah, partai politik yang memiliki wakil di DPRD berkesempatan menancapkan hegemoni dari
situasi dan kondisi yang tercipta. Rakyat selaku konsituen pada pemilu yang emilih partai
partai politik tersebut hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tanpa memedulikan
aspirasi dan keinginan rakyat itu.
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 59 ayat 2 secara teknis mengatur bahwa partai
politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi
persyaratan perolehan sekurang kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen
dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD didaerah
bersangkutan.
3.2. Partai Politik dan Pilkada Langsung secara Demokratis.
A. Peran Partai Politik
1. Didalam Undang Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan
khususnya pada pasal pasal tentang pilkada, terlihat jelas peran partai politik masih cukup
dominan sebagaimana masih dapat dilihat pada pasal dibawah ini.

Pasal 56 ayat 2 : pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik
Pasal 59 ayat 2 : parpol atau gabungan parpol yang dapat mendaftarkan pasangan calon
apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang kurangnya 15 persen dari akumulasi

perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD didaerah yang bersangkutan.
Pasal 59 ayat 3 : parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan seluas luasnya

bagi bakal calon melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.


Pasal 59 ayat 4 : dalam proses penetapan pasangan calon parpol atau gabungan parpol

memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.


Pasal 59 ayat 6 : parpol atau gabungan parpol hanya dapat mengusulkan satu pasangan
calon dan pasangan tersebut tidak dapat diusulakn lagi oleh parpol atau gabungan parpol
lainnya.

B. Pilkada langsung secara Demokratis

Adapun semangat yang mendasari perlunya pilkada secara langsung oleh rakyat daerah tidak
lepas dari latar belakang sebagai berikut :

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan aturan pendukung lainnya dibawahnya
sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan sistem ketatanegaraan karenanya adanya
amandemen UUD 1945, terutama pada pasal 18 ayat 4 yang menyatakan bahwa

gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis.


Adanya tuntutan dari masyarakat yang mengkehendaki kepala daerah dipilih secara
langsung dengan keyakinan bahwa pemimpin yang terpilih nanti akan mampu membawa
masyarakat daerah menuju perbaikan dan kemakmuran. Selama perlakuan Undang

Undang Nomor 22 Tahun 1999.


Adanya politik kepentingan yang dilakukan oleh para anggota DPRD terutama pada
penyampaian LPJ dan pemilihan kepala daerah.

3.3 Konflik dalam Pilkada Bandar Lampung Tahun 2010


(Berdasarkan harian Radar Lampung Sabtu, 17 Juli 2010.) Kepolisian Daerah Lampung mulai
membidik dugaan skandal gratifikasi dan korupsi pada Pilkada Kota Bandar Lampung. Kami
melakukan pendalaman terhadap dua dugaan skandal pilkada, pertama mengenai dugaan
gratifikasi bagi anggota KPU Kota Bandar Lampung dari salah satu kandidat wali kota, dan
kedua tentang skandal kelebihan pencetakan surat suara sebesar 17 persen dari DPT yang
ditetapkan, kata Kasat III tindak pidana korupsi Ditreskrim Polda Lampung, AKBP Shobarmen,
di Bandar Lampung.
Khusus untuk skandal kelebihan pencetakan surat suara, penyelidikan dilakukan khusus
mendalami tentang ada tidaknya unsur kerugian negara dalam pencetakan tersebut, bukan pada
pelanggaran kode etik oleh komisioner KPU yang dianggap lalai dalam pencetakan tersebut.
Polda Lampung tidak mendalami bagian tentang pelanggaran kode etiknya, karena itu
sepenuhnya kewenangan panwas, namun fokus kepada ada tidaknya akibat dari kelebihan
pencetakan tersebut yang merugikan negara.

Terkait pendalaman hal itu, Polda Lampung memanggil kedua pihak yang terlibat dalam
pencetakan tersebut, masing-masing Sekretaris KPU Kota Bandar Lampung, Abdul Kohar, dan
Direktur CV Tawakkal, rekanan KPU dalam pencetakan surat suara, Ruslan Effendi. Pencetakan
10

surat suara pada Pilkada Kota Bandar Lampung 2010, 17 persen lebih banyak dari jumlah DPT
di kota tersebut. Jumlah surat suara yang dicetak sebanyak 760.236, atau mengalami kelebihan
surat suara sebanyak 116.583 buah, dari jumlah DPT sebanyak 643.653 suara.
Selain itu, Polda Lampung juga memanggil Sekda Kota Bandar Lampung, Sudarno Edi, untuk
dimintai keterangan terkait dugaan gratifikasi berupa pemberian mobil minibus bagi lima
komisioner KPU, dari salah satu kandidat wali kota. Pemeriksaan yang telah berlangsung kedua
kalinya itu untuk memastikan ada tidaknya aktivitas gratifikasi yang diduga diberikan oleh salah
satu calon wali kota.
Dugaan gratifikasi itu bergulir saat LSM Monitoring pilkada melaporkan kasus itu kepada Polda
Lampung, disertai sejumlah barang bukti. Beberapa barang bukti yang disertakan dalam
pelaporan tersebut adalah foto hasil bidikan 22 Mei 2010, yang menggambarkan kendaraan
pemberian salah satu calon wali kota itu, terparkir di depan rumah dua komisioner KPU
Bandarlampung, yaitu Fauzi Heri dan Herlina.
Kedua kendaraan itu bernomor polisi masing-masing BE 2845 CJ dan BE 2851 CJ.
Selain itu, LSM Monitoring pemilukada juga menyertakan barang bukti lain, yaitu bukti
pembayaran dan surat angsuran untuk kendaraan dengan plat nomor yang sama, atas nama Wali
Kota Bandar Lampung yang juga menjadi calon incumbent, Eddy Sutrisno. Surat angsuran itu
dikeluarkan oleh Astra Credit Companies, dengan angsuran awal Rp 5.105.000 per bulan untuk
pembayaran 36 bulan.
Angsuran tersebut baru dibayar enam kali, dengan pembayaran perdana pada 2 november 2009.
Sudarno Edi diperiksa di ruang Kanit III Satuan III Polda Lampung selama empat jam, dari
pukul 10.00 WIB hingga 14.00 WIB.

3.4 Faktor Konflik dalam Pilkada


A. Konflik dalam Pilkada ( Pemilihan Kepala Daerah )
11

Konflik berasal dari kata kerja Latin configure yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok)

dimana

salah

satu

pihak

berusaha

menyingkirkan

pihak

lain

dengan

menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Dalam proses demokrasi (elektoral),


konflik merupakan sebuah keniscayaan karena setiap individu atau kelompok sosial memiliki
kepentingan, pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda. Konflik relatif mudah hadir dari basis
sosial yang lebih kompleks, dibanding hanya sekedar suatu kompetisi dalam proses demokrasi.
Pada sisi lain, demokrasi juga diyakini oleh sebagian orang sebagai sarana untuk
mentransformasikan konflik. Jika dulu orang saling membunuh untuk menjadi raja, kini mereka
bertarung melalui bilik suara. Jika dulu orang merangkul senjata untuk membuat orang lain
tunduk, sekarang mereka harus berkampanye dengan memasang spanduk atau leafleat di manamana agar memperoleh dukungan suara menjadi kepala daerah. Demokrasi berupaya
mentransformasikan konflik yang berwujud kekerasan ke arah bilik suara, dari memaksa
(coercive) ke persuasif.
Meski demikian, demokrasi dan konflik sebenarnya juga merupakan dua hal yang tidak
mudah dihubungkan. Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah membuktikan
bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat saja diklaim bahwa eskalasi
konflik disebabkan oleh liberalisasi politik yang bekerja dalam proses demokrasi. Jadi eksistensi
konflik memang suatu hal yang wajar bagi suatu proses demokrasi. Hanya saja, menjadi
berbahaya jika konflik sudah represif dan berwujud kekerasan (violence). Dalam wacana
demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan sebagai satu gejala
responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan di antara pihak-pihak yang
berkepentingan.

Pilkada,

sebagai

sebuah

mekanisme

demokrasi

sebenarnya

dirancang

untuk

mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Pilkada berupaya mengarahkan


agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan. Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah
proses demokrasi, pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pilkada yang
12

dirancang sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan
dan benturan-benturan fisik antar pendukung calon kepala daerah menjadi pemandangan jamak
yang ditemui.
Singkatnya, mekanisme demokrasi yang ada seolah justru melegitimasi munculnya
kekerasan akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara pihak-pihak berkepentingan di arena
demokrasi. Dengan kata lain, desain demokrasi di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan
pilkada telah gagal sebagai cara mentransformasikan konflik. Kegagalan tersebut disebabkan
oleh beberapa hal.
B. Faktor Konflik dalam Pilkada
Setiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu dijumpai yang namanya
konflik. Faktor-faktor penyebab konflik dalam pilkada antara lain:

Kepentingan setiap elite lokal, elite nasional, pengusaha dan kepentingan kekuatan-kekuatan

politik lain di daerah yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan.


Kesalahan penafsiran terhadap implementasi undang-undang yang mengatur persoalan

pilkada
Belum bakunya infrastruktur pemilihan pejabat publik yang sering kali kontroversial
Lemahnya institusionalisasi demokrasi di tingkat lokal (KPUD) yang menjadi faktor
dominan timbulnya konflik antar kekuatan politik. Akibatnya, aturan main berdemokrasi
sering berubah, berbeda-beda, dan tidak ditaati karena bergantung pada persepsi pusat yang

menentukan hasil akhir proses politik di tingkat lokal.


Diversifikasi sumber konflik
Dendam kelompok dan dendam sejarah, yang umumnya sangat peka untuk diprovokasi.
Pola kompetisi yang bergerak tidak sehat melalui intervensi kekuasaan, politik uang, anarkis

dan arogansi.
Sistem manajemen termasuk payung hukum yang tidak berwibawa, tidak berfungsi dan tidak

dihormati.
Rapuhnya simbol perekat dan pemersatu yang mencakup nasionalisme, etnisisme, etika dan

budaya politik yang luhur.


Sikap dan perilaku aktor politik yang tidak terkendali, menerabas dan terjerumus ke deviant
politik.
13

Dilihat dari Jenisnya potensi konflik bisa melibatkan :

Internal partai yang mendukung calon.


Konflik yang melibatkan antara kandidat satu dengan lainnya atau antara pendukungpendukung kandidat. Konflik antar kandidat dapat berupa black campaign berupa usahausaha untuk mendeskriditkan kandidat lain dengan cara-cara yang tidak gentle, bukan

melalui adu visi-misi tetapi dengan penyebaran berita bohong dan fitnah.
Konflik antar elemen masyarakat. Konflik ini berskala sangat besar, karena melibatkan
berbagai elemen masyarakat, baik antar pendukung masing-masing kandidat melibatkan pula
aparat keamanan.

3.5 Penyelesaian Konflik dalam Pilkada


Permasalahan yang terjadi di Bandar Lampung pada pilkada tahun 2010 dapat diselesaikan
dengan hal-hal berikut :
Proses pencalonan yang bermasalah
Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu
konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD
dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur
dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa
pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima
pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang
walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan
dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan
pasangan calon yang dirugikan.
Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa partai
politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan
surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam
14

tahapan ini kadang terjadi permasalahan internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh
pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai
politik. Dalam permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan
rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di
wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang
kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun
ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama
telah mengajukan pasangan calon.
Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penetapan dan
pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak
netral ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa
dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk
melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan.
Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk
mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.

Pemasalahan pada Masa kampanye


Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye,
waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan
larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung
mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.

15

Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan
berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk
kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah
ditetapkan.
Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap
calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon,
menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan
peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi
program.
Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap
tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi,
disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS
yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi
yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak
netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.

Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.


Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan
calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda
Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah

16

dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada


beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa
hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi
sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung
maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian
Pilkada berlarut-larut.
Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti
permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai
politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan
hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan
tersebut.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pengawasan dan penegakkan hukum dalam pemilu merupakan hal yang sangat penting bagi
perwujudan nilai-nilai demokrasi yang dilandasi oleh prinsip Langsung, Umum, Bebas, Rahasia,
Jujur dan Adil (LUBER JURDIL). Dengan demikian jangan sampai semua tahapan pelaksanaan
17

pemilu terlaksana, tetapi banyak terjadi pelanggaran yang ditolerir atau tidak dilakukan
penegakkan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemilu ataupun
pemilukada.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pemilu, khususnya pada Bab XIV, kita dapat
mengklasifikasi penyimpangan atau pelanggaran dan sengketa pemilu menjadi tiga kelompok,
yaitu : 1) pelanggaran administratif 2) pelanggaran aturan pemilu yang mengandung unsur
pidana pemilu 3) sengketa pemilu.
Konflik yang terjadi pada pemilukada tahun 2010 dilihat dari perspektif Marxis merupakan hal
yang bermula dari keserakahan, dimana materi, harga diri (prestige), kekuasaan (power) adalah
sesuatu yang mutlak dimiliki.
Dalam manajemen konflik, penyelesaian konflik pilkada ini sebenarnya ada opsi lain yaitu
konsensus. Dalam opsi ini adanya pemahaman bersama, di mana semua pihak harus duduk
bersama dan menyelesaikan masalah secara terbuka, dengan kepala dingin, transparan, serta
menjunjung tinggi asas kejujuran dan keadilan.
4.2. Saran
KPU harus melakukan semua fungsinya dengan dengan tidak berpihak dan secara efektif harus
menyakinkan bahwa integritas setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum
yang tidak kompeten dan yang ingin bertindak curang.
KPU harus berfungsi tanpa bias atau kecenderungan politis.
Efisiensi harus diciptakan lembaga pemilu untuk mempertahankan kredibilitasnya. Efisiensi
menjadi sangat penting dalam proses pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan
masalah-masalah yang dapat menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan.

Profesionalisme. Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi dimana
anggota KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum
dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk melaksanakan dan
mengatur proses tersebut.
KPU harus memiliki sumber daya dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi
harapan masyarakat dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil.

18

Transparansi. Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum secara substansial tergantung
pada semua yang berkepentingan, baik KPU, Panwaslu, Partai Politik, pemerintah maupun
masyarakat untuk ikut terlibat dalam formasi dan fungsi dari struktur dan proses pemilu. Dalam
hal ini, komunikasi dan kerjasama semua stakeholder: KPU, panwaslu, partai politik dan
institusi-institusi dalam masyarakat harus dibangun atas dasar collective action untuk
kepentingan bersama.

19

Anda mungkin juga menyukai