Anda di halaman 1dari 8

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS PEKERJAAN KONSTRUKSI MENGGUNAKAN

ASTM E-2691-11: APLIKASI DAN KETERBATASANNYA


Andreas Wibowo1,2, Anton Soekiman2 dan Wahyu Wuryanti1
1

Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Jl. Panyawungan Cileunyi Wetan Kab. Bandung
Email: andreaswibowo1@yahoo.de; a.wibowo@puskim.pu.go.id
2
Program Pascasarjana Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Merdeka 30 Bandung

ABSTRAK
Saat ini sedang disusun pedoman praktis pengukuran produktivitas pekerjaan konstruksi pada level
proyek yang dimodifikasi dari ASTM E-2691-11 Job Productivity Measurement. Dalam metode ini
diperkenalkan beberapa terminologi baru, termasuk jumlah orang-hari basis (JOHB), titik referensi
produktivitas pekerja, dan nilai pekerjaan diselesaikan. Tulisan ini merupakan catatan akademis
sebagai dokumen pendukung proses adopsi modifikasi tersebut. Di samping kegunaan yang
ditawarkan dalam hal pengukuran laju produksi dan produktivitas serta pemberian sinyal peringatan
dini untuk evaluasi, ada sejumlah isu yang perlu dipertimbangkan untuk ASTM E-2691-11 dapat
diaplikasikan di sektor konstruksi nasional: definisi work breakdown structure, estimasi JOHB dan
pengukuran persentase pekerjaan selesai. Isu-isu tersebut terkonfirmasi dengan temuan-temuan hasil
studi kasus penerapan metode ini dalam satu proyek konstruksi riil. Metode ASTM E-2691-11 ini
juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih luas (e.g., penagihan kontraktor kepada
pemilik) namun ada beberapa isu yang perlu dicermati karena perbedaan pendekatan yang
digunakan selama ini.
Kata kunci: produktivitas, work breakdown structure, jumlah orang-hari basis, titik referensi
produktivitas pekerja, nilai pekerjaan diselesaikan

1.

PENDAHULUAN

Globalisasi dan era pasar bebas, termasuk ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang akan dihadapi segera (2015)
adalah keniscayaan yang harus dihadapi setiap pelaku usaha. Proteksi dan preferensi berangsur berkurang seiring
dengan semakin terbukanya pasar bagi kompetitor lainnya. Sama halnya dengan sektor-sektor lainnya, di sektor
konstruksi produktivitas menjadi salah satu faktor kunci sukses bagi setiap perusahaan konstruksi untuk tetap
mampu bertahan dan memiliki daya saing kuat di tengah kompetisi yang semakin ketat.
Produktivitas merupakan konsep yang dinamis dari waktu ke waktu dan, oleh karenanya, harus dikelola dengan baik
melalui fungsi-fungsi dasar manajemen: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian (planning,
organizing, actuating, controlling; POAC). Dalam konteks ini, pengukuran produktivitas menjadi sangat relevan
yang mengikat seluruh fungsi manajemen tersebut.
Pengukuran memungkinkan pengambil keputusan untuk membandingkan apa yang telah dilaksanakan di lapangan
dengan yang direncanakan, mengambil aksi-aksi yang diperlukan, dan menyusun perencanaan kembali untuk
perbaikan ke depan. Pengukuran produkvitas bisa dilakukan untuk level yang berbeda (i.e., pekerja, proyek,
perusahaan, industri) dan untuk kepentingan yang berbeda pula. Dalam ranah akademis telah banyak kajian yang
dilakukan tentang pengukuran produktivitas (e.g., Goodrum, Haas, dan Glover, 2002; Hwang dan Soh, 2013;
Motwani, Kumar, dan Novakoski, 1995; Thomas dan Zavrski, 1999; Xue, Shen, Wang, dan Lu, 2008). Meski
demikian, standar pengukuran produktivitas untuk keperluan estimasi sayangnya masih belum tersedia (Hwang dan
Soh, 2013).
Saat tulisan ini disusun, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puskim) Kementerian Pekerjaan Umum
sedang menyusun naskah pedoman yang diadopsi (modifikasi) dari ASTM E-2691-11 Job Productivity
Measurement (JPM). Tujuan penyusunan ini adalah memberikan suatu pedoman praktis mengukur produktivitas
konstruksi, melengkapi standar, pedoman, dan kriteria (SPK) yang sudah ada. Tulisan ini disiapkan sebagai catatan
akademis sebagai dokumen pendukung proses adopsi-modifikasi yang sedang dilakukan. Sebagai catatan, segala
notasi, persamaan, dan gambar dalam tulisan ini merujuk pada ASTM tersebut.

2.

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS ASTM E-2691-11

Metode pengukuran produktivitas pekerjaan (PPP) ASTM E-2691-11 dapat digunakan untuk mengukur baik
pergerakan produktivitas dan produktivitas rata-rata selama proyek konstruksi berlangsung baik secara menerus
maupun periodik. Informasi yang diperoleh dari metode ini dapat digunakan sebagai peringatan dini bagi pelaksana
untuk segera melakukan tindakan antisipatif meningkatkan produktivitas. Metode ini sangat generik; artinya dapat
diaplikasikan untuk berbagai tipe konstruksi atau untuk level yang berbeda (i.e. kegiatan (task), proyek, dan
industri) yang mana level yang lebih tinggi merupakan agregasi dari level-level yang lebih rendah (lihat Gambar 1).
Secara prinsip, metode ini bisa digunakan sepanjang unit yang diukur melibatkan jumlah pekerja yang
merefleksikan kemajuan pekerjaan dalam unit tersebut. Produktivitas dalam pedoman ini didefinisikan sebagai rasio
output per satuan input: berapa banyak Nilai Pekerjaan yang Diselesaikan (NPD; Construction Put in Place) oleh
berapa banyak orang-hari (OH; atau orang-jam, OJ).

Gambar 1. Pengukuran Produktivitas pada Level Pekerjaan, Proyek, dan Industri

Prosedur
Prosedur yang harus dilalui untuk melakukan PPP dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.

Menentukan jumlah OH basis (JOHB) sesuai dengan work breakdown structure (WBS; lihat contoh pada
Gambar 2).
Mengevaluasi JOHB disesuaikan dengan tingkat kedetilan yang wajar.
Menetapkan titik referensi produktivitas pekerja (TRPP).
Menghitung PPP dimulai segera setelah tenaga kerja digunakan untuk suatu pekerjaan (bahkan sebelum
pekerjaan pemasangan dimulai, seperti kegiatan perencanaan, layout, pra-perakitan).
Melaporkan pergerakan produktivitas PPP dan kaji hasil yang menunjukkan adanya tanda-tanda khusus yang
berpengaruh terhadap produktivitas.

Gambar 2. Contoh Work Breakdown Structure Pekerjaan ABC

Sumber data dan asumsi


Ada empat sumber data yang digunakan untuk menghitung PPP:
a.
b.
c.
d.

Estimasi dari lingkup kerja konstruksi yang akan dilaksanakan di lapangan.


JOHB yang diturunkan dari WBS.
Jumlah OH yang digunakan.
NPD dari persentase selesai terukur (observed percent complete).

Adapun asumsi yang melatarbelakangi perhitungan PPP adalah:


a.
b.
c.

d.
e.

f.

g.

Perkiraan tenaga kerja yang diperlukan untuk suatu pekerjaan ditetapkan sebelum menyusun JOHB.
Laba proyek dihitung berdasarkan estimasi biaya tenaga kerja dan jumlah OH; oleh karenanya, JOHB tidak
boleh melebihi estimasi jumlah OH.
WBS terdiri dari kode-kode biaya dan kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan untuk menyusun JOHB; WBS juga
memasukkan pekerjaan untuk aktivitas pemasangan dan non-pemasangan. Untuk aktivitas non-pemasangan,
aktivitas tersebut harus dimasukkan dalam kode biaya kegiatan yang relevan.
Jumlah OH basis ditetapkan untuk level terendah dalam WBS, yang nantinya akan disebut sebagai
JOHBKegiatan.
Pada level proyek, jumlah OH yang digunakan dilaporkan untuk setiap kode biaya. Waktu pelaporan
sebaiknya konsisten dengan waktu pelaporan penggajian. Jumlah OH tidak disusun untuk level item yang lebih
rendah dari kode biaya yang ada dalam WBS. Dengan kata lain, jumlah OH tidak perlu dihitung untuk setiap
aktivitas.
Kode biaya ditetapkan sebagai standar untuk semua jenis pekerjaan yang dilaksanakan perusahaan kontraktor.
Jumlah kode biaya sebaiknya dibatasi maksimum 20; 7 sampai 12 kode biaya biasanya sudah cukup efektif
untuk sebagian besar kasus.
NPD adalah nilai sebagian pekerjaan telah diselesaikan (persentase selesai terukur; observed percent
complete), yang berkontribusi pada penyelesaian kegiatan tersebut, berdasarkan usaha yang telah dilakukan
(effort expended).

Titik referensi produktivitas pekerja (TRPP)


Work breakdown structure yang telah dibuat digunakan untuk menyusun JOHB, yang kemudian dievaluasi dan
digunakan untuk menetapkan TRPP awal. Algoritma yang digunakan untuk perhitungan TRPP adalah sebagai
berikut:
a.

Menyusun JOHB untuk seluruh item kegiatan

Estimasikan jumlah OH untuk setiap jenis kegiatan berdasarkan pengalaman praktis yang dimiliki
perusahaan kontraktor atau, bila data tidak tersedia, gunakan referensi seperti Analisis Harga Satuan
Pekerjaan (AHSP) yang diterbitkan Kementerian Pekerjaan Umum atau sumber-sumber lainnya.
Tentukan JOHB untuk setiap kode biaya dengan menjumlahkan JOHB setiap item kegiatan (task) yang
menjadi komponen kode biaya tersebut, seperti diperlihatkan dalam Persamaan 1:

JOHBKode _ Biaya =

JOHBKegiatan

(1)

Kegiatan

Hitung JOHB untuk seluruh pekerjaan (job) dengan menjumlahkan seluruh jumlah OH basis kode biaya,
seperti diperlihatkan dalam Persamaan 2.

JJKAPekerjaan =

JJKAKode_Biaya

(2)

Kode _ Biaya

b.

Jumlah OH seluruh kode biaya menggambarkan rencana jumlah tenaga kerja langsung untuk
penyelesaian proyek.

Evaluasi JOHB

Hitung kontribusi dari setiap JOHBKegiatan terhadap kode biaya terkait, dan terhadap pekerjaan (Persamaan
3 dan 4).

Bobot _ JOHBKegiatan_Kode =

JOHBKegiatan

Bobot_JOHBKegiatan_Pekerjaan =

JOHBKegiatan

(4)

JOHBPekerjaan

Pengalaman menunjukkan item kegiatan yang merepresentasikan lebih dari 2,5 % dari seluruh
pekerjaan akan sulit diukur persentase pekerjaan selesainya. Bila ada JOHB suatu kegiatan yang
lebih besar dari 2,5 %, kegiatan tersebut perlu didetilkan lagi.
Detilkan kegiatan seperlunya dan realokasikan jumlah OH hingga JOHBKegiatan kurang dari 2,5 %
JOHBPekerjaan.
Hitung TRPP untuk setiap kode biaya yang menggambarkan JOHB yang diperlukan untuk satu
persen NPD (Persamaan 5).

TRPPKode Biaya =

(3)

JOHBKode Biaya

JOHBKode biaya

(5)

100

Hitung TRPP pekerjaan dengan menjumlahkan seluruh TRPPKode Biaya dengan mempertimbangkan
bobot JOHBKode Biaya terhadap JOHBPekerjaan (Persamaan 6).

TRPPPekerjaan =

JJKAKode Biaya
TRPPKode Biaya .

JJKAPekerjaan
Kode Biaya

(6)

CATATAN 1 Satu persen dari kode biaya (TRPPKode Biaya) tidak sama dengan satu persen pekerjaan karena setiap kode biaya memiliki bobot
yang berbeda. Dengan kata lain, satu persen penyelesaian setiap kode biaya bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari satu persen penyelesaian
pekerjaan. Pembobotan kode biaya bobot dilakukan untuk memastikan bahwa PPP memperhitungkan kesulitan pekerjaan berdasarkan kode biaya
yang diukur. Persamaan 6 menggunakan bobot kode biaya dan merupakan penjumlahan dari TRPPKode Biaya tertimbang, dan karena itu tidak akan
sama dengan penjumlahan sederhana dari TRPPKode Biaya.

Perhitungan PPP
Evaluasi PPP dilakukan secara periodik dengan mengumpulkan data NPD dan jumlah OH yang digunakan, dan
dibandingkan dengan TRPP. Berdasarkan NPD, hitung persentase selesai untuk setiap kode biaya, dengan
menjumlahkan persentase bobot penyelesaian setiap kegiatan yang termasuk dalam kode biaya tersebut (Persamaan
7).
Persentase _ selesai %Kode Biaya =

Persentase _ selesai%Kegiatan Bobot_JJKAKegiatan_Kode

(7)

Seluruh kegiatan yang


termasuk dalam Kode Biaya

CATATAN 2 - Untuk Persamaan 7, Persentase_selesai% dinyatakan dalam persen dan bernilai antara 0 dan 100.

Produktivitas yang sedang berjalan (current productivity) untuk masing-masing kode biaya dihitung sebagai jumlah
OH yang digunakan untuk setiap persentase terukur NPD (Persamaan 8).
ProduktivitasKode Biaya =

Jumlah _ OH Kode Biaya

(8)

Persentase _ Selesai% Kode Biaya

CATATAN 3 - Persentase_Selesai% dalam Persamaan 8 diberikan nilai antara 0 dan 100.

Perbedaan (variasi) produktivitas antara realisasi dan rencana dihitung sebagai perbedaan persentase antara TRPP
dan produktivitas yang sedang berjalan untuk setiap kode biaya (Persamaan 9).

Perbedaan_ProduktivitasKode Biaya =

TRPPKode Biaya ProduktivitasKode Biaya

(9)

TRPPKode Biaya

Perbedaan produktivitas proyek ditentukan dengan mempertimbangkan bobot setiap kode biaya.
Perbedaan_ProduktivitasPekerjaan =

( Perbedaan_Produktivitas

Kode Biaya

Bobot_JOHBKode Biaya

(10)

Kode Biaya

Perbedaan produktivitas ini dapat diplotkan pada sebuah grafik untuk meninjau apakah pekerjaan lebih produktif
dari yang direncanakan atau mengamati tren yang terjadi dari waktu ke waktu (lihat Gambar 3). Sebagai contoh, bila
dicermati ada pergeseran perbedaan produktivitas, pelaksana harus melakukan investigasi mengapa pergeseran ini
terjadi, terutama bila pergeseran negatif, dan mengambil tindakan-tindakan yang sekiranya diperlukan untuk
memperbaiki keadaan. Contoh lain, bila ditemukan adanya pola gergaji (saw-tooth) yang berarti ada suatu siklus
produktivitas (naik-turun) secara konsisten, pelaksana perlu menengarai ada suatu faktor yang menyebabkan hal
tersebut terjadi.

Gambar 3. Interpretasi Grafis Pengukuran Produktivitas Pekerjaan

3.

CONTOH APLIKASI

Pedoman diujicobakan untuk mengukur produktivitas sebuah proyek konstruksi gedung parkir cerdas (smart
parking) salah satu kementerian (Tristianti, Ferdian, Taufik, Sekarasih, dan Rimawan, 2014). Gedung ini terdiri dari
16 lantai dengan luas total bangunan lebih kurang 10.290 m2. Pengamatan hanya difokuskan pada pekerjaan struktur
baja karena pekerjaan ini relatif tipikal antara satu lantai dan lantai yang lainnya sehingga menjadi studi kasus ideal
untuk aplikasi pedoman.
Kendala pertama yang dihadapi adalah tidak tersedianya WBS sehingga tim survei mendefinisikan sendiri struktur
proyek sebagai berikut: level 0 adalah pekerjaan struktur baja, level 1 sebagai kode biaya yang terdiri dari modul 1
sampai modul 4, dan level 2 sebagai kegiatan yang terdiri dari segmen A sampai G. Kendala kedua adalah tidak
tersedianya data kebutuhan tenaga kerja secara detil, kecuali informasi bahwa untuk menyelesaikan satu modul
dibutuhkan 35 orang tenaga kerja selama 30 hari. Berdasarkan informasi ini, tim survei melakukan estimasi jumlah
OH untuk menyelesaikan satu segmen, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1 (contoh pada Modul 1, Segmen A).
Tabel 1. Contoh Perhitungan Jumlah Orang-Hari Basis Proyek Studi Kasus
2a

2b
Kegiatan

Segmen 1A

Modul 1

1
Kode
Biaya

Kolom Baja C1
Kolom Baja C2
Kolom Baja C3
WF 5002001016
HB 3003001015
HB 250250914
UNP 14060710
UNP 15075912,5
Pelat Sambungan
Chequered plate

3
JOHB
(OH)
28
9
27
31
4
11
12
10
6
13

4
Bobot JOHB Kegiatan
per Kode Biaya (%)
2,7
0,9
2,6
2,9
0,4
1,0
1,2
0,9
0,6
1,2

5
Bobot JOHB per
Pekerjaan (%)
0,66
0,22
0,64
0,73
0,09
0,25
0,29
0,23
0,14
0,30

Sumber: Tristianti et al. (2014)

Pengamatan dilakukan selama sepuluh minggu, dari 17 Maret 2014 sampai 27 Mei 2014. Berdasarkan
perhitungan yang dilakukan, TRPP untuk kode biaya per modul adalah 10,50 OH yang artinya dibutuhkan 10,50

OH untuk 1 % NPD modul. Karena modul yang satu dengan yang lainnya sifatnya tipikal, TRPP untuk level
pekerjaan pun 10,50.
Kesulitan yang dihadapi oleh tim survei adalah memerkirakan NPD berdasarkan effort expended sehingga tim
mengasumsikan effort expended proporsional terhadap persentase fisik selesai. Pendekatan ini memang tidak
sesuai dengan maksud dilakukannya PPP namun karena tim survei memiliki akses pengamatan yang sangat
terbatas, pendekatan ini merupakan langkah optimal yang bisa dilakukan. Penulis meyakini jika pengamatan ini
dilakukan langsung oleh kontraktor pelaksana, perkiraaan NPD menjadi lebih akurat dan sesuai dengan effort
expended.
Gambar 4 menyajikan pergerakan deviasi produktivitas selama waktu observasi. Karena setiap titik perbedaan
berada di atas referensi nol, dapat diinterpretasikan bahwa produktivitas realisasi lebih tinggi daripada yang
direncanakan dan hal tersebut sesuai dengan fakta lapangan yang menunjukkan penyelesaian modul lebih cepat
dari yang diperkirakan. Regresi linear terhadap titik perbedaan produktivitas menyiratkan adanya kecenderungan
positif perbedaan semakin membesar yang artinya tingkat produktivitas semakin baik. Peningkatan ini bisa
berasal dari efek kurva belajar meski hal ini masih perlu diverifikasi lebih lanjut.
100%

Produktivity Differential

80%
60%

43%

34%

40%

30%

15%

20%

26%

35%

56

57

27%

18%

0%
-20% 49

50

51

52

53

54

55

58

-40%
-60%
-80%
-100%

Minggu keGambar 4. Perbedaan Produktivitas Selama Pengamatan


Sumber: Tristianti et al. (2014)

4.

DISKUSI

Untuk metode PPP dapat diaplikasikan dan dimanfaatkan lebih luas di sektor konstruksi nasional, ada sejumlah isu
yang perlu didiskusikan lebih mendalam, yang akan dibahas lebih detil berikut ini.

Penyesuaian istilah dan terminologi


Satuan input yang digunakan dalam ASTM E-2691-11 adalah orang-jam (OJ; labor hour) yang di Indonesia sangat
jarang diaplikasikan di lapangan. Satuan OH ini sesuai dengan sistem pembayaran harian (sebagai alternatif sistem
borongan) bagi pekerja konstruksi yang selama ini berlaku. Oleh karena itu, satuan OH-lah yang digunakan untuk
menggantikan OJ dalam konsep pedoman yang diusulkan. Meski demikian, bilamana diperlukan dan relevan, satuan
OJ dapat digunakan namun dengan ketentuan pemakaiannya harus konsisten.
Persoalan lain yang cukup pelik adalah pengalihbahasaan beberapa istilah. Dalam ASTM E-2691-11 disebutkan
istilah job (i.e. level tertinggi) dan task (i.e. level terendah) yang belum memiliki padanan teknis baku dalam Bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, dengan segala keterbatasannya, kedua istilah dialihbahasakan sebagai pekerjaan dan
kegiatan. Penulis sangat memahami bahwa pemakaian kedua istilah dapat tercampur satu dengan yang lainnya
namun pemakaian yang konsisten dalam naskah pedoman diharapkan mengurangi risiko ini.

Work breakdown structure


Dasar perhitungan PPP adalah WBS yang membagi pekerjaan menjadi beberapa kode biaya dan memecah kode
biaya menjadi beberapa kegiatan. Work breakdown structure merupakan piranti yang ampun untuk menstrukturkan
sebuah proyek menjadi unit-unit yang lebih kecil secara hierarkis guna keperluan kendali yang lebih baik (Chua dan
Godinot, 2006). ASTM E-2691-11 menggunakan sistem UNIFORMAT II sebagai acuan meski juga memberikan

ruang untuk sistem klasifikasi lainnya (contoh sistem yang lain adalah MasterFormat meski keduanya secara
fundamental berbeda yang mana UNIFORMAT lebih berbasis sistem sementara MasterFormat berbasis material).
Di Indonesia, belum ada acuan standar mengenai WBS. Perusahaan-perusahaan konstruksi selama ini cenderung
membangun sistem klasifikasinya sendiri yang dapat mengakibatkan masalah komunikasi antara pemilik, konsultan
perencana dan kontraktor pelaksana (Wirahadikusumah, 2007). Hal ini terkonfirmasi saat pedoman ini diujicobakan
dalam proyek studi kasus sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya yang mana proyek tersebut tidak
memiliki WBS sebagaimana yang diharapkan.
Sebagai konsekuensi tidak adanya WBS, data estimasi kebutuhan tenaga kerja per kegiatan sebagai dasar
perhitungan TRPP pun tidak tersedia. Persoalan ini sebenarnya sudah menjadi hal klasik yang dijumpai di banyak
proyek konstruksi, yang dalam beberapa hal dapat mengindikasikan bahwa produktivitas belum menjadi isu sentral
di sektor konstruksi nasional.

Klasifikasi tenaga kerja


Kendala lainnya dalam mengaplikasikan ASTM E-2691-11 adalah ketidakjelasan klasifikasi dan bobot tenaga kerja.
Secara umum dapat diinterpretasikan dari pedoman ini bahwa tenaga kerja yang dihitung adalah tenaga kerja
langsung (direct labor) dan tidak termasuk tenaga kerja tidak langsung (e.g., project manager, site manager, site
engineer, pelaksana). Permasalahannya, sektor konstruksi nasional mengenal beberapa tipe pekerja konstruksi,
mulai dari level pekerja sampai mandor. Dalam AHSP juga disebutkan istilah kepala tukang.
Pengklasifikasian ini berimplikasi pada tingkat produktivitas dan kompensasi yang diberikan yang berbeda untuk
pekerja pada satu level dengan level lainnya yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pedoman yang disusun
merekomendasikan indeksasi saat menghitung JOHB. Sebagai contoh, bila pekerja diberi indeks = 1, maka tukang =
2, dan kepala tukang atau mandor = 10. Indeksasi bisa bersifat unik untuk suatu kegiatan tertentu karena komposisi
tim pekerja yang berbeda satu dengan yang lainnya: ada jenis kegiatan yang membutuhkan lebih banyak pekerja
ketimbang tukang dan ada jenis kegiatan lain yang membutuhkan hal sebaliknya.

Estimasi orang-hari
Untuk mengevaluasi apakah suatu pekerjaan (proyek) konstruksi memiliki kinerja produktivitas yang lebih baik atau
tidak relatif terhadap rencana, benchmark yang digunakan adalah JOHB yang dapat diturunkan dari koefisien tenaga
kerja per satuan output kegiatan. Koefisien tersebut dapat diperoleh dari analisis harga satuan yang biasa disusun
oleh kontraktor pelaksana berdasarkan data dan pengalaman yang dimiliki selama ini atau, bila tidak tersedia,
koefisien yang berasal dari AHSP dapat digunakan. Permasalahannya, AHSP sejauh ini belum lengkap; masih
banyak item kegiatan yang belum terdefinisi. Sebagai contoh, untuk bidang keciptakaryaan, AHSP mencakup
tatacara perhitungan harga satuan hanya untuk sembilan jenis pekerjaan, yang tentunya jauh dari memadai.
Sementara itu, kontraktor sendiri masih belum memanfaatkan secara lebih optimal analisis harga satuan yang
disusun, kecuali untuk penyusunan dokumen penawaran. Metode PPP dalam ASTM E-2691-11 dapat digunakan
secara efektif manakala ketersediaan data produktivitas tenaga kerja dapat dijamin dengan baik.

Keperluan penagihan
Dalam Appendiks ASTM E-2691-11 disebutkan PPP dapat dimanfaatkan untuk memerbaiki mekanisme penagihan
kontrak baik bagi pemilik maupun kontraktor pelaksana. Selama ini praktik yang digunakan berbasis earned value
analysis (EVA) yang mengasumsikan adanya relasi langsung antara NPD dan biaya (cost-to-cost; CTC). Meski
demikian, ada jenis kegiatan yang mana biaya tidak selalu merepresentasikan kemajuan pekerjaan yang berakibat
pada lebih rendahnya NPD dari yang semestinya (underestimate) yang tentunya berdampak buruk bagi arus kas
kontraktor pelaksana. Dalam konsep PPP, sepanjang suatu kegiatan didefinisikan dalam WBS, kegiatan tersebut
dapat ditagihkan, terlepas dari biaya yang ditimbulkannya.
Di Indonesia, terutama untuk proyek-proyek yang terikat dengan peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah,
perhitungan NPD biasanya berdasarkan nilai pekerjaan terpasang (percent physically complete; sebagaimana yang
dipraktikkan dalam studi kasus) sementara NPD dalam PPP berdasarkan pada usaha yang dicurahkan (effort
expended = percent complete; lihat definisi NPD pada bagian sumber data dan informasi). Sebagai contoh
sederhana, bila pada sebuah konstruksi pemasangan pipa 1000 meter, 500 meter pertama membutuhkan, karena
tingkat kesulitannya, senilai 75 % orang-hari pekerja, maka menurut pedoman ini, NPD yang dapat ditagihkan oleh
kontraktor untuk pipa terpasang 500 meter pertama adalah 75 % sementara menurut konsep pekerjaan terpasang
adalah 50 %. Perbedaan pendekatan perhitungan NPD inilah yang menyebabkan pedoman ini sulit diaplikasikan
untuk keperluan penagihan, khususnya bagi proyek-proyek pemerintah.
Selanjutnya, persoalan apakah PPP memberikan manfaat lebih atau tidak bagi bagi arus kas kontraktor sebenarnya
terletak pada seberapa jauh effort expended mencerminkan biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor. Tabel 2

menyajikan ilustrasi sederhana tentang hal ini. Bila kegiatan A diselesaikan, maka kontraktor bisa menagih
pembayaran sampai 90 % nilai kontrak untuk 20 % nilai pekerjaan terpasang, yang jelas menguntungkan kontraktor
dari sisi arus kas. Sebaliknya, bila kegiatan B yang diselesaikan, kontraktor hanya bisa menagih 10 % untuk nilai
pekerjaan terpasang yang mencapai 80 %; artinya, kontraktor harus menanggung terlebih dahulu biaya yang timbul
dan ini akan berdampak negatif pada keuntungan yang diharapkan.
Tabel 2. Perbedaan Perhitungan Penagihan Menggunakan Effort Expended dan Nilai Pekerjaan Terpasang
Pekerjaan
A
B
Jumlah

5.

Bobot Nilai Pekerjaan Diselesaikan (NPD)


Effort Expended (%)
Nilai Pekerjaan Terpasang (%)
90
20
10
80
100
100

KESIMPULAN DAN SARAN

Metode ASTM E-2691-11 yang diadopsi menjadi pedoman yang saat ini sedang disusun mengukur produktivitas
pekerjaan berdasarkan usaha yang dicurahkan, yang berbeda dengan konsep earned value berbasis CTC
sebagaimana dikenal selama ini. Menggunakan metode ini, pengguna dapat memeroleh produktivitas dan laju
produktivitas proyek selama kurun waktu observasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh, kontraktor pelaksana
dapat mengambil tindakan untuk perbaikan produktivitas secara berkesinambungan. Meski demikian, untuk metode
ini dapat diaplikasikan secara lebih luas, ada sejumlah isu yang harus mendapatkan perhatian. Terkait dengan
aplikasi ASTM E-2691-11 dan kepentingan lainnya yang lebih luas, Penulis merekomendasikan perlunya segera
disusun WBS standar untuk konstruksi nasional yang dapat dimanfaatkan baik pengguna maupun penyedia jasa.
Perhatian untuk produktivitas tenaga kerja juga perlu mendapatkan porsi sebagaimana mestinya untuk membuat
perusahaan konstruksi nasional mampu berkompetisi di pasar konstruksi yang semakin terbuka dan metode PPP ini
dapat dijadikan salah satu metode pengukuran dan evaluasi. Selanjutnya, AHSP yang disusun Kementerian
Pekerjaan Umum perlu segera diperluas ruang lingkupnya; ini tidak saja membantu aplikabilitas ASTM E-2691-11
ini melainkan juga untuk keperluan lainnya seperti penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) yang lebih baik.

Ucapan terima kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayu Sukma Tristianti, Ferdian, Januar Taufik, Putri Sekarasih, dan Ririn
Rimawan yang telah membantu melakukan uji coba ASTM E-2691-11 pada proyek studi kasus. Segala kesalahan
yang mungkin terjadi dalam tulisan ini tetap menjadi tanggung jawab Penulis sepenuhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Chua, D.K.H. dan Godinot, M. (2008). Use of a WBS matrix to improve interface management in projects.
Journal of Construction Engineeering and Management, Vol. 132, No. 1, 67-79.
Goodrum, P.M., Haas, C.T., dan Glover, R.W. (2002). The divergence in aggregate and activity estimates of US
construction productivity. Construction Management and Economics, Vol. 20, No. 5, 415-423.
Hwang, B-G. dan Soh, C.K. (2013). Trade-level productivity measurement: Critical challenges and solutions.
Journal of Construction Engineering and Management, Vol. 139, No. 11, (tidak ada halaman).
Motwani, J., Kumar, A., dan Novakoski, M. (1995). Measuring construction productivity: A practical approach.
Work Study, Vol. 44, No. 8, 18-20.
Song, L. dan AbouRizk, S.M. (2008). Measuring and modeling labor productivity using historical data. Journal of
Construction Engineering and Management, Vol. 134, No. 10, 786-794.
Thomas, H.R. dan Zavrski, I. (1999). Construction baseline productivity: Theory and practice. Journal of
Construction Engineering and Management, Vol. 125, No. 5, 295-303.
Tristianti, A.S., Ferdian, Taufik, J., Sekarasih, P., dan Rimawan, R. (2014). Kajian produktivitas tenaga kerja pada
level proyek: Studi kasus Gedung Smart Parking Kementerian Pekerjaan Umum. Laporan Mata Kuliah
Studio Manajemen Proyek Konstruksi, Program Pascasarjana Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung.
Wirahadikusumah, R. (2007). The need for standard production information of Indonesian construction industry.
Proceeding of the 1st. International Conference of European and Asian Civil Engineering Forum (EACEF),
26-27 September 2007, Universitas Pelita Harapan Karawaci, E102-E108.
Xue, X., Shen, Q., Wang, Y., dan Lu, J. (2008). Measuring the productivity of the construction industry in China
by using DEA-based Malmquist productivity indices. Journal of Construction Engineering and Management,
Vol. 134, No. 1, 64-71.

Anda mungkin juga menyukai