Anda di halaman 1dari 19

A.

ANESTESI GENERAL
Anestesi berarti pembiusan, bersal dari bahasa yunani yaitu an berarti tidak,
tanpa dan aestheos berarti persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum /
general anesthesia merupakan tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran, dan bersifat pulih kembali (reversibel). Trias
anestesi meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi. Pemberian obat anestesi umum dapat
secara parenteral dan inhalasi (Dahnert, 2003; Ekayuda, 2006). Stadium anestesi terdiri
dari :
a. Stadium I : stadium analgesia atau stadium disorientasi
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun

disebut

Stadium

analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi
kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya
refleks bulu mata.
b. Stadium II : stadium eksitasi atau stadium delirium
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil
melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak
mata.
c. Stadium III : stadium pembedahan
Mulai dari akhir stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Dibagi dalam 4 plana,
yaitu :
1. Plana 1
Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dengan
pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya
eksentrik,

pupil

mengecil

lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan

meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun.


2. Plana 2

Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan frekwensi
pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir
ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan refleks kornea
menghilang.
3. Plana 3
Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena
paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3
terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot
diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana
3 ini, lakrimasi refleks farings & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin
menurun.
4. Plana 4
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, jerky karena paralisis otot diafragma
yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin
menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), refleks
sfingter ani menghilang.
d. Stadium IV : stadium paralisis
Mulai dari kegagalan pernapasan yang kemudian akan segera diikuti kegagalan
sirkulasi (Morgan, 2006).
Dalam operasi bedah saraf terdapat tiga sasaran yaitu mengendalikan tekanan
intrakranial dan volume otak dengan pengaturan CBF, volume CSF, melindungi jaringan
saraf dari iskemia dan injuri sekunder dengan proteksi otak, mengurangi perdarahan
dengan teknik hipotensi tanpa menurunkan CPP. Prinsip pengelolaan anestesi pada
operasi bedah saraf :
a. Jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu
b. Ventilasi kendali : oksigenasi adekuat (Pao2: 100-200 mmHg), hipokarbi (PaCO2 :
25-30 mmHg)
c. Hindari lonjakan tekanan darah
d. Hindari faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral seperti :
a) Tidak ada batuk atau mengejan
b) Tidak ada tekanan pada abdomen atau tahanan pengembangan thoraks

c) Tidak ada PEEP yang tidak disengaja


e. Hindari obat dan teknik yang meningkatkan CBF, volume CSF, ICP
f. Menggunakan teknik khusus bila diperlukan untuk mengurangi ICP dan edema serebri
g. Pemberian cairan dengan tepat (Tatang, 1997; Hughes, 2008).
1. Evaluasi pra bedah
Tindakan preoperatif ditujukan untuk menyiapkan kondisi pasien seoptimal
mungkin dalam menghadapi operasi. Persiapan prabedah menentukan keberhasilan
suatu operasi. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor sebab
terjadinya

kecelakaan

anestesia.

Dokter

spesialis

anestesiologi

hendaknya

mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar dapat mempreersiapkan fisik dan
mental pasien, merencanakan dan memilih teknik anestesi serta obat yang dipakai,
dan menentukan klasifikasi pasien berdasarkan ASA. Penilaian dan persiapan pasien
diantaranya meliputi:
1) Anamnesis
a. Identifikasi pasien (nama, umur, alamat, dll).
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi
c. Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita untuk mengetahui
kemungkinan penyulit anestesi (misalnya alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit hati.
d. Riwayat pemakaian obat meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
e. Riwayat anestetik atau operasi sebelumnya, meliputi tanggal, jenis pembedahan,
dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempenaruhi tindakan (merokok,
minum alkohol, obat penenang, narkotik.
g. Riwayat berdasarkan sistem organ
h. Makanan yang terakhir dimakan (Mangku, 2010; Gupta, 2001).
2) Pemeriksaan fisik
a. Tinggi dan berat badan, untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
c. Jalan nafas (air way),
d. Kesadaran, Jantung, paru-paru, abdomen, punggung, neurologis, Ekstremitas.

e. Evaluasi tekanan intrakranial, efek samping penyakit intrakranial (Mangku,


2010; Gupta, 2001).
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Rutin: darah, urin, foto dada (terutama untuk bedah mayor), elektrokardiografi

2.

(untuk pasien diatas umur 40 tahun).


b. Khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi
c. CT-Scan (Mangku, 2010; Gupta, 2001).
Premedikasi
Premedikasi sebaiknya diberikan karena sistem saraf pusat pada pasien dengan
penyakit intrakranial menjadi sangat sensitif.

Sebelum pasien dilakukan induksi

anestesi, langkah selanjutny adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat


sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan
dan bangun dari anestesi diantranya :
a.

Meredakan kecemasan dan ketakutan

b.

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

c.

Mengurangi mual dan muntah pasca bedah

d.

Mengurangi isi cairan lambung.


Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah aspirasi isi
lambung karena regurgitasi atau muntah. Pada operasi elektif, pasien dewasa
dipuasakan 6 jam sebelum operasi. Pasien dengan penurunan kesaddaran
mengalami perlambatan pengosongan lambung sehingga harus hati-hati adanya
bahaya aspirasi

e.

Membuat amnesia

f.

Memperlancar induksi anestesi

g.

Meminimalkan jumlah obat anestesi

h.

Mengurangi reflek yang membahayakan (Dahnert, 2003)

Obat premedikasi

a.

Diazepam dapat diberikan pada pasien 0,1-0,2 mg/KgBB. Penambahan sedasi


dapat diberikan pada pasien saat datang di ruang operasi. Jika pasien dengan
tekanan intrakranial tinggi, penggunaan opioid sebaiknya dihindari karena
berefek depresi pernapasan dan peningkatan CBF dan menyebabkan hiperkarbi
(Hughes, 2008).

b.

Hipnoz (Midazolam) : obat penenang (transquilaizer). Modazolam merupakan


obat induksi jangka pendek yang dapat digunakan untuk premedikasi, induksi dan
pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja lebih
cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada
pasien orang tua, dengan perubahan oganik otak atau gangguan fungsi jantung
dan pernapasan, dosis midazolam harus ditentikan secara hati-hati. Dosis
premedikasi dewasa 0.07-0.10 mg/KgBB. Dosis pada orang tua 0.025-0.05
mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyutnadi
dan pernafasan, umumnya hanya sedikit

c.

Cedantron (Ondansentrone). Suatu antagonis reseptor serotonin 5 HT 3 selektif.


Baik untuk pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping
berupa hipotensi, bronkospasme, konstipasi, dan sesak nafas. Dosis dewasa 24mg.

d.

Fentanil dapat dipertimbangkan untuk menekan respon nyeri (Dunn, 2007;


Hughes, 2008).

3.

Monitoring
Monitoring anestesi yang dilakukan antara lain :
a.

Monitoring sirkulasi terdiri dari elektrokardiogram, tekanan darah, central venous

b.

pressure (CVP) saat ada indikasi


Monitoring ventilasi terdiri dari volum tidal, frekuensi nafas dan tahanan jalan
nafas, pulse oksimeter

4.

c.

Monitoring keseimbangan cairan terdiri dari urin output, elektrolit, pengukuran

d.
e.

hematokrit
Monitoring derajat relaksasi otot
Monitoring suhu tubuh untuk mencegah hipotermi dan hipertermi (Tatang,

1997;Mangku, 2010)
Teknik anestesi umum
a.

INHALASI dengan Respirasi Spontan,


1) Sungkup wajah
2) Intubasi endotrakeal
3) Laryngeal mask airway (LMA)

b.

INHALASI dengan Respirasi kendali


1) Intubasi endotrakeal
2) Laryngeal mask airway

c.

ANESTESI INTRAVENA TOTAL (TIVA)


1) Tanpa intubasi endotrakeal
2) Dengan intubasi endotrakeal
Anestesi dengan menggunakan sungkup wajah dianjurkan apabila :

a.
b.
c.
d.

pembedahan singkat - 1 jam tanpa membuka peritoneum


bukan operasi daerah kepala atau leher
lambung kosong
ASA 1 2.
Jika di luar dari kriteria di atas, sebaiknya digunakan intubasi endotrakeal.

Anestesi umum dengan menggunakan intubasi endotrakeal diindikasikan untuk :


a.

pembedahan lama (> 1 jam)

b.

pembedahan daerah kepala dan leher

c.

jika kesulitan mempertahankan jalan napas karena berbagai sebab.


LMA hanya dianjurkan pada pasien yang puasanya cukup (lambung kosong)

(Dahnert, 2003).

5.

Induksi dan intubasi


Induksi merupakan tahap yang kritis, tidak jarang terjadi kenaikan tekanan
intrakranial karena teknik yang salah. Beberapa faktor penting yang dapat
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial saat intubasi yaitu anestesi dan relaksasi
otot kurang adekuat, peningkatan PaCO2 karena henti nafas, hipoksia, karena
oksigenasi kurang memadai, posisi kepala salah sehingga menyebabkan gangguan
drainase likuor (Mangku, 2010; Hughes, 2008).
Tujuan anestesi pada pasien dengan prosedur operasi intrakranial yaitu hipnosis,
amnesia, imobilitas, kontrol tekanan intrakranial, dan penjagaan hipertensi, hipotensi,
hipoksia, hiperkarbi serta batuk. Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan, yang bersifat reversibel. Induksi anestesi dapat dikerjakan melalui
intravena, inhalasi, intramuskular, atau rektal.
S : Scope. Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-scope,
untuk membantu memasukan endotrakeal tube.
T : Tubes. Pipa trakea, dipilih berdasarkan usia. Pada anak usia <5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balon.
A : Air way. Pipa mulut faring (guedel, orotracheal-airway) atau pipa hidung faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini ditujukan untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar dan menjaga lidah tidak menutup jalan napas.
T : Tape. Plaster untuk menfiksasikan tube, supaya tidak terdorong ataupun
tercabut.
I : Introducer. Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik yang mudah
dibengkokan, sehingga memudahkan tube mudah masuk.
C : Connector. Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction. Penyedot lendir, darah, dan lain-lainnya.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose.
Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis tertentu

sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full dose
ataupun maximal dose. Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi
fisiknya lemah (geriatri, pasien presyok).
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifatsifat :
a. tidak berbau menyengat / merangsang
b. baunya enak
c. cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Tanda-tanda induksi
berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada
gerakan pada kelopak mata (Tatang, 1997; Mangku, 2010).
Obat Induksi Intravena yang Digunakan.
1) Recofol (Profofol)
Mekanisme kerja propofol dengan meningkatkan inhibisi transmisi saraf melalui
GABA. Propofol tidak larut dalam air dan tersedia dalam bentuk larutan dengan
konsentrasi 1 % berupa suspensi lemak dalam air dan mengandung minyak kacang
kedelai, gliserol, dan lecithin telur. Adanya riwayat alergi telur tidak menjadi
kontraindikasi pemberian propofol, karena unsur lecithin telur diekstrak dari
kuning telur, sementara alergi telur umumnya terkait dengan albumn (kuning telur).
Dosis yang diberikan 2-4 mg/kg (Dahnert, 2003).
Efek pada Organ Tubuh
a.

Kardiovaskuler :
Efek utama adalah turunnya tekanan darah karena turunnya resistensi
perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatis), kontraktilitas miokard dan
menurunnya preload. Hipotensi lebih menonjol daripada pemberian thiopental

namun biasanya mudah pulih dengan rangsangan laringoskopi dan intubasi.


Faktor yang memperberat hipotensi adalah dosis yang besar, pemberian yang
cepat dan usia tua.
Propofol menghambat refleks baroreseptor terhadap hipotensi terutama
pada keadaan normokarbia ataupun hipokarbia. Walaupun jarang terjadi,
penurunan tensi dapat mengakibatkan bradikardi akibat dari refleks vagal.
Perubahan pada frekuensi dan curah jantung biasanya tidak menonjol, namun
dapat cukup berat hingga menimbulkan asistol terutama pada usia-usia yang
ekstrim, obat-obatan dengan efek kronotropik negaif, atau menjalani operasi
yng dapat menimbulkan refleks okulokardiak.
Pasien dengan fungsi ventrikel yang menurun dapat mengalami penurunan
tensi yang cukup signifikan sebagai hasil dari penurunan tekanan diastolik dan
kontraktilitas yang menurun.
Konsumsi oksigen miokard dan aliran darah jantung menurun, namun
ternyata ditemukan pula peningkaan laktat pada pembuluh darah koroner yang
menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara suplai oksigen dan kebutuhannya.
b. Respirasi
Seperti halnya barbiturat, propofol mempunyai efek depresi pernapasan
yang cukup besar yang sering menyebabkan apnea setelah pemberian dosis
induksi. Bahkan bila hanya diberikan dalam dosis subanestetik sebagai sedatif,
propofol menghambat refleks pernapasan akibat stimulasi kondisi hiperkarbia,
sehingga obat ini hanya dapat digunakan oleh orang yang terlatih.
Propofol menurunkan refleks di saluran napas atas sehingga berguna saat
intubasi atau pemasangan LMA.

Walaupun propofol mempunyai efek pelepasan histamin, insidensinya bila


dibandingkan dengan barbiturat maupun etomidat lebih kecil, sehingga tidak
dikontraindikasikan terhadap pasien-pasien asma.
c. Otak
Propofol mengurangi aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Pada
pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat propofol dapat
menyebabkan penurunan CPP yang drastis hingga < 50 mmHg kecuali
dilakukan langkah-langkah untuk menjaga MAP.
Propofol dan thiopental mempunyai karakteristik proteksi otak yang sama
kuat pada kejadian iskemia. Propofol mempunyai efek antipruritik, dan efek
antiemetiknya membuat obat ini cocok untuk pasien ODS.
Propofol juga menurunkan tekanan intraokuler dan tidak memberikan
toleransi setelah pemebrian infus propofol dalam waktu lama.
2) Fentanil
Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang bekerja
terutama pada reseptor dengan sedikit berpengaruh pada reseptor dan .
Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300 kali
efek morfin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan masuk ke struktur susunan
saraf pusat dengan cepat.
Dosis Fentanil
a.

Premedikasi : 50-100 mcg IM disuntikkan intramuskular 30-60 menit sebelum


pembedahan.

b.

Tambahan untuk anestesi regional : 50-100mcg disuntikkan intramuskular atau


intravena secara perlahan selama 1-2 menit saat penghilang rasa sakit
tambahan dibutuhkan.

c.

Sesudah operasi (ruang pemulihan) : 50-100 mcg disuntikkan intramuskular,


bisa diulangi dalam waktu 1-2 jam sesuai kebutuhan

Efek Samping
Depresi pernapasan, otot kaku, hipotensi, bradikardia, laringospasme, mual dan
muntah.

Kedinginan,

kelelahan,

halusinasi

setelah

operasi,

gejala-gejala

ektrapiramidal saat digunakan dengan suatu tranquilizer seperti Droperidol.


Opioid menyebabkan perubahan minimal pada hemodinamik cerebral dan
berfungsi mengurangi respon intubasi dan kraniotomi. Karena intubasi,
penempatan kepala, dan prosedur kraniotomi (insisi dan manipulasi periosteum)
termasuk periode yang sangat merangsang tekanan intrakranial. Fentanil dosis 5-10
g/kg) dan remifentanil biasa digunakan, karena keduanya memiliki onset cepat
dan poten. Konsentrasi rendah dari agen volatil dapat berfungsi untk mencegah
hipertensi selama awal pembedahan. Setelah intubasi, mata ditutup untuk
mencegah iritasi dari larutan prabedah. Pada induksi pemberian oksigenasi yang
adekuat, kemudian diberikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb (iv) untuk menekan rangsang
simpatis saat intubasi, intubasi dengan propofol, dan laringskopi, pemasangan ETT,
dan fiksasi (Gupta, 2001; Hughes, 2008).
6.

Pemeliharaan anestesi
Maintenance/ rumatan anestesi dapat dikerjakan melalui intravena atau inhalasi
atau campuran intravena inhalasi. Maintenance mengacu pada trias anastesi: hipnotic,
analgetic, dan relaksasi. Rumatan anestesi bisa dengan narkotik atau volatil anestesi.
Setiap kenaikan ICP akibat volatil anestesi dapat dikurangi dengan pemberian pentotal
atau diazepam lebih dahulu, bersama dengan keadaan hipokarbia 10 menit sebelum
pemberian isofluran. Bebrapa hal yang perlu diperhatikan selama pemeliharaan antara
lain

a. Kombinasi obat yaitu N2O:O2 =60%:40%, fentanil. Dehidrobenzperidol, muscle


relaxan non depolarisasi. Pilihan lain N2O:O2 =60%:40%, disertai isofluran atau
desfluran/sevofluran dan pelumpuh otot misalnya vecuronium 0,1 mg/kg BB/jam
untuk menjaga pergerakan.
b. Isofluran diberikan setelah tulang tengkorak dibuka. Otak menjadi lebih bengkak
dengan volatil anestei dibandingkan dengan anestesi iv. Untuk mengurangi
pembengkakan akibat volatil dapat diberikan diuretik. Di beberapa center
digunakan volatil anestesi sejak permulaan dan obat anestesi inhalasi terpilih yaitu
isofluran. Keuntungan isofluran antara lain Mudah memakai, Efek proteksi otak,
Mudah mengendalikan tekanan darah, Pemulihan cepat, Pada konsentrasi 0,5%
CBF menurun dan baru meningkat pada konsteras 0,95% tetapi peningkatan ICP
oleh isofluran 1% mudah dilawan dengan hipokapnia, Peningkatan ICP oleh
isofluran berakhir 30 menit setelah obat dihentikan, sedangkan akibat halotan atau
enfluran berakhir setelah 3 jam obat dihentikan. Penggunaan kombinasi anestesi iv
dan inhalasi dapat digunaakan sampai tulang dibuka.
c. Pemberian osmotik diuresis dan steroid, bertujuan untuk menurunkan TIK meski
hal ini masih kontroversi
d. Analgesik dibutuhkan selama insisi kulit dan meneghubungkan drain dari kepala
sampai abdomen. Fentanil dapat diberikan (13 g/kg)
e. Perubahan hemodinamik mungkin terjadi saat volume besar CSF dialirkan dengan
cepat pada kateter ventrikular. Hal ini harus diwaspadai karena dapat menyebabkan
bradikardi dan hipotensi (Tatang, 1997; Dunn, 2007; Mangku, 2010, Hughes,
7.

2008).
Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
Pada perdarahan < 20% dari perkiraan volume darah pasien, diberikan cairan
pengganti kristaloid atau koloid, namun bila > 20% diberikan transfusi darah

(Mangku, 2010).
8. Pemulihan anestesi

Menjelang akhir operasi, dosis pelemas otot diturunkan sampai TOF=1. EtCO2
dinaikkan perlahan mencapai normal untuk mencegah kenaikan cepat dari perubahan
PaCO2. IPPV diteruskan sampai kepala selesai diperban dan anestesi dipertahankan
cukup untuk mencegah sraining akibat tube. Dangkalnya anestesi dan reaksi terhadap
ETT dapat menyebabkan peningkatan ICP dan tekanan arteri sehingga dipertahankan
jangan terjadi straining, batuk atau kenaikan tekanan darah saat ekstubasi (Tatang,
9.

1997; Basil, 2000).


Medikasi post operasi
a. Analgetik : Ketorolac
Ketorolak adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek analgesia yang potensi
tetapi hanya memiliki aktifitas antiinflamasi yang moderat bila diberi secara
intramuscular atau intravena. Obat ini dipakai sebagai analgesia paska
pembedahan baik sebagai obat tunggal (kurang nyeri pada pasien rawat jalan)
maupun suplemen dengan opioid. Ketorolak mempotensiasi aksi antinociceptif dari
opioid. Hal yang berlawanan efek analgesia opioid tergantung dosis, ketorolak dan
obat AINS lain menimbulkan efek pada analgesia paska pembedahan.
Keuntungan ketorolak sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi pada
kardiovaskuler maupun pernafasan. Tidak seperti opioid, ketorolak sedikit atau
tidak mempengaruhi saluran empedu .
Farmakokinetik
Setelah injeksi intramuscular, maksimum plasma konsentrasi tercapai pada 30
sampai 60 menit, dan waktu paruh eliminasi sekitar 6-8 jam. Mula kerjanya adalah
10 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Obat dan hasil metabolitnya akan
dikeluarkan melalui urin. Ikatan dengan protein melebihi 99 % dan bersihan obat
ini menurun dibandingkan opioid.
Farmakodinamik

Bekerja di jalur siklooksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang


kemudian menghambat sintesis dari prostaglandin dan menghasilkan efek
analgesia.
1) Efek analgesia.
Pada percobaan di beberapa hewan animal, mempunyai efek analgesia 200-800
kali lebih poten dibandingkan dengan aspirin, indometasin, naproksen dan fenil
butazon.
2) Efek anti inflamasi
Mempunyai anti inflamasi yang kurang dibandingkan dengan efek analgesinya.
Efek antiinflamasinya hampir sama dengan indometasin.
3) Efek pada fungsi platelet dan hemostasik
Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen mencetuskan agregasi
platelet. Tidak ada interaksi dengan heparin dan menimbulkan efek pada waktu
trombin dan waktu protrombin.
4) Efek pada mukosa gastrointestinal
Tergantung pada dosis untuk menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal
(Mangku, 2010).
b. Antiemetic : Ondansetron
Secara fisiologis, reseptor 5-HT3 berkaitan dengan muntah dan didapatkan
pada saluran cerna dan otak (area postrema). Reseptor 5-HT2 bertanggungjawab
untuk kontraksi otot polos dan agregasi trombosit; reseptor 5-HT4 terdapat pada
saluran cerna yang berguna untuk sekresi dan peristaltik, dan reseptor 5-HT7 yang
terutama terdapat pada sistem limbik mempunyai peran dalam depresi.
Ondansetron,

granisetron,

dolasetron

dan

tropisetron

secara

selektif

menghambat reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek terhadap
reseptor dopamin. Reseptor 5-HT3 yang terdapat perifer (eferen vagal abdominal)
dan sentral (kemoreseptor trigger zone pada area postrema dan nukleus traktus
solitarius) tampknya mempunyai peranan penting dalam permulaan refleks muntah.

Tidak seperti metoklopramid, oba-obaan ini tidak mempunyai efek terhadap


motilitas saluran cerna dan tonus sfingter esofagus bagian bawah (Mangku, 2010).
Penggunaan Klinis
Semua obat ini telah terbukti efektif sebagai antiemetik pada periode post
operatif. Pemberian profilaksis dapat diberikan pada pasien yang mempunyai
riwayat mual post operatif, pasien yang menjalani prosedur yang memiliki resiko
tinggi untuk muntah (laparoskopi); pada keadaan dimana keadaan mual muntah
harus dihindari (operasi bedah saraf) dan pasien yang sedang mengalami mual
muntah. Pada saat ini hanya ondansetron dan dolasetron yang disetujui oleh FDA
untuk mual muntah post operasi; granisetron hanya untuk pencegahan mual
muntah yang dipicu oleh khemoterapi.
Dosis
Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan untuk ondansetron sebagai
pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg yang dapat diberikan sebelum
induksi anestesi atau pada akhir operasi. Mual muntah post operatif juga dapat
diterapi dengan pemberian dosis 4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap
4 8 jam (Mangku, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Basil, F Matta., Menon, David. Textbook of neuroanaesthesia and critical care. London.
Greenwich Medical Media. 2000.
Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams &
Wilkins, Arizona,2003, 117 178
Dunn, peter F. 2007. Clinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital.
7th edition. Lippincott williams&Wilkins
Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2006, 359-366

Espay A J, Murro A M, Talavera F, Caselli R J, Benbadis S R, Crysta H A. April


Hydrocephalus.

Medscape

reference.

2010.

http://emedicine.medscape.com/article/1135286-overview#showall

Available

at

last

10

update

Januari 2012.
De jong W, Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Bab 24 Kepala dan Leher
Penerbit Jakarta: EGC; 2005. 335-386
Gupta, A., Summors, A. Notes in neuroanaesthesia and critical care. London; Greenwich
Medical Media. 2001.
Hassan R dan Alatas H. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. Bagian ilmu kesehatan anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta 2002.
Hughes, Richard. Anaesthesia for ventriculo-peritoneal shunt insertion. London, Ormond
Street Hospital for Children. 2008.
Mangku, Gde., Senapathi, T.G.A. Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan Reanimasi.
Jakarta; Indeks. 2010
Morgan GE, Michail MS, Muray MJ. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York: Lange,
2006.
Katzung, G Bertram.. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta, 2002
Kee, Joyce LeFever, Pedoman Pemeriksaan Labolatorium dan Diagnostik. Jakarta: EGC,
2008.
Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. Bacteriology of brain abscess. J. Med. Microbiol. 1993.
39:187-190
Latief . Kartini A.S., M. Ruswan D. Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : FKUI, 2001
Liau, P.W.; Chiang, T.R.; Lee, M.C. et. al. Tuberculosis with Meningitis, Myeloradiculitis,
Arachnoiditis and Hydrocephalus: A Case report. Acra Neurol Taiwan. 2010. 19: 189193
Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6. Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2010.
Piatt, J.H. Insertion of ventriculoperitoneal dan ventriculovenous cerebrospinal fluid shunt.
Techniques in Neurosurgery. 2002. 7(3): 197-205.
Rekate HL. A contemporary definition and classification of hydrocephalus. Semin Pediatri
Neurol. 2009.16(1):9-15.
Sri M, Sunaka N, Kari K. Hidrosefalus. Dexa Media. 2006. 1 (19):40-48
Tatang bisri. Neuroanestesi. Neuroanestesi . Bandung; UNPAD. 1997.

Efek Anestesia Pada Sistem Respirasi1


Anastesia menyebabkan gangguan pada fungsi paru, baik pada pasien yang bernapas
spontan maupun dengan ventilasi mekanik. Gangguan Oksegenasi darah terjadi pada
sebagian orang yang menjalani anestesia, oleh karena itu pemberian O2 rutin dilakukan
dengan fraksi O2 terjaga sekitar 0,3 sampai 0,4.
Hipoksemia ringan sampai sedang (saturasi O2 antara 85% sampai 90%) tetap dapat
terjadi pada hampir setengah pasien yang menjalani pembedahan berencana dan menetap
mulai dari beberapa detik sampai 30 menit walau sudah dilakukan penambahan FiO2.
Akibat pertama karena pengaruh anestesia adalah hilangnya tonus otot yang
menyebabkan perubahan keseimbangan antara gaya keluar (otot-otot pernapasan) dan gaya
ke dalam (jaringan elastis paru) sehingga kapasitas residu fungsional (FRC) akan turun.
Peristiwa ini akan menyebabkan penurunan komplians dan peningkatan resistensi pernafasan.
Pemberian opioid seperti morfin atau fentanyl dapat dapat mendepresi respon pusat
pernafasan terhadap hiperkarbia. Efek ini dapat dinetralisasi dengan pemberian antagonis
opioid, yaitu nalokson. Obat anastetik inhalasi juga dapat mendepresi pusat pernafasan dan
menyebabkan perubahan pada aliran darah di paru, sehingga menyebabkan mismatch
ventilasi/perfusi dan penurunan oksigenasi.
Induksi anestesi akan menurunkan kapasitas sisa fungsional (fungsional residual
volume), mungkin karena pergeseran diafragma ke atas, apalagi setelah pemberian pelumpuh
otot. Menggigil pasca anestesi akan meningkatkan konsumsi O2. Pada perokok berat mukosa
jalan nafas mudah teransang produksi lendir meningkat, darahnya mengandung HbCO kirakira 10% dan kemampuan Hb mengikat O2 menurun sampai 25%. Nikotin akan
menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Semua obat inhalasi anestesi meningkatkan kadar PaCO2. Anestetik inhalasi
meningkatkan ambang apnoe (kadar PaCO2 turun dimana apnoe terjadi melalui tidak adanya
rangsangan pernapasan yang digerakkan oleh CO2) dan menurunkan respon ventilasi
terhadap hipoksia. Efek terakhir yang sangat penting karena konsentrasi pada subanestetik
menekan peningkatan kompensasi normal dalam ventilasi paru yang terjadi selama hipoksia.
Semua maslah depresi pernafasan oleh obat anestesi dapat diatasi dengan ventilator mekanik
selama operasi berlangsung. Lebih jauh, depresan ventilator memberi efek terahadap
anestetik inhalasi yang diperkecil dengan rangsangan operasi dan peningkatan lamanya
anestesi. Obat anestetik inhalasi juga menekan fungsi mukosiliar saluran pernafasan. Jadi

anestesi yang berlangsung lama dapat menyebabkan penimbunan mucus dan dapat
menyebabkan atelektasis serta infeksi saluran pernafasan. Di lain pihak, obat anestetik
inhalasi cenderung bersifat bronkodilator. Efek ini sudah banyak digunakan pada pasien
dengan status asamatikus. Iritasi pernafasan baik karena batuk atau pengaruh pernafasan
lainnya jarang menjadi masalah pada pemberian anestetik inhalasi. Namun, hal ini relative
umum dengan desfluran dan induksi mungkin lebih sulit untuk mengerjaan dengan obat
tersebut selain koefisien partisi darah: udara yang rendah. Ketajaman enfluran dapat
memperoleh ketahanan nafas yang dapat membatasi kecepatan induksi. Penggunaan
sevofluran dengan kelarutan dalam darah yang rendah, bau yang tidak menyengat, tidak
mengiritasi saluran pernafasan, dan kardivaskular yang stabil menyebabkan induksi inhalasi
berjalan dengan cepat dan mulus. Umumnya, induksi inhalasi berjalan dengan baik.
Penambahan N2O saat induksi secara nyata mengurangi kejadian eksitasi. Waktu induksi
akan menjadi lbih cepat bila sevofluran diberikan bersama N2O 66%, dimana waktu induksi
hanya 45 detik pada infant dan anak yang lebih tua.
Anestesi dengan Asma
Untuk anestesi dan operasi elektif pada pasein dengan riwayat asma, maka asma harus
sudah terkontrol dan pasein sedang tidak menderita infeksi atau serangan mengi berat. Jika
pasien memakan obat secara teratur, maka obat jangan dihentikan. Perhatian khusus harus
diberikan paa pasien yang menggunakan steroid, secara sistemik atau dengan inhaler. Pasien
dengan riwayat serangan asma yang pernah dirawat dirumah sakit, harus dirujuk kerumah
sakit besar. Anestesi konduksi yang dikombinasikan dengan sedative intravaena (diazepam
dosis kecil) merupakan pilihan yang lebih baik daripada anestesi konduksi saja atau anestesi
umum.
Jika diperlukan anestesi umum, maka diberikan premedikasi antihistamin seperti
prometazin bersama dengan hidrokortison 100 mg. yang terpenting hindari laringoskopi dan
intubasi dengan anestesi yang dangkal, karena dapat menyebabkan brokspasme. Ketamin
cukup baik untuk induksi intravena, karena bersifat bronkodilator. Untuk tindakan yang
singkat, sebaiknya gunakan teknik masker wajah setelah induksi dan hindari intubasi.
Gunakan oksigen dengan konsentrasi 30% atau lebih untuk udara inspirasi. Jika dibutuhkan
intubasi, maka perdalam anestesi dengan inhalasi, kemudian lakukan intubasi tanpa relaksan
otot. Pada pasien yang dianestesi dalam dapat dilakukan laringoskopi tanpa menyebabkan
bronkospasme bila diintubasi. Eter dan halotan merupakan brnkodilator yang baik, tetapi eter
mempunyai kelebihan, yaitu bila terjadi bronkospasme, epinefrin 0,5 mg subkutan bisa

diberikan dengan aman, tetapi hal ini berbahaya jika diberikan bersama dengan halotan
karena dapat menyebabkan gangguan irama jantung akibat efek katekolamin. Sebagai
pengganti dapat diberikan aminofilin 250 mg intravena secara perlahan-lahan untuk dewasa.
Pada akhir tindakan jika diperlukan ektubasi lakukan dengan posisi miring dan
dengan anestesi dalam, karena stimuli laring dapat menyebabkan bronkospasme.

Anestesi dengan Bronkitis Kronis


Pasien dengan bronchitis kronis, mempunyai tingkat obstruksi yang tidak dapat
kembali lagi. Operasi elektif untuk abdomen atas harus dirujuk kerumah sakit besar, bila
perlu paru-paru diberikan ventilasi buatan selama 1-2 hari pasca bedah. Hati-hati terhadap
opioum, karena baiasanya lebih mudah menyebabkan depresi pernafasan. Untuk analgesia
abdomen bagian atas dapat digunakan blok interkostalis berulang. Dengan bupivakain 0,5%
blok ini dapat bertahan selama 6-8 jam, selama waktu ini pasien dapat bernafas dan
membatukkan sputum tanpa rasa sakit.

Anda mungkin juga menyukai