Anda di halaman 1dari 19

A.

Sejarah Penelitian Proses Gasifikasi


Indonesia merupakan salah satu

pengekspor batubara besar didunia,

Sumatera Selatan khususnya merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di


Indonesia sekitar 39.64%, hal ini bisa terlihat pada gambar 2.1

Gambar.2.1. Provinsi Penghasil Batubara di Indonesia


Batubara ada yang thermal (steaming) coal dan metalurgi coal. Batubara
termal biasanya di haluskan dan dibakarkan dalam boiler untuk menghasilkan listrik
dan batubara metalurgi digunakan untuk menghasilkan coke untuk pelelehan besii
dan baja. Sayangnya utilitas batubara pada teknologi yang digunakan sekarang ini
mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap lingkungan. Polutan utama
meliputi oksida oksida nitrogen dan sulfur, abu dan slag, emisi partikel dan gas
rumah kaca seperti karbondioksida. Oleh karena itu diperlukan penyikapan secara
insentif tinggi untuk menurunkan emisi dan mengembangkan efisiensi fuel (bahan
bakar) teknologi utilitas batubara.
Gasifikasi batubara adalah proses untuk mengubah batubara menjadi fuel
gas yang kaya akan CO dan H2. Hal ini bukan lagi teknologi baru. Gas yang
dihasilkan dari karbonisasi coking coal telah digunakan sebagai penerangan sejak
tahun 1792. Proses original yang sama dengan coking ini adalah proses yang
mengubah non-coking coal yang didemonstrasikan pada tahun 1860. Tetapi pada
akhirnya tidak dipakai lagi karena CO merupakan gas beracun lebih beracun dari

pada CO2 karena kecepatan CO mengikat hemoglobin lebih cepat dibandingkan


dengan CO2. Pada akhir tahun 1880

produksi kimia dari proses gasifikasi

didemonstrasikan dalam pembuatan amoniak. Teknologi ini berkembang sangat


cepat ke daerah Eropa, Jepang dan Amerika Serikat.
System gasifikasi batubara modern digunakan untuk menghasilkan bahanbahan kimia seperti hidrogen dan metanol dan untuk menyediakan sistem yang lebih
bersih dan efisien. Ada beberapa tipe gasifier modern yang sudah ada yaitu
entrained-flow, fluidized-bed dan fixed-bed dan kondisi ketiga sistem itu sangat
berdasarkan pada tipe batubara yang digunakan.
Sampai akhir tahun 1920-an gas hasil gasifikasi diperoleh dengan oksidasi
sebagian (partial oxidation) coke dengan udara terhumidifikasi. Setelah Carl von
Linde mengkomersialkan pemisahan kriogenik dari udara selama tahun 1920-an,
proses gasifikasi menghasilkan gas sintesa dan hidrogen menggunakan oksigen
blast, hal ini merupakan tonggak perkembangan proses gasifikasi seperti proses
Winkle fluid-bed (1926), Lurgi pressurized gasification (1931), dan Koppers-Totzek
entrained-flow (1940-an).
Perkembangan gasifikasi selanjutnya dimulai selama perang dunia kedua
ketika insinyur Jerman menggunakan proses gasifikasi untuk memproduksi bahan
bakar sintetik. Teknologi ini diekspor ke Afrika Selatan pada tahun 1950-an yang
kemudian memicu berdirinya perusahaan gasifikasi batubara terbesar sampai saat
ini yaitu South African Coal Oil and Gas Corporation (Sasol) dan menjadi pusat
gasifikasi terbesar di dunia pada akhir tahun 1970-an. Perusahaan ini menggunakan
gasifikasi batubara dan sintesis Fischer-Tropsch sebagai dasar dari pembuatan gas
sintesis kompleks dan industri petrokimia.
Pada tahun 1950-an, baik Texaco dan Shell oil juga mengembangkan proses
gasifikasi. Dengan keberadaan gas bumi dan minyak yang banyak pada tahun 1950an, peran gasifikasi batubara mulai menurun. Menurunnya peran ini bukan hanya
disebabkan oleh ketersediaan gas bumi dan minyak yang banyak tetapi juga karena
nilai kalor gas bumi dan minyak yang lebih tinggi serta sedikitnya kandungan
pengotor bila dibandingkan dengan batubara.

Untuk pemanfaatan tar dimulai pada pertengahan abad ke-19, ketika


perkembangan teknik kimia telah memungkinkan untuk melakukan distilasi dan
pemurnian tar menjadi produk pewarna sintetik dan bahan kimia. Jadi, sebelum
industri kimia yang berbahan baku migas atau disebut dengan petrokimia
berkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut dengan coal-chemical
telah lebih dulu eksis.
Kemudian awal tahun 1970-an krisis minyak pun mulai terjadi sedangkan di
pihak lain cadangan batubara masih dalam jumlah yang sangat besar sehingga
pengembangan teknologi proses batubara kembali dilirik. Hal ini memicu berbagai
teknologi proses alternatif pengembangan penggunaan batubara seperti gasifikasi
dan likuifaksi. Terdapat juga proses hidrogenasi batubara dikonversi secara
langsung menjadi metana sebagai pengganti gas bumi atau Synthetic Natural Gas
(SNG).

Karena

beroperasi

pada

tekanan

yang

tinggi

menjadikan

proses

hidrogasifikasi agak sulit untuk dikomersialisasikan.


Setelah embargo minyak Timur Tengah terjadi tahun 1973. Pemerintah
Amerika menyediakan dukungan dana untuk konsep penelitian gasifikasi, termasuk
penelitian pertama Integrated Gasification Combine Cycle (IGCC). Pada proses
IGCC, batubara digasifikasi dimana produk dari gasifikasi kemudian di purifikasi
untuk menghilangkan asam dan partikulat pengotor sebelum diinjeksi ke gas turbin.
Panas yang diambil dari exhaust gas turbin dimanfaatkan untuk menghasilkan
steam penggerak turbin uap.

Karena pembakaran flue gas berasal dari turbin

gas hampir bebas dari asam dan partikulat pengotor, IGCC dianggap sebagai
teknologi pemusnah hujan asam. Tetapi yang lebih penting, efisiensi dari IGCC lebih
tinggi dari pada sistem konvensional serta secara signifikan pula CO 2 yang
dihasilkan jauh lebih sedikit. Hal ini membuat IGCC merupakan solusi bagi negaranegara yang harus menurunkan emisi gas rumah kaca tetapi tidak bisa berganti ke
sumber energi lain. Pada awal 1990-an lembaga-lembaga pemerintahan Amerika
dan Eropa menyediakan dana penelitian untuk menguji kelayakan proses IGCC.
Kemudian tahun 2000an IGCC mulai dikomersialkan.

Proses komersialisasi gasifikasi batubara dimulai oleh 3 proses gasifikasi


yaitu proses Lurgi, Winkler, dan Koppers-Totzek. Proses Lurgi beroperasi pada
tekanan tinggi 2030 atm dengan temperatur 1000 oC. Winkler yang menggunakan
gasifier tipe fluidized beroperasi pada temperatur 800-900 oC dengan tekanan
atmosfer, begitu juga dengan proses Koppers-Totzek yang beroperasi pada tekanan
atmosfer tetapi menggunakan temperatur yang lebih tinggi lagi sekitar 1500-1800 oC
tetapi proses Koppers-Totzek hampir tidak menghasilkan produk samping dan yield
gas sintesis paling tinggi yaitu 95%. Adapun proses Otto-Rummel yang
menggunakan gasifier molten bath yang beroperasi pada temperatur 1400-1700 oC
dan tekanan atmosferik.
Pada masa sekarang ini pengembangan proses gasifikasi hampir menyeluruh
di seluruh benua. Di benua Afrika terdapat konsentrasi terbesar di dunia terletak di
Afrika Selatan (Sasol) dimana lebih dari 40% produksi bahan bakar sintetik dan
kimia dari gasifikasi batubara. Ada 3 pabrik Sasol (Sasol I, II, III) yang berlokasi di
Seconda dan Sasolburg. Di benua Asia, pabrik terbesar berada di India, China, dan
Jepang. Sedangkan di benua Eropa ada 5 proyek besar IGCC beroperasi di Eropa
Barat dengan konsentrasi terbesar di Itali yang memiliki 3 proyek terbesar yaitu
Priolo (Sicily), Sarroch (Sardinia), dan Sannazzaro (Italia Utara). Sedangkan 2
proyek lainnya di Puertollano (Spanyol), dan Buggenum (Belanda). Di benua
Amerika Utara kebanyakan di Kingsport, Tennessee dan North Dakota.
Di Indonesia sendiri, sudah dibangun pilot plant gasifikasi batubara untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sistem bifuel yaitu campuran gas batubara
dan solar. Pilot plant ini dibangun atas kerjasama antara Puslitbang Teknologi
Mineral dan Batubara dengan PT PLN (Persero) dan PT Coal Gas Indonesia. Bila
pilot plant ini berhasil maka dapat mengurangi penggunaan BBM (solar) oleh PLTD
milik PT PLN sehingga dapat menekan biaya produksi listrik sekaligus mengurangi
beban subsidi pemerintah. Disamping itu juga akan meningkatkan nilai tambah
batubara, menambah devisa negara dan membuka lapangan kerja.
Prosesproses gasifikasi diatas, rata-rata menggunakan temperatur dan atau
tekanan tinggi sehingga memerlukan kebutuhan energi panas yang sangat besar
pula. Sehingga perkembangan penelitian dalam bidang gasifikasi masih terus

dilakukan untuk menurunkan temperatur reaksi dan hasil gasifikasi yang lebih baik
lagi.
Penelitian terdahulu walaupun bisa mencapai yield yang tinggi tetapi masih
membutuhkan temperatur yang tinggi. Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi
penelitian selanjutnya. Untuk lebih jelasnya penelitian yang telah dilakukan dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel.2.1. Sejarah penelitian proses gasifikasi batubara
N

Peneliti/

Cara

Kondisi

o
1

Pengembang
Lurgi

Kontak
Fixed

Operasi
T= 1000oC

bed

P = 20-30

Winkler

Kopper-Totzek

tinggi

n
Temperatu
r dan

Fluidized

T = 800- < 95%- Tekanan

tinggi
Temperatu

bed

900oC

sangat

r masih

rendah

relatif

atmosferik

- Yield

tinggi

tinggi
- Yield

Temperatu

Entrained T = 1500- 95
1800oC
P

Otto-Rummel

- Yield

Kelemaha

tekanan

Phase

(%)
<95

Kelebihan

atm

Yield

Molten

atmosferik
T = 1400- < 95

bath

1700oC
P

atmosferik

tinggi

r masih

- Tekanan

sangat

rendah
- Yield

tinggi
Temperatu

tinggi

r masih

- Tekanan

sangat

rendah

tinggi

B. TEKNOLOGI PEMBUATAN SYNGAS


Pembuatan syngas adalah hal yang sangat penting dan paling mahal diantara
3 seksi proses ( pembuatan syngas, sintesa fischer tropsch, dan produk work-up),
dan membutuhkan energi yang paling besar dalam pabrik.
Teknologi yang digunakan untuk pembuatan syngas secara garis besar ada 2, yaitu :

a. Reforming
b. Gasifikasi
Gasifikasi digunakan untuk proses konversi solid/heavy liquid feedstock
menjadi syngas. Sedangkan reforming digunakan untuk konversi gas/light liquid
feedstock menjadi syngas. Teknologi lain yang khusus untuk temperature tinggi
oksidasi parsial, digunakan untuk range feed yang luas dan dilanjutkan dengan
gasifikasi melibatkan metana reforming.
1.

REFORMING
Spesifikasi feed gas yang biasa digunakan dapat dilihat pada table 2.2 :
Tabel 2.2. spesifikasi feed gas untuk reforming
Feed gas
N2, % vol

Gas alam
Lean
Heavy
3.97
3.66

Gas associated
Lean
Heavy
0.83
0.79

CO2, % vol

1.61

1.5

CH4, %vol

95.7

87.86

89.64

84.84

C2H6, % vol

0.33

5.26

7.24

6.64

3.22

0.65

6.23

Max. Total S, ppm vol

20

20

Hydrogen sulfide, ppm vol

COS, ppm vol

n.a

n.a

Merkaptan, ppm vol

14

14

C3++, % vol

Steam Reforming
Steam reforming hidrokarbon proses yang didominasi pada pabrik hydrogen,
khususnya untuk pengilangan. Range feedstock yang biasa digunakan adalah gas
alam dan LPG menjadi bahan bakar liquid termasuk naphta dan kerosene. Steam
reforming biasanya dikombinasikan dengan oksigen atau air-blown partial oxidation
processes untuk produksi syngas untuk ammonia, methanol dan produk petrokimia.

Steam reforming tidak dianjurkan untuk produksi syngas untuk skala besar.
Selain karena input panas yang besar dan rasio produksi gas H2/CO diatas nilai
yang diharapkan sekitar 2.
2. GASIFIKASI
Gasifikasi melibatkan reaksi sumber karbon, kemungkinan bergabung dengan
hidrogen, dengan sumber hidrogen (biasanya steam) dan/atau oksigen untuk yield
gas yang terdiri dari hidrogen, karbonmonoksida, karbondioksida, dan metana.
Proporsi komponen gas ini bergantung pada rasio reaktan yang digunakan dan
kondisi reaksi.
Feedstock diubah menjadi bentuk gas, substan yang tidak diinginkan seperti
senyawa sulfur dan partikel solid di entrained dapat dipisahkan dari gas dengan
beberapa teknik. Syngas bersih

(khususnya campuran karbonmonoksida dan

hidrogen) dapat diubah menjadi bahan bakar gas, bahan bakar likuid, bahan kimia,
electric power (daya listrik) atau kombinasinya.
Teknologi gasifikasi dapat dikelompokkan berdasarkan konfigurasi aliran dari
unit gasifiernya. Konfigurasi yaitu :
1.

Fixed bed

2.

Fluidized bed

3.

Entrained flow

4.

Molten bath
1. Fixe bed
Pada konfigurasi ini, batubara diumpankan dari atas kemudian perlahan-lahan turun
kebawah dan dipanaskan oleh gas panas dari arah bawah. Batubara melewati zona
karbonisasi kemudian zona gasifikasi, akhirnya sampai pada zona pembakaran
pada bagian bawah gasifier tempat reaktan gas diinjeksi. Sistem ini diilustrasikan
pada Gambar 2.2. berikut ini :

Gambar 2.2. Fixed bed gasifier


Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier, yaitu :

Gambar 2.3. Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier
Pada proses gasifikasi dengan fixed bed gasifier
Ada 4 zona reaksi yaitu :
1.

Zona devolatilisasi

Pada zona ini terjadi penguapan uap air dan zat-zat volatil yang terkandung dalam
batubara.
2. Zona Gasifikasi

Pada zona ini uap air yang dialirkan dan CO 2 yang terbentuk dari pembakaran
sempurna bereaksi dengan batubara pada suhu tinggi membentuk gas sintesis yang
terdiri dari CO, H2 dan N2.
2.

Zona Pembakaran
Pada zona ini oksigen yang masuk bereaksi dengan sebagian batubara membentuk
CO2 dan H2O yang diperlukan dalam reaksi gasifikasi.
3.

Zona abu

Zona ini adalah tempat penampungan abu yang dihasilkan, baik hasil reaksi
pembakaran maupun reaksi gasifikasi.
2. Fluidized bed
Dalam fluidized bed gasifier, reaktor gas digunakan untuk membuat fluidisasi
material batubara. Untuk menghindari sintering dari abu, fluidized bed gasifier
dibatasi beroperasi pada temperatur non-slagging.

Gambar 2.4. Fluidized bed gasifier


Batubara dimasukkan dari bagian samping sedangkan oksidannya dari arah
bawah. Oksidan (O2 dan uap) selain berperan sebagai reaktan pada proses, juga
berfungsi sebagai media lapisan mengambang dari batubara yang digasifikasi.
Dengan kondisi penggunaan oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak
akan dapat
komplementer.

maksimal karena harus melengkapi fungsi lainnya atau bersifat

d. Entrained flow
Batubara dialirkan kedalam gasifier secara cocurrent atau bersama-sama
dengan agen gasifikasi atau oksidan berupa uap air dan oksigen, bereaksi pada
tekanan atmosfer. Pada entrained gasifier, batubara dihaluskan sampai ukuran
kurang dari 0,1 mm diumpankan dengan reaktan gas ke dalam chamber dimana
reaksi gasifikasi terjadi seperti halnya sistem pembakaran bahan bakar berbentuk
serbuk.
Residence time partikel padatan yang singkat dalam sistem fase entrained
memerlukan kondisi operasi dibawah slagging untuk mencapai laju reaksi dan
konversi karbon yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa operasi non-slagging pada
entrained gasifier baik sekali hanya untuk proses hidrogasifikasi.

Gambar 2.5. Entrained gasifier


Konfigurasi lainnya adalah molten bath
4. Molten bath
Molten bath mirip dengan sistem fluidized bed dimana reaksi terjadi dalam
medium yang tercampur merata dari inersia panas tinggi. Temperatur operasi
tergantung pada tipe bath : untuk slag dan molten metal bath diperlukan temperatur
tinggi (14001700oC), tetapi temperatur 1000oC dapat digunakan molten salt.

Reaktan gas dapat diinjeksi dari atas seperti jet kemudian berpenetrasi kedalam
permukaan bath, seperti ditunjukkan pada gambar 2.6, atau dapat diumpankan ke
bottom bath

Gambar 2.6. Molten bath gasifier


Fixed bed gasifier termasuk dalam kategori sistem aliran counter current,
fluidized bed dan molten bath gasifier dapat dianggap sebagai reaktor tanki
pengaduk kontinyu dan entrained gasifier sebagai sistem aliran co-current.
Aliran counter current dalam reaktor fixed bed, pemindahan volatile matter
yang dihasilkan dari gasifier tanpa melewati zona gasifikasi temperatur tinggi atau
zona pembakaran. Karakteristik komposisi produk gas pada fixed bed gasifier yaitu
adanya uap tar (bila digunakan antrasit atau devolatilisasi char/coke sebagai bahan
baku) dan yield metana yang tinggi. Residence time yang paling lama terdapat pada
fixed bed gasifier dimana kecepatan gas dibatasi untuk menghindari semburan
serbuk batubara ke dalam aliran produk gas. Sedangkan residence time terpendek
terdapat dalam entrained gasifier.
Perbedaan residence time padatan diantara tipe gasifier merupakan hal
substansial. Pada fixed bed

residence time padatan biasanya beberapa jam.

Sedangkan pada fluidized bed atau molten bath pada umumnya sekitar 1 jam. Pada

fluidized bed, char yang tidak terkonversi dikumpulkan dan diumpankan ke gasifier
lainnya atau ke pembakar. Sedangkan pada entrained kecuali untuk hidrogasifikasi,
umumnya beroperasi pada temperatur slagging untuk mencapai laju reaksi dan
konversi karbon yang tinggi. Residence time yang pendek pada entrained membuat
kontrol pada kondisi operasi gasifikasi lebih sulit dan perlu adanya kekonsistensian
umpan batubara, merupakan hal yang harus diperhatikan.

C. REAKSI GASIFIKASI
Prinsip reaksi kimia pada proses gasifikasi sebagai berikut :
1.

Reaksi pembakaran
C

+ O2

>>CO

H = -111 mJ/kmol

(1)

Reaksi ini eksotermis. Selanjutnya reaksi ini tidak berhenti sampai menjadi
CO, tetapi setiap oksigen bebas bereaksi dengan cepat dengan CO dalam fase gas
untuk menjadi CO2, seperti reaksi di bawah ini :
CO + O2

>>CO2

H = -283 KJ/mol

(2)

H2 +

>>H2O

H = -242 mJ/kmol

(3)

O2

2. Reaksi Boudouard
C

CO2

>>2 CO

H = +159.7 kJ/mol

(4)

Reaksi endotermis pada reaksi boudouard yang sangat lambat.


3. Reaksi water gas
Untuk mengendalikan temperatur yang tinggi yang diperoleh dari reaksi C
O2 dan untuk meningkatkan nilai kalor gas sintesis, melalui penambahan hidrogen
dimana hidrogen juga sebagai produk utama biasanya ditambahkan steam sebagai
reaktan. Reaksi ini merupakan reaksi endotermis dimana mengandalkan panas yang
dibebaskan dari reaksi C-O2 untuk kebutuhan energi. Selanjutnya, laju reaksi C +
H2O sangat lambat dibandingkan C-O 2. Reaksi water gas dapat dilihat pada reaksi
dibawah ini :
C

H2 O

4. Reaksi Metanasi

>>CO + H2 H = +118.9 kJ/mol

(5)

Pada beberapa proses gasifikasi terutama untuk gasifikasi yang menginginkan


metana sebagai produk utama untuk proses SNG.
C

2 H2

>>CH4

H = -75 kJ/mol

Reaksi dengan oksigen selalu saja eksotermis, sedangkan reaksi dengan


steam atau CO2 selalu saja endotermis. Dalam gasifier dimana oksigen dan steam
digunakan untuk mengontrol temperatur, dimana peran steam yaitu sebagai
moderator. Pada umumnya steam yang digunakan adalah superheated dengan
range temperatur 300 400 oC. Pada beberapa metoda gasifikasi memang
ditambahkan nitrogen atau CO2 ke dalam oksigen untuk memindahkan panas secara
tidak langsung dari reaktor gasifikasi.
Selain kandungan C, H, dan O, batubara masih mengandung komponen
lainnya yaitu sulfur yang terkonversi menjadi H 2S dan COS, serta komponen
nitrogen yang terkonversi menjadi elemen nitrogen, NH 3, dan HCN.
Pada review sistematik Brkle (1998) telah membuat plot kereaktifan char
yang berbeda dari bermacam-macam biomassa, batubara, dan material lainnya
seperti pada gambar 2.7.

Gambar 2.7. Kereaktifan beberapa material sebagai fungsi temperatur


Material carbon black hampir mendekati carbon murni dalam bentuk partikel
koloid yang dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna atau termal dekomposisi
dari gas dan atau likuid hidrokarbon dibawah kondisi tertentu. Penampilan secara
fisiknya hitam, halus, atau berupa pelet. Digunakan untuk industri ban, karet dan

plastik, tinta printer dan pelapisan yang berhubungan dengan luas spesifik
permukaan, ukuran partikel, dan struktur, konduktivitas dan warna.
Black karbon dibuat dengan dua cara yaitu furnace black dan thermal black.
Proses furnace black menggunakan minyak aromatik berat sebagai feedstok.
Sedangkan proses termal black menggunakan gas alam yang terdiri dari metana
atau minyak aromatik berat sebagai feedstok.
Sifat fisika dan sifat kimia carbon black
Carbon black secara kimia dan fisika jelas dari soot dan black karbon, yang
terdiri dari 97% keatas kandungan carbonnya yang tersusun seperti aciniform
(seperti cluster anggur) partikulat.

Gambar.2.8. Representasi black karbon dalam bentuk hexana soot segment

DISAIN GASIFIER
Ada 4 parameter disain yang utama, yaitu :
1.

Temperatur
Gasifier dapat dibagi dalam 3 kategori tergantung pada keadaan fisik abu dalam
reaktor gasifikasi.
Abu kering
Untuk kebanyakan batubara, operasi diatas sekitar 1000 oC menghasilkan abu kering
tanpa sintering atau slagging.

Abu agglomerasi
Operasi juga dimungkinkan terjadi pada temperatur dimana partikel abu
menjadi lengket, membentuk agglomerat. Reaktor harus didisain sedemikian rupa
sehingga abu tadi dikeluarkan dan dikontrol supaya kondisi operasi steady state.
Pada kebanyakan batubara, kondisi abu agglomerasi terjadi pada range temperatur
10001200oC tergantung pada komposisi abu.
Slagging
Operasi diatas 1200oC menyebabkan abu membentuk molten slag. Pada
operasi ini diperlukan pemilihan material non-korosif dan erosif. Temperatur
gasifikasi dipengaruhi oleh komposisi produk gas karena temperatur berpengaruh
pada kesetimbangan dan kinetika reaksi gasifikasi. Bahan baku gas dari gasifier
yang beroperasi dibawah kondisi slagging pada umumnya memiliki konsentrasi CO 2
dan uap air relatif rendah sedangkan konsentrasi CO dan H 2 relatif tinggi. Bila uap
air digunakan sebagai agen gasifikasi dibawah kondisi non-slagging, maka
diperlukan ekses (dalam beberapa kasus sekitar 400%) dibanding dengan jumlah
batubara. Jumlah ini disebabkan oleh kinetika dan kesetimbangan yang tidak
diinginkan untuk dekomposisi uap air pada temperatur rendah. Penggunaan uap air
berlebih ini menyebabkan berkurangnya efisiensi. Pengunaan temperatur tinggi
memerlukan oksigen lebih banyak lagi dan sebagai konsekuensinya bertambah pula
kebutuhan energi untuk pemisahan udara.
Untuk reaksi pada temperatur slagging, kinetika reaksi terjadi dengan cepat
dan perbedaan kereaktifan dari batubara tidak terlalu penting dibanding operasi
pada temperatur non-slagging. Tipe abu dan kandungan dari batubara juga harus
diperhatikan. Abu dengan temperatur fusi tinggi pada umumnya tidak dinginkan pada
operasi slagging. Pada beberapa kasus, biasanya ditambahkan fluxing agent seperti
batu kapur untuk menghindari slag. Dibawah kondisi non-slaging, batubara yang
lebih aktif (seperti lignit) pada umunya lebih mudah untuk digasifikasi. Untuk
gasifikasi dengan memakai uap air biasanya beroperasi pada temperatur setinggi
mungkin untuk meningkatkan kinetika reaksi dan kesetimbangan yield. Walaupun
gasifikasi pada temperatur tinggi memiliki sejumlah kelebihan (sebagai contohnya,
laju reaksi yang tinggi dan kemampuan untuk menggasifikasi batubara yang tidak

bereaksi), teknologi yang digunakan biasanya lebih rumit dari pada temperatur
rendah.
2. Tekanan
Proses gasifikasi dapat dioperasikan baik pada tekanan atmosfer maupun
kenaikan

tekanan.

Kesetimbangan

menunjukkan

bahwa

kenaikan

tekanan

cenderung memperlambat dekomposisi CO2 dan uap air serta pembentukan CO dan
H2. Pada kenyataannya, efek terhadap komposisi produk gas adalah kecil pada
tekanan diatas 30 bar, dibandingkan dengan faktor lain seperti temperatur reaksi.
Pada tekanan yang lebih tinggi akan terjadi pembentukan metana dengan
reaksi hidrogasifikasi dengan tekanan minimal 80 bar. Operasi pada kenaikan
tekanan menaikkan laju reaksi secara keseluruhan tetapi perubahan pada umumnya
sedikit signifikan terhadap tekanan karena tidak semua reaksi kimia bisa dikontrol
(sebagai contohnya, reaksi pembakaran dan dekomposisi termal biasanya dikontrol
oleh laju difusi). Kenaikan per unit volum dari gasifier tidak terlalu signifikan terhadap
tekanan, hukum akar kuadrat hanya ditujukan pada sejumlah gasifier. Pada
kenyataannya, residence time gas-solid pada disain gasifier bertekanan bisa lebih
lama dibanding gasifier tekanan atmosfer supaya menaikkan derajat konversi.
Proses gasifikasi dengan kenaikan tekanan merupakan teknologi lebih rumit
daripada gasifikasi tekanan atmosfer untuk beberapa alasan. Alasan yang paling
banyak yaitu batubara yang diumpankan kedalam gasifier harus melawan gradien
tekanan. Gasifier pada proses kenaikan tekanan menyerupai vesel bertekanan
pada pressurised fluidized bed combustor.

3. Reaktan Gas
Reaktan utama sebagai oksidan pada proses gasifikasi adalah oksigen, uap
air, dan hidrogen. Penggunaan reaktan gas bisa sendiri atau pun kombinasi dari
ketiga reaktan tersebut.
Oksigen/Uap air

Gasifier yang menggunakan oksigen dan uap air, panas diabsorb oleh reaksi
endotermis air-gas. Panas yang terjadi dikarenakan oleh reaksi pembakaran antara
oksigen dan batubara yang merupakan heat balance secara keseluruhan dalam
gasifier.
Udara/Uap air
Bila digunakan udara yang mengandung nitrogen, bukan oksigen murni maka uap
air yang digunakan lebih sedikit karena lebih banyak lagi panas sensibel yang
dibutuhkan untuk membuat udara mencapai temperatur reaksi. Heat balance
menunjukkan bahwa proses yang menggunakan udara dan uap air hanya mungkin
terjadi pada tempearatur non-slagging.
Udara
Pada temperatur slaging proses yang hanya memakai udara sebagai reaktan
oksidan, panas dilepaskan oleh reaksi pembakaran diimbangi dengan panas
sensibel yang dibutukan agar udara mencapai temperatur reaksi. Uap air diperlukan
dalam jumlah yang sedikit untuk mengontrol keseimbangan panas bila udara
dipanaskan terlebih dahulu. Untuk kondisi dibawah non-slagging uadara dapat
digunakan sebagai oksidan tunggal bila panas dipindahkan dari proses dengan kata
lain reaksi endotermis uap air-karbon.
Hidrogen
Bila proses gasifikasi menggunakan hidrogen maka produk gas yang dihasilkan
berupa metana sebagai produk utama. Proses ini dinamakan hidrogasifikasi.
Hidrogen biasanya didapat dari gasifier oksigen/uap air konvensional.
Pemilihan reaktan disesuaikan dengan sifat atau spesifikasi dari produk gas yang
kita inginkan. Bila kita menginginkan gas dengan nilai kalor rendah sebagai produk
akhir maka pada proses gasifikasi kita menggunakan udara dan uap air atau hanya
menggunakan udara. Untuk menghasilkan gas dengan nilai kalor medium maka
penggunaaan nitrogen harus dihindari dan menggunakan oksigen-uap air, atau
hanya menggunakan uap air. Tanpa adanya nitrogen membuat gas bernilai kalor
medium cocok untuk dikonversi lanjut menjadi bahan bakar liquid dan kimia,
hidrogen, atau SNG (Sinthetic Natural Gas). Sebagai alternatif, SNG dapat

diproduksi secara langsung dengan proses hidrogasifikasi dengan menggunakan


hidrogen sebagai reaktan. Proses yang hanya menggunakan uap air (dengan suplai
panas secara tidak langsung) diharapkan dapat lebih efisien daripada proses yang
menggunakan oksigen-uap air karena tidak ada energi yang dibutuhkan untuk
memisahkan oksigen dari udara. Untuk alasan serupa, proses gasifikasi air-blown
dapat diharapkan lebih efisien dari proses oxygen-blown. Pada kasus ini,
keuntungan yang diperoleh dapat menjadi hilang bila kandungan panas sensibel
pada produk gas juga lebih meningkat.
Untuk produksi SNG secara langsung dengan menggunakan proses hidrogasifier
dianggap potensial lebih efisien daripada produksi SNG dari sintesis gas yang
kemudian baru dikonversi menjadi SNG. Konversi ini merupakan reaksi yang sangat
eksotermis terjadi pada temperatur 350 oC. Pengaruh utama dari pemilihan reaktan
gas yaitu adanya perbandingan antara pengunaan udara (air-blown)

dan

penggunaan oksigen (oxygen blown). Air blow gasifier biasanya beroperasi 1/3
sampai1/2 dari sistem oxygen blown. Hidrogasifikasi biasanya beroperasi pada
tekanan tinggi (80 200 bar).
Disain gasifier biasanya mempertimbangkan reaksi-reaksi endotermis-eksotermis
yang terjadi selama proses, sehingga tercipta suatu kesetimbangan panas. Bila
menggunakan sistem uap-air-oksigen dan uap air-udara, panas diserap oleh reaksi
air-gas. Pada gasifikasi yang hanya menggunakan uap air sebagai pengoksidan,
panas diserap oleh reaksi yang disuplai oleh sumber panas lainya. Ada tiga pilihan
yaitu :
1. perpindahan panas tidak langsung
2. paralel reaksi kimia eksotermis yang tidak melibatkan oksigen
3. pembawa panas
Hanya pembawa panas yang layak pada operasi temperatur slagging, dan alira
panas dari luar yang dibutuhkan agar dihasilkan keseimbangan panas dalam gasifier
yang hanya menggunakan udara pada temperatur non-slagging.
4. Metode Kontak

Metode kontak antara umpan (batubara) dan reaktan gas dalam gasifier dapat
dibedakan menjadi empat yaitu fixed bed, fluidized bed, entrained flow, dan molten
bath.
Gasifikasi batubara merupakan proses yang mengkonversi batubara dari bentuk
padatan menjadi bahan bakar gas melalui oksidasi sebagian (partial oxidation). Gas
yang dihasilkan merupakan gas sintesis (syngas) berupa CO dan H2. Karena produk
yang dihasilkan dalam bentuk gas, maka kandungan sulfur dan abu yang
merupakan produk yang tidak diinginkan dihilangkan dari gas sintesis sehingga gas
yang dihasilkan bersih.
Kontras dengan proses pembakaran (combustion) yang memerlukan udara berlebih,
proses gasifikasi terjadi pembakaran sebagian dari batubara dengan suplai oksigen
dikontrol (pada umumnya 20-70% dari jumlah O 2 teoritis yang dibutuhkan untuk
pembakaran

sempurna).

Dalam

bentuk

yang

paling

sederhana,

reaksi

stoikiometrinya sebagai berikut :


C +

O2 gasifikasi

>>CO

C +

H2O gasifikasi

>>CO +

H2

Pada gasifikasi panas yang dihasilkan dari pembakaran

digunakan untuk

devolatilisasi dan menguraikan kandungan zat terbang menjadi hidrokarbon gas.


Aliran gas yang dihasilkan merupakan campuran dari inert flue gas dan hidrokarbon.
Produk gas ini atau gas sintesis memiliki nilai kalor (calorific value). Aliran gas
biasanya mengandung sejumlah besar nitrogen yang dapat mencapai lebih dari
60%. Hal ini dikarenakan pada proses menggunakan udara.
Beberapa proses menggunakan oksigen atau uap air untuk menyediakan kebutuhan
oksigen. Sistem ini menghasilkan aliran gas yang mengandung calorific value yang
lebih tinggi. Tetapi hal ini membutuhkan tambahan biaya dan keselamatan yang
lebih ketat.
Read more: http://teknikimiaku.blogspot.com/2013/05/gasifikasibatubara_1564.html#ixzz3NPefOGyI

Anda mungkin juga menyukai