PENDAHULUAN
Penyakit yang disebabkan oleh jamur disebut mikosis. Jamur termasuk tumbuhtumbuhan yang tidak berklorofil, oleh karena itu harus hidup sebagai saprofit atau parasit. Di
dalam alam terdapat kira-kira 200.000 spesises jamur, yang tidak semua bersifat pathogen.
Dari jumlah tersebut, hanya 100 spesies saja yang patogen bagi manusia1.
Indonesia termasuk daerah yang baik bagi pertumbuhan jamur karena beriklim panas
dan lembab. Dalam keadaan demikian ditambah higiene yang kurang sempurna, infestasi
jamur kulit cukup banyak.1 Menurut Rippon infeksi jamur dibagi menjadi tiga yaitu infeksi
kulit superfisial (pitiriasis versikolor, piedra dan tinea nigra), infeksi kutan (dermatofitosis,
kandidiasis kutis dan mukosa), dan infeksi subkutan (misetoma, basidiobolomikosis,
sporotrikosis dan kromoblastomikosis). Beberapa penulis yang lain menggabungkan infeksi
superficial dan infeksi kutan menjadi dermatomikosis superficial sehingga hanya ada dua
infeksi jamur meliputi dermatomikosis superfisialis dan mikosis subkutis2.
Di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo/ Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
( RSCM/ FKUI ) pada tahun 1992 ditemukan 11,8% penderita penyakit jamur dari seluruh
pengunjung baru poliklinik Unit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit tersebut. Demikian pula
keadaan di rumah sakit
merupakan penyakit kulit yang banyak ditemui. Dari segala macam penyakit jamur kulit,
yang merupakan tipe infeksi superfisial dan kutan, maka pitiriasis versikolor, dermatofitosis
dan kandidosis kulit yang tersering ditemui.1
Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh
jamur dermatofita, yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton spp.
Ketiga genus jamur ini bersifat mencerna keratin atau zat tanduk yang merupakan jaringan
mati dalam epidermis ( Tinea korporis, Tinea kruris, Tinea manus et pedis ), rambut ( Tinea
kapitis ), kuku ( Tinea unguinum ).3,4 Oleh karena satu spesies dermatofita dapat
menyebabkan kelainan yang berbeda-beda pda satu individu tergantung dari bagian tubuh
yang dikenai, dan sebaliknya berbagai jenis dermatofita dapat menyebabkan kelainan yang
secara klinis sama apabila mengenai bagian tubuh yang sama, maka dari itu klasifikasi
dermatofitosis lebih didasarkan pada regio anatomis yang terkena dari jamur penyebabnya,
walaupun sebenarnya pendekatan kausatif lebih rasional.4 Kali ini yang akan dibahas adalah
mengenai Tinea Kruris.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita pada daerah
kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. 3
Berikut ini adalah gambar predileksi terjadinya Tinea kruris :
2.4 Etiologi
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita adalah
golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat
mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga
genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Penyebab Tinea kruris
sendiri sering kali oleh Epidermophyton floccosum, namun dapat pula oleh Trichophyton
rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan Trichophyton verrucosum.3 Golongan jamur ini
dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai daya tarik kepada keratin (keratinofilik)
sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneum
sampai dengan stratum basalis. Selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara
dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk
pertumbuhannya, dan penyebab penyakit. Jamur ini mudah hidup pada medium dengan
variasi pH yang luas. Jamur ini dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan suatu
kelainan apapun di dalam berbagai organ manusia atau hewan. Pada keadaan tertentu sifat
jamur dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan penyakit bahkan ada yang berakhir
fatal. Beberapa jamur hanya menyerang manusia (antropofilik), dan yang lainnya terutama
menyerang hewan (zoofilik) walau kadang-kadang bisa menyerang manusia. Apabila jamur
hewan menimbulkan lesi kulit pada manusia, keberadaan jamur tersebut sering menyebabkan
terjadinya suatu reaksi inflamasi yang hebat. Penularan biasanya terjadi karena adanya kontak
dengan debris keratin yang mengandung hifa jamur.7
2.5 Patofisiologi
Cara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak langsung. Penularan langsung
dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang,
atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur,
pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian,
handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea
manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat
memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabangcabangnya didalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang
berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya
dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang
jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang
menjadi suatu reaksi peradangan.
3
menyuburkan jamur.
2) Yang memudahkan terjadinya invasi ke jaringan karena daya tahan yang menurun.
- Adanya rangsangan setempat yang terus menerus pada lokasi tertentu oleh cairan
yang menyebabkan pelunakan kulit, misalnya air pada sela jari kaki, kencing pada
pantat bayi, keringat pada daerah lipatan kulit, atau akibat liur di sudut mulut orang
-
lanjut usia.
Adanya penyakit tertentu, seperti gizi buruk, penyakit darah, keganasan, diabetes
mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana yang menyuburkan jamur.
Dari anamnesis, penderita dengan Tinea cruris mengeluh gatal dan kemerahan di daerah
lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu berkeringat sehingga digaruk
kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder. Gatal di derah lipat paha, sekitar ano-genital,
sering bertambah berat sewaktu tidur sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi
sekunder.3 Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien
berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian
dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat
menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena
dermatophytosis.
b. Pemeriksaan fisik
Kelainan kulit yang tampak pada Tinea kruris pada sela paha merupakan lesi berbatas
tegas yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan, dapat bersifat akut atau menahun. 5,11 Mulamula sebagai bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas, dapat meliputi skrotum, pubis,
gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan perut bawah. Tepi lesi aktif ( peradangan pada tepi
lebih nyata daripada daerah tengahnya ), polisiklis, ditutupi skuama dan kadang-kadang
dengan banyak vasikel kecil-kecil.2
biasanya basah dan eksudatif. Pada infeksi kronik, permukaannya kering dengan tepi papuler
anular atau asiner. Area sentral hiperpigmentasi dan terdapat papul eritema yang tersebar.
Akibat pruritus dapat terjadi ekskoriasi, likenifekasi dan impetignisasi. Infeksi kronik akibat
pemakaian kortikosteroid topikal terlihat lebih eritem, batas kurang tegas, dan terdapat pustul
folikuler. Kurang lebih sebagian pasien dengan tinea kruris juga menderita tinea pedis.7
c. Pemeriksaan penunjang
Dari anamnesis, gambaran klinis dan lokalisasinya, tidak sulit untuk mendiagnosis.
Sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dari kerokan
bagian tepi lesi dengan KOH dan biakan.3,5 Kadang kadang diperlukan pemeriksaan dengan
lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao.3
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan
memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek glass tetesi KOH 10-15 % 12 tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan lihat di mikroskop
dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi
oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit
yang lama atau sudah diobati, dan miselium
Psoriasis : Penyakit peradangan kulit kronik residif ditandai oleh plak eritema batas
tegas dengan skuama tebal keperakan, kasar dan berlapis, disertai fenomena bercak
lilin, tanda Auspitz dan fenomena Koebner. Bercak merah bersisik tebal, kumatkumatan, kadang gatal, dapat disertai nyeri sendi, dan dapat dicetuskan oleh adanya
stres psikologis, kelelahan, infeksi. Tipe vulgaris: plak eritema batas tegas ditutupi
skuama tebal keperakan yang kasar dan berlapis pada daerah predileksi ekstensor
7
ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral bagian bawah, pantat,
dan genital.8
2.9 Pengobatan
Pada umumnya pengobatan untuk infeksi jamur dermatofitosis secara topikal saja
cukup, kecuali untuk lesi-lesi kronik dan luas serta infeksi pada rambut dan kuku yang
memerlukan pula pengobatan sistemik, oleh karena dermatofitosis merupakan penyakit jamur
superfisial.3
a. Pengobatan topikal
-
Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk
salep ( Salep Whitfield),
b. Pengobatan sistemik
-
Derivat Azol: diberikan jika pada beberapa kasus sudah resisten terhadap
griseofulvin. Derivat azol antara lain: itrakonazol, flukonazol, dll. Itrakonazol
bersifat fungistik dan tergolong natifungi triazol sintetik. Cara kerjanya adalah
menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sintetis ergosterol
yang tergantung sitokrom P450. ergosterol ini merupakan komponen vital dari
dinding sel jamur. Obat antifungi ini telah banyak digunakan dan berdasarkan
penelitian lebih efektif dibandingkan griseofulvin. Itrakonazol dosis dewasa:
200 mg/hari, dosis anak-anak: 5 mg/kg BB/hari diberikan selama 1 minggu. 5,7
Dapat juga diberikan Ketokonasol 200 mg sehari untuk dewasa atau 3-6
mg/kgBB sehari untuk anak-anak lebih dari 2 tahun.
-
Untuk maintenance pada infeksi kronik dapat digunakan obat dengan harga murah
seperti asam undesilinat atau golongan tolnaftat. Selain pengobatan kausatif tersebut, penting
juga diperhatikan pengobatan simtomatik untuk menanggulangi rasa gatal, panas, maupun
nyeri.
2.10 Pencegahan
Infeksi berulang pada Tinea kruris dapat terjadi melalui proses autoinokulasi reservoir
lain yang mungkin ada di tangan dan kaki (Tinea pedis, Tinea unguium). Jamur diduga
berpindah ke sela paha melalui kuku jari-jari tangan yang dipakai menggaruk sela paha
setelah menggaruk kaki atau melalui handuk. Untuk mencegah infeksi berulang, daerah yang
terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber-sumber infeksi serta mencegah
pemakaian peralatan mandi bersama-sama.7
Disamping pengobatan, yang penting juga adalah nasehat kepada penderita misalnya
pada penderita dermatofitosis, disarankan agar :
1) Memakai pakaian yang tipis.
2) Memakai pakaian yang berbahan cotton.
3) Tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat untuk mencegah kelembaban daerah
sela paha.
4) Menggunakan handuk terpisah untuk mengeringkan daerah sela paha setelah mandi,
5) Pasien dengan Tinea kruris yang mengalami obesitas dianjurkan untuk menurunkan
berat badan,
6) Memakai kaus kaki sebelum mengenakan celana untuk meminimalkan kemungkinan
transfer jamur dari kaki ke sela paha (autoinokulasi).
7) Bubuk antifungal, yang memiliki manfaat tambahan pengeringan daerah sela paha,
mungkin dapat membantu dalam mencegah kambuhnya Tinea kruris.
2.11 Komplikasi
Pada penderita Tinea kruris dapat terjadi komplikasi infeksi sekunder oleh organisme candida
atau bakteri. Pemberian obat steroid topikal dapat mengakibatkan eksaserbasi jamur sehingga
menyebabkan penyakit menyebar. Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi
dan hiperpigmentasi kulit.7
2.12 Prognosis
Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan sosial budayanya,
tetapi pada umumnya baik. Selain itu faktor kelembapan dan kebersihan kulit juga
berpengaruh pada prognosis.3
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama
Umur
: 29 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
Suku
: Bali
Bangsa
: Indonesia
10
Agama
: Hindu
Pekerjaan
Pasien mengatakan bahwa saat kecil ia sering mengalami bisul dan kakinya sering
muncul bentol kecil berisi cairan apabila ia tidak menggunakan sandal. Ia mengatakan bahwa
kulitnya memang mudah infeksi sehingga tidak boleh kotor. Namun pasien mengatakan
bahwa rasa gatal di daerah selangkangan, area pubis ataupun pantat baru pertama kali ia
rasakan.
Riwayat Penyakit dalam keluarga :
11
Di keluarga tidak ada yang mengalami kelainan yang sama dengan pasien. Suami
pasien dikatakan tidak mengalami rasa gatal di area kemaluan ataupun penyakit kulit lainnya.
Namun nenek pasien dikatakan bahwa dulu sempat mengalami penyakit kusta. Riwayat alergi
dalam anggota keluarga disangkal oleh pasien
Riwayat sosial :
Pasien sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien mengaku bahwa ia sering
menggunakan pembalut harian carefree. Dikatakan bahwa tidak ada orang disekitar
rumahnya yang menderita keluhan yang sama dan ia juga jarang bertukar pakaian ataupun
handuk dengan keluarganya.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum
: Baik
Nadi
: 84 kali permenit
Respirasi
: 18 kali permenit
Temperatur aksila
: 36,7C
BB
: 52 Kg
Status General
Kepala
: Normocephali
Mata
THT
Thorax : Cor
Pulmo
Abdomen
Ekstremitas
Status Dermatologi
1. Lokasi
Effloresensi
: pubis
: makula eritema, geografikal, soliter berdiameter sekitar 7 cm,
dengan batas tegas, tampak central healing dan tepi lesi aktif, distribusi
unilateral, disertai skuama putih tipis halus yang menutupi hampir seluruh
permukaan yang eritematus.
12
Lokasi
: pantat
Effloresensi
dengan batas tegas, tampak central healing dan tepi lesi aktif dengan papulpapul eritema diatasnya, distribusi unilateral, disertai skuama putih tipis halus
yang menutupi hampir seluruh permukaan yang eritematus. Erosi (+).
2. Mukosa
3. Rambut
4. Kuku
: tidak dikerjakan
6. Kelenjar Limfe
7. Saraf
2. Kandidiasis intertriginosa
3. Eritrasma
4. Dermatitis Kontak Alergika
3.5 Pemeriksaan Penunjang
- KOH 10% di pubis dan pantat tampak elemen jamur seperti hifa dan spora.
- Lampu Wood
- Kultur jamur
3.6 Resume
Penderita perempuan, 29 tahun, Bali, Hindu, mengeluh gatal pada area pubis dan
pantat sejak 2 minggu yang lalu. Pada awalnya muncul bercak merah kecil di pantat yang
makin lama makin besar. Bercak merah tersebut disertai rasa gatal dan makin hebat bila
terkena keringat. Setelah 3 hari kemudian, gatal juga dirasakan di area pubis. Ia mengatakan
selain saat terkena keringat, gatal juga semakin keras saat malam hari. Gatal membaik apabila
disiram dengan air hangat.
Penderita sudah sempat berobat sebelumnya ke rumah sakit Indera yakni sekitar 1
bulan yang lalu karena rasa gatal di selangkangan. Pasien telah didiagnosis mengalami
penyakit jamur (Tinea cruris) dan telah diberikan obat anti gatal dan salep untuk jamurnya.
Pasien mengatakan setelah pemakaian 3 hari sudah terdapat perbaikan, sehingga ia
menghentikan pengobatan dan tidak kontrol ke rumah sakit.
Pemeriksaan fisik
1. Status present : dalam batas normal
2. Status general : dalam batas normal
3. Status dermatologi :
Lokasi
: pubis
Effloresensi
dengan batas tegas, tampak central healing dan tepi lesi aktif, distribusi unilateral,
disertai skuama putih tipis halus yang menutupi hampir seluruh permukaan yang
eritematus.
-
Lokasi
Effloresensi
: pantat
: makula eritema, geografikal, soliter berdiameter sekitar 5 cm
dengan batas tegas, tampak central healing dan tepi lesi aktif dengan papul-papul
eritema diatasnya, distribusi unilateral, disertai skuama putih tipis halus yang
menutupi hampir seluruh permukaan yang eritematus. Erosi (+).
14
Pemeriksaan KOH 10% : tampak hifa dan spora di daerah pubis dan pantat
3.7 Diagnosis Kerja
Tinea cruris
3.8 Penatalaksanaan
Topikal
Sistemik
KIE
BAB 4
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa penderita mengeluh gatal pada area pubis dan pantat
sejak 2 minggu yang lalu. Pada awalnya muncul bercak merah kecil di pantat yang makin
lama makin besar. Bercak merah tersebut disertai rasa gatal dan makin hebat bila terkena
keringat. Setelah 3 hari kemudian, gatal juga dirasakan di area pubis. Keluhan gatal dan
apabila lesi terkena keringat maka akan bertambah gatal merupakan keluhan utama yang
diakibatkan oleh infeksi jamur khususnya dermatofitosis, dimana tinea kruris termasuk
didalamnya. Penyakit berjalan perlahan-lahan, sehingga butuh waktu lama untuk
15
mendapatkan suatu gambaran lesi dengan diameter yang besar. Pada pasien ini, lesi diawali
dengan bercak eritema kecil yang semakin lama semakin membesar dan meluas mendukung
bahwa disini terdapat tepi yang aktif, memberikan gambaran klinis yang khas untuk infeksi
tinea kruris. Selain itu untuk mendukung hal tersebut perlu juga kita melihat status
dermatologinya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di daerah pubis dan pantat lebih khususnya
dengan memperhatikan sifat lesi yang ada didapatkan efloresensi berupa makula eritema,
geografikal, soliter berdiameter sekitar 5 cm dengan batas tegas, tampak central healing dan
tepi lesi aktif dengan papul-papul eritema diatasnya, distribusi unilateral, disertai skuama
putih tipis halus yang menutupi hampir seluruh permukaan yang eritematus, mudah
dilepaskan dengan kulit. Erosi (+). Bentuk dan sifat lesi ini berkesesuaian dengan teori yang
menebutkan bahwa tinea kruris memiliki bentuk lesi berupa lesi macula eritema berbatas
tegas. Mula-mula sebagai bercak eritematosa, gatal, lama kelamaan meluas, dapat meliputi
skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan perut bawah. Tepi lesi aktif
(peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya ), polisiklis, ditutupi skuama
dan kadang-kadang dengan banyak vasikel kecil-kecil. Bila penyakit ini menjadi menahun,
dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk pasien ini berupa pemeriksaan KOH
10 %. Dimana pada pemeriksaan KOH 10% pada daerah pubis dan pantat pasien tampak
elemen jamur berupa hifa dan spora.
Di dalam mendiagnosis tinea kruris kadang kita dibingungkan dengan kandidiasis
intertriginosa karena memiliki predileksi yang sama-sama terjadi didaerah lipatan paha dan
memiliki bentuk klinis yang mirip yaitu bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan
eritematosus. Yang menyebabkan pada penderita tidak dapat didiagnosis kandidiasis
intertriginosa, karena dari status dermatologinya kita tidak mendapatkan adanya lesi satelit,
sedangkan untuk dapat mendiagnosis kandidiasis intertriginosa paling tidak kita menemukan
adanya lesi satelit. Dimana lesi satelit tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel
dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif, dengan
pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer. Dan untuk menyingkirkan diagnosis
eritrasma maka diperluka pemeriksaan dengan menggunakan lampu Wood.
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan
pengobatan secara topikal dan sistemik. Pertimbangan pemberian pengobatan sistemik pada
pasien ini adalah bahwa telah terjadi perluasan lesi dalam waktu yang relatif singkat.
16
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Tinea kruris adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita dimana predileksinya
adalah pada daerah pelipatan paha, simetris kanan kiri sekitar ano-genital dan dapat
meluas ke bokong dan perut bagian bawah. Gambaran klinis bermula sebagai bercak
eriematosa yang gatal dan lama kelamaan semakin meluas dengan tepi lesi yang aktif
(peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya), polisiklis, ditutupi
skuama, dan kadang-kadang dengan banyak vesikel kecil-kecil. Pengobatan dapat
17
diberikan secara topikal dan sistemik. Faktor-faktor predisposisi terjadinya tinea kruris
adalah kelembapan dan kurangnya higiene perorangan. Prognosis penyakit ini adalah
baik.
4.2 Saran
Dalam pengobatan Tinea Kruris, selain pengobatan secara farmakologis, juga penting
adanya KIE terhadap pasien dan keluarganya terutama mengenai higiene perorangan,
termasuk juga disiplin dalam menjalani pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto, Eko, Suyoso, Sunarso. 2002. Artikel Deramtomikosis di Instalasi Rawat Inap
Medik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Soetomo-Surabaya. Penelitian
Retrospektif Januari 1998-Desember 2002.
2. Djuanda, Adhi. Dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
18
3. R.S., Siregar, Prof.Dr, Sp.KK(K). 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi II.
EGC: Jakarta. Hal: 29-31.
4. Wiederkehr M. Tinea Cruris. Available at: www.emedicine.com/DERM/topic42.htm.
Akses: 26 Januari 2015.
5. Budimulja,U. 1992. Infestasi Jamur. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta.
6. Wirya Duarsa. Dkk. 2000. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Penyakit Kulit Dan Kelamin
RSUP Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Denpasar.
7. Graham-Brown. 2002. British Journak of Dermatology, Vol 147, Issue 6 Page 1079.
8. Panduan praktek klinis SMF Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah 2014.
19