Anda di halaman 1dari 18

Nama : I Ketut Yoshi Cahyana

Npm : 10700192

TRAUMA CAPITIS
DEFINISI
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.
Trauma merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban
ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta
neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat
mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan
cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.

ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau

galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang


longgar dan pericranium. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh
darah sehingga perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anakanak.

Gambar 1. Lapisan Kranium


b. Tulang tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa
anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

c. Mening
Selaput mening menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada
cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah
atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan

dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang


kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam
dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.

3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri (3). Pia
mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus
otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.

d. Encephalon
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada
orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian
yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan

diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak


belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi
bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata

terdapat

pusat

kardiorespiratorik.

Serebellum

bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

e. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir
dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel
III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid
yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam
CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial.
Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii
media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

g. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan
inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak
mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan
tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

FISIOLOGI KEPALA
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah
intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam
keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama
dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4
10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan
menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk
terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama
bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah
dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan
normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik
dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah
konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu
konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie.

Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar


800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen
dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke
dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar
tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam
pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma.
ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai
beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan
tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg
sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO.

PATOFISIOLOGI

Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat


trauma kapitis bergantung pada :

1. Besar dan kekuatan benturan


2. Arah dan tempat benturan
3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan

Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat


mengakibatkan lesi otak berupa :
Lesi bentur (Coup)

Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak


yang menonjol/falx dengan otak, peregangan dan robeknya
pembuluh darah dan lain-lain = lesi media)
Lesi kontra (counter coup) Lesi benturan otak
menimbulkan beberapa kejadian berupa :

1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok


depolarisasi pada sistem ARAS
2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian
3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)
4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan
besar
5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang
bisa merupakan peregangan ataupun sampai robeknya akson di
substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai
ke batang otak
6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang
meninggi dan komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan
asidosis

Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan


melepaskan serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan
hubungan antara endotel dinding pembuluh darah sehingga lebih
perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan
terjadilah oedema otak regional atau diffus (vasogenik oedem
serebri) Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah
mendapat trauma dan kemudian oedema akan menyebar membesar.

Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia, terutama


pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba.
Dan ternyata oedema serebri itu meluas berturut-turut akan
mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian terjadi
kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan
akibat selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun
serebellar yang berakibat fatal. Ada sekitar 60-80 % pasien yang
meninggal dikarenakan menderita trantetorial herniasi dan kelainan
batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada
batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan
batang otak akibata proses diatas mengakibatkan kelainan patologis
nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang rusak dan
proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa
terjadi suatu keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat
membuka matanya tanpa ada daya apapun (akinetic-mutism/coma
vigil, apallic state, locked in syndrome).
Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada
daerah basal frontal yang bilateral dan/atau daerah mesensefalon
posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada eferen
motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan
luas pada daerah korteks serebri. Sistem peredaran darah otak
mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan Cerebral
Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak
(TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg
untuk mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra Kranial
(TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral sehingga terjadi
serebral hipoksia diffus mengakibatkan kesadaran akan menurun.
Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka
akan terjadi kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah
medulla

oblongata,

hipoksia

pusat

vasomotor,

sehingga

mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian


tekanan darah sistemik) bradikardi, pernafasan yang melambat dan
muntah-muntah. TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia
dan respiratori alkalosis (PO2 menurun dan PCO2 meninggi)
akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh
darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF
dan TPO akan tercukupi.
Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons
tidaklah bisa selalu terjadi. Demikian pula jika penurunan tekanan
darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem
autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun
sehingga fungsi serebral terganggu.
Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat
menyebabkan gangguan konduksi pada pusat respirasi dan pusat
kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols berubah cepat dan
lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara
drastis. Respirasi akan berubah irreguler, melambat dan steatorous.
Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara
pusat pernafasan volunter di korteks dengan pusat pernafasan
automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi serebellar tonsil
ke bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek
yang minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan,
kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka tiba-tiba
saja bisa terjadi respiratory arrest.
GEJALA KLNIS
Gejala klinis dari trauma kapitis ditentukan oleh derajat
cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai
dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling

ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran


yang berlangsung hanya beberapa menit saja, atas dasar ini trauma
kepala dapat di golongkan menjadi :

Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

a.

Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, alternatif, dan orientatif)

b.

Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)

c.

Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

d.

Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

e.

Pasien dapat mengeluh abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala

f.

Tidak adanya kriteria cedera, sedang berat

Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)

a.

Skor skala koma glasglow 9 14 (kontusi, latergi, atau stupor)

b.

Konfusi

c.

Amnesia pasca trauma

d.

Muntah

e.

Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battel, mata rabun,

hemotimpanum, otore atau rinore cairan cerebrospinal


f.

Kejang

Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)

a.

Skor skala koma Glasglow 3 -8 (koma)

b.

Penurunan derajat kesadaran secara progersif

c.

Tanda neurologis fokal

d.

Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

PEMERIKSAAN KLINIS
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi,
tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan. Pengukuran
tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan
Jennett pada tahun 1974 yang digunakan sebagai standar internasional.
SKALA KOMA GLASGOW
Jenis Pemeriksaan
Respon buka mata (Eye Opening, E)

Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)

Respon terhadap suara (suruh buka mata)

Respon terhadap nyeri (dicubit)

Tida ada respon (meski dicubit)


Respon verbal (V)

Berorientasi baik

Berbicara mengacau (bingung)

Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan
non-kalimat, misalnya, aduh bapak..)

Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)

Tidak ada suara

Nilai
4
3
2
1
5
4
3
2
1

Respon motorik terbaik (M)

Ikut perintah

Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi


rangsang nyeri)

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas
dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi


tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

Tidak ada (flasid)

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa
medis adalah :

X ray tengkorak

Ct scan

Angiografi

KLASIFIKASI TRAUMA KAPITIS


Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera
tumpul biasanya

berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,

jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka
tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala

6
5
4
3
2
1

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam


deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka
kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi
mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang
keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya
minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS,
maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan.
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT
scan dengan teknik bonewindow untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium
terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala
dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan
yang terjadi cukup berat
b. Lesi Intra Kranial :
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal
sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya
kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari
otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi
segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan

gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abuabu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD)
untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.
Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson
dan terlihat pada manifestasi klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur
tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di
permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus
frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian
dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari,
berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan
operasi.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera

kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan
survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis
otak.
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar
dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang
tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal
lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas
harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,
kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas
yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan
cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi
jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan
napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan
sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah
yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan
jalan

napas

memungkinkan

belum

dapat

sebaiknya

memberikan

oksigenasi

dilakukan

yang

intubasi

adekuat,

bila

endotrakheal.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari
ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan
mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita

dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100
mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat
digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri
radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri
femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg.
Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik
hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan
penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya
dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera
sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan
keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang
baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari
leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan
tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat
menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan
penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata,
respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (dolls eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks
okulo vestibuler) dan refleks kornea. Tidak semua pederita cedera kepala harus
dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT
scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya
kesadaran,

kesadaran

menurun,

sakit

kepala

sedang-berat,

intoksikasi

alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang


bermakna, GCS < 15.

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk


memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Indikasi
pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml,
midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres
dengan kedalaman >1 cm.

Anda mungkin juga menyukai