Anda di halaman 1dari 75

KENANGAN CURUG DAGO

Catatan Pribadi Penemu Prasasti Raja Thailand

Omas Witarsa

Omas Witarsa
Adalah karyawan senior di Unit
Sumber Daya Informasi ( USDI) Institut
Teknologi Bandung, bertanggung
jawab pada pos Layanan Produksi
Multimedia TVST, yang berkawan
akrab dengan salah satu pakar sejarah
Kota Bandung, Ir. Haryoto Kunto.
Secara tidak sengaja menemukan Prasasti Curug Dago pada tahun
1988, dan dengan inisiatif pribadi menggali informasi, bertemu
dengan pakar sejarah, berdiskusi dengan perwakilan Kedutaan Besar
Thailand, hingga Curug Dago ditata menjadi kawasan wisata dan
diakui pernah menjadi tempat meditasi dua generasi Raja Thailand, di
masa pemerintahan Hindia Belanda.

Penulis Omas Witarsa Penyunting Galih Prasetya Utama Tata letak Galih
Prasetya Utama Desain Cover Galih Prasetya Utama Penerbit Galih Prasetya
Utama& Omas Witarsa Bandung 2015

CURUG DAGO
Curug Dago, Curug Yang Indah
Udara Segar, Deburmu datar
Curug Dago, Alam mu asri
Pengikat hati Dua sejoli
Curug Dago Tempat menanti
Meniti hari penuh misteri

Isi
Memburu Masa Lalu, Menyibak Cerita Lama

Abah Iyun

12

Prasasti Raja

14

Kolonel Polisi Thailand

22

Kunjungan Biksu Thailand

31

Sosok Pangeran Thailand di Pengasingan

35

Istana Pangeran Paribatra

38

Catatan Perjalanan Raja Chulalongkorn

41

Memburu Masa Lalu, Menyibak


Cerita Lama

Gambar 1. Sketsa Curug Dago ( dok. Haryoto Kunto)

Sudah menjadi tradisi, keberadaan air terjun di suatu lokasi, selalu dikaitkan
dengan cerita, dongeng, atau legenda yang menjadi silsilah, mengapa air
5

terjun disuatu daerah itu memiliki nama tertentu seperti nama daerah, nama
orang , tumbuh-tumbuhan, atau nama binatang .

Dari sekian banyak nama air terjun di Jawa Barat, ada satu yang berada di
daerah Bandung Utara, sekitar 5 kilometer dari pusat Kota Bandung yaitu
Curug Dago atau Air Terjun Dago ( Curug berarti air terjun dalam Bahasa
Sunda ). Letaknya bersebelahan dengan Taman Budaya Jawa Barat dan
Dago Tea House.

Gambar 2. Peta lama Curug Dago ( dok. Omas Witarsa)

Air terjun Dago berada pada alur Sungai Cikapundung, yang mengalir
membelah dua perbukitan di Bandung Utara, yaitu Bukit Punclut ( daerah
perbukitan Ciumbuleuit) dan Bukit Dago.

Melihat kondisi fisiknya, Curug Dago sebetulnya tidaklah istimewa,


6

tingginya kurang lebih 6 7 meter. Air terjun Dago tidak beda jauh dengan
air terjun sejenis lainnya, yang merupakan rekaman endapan lava dari
ledakan Gunung Sunda Purba, yang kemudian melahirkan anak gunung
bernama Tangkuban Perahu, nan legendaris itu.

Anak Gunung Sunda Purba meletus pada fase ke dua, kurang lebih 6,000
tahun yang lalu dan menghasilkan beberapa rekaman endapan lava berupa
air terjun, seperti Curug Omas di Maribaya, Curug Lalai, Curug Panganten
di Cimahi, dan Curug Cindulang.

Gambar 3. Jalan menuju Curug Dago ( dok. Omas Witarsa 1988)

Warga Bandung mungkin tahu tentang Curug dago, dan sudah


mengenalnya sejak lama, sebagai salah satu tempat rekreasi yang indah
bagi yang tua maupun muda. Dengan hutan perdu yang banyak tumbuh
disekitarnya, memang menambah suasana romantis bagi mereka yang
7

dimabuk asmara. Begitu pula udaranya yang segar dan nyaman, membuat
kerasan tinggal sejenak bersuka ria di sana.

Vegetasi di areal Curug Dago terdiri dari bermacam varietas, diantaranya :


Bambu dan Rasamala, Ki Acret, Pinus, Nangka, Aren, dan sebagainya,
ditambah dengan tanaman perdu, sehingga areal ini cocok untuk dijadikan
salah satu hutan kota, yang bermanfaat bagi pelestarian tumbuhan hijau,
yang berfungsi sebagai paru-paru kota.

Namun dari kesederhanaan itu ternyata Curug Dago memiliki sesuatu


yang membuat kita terheran heran, mengapa demikian? Ya, karena tidak
semua orang tahu, bahkan penduduk yang tinggal disekitar Curug Dago pun
belum tentu tahu, bahwa di curug itu terdapat batu bertulis (prasasti) dan
pembuatnya ternyata bukanlah orang Indonesia, lalu siapa gerangan
pembuatnya ?

Pada pertengahan November 1988, penulis, Omas Witarsa, bersama


seorang kawan, Yayan Sopian, dengan berbekal sebuah sketsa lukisan
Curug Dago, yang penulis buat pada bulan Agustus tahun 1983, menemui
Abah Iyun (52 tahun), sesepuh warga Punuk Curug, yang tinggal tidak jauh
dari lokasi Air Terjun Dago. Awalnya kami hendak melakukan penelitian
tentang lingkungan Air Terjun Dago setelah 5 tahun, apa saja yang telah
berubah.

Lokasi Curug Dago (titik kuning) yang berada di aliran sungai Cikapundung
itu terkurung oleh hunian penduduk, tampak sebelah atas areal yang gundul
disekitar Sekolah Stanford International dan rumah penduduk, yang juga
mencemari Sungai Cikapundung, dari hulu sampai hilir, disepanjang kiri
8

dan kanan jalan Ir.Haji Juanda menuju ke arah Bandung Utara. Curug Dago
posisinya berada di dalam kota sehingga malah luput dari perhatian kita
semua, kawasan Curug Dago menjadi bagian kecil dari hutan kota yang ada
di kota Bandung.

Gambar 4. Citra satelit Curug Dago ( dok. Omas Witarsa, dari Google Map)

Maklum, isu tentang lingkungan saat itu sangat gencar dilakukan oleh
Menteri Lingkungan Hidup Dr. Emil Salim , dan mencari dongeng yang
hidup di masyarakat ataupun cerita sejarah yang biasanya dikaitkan dengan
nama Curug Dago sehingga air terjun ini memiliki nama Curug Dago.
Mulailah penelusuran dilakukan , sejauh mana kerusakan dialami oleh
9

Curug Dago setelah 5 tahun ini , namun perubahan tidak begitu mencolok,
kecuali airnya semakin kotor berbau dan volumenya menyusut drastis,
karena gundulnya hutan hutan yang berada di bukit Dago hingga ke
Tangkuban Perahu .

Pembangunan yang dilakukan oleh pemodal yang tidak berwawasan


lingkungan, . dibangun menjadi vila dan hotel, serta pemukiman penduduk
yang berakibat menimbulkan banyak limbah rumah tangga, limbah
peternakan (sapi dan babi ), dan sampah rumah tangga, mencemari Sungai
Cikapundung.

Gambar 5. Penulis di depan Prasasti Chulalongkorn II ( dok. Omas Witarsa, 1988)

Padatnya pemukiman penduduk yang tinggal disepanjang Cikapundung


sampai ke Hutan Raya Ir .H Juanda bahkan sampai ke Lembang dan
Tangkuban Perahu.
10

Abah Iyun
Kemudian kami mulai mencari sisi lain dari Curug Dago ini. Dari
narasumber Abah Iyun, kami berharap akan mendapat dongeng atau cerita
yang menarik tentang curug yang satu ini, namun hampir setengah jam
mendengarkan obrolan yang dituturkan oleh Abah Iyun, tidak ada yang
menarik, sehinga kami memutuskan untuk pulang.

Gambar 6. Abah Iyun dan Yayan Sopian ( dok. Omas Witarsa 1988)

Ketika akan pamitan Abah Iyun sempat berkata bahwa :....... Dulu Abah
sering diminta untuk mengatarkan Noni dan Sinyo Belanda ke kawasan
hutan lindung yang sekarang menjadi THR Ir.H.Juanda itu, bahkan ia pernah
11

melihat Pahapul yang memiliki Gajah Siem apabila memandikan gajahnya


di Curug Dago, jalur yang dilaluinya adalah tepian sebelah selatan curug ,
kemudian berkubang disana!.

Saya terkejut dengan ucapan Abah Iyun itu , ada rasa tidak percaya dengan
apa yang dikatakannya, dan saya mencoba bertanya kembali untuk
meyakinkan tentang apa yang dikatakannya itu.

Gambar 7. Limbah sampah rumah tangga di Curug Dago ( dok. Omas Witarsa 1988)

Kawasan Bandung Utara memang sejak lama dikenal sebagai tempat untuk
rekreasi, bahkan pada tahun 1917 pernah berdiri Perkumpulan bagi
Pelestarian Alam di Hindia Belanda atau Nederlandsch Indische
Vereeniging Tot Natuurbescherming .

12

Komite Penyelamat Lingkungan dipimpin oleh pemuka masyarakat Bandung


dengan ketua Komite dipilih Dr.W.Van Leeuwen, dan anggotanya antara lain
Tuan K.A.R. Bosscha, pengusaha pendiri Observatorium Bosscha yang
termasyhur itu.

Kawasan Dago atas dijadikan Cagar Alam dan Budaya dengan nama Soenda
Openlucht Museum atau Museum Alam Terbuka Sunda. Dan kawasan hutan
lindung itu dinamai Taman Wisata Curug Dago dan Daerah itu sekarang
dikenal dengan nama THR H. Juanda.

Gambar 8. Curug Dago tahun 1820 ( dok. Galeri Batan)

13

Prasasti Raja
Abah Iyun juga sering melihat orang-orang Belanda berkumpul disekitar
batu, disitulah Raja Siem menulis, tapi tulisannya sulit dimengerti karena
seperti tulisan berhuruf Sunda, yang digoreskan cukup dalam pada
permukaan batu kali. Nah! ini baru menarik, setengah tidak percaya, penulis
berusaha memperoleh data yang lebih jauh mengenai tulisan itu .

Kembali kami terdiam dalam keraguan, karena Abah Iyun merasa ragu ,
apakah batu itu masih ada disana atau tidak? Karena ia khawatir batu itu
terbawa air dan longsor waktu terjadi banjir bandang yang menumbangkan
pohon besar serta melongsorkan tebing batu disekitar Curug Dago itu.
Namun dengan tekad yang bulat , kami memutuskan untuk mencari , walau
dengan dibayangi rasa was-was bila batu itu telah hilang terbawa air bah.

Gambar 9. Penulis bersama narasumber Abah Iyun dan keluarga ( dok. Omas Witarsa, Desember
1988)

14

Pada pertengahan November 1988, Saya bersama Yayan Sopian, dengan


ditemani oleh Abah Iyun mulai menelusuri tapak lacak yang masih diingat
oleh Abah Iyun . Karena cuaca hujan dan dan medan yang rumpil dengan
bebatuan , maka saya sendiri yang menelusuri sungai dan melompati
bebatuan ditengah sungai untuk menyeberanginya, menaiki tonjolan tebing
yang rimbun dengan tumbuhan suluran dan perdu yang banyak tumbuh
disana.

Gambar 10. Lokasi kedua prasasti ( dok. Omas Witarsa 1988)

Alhamdullilah ternyata masih ada, dan terdapat 2 buah batu dengan 3


kelompok goresan yang sebagian tertutup oleh lumpur yang jatuh dari uap
air terjun dan sampah dedaunan dan setelah dibersihkan akan terlihat jelas
lekukan dari goresan prasasti tersebut.

15

Gambar 11. Lokasi kedua prasasti relatif sukar diakses ( dok. Omas Witarsa 1989)

Gambar 12. Prasasti batu yang pertama ( dok. Omas Witarsa 1998)

16

Pada batu pertama yang memiliki bentuk agak segi tiga dengan ukuran kirakira 1 meter terdapat 2 tulisan, yang satu berbentuk bintang dengan huruf
huruf ada didalamnya , dengan kondisi tidak begitu jelas karena mulai rusak.
Sementara disisi yang lain ada beberapa baris hurup tergores dengan lebar
tulisan kira kira satu jengkal .

Gambar 13. Goresan di prasasti berupa inisial Raja Rama V dari Siam ( Thailand) ( dok. Omas
Witarsa Desember 1988)

Pada batu yang kedua ada satu tulisan yang berjajar dengan bentuk yang
agak besar karena tulisan itu digoreskan pada batu yang panjangnya sekitar 2
meter dan lebarnya rata-rata 1 meter. Jarak antara kedua batu itu sekitar 5
meter kearah mulut air terjun, dan berada diatas tonjolan tebing yang
tingginya sekitar 3-4 meter dari permukaan air Sungai Cikapundung ,
sehingga lokasi ini aman karena dipenuhi tumbuhan liar dan agak sulit
dicapai .
17

Gambar 14. Goresan berupa inisial Raja Rama VII dari Siam ( Thailand) ( dok. Omas Witarsa,
Desember 1988)

Pada batu pertama goresan berbentuk bintang kejora dengan beberapa abjad
yang sebagian telah rusak termakan usia, karena goresan-goresannya hampir
tersamar dan tidak terlihat jelas, nampaknya ini merupakan simbol tertentu
yang sulit dimengerti dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

Pada batu kedua juga tergores inisial nama Raja Prajathipok Paraminthara (
Raja Rama VII). Medan yang sulit dijangkau itulah yang mambuat kedua
prasasti dua Raja Thailand yang legendaris itu tetap aman sampai kami atas
tuntunan dan atas bimbingan Tuhan YME, sehingga kami berhasil
mengungkapkannya kembali, setelah 87 tahun kemudian.

Berdasarkan pada temuan tersebut kami mulai mencari informasi ke


beberapa tempat dan pakar sejarah serta referensi dari buku yang ada, kami
18

mencoba mengunjungi Museum Jawa Barat, tetapi kami tidak memperoleh


informasi yang berkaitan dengan tulisan tersebut, kemudian penulis juga
mencoba mengunjungi Drs.Atja, salah seorang pakar Filologi dari UNPAD,
namun semuanya gideug (menggelengkan kepala, dalam Bahasa Sunda) dan
tidak mengenali tulisan tersebut, baik asal maupun artinya .

Akhirnya kami memperoleh referensi dari salah seorang staf pemasaran


Harian Umum Pikiran Rakyat, sebuah buku tebal yang berjudul,
Semerbak Bunga di Bandung Raya, Diterbitkan oleh PT. Granesia tahun
1986, dan ditulis oleh Sang Kuncen Bandung, Ir.Harry Haryoto Kunto. .

Putri Siridorm adalah anak kedua Raja Bumipol Adulyadej ( Raja Rama IX)
dari Kerajaan Siam (Thailand), pada 1984 berkunjung ke Indonesia, dan
mampir ke kota Bandung, namun tidak sempat mampir ke Curug dago
karena belum mengetahuinya.

Gambar 15. Putri Sirindorm dari Thailand ( dok. PIkiran Rakyat)

19

Pada halaman 143 alenia ke 5 menyebutkan, Tempo doeloe, ditepian Air


Terjun Dago terukir pada sebongkah batu alam, inisial nama Putra Mahkota
Raja Siam yang berkunjung ke tempat itu pada tahun 1901. Sayang dalam
lawatan Putri Maha Chakri Sirindom ke kota Bandung , pramuwisata kita
tidak mengajak sang putri buat menengok air terjun yang pernah diziarahi
kakeknya, 83 tahun yang lalu ( Putri Sirindom datang ke Bandung pada
tahun 1984 ).
Pada akhir Desember 1988 Artikel berjudul Perlu penelitian lebih lanjut,
batu bertulis di Curug Dago , Dimuat sebagai artikel headline pada tabloid
mingguan lokal, Mitra Desa edisi Minggu ke V Desember 1988 .

Gambar 16. Dokumen Harian Mitra Desa, Desember 1988 tentang Curug Dago

20

Pencarian untuk mengungkap lebih dalam kami lakukan terus menerus dan
pada tanggal 4 Desember 1988 saya bersama Yayan sopian memasang
rambu penunjuk arah pada sebatang pohon , menunjuk kearah lokasi
inskripsi itu berada dengan tulisan, Batu Bertulis, inisial putra mahkota
Kerajaan Siam tahun 1901 sebagai acuan sementara.

Kolonel Polisi Thailand


Pada tanggal 6 Januari 1989 penulis berusaha mencari orang Thailand yang
berada di Indonesia, dan menemukanya di Lembang, sedang mengikuti
pendidikan sebagai siswa Sespimpol ( Sekolah Pimpinan Kepolisian), untuk
menanyakan makna dari tulisan itu.

Gambar 17. Letkol ( Pol). Bancha P dari Thailand ( dok. Omas Witarsa , Desember 1988)

21

Disana saya bertemu dengan Letnan Kolonel Polisi Bancha P, seorang siswa
dari Thailand, yang sedang mengikuti tugas belajar di Indonesia. Dengan
serius beliau menerima saya, atas izin komandan latihan menembak. Ketika
kepada beliau diperlihatkan foto inskripsi tersebut, ia sangat terkejut dan
membuatnya tercengang, dengan terbata-bata menanyakan dari mana anda
dapat ini, dan saya mengatakan dari Air Terjun Dago yang ada di Bandung,
lalu saya dipersilahkan menunggu sampai latihan menembak selesai.

Pada sebuah asrama tempat tinggalnya kemudian, pembacaan itu dilakukan


oleh Letkol. Bancha P, dan hasilnya sungguh mencengangkan, diluar
dugaan saya. Hasilnya adalah sebagai berikut ;

Gambar 18. Salinan goresan pada prasasti I ( dok. Omas Witarsa 1988)

22

Pada batu pertama, yang terdiri dari 2 kelompok goresan; 1a dan 1b.
Pada goresan 1a (lihat gambar ). terdapat 3 huruf, yaitu: Co Po. Ro, yang
dirangkai sedemikian rupa, dan merupakan singkatan dari nama Raja
Chulcomklao Paraminthara atau Chulalonkorn II ( Raja Rama ke V dari
Dinasti Chakri ).

Gambar 19. Raja Rama V Dinasti Chakri ( dok. Kedubes Thailand)

23

Dibawah rangkaian 3 huruf tadi tertulis dua angka, yaitu angka 3 dan 4
yang menunjukan usia beliau pada saat itu 34 tahun ( Raja Chulalonkorn II
lahir pada tahun 1868).

Gambar 20. Salinan inisial Raja Rama V ( Chulalongkorn II) dari prasasti yang pertama

Kemudian pada baris dibawahnya, ada 5 goresan yang terdiri dari 2 huruf
dan 3 angka. Hurufnya adalah R (Ra) dan hurup S ( Sok) , yang merupakan
singkatan dari Ratanakosin, kemudian kata Sok berarti Zaman atau
Tahun. Ratanakosin sendiri adalah nama lain dari Bangkok ibukota
Thailand yang didirikan pada tahun 1782 oleh Dinasti Chakri.

Pada 3 angka lainnya adalah angka 1, 2, dan angka 0. yang memiliki arti 120
tahun dan menunjukan bahwa usia Ibukota Ratanakosin 120 tahun.
Selengkapnya rangkaian tulisan ini dibaca menjadi Ratanakosin tahun 120.
atau tahum masehi 1901.

24

Dari rangkaian goresan I dapat disimpulkan sebagai berikut:


1.

Umur Putra Mahkota Chulalongkorn saat itu telah berusia 34 th.

2.

Umur ibukota lama, Ratanakosin, adalah 120 tahun

3.

Penulisan inskripsi ini dilakukan pada tahun 1901

4.

Penulisan nama tahun dengan nama ibu kota Ratanakosin dan


usianya adalah biasa dilakukan, sebagimana bila kita
menggunakan tahun saka, Masehi ataupun tahun Hijriah .

Pada goresan kedua, terdapat bentuk bintang lima ( Orion star ), dari sisa
goresan yang terdapat di dalam gambar bitang tersebut masih terlihat dan
dikenali berupa goresan 3 angka yaitu angka 6, 7, dan angka 2. Kemudian
didalam lingkaran pada segi lima terdapat hurup latin didalamnya seperti V,
W, L, I, selebihnya perlu penelitian lebih lanjut.

Pada batu kedua hanya terdapat 2 baris rangkaian hurup dan angka, yaitu
hurup, Po, Po, Ro ,berarti singkatan dari Prajathipok Paraminthara
atau Paramendra ( Raja Rama VII dari Dinasti Chakri ).

Gambar 21. Salinan goresan dari batu kedua

25

Pada goresan dibawahnya tertulis 2 huruf dan 4 angka . Kedua huruf itu
adalah hurup B ( Bu) dan hurup S ( Sok ) . Bu adalah singkatan dari kata
Buda dan Sok memiliki arti tahun. Apabila dirangkaikan, menjadi Buda
Tahun.

Kemudian diikuti oleh 4 angka yang terdiri dari angka: 2, 4,7, 2, yang
apabila dirangkaikan akan terbaca menjadi Budha Tahun 2472.
Selengkapnya goresan pada batu kedua ini adalah, Po Po Ro . B.S 2472,
Atau inisial dari nama Prajathipok Paraminthara , Buda Tahun 2472. Apabila
dikonversikan ke dalam Tahun Masehi, maka akan jatuh pada tahun 1928.

Gambar 22. Raja Rama VII, Prajathipok Paraminthara

26

Hasil pembacaan yang dilakukan Letkol Bancha P. ini sempat juga penulis
konfirmasi kepada Bhiksu Pravithamtur, dari Biara Menteng Jakarta, yang
melakukan kunjungan ke Bandung, pada hari jumat sore, 7 Januari 1989,
dalam rangka melakukan ziarah ke Makam Pasteur, dimana salah seorang
kerabat dari kerajaan Thailand, yang bernama Pangeran Paribatra,
dimakamkan.

Gambar 23. Pangeran Paribatra yang diasingkan ke Bandung ( dok. Kedubes Thailand)

Pangeran Paribatra adalah salah seorang Putra Raja Chulalongkorn dari


Thailand yang diasingkan ke di Tanah Jawa, pada Tahun 1932, setelah
terjadi revolusi di Thailand.
27

Bandung menjadi pilihanya, dan tinggal di sebuah Vila Dahapati, yang ada
di Jalan Cipaganti, yang dulu disebut Taman Siem, atau Bunderan Siem (
sekarang taman di bunderan itu sudah berubah menjadi Pom Bensin ),
letaknya berseberangan dengan Vila Dahapati.

Gambar 24. Villa Dahapati, Jalan Cipaganti Bandung, tempat tinggal Pangeran Paribatra ( dok.
Omas Witarsa 1988)

Rombongan yang awalnya hendak melakukan ziarah ke makam Pangeran


Paribatra di Kuburan Pasteur, menunda dahulu kunjungannya ketika beliau
membaca tabloid Mitra Desa yang ditunjukkan oleh Pak Makmur ( tinggal
di Jl.Cipto no:15), yang memuat artikel tentang ditemukannya prasasti
berhuruf Thailand, di Curug Dago dengan judul, Perlu penelitian lebih
lanjut, Batu Bertulis di Curug Dago.

28

Saya diminta untuk menemani rombongan menuju lokasi situs prasasti di


Curug Dago itu.

Kunjungan Biksu Thailand

Gambar 25. Rombongan biksu dari Thailand ( dok. Omas Witarsa 1988)

Dalam rombongan itu ikut serta Ibu Imtip Pattajoti Suharto, yang akhirnya
12 tahun kemudian, tepatnya tahun 2001, menerbitkan buku berbahasa
Inggris , Journeys to Java By a Siamese King , bekerja sama dengan
Kedutaan Besar Thailand dan dicetak di Indonesia, sebuah transkrip dari
catatan harian perjalanan Raja Rama V ke Hindia Belanda, yang ditulis
aslinya oleh Pangeran Damrong Rajanubhab.

29

Imtip Pattajoti adalah Warga Negara Thailand, yang menikah dengan Prof
.Dr Joko Suharto, seorang staf pengajar di Institut Teknologi Bandung, dan
tinggal di Bandung.

Dengan bantuan Pak Makmur, rombongan dari Kedutaan Thailand yang


disertai Biksu Pravithamtur, dan seorang biksu muda dari Biara Menteng
Jakarta, serta sejumlah staf dari kedutaan Thailand, menjemput penulis di
Kampus ITB, kemudian bersama-sama menuju ke Curug Dago. Dalam
rombongan Pak Makmur juga ada Pak Anang Sumarna ( Mantan ketua
Diparda Jawa barat ) dan Keluarga Besar Pangeran Paribatra.

Gambar 26. Rombongan Biksu Thailand bersiap menuju Curug Dago ( dok. Omas Witarsa 1988)

30

Dalam cuaca agak mendung, kami menuruni jalan setapak dari arah
Komplek Perumahan ITB, tepatnya di seberang rumah Ir. Rachmad
Muhammad, seorang Staf Pengajar Teknik Fisika ITB.

Lebih kurang 100 meter menuju ke Air Terjun Dago yang terdengar sayupsayup debur airnya, kali ini agak keras, maklum musim penghujan sudah
tiba. Rombongan Biksu dan Kedutaan Thailand saya pertemukan dengan Aki
Iyun, sebagai narasumber, sehingga prasasti ini dapat terungkap kembali.

Gambar 27. Rombongan Biksu Thailand berjalan kaki di jalan setapak menuju Curug Dago ( dok.
Omas Witarsa 1988)

Dalam kesempatan itu, Biksu Pravithamtur dari Biara Menteng, mengatakan


: ...Apabila seorang Raja Thailand menuliskan inisial nama mereka disuatu
tempat, dan bersemedi ditempat itu, selain sebagai kenang-kenangan bahwa
beliau pernah berkunjung ketempat ini, biasanya tempat itu sangat indah dan
31

juga keramat, jadi tempat ini memiliki nilai spiritual yang tinggi, dan tempat
ini harus dirawat dan dilindungi dari tangan pengunjung yang tidak
bertanggung jawab.

Ketika hari mulai gelap oleh mendung, rombongan tidak sempat turun ke
lokasi karena jalan setapak begitu licin dan terjal serta curam.

Gambar 28. Biksu Thailand bercakap dengan Abah Iyun ( dok. Omas Witarsa 1988)

Rombongan meniggalkan Curug Dago, menuju Bunderan Siem di Cipaganti,


untuk kemudian berziarah ke makam Pangeran Paribatra di Kuburan Pasteur.

Rumor tentang Raja Chulalongkorn melakukan semedi di Curug Dago,


karena kamar tidurnya di Hotel Savoy Homan kosong, disanggah oleh Imtip
Patajoti Suharto dalam bukunya, Journey to Java by a Siamese King 2001
Bab 2 halaman 55 pada catatan kaki no 35
32

Disebutkan sebagai berikut:


19 Juni 1896. Prince Pravitra Vadhanodom, His Majestys son who had just
finished his education in Europe, joined His Majesty for the rest of the trip
thought Java. At 4 p.m. His Majesty went to the Dago waterfall by carriage,
then continued on horsback and finally ot foot. The Track was quite slippery
becouse of the light rain. From a height of about 16 m, the water fell to a
pond about 30 m, in circumference. The water was quite turbide. His
Majesty was shown a kind of coconat-like palm grown in the area and was
told that it grew fast, yielding fruit after four or five years . A kind of drink as
wel as palm sugar could be made from its fruit . His Majesty was interested
in the royal party returned to Bangkok. The seeds were distributed to be
grown all over the Kingdom and it was found that the palm actually the
sugar or arenga palm wich was grown in Utaradit, a northern province of
Siam.
On the way back, His Majesty attended a reception at the Residents house,
of which the diary said It was similar to the new palace in Batavia but
slightly smaller Many Officials were then from the conversation His
Majesty learned about the recent eruption of Mt. Tangkuban Perahu which
had spat out mud just after His Majestys arrival in Batavia . His Majesty
was shown some pictures and clay-like leaves collected from the volcano.
After dinner,His Majesty went out privately until midnight to watch a
Ronggeng and puppet show(35)

33

Rumours said that the Siamese Kings hotel room had been found emty at
night and it was mistakenly assumed that the King had gone to meditate at
the Dago waterfall (Haryoto K. 1989:14)
Dan Di Bab 3 halaman 130 Sbb:

6 June 1901.In the afternoon, His Majesty took a carriage ride to visit Curug
Dago,the Dago waterfall, which had been on the itinerary of the previous
trip. It took about half an hour to get there. The King made an inscription of
his initial Co.Po.Ro. and the year 120 of Bangkoks Era.

At night, the King was invited to a concert held at a club.


That day His Majesty made a contribution of 2,000 guilders to support the
eye hospital of Bandung.

Dari penjelasan buku harian raja ini jelas bahwa Raja Chulalongkorn Tidak
melakukan Semedi atau Meditasi di Curug Dago , akan tetapi pergi
menonton ronggeng, dan wayang golek disekitar Stasion Kereta Api
Bandung

Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan emosional Thailand dan Indonesia


masa kini adalah bagian dari akibat hubungan masa lalu yang terjadi antara
kerajaan - kerajaan yang memiliki kedaulatan di pulau dan kepulauan
Nusantara lama, hubungan itu terjalin dalam berbagai segi kehidupan namun
yang paling menonjol adalah hubungan yang diakibatkan oleh kesamaan
religi atau agama dari kerajaan yang berada di Asia .

34

Sosok Pangeran Thailand di


Pengasingan
Dari beberapa literatur yang kita peroleh beberapa informasi mengenai sosok
Pangeran diasingkan di Vila Dahapati , yang berada di jalan Cipaganti (
depan Bunderan Siem) ini.

Gambar 29. Pangeran Paribatra Sukhumband ( dok. Kedubes Thailand)

35

Pangeran Paribatra Sukhumband ( 29 Juni 1881-18 Januari 1944), perwira


kepala staf dengan berbagai jabatan ketika masih muda. Istrinya bernama
Putri Mom Chao Prasongsom Paribatra (Chaiyan).

Pangeran Paribatra ternyata adalah salah seorang putra dari Raja


Chulalongkorn ( Rama V) dan memiliki beberapa nama dan gelar yang
lengkap: Pangeran Paribatra Sukhumbhand, Pangeran Nakhon Sawan
(RTGS: Boriphat Sukhumphan, Thailand:
) adalah seorang Perwira Militer Thailand yang
sangat berpengaruh, dan menteri pemerintah di awal abad ke- 20, selama
tahun terakhir dari monarki absolut.

Ia menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat Kerajaan Thailand,


Panglima Angkatan Laut Kerajaan Thailand, menteri angkatan laut, menteri
angkatan darat, menteri pertahanan, menteri dalam negeri, dan sebagai
sekretaris pribadi untuk kedua Raja, Raja Prajadhipok dan Raja Vajiravudh.

Setelah kudeta 1932 yang mengakhiri monarki absolut di Siam, ia diasingkan


dari kerajaan, ke Bandung, yang kemudian di bawah pemerintahan Hindia
Belanda. Selama Perang Dunia II, ia bekerja sama dengan Plaek
Pibulsonggram. Dia meninggal pada tahun 1944 di pengasingan sementara,
saat Militer Jepang menguasai Indonesia.

Pangeran Paribatra adalah ayah delapan anak dari istri kerajaannya, Mom
Chao (HSH Putri) Prasongsom Paribatra ( Chaiyan). Memiliki dua orang
anak, tetapi hanya satu, Chombhot Paribatra, yang hidup sampai dewasa.
Pangeran Paribatra juga memiliki anak dengan istri orang awam, Mom
Somphan Paribatra na Ayudhaya ( Palakawong), Pangeran
36

Sukhumabhinanda- ayah dari Ibu Ratchawong Sukhumbhand Paribatra,


gubernur saat ini di Bangkok.
Didalam Buku Semerbak Bunga di Bandung Raya disebutkan:

Pada permulaan tahun 1920-an, pembangunan perumahan gedong


sepanjang Jl.Cipaganti, baru sampai ke simpang Jl.Pasteur. Namun
Pangeran Paribatra, seorang warga kehormantan Kota Bandung, kerabat
Raja Siam ( Muangthai), telah memilih sebidang lahan di tengah tengah
sawah, jauh di ujung utara Jl. Cipaganti. Dibantu oleh arsitek Van Lugten,
sang pangeran menjalani Pembuangan di Jawa, mendirikan sebuah villa
indah sebagai tempat kediamannya .

Sayang sekali kota Bandung yang molek ini, kelewat miskin bunga-bungaan
, Ungkap Pangeran Siam Lepada pengurus Perkumpulan Bandoeng Voruit
( Majalah Mooi Bandoeng Agustus 1937)

Pangeran Paribatra yang akhli tanaman Anggrek, kemudian membangun


sebuah taman indah berbunga di halaman depan rumahnya . Beberapa tahun
kemudian , taman itu terpisah dari pekarangan villa Sang Pangeran, diterabas
Jl.Cipaganti . Taman bunga yang bentuknya agak bundar di Jl. Cipaganti itu
dikenal oleh warga kota sebagai Bunderan Siem, mengingatkan orang akan
negeri asal Pangeran Paribatra. Sejak jaman kemerdekaan, Bunderan Siem
yang berfungsi sebagai taman itu kini telah dijadikan pompa bensin.
Dalam buku Catatan Harian Journey to Java By a Siamese King Yang
ditulis oleh Imtip Pattajoti Suharto dijelaskan disinggung tentang nama
Pangeran Paribatra sebagai berikut:
37

16 June . It rainned from 8 a.m. The owner of the hat factory come to show
more simple of his products. Which many peole in the Kings retinue
ordered.He also reported that the 200 hat had been finished as ordered and
already sent to the ship. On the occasion he presented the King with a hat
that could be folded to fit in a cigarette holder and three fine quality
cigarette holders. His Majesty placed more orders for the cigarette holders
of both fine and regular qualities. At dusk, the horses bought in Garut
arrived.

The King received many telegrams from Bangkok and replied to them.
Among the telegrams was the news concerning Prince Paribatras(14)
succes in his studies.

Pada catatan kaki dijelaskan sebagai berikut:

H.R.H Prince Paribatra Sukhumbandhu. Prince (Krom Phra) of Nakorn


Savarn was at that time being trained in a military school in Germany. He
become the Minister of the Interior in the reigns of King Rama V, VI and VII.
After the revolution in 1932,he closet to live in Bandung, Java and spend the
rest of his life there.

Istana Pangeran Paribatra


Nun Jauh disana dinegeri Gajah Putih, masih dilingkungan Istana Kerajaan
Siam yang sekarang menggunakan nama Thailand ( Tanah Merdeka ) itu
terdapat sebuah tempat atau Museum yang pada awalnya pernah ditinggali
38

oleh Paneran Paribatra , istana itu dinamai Istana Kubus (kubis) , rumah
tinggal kuno yang berbentuk panggung dan dikenal dengan nama Suan
Pakkad Palace.
Istana yang dijuluki sebidang kubis ini, mengkombinasikan antara
kediaman keluarga kerajaan dan museum. Tempat ini mencerminkan
Thailand kuno yang saat ini sulit ditemukan di perkotaan.

Halamannya bernuansa tropis dikelilingi oleh berbagai jenis pohon rindang,


kolam-kolam yang tenang, serta delapan rumah tradisional Thailand milik
Pangeran Paribatra dan Putri Chumbhot. Empat diantaranya merupakan
rumah kayu yang berada di halaman depan istana, meninggalkan warisan
budaya dari abad ke-19.

Rumah pertama membawa kita menjelajahi berbagai alat musik. Rumah


yang dulunya milik ayah Pangeran Chumbhot ini, yaitu Pangeran Paribatra,
dijadikan museum berisi drum langka, xylophone, gong, dan berbagai alat
musik langka yang dipamerkan di lantai bawah. Gong Wong Yai, sebuah
perkusi unik dengan 16 lempengan berbagai nada bisa dilihat disini. Selain
itu, jika ingin melihat orkestra yang ditampilkan tahun 1920, disinilah tempat
rekaman itu disimpan.

Sementara lantai atasnya, terdapat berbagai barang peninggalan Thailand dan


Asia Tenggara berbagai jaman. Alat-alat perang, patung Budha berbagai
postur, hingga foto Raja Rama V bisa disaksikan disini.

Menuju ke rumah kedua dan ketiga, pengunjung dapat melihat perabotan


klasik abad ke-17. Misalnya, buku, lukisan, dan kitab suci yang mengisahkan
39

kehidupan Lord Budha. Terdapat pula perabotan makan dari perak dari abad
ke-17 serta nampan berhiaskan mutiara yang sangat indah. Gambaran
tradisional thailand tidak hanya sampai disitu. Patung budha berbagai pose
dan ukuran dapat dilihat dari dalam rumah keempat. Dengan balkon yang
sangat indah, pengunjung bisa melihat taman hijau yang asri membentang di
hadapan.

Gambar 30. Suan Akkad Palace, istana milik Pangeran Paribatra ( dok. internet)

Suan Pakkad Palace tidak akan mengecewakan pengunjung, sebab


pengunjung dapat melihat berbagai macam barang peninggalan yang benarbenar tradisional di rumah kelima hingga kedelapan. Misalnya, berbagai
koleksi binatang laut yang diawetkan seperti ikan dan kerang jaman
prasejarah. Ada pula topeng seni masa lampau lengkap dengan bonekanya.

40

Serta berbagai macam peralatan berbahan dasar keramik, porselen, mutiara


hingga perak yang dulu dimiliki oleh Pangeran dan Putri Chumbhot.

Beberapa museum mulai direnovasi pada tahun 1996, sehingga koleksi


museum ini semakin bertambah. Mulai dari artefak, peralatan terbuat dari
perunggu hingga bijih besi. Serta mulai dari asia tenggara hingga mesir
terkumpul di satu tempat ini.

Selain delapan rumah yang kini berfungsi sebagai museum, di belakang


lapangan juga terdapat Paviliun Pernis. Paviliun yang dulu dihadiahkan
Pangeran kepada Sang Putri di tahun 1959 ini, kini telah mengalami berbagai
bentuk renovasi. Namun, keindahan lukisan dindingnya, yang
menggambarkan Budha dan Ramayana) tetap dapat dinikmati.

Catatan Perjalanan Raja Chulalongkorn


Kunjungan pertama Raja Chulalongkorn (Rama V) ke Nederlandch Indie
( Nusantara) memakan waktu 34 hari , dimuai pada tangga l 9 Maret 15
April 1871.

Perjalanan pertama ke Java ini lebih merupakan perjalanan studitour. Route


yang ditempuh adalah Bangkok Singapore, Bangka, Batavia dan Semarang .
Hal ini tercantum dalam bukuDispatches of 3 Journeys to Java by King
Rama V yang dicatat oleh Pangeran Damrong Rajanubarb, seorang kerabat
Yang Mulia Raja yang menjabat sebagai Direktur Perpustakaan Kerajaan,

41

Beliau adalah seorang Ilmuwan dan Sejarawan dengan sejumlah jabatan


penting di pemerintahan dan melakukan pencatatan semua peristiwa selama
perjalana Yang Mulia Raja ke tanah Jawa.

Gambar 31. Pangeran Damrong Rajanubarb ( dok. internet)

Pitthayamronnayuth adalah nama kapal laut yang digunakan untuk berlayar ,


kapal ini mengangkut 208 awak dan dinakhodai oleh kapten John Bush (
Luang Wisuth Sakoradith) yang berlayar pada jam 11.00 pagi dari Bangkok
menuju Singapura, Bangka, Batavia kemudian ke Semarang .

42

Gambar 32. Sosok kapal yang digunakan dalam perjalanan ke Hindia Belanda ( dok. Kedubes
Thailand)

Dalam perjalanan ini dilakukan dengan menyinggahi beberapa tempat


bahkan kadang menginap di beberapa tempat dan melakukan pembicaraan
dengan pejabat pejabat di beberapa propinsi seperti Propinsi Nakorn
Srithamarat pada tanggal 11 Maret , kemudian menuju Trengganu, pulau
Tioman dan pada tanggal 15 Maret 1871 sampai di pelabuhan Singapore dan
disambut oleh Praya Atsadongkottitraksa (Tan Kim Ching) dutabesar
Thailand untuk Singapore , di Johor baru . kemudian pada tanggal 26 Maret
1871 Pada jam 9 pagi sampai di Pulau seribu , kemudian pada jam 11 siang
tiba di Pelabuhan Batavia.

43

Gambar 33. Foto rombongan Kerajaan Siam ke Hindia Belanda ( dok. Kedubes Thailand)

Peristiwa perjalanan pertama Yang Mulia Raja Chulalongkorn ke Tanah


Jawa ini tertuang dalam sebuah reportase yang ditulis dengan teknik
penulisan berbentuk Pantun Melayu yang dibuat oleh seorang peranakan
Cina, yang berjudul, Sair Kadatangan Radja Siam di Betawi, 9 Maret
sampai 15 April 1871).

Sayang tidak ada namanya sebagai penulis pantun itu karena sampul buku
karya tulisnya sudah hilang saat naskah ini diteliti oleh Claudine Salmon dan
Denys Lombard.

Syair ini terdiri dari 42 halaman dan jumlahnya 140 buah pantun dan dibuat
pada tahun 1871 , Syair ini nampaknya segera ditulis setelah kunjungan Raja
Siam itu terjadi yang isinya menceritakan berbagai kegiatan yang dilakukan
Raja Siam selama di Betawi serta berbagai reaksi serta sambutan yang
44

dilakukan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, orang orang Cina, dan


orang Pribumi, sampai rombongan naik kapal laut kembali untuk berangkat
menuju ke Pelabuhan Semarang.

Pantun ini merupakan kesaksian seorang rakyat ( Cina Peranakan). Mengapa


Pantun berbahasa Melayu menjadi pilihan , padahal pantum adalah bentuk
sastra yang tidak bebas dan terikat oleh ketentuan bait baris, isi dan bunyi ?

Gambar 34. Rute perjalanan Siam- Hindia Belanda ( dok. Kedubes Thailand)

Namun pada masa itu sastra melayu memang sedang digemari oleh
masyarakat terbukti dengan banyaknya karya sastra berbentuk Pantun
seperti; Hikayat Aceh, Syair Burung Nuri ( Yumsari Yusuf),

45

Sair dari hal datengnya Poetra Makoeta Kerajaan Roes di Betawi dan
Pegihnya (Tan Teng Kie), Ang I Tong menulis, Inilah pantoen Pelawan
orang Panipi dan pantoen waktoe kedatangan Prins Frederik Hendrik di
Ambon dan pantoen Kapitan Ambon serta lagi terhoeboeng pantoen Sedikit
pada menjoekaken hati, Batavia, Albrecht, 1899, Boekoe Sjairnja jang
Maha Moelia Sri Padoeka Kanjeng Toewan Soesoehoenan di Solo dateng
ka Semarang pada tanggal 10 Juni 1903, Semarang, Hap Sing Kong Sie,
1903, Peringetan Aken kadatenganja Eskader Tiongkok dan Taij Djin Tang
ZSE ka Poelo Djawa, Darmo Kondo, T dll

Syair kedatangan Raja siam ke Betawi ditulis dari sudut pandang orang
kedua ,bukan dari orang pertama. .

Maha Raja Sultan Johor Abu Bakar


( Syair Kadatangan Radja Siam di Betawi 9 Maret sampai 15 April 1871)

Bermoela sair ini di karang


Membri taoe sekalian orang;
Baroela ada djaman sekarang
Radja Siam Datang di tana Sebrang

Dari Siam ka Singapoera


Di Betawi soeda bikin bitjara ;
Kompani prenta ini perkara
Sopaija samboet dari moeara.

Singapoer njebrang di Batavia


Sebab maoe liat tana Djava;
46

Toean Besar soeda soeroe sedia;


Roema gedong soeda disewa .

Sewakan roema boeat kawannja


Boekan di sewa boeat radjanja ;
Maskipoen mahal sewaannja.
Asal betoel persediaannja

Dimana tempat bole bermalam ?


Diroema toean besar si radja

Siam;

Riasannja bagoes di loear di dalam


Tidoer senang dan bole meram.

Tjarita menoeroet soerat programma,


Soeda di karang djadi bersama;
Bagimana misti orang trima,
Maha radja Siam njang pertama.

Sablon sampe la itoe Radja,


diprenta toenggoe di kapal djaga;
Srta keliatan di Onrust sadja,
Lantas di kasila itoe tanda

Dari ini djoega pertandaan,


Toean kommandeur poenja djagaan ;
Sopaija datang samboet dan hantar,
Dengan hormatnja sebenar-benar.

47

Gambar 35. Lukisan Pulau Onrust 1669 ( dok. Abraham Storck 1669)

Pada lain toean-toean njang besar,


Di kasi djoega la ini kabar
Sopaija ija kasi pertahoean,
Pada goeberneur besar njang dipertoean

Segala djoega kapal paprangan


Dapat lagi oendang-oendangan
Kaloe berliwat betoel djalanan,
Hormatkan itoe la kadatangan.;

Pada tanggal 23 Maret 1871 disambut dengan 21 kali dentuman meriam


kehormatan Kapal Laut Pitthayamronnayuth pada jam 3.30 sore
meninggalkan Singapura , setelah yang Mulia Raja didampingi oleh
48

Gubernur Singapura Johnston Pier, memberikan penghargaan kepada Maha


Raja Johor, untuk melewati Selat Riau , Selat Bangka, kemudian sampai di
Pulau Seribu dan tiba di Pelabuhan Batavia yang banyak terlihat kapal-kapal
uap dan kapal perang Belanda disana.

Yang Mulia sempat mengunjungi sekolah Gymnasium Willem III kemudian


dari Meester Cornelius ke Akademi militer di Welter Vredent dan beberapa
tempat lainya dengan kereta kuda.

Di Koningsplein ground ( Lapangan Merdeka) pada tanggal 29 Maret 1871


digelar devile militer, kaveleri, dan pasukan infantri yang jumlahnya
mencapai 3000 orang serdadu untuk menghormati Yang Mulia Raja. Beliau
juga mengunjungi tempat-tempat seperti Supreme Court, Bengkel teknik,
Pabrik Pakaian, toko, Gereja Protestan dan Geraja Katolik Roma, Club
Concordia serta menikmati pertunjukan kembang api.

Hormat dengan pasang mariam,


Kapada radja njang dari Siam ;
Soeda belaijar siang dan malam ,
Diatas laoetan ajer njang dalam.

Kapal paparangan njang di plaboean,


Kasi djoega itoe hormatan;
Maha radja njang di pertoean,
Soeda sampe itu niatan.
Toean-toean besar dan sekretaris jenral
Dapat prenta pergi di kapal ;
Bertemoe radja njang lain asal,
49

Membri slamat dalam ini hal.

Kapal api Tjiliwoeng njang menghantar,


Kepada toean-toean itoe sampe di loear ;
Akan kasi pada radja kabar,
Sopaija toeroen datang di bendar.

Toean-toean besar dengan djenral ,


Dan toean-toean lain njang berasal ;
Datang samboet radja dari kapal ,
Dengan berboedi djoega berakal .

Tiga kali boenji mariam,


Kamaren sorenja dan ampir malam;
Tanda sampe maha radja Siam,
Kasi beritaoe sekalian orang .

Toean resident kasi prenta,


Sekalian orang kapal njang ada ;
Samoea sekali dan rata-rata,
Kasi hormat sri maha radja.

Di kasila katantoean,
Pada toean-toean njang di laoetan ;
Djikaloe radja sampe di plaboean,
Naikin bandera tanda hormatan.

Di laoetan djoega dan di moeara,


50

Samoea haroes naik bandera ;


Tida di bedakan ini perkara
Seperti anak dengan soedara.

Prenta tida memili bangsa


Djoega tida dengan memaksa ;
Kaloe ditoeroet njang berkwasa ,
Itoe boekan barang njang soesa.

Naik bandera sampe sahari ,


Moelai kaloear la matahari ;
Tida poenja haroes mentjari,
Hormatkan radja datang kamari .

Segala roema-roema kompani,


Naik bandera sampe ditinggi ;
Baroe katemu sakali ini,
Radja Siam datang di sini.

Sampe la besok pagi harinja,


Dari pada kadatangannja ;
Berkoempoel toean-toean samanja,
Tarima radja dengan kawannja.

Sekalian toean njang besar-besar,


Hendak menjamboet serta menghantar ;
Bersama soldadoe dengan hoesar ,
Slam dan tjina ber kitar-kitar.
51

Barisan preman samoea kaloear,


Dengan dia poenja hoesar-hoesar ;
Sebabnja soeda di kasi kabar ,
Berdiri depan roema toean besar.

Poekoel anam njang pagi-pagi,


Datang samoea bala kompani ;
Dari Senen dan Meester lagi,
Tamboer dan moesik pada berboenji.

Bala itoe sapanjang djalan ,


Di bariskan ada dengan atoeran ;
Prenta itoe dengan kabetoelan,
Samoea ada dalam peladjaran.

Barisan kampoeng dengan toembaknja,


Toean asisten ada kommamdannja ;
Di Mangga besar betoel djambatannja,
Di sitoe moelai samboengannja.

Majoor, kaptein dan luitnan tjina ,


Samoea bangsanja baris di sana ;
Kaija , miskin dan njang terhina ,
Hormat njang patoet dengan samporna.

Di oedjoeng barisan tjina ini,


Soldadoe policie satoe kompani ;
Dapat prenta biar begini ,
52

Sapanjang barisan di samboengi.

Daerah Mangga Besar


Soldadu siap di kanan dan kiri jalan

Barisan slam dari kampoeng-kampoeng


Pegang toembak tida bertoedoeng ;
Ada njang pendek ada njang jangkoeng
Tetapi hatinja terlaloe bingoeng.

Komdan adjidan dan toean djaksa ,


Hendak datang pareksa ;
Bisa dan tidak boekan di paksa ,
Tapi njang sala menanggung seksa.

Radja liwatkan dihadepannja ,


Bala hormatkan dengan sopannja ;
Barisan kampoeng dengan tombaknja ,
Tamboer berboenji dengan hormatnja.

Radja liwat dengan karetta ,


Moelanja datang dari kota ;
Barisan samoea dapat parenta ,
Kasi hormat dengan sendjata .

Hoesar kompani hoesar preman .


Ofsiernja djalan sebla depanan ;
Lain dikiri lain dikanan ,
53

Karetta radja sama tengaan.

Karetta radja sama tengaan ,


Djalanan ada dengan pelahan ;
Dihantarkan sapandjang djalanan,
Kendatipoen tjape haroes menahan .

Gedong toean besar roema kompani ,


Di sitoe masoekla radja ini ;
Matanja tengok sana dan sini ,
Tamboer , trompet, moesik berboenji.

Saabisnja liwatla itoe radja ,


Di prenta barisan njang biar soeda ;
Samoeanja biarla poelang sadja ,
Njang djalan kaki dan toenggang koeda.

Serta sampe Maha radja Siam,


Di benteng lantas pasang mariam ,
Tatkala masoek pergi kedalam ,
Tamboer dan moesik tida berdiam .

Toean besar trima la dengan hormat ,


Soeda mistinja menoeroet hadat ;
Trima di roema dengan slamat ,
Kawannja njang ikoet datangnja tjepat .

Djalanan njang troes sampe ka kotta ,


54

Njang tampat barisan diatoer rata ;


Soeda mendapat djoega parenta ,
Di larang djangan liwat karetta .

Sopaija djangan mendjadi mara ,


Maka di kasi itoe soeara ;
Soeda djoega di kasi kira ,
Bole berdjalan dari Djakatra.

Djalan Djakarta dan Gunungsari ,


Banjak njang djalan sana kamari ;
Tjoema di prenta satenga hari ,
Boekannja roegi di soeroe tjari .

Tramwai djoega dapat prenta ,


Njang dari Kramat dan dari kotta ;
Karoegianja njang soeda njata ,
Kompani ganti soeda di kata.

Tjarita programa brenti di sini ,


Di samboeng lain di bawa ini ;
Tida meliwatkan dia poenja boeni ,
Sebab dihati tida berani .

Banjak orang rame sekali ,


Berdiri di pinggir sepandjang kali ;
Orang kampung dan koeli-koeli ,
Pintjang , Sengkok , buta dan toeli.
55

Ketjil , besar , toea dan moeda ,


Lalaki prampoean semua ada ;
Slam , Tjina , dan orang Hollanda ,
Datang melihat Sri Maha Radja .

Di djalanan berdiri la katja-katja ,


Dari udik sampe di kotta ;
Ibarat soerat kaloe di batja ,
Bole mendapat itoe tjerita .

Koeliling tampat pasang bandera ,


Di bawa itam diatas mera ;
Ditenga poeti bole dikira ,
Bandera Hollanda paling kentara .

Kaen mera bandera radja ,


Beda dengan bandera Hollanda ;
Ditenga poeti gambarnya gadja ,
Bole disangka sewaktoe tanda .

Tanggal doea poeloeh toedjoe hari ,


Boelan Maart djoega poen boelan ini ;
Radja soeda sampe kamari ,
Maka terkabar sana dan sini.

Hari itoe njang masi pagi ,


Ka kantor palis radja pergi ;
56

Kawan-kawannja djoega lagi ,


Toeroet maoenja maka mendjadi .

Dari sitoe brangkat la poelang ,


Soeda djalan berpoetar lapang ;
Sangat maoenja boekan kapalang ,
Sampe di roema mengambil senang .

Maha radja dan toean poetra ,


Pasiar sorenja njang poekoel lima ;
Poeter koeliling djalan Djakatra ,
Abis koeliling poelang karoema .

Pasiar boekan sandiri sadja ,


Kawan-kawan samoeanja djuga ;
Di depan berdjalan Maha radja ,
Dengan kerettanja anam koeda .

Pada Tanggal 27 Maret 1871 pukul 7 pagi, Gubernur Jendral Hindia


Belanda dan rombongan menuju ke dermaga untuk menyambut Yang Mulia,
di mana banyak pejabat sedang menunggu.

Upacara selamat datang berlangsung sekitar dua puluh menit, Yang Mulia
melaju dengan kereta yang ditarik oleh enam-kuda menuju ke hotel Riyswijk
milik pemerintah , di mana gubernur jenderal tinggal dan disambut oleh para
banyak pejabat Belanda, dan semua konsul asing beserta istri mereka untuk
menyambut Raja.

57

Pada sore hari, Yang Mulia pergi melihat-lihat. Pada malam harinya ,
gubernur jenderal dan sekitar 700 atau 800 pejabat dan konsul menjamu
Yang Mulia.

Orang siam berpake kantjoet ,


Pake kaos sampe di loetoet ;
Dengan sepatoe seperti patoet ,
Namanja pandjang soesa diseboet .

Badan berbadju kapala bertopi ,


Boekan tjara njang ini negri ;
Pakean dipake la rapi-rapi ,
Sopaija kentjeng sana kemari.

Banjak kawan radja membawa ;


Ampat kapal tida di sewa ;
Radja njang poenja ini samoea ,
Boeat melantjong di tana djawa .

Radja kadoea tinggal di negri ,


Njang pertama datang kamari ;
Kakajaan banjak troesa ditjari,
Asal tidak ada njang Tjoeri .

Soenggoe berboedi kompani ada ,


Dengan hormat kepada radja ;
Terpoedji soenggoe radja Hollanda ,
58

Kabaikanja tiada bersoeda .

Satoe karetta moeat moesikan ,


Soeda djalan sabla depanan ;
Karetta radja njang mengikoetkan ,
Kawan dari blakang bertoeroetan .

Di Meester liat segala tangsi ,


Wingkel snapan dan wingkel besi ;
Samoea sekola di liat bresi ,
Boekan datang seperti komisi .

Sekola radja djoega di tjari ,


Pada waktoe la itoe hari ;
Radja berdjalan sana kamari ,
Djalan kakanan djalan kakiri

Roema sakit Senen sabla dalam ,


Abis masoek di goedang meriam ;
Soeda di ingat siang dan malam ,
Boeat soekanja si radja Siam .

Goedang mariam tempatnja pellor ,


Radja datang la hampir lohor ;
Sapoe bersi ilangkan kottor ,
Sopaija koeliling djadi tersohor .

Makan dan minoem pada malamnja .


59

Di toean besar dalam roemanja ;


Slam dan Tjina samoea-moeanja ,
Bawa permaenan dengan djengenja.

Ini djadinja rame-ramean ,


Orang datang berkawan-kawan ;
Serta baroela sore-sorean ,
Soeda berboenji rame taboewan .

Permaenan itoe permainan tjina ,


Dari kotta datang kasana ;
Toean , njonja dan nona-nona ,
Nonton maenan njang roepa warna .

Majoor tjina njang kwasa kongkoan ,


Ija njang prenta ini bikinan ;
Orang Petak Baroe dan Patekoan ,
Hendak kerdja ini permaenan .

Djenge , liong , kidjing-kidjingan ,


Loleng , ikan , boeroeng-boeroengan ;
Damarnja banjak djadi terangan ,
Dansoenja maen paling blakangan .

Toean besar di kiri radja di kanan ,


Doedoek di krosi dengan pikiran ;
Kadoeanja ada liat permaenan ,
Tetapi boekan barang njang heran .
60

Permaenan masoek la dari depan ,


Soldadoe djaga dengan snapan ;
Njang nonton datang gelap gelapan ,
Ada njang masoek berseloendupan .

Njang menonton bariboe orang ,


Sebabnja ada terlaloe djarang ;
Baroe mendapet ini sekarang ,
Hollanda , tjina , Slam poen girang .

Orang njang ada di roema toean besar ,


Doedoek diroema sabla loear ;
Permaenan itu tjuma sabentar ,
Poekoel sabelas samoanja boebar .

Pada hari njang katiga ,


Bala baris bikin parade ;
Banjak orang njang bilang djoega ,
Sengadja kasi liat maha radja .

Bala datang la dari tangsi ,


Semoea berpake dengan bersi ;
Kaloe ada njang minta permisi ,
Soeda tentoe tida di kasi .

Barisan itoe ditjontokan prang,


61

Soenggoe sekali di liat djarang ;


Toeroet tjarita samoea orang ,
Baroe dapetin ini sekarang.

Bala baris di lapang Gambir ,


Boenjikan mariam dengan bedil ;
Kaloe di timbang dengan di piker ,
Tjonto ini bole di ambil.

Baris dengan njang amat pinter,


Berdjalan djoega berkiter-kiter ;
Toean dan djeneral kliatannja anker ,
Koemisnja ada berlinker-linker.

Maka di kata djenralnja anker ,


Sebab prentanja samoea denger ;
Orang menonton seperti pager ,
Radja poelang banjak njang nganter .

Bala berdjalan poelang katangsi ,


Soeda tinggi la mata hari ;
Toean besar bilang trime kasi ,
Njang nonton poelang sana kamari.

Radja poelang di tampatnja itoe ,


Brangkat kombali njang boeroe-boeroe ;
Maoe liat segala roema piatoe ,
Dan klooster njang dekat Pasar Baoroe .
62

Malamnja pesta di roema bola,


Toean dan njonja Samoa bala ;
Atoeran ini tida bersala ,
Radja datang tidak tertjela .

Banjak orang nonton di loear ,


berdiri di pinggir djalanan besar ;
Maoe dekat barang sabantar ,
Soeda di larang la sama hoesar .

Siapa djoega njang blon taoe ,


Berdiri nonton la dari djaoe ;
Sebab hati njang poenja maoe ,
Tinggal berdiri seperti kayu

Begitu adanja njang orang ketjil ,


Sana sini berdiri terpentjil ;
Maoe menonton tida berasil ,
Mala dilarang tida dipanggil .

Njang ketjil dan njang terhina ,


Soeda di piker tida bergoena ;
Apa lagi orang slam dan tjina ,
Dipegat sini di pegat sana .

Ini larangan memang prenta ,


Sebab terlaloe banjak karetta ;
63

Kaloe kalanggar mendjadi pata,


Siapa njang sala nanti kata .

Pesta tida habis di tjarita ,


Sebab tiada di liat njata ;
Toeroet orang poenja berkata,
Samoeanja bagoes dengan srenta .

Tjoema njata kembang apinja ,


Trangnja bagoes tiada brentinja ;
Toean dan njonja senang hatinja ,
Sebabnja rame boenji moesiknja .

Pada pagi hari njang kaampat ,


Radja Pergi njang banjak tampat ;
Segala fabriek masoeknja tjepat ,
Sopaija djangan tiada sempat .

Gedong bitjara radja kasana ,


Ka Goedang dan roema sakit tjina ;
Kendatipoen djaoe di mana-mana ,
Maoe di liat barang bergoena .

Segala goedang di dalam kotta ,


Radja masoek la rata-rata ;
Soeda diliat la dengan njata ,
Tidak tertjela bole di kata .

64

Hari kalima njang pagi-pagi ,


Radja soeda berdjalan lagi ;
Di kebon binatang ijala pergi,
Banjak diliat barang terpoedji .

Kebon binatang kampoeng Tjekini ,


Soeda radja sampe di sini ;
Kaloe di liat atoeran ini ,
Bole memoedji nama kompani .

Kebon Binatang Cikini.

Orang Hutan jalan-jalan dengan soldadu di Kebun binatang Cikini

Banjak toean bersama-sama ,


Kawannja tida njang tinggal roema ;
Boekan diliat barang pertjoema ,
Meliat matjan paling pertama .

Pagi rame ditempat itoe ,


Moesik bermain djoega disitoe ;
Radja meliat poen satoe-satoe ,
Gadja di sitoe diliat tantoe.

Segala binatang soeda di liat ,


Memangnja radja njang ada niat ;
Gedongnja besar , bagoes di tjat ,
Ajer masnja berkilat-kilat .
65

Bagoes di loear bagoes di dalam ,


Soeda di liat la radja Siam ;
Boeat ingatan siang dan malam ,
Tidoer tiada la bisa meram .

Laen roema lagi njang ada ,


Pergi lagi Sri Maha Radja ;
Tjara Malajoe seboetannja tida ,
Genootschap kata tjara Hollanda .

Abisnja itoe Sri Maha Radja ,


Soeda meliat segala Gredja ;
Gredja Willem gredja Hollanda ,
Gredja Rooms di liat djoega .

Di sitoe pergi tiada lama ,


Njang menghantar bersama-sama ;
Terkabar sore njang poekoel lima ,
Maoe kaloear djoega la dari roema .

Lapang Gambir ada tontonan ,


Orang kampoeng poenja permaenan ;
Segala orang njang boeronan ,
Bikin penoe banjak djalanan .

Kabarnja maoe Sri Maha Radja ,


Bernonton dengan kawannja joega ;
66

Soeda sedia dengan sengadja ,


Kiri dan kanan soldadoe djaga .

Tetapi boekan ada begitu ,


Radja tida datang di sitoe ;
Brangkali kira oedjannja tantoe ,
Maka tiada kaloear pintoe .

Kaloe di piker kaloe di kira ,


Masala radja mendjadi mara ! ;
Brangkali tra maoe ini perkara .
Tetapi tida kasi kentara .

Ronggeng wajang dan gamelan ,


Topeng angkloeng dan Moesikan ;
Orang datang sapandjang djalan ,
Datang menonton mendesekan .

Pentja dengan pandjat-pandjatan ,


Orang di karoeng lonpat-lonpatan ;
Samoea soedala kaliatan ,
Orang bernonton mengkaroeboetan .

Hollanda , slam dan orang tjina ,


Njonja sinjo dan nona-nona ;
Samoea pada datang kasana ,
Liat permaenan njang roepa warna .

67

Moeda , toea , ketjil dan besar ,


Bole di kata seperti pasar ;
Tapi ada njang di boeroe hoesar ,
Djadi banjak njang tersiar-siar.

Rasa kecewa yang sangat dirasakan pada hari ke lima oleh kelompok yang
akan menyambut kedatangan Raja ke daerah Gambir , ketika Raja karena
suatu alasan yang tidak jelas, tidak dapat menghadiri permainan Rakyat
yang populer yang dipersiapkan untuk menghormati Raja di Gambir (ayat
108-117) :

"Sejak pagi, sepanjang hari,


Untuk Raja Siam telah dilaksanakan ...
Ada banyak penasaran untuk melihat
Tetapi Raja, karena ia, tidak berhenti .. "

Sampe sore djam poekoel anam ,


Permaenan tida ada berdiam ;
Dari pagi sampe ampir malam ,
Sediakan Sri Maha Radja Siam .

Malamnja ada kembang apinja ,


Soeda sedia dengan prantinja ;
Salama ini tida sepinja ,
Radja berdjalan tida brentinja.

Kembang apinja di konkordia ,


Soeda lama di soeroe sedia ;
68

Di liat bagus dan moelia ,


Trang koeliling dan bertjahaja .

Poekoel sapoeloe bakar petasan ,


Moesiknja tida berpoetoesan ;
Berlari nonton renggos-renggossan ,
Napasnja ada seperti amboesan .

Di sitoe ada pestanja Djoega ,


Maka datang Sri Maha Radja ;
Koeliling tampat soldadoe djaga ,
Larang orang mendesek sadja .

Pestanja rame la dengan tandji ,


Tetapi tiadala sampe pagi ;
Petasan bagoes kembangnja lagi ,
Njang bikin bole djoega di poedji .

Njang bikin boekan orang Hollanda ,


Tetapi orang inggris djoega ;
Pengabisan pasang berkembang Gadja ,
Di bawa tertoelis slamat radja .

Serta di liat berkembang gadja ,


Dari krosi bangoen Sri Maha Radja ;
Toean besar njang di sitoe ada ,
Kasi tangannja berslamatan djoega.

69

Pada harinja njang ka anam ,


Dan paginja poekoel toedjoe djam ;
Brangkat pergi Maha Radja Siam ,
Di benteng lantas pasang mariam .

Pertama April betul ditanggal ,


Radja siam Brangkat kakapal ;
Toean besar di slamatkan tinggal ,
Biar slamatla sampe kapal.

Pada tanggal 1 April 1871 jam 11 siang Kapal Kerajaan Siam meninggalkan
pelabuhan Batavia untuk melakukan perjalanan berikutnya dengan tujuan
Kota Semarang .

Pada tanggal 2 April Rombongan Kapal laut itu sampai di pelabuhan


Semarang Jawa Tengah.. Pada malam hari tanggal 5 April Rombongan
Yang Mulia dijamu oleh Raden Adipati. seorang Pangeran dari Solo.

Toean besar balas slamat pergi ,


Slamatkan radja njang berboedi ;
Kawan-kawannja djoega lagi ,
Segala niatan biar mendjadi .

Brangkatla pergi ka Samarang ,


Di kasi taoe sekalian orang ;
Radja denqan kawan hatinja girang ,
Persediaannja tiada koerang .

70

Rame dan hormat sama adanja ,


Seperti datang dari moelanja ;
Tida sekali ada bedanja ,
Dari bermoela sampai soedanja .

Samoea dengan rame-ramean ,


Di hantarkan dengan perdamean ;
Djenral besar dan lain toean-toean ,
Hantarkan sampe di plaboean .

Ini ada barang njang patoet ,


Banjak toean-toean njang soeda toeroet ;
Serta radja sampe di laoet ,
Mariam berboenji saling saoet .

Radja berlaijar la hari sabtoe ,


Memang soeda di kasi tantoe ;
Komdan kapalnja la ilang satoe.,
Mati di sini seperti piatoe .

Bangsa Inggris itoe njang mati.


Tanam di koeboer di dalam peti ;
Tjapenja itoe soeda berhenti ,
Sanak di negri bersoesa hati .

Doea hari radja di laoet ,


Sampe di Samarang banjak njang samboet ,
Orang bingoeng hatinja riboet ,
71

Di Betawi banjak orang njang seboet.


Ada tjarita di Bintang Barat ,
Nomor doeapoeloe toedjoe ada tersoerat
Segala kabar di moeat sarat ,
Tetapi ini tiada berat.

Hari minggoe itoe sorenja ,


Doea april adala tanggalnja ;
Waktoe itoe ada sampenja ,
Datang disana dengan kapalnja .

Segala djoega kapal-kapal prang,


Mengasi hormat la dengan girang ;
Di Betawi dan di Semarang ,
Di trima tiada sembarang-barang .

Katrimaan itoe tida berbeda ,


Seperti djoega di Betawi ada ;
Tjuma toean besar di sitoe tida ,
Tapi prentanja di kirim soeda .

Orang-orang besar datang trima ,


Pada Maha radja Siam pertama ;
Dengan karamean bersama-sama ,
Anter di resident poenja roema .

Ka Samarang Radja soeda pergi ,


72

Maoe meliat karreta api ;


Brangkali maoe bikin di negri,
Sopaija ramenja lebi menjadi .

Rame permaenan sama djoega ,


Seperti di Betawi soedala ada ;
Di mana tampat ada njang djaga ,
Permaenan Tjap Gomeh itoe tiada .

Brenti disini ini tjerita ,


Segala kabar poenja berkata ;
Soeda di kasi dengan bernjata ,
Djangan sampe djadi berbanta .

Dengan boeroe soeda di karang ,


Biar di batja djoega sekarang ;
Kabar itoe mendjadi girang ,
Boeat semoea la orang-orang .

Maka di kata dengan memboeroe ,


Sebab tiada sa-orang soeroe ;
Ini adala kabar njang baroe ,
Djangan di bikin mengadoe biroe.

Tetapi kaloe ada njang sala ,


Toean dan njonja djanganla tjela ;
Djangan di ambil poesing kapala ,
Harap poen djoega di trimala .
73

Kabar ini njang bagoes amat ,


Maka di sampekan dengan hormat ;
Sekalian toean poenja slamat ,
Soeda habis di kata tamat.

Pada tanggal 2 April Rombongan Kapal laut itu sampai di pelabuhan


Semarang Jawa Tengah.. Pada malam hari tanggal 5 April Rombongan
Yang Mulia dijamu oleh Raden Adipati. seorang Pangeran dari Solo.
Kemudian tanggal 6 April meninggalkan pelabuhan Semarang dan kembali
ke Siam

Untuk memperingati kunjungannya itu, beberapa waktu kemudian Yang


Mulia Raja Chulalongkorn mengirimkan 2 buah patung gajah yang dibuat
dari perunggu, yang satu ke Singapura dan satunya lagi ke Batavia ( Nasinal
Moseum) atau yang sekarang di sebut Gedung Gajah .

Dalam kunjungan yang pertama ini dilakukan dengan formal sehingga tidak
bebas dan banyak sekali acara protokoler yang harus diikuti oleh Yang Mulia
Raja. Perjalanan dari Batavia menuju ke Semarang tidak melalui jalan darat
tetapi melalui laut, dan tidak singgah di Bandung .

74

Referensi
Kunto, Haryoto. 1980. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung:
Granesia
Patrajotti, Imtip. 1995. Journey to Java By a Siamese King. Thailand
Embassy

75

Anda mungkin juga menyukai