ANESTESI GENERAL
Anestesi berarti pembiusan, bersal dari bahasa yunani yaitu an berarti tidak,
tanpa dan aestheos berarti persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum /
general anesthesia merupakan tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran, dan bersifat pulih kembali (reversibel). Trias
anestesi meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi. Pemberian obat anestesi umum dapat
secara parenteral dan inhalasi (Dahnert, 2003; Ekayuda, 2006). Stadium anestesi terdiri
dari :
a. Stadium I : stadium analgesia atau stadium disorientasi
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun
disebut
Stadium
analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi
kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya
refleks bulu mata.
b. Stadium II : stadium eksitasi atau stadium delirium
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil
melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak
mata.
c. Stadium III : stadium pembedahan
Mulai dari akhir stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Dibagi dalam 4 plana,
yaitu :
1. Plana 1
Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dengan
pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya
eksentrik,
pupil
mengecil
Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan frekwensi
pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir
ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan refleks kornea
menghilang.
3. Plana 3
Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena
paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3
terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot
diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana
3 ini, lakrimasi refleks farings & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin
menurun.
4. Plana 4
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, jerky karena paralisis otot diafragma
yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin
menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), refleks
sfingter ani menghilang.
d. Stadium IV : stadium paralisis
Mulai dari kegagalan pernapasan yang kemudian akan segera diikuti kegagalan
sirkulasi (Morgan, 2006).
Dalam operasi bedah saraf terdapat tiga sasaran yaitu mengendalikan tekanan
intrakranial dan volume otak dengan pengaturan CBF, volume CSF, melindungi jaringan
saraf dari iskemia dan injuri sekunder dengan proteksi otak, mengurangi perdarahan
dengan teknik hipotensi tanpa menurunkan CPP. Prinsip pengelolaan anestesi pada
operasi bedah saraf :
a. Jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu
b. Ventilasi kendali : oksigenasi adekuat (Pao2: 100-200 mmHg), hipokarbi (PaCO2 :
25-30 mmHg)
c. Hindari lonjakan tekanan darah
d. Hindari faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral seperti :
a) Tidak ada batuk atau mengejan
b) Tidak ada tekanan pada abdomen atau tahanan pengembangan thoraks
kecelakaan
anestesia.
Dokter
spesialis
anestesiologi
hendaknya
mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar dapat mempreersiapkan fisik dan
mental pasien, merencanakan dan memilih teknik anestesi serta obat yang dipakai,
dan menentukan klasifikasi pasien berdasarkan ASA. Penilaian dan persiapan pasien
diantaranya meliputi:
1) Anamnesis
a. Identifikasi pasien (nama, umur, alamat, dll).
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi
c. Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita untuk mengetahui
kemungkinan penyulit anestesi (misalnya alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit hati.
d. Riwayat pemakaian obat meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
e. Riwayat anestetik atau operasi sebelumnya, meliputi tanggal, jenis pembedahan,
dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempenaruhi tindakan (merokok,
minum alkohol, obat penenang, narkotik.
g. Riwayat berdasarkan sistem organ
h. Makanan yang terakhir dimakan (Mangku, 2010; Gupta, 2001).
2) Pemeriksaan fisik
a. Tinggi dan berat badan, untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
c. Jalan nafas (air way),
d. Kesadaran, Jantung, paru-paru, abdomen, punggung, neurologis, Ekstremitas.
2.
b.
c.
d.
e.
Membuat amnesia
f.
g.
h.
Obat premedikasi
a.
b.
c.
d.
3.
Monitoring
Monitoring anestesi yang dilakukan antara lain :
a.
b.
4.
c.
d.
e.
hematokrit
Monitoring derajat relaksasi otot
Monitoring suhu tubuh untuk mencegah hipotermi dan hipertermi (Tatang,
1997;Mangku, 2010)
Teknik anestesi umum
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
b.
c.
(Dahnert, 2003).
5.
sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full dose
ataupun maximal dose. Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi
fisiknya lemah (geriatri, pasien presyok).
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifatsifat :
a. tidak berbau menyengat / merangsang
b. baunya enak
c. cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Tanda-tanda induksi
berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada
gerakan pada kelopak mata (Tatang, 1997; Mangku, 2010).
Obat Induksi Intravena yang Digunakan.
1) Recofol (Profofol)
Mekanisme kerja propofol dengan meningkatkan inhibisi transmisi saraf melalui
GABA. Propofol tidak larut dalam air dan tersedia dalam bentuk larutan dengan
konsentrasi 1 % berupa suspensi lemak dalam air dan mengandung minyak kacang
kedelai, gliserol, dan lecithin telur. Adanya riwayat alergi telur tidak menjadi
kontraindikasi pemberian propofol, karena unsur lecithin telur diekstrak dari
kuning telur, sementara alergi telur umumnya terkait dengan albumn (kuning telur).
Dosis yang diberikan 2-4 mg/kg (Dahnert, 2003).
Efek pada Organ Tubuh
a.
Kardiovaskuler :
Efek utama adalah turunnya tekanan darah karena turunnya resistensi
perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatis), kontraktilitas miokard dan
menurunnya preload. Hipotensi lebih menonjol daripada pemberian thiopental
b.
c.
Efek Samping
Depresi pernapasan, otot kaku, hipotensi, bradikardia, laringospasme, mual dan
muntah.
Kedinginan,
kelelahan,
halusinasi
setelah
operasi,
gejala-gejala
Pemeliharaan anestesi
Maintenance/ rumatan anestesi dapat dikerjakan melalui intravena atau inhalasi
atau campuran intravena inhalasi. Maintenance mengacu pada trias anastesi: hipnotic,
analgetic, dan relaksasi. Rumatan anestesi bisa dengan narkotik atau volatil anestesi.
Setiap kenaikan ICP akibat volatil anestesi dapat dikurangi dengan pemberian pentotal
atau diazepam lebih dahulu, bersama dengan keadaan hipokarbia 10 menit sebelum
pemberian isofluran. Bebrapa hal yang perlu diperhatikan selama pemeliharaan antara
lain
2008).
Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
Pada perdarahan < 20% dari perkiraan volume darah pasien, diberikan cairan
pengganti kristaloid atau koloid, namun bila > 20% diberikan transfusi darah
(Mangku, 2010).
8. Pemulihan anestesi
Menjelang akhir operasi, dosis pelemas otot diturunkan sampai TOF=1. EtCO2
dinaikkan perlahan mencapai normal untuk mencegah kenaikan cepat dari perubahan
PaCO2. IPPV diteruskan sampai kepala selesai diperban dan anestesi dipertahankan
cukup untuk mencegah sraining akibat tube. Dangkalnya anestesi dan reaksi terhadap
ETT dapat menyebabkan peningkatan ICP dan tekanan arteri sehingga dipertahankan
jangan terjadi straining, batuk atau kenaikan tekanan darah saat ekstubasi (Tatang,
9.
granisetron,
dolasetron
dan
tropisetron
secara
selektif
menghambat reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek terhadap
reseptor dopamin. Reseptor 5-HT3 yang terdapat perifer (eferen vagal abdominal)
dan sentral (kemoreseptor trigger zone pada area postrema dan nukleus traktus
solitarius) tampknya mempunyai peranan penting dalam permulaan refleks muntah.
Medscape
reference.
2010.
http://emedicine.medscape.com/article/1135286-overview#showall
Available
at
last
10
update
Januari 2012.
De jong W, Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Bab 24 Kepala dan Leher
Penerbit Jakarta: EGC; 2005. 335-386
Gupta, A., Summors, A. Notes in neuroanaesthesia and critical care. London; Greenwich
Medical Media. 2001.
Hassan R dan Alatas H. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. Bagian ilmu kesehatan anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta 2002.
Hughes, Richard. Anaesthesia for ventriculo-peritoneal shunt insertion. London, Ormond
Street Hospital for Children. 2008.
Mangku, Gde., Senapathi, T.G.A. Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan Reanimasi.
Jakarta; Indeks. 2010
Morgan GE, Michail MS, Muray MJ. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York: Lange,
2006.
Katzung, G Bertram.. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta, 2002
Kee, Joyce LeFever, Pedoman Pemeriksaan Labolatorium dan Diagnostik. Jakarta: EGC,
2008.
Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. Bacteriology of brain abscess. J. Med. Microbiol. 1993.
39:187-190
Latief . Kartini A.S., M. Ruswan D. Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : FKUI, 2001
Liau, P.W.; Chiang, T.R.; Lee, M.C. et. al. Tuberculosis with Meningitis, Myeloradiculitis,
Arachnoiditis and Hydrocephalus: A Case report. Acra Neurol Taiwan. 2010. 19: 189193
Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6. Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2010.
Piatt, J.H. Insertion of ventriculoperitoneal dan ventriculovenous cerebrospinal fluid shunt.
Techniques in Neurosurgery. 2002. 7(3): 197-205.
Rekate HL. A contemporary definition and classification of hydrocephalus. Semin Pediatri
Neurol. 2009.16(1):9-15.
Sri M, Sunaka N, Kari K. Hidrosefalus. Dexa Media. 2006. 1 (19):40-48
Tatang bisri. Neuroanestesi. Neuroanestesi . Bandung; UNPAD. 1997.
anestesi yang berlangsung lama dapat menyebabkan penimbunan mucus dan dapat
menyebabkan atelektasis serta infeksi saluran pernafasan. Di lain pihak, obat anestetik
inhalasi cenderung bersifat bronkodilator. Efek ini sudah banyak digunakan pada pasien
dengan status asamatikus. Iritasi pernafasan baik karena batuk atau pengaruh pernafasan
lainnya jarang menjadi masalah pada pemberian anestetik inhalasi. Namun, hal ini relative
umum dengan desfluran dan induksi mungkin lebih sulit untuk mengerjaan dengan obat
tersebut selain koefisien partisi darah: udara yang rendah. Ketajaman enfluran dapat
memperoleh ketahanan nafas yang dapat membatasi kecepatan induksi. Penggunaan
sevofluran dengan kelarutan dalam darah yang rendah, bau yang tidak menyengat, tidak
mengiritasi saluran pernafasan, dan kardivaskular yang stabil menyebabkan induksi inhalasi
berjalan dengan cepat dan mulus. Umumnya, induksi inhalasi berjalan dengan baik.
Penambahan N2O saat induksi secara nyata mengurangi kejadian eksitasi. Waktu induksi
akan menjadi lbih cepat bila sevofluran diberikan bersama N2O 66%, dimana waktu induksi
hanya 45 detik pada infant dan anak yang lebih tua.
Anestesi dengan Asma
Untuk anestesi dan operasi elektif pada pasein dengan riwayat asma, maka asma harus
sudah terkontrol dan pasein sedang tidak menderita infeksi atau serangan mengi berat. Jika
pasien memakan obat secara teratur, maka obat jangan dihentikan. Perhatian khusus harus
diberikan paa pasien yang menggunakan steroid, secara sistemik atau dengan inhaler. Pasien
dengan riwayat serangan asma yang pernah dirawat dirumah sakit, harus dirujuk kerumah
sakit besar. Anestesi konduksi yang dikombinasikan dengan sedative intravaena (diazepam
dosis kecil) merupakan pilihan yang lebih baik daripada anestesi konduksi saja atau anestesi
umum.
Jika diperlukan anestesi umum, maka diberikan premedikasi antihistamin seperti
prometazin bersama dengan hidrokortison 100 mg. yang terpenting hindari laringoskopi dan
intubasi dengan anestesi yang dangkal, karena dapat menyebabkan brokspasme. Ketamin
cukup baik untuk induksi intravena, karena bersifat bronkodilator. Untuk tindakan yang
singkat, sebaiknya gunakan teknik masker wajah setelah induksi dan hindari intubasi.
Gunakan oksigen dengan konsentrasi 30% atau lebih untuk udara inspirasi. Jika dibutuhkan
intubasi, maka perdalam anestesi dengan inhalasi, kemudian lakukan intubasi tanpa relaksan
otot. Pada pasien yang dianestesi dalam dapat dilakukan laringoskopi tanpa menyebabkan
bronkospasme bila diintubasi. Eter dan halotan merupakan brnkodilator yang baik, tetapi eter
mempunyai kelebihan, yaitu bila terjadi bronkospasme, epinefrin 0,5 mg subkutan bisa
diberikan dengan aman, tetapi hal ini berbahaya jika diberikan bersama dengan halotan
karena dapat menyebabkan gangguan irama jantung akibat efek katekolamin. Sebagai
pengganti dapat diberikan aminofilin 250 mg intravena secara perlahan-lahan untuk dewasa.
Pada akhir tindakan jika diperlukan ektubasi lakukan dengan posisi miring dan
dengan anestesi dalam, karena stimuli laring dapat menyebabkan bronkospasme.