TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
: dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak
dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya.
Peningkatan tekanan intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan
otak dan menekan batang otak.2,4
Etiologi dari Stroke Hemoragik :
Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri
dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.3,4
Gejala klinis :
Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan
aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan
tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori,
bingung, perdarhan retina, dan epistaksis.
Penurunan
kesadaran
yang
berat
sampai
koma
disertai
hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum.
Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks
pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi.
Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya
papiledema dan perdarahan subhialoid.
Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di
ruang subarakhnoid yang timbul secara primer.3,4
Gejala klinis :2,4
Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,
berlangsung dalam 1 2 detik sampai 1 menit.
Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang,
gelisah dan kejang.
Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam
beberapa menit sampai beberapa jam.
Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen.
Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala
karakteristik perdarahan subarakhnoid.
Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau
hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan
pernafasan.
b. Stroke Non-Hemoragik (Stroke Iskemik, Infark Otak, Penyumbatan)
Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan pada pembuluh darah serviko-kranial
atau hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai faktor seperti aterotrombosis, emboli,
atau ketidakstabilan hemodinamik.2,4
Aterotrombosis terjadi pada arteri-arteri besar dari daerah kepala dan leher dan dapat
juga mengenai pembuluh arteri kecil atau percabangannya. Trombus yang
terlokalisasi terjadi akibat penyempitan pembuluh darah oleh plak aterosklerotik
sehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal dari lokasi penyumbatan.
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
: dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
Gejala neurologis yang muncul tergantung pada lokasi pembuluh darah otak yang
terkena.2,4
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
: dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
bakteri meningokok, pneumokok, hemofilus influenza. Ada juga yang timbul karena
perjalanan radang langsung dari tulang tengkorak, mastoiditis, dari tromboflebitis,
atau pada luka tembus kepala. Bakteri penyebab yaitu streptokok, stafilokok, kadang
pneumokok.
Meningitis serosa
Cairan serebrospinal jernih, meskipun mengandung jumlah sel dan protein yang
tinggi. Penyebab yang paling sering adalah kuman tuberkulosis dan virus.
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
: dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.
Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan
pemeriksaan LCS pada pasien kana menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10 /mm3.
5. Terapi Meningitis non-TB
Terapi empirik dapat diberikan pada pasien dengan suspek meningtis bakteri sebelum
hasil dari pemeriksaan cairan serebrospinal. S. Pneumonia dan N. Meningiditis merupakan
penyebab terbanyak meningitis non-TB. Pemeberian terapi empirik pada kedua kuman ini
dengan antibiotik Cefalosporin generasi ketiga (ceftriakson, cefotaxim, dan vankomisin).
Cefepime adalah generasi keempat golongan sefalosporin yang bersifat broad spektrum dan
dapat digunakan pada infeksi S. Pneumoni dan N. Meningiditis. Adapun pengobatan empirik
terhadap bakteri patogen terlihat pada tabel 4 dan 5 dibawah ini:11
Kuman Penyebab
H. Influenza, Pneumococcus,
Staphilococcus non PNC, dan
Staphylococcus PNC
S. pneumoniae, H. Influenzae
Dosis
20 million unit/ 6 jam (IV)
4 gram/ hari (IV) dibagi 4 dosis
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
Ampisillin
S. Pneumonia, H. Influenzae
Ciprofloxacin
Ceftazidine
P. aeruginosa
Streptococcus, stafilococcus,
Haemofilus dan Enterobakter
H. Influenzae,
N.meningitides,
S.pneumonia
P. aeruginosa
Vancomycine
Staphylococcus epidermidis
Cefotaxime
Ceftriaxone
Meropenem
P. aeruginosa,
6 gram/ hari (IV)
N. meningitides.
Tabel 5. Dosis terapi antibiotik empirik yang digunakan11
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
Pemeriksaan Penunjang : Darah tepi perifer (dapat dijumpai leukositosis pada fase
akut), pemeriksaan serologik uji netralisasi dan fiksasi komponen (titer antibodi
naik 4x atau lebih pada fase akut), cairan serebrospinal (peningkatan jumlah sel
20-300 sel/uL pada 72 jam pertama, selanjutnya didominasi limfosit dan sel
menurun pada minggu ke-2 menjadi 10-15 /uL. Dapat dijumpai pula penurunan
kadar gula likuor dan peninggian kadar protein 30-200 mg/dL pada minggu ke-2
dan normal kembali dalam sebulan).
Diagnosis : Gejala dan perjalanan klinik. Membiakkan virus polio dengan
pengambilan sampel sebelum 2 minggu (setelah lumpuh) karena dapat didapatkan
negatif palsu. MRI (menunjukkan kerusakan di daerah kolumna anterior).
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
: dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
Terapi : Tidak ada terapi spesifik untuk polio, sehingga pada penyakit ini lebih
diberikan terapi bersifat suportif.
Prognosis : Tipe bulber prognosisnya lebih buruk. Kematian biasanya karena
kegagalan fungsi pusat pernapasan atau infeksi sekunder pada jalan napas.
Komplikasi residual paralisis adalah kontraktur sendi.
b. Guillain Barre Syndrome
Definisi : Suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul setelah
suatu infeksi akut atau diakibatkan oleh autoimun, dimana proses imunologis
tersebut langsung mengenai radiks spinalis saraf perifer, dan juga saraf kranialis.
Saraf yang diserang bukan hanya mempersarafi otot, tetapi juga indera peraba
sehingga penderita mengalami mati rasa atau baal.
Etiologi : Infeksi (virus Epstein-Barr Virus, bakteri campylobacter, jejuni,
mycoplasma, pneumonia), penyakit sistemik (keganasan, lupus eritematous,
tiroiditis)
Epidemiologi : Merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering pada usia
dewasa muda. Angka kejadian dunia 0,6-2% per 100.000 orang /tahun, sedangkan
di negara barat sekitar 1-2% per 100.000 orang/tahun. Lebih sering ditemukan
pada laki-laki.
Patogenesis dan Patologi : Secara mikroskopik tampak adanya infiltrasi sel
mononuclear di perivenula dan ditemukan adanya demielinisasi segmental
disusunan saraf tepi. Walaupun penyakit ini sering didahului oleh bermacammacam penyakit, namun patologi yang ditemukan sama pada semua pasien GBS.
Daerah yang terinflamasi akan diinfiltrasi sel mononuclear kemudian akan terjadi
demielinisasi segmental. Destruktif myelin berlangsung progresif ke arah lokasi
sentral nucleus sel schwan (dikenal dengan Acute Inflammatory Demielinating
Polyradiculoneuropati).
Gejala Klinis : Terjadi kelemahan motorik yang ascenden dan progresif, simetris,
hiporefleks, gangguan sensibilitas ringan, gejala saraf kranial 50% terjadi parese
N.VII khususnya lidah dan otot ekstraokuler. Pemulihan dimulai 2-4 minggu
setelah progresifitas berhenti dan dapat memanjang sampai beberapa bulan.
Disfungsi otonom seperti takikardia dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi,
dan gejala vasomotor. Tidak ada demam dan onset gejala neurologis.
Pemeriksaan Penunjang : Cairan serebrospinal disosiasi albumin sitologis
(peningkatan protein (1-1,5 g/dL) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel). EMG (pada
beberapa kasus didapatkan perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80%
kasus dengan kecepatan hantar kurang dari 60% dari normal).
Diagnosis : Dari anamnesis didapatkan kelemahan dan gangguan sensorik
ascenden dan simetris, dimana kelemahan dimulai dari anggota gerak lemah lebih
dahulu. Pada anggota gerak atas kelemahan dimulai dari otot distal. Kelemahan
terjadi akut dan progresif dari ringan hingga tetraplegi serta gangguan napas.
Parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, simetris, dapat berupa nyeri, sensasi
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
c. Neuropati
Definisi : suatu keadaan yang berhubungan dengan gangguan fungsi dan struktur
dari saraf tepi.
Etiologi : Trauma, radang gangguan metabolik, kelainan struktur sekitar saraf dan
lain-lain sebab (Walton, 1977). Banyak saraf tepi yang mudah terkena cedera
mekanikal karena panjangnya saraf tersebut dan perjalanannya yang berada di
superfisial. Oleh karena itu kompresi neuropati khas ditandai oleh terkenanya satu
saraf tepi pada tempat dimana secara anatomi paling mudah terkena tekanan.
Dengan demikian tingkat kerusakan ditentukan oleh berbagai faktor, tetapi yang
paling penting adalah besar dan lamanya tenaga cedera dan komposisi serta
hubungan anatomi dari bagian saraf.
Epidemiologi : Menurut Bennet (1978) dan Tollison (1998), di Amerika Serikat
terdapat kira-kira 75,8 juta penderita nyeri kronik dengan 25 juta diantaranya
adalah penderita arthritis. Jumlah penderita neuro
Patogenesis dan Patologi : Mekanisme yang mendasari neuropati perifer
tergantung dari kelainan yang mendasarinya. Perubahan ekspresi dan distribusi
saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan
eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab
terhadap menculnya nyeri neuropatik spontan (Wolf, 2004). Kerusakan jaringan
dapat berupa rangkaian yang terjadi di nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau
nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan saraf, baik serabut saraf pusat maupun
perifer disebut nyeri neuropatik. Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh
nosiseptor dengan mengeluarkan berbagai mediator inflamasi seperti bradikinin,
prostaglandin, histamin, dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi
nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri spontan.
Gejala Klinis : Menimbulkan gangguan campuran sensorik dan motorik, bahkan
gangguan fungsi otonom.
Pemeriksaan Penunjang : Dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Diagnosis : Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
: dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
Terapi : Gabapentin, antidepresan trisiklik (amitriptilin), karbamasepin dan
okskarbamasepin, lamotrigin.
Prognosis : Secara keseluruhan baik.
d. Myastenia Gravis18-20
Definisi : Kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan
progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan sat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya ganguan dari
synaptic transmision atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita
beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Etiologi : Autoimun.
Epidemiologi : Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka
kejadianya 20 dalam 10.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak
pada penderita berusia diatas 50 tahun. Perempuan lebih sering menderita
penyakit ini dibandingkan laki-laki dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada
perempuan, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28
tahun, sedangkan pada laki-laki, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.
Patogenesis dan Patologi : Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita
miastenia gravis, misalnya autoimun tiroidits, sistemik lupus eritematosus,
arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sehinga mekanisme imunogenik memegang
peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Tidak diragukan
lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab
utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Miastenia gravis dapat
dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.
Gejala Klinis : Miastenia gravis dikarakteristikan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis
miastenia gravis antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis.
Ptosis yang merupakan salah satu gejala sering menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius.
Walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada
kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut
kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot maseter sehinga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, dikuti
dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Selain itu dapat pula timbul
kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah, palatum
mole, dan laring sehinga timbulah paresis dari palatum mole yang akan
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
e. Miopati
Definisi : Penyakit neuromuskuler dimana serat otot tidak dapat berfungsi dengan
baik, ditandai dengan terjadinya kelemahan otot. Kelainan primernya terjadi pada
otot, bukan pada saraf (neuropati) atau yang lain (otak dan sebagainya). Keram
otot, kekakuan dan spasme dapat pula dihubungkan dengan miopati.
Etiologi : Etiologi miopati sangat luas dan beragam. Primer seperti; distrofi
muskuler (DMD), miopati kongenital, miopati metabolik. Sekunder seperti
miopati akibat gangguan metabolik dan endokrin seperti penyakit tiroid.
Epidemiologi : Miopati termasuk dalam penyakit yang jarang terjadi. Insidensi
global dari keseluruhan miopati herediter, kira-kira sebesar 14% dari populasi
dunia. Prevalensi distrofi muskuler lebih tinggi pada laki-laki. Distrofi otot adalah
bentuk kelainan yang paling umum didapati dan Duchenne distrofi muskuler
(DMD) adalah jenis distrofi otot yang paling sering ditemui. Di Amerika Serikat,
Duchenne dan becker MD mendekati angka 1/3300 anak. DMD memiliki
prevalensi tertinggi dari kejadian miopati. Insidens keseluruhan dari distrofi
muskuler sekitar 63 per 1 juta. Insidensi global dari miopati inflamatorik (semisal
dermatomiosis, polimiositis) sekitar 5-10 per 100.000 populasi. Gangguan ini
lebih sering pada wanita. Insidensi dan prevalensi dari miopati metabolik dan
endokrin tidak diketahui. Miopati kortikosteroid adalah miopati yang terbanyak
pada miopati endokrin serta gangguan endokrin paling sering pada wanita.
Miopati metabolik jarang terjadi tetapi diagnosis untuk kondisi tersebut meningkat
di amerika serikat.
Patogenesis dan Patologi : Kebanyakan miopati kongenital atau miopati herediter
adalah penyakit kronis dengan progresifitas yang lambat. Klinisi jarang mendapati
pasien datang secara khusus untuk mengobati miopati kongenitalnya tanpa adanya
keluhan lain yang menyerang secara akut. Klinisi lebih sering mendapati pasien
dengan miopati yang disebabkan oleh gangguan metabolik, inflamatorik, endokrin
dan toksik dibandingkan miopati dengan penyebab kongenital karena
perlangsungan dari gejala-gejala miopati nonkongenital.yang bersifat akut
maupun subakut. Paralisis periodik adalah sekelompok penyakit yang
menyebabkan pasien datang dengan kelemahan akut akibat gangguan perpindahan
ion kalium yang mengarah pada disfungsi otot. Kerusakan genetik pada cannel ion
natrium di dalam membran sel otot mengakibatkan terjadinya paralisis, yang dapat
berlangsung selama beberapa jam sampai sekian hari.
Gejala Klinis : Kelemahan terutama otot bagian proksimal, setelah otto kontraksi
biasanya sulit untuk relaksasi, mialgia, keram otot.
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
: dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
Pemeriksaan Penunjang : Elektrolit, kalsium, magnesium, serum mioglobin,
kreatinin serum dan BUN, Urinalisis: mioglobinuria diindikasikan bila urinalisis
positif dengan sedikit RBCs pada evaluasi mikroscopik, hitung darah lengkap, laju
endap darah, tes fungsi tiroid, AST, EKG, EMG.
Diagnosis : Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Terapi : Karena perbedaan tipe miopati disebabkan oleh banyak jalur yang
berbeda, tidak ada penanganan tunggal untuk miopati. Tergantung pada diagnosis,
tingkat keparahan dan keadaan penyakit. Jangkauan penanganan meluas dari
penanganan simptomatik sampai penanganan target atau penyebab spesifik.
Farmakoterapi, terapi fisik, terapi supportif, bedah bahkan akupuntur adalah
pilihan terpai terkini untuk beragam kelainan miopati.
Prognosis : Beragam tergantung etiologi dan diagnosis spesifiknya. Kematian dan
kecatatan akibat miopati bergantung pada etiologi dari kelainan, beratnya
penyakit, dan adanya kondisi-kondisi yang mengancam. Miopati sekunder dapat
dikoreksi dengan penanganan yang tepat yakni dengan menghilangkan
penyebabnya. Kelemahan parah dapat mengarah pada kegagalan pernafasan dan
kematian.
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
TUGAS UJIAN
Ricky Julianto 030.10.236
Penguji
: dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
20. Romi F, Gilhus N E. Myasthenia gravis clinical, immunological, and therapeutic
advances. 205; 11: 134-41.