Anda di halaman 1dari 17

Beranda

About Me

Guess Book

Mariamhartini's Blog
Just another WordPress.com weblog
Feeds:
Tulisan
Komentar
puisi
Statistik Inference (Statistik Kesehatan Masyarakat)

Penyakit Asma Akibat Kerja


Maret 1, 2010 oleh mariamhartini
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata
lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat
atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Alergi dapat merupakan gangguan hipersensitivitas local atau sistemik. Kulit dan saluran napas
adalah organ yang paling sering terpajan alergen dan terlibat dalam penyakit alergi. Reaksi alergi
dapat juga terjadi di jaringan vaskular, traktus gastrointestinal, atau organ lain. Anafilaksis
merupakan bentuk reaksi alergi sistemik yang paling berbahaya. Reaksi alergi yang kompleks

dapat digambarkan sebagai berikut: reaksi diawali dengan pajanan terhadap alergen yang
ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC), dipecah menjadi peptida-peptida kecil, diikat
molekul HLA (MHC II), bergerak ke permukaan sel dan dipresentasikan ke sel Th-2. Sel Th-2
diaktifkan dan memproduksi sitokin-sitokin antara lain IL-4 dan IL-13 yang memacu switching
produksi IgG ke IgE oleh sel B, terjadi sensitisasi sel mast dan basofil, sedangkan IL-5
mengaktifkan eosinofil yang merupakan sel inflamasi utama dalam reaksi alergi. Selain itu sel
residen juga melepas mediator dan sitokin yang juga menimbulkan gejala alergi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Akibat Kerja (PAK)?
2. Apa yang dimaksud dengan Asma Akibat Kerja?
3. Apa yang dimaksud dengan Klasifikasi Asma?
4. Apa yang dimaksud dengan Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS)?
5. Apa yang dimaksud dengan Penatalaksanaan Asma Akibat Kerja?
6. Cara mendiagnosa Asma Akibat Kerja?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui penyebab Penyakit Akibat Kerja (PAK).
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Asma Akibat Kerja.
3. Mengetahui beberapa klasifikasi Asma.
4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Reactive Airways Dysfunction Syndrome
(RADS).
5. Mengetahui Penatalaksanaan Asma Akibat Kerja.
6. Untuk mengetahui cara mendiagnosa Asma Akibat Kerja.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan adalah dengan mencari artikel-artikel yang relevan
melalui studi kepustakaan yang berasal dari beberapa buku yang telah disarankan oleh Dosen
sekaligus pembimbing.
Diskusi kelompok merupakan metode yang penulis gunakan untuk menyamakan pendapat serta
berbagi pemahaman atas topik persoalan yang ada

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyakit Akibat Kerja
Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan sekitar 70.000 jenis bahan
berupa logam, kimia, pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang digunakan
secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan kemudahan bagi
penduduk di seluruh dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbulkan berbagai
dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik,
fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit penyakit akibat pajanan di lingkungan kerja
dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati, saraf, alat reproduksi, kardiovaskular, kulit
dan saluran napas.
Biological dan chemical terrorism yang mulai banyak dikhawatirkan ditujukan untuk
menimbulkan kematian atau penyakit pada manusia, hewan dan tanaman dengan menggunakan
bahan seperti anthrax, cacar, virus ensefalitis yang dikeringkan
dan dijadikan bubuk sehingga mudah disebarkan.
Penyakit pertama yang diduga merupakan Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah silikosis yang
sudah terjadi pada masa manusia membuat peralatan dari batu api. Pengetahuan mengenai PAK
masih terbatas karena sulitnya melakukan studi epidemiologi; hal ini disebabkan berbagai hal
seperti definisi PAK yang belum jelas, praktek hygiene industri dan cara-cara laporan yang
berbeda, tidak ada studi kontrol, tidak mungkin menentukan gejala minimal, banyak karyawan
tidak melapor dan sudah meninggalkan tempat kerja sewaktu penelitian dilakukan sehingga
hanya ditemukan survivor population. Hal tersebut terlihat dari sedikitnya laporan PAK di
Indonesia. PAK tersering adalah yang mengenai saluran napas yaitu asma dan rinitis. PAK
imunologik lain yaitu pneumonitis hipersensitif yang mengenai paru dan PAK yang mengenai
kulit.
2.2 Asma Akibat Kerja
Asma akibat kerja adalah asma karena paparan zat di tempat kerja. Secara klinis asma akibat
kerja sama dengan asma yang bukan karena kerja. Beberapa penelitian menemukan bahwa
lamanya paparan setelah gejala timbul dan beratnya asma saat diagnosa ditegakkan sangat
menentukan prognosis.
Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi saluran napas yang variabel dan bronkus
hiperesponsif yang disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal tersebut bermula dari
inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau digunakan karyawan atau secara tidak sengaja
ditemukan dalam lingkungan kerja. Ciri dari semua asma kronis adalah iritabilitas berlebihan
terhadap berbagai rangsangan/factor dalam lingkungan kerja Asma yang timbul dalam
lingkungan kerja dibedakan dalam dua kategori. Pertama adalah asma yang disebabkan
bahan/faktor dalam lingkungan kerja dan kedua asma yang sudah ada sebelum bekerja dan

dipicu (eksaserbasi) oleh bahan/ faktor dalam lingkungan kerja.5 Pada karyawan yang sudah
menderita asma sebelum bekerja, 15% akan memburuk akibat pajanan terhadap bahan/ faktor
dalam lingkungan kerja.
Asma akibat kerja yang menjadi permanen, menyebabkan penderita memiliki disabilitas, harus
pindah bekerja di bidang lain, bertambahnya biaya pengobatan, dan turunnya kualitas hidup.
Karenanya, perusahaan tempat ia berkerja dan mendapat asma seharusnya memberikan
kompensasi. Ironisnya banyak perusahaan malah memecat pekerja tersebut. Untuk itu, perlu
undang-undang yang mengatur kompensasi bagi penderita penyakit alergi akibat kerja.
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. 1.

Faktor genetik
1. Hipereaktivitas
2. Atopi/alergi bronkus
3. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
4. Jenis kelamin
5. Ras/etnik

1. 2.

Faktor lingkungan
1. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)
2. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
3. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
4. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll)
5. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)
6. Ekpresi emosi berlebih
7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
8. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

9. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan


aktifitas tertentu
10. Perubahan cuaca
2.3 Klasifikasi Asma
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum
pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis dan uji
faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat
dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat
menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam
penatalaksanaannya.
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1) Intermitten; 2)Persisten
ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel 1)
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa
Derajat asma
Intermitten

Persisten ringan

Persisten sedang

Gejala
Bulanan
Gejala<1x/minggu.

Gejala malam

Faal paru
APE80%
2 kali sebulan - VEP180% nilai prediksi
APE80%

Tanpa gejala diluar


serangan.

nilai terbaik.

- Variabiliti APE<20%.

Serangan singkat.

Mingguan
Gejala>1x/minggu
tetapi<1x/hari.

>2 kali sebulan

APE>80%
- VEP180% nilai prediksi
APE80% nilai terbaik.

Serangan dapat
mengganggu aktifiti dan
tidur

- Variabiliti APE 20-30%.

Harian
Gejala setiap hari.

APE 60-80%
- VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80% nilai
terbaik.

Serangan
mengganggu aktifiti dan

>2 kali sebulan

tidur.

- Variabiliti APE>30%.

Membutuhkan
bronkodilator setiap hari.
Persisten berat

Kontinyu
Gejala terus menerus Sering

APE 60%
- VEP160% nilai prediksi

Sering kambuh

APE60% nilai

Aktifiti fisik terbatas

- Variabiliti APE>30%

terbaik

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia,
2004
2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari,
asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma
(GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma
serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai
contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada
kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat,
bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap
pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang
datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada. Penilaian tingkat serangan yang
lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal,
atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi (lihat bagan 1, bagan 2 dan
bagan 6).
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan
Parameter klinis, fungsi
faal paru, laboratorium
Sesak (breathless)

Ringan

Sedang

Berat

Berjalan
Bayi :

Berbicara
Bayi :

Istirahat
Bayi :

Ancaman henti
napas

Menangis keras -Tangis pendek Tidakmau


dan lemah
makan/minum
-Kesulitan
menetek/makan
Posisi

Bicara
Kesadaran
Sianosis
Wheezing

Penggunaan otot bantu


respiratorik
Retraksi

Frekuensi napas

Bisa berbaring

Duduk
bertopang
lengan
Kalimat
Penggal kalimat Kata-kata
Mungkin iritabel Biasanya iritabel Biasanya iritabel Kebingungan
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Nyata
Sedang, sering Nyaring,
Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada akhir sepanjang
terdengar tanpa terdengar
ekspirasi
ekspirasi
stetoskop
inspirasi
Biasanya tidak Biasanya ya
Ya
Gerakan paradok
torakoabdominal
Dangkal,
Sedang,
Dalam, ditambah Dangkal / hilang
retraksi
ditambah retraksi napas cuping
interkostal
suprasternal
hidung
Takipnu
Takipnu
Takipnu
Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :
Usia
menit

Frekuensi nadi

Lebih suka
duduk

Frekuensi napas normal per

< 2 bulan

<60

2-12 bulan

< 50

1-5 tahun

< 40

6-8 tahun

< 30

Normal
Takikardi
Takikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia

Dradikardi

Frekuensi nadi normal per menit

2-12 bulan

< 160

1-2 tahun

< 120

6-8 tahun

< 110

Pulsus paradoksus

Tidak ada

Ada

Ada

(pemeriksaannya tidak
praktis)

(< 10 mmHg)

(10-20 mmHg)

(>20mmHg)

PEFR atau FEV1

>60%

40-60%

<40%

(%nilai dugaan/%nilai
terbaik)

>80%

60-80%

<60%, respon<2
jam

Tidak ada, tanda


kelelahan otot
respiratorik

Pra bonkodilator
Pasca bronkodilator
SaO2 %
PaO2

>95%
91-95%
Normal
>60 mmHg
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
<45 mmHg
<45 mmHg

PaCO2

90%
<60 mmHg

>45 mmHg

Sumber : GINA, 2006


Tabel 3. Jenis Obat Asma
Jenis obat
Pengontrol

Golongan
Steroid inhalasi

Nama generik
Flutikason propionat

Bentuk/kemasan obat
IDT

(Antiinflamasi)

Antileukokotrin

Budesonide

IDT, turbuhaler

Pelega

Kortikosteroid sistemik Zafirlukast

Oral(tablet)

(Bronkodilator)

Agonis beta-2

Metilprednisolon

Oral(injeksi)

kerjalama

Prednison

Oral

kombinasi steroid dan

Prokaterol

Oral

Agonis beta-2

Formoterol

Turbuhaler

kerjalama

Salmeterol

IDT

Agonis beta-2 kerja


cepat

Flutikason + Salmeterol.

IDT

Budesonide + formoterol

Turbuhaler

Salbutamol

Oral, IDT, rotacap solution

Terbutalin

Oral, IDT, turbuhaler,


solution, ampul (injeksi)

Antikolinergik
Metilsantin
Kortikosteroid sistemik
Prokaterol
IDT
Fenoterol
IDT, solution
Ipratropium bromide
IDT, solution
Teofilin
Oral
Aminofilin
Oral, injeksi
Teofilin lepas lambat
Oral
Metilprednisolon
Oral, inhaler
Prednison
Oral

IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama
dengan spacer

Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser

Oral

Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv

: Dapat berbentuk sirup, tablet

Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol (tabel 5).
Tabel 4. Ciri-ciri Tingkatan Asma
Tingkatan Asma Terkontrol

Karakteristik

Gejala harian

Pembatasan aktivitas
Gejala
nokturnal/gangguan
tidur (terbangun)
Kebutuhan akan
reliever atau terapi
rescue
Fingsi Paru (PEF atau

Terkontrol

Tidak ada (dua kali


atau kurang
perminggu)
Tidak ada
Tidak ada

Tidak

Sebagian

Terkonrol

Lebih dari dua kali Tiga atau lebih gejala dalam


seminggu
kategori Asma Terkontrol
Sebagian, muncul sewaktu
waktu dalam seminggu
Sewaktu-waktu
dalam seminggu
Sewaktu waktu
dalam seminggu

Tidak ada (dua kali


atau kurang dalam
seminggu)
Normal

Lebih dari dua kali


seminggu

Tidak ada

Sekali atau lebih


dalm setahun**)

FEV1*)
Eksaserbasi

Terkonrol

< 80% (perkiraan


atau dari kondisi
terbaik bila diukur)
Sekali dalam seminggu***)

Keterangan :
*)

Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun

**)

Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apkah benar-benar

adekwat
***)

Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma takterkontrol

Sumber : GINA 2006


2.4 Reactive Airways Dysfunction Syndrome
Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS) atau irritant induced asthma adalah reaksi nonimunologik serupa asma yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan (Toluen
Diisosianat/TDI, klorin, fosgen) yang tinggi. Hipereaktivitas bronkus dapat menetap sedikitnya
satu tahun pasca pajanan tersebut. Pajanan terhadap iritan kadar rendah untuk jangka waktu yang
lama dapat juga menimbulkan reaksi serupa.
Dewasa ini, sekitar 250 bahan dalam lingkungan kerja sudah diketahui dapat menimbulkan asma.
Bahan-bahan dengan berat molekul tinggi (HMW seperti bahan asal hewan, tanaman seperti
tepung, kopi, soya) biasanya menginduksi sintesis IgE dan memicu reaksi asma alergi tipe I.

Bahan dengan berat molekul rendah (LMW) seperti TDI, Trimellitic Anhydride/TMA, platina,
nickel merupakan hapten yang berikatan dengan protein pembawa asal tubuh yang dapat
memacu sintesis IgE. Bahan HMW berhubungan, sedang bahan LMW tidak berhubungan
dengan atopi. HMW biasanya menimbulkan reaksi dini dan lambat, sedangkan LMW reaksi
lambat terisolasi.
Bisinosis adalah gejala saluran napas serupa asma dalam berbagai derajat yang disebabkan oleh
pajanan terhadap serat kapas. Oleh karena gejala awal bisinosis terjadi pada hari kerja pertama
yang biasanya hari Senin, bisinosis disebut juga Monday morning fever atau Monday moning
chest tightness atau Monday morning asthma. Bisinosis lebih sering ditemukan pada karyawan
pemintalan yang terpajan debu kapas kadar tinggi dibanding karyawan pertenunan.
Pneumonitis hipersensitif (PH) adalah penyakit parenkim paru akibat pajanan dan sensitisasi
terhadap berbagai debu organik, misalnya produk bakteri, jamur dan protein asal tanaman.
Diisosianat yang digunakan dalam produksi poliuretan, busa, plastik dapat pula menimbulkan
PH. Reaksi yang terjadi pada PH dewasa ini dianggap sebagai campuran reaksi Tipe III dan Tipe
IV.
2.5 Cara Mendiagnosis Asma Akibat Kerja
Untuk menegakkan diagnosis AAK, perlu diketahui riwayat atopi, penilaian pajanan, imunologi
(molekular dan selular), foto paru dan fisiologi seperti hipereaktivitas bronkus, fungsi paru serial,
uji inhalasi spesifik yang merupakan gold standard.
Diagnosis asma akibat kerja pada prinsipnya adalah menghubungkan gejala klinis asma dengan
lingkungan kerja; oleh karenanya dibutuhkan suatu anamnesis yang baik dan pemeriksaan
penunjang yang tepat. Anamnesis teliti mengenai apa yang terjadi di lingkungan kerjanya
merupakan hal penting; seperti : kapan mulai bekerja di tempat saat ini, apa pekerjaan sebelum di
tempat kerja saat ini, apa yang dikerjakan setiap hari, proses apa yang terjadi di tempat kerja,
bahan-bahan yang dipakai dalam proses produksi serta data bahan tersebut. Dan yang tak kalah
penting adalah peninjauan lapangan oleh pemeriksa (dokter) untuk lebih memahami situasi
lapangan.
Selain anamnesis mengenai tempat kerja, yang perlu juga diketahui adalah mengenai klinis
yang terjadi. Kapan mulai timbulnya keluhan, sejak mulai masuk tempat tersebut atau yang
dikenal sebagai masa laten. Masa laten dapat beberapa minggu sampai beberapa tahun,
umumnya 1-2 tahun.Klinis sesak, batuk, mengi dapat timbul sewaktu kerja, setelah kerja (sore
maupun malam) atau keduanya. Bila frekuensi serangan lebih sering/memburuk sewaktu hari
kerja dibandingkan hari libur atau akhir minggu maka dapat diduga asma yang timbul
berhubungan dengan tempat kerja.
Pemeriksaan penunjang Spirometri (pemeriksaan FEV1) sebelum dan sesudah shift. Dikatakan
positif bila terjadi penurunan FEV1 sebesar lebih dari 5% antara sebelum dan sesudah kerja;
pada orang normal variabel tersebut kurang dari 3%. Pemeriksaan ini oleh banyak ahli
diragukan sensitivitasnya karena pada suatu penelitian hanya 20% penderita asma disebabkan

colophony yang turun FEV1nya selama workshift; sedangkan penurunan FEV1 juga dijumpai
pada 10% kelompok orang yang tidak asma (kontrol).
Cara lain adalah pengukuran FEV1 dan FVC pada pekerja (tersangka asma akibat kerja) yang
dikeluarkan dari lingkung an kerjanya dan kemudian diukur ulang sewaktu bekerja kembali.
Apabila hasilnya memperlihatkan perbaikan selama meninggalkan tempat kerja dan didukung
oleh perbaikan ke luhan maka dapat disimpulkan adanya hubungan keluhan klinis dan tempat
kerja.
PEFR : Pemeriksaan serial PEFR (peak expiratory flow rate) selama hari-hari kerja dan beberapa
hari libur di rumah, merupakan pemeriksaan asma akibat kerja yang terbaik. Dikatakan positif
respons bila kurva pengukuran selama hari libur di rumah lebih baik dari sewaktu hari kerja.
Tes provokasi
Ada dua macam pemeriksaan:
1. Non spesifik yaitu provokasi bronkus menggunakan histamin atau metakolin.
Pemeriksaan ini hanya membuktikan adanya bronkus hiperreaktif .
1. Spesifik yaitu provokasi bronkus menggunakan alergen yang diduga penyebab.
Pemeriksaan ini bila dapat dilaksanakan merupakan cara pembuktian terbaik bahwa
alergen tempat kerja merupakan penyebab. Kesulitannya terletak pada penentuan alergen
penyebab dan reproduksinya bila telah diketahui.
Tes kulit dan tes serologi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan apabila agen penyebab nya bahan dengan berat molekul besar
karena akan merangsang terjadinya reaksi imunologi (IgE).
2.6 Penatalaksanaan Asma Akibat Kerja
Untuk mencegah terjadinya asma akibat kerja maka pemeriksaan kesehatan sebelum kerja,
pemakaian alat pelindung, pemantauan polutan di udara lingkungan kerja sangat dianjurkan. Bila
telah terjadi asma akibat kerja, maka pemindahan ke luar lingkungan kerja merupakan hal
penting. Apabila karena sesuatu hal tidak bisa dipindahkan maka harus dilakukan upaya
pencegahan dan pemantauan penurunan fungsi paru.
Evaluasi fungsi paru secara berkala pada pekerja yang sudah menderita asma akibat kerja
diperlukan untuk mencegah kecacatan. Klinis asma akan menetap sampai beberapa tahun
meskipun pekerja tersebut sudah keluar dari lingkungan kerjanya.
Pengobatan medikamentosa pada pasien asma akibat kerja sama seperti asma bronkial pada
umumnya:

Teofilin, merupakan bronkodilator dan dapat menekan neutrophil chemotactic factor . Efektifitas
kedua fungsi di atas tergantung dari kadar serum teofilin.
Agonis beta, merupakan bronkodilator yang paling baik untuk pengobatan asma akibat kerja
dibandingkan dengan antagonis kolinergik (ipratropium bromid).
Kombinasi agonis beta dengan ipratropium bromid memperbaiki fungsi paru lebih baik
dibanding hanya beta agonist saja.
Kortikosteroid, dari berbagai penelitian diketahui dapat mencegah bronkokonstriksi yang
disebabkan oleh provokasi bronkus menggunakan alergen. Selain itu juga akan memperbaiki
fungsi paru, menurunkan eksaserbasi dan hiperesponsivitas saluran nafas dan pada akhirnya akan
memperbaiki kualitas hidup.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma akibat kerja adalah asma karena paparan zat di tempat kerja. Secara klinis asma akibat
kerja sama dengan asma yang bukan karena kerja. Beberapa penelitian menemukan bahwa
lamanya paparan setelah gejala timbul dan beratnya asma saat diagnosa ditegakkan sangat
menentukan prognosis. Selain itu, menghindari paparan alergen penyebab ternyata hanya
memberi kesembuhan 50 % penderita. Penelitian retrospektif menunjukkan gejala asma,
obstruksi bronkus, dan hiperreaktivitas menetap walau tidak ada paparan alergen lagi. Dengan
demikian, jelas tindakan preventif yang tepat sangat diperlukan.
Pencegahan tingkat kedua dengan deteksi diri pekerja yang menderita penyakit tersebut dan
menghentikan paparan lebih lanjut. Ini akan mengurangi progresifitas penyakit, sehingga tidak
menjadi lebih berat. Dokter perusahaan harus melakukan pemantauan medis secara rutin,
khususnya pada pekerja yang banyak terpapar alergen.
Tindakan di tingkat tersier adalah menghindarkan pekerja yang telah terdiagnosis dari
lingkungan kerja sebelumnya yang banyak alergen, ke lingkungan kerja bebas alergen. Hal ini
akan mencegah kerusakan akibat asma dan hiperreaktivitas yang menetap.
Asma akibat kerja yang menjadi permanen, menyebabkan penderita memiliki disabilitas, harus
pindah bekerja di bidang lain, bertambahnya biaya pengobatan, dan turunnya kualitas hidup.
Karenanya, perusahaan tempat ia berkerja dan mendapat asma seharusnya memberikan
kompensasi.
3.2 Saran
Saat ini sekitar 7 dari 100 pekerja penuh ( full time ) yang bekerja di sektor swasta setiap
tahunnya mengalami kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Di dunia sekitar 2,8 juta kasus

mengakibatkan hilangnya waktu berproduksi dan setiap tahunnya pula 6000 pekerja meninggal
dunia akibat kecelakaan di tempat kerja.
Perencanaan perlu dilaksanakan untuk mengidentifikasi bahaya penilaian pengendalian resiko.
Perencanaan harus didokumentasikan dan terus diperbaharui sesuai dengan keadaan.
Mengidentifikasikan bahaya, resiko dan implementasi pencegahan termasuk kegiatan rutin dan
non rutin, dan kegiatan setiap personal yang mempunyai akses ke tempat kerja termasuk
kontraktor dan tamu.
Metode untuk mengidentifikasi bahaya dan penilaian resiko :
1. Mendefinisikan sesuai ruang lingkup, sifat alami dan waktu untuk memastikan proaktif.
2. Klasifikasi resiko dan identifikasi mana yang harus dihilangkan atau dikontrol.
3. Konsisten dengan pengalaman operasi dan kemampuan pengontrolan resiko yang
dimiliki.
4. Menentukan fasilitas yang diperlukan, identifikasi pelatihan yang mungkin diperlukan
atau pengembangan kontrol opersional.
5. Memonitor langkah-langkah yang mungkin yang diperlukan untuk memastikan
efektivitas dan ketepatan waktu implementasi.
Identifikasi bahaya, penilaian resiko dan pengontrolan resiko dijelaskan dalam formulir
HIRARC (Hazard Identification Resico Assesement dan Resico Control).
Suatu perusahaan harus mempunyai kebijakan untuk selalu mamperhatikan dan menjamin
implementasi, peraturan keselamatan, kesehatan dan lingkungan yang meliputi :
1. Peningkatan berkelanjutan
2. Sesuai dengan aturan dan perundangan keselamatan dan kesehatan ditempat kerja yang
berlaku.
3. Mengkomunikasikan keseluruh karyawan agar karyawan sadar dan mawas mengenai
kewajiban keselamatan dan kesehatan pribadi.
4. Dapat diketahui atau terbuka bagi pihak-pihak yang berminat.
5. Evaluasi berkala untuk mempertahankan agar tetap relevan dan sesuai dengan
perusahaan.
Perusahaan juga harus memiliki kewajiban-kewajiban didalam manajemen keselamatan kerja
yaitu :

1. 1. Safety Policy
Mendefinisikan kebijaksanaan umum suatu perusahaan didalam hal keselamatan kerja.
1. 2. Organisation / Management Commitment
Merinci komitmen manajemen disetiap level dan dalam bentuk tindakan sehari-hari.
1. 3. Accountability
Mengindikasikan hal-hal yang dapat dilaksanakan oleh bawahan untuk menjamin keselamatan
kerja.
Yang dimaksud Accountability dalam manajemen keselamatan kerja adalah suatu pengukuran
yang aktif oleh manajemen untuk menjamin terpenuhinya suatu target keselamatan. Didalam
Accountability ini tercakup dua hal yaitu :
1. Responsibility
Yaitu keharusan menanggung aktivitas dan akibat-akibatnya didalam suatu keselamatan.
1. 2. Authority
Yaitu hak untuk memperbaiki, memerintahkan dan menentukan arahan dan tahapan suatu
tindakan.
Daftar Pustaka
Buchari : Manajemen Kesehatan Kerja dan Alat Pelindung Diri, 2007.
Cermin Dunia Kedokteran : Penyakit Akibat Kerja, 2006
Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp. JP(K) : Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008
Medical Tribune ed.Feb, thn 2003.
Misri Gozan : K3 Dalam Industri Kimia, 2007
http//www.wikipedia.penyakit akibat kerja-k3.com
Ditulis dalam kesehatan | Dengan kaitkata kesehatan | 1 Komentar

Satu Tanggapan

1. pada Oktober 1, 2010 pada 4:44 am | Balas


Trima kasih atas artikel penyakit asma ini.
set and forget clock

Comments RSS

Tinggalkan Balasan

Arsip
o Maret 2010 (2)
o Agustus 2009 (3)
o Juli 2009 (19)

Kategori
o Cerpen (2)
o Kahlil Gibran (1)
o kesehatan (4)
o Kumpulan puisi (10)
o Uncategorized (7)

Halaman

set and forget clock

o About Me
o Guess Book
Blog pada WordPress.com.
The MistyLook Theme.
Ikuti

Follow Mariamhartini's Blog


Get every new post delivered to your Inbox.
Powered by WordPress.com

Anda mungkin juga menyukai