Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Profesi medis memainkan peran penting dalam mengevaluasi bukti yang berkaitan dengan obatobatan, alat, dan prosedur untuk mendeteksi, menangani dan mencegah penyakit. Jika digunakan
secara tepat, analisis ahli dari data yang tersedia mengenai manfaat dan risiko terapi dan
prosedur-prosedur ini dapat meningkatkan kualitas perawatan, mengoptimalkan hasil perawatan
pasien, dan secara menguntungkan mempengaruhi pembiayaan dengan berfokus pada sumber
strategi yang paling efektif. Pendekatan yang teroganisi dan langsung terhadap tinjauan bukti
telah menghasilkan panduan praktis klinis untuk membantu dokter dalam memilih strategi
manajemen terbaik untuk pasien. Lebih dari itu, panduan praktis klinsi dapat menyediakan
pondasi untuk aplikasi lain, misalnya melakukan pengukuran, penggunaan kriteria yang
memadai, dan meningkatkan kualitas maupun keputusan klinis dalam penggunaan peralatan
penunjang.
American College of Cardiology Foundation (ACCF) dan American Heart Association (AHA)
telah bersama menyusun panduan mengenai penyakit kardiovaskuler sejak tahun 1980.
ACCF/AHA Task Force on Practice Guidelines (Task Force), mengembangkan, memperbarui,
dan merevisi panduan praktis dan prosedur penyakit kardiovaskuler. Komite penulis dibebankan
dengan peninjauan dan evaluasi regular semua bukti yang tersedia untuk mencapai
keseimbangan dan rekomendasi berpusat pada pasien untuk praktisi klinis.
Para ahli untuk ini, dengan pertimbangan dipilih oleh ACCF dan AHA untuk menilai data
spesifisk dan menyusun panduan dengan kerjasama bersama wakil dari organisasi-organisasi
medis dan kelompok-kelompok spesialis lain. Komite penulis diminta untuk melakukan tinjauan
literature; menimbang kekuatan bukti untuk atau malah menentang tes, pengobatan atau prosedur
tertentu; dan memasukkan perkiraan hasil perawatan pasien yang diharapkan dari data yang
tersedia. Perancu, komorbid dan persoalan spesifik preferensi pasien yang dapat mempengaruhi
pilihan pemeriksaan atau pengobatan juga dipertimbangkan.
Dalam menganalisa data dan mengembangkan rekomendasi serta mendukung naskah ini, komite
penulis menggunakan metodologi berbasis bukti yang dibentuk oleh Task Force. Rekomendasi
kelas (Class of Recommendation/COR) merupakan perkiraan ukuran efek pengobatan dengan
mempertimbangkan risiko dibanding manfaat sebagai tambahan untuk membuktikan dan/atau
menyetujui bahwa pemberian obat atau prosedur tertentu bermanfaat/efektif ataupun tida, serta
apakah pada situasi tertentu dapat memperburuk keadaan. Tingkat bukti (Level of Evidence/LOE)

merupakan perkiraan kepastian atau ketelitian efek pengobatan. Komite penulis mengulas dan
menggolongkan bukti yang mendukung setiap rekomendasi dengan bobot bukti diurutkan
sebagai LOE A, B, atau C berdasarkan definisi spesisik yang disebutkan pada Tabel 1.
Penelitian-penelitian juga diidentifikasi sebagai penelitian observasional, retrospektif, prospektif
ataupun uji acak. Pada kondisi tertentu dimana data yang tersedia tidak memadai, rekomendasi
didasarkan pada konsensus ahli dan pengalaman klinis yang digolongkan sebagai LOE C. Jika
rekomendasi LOE C didukung oleh data riwayat klinis, referensi yang sesuai (termasuk tinjauan
klinis) akan dicantumkan jika tersedia. Untuk persoalan dimana data yang ada tersebar, maka
survei praktek terbaru diantara anggota klinisi komite penulis menjadi dasar dari rekomendasi
LOE C ini dan tidak ada referensi yang dicantumkan. Skema untuk COR dan LOE ditampilkan
pada Tabel 1, yang juga menyediakan frase yang disarankan untuk menulis rekomendasi setiap
COR.
Tambahan baru untuk metodologi ini yaitu pemisahan rekomendasi Kelas III untuk menunjukkan
apakah rekomendasi ini telah ditentukan tidak memiliki manfaat atau malah berkaitan dengan
memperburuk keadaan pasien. Sebagai tambahan, mengingat adanya peningkatan jumlah
penelitian, pembanding dan frase yang disarankan untuk penulisan, maka rekomendasi efektifitas
komparatif satu pengobatan atau strategi dibanding yang lainnya di masukkan hanya kedalam
COR I dan IIa, LOE A atau B.
Mengingat adanya manfaat terapi medis diluar dari spectrum penyakit kardiovaskuler, maka
Task Force mendesain istilah Guideline-directed medical Therapy (GDMT) yang menunjukkan
terapi medis optimal yang telah ditentukan oleh panduan rekomendasi terapi ACCF/AHA
(Terutama Kelas I). istilah baru ini, GDMT, akan digunakan sepanjang penjelasan panduan.
Karena panduan klinis ACCF/AHA diperoleh dari populasi pasien (dan penyedia layanan
kesehatan) yang berada di daerah Amerika Utara, maka obat-obatan yang tidak tersedia di
AMreika Utara didiskusikan dalam naskah tanpa COR spesifik. Untuk penelitian yang dilakukan
dengn subjek dalam jumlah besar diluar dari Amerika Utara, setiao komite penulis meninjau
pengaruh potensial pola praktisi dan populasi pasien yang berbeda terhadap efek pengobatan
serta relevansinya terhadap populasi sasaran ACCF/AHA untuk menentukan apakah temuan
didapatkan dapat memberikan sebuah rekomendasi spesifik.

Panduan praktik ACCF/AHA diarahkan untuk membantu penyedia layanan kesehatan dalam
menentukan keputusan klinis dengan mendeskripsikan rentan pendekatan yang secara umum
dapat diterima terdapat diagnosis, manajeman dan prevensi penyakit atau kondisi spesifik.
Panduan ini berusaha untuk menjelaskan terapan yang dibutuhkan kebanyakan pasien pada
kebanyakan kondisi. Keputusan akhir dalam perawatan pasien harus dibuat oleh layanan
kesehatan dari keadaan yang ditunjukkan oleh pasien tersebut. Pengambilan keputusan klinis
harus melibatkan pertimbangan kulaitas dan ketersediaan para ahli dimana pelayanan dilakukan.
Ketika panduan ini digunakan sebagai dasar penetapan atau regulator keputusan, sasarannya

harus meningkatkan kualitas perawatan. Task Force menyadari tumbuhnya situasi ini
membutuhkan data tambahan untuk menginformasikan perawatan pasien agar lebih efektif;
daerah ini diindetifikasi dengan masing-masing panduan jika memadai.
Peresepan pengobatan yang sesuai dengan rekomendasi ini hanya efektif jika terus dipantau.
Karena kurangnya pemahaman dan ketaatan pasien dapat memberika efek yang buruk, maka
dokter dan penyedia pelayanan kesehatan lain harus melakukan setiap upata untuk mengajak
partisipasi aktif pasien dalam mengonsumsi regimen obat yang telah diresepkan dan mengubah
gaya hidup. Sebagai tambahan, pasien sebaiknya diberikan informasi menganai risiko, manfaat
dan alternatif mengenai terapi tertentu dan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan jika
memungkinkan, terutama untuk COR IIa dan IIb, sehingga rasio manfaat-risiko dapat
diturunkan.
Task Force melakukan setiap upaya untuk menghindari konflik aktual, potensial ataupun yang
terlihat, yang dapat timbul sebagai hasil dari hubungan dengan industri maupun wujud lain
(relationship with industry/RWI) diantara para anggota komite penulis. Semua anggota komite
penulis dan pengulas panduan ini diminta untuk menyingkap semua hubungan layanan kesehatan
terbaru, termasuk yang ada dalam 12 bulan sebelum dimulainya penyusunan naskah. Pada
Desember tahun 2009, ACCF dan AHA mengimplementasikan kebijakan RWI baru yang
menuntut ketua komite penulis ditambah minimal 50% anggota komite penulis tidak memiliki
sangkut paut (relevant) dengan RWI. (Lampiran 1 memasukkan definisi ACCF/AHA mengenai
relevance). Pernyataan ini dibahas oleh Task Force dan semua anggota selama setiap panggilan
konferensi (conference call) dan/atau pertemua komite penulis, dan anggota memberikan
pembaruan sebagaiman perubahan yang terjadi. Semua rekomendasi panduan membutuhkan
suara konfidensial oleh komite penulis dan disetujui dengan konsensus voting anggota. Anggota
dapat tidak mengambil bagian atau bersuara terhadap isi atau rekomendasi yang berkaitan
dengan RWI mereka. Anggota yang menarik diri dari voting dicantumkan pada daftar anggota
komite penulis, dan bagian spesifik dari penarikan diri ini dicatat pada Lampiran 1. RWI terkait
dengan penulis maupun peninjau panduan ini dinyatakan masing-masing pada Lampiran 1 dan 2.
Sebagai tambahan, untuk menjamin transparansi penuh, anggota komite penulis membuka penuh
informasi termasuk RWI yang tidak berkaitan dengan dokumen iniyang tersedia pada data
online.

Informasi

komprehensif

untuk

Task

Force

ini

tersedia

http://www/cardiosource.org/ACC/About-ACC/Who-We-Are/Leadership/Guidelines-and-

di

Documents-Task-Force.aspx. kerja komite penulis secara eksklusif didukung oleh ACCF dan
AHA tanpa dukungan komersial. Anggota komite penulis secara sukarela memberikan waktu
mereka untuk aktivitas ini.
Dalam upaya untuk menjaga relevansi poin perawata dokter klinisi, Task Force tetap
melanjutkan pengawasan terhadap proses perbaikan yang berlangsung. Hasilnya, sebagai respon
terhadap proyek percobaan, beberapa perubahan pada panudan ini akan ditampilkan, termasuk
teks narasi terbatas, fokus kepada kesimpulan dan tabel bukti (dengan refensi terkait dengan
abstrak pada PubMed), dan lebih banyak penggunaan tabel kesimpulan rekomendasi (dengan
referensi yang mendukung LOE) untuk memberikan referensi yang cepat.
Pada April tahun 2011, Institute of Medicine (IOM) menerbitkan 2 laporan : Finding What Works
in Health Care : Standar for Systematic Reviews dan Clinical Practice Guidelines We Can Trust.
Perlu dicatat bahwa IOM yang mengutip panduan praktis ACCF/AHA mengikuti banyak standar
yang diajukan. Tinjauan langsung laporan ini dan metodologi terbaru kami sedang berjalan,
dengan peningkatan atisipasi yang lebih lanjut.
Rekomendasi dalam panduan ini disarankan hingga tergantikan dengan update terfokus ataupun
panduan teks penuhnya telah direvisi. Pembaca dianjurkanuntuk merujuk pada panduan teks
penuh untuk panduan tambahan dan rincian mengenai perawatan pasien dengan infark miokard
ST elevasi (STEMI), karena Executive Summary ini hanya berisi rekomendasi. Panduan ini
merupakan kebijakan resmi baik ACCF maupun AHA
Jeffrey L.Anderson, MD, FACC, FAHA
Ketua, ACCH/AHA Task Force on Practice Guidelines

1. Pendahuluan
1.1 Tinjauan metodologi dan bukti
Rekomendasi yang dicantumkan pada dokumentasi ini adalah, kapanpun memungkinkan,
berbasis bukti. Dokumen terbaru merupakan revisi penuh dan melibatkan tinjauan bukti yang
lebih luas yang dilakukan hingga November 2010, dengan tambahan referensi terpilih yang
dimasukkan hingga Agustus 2010. Pencarian dibatasi pada penelitian yang dilakukan pada
subjek manusia; semua yang diterbitkan dalam bahasa inggris. Kata kunci pencarian termasuk
namun tidak terbatas pada : acute coronary syndrome, percutaneous coronary intervention,
coronary artery bypass graft, myocardial infarction, ST-elevation myocardial infarction,
coronary stent, revascularization, anticoagulant therapy, antiplatelet therapy, antithrombotic
therapy, glycoprotein IIb/IIIa inhibitor therapy, pharmaco therapy, proton-pump inhibitor,
implantable cardioverter-defibrillator therapy, cardiogenic shock, fibrinolytic therapy,
thrombolytiv therapy, nitrates, mechanical complications, arrhythmia, angina, chronic stable
angina, diabetes, chronic kidney disease, mortality, morbidity, elderly, ethics, dan contrast
nephropathy. Pencarian tambahan referensi silang topik ini dengan subtopik : percutaneous
coronary intervention, coronary bypass graft, cardiac rehabilitation, dan secondary prevention.
Selain itu, komite juga mengulas dokumen yang berkaitan dengan masalah yang sebelumnya
telah diterbitkan oleh ACCF dan AHA. Referensi yang dipilih dan diterbitkan dalam dokumen ini
adalah representatif dan tidak semuanya inklusif.
Fokus panduan ini adala manajemen pasien dengan STEMI. Pembaruan panduan STEMI 2004
diterbitkan pada tahun 2007 dan 2009.

Penekanan tertentu ditujukan pada manfaat terapi

reperfusi, organisasi sistem regional perawatan, algoritme transfer, anti-trombotik dan terapiterapi medis berbasis bukti, serta strategi prevensi sekunder untuk mengoptimalkan perawatan
pasien. Dengan sengaja, dokumen ini memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding panduan
STEMI 2004, sebagai upaya untuk memberikan bantuan yang lebih terfokus bagi para praktisi.
Referensi yang berkaitan dengan panduan manajemen ditampilkan jika sesuai, termasuk yang
berkaitan percutaneous coronary intervention (PCI), coronary artery bypass graft (CABG),
heart failure (HF), peralatan-peralatan untuk jantung, dan prefentif sekunder.
1.2 Organisasi Komite Penulis
Komite penulis terdiri dari para ahli yang mewakili dibidang pengobatan kardiovaskuler,
intervensi kardiologi, elektrofisiologi, HF, bedah jantung, kegawatdaruratan, penyakit dala,,

rehabilitasi jantung, perawat dan farmasi. Amrican College of Physicians, American College of
Emergency Physicians, dan Society for Cardiovascular Angiography and Intervention ditugaskan
sebagai perwakilan resmi.
1.3. Tinjauan dan persetujuan dokumen
Dokumen ini telah ditinjau oleh 2 peninjau luar yang ditunjuk oleh ACCF dan AHA, juga 2
peninjau masing-masing dari American College of Emergency Physicians dan Society for
Cardiovascular Angiography and Intervention serta 22 peninjau individual (termasuk anggota
dari ACCF Interventional Scientific Council dan ACCF Surgeons Scientific Council). Semua
informasi peninjau RWI diberikan kepanda komite penulis dan diterbitkan dalam dokumen ini
(Lampirnan 2).
Dokumen ini telah disetujui untuk diterbitkan oleh badan pemerintah ACCF dan AHA serta
disahkan oleh Amrican Colleg of Emergency Physicians dan Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions.
2. Onset Infark Miokard : Rekomendasi
2.1 Sistem regional perawatan STEMI, terapi reperfusi, dan target waktu penanganan
Lihat Gambar 1.

Kelas I
1. Semua komunitas harus menciptakan dan menjaga sistem regional perawatan
STEMI yang melibatkan penilaian dan peningkatan kualitas yang terus menerus
terhadap pelayanan medis emergensi dan aktivitas berbasis rumah sakit lain.
Pelaksanaan ini dapat difasilitasi dengan berpartisipasi kedalam program seperti
Mission : Lifeline dan Door-to-Ballon Alliance. (Tingkat Bukti [Level Of Evidence] :
B)
2. Dilakukannya pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) 12 sadapan oleh personil
pelayanan medis emergensi saat kontak medis pertama (first medical contact/FMC)
direkomendasikan pada pasien-pasien dengan gejala konsisten STEMI. (Level Of
Evidence : B)
3. Terapi reperfusi sebaiknya diberikan kepada semua pasien STEMI yang memenuhi
syarat dengan onset gejala dalam 12 jam. (Level Of Evidence : A).
4. PCI primer merupakan metode reperfusi

yang direkomendasikan jika dapat

dilakukan tepat waktu oleh operator yang berpengalaman. (Level Of Evidence : A)


5. Rujukan langsung pelayanan medis emergensi ke rumah sakit yang dapat
melakukan PCI untuk pemberian PCI primer merupakan strategi triase yang
direkomendasikan untuk pasien STEMI dengan sasaran waktu kontak medis
pertama (FMC) ke alat PCI yang ideal yaitu 90 menit atau kurang. (Level Of
Evidence : B).
6. Transfer segera ke rumah sakit dengan fasilitas PCI untuk pemberian PCI primer
merupakan strategi triase yang direkomendasikan untuk pasien STEMI yang
sebelumnya tiba atau telah dirujuk ke rumah sakit tanpa fasilitas PCI, dengan
sasaran waktu system FMC-alat 120 menit atau kurang. (Level Of Evidence : B)
7. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien STEMI di
rumah sakit tanpa fasilitas PCI jika antisipasi waktu FMC-alat ke rumah sakit
dengan fasilitas PCI lebih dari 120 menit karena keterlambatan yang tidak dapat
dihindari. (Level Of Evidence : B)
8. Jika terapi fibrinolitik diindikasikan atau dipilih sebagai strategi reperfusi primer,
maka terapi ini harus diberikan dalam waktu 30 menit sejak kedatangan dirumah
sakit. (Level Of Evidence : B)

Kelas IIa
Terapi reperfusi merupakan strategi yang layak untuk pasien STEMI dan onset gejala
dalam 12 hingga 24 jam yang memiliki gejala klinis dan/atau bukti EKG yang
menunjukkan perlangsungan iskemia. PCI primer menjadi strategi yang lebih dipilih pada
populasi ini. (Level Of Evidence : B)
2.2 Evaluasi dan Manajemen pasien dengan STEMI dan henti jantung di luar rumah sakit
Kelas I
1. Terapi hipotermia harus dimulai secepat mungkin pada pasien koma dengan
STEMI dan henti jantung di luar rumah sakit yang disebabkan ileh fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, termasuk pasien yang menjalani PCI
primer. (Level Of Evidence : B)
2. Angiografi dan PCI segera, ketika telah diindikasikan, harus dilakukan pada pasien
henti jantung di luar rumah sakit yang diresusitasi dan gambaran EKG
menunjukkan adanya STEMI. (Level Of Evidence : B)
3. Reperfusi pada rumah sakit dengan kapabilitas PCI : Rekomendasi
3.1.

PCI primer pada STEMI

Lihat Tabel 2 untuk kesimpulan rekomendasi bagian ini.

Kelas I
1. PCI primer dilakukan pada pasien STEMI dan iskemia dengan durasi gejala
kurang dari 12 jam. (Level Of Evidence : A)

2. PCI primer dilakukan pada pasien STEMI dan iskemia dengan durasi gejala
kurang dari 12 jam yang dikontraindikasikan terhadap terapi fibrinolitik, terlepas
dari waktu penundaan dari FMC. (Level Of Evidence : B)
3. Primer PCI dilakukan pada pasien dengan STEMI dan syok kardiogenik atau gagal
jantung akut berat, terlepas dari penundaan waktu dari onset infark miokard
(bagian 8.1). (Level Of Evidence : B)
Kelas IIa
1. Primer PCI layak diberikan pada pasien dengan STEMI jika terdapat bukti klinis
dan/atau EKG adanya perlangsungan iskemia antara 12 dan 24 jam setelah onset
gejala. (Level Of Evidence : B)
Kelas III : Membahayakan
1. PCI tidak dilakukan terhadap arteri non-infark pada saat PCI primer pasien
STEMU yang secara hemodinamik stabil. (Level Of Evidence : B)
3.2 Aspirasi trombektomi
Kelas IIa
1. Aspirasi trombektomi manual dapat diberikan pada pasien yang menjalani PCI
primer. (Level Of Evidence : B)
3.3 Penggunaan stent pada pasien dengan STEMI
Kelas I
1. Pemasangan stent (stent bare-metal atau stent drug-eluting) sangat berguna dalam
PCI primer untuk pasien dengan STEMI. (Level Of Evidence : A)
2. Stent bare-metal sebaiknya digunakan pada pasien dengan risiko tinggi perdarahan,
ketidakmampuan untuk mengikuti selama 1 tahun terapi dual antiplatelet (dual
antiplatelet therapy/DAPT), atau antisipasi prosedur invasif maupun pembedahan di
tahun berikutnya. (Level Of Evidence : C)
Kelas III : Membahayakan
1. Stent drug-eluting sebaiknya tidak dilakukan dalam PCI primer untuk pasien
dengan STEMI yang tidak dapat mentolerir atau mengikuti pemberian DAPT
jangka panjang karena meningkatnya risiko thrombosis stent dengan pemutusan
premature satu atau kedua agen obat. (Level Of Evidence : B)

3.4. Terapi Antiplatelet untuk Mendukung PCI primer pada STEMI


Lihat Tabel 3 untuk kesimpulan rekomendasi dari bagian ini.

Kelas I
1. Aspirin 162 hingga 325 mg diberikan sebelum PCI primer. (Level Of Evidence : B)
2. Setelah PCI, aspirin harus dilanjutkan terus menerus. (Level Of Evidence : A)
3. Dosis pemuatan (loading dose) inhibitor reseptor P2Y12 diberikan seawal mungkin
atau saat PCI primer pada pasien dengan STEMI. Pilihannya termasuk :
a. Clopidogrel 600 mg (Level Of Evidence : B); atau
b. Prasugral 60 mg (Level Of Evidence : B); atau
c. Ticagrelor 180 mg. (Level Of Evidence : B)
4. Inhibitor reseptor P2Y12 diberikan selama satu tahun pada pasien dengan STEMI
yang mendapatkan stent (bare-metal atau drug-eluting) selama PCI primer
menggunakan dosis pemeliharaan sebagai berikut :
a. Clopidogrel 75 mg (Level Of Evidence : B); atau
b. Prasugral 10 mg (Level Of Evidence : B); atau
c. Ticagrelor 90 mg. (Level Of Evidence : B)
Kelas IIa
1. Hal yang baik menggunakan 80 mg aspirin per hari dibanding dosis pemeliharaan
yang lebih tinggi setelah PCI primer. (Level Of Evidence : B)
2. Layak untuk memulai pengobatan dengan antagonis reseptor glikoprotein (GP)
IIb/IIIa intravnea seperti abciximab (Level Of Evidence : A), tirofiban bolus dosis
tinggi (Level Of Evidence : B), atau eptifibatide bolus ganda (Level Of Evidence : B)
saat PCI primer (dengan atau tanpa stent atau prapengobatan clopidogrel) pada
pasien terpilih dengan STEMU yang mendapatkan heparin tak terfraksi
(unfractionated heparin/UFH)
Kelas IIb
1. Baik untuk memberikan antagonis reseptor GP IIb/IIIa intravena pada keadaan
prakaterisasi (misalnya di ambulans, unti gawat darurat) untuk pasien dengan
STEMI dimana PCI primer akan diberikan. (Level Of Evidence : B)
2. Baik untuk memberikan abciximab intracoroner pada pasien dengan STEMI yang
menjalani PCI primer. (Level Of Evidence : B)
3. Melanjutkan inhibitor P2Y12 diatas 1 tahun dapat dipertimbangkan pada pasien
yang mendapatkan pemasangan stent drug-elutting. (Level Of Evidence : C)

Kelas III : Membahayakan


1. Prasugrel tidak diberikan pada pasien dengan riwayat strok atau serangan iskemik
transien (transient ischemic attack/TIA) sebelumnya. (Level Of Evidence : B)
3.5 Terapi Antikoagulan untuk Mendukung PCI Primer
Kelas I
1. Untuk pasien dengan STEMI yang mendapatkan PCI primer, berikut regimen
antikoagulan pendukung yang direkomendasikan
a. UFH, dengan tambahan pemberian bolus yang dibutuhkan untuk menjaga
pengobatan pengaktifan kadar waktu bekuan, dengan mempertimbangkan
apakah antagonis reseptor GP IIb/IIIa telah diberikan. (Level Of Evidence : C)
b. Bivalirudin dengan atau tanpa pengobatan UFH sebelumnya. (Level Of Evidence
: B)
Kelas IIa
1. Pada pasien dengan STEMI yang menjalani PCI dengan risiko tinggi perdarahan,
maka baik untuk menggunakan monoterapi bivalirudin yang lebih dipilih
dibanding kombinasi UFH dan antagonis reseptor GP IIb/IIIa. (Level Of Evidence :
B)
Kelas III : Membahayakan
1. Fondaparinux sebaiknya tidak digunakan sebagai antikoagulan tunggul untuk
mendukung PCI primer karena risiko thrombosis kateter. (Level Of Evidence : B)
4. Reperfusi di rumah sakit tanpa kapabilitas PCI : Rekomendasi
4.1 Terapi Fibrinolitik Jika Terdapat Keterlambatan Yang Dapat Diantisipasi Untuk
melakukan PCI Primer dalam 120 Menit dari FMC
Lihat Tabel 4 untuk kesimpulan rekomendasi bagian ini.
Kelas I
1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien dengan
STEMI dan inset gejala iskemik dalam 12 jam sebelumnya, dimana telah
diantisipasi bahwa PCI Primer tidak dapat dilakukan dalam 120 menit FMC.
(Level Of Evidence : A)

Kelas IIa
1. Jika tidak ada kontraindikasi dan PCI tidak tersedia, terapi fibrinolitik baik untuk
pasien dengan STEMI jika terdapat bukti klinis dan/atau EKG adanya
perlangsungan iskemia dalam 12 hingga 24 jam onset gejala dan area miokard luas
yang berisiko ataupun dengan hemodinamik tidak stabil. (Level Of Evidence : C)
Kelas III : Membahayakan
1. Terapi fibrinolitik sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan ST depresi kecuali
dicurigai Infark Miokar posterior (Inferobasal) atau jika disertai ST elevasi pada
sadapan aVR. (Level Of Evidence : B)
4.2. Terapi Antitrombotik Adjuvan dengan Fibrinolisis
Lihat Tabel 5 untuk kesimpulan rekomendasi dari bagian ini.
4.2.1. Terapi Antiplatelet Adjuvan dengan Fibrinolisis
Kelas I
1. Aspirin (162 hingga 325 mg loading dose) dan clopidogrel (300 mg loading dose
untuk pasien 75 tahun, dosis 75 mg untuk pasien >75 tahun) diberikan pada pasien
dengan STEMI yang mendapatkan terapi fibrinolitik. (Level Of Evidence : A)
2. Aspirin diberikan secara terus menerus (Level Of Evidence : A) dan clopidogrel (74
mg per hari ) dilanjutkan setidaknya selama 14 hari (Level Of Evidence : A) dan
hingga 1 tahun (Level Of Evidence : C) pada pasien dengan STEMI yang
mendapatkan terapi fibrinolitik.

Kelas IIa
1. Baik menggunakan aspirin 81 mg per hari dibanding dosis yang lebih tinggi setelah
terapi fibrinolitik. (Level Of Evidence : B)
4.2.2. Terapi Antikoagulan Adjuvan dengan FIbrinolisis
Kelas I
1. Pasien dengan STEMI yang mendapatkan reperfusi dengan terapi fibrinolitik harus
mendapatkan terapi antikoagulan selama minimal 48 jam, dan lebih baik untuk
durasi indeks rawat inap, hingga 8 hari atau hingga revaskularisasi dilakukan.
(Level Of Evidence : A). Regimen yang direkomendasikan antara lain :
a. UFH diberikan berdasarkan berat badan melalui bolus dan infus intravena
untuk memperoleh activated partial thromboplastin time (aPTT) 1.5 hingga 2.0
kali dari kontrol, selama 48 jam atau hingga revaskularisasi. (Level Of Evidence
: C);
b. Enoxaparin diberikan berdasarkan umur, berat badan, dan klirens kreatinin,
melalui bolus intravena, diikuti 15 menit injeksi subkutan untuk durasi indeks

rawat inap, selama mencapai 8 hari atau hingga revaskularisasi. (Level Of


Evidence : A); atau
c. Fondaparinux diberikan dengan dosis intravena inisial, diikuti injeksi
subkutaneus harian dalam 24 jam jika pengukuran klirens kreatinin lebih dari
30 mL/menit, untuk durasi indeks rawat inap, mencapa 8 hari atau hingga
revaskularisasi. (Level Of Evidence : B)
4.3. Transfer ke Rumah Sakit dengan Kapabilitas PCI setelah Terapi Fibrinolitik
4.3.1. Transfer Pasien dengan STEMI ke Rumah Sakit dengan Kapabilitas PCI untuk
Angiografi Koroner setelah Terapi Fibrinolitik
Lihat Tabel 6 untuk kesimpulan rekomendasi dari bagian ini; Online Data sumplement 4 untuk
tambahan data katerisasi awal dan pertolongan PCI pada kegagalan fibrinolitik di era stent; dan
Online Data Supplement 5 untuk data tambahan katerisasi awal dan PCI setelah fibrinolisis di era
stent.

Kelas I
1. Transfer segera ke rumah sakit dengan kapabilitas PCI untuk angiografi koroner
direkomendasikan bagi pasien STEMI yang tepat dengan syok kardiogenik atau
gagal jantung akut berat, terlepas dari penundaan waktu onset Infark Miokard.
(Level Of Evidence : B)
Kelas IIa

1. Transfer urgen ke rumah sakit dengan kapabilitas PCI untuk angiografi koroner
baik untuk pasien dengan STEMI dimana terdapat bukti kegagalan reperfusi atau
reoklusi setelah terapi fibrinolitik. (Level Of Evidence : B)
2. Transfer ke rumah sakit dengan kapabilitas PCI untuk angiografi koroner baik
untuk pasien dengan STEMI yang mendapatkan terapi fibrinolitik bahkan jika
hemodinamik stabil dan dengan bukti klinis berhasilnya reperfusi. Angiografi dapat
dilakukan sesegera kesiapan logistic rumah sakit rujukan, dan idealnya dalam 24
jam, tapi tidak dilakukan dalam 2 hingga 3 jam pertama setelah pemberian terapi
fibrinolitik. (Level Of Evidence : B)
5. Penundaan Manajemen Invasif : Rekomendasi
5.1. Angiografi Koroner pada Pasien Yang Pada Awalnya Ditangani dengan Terapi
Fibrinolitik atau pada Pasien Yang Tidak Mendapatkan Reperfusi.
Lihat Tabel 7 untuk kesimpulan rekomendasi bagian ini

Kelas I
1. Katerisasi jantung dan angiografi koroner dengan maksud untuk melakukan
revaskularisasi sebaiknya dilakukan setelah STEMI pada pasien sebagai berikut :
a. Syok kardiogenik atau gagal jantung akut berat yang berkembang setelah gejala
awal. (Level Of Evidence : B)
b. Temuan adanya risiko sedang ataupun tinggi pada tes iskemia non-invasif.
(Level Of Evidence : B); atau

c. Iskemia miokard spontan atau dipicu oleh usaha minimal selama rawat inap.
(Level Of Evidence : C)
Kelas IIa
1. Angiografi koroner dengan niat untuk revaskularisasi, baik untuk pasien dengan
adanya bukti kegagalan reperfusi atau reoklusi setelah terapi fibrinolitik.
Angiografi dapat dilakukakan sesegera mungkin setelah rumah sakit siap secara
logistic. (Level Of Evidence : B)
2. Angiografi koroner baik dilakukan sebelum dikeluarkan dari rawat inap pada
pasienstabil dengan STEMI setelah terapi fibrinolitik yang sukses. Angiografi dapat
dilakukan sesegera mungkin setelah siap secara logistik, dan idealnya dalam 24
jam, tapi sebaiknya tidak dilakukan dalam 2 hingga 3 jam pertama setelah
pemberian terapi fibrinolitik. (Level Of Evidence : B)
5.2.

PCI pada Arter Infark Untuk Pasien Yang Sebelumnya Ditangani Dengan
Fibrinolisis Atau Untuk Pasien Yang Tidak Mendapatkan Terapi Reperfusi
Lihat Tabel 8 untuk kesimpulan rekomendasi dari bagian ini

Kelas I
1. PCI pada stenosis yang signifikan secara anatomic pada arteri infark dilakukan
pada pasien dengan anatomi yang sesuasi dan salah satu diantara berikut :
a. Syok kardiogenik atau gagal jantung akut berat (Level Of Evidence : B);

b. Temuan adanya risiko sedang ataupun tinggi pada tes iskemia non-invasif. (Level
Of Evidence : B); atau
c. Iskemia miokard spontan atau dipicu oleh usaha minimal selama rawat inap.
(Level Of Evidence : C)
Kelas IIa
1. PCI tertunda baik pada pasien dengan STEMI dan bukti adanya kegagalan
reperfusi atau reoklusi setelah terapi fibrinolitik. PCI dapat dilakukan sesegera
kesiapan logistik dari rumah sakit rujukan. (Level Of Evidence : B);
2. PCI tertunda pada stenosis signifikan untuk arteri infark paten baik terhadap
pasien STEMI stabil setelah terapi fibrinolitik. PCI dapat dilakukan sesegera
kesiapan logistic rumah sakit rujukan, dan idealnya dalan 24 jam, namun tidak
dilakukan dalam 2 hingga 3 jam pertama setelah pemberian terapi fibrinolitik.
(Level Of Evidence : B)
Kelas IIb
1. PCI tertunda pada stenosis signifikan arteri infark paten lebih dari 24 jam setelah
STEMI dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari strategi invasif untuk pasien
stabil. (Level Of Evidence : B)
Kelas III : tanpa Manfaat
1. PCI tertunda pada arteri infark oklusi total lebih dari 24 jam setelah STEMI tidak
dilakukan pada pasien asimptomatik dengan 1 atau 2 penyakit pembuluh jika
mereka stabil baik secara hemodinamik maupun eletrik serta tidak ada bukti
iskemia berat. (Level Of Evidence : B)
5.3.

PCI pada Arteri Non-Infark sebelum Dikeluarkan dari Perawatan Rumah Sakit
Kelas I
1. PCI diindikasikan pada arteri non-infark pada waktu yang terpisah dari PCI
primer untuk pasien yang memiliki gejala spontan iskemia miokard. (Level Of
Evidence : C)
Kelas IIa

1. PCI baik pada arteri non-infark pada waktu yang terpisah dari PCI primer untuk
pasien dengan temua risiko sedang atau tinggi saat tes non-invasif. (Level Of
Evidence : B)
5.4. Terapi Antitrombotik Adjuvan untuk Mendukung PCI Tertunda Setelah Terapi
Fibrinolitik
Lihat Tabel 9 untuk kesimpulan rekomendasi bagian ini.

5.4.1. Terapi antiplatelet untuk mendukung PCI setelah terapi fibrinolitik


Kelas I
1. Setelah PCI, pemberian aspirin dilanjutkan terus menerus. (Level Of Evidence : A)
2. CLopidogrel diberikan sebagai berikut :
a. 300 mg dosis beban (loading dose) diberikan sebelum atau pada saat PCI untuk
pasien yang tidak mendapatkan loading dose sebelumnya dan pada pasien yang

menjalani PCI dalam 24 setelah mendapatkan terapi fibrinolitik. (Level Of


Evidence : C);
b. 600mg loading dose diberikan sebelum atau pada saat PCI untuk pasien yang
tidak mendapatkan loading dose sebelumnya dan pada pasien yang menjalani
PCI lebih dari 24 setelah mendapatkan terapi fibrinolitik. (Level Of Evidence :
C); dan
c. Satu dosis 75 mg perhari diberijan setelah PCI. (Level Of Evidence : C)
Kelas IIa
1. Setelah PCI, baik untuk menggunakan aspirin 80 per hari dibanding dosis
pemeliharaan yang lebih besar. (Level Of Evidence : B)
2. Prasugrel, 600 mg loading dose, baik diberikan ketika anatomi koroner telah
diketahui pada pasien yang belum mendapatkan loading dose clopidogrel
sebelumnya saat diberikan agen fibrinolitik, tapi prasugrel tidak diberikan lebih
cepat dari 24 jam setelah pemberian agen fibrin spesifik atau 48 jam setelah
pemberian agen fibrin non-spesifik. (Level Of Evidence : B)
3. Prasugrel, dosis pemeliharaan 10 mg perhari, baik diberikan setelah PCI. (Level Of
Evidence : B)
Kelas III : Membahayakan
1. Prasugrel tidak diberikan pada pasien dengan riwayat strok atau transient ischemic
attack (TIA) sebelumnya. (Level Of Evidence : B)
5.4.2. Terapi antikoagulan untuk mendukun PCI setelah terapi fibrinolitik
Kelas I
1. Untuk pasien dengan STEMI yang menjalan PCI setela mendapatkan terapi
fibrinolitik dengan UFH intravena, tambahan bolus intravena UHF diberikan jika
dibutuhkan untuk mendukung prosedur, dengan mempertimbangkan apakah
antagonis reseptor GP IIb/IIIa telah diberikan. (Level Of Evidence : C)
2. Untuk pasien dengan STEMI yang menjalani PCI setelah mendapatkan terapi
fibrinolitik dengan enoxaparin, jika dosis subkutan terakhir telah diberikan dalam
8 jam terakhir, tidak perlu pemberian tambahan enoxaparin; jika dosis subkutan

terakhir diberikan antara 8 dan 12 jam sebelumnya, diberikan tambahan


enoxaparin 0.3 mg/kg IV. (Level Of Evidence : B)
Kelas III : Membahayakan
1. Fondaparinux tidak digunakan sebagai antikoagulan tunggal untuk mendukung
PCI. Antikoagulan tambahan dengan aktivitas anti IIa diberikan karena risiko
thrombosis kateter. (Level Of Evidence : C)
6. Bedah Coronary Artery Bypass Graft (CABG) : Rekomendasi
6.1. CABG pada pasien dengan STEMI
Kelas I
1. CABG urgen diindikasikan pada pasien dengan STEMI dan anatomi koroner yang
tidak memungkinkan untuk mendapatkan PCI dimana terjadi perlangsungan atau
rekurensi iskemia, syok kardiogenik, gagal jantung berat, atau gambaran risiko
tinggi lain. (Level Of Evidence : B)
2. CABG direkomendasikanpada pasien dengan STEMI saat menjalani operasi
perbaikan defek mekanik. (Level Of Evidence : B)
Kelas IIa
1. Penggunaan penunjang sirkulasi mekanik baik untuk pasien STEMI yang secara
hemodinamik tidak stabil dan membutuhkan CABG urgen. (Level Of Evidence : C)
Kelas IIb
1. CABG emergensi dalam 6 jam onset gejala dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan STEMI yang tidak mengalami syok kardiogenik dan bukan merupakan
kandidat untuk terapi PCI atau fibrinolitik. (Level Of Evidence : C)
6.2. Penentuan Waktu CABG Urgen Pada Pasien Dengan STEMI Dalam Hubungannya
Dengan Penggunaan Agen Antiplatelet
Kelas I
1. Pemberian aspirin tidak ditunda sebelum CABG urgen. (Level Of Evidence : C)
2. Clopidogrel atau ticagrelor dihentikan setidaknya 24 jam sebelum CABG urgen,
jika memungkinkan. (Level Of Evidence : B)

3. Antagonis reseptor GP IIb/IIIa intravena kerja pendek (eptifibatide, tirofiban)


dihentikansetidaknya 2 hingga 4 jam sebelum CABG urgen, (Level Of Evidence : B)
4. Abciximab dihentikan setidaknya 12 jam sebelum CABG urgen. (Level Of Evidence
: B)
Kelas IIb
1. CABG urgen dalam 24 jam pemberian clopidogrel atau ticagrelor dapat
dipertimbangkan, terutama jika manfaat revaskularisasi segera lebih penting
daripada risiko perdarahan. (Level Of Evidence : B)
2. CABG urgen dalam 5 hari pemberian clopidogrel atau ricagrelor atau dalam 7 hari
pemberian

prasugrel

dapat

dipertimbangkan,

terutama

jika

manfaat

revaskularisasi segera lebih penting daripada risiko perdarahan. (Level Of Evidence


: C)
7. Terapi Medis Rutin : Rekomendasi
7.1. Beta bloker
Kelas I
1. Beta bloker oral diberikan pada 24 jam pertama pasien dengan STEMI yang tidak
memiliki salah satu dari : tanda gagal jantung, adanya bukti output rendah,
peningkatan risiko syok kardiogenik*, atau kontraindikasi lain penggunaan beta
bloker oral (Interval PR lebih dari 0.24 detik, AV blok derajat dua atau tiga, asma
aktif, atau penyakit saluran napas reaktif). (Level Of Evidence : B)
(* faktor risiko syok kardiogenik[semakin besar jumlah faktor risiko yang ada, semakin
tinggi risiko berkembang syok kardiogenik] yaitu umur >70 tahu, tekanan darah sistolik
<120 mmHg, sinus takikardia >110kali/menit atau denyut jantung <60 kali/menit, dan
peningkatan waktu sejak onset gejala STEMI)
2. Beta bloker dilanjutkan selama dan setelah perawat dirumah sakit untuk semua
pasien dengan STEMI dan tanpa kontraindikasi penggunaanny. (Level Of Evidence
: B)
3. Pasien dengan kontraindikasi pemberian beta bloker dalam 24 jam pertema setelah
STEMI sebaiknya di evaluasi ulang untuk menilai kelayakan setelahnya. (Level Of
Evidence : C)

Kelas IIa
1. Baik untuk memberikan beta bloker intravena pada saat pasien dengan gejala
STEMI dan tidak ada kontraindikasi terhadap penggunaannya untuk pasien yang
mengalami hipertensi ataupun perlangsungan iskemia. (Level Of Evidence : B)
7.2. Inhibitor Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Kelas I
1. ACEI diberikan dalam 24 jam pertama semua pasien dengan STEMI lokasi
anterior, gagal jantung atau fraksi ejeksi kurang atau setara dengan 0.40, dan tanpa
kontraindikasi. (Level Of Evidence : A)
2. Bloker reseptor angiotensi diberikan pada pasien dengan STEMI yang memiliki
indikasi tapi tidak toleran terhadap ACEI. (Level Of Evidence : B)
3. Antagonis aldosteron diberikan pada pasien dengan STEMI dan tidak ada
kontraindikasi pada pasien yang telah mendapatkan ACEI dan beta bloker namun
memiliki fraksi ejeksi kurang atau setara dengan 0.40 serta mengalami gagal
jantung simptomatik atau diabetes mellitus. (Level Of Evidence : B)
Kelas IIa
1. ACEI baik untuk semua pasien dengan STEMI dan tanpa kontraindikasi
penggunaannya. (Level Of Evidence : A)
7.3 Manajemen Lipid
Kelas I
1. Terrapin statin intensitas tinggi diberikan atau dilanjutkan pada semua pasien
dengan STEMI dan tanpa kontraindikasi penggunaanya. (Level Of Evidence : B)
Kelas IIa
1. Baik untuk memeriksa profil lipid puasa pada pasien dengan STEMI, dan
sebaiknya dalam 24 sejak timbulnya gejalan. (Level Of Evidence : C)
8. Komplikasi Setelah STEMI : Rekomendasi
8.1. Pengobatan syok kardiogenik
Kelas I

1. Revaskularisasi emergensi bain dengan PCI atau CABG direkomendasikan pada


pasien yang memenuhi syarat dengan syok kardiogenik akibat kegagalan pompa
setela STEMI terlepas dari penundaan waktu sejak onset MI. (Level Of Evidence :
B)
2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien dengan
STEMI dan syok kardiogenik yang tidak memenuhi syarat dilakukannya PCI
maupun CABG. (Level Of Evidence : B)
Kelas IIa
1. Penggunaan intra-aortic ballon pump counterpulsatio dapat sangat berguna pada
pasien dengan syok kardiogenik setelah STEMI yang tidak cepat stabil dengan
terapi farmakologi. (Level Of Evidence : B)
Kelas IIb
1. Alat

bantu

alternative

ventrikel

kiri

untuk

penunjang

sirkulasi

dapat

dipertimbangkan pada pasien denga syok kardiogenik refrakter. (Level Of Evidence


: B)
8.2. Terapi Kardioverter-Defibrilator Implant Sebelum Dikeluarkan Dari Perawatn
Rumah Sakit
Kelas I
1. Terapi implant karioverter-defibrilator diindikasikan sebelum keluar dari
perawatan rumah sakit pada pasien yang mengalami takikardi ventrikel/fibrilasi
ventrikel yang terus menerus selama lebih dari 48 jam setelah STEMI,
menunjukkan aritmia bukan akibat dari iskemia transien atau reversibel, reinfark,
ataupun abnormalitas metabolik. (Level Of Evidence : B)
8.3. Pacing (Pacu Jantung) pada STEMI
Kelas I
1. Pacu jantung (pacing) temporer diindikasikan pada bradiaritmia simptomatik yang
tidak berespon terhaap pengobatan medis. (Level Of Evidence : C)
8.4. Manajemen Perikarditis Paska STEMI

Kelas I
1. Aspirin direkomendasikan untuk pengobatan prikarditis paska STEMI. (Level Of
Evidence : B)
Kelas IIb
1. Pemberian asetaminofen, kolkisin, atau analgetik narkotik dapat dipertimbangkan
jika aspirin, walau dalam dosis yang lebih tinggi, tidak efektif. (Level Of Evidence :
C)
Kelas III : membahayakan
1. Glukokortikoid dan obat-obatan antiinflamasi non-steroid dapat membahayakan
secara potensial untuk pengobatan perikarditis paska STEMI. (Level Of Evidence :
B)
8.5 Antikoagulan
Kelas I
1. Terapi antikoagulan dengan antagonis vitamin K diberikan pada pasien STEMI
dan fibrilasi atrial dengan skore CHADS2# lebih atau sama dengan 2, penyakit
katup jantung mekanik, tromboemboli vena ataupun gangguan hiperkoagulasi.
(Level Of Evidence : C)
2. Durasi terapi tiga antitrombotik dengan antagonis vitamin K, aspirin dan inhibitor
reseptor P2Y12 sebaiknya diminimalkan untuk mengurangi batasan risiko
perdarahan. (Level Of Evidence : C)
Kelas IIa
1. Terapi antikoagulan dengan antagonis viamin K baik untuk pasien dengan STEMI
dan thrombus mural ventrikel kiri asimptomatik. (Level Of Evidence : C)
Kelas IIb
1. Terapi antikoagulan dapat dipertimbangkan pada pasien dengan STEMI dan
akinesis maupun diskenesis apikal anterior. (Level Of Evidence : C)
2. Sasaran terapi antagonis vitamin K yaitu untuk menurunkan international
normalized ratio (INR) (misalnya 2.0 hingga 2.5) dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan STEMI yang mendapatkan DAPT. (Level Of Evidence : C)

9. Penilaian Risiko Paska STEMI : Rekomendasi


9.1. Penggunaan tes non-invasif untuk iskemia sebelum dikeluarkan dari perawatan
rumah sakit
Kelas I
1. Tes non-ivasif untuk iskemia dilakukan sebelum pengeluaran dari rumah sakit
untuk menilai adanya dan perluasan iskemia terinduksi pada pasien dengan
STEMI yang tidak mendapatkan angiografi koroner dan tidak memiliki klinis
risiko tinggi dimana angiografi koroner akan menjamin. (Level Of Evidence : B)
Kelas IIb
1. Tes non-invasif untuk iskmia dapat dipertimbangkan sebelum pengeluaran dari
rumah sakit untuk mengevaluasi signifikansi fungsi stenosis arteri non-infark yang
sebelumnya diidentifikasi pada angiografi. (Level Of Evidence : C)
2. Tes non-invasif untuk iskemua dapat dipertimbangkan sebelum pengeluaran dari
rumah sakit untuk memandu peresepan rawat jalan. (Level Of Evidence : C)
9.2. Penilaian Fungsi Ventrikel Kiri
Kelas I
1. Ejeksi fraksi diukur pada semua pasien dengan STEMI. (Level Of Evidence : C)
9.3. Penilaian Risiko Kematian Jantung Mendadak
Kelas I
1. Pasien yang pada awalnya mengalami reduksi fraksi ejeksi ventrikel kiriyang
memungkinkan untuk menjadi kandidat pemasangan terapi implant kardioverterdefibrilator harus menjalani reevaluasi ejeksi fraksi ventrikel kiri 40 hari atau lebih
setelah dikeluarkan dari perawatan rumah sakit. (Level Of Evidence : B)
10. Rencana Perawatan Paska Rawat Inap : Rekomendasi
Kelas I
1. Sistem perawatan paska rawat inap yang dibentuk untuk mencegah perawatan
rumah sakit ulang sebaiknya digunakan untuk menfasilitasi transisi ke perawatan

pasien efektif dan terkoordinasi bagi semua pasien dengan STEMI. (Level Of
Evidence : B)
2. Program

rehabilitasi/prevensi

sekunder

dengan

dasar

latihan

jantung

direkomendasikan pada pasien-pasien dengan STEMI. (Level Of Evidence : B)


3. Rencana perawatan jelas, detail dan berbasis bukti yang meningkatkan ketaatan
berobat, follow up teratur dengan tim pelayanan kesehata, diet dan aktifitas fisik
yang tepat, dan intervensi tambahan untuk prevensi sekunder sebaiknya diterapkan
pada semua pasien dengan STEMI. (Level Of Evidence : C)
4. Meyakinkan dan menyarankan untuk berhenti merokok serta menghindari

menjadi perokok pasif harus diterapkan pada semua pasien STEMI. (Level Of
Evidence : A)

Anda mungkin juga menyukai