Anda di halaman 1dari 21

Daya Saing Indonesia dalam Menarik Investasi Asing 1

Tulus Tambunan
Pusat Studi Industri dan UKM, Universitas Trisakti
&
Kadin Indonesia
I. Pendahuluan
Sebenarnya pertanyaan apakah kehadiran investasi asing, khususnya investasi langsung, umum disebut
Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI) di suatu negara menguntungkan
negara tersebut, khususnya dalam hal pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak perlu dipertanyakan
lagi. Banyak bukti empiris seperti pengalaman-pengalaman di Korea Selatan, Malaysia, Thailand, China, dan
banyak lagi negara lainnya yang menunjukkan bahwa kehadiran PMA memberi banyak hal positif terhadap
perekonomian dari negara tuan rumah. Untuk kasus Indonesia, bukti paling nyata adalah semasa pemerintahan
Orde Baru. Tidak mungkin ekonomi Indonesia bisa bangkit kembali dari kehancuran yang dibuat oleh
pemerintahan Orde Lama dan bisa mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun selama periode
1980-an kalau tidak ada PMA. Tentu banyak faktor lain yang juga berperan sebagai sumber pendorong
pertumbuhan tersebut seperti bantuan atau utang luar negeri dan keseriusan pemerintah Orde Baru untuk
membangun ekonomi nasional saat itu yang tercerminkan oleh adanya Repelita dan stabilitas politik dan
sosial. Literatur teori juga memberi argumen yang kuat bahwa ada suatu korelasi positif antara FDI dan
pertumbuhan ekonomi di negara penerima.
Sekarang pertanyaannya, dalam era globalisasi ekonomi dunia dan persaingan yang semakin ketat tidak
hanya dalam perdagangan namun juga dalam investasi internasional saat ini, Indonesia masih menarik bagi
investasi asing? Atau apa daya tarik Indonesia relatif dibandingkan negara-negara lain untuk menarik
investasi asing?
Makalah ini bertujuan menjawab pertanyaan tersebut dengan memfokuskan pada PMA, bukan investasi
asing jangka pendek atau investasi portofolio, terdiri dari enam bab, termasuk Bab I pendahuluan. Bab II
membahas dasar pemikiran teori mengenai relasi positif antara kehadiran atau pertumbuhan PMA dan
pertumbuhan ekonomi dari perspektif teori. Bab III melihat kembali peran besar dari PMA terhadap
perekonomian Indonesia selama era Orde Baru. Bab IV membahas posisi Indonesia dalam penyerapan PMA
atau pentingnya Indonesia bagi PMA dilihat secara relatif dibandingkan dunia yang merefleksikan daya saing
Indonesia dalam menarik PMA dunia.. Bab V membahas beberapa faktor penghambat pertumbuhan PMA di
Indonesia sejak krisis ekonomi 1997/98. Bab VI membahas potensi dampak dari UU baru penanaman modal
no.25 tahun 2007 yang merupakan salah satu upaya konkrit dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing
Indonesia untuk meningkatkan arus masuk PMA.
1

Seminar Bank Indonesia, Rabu 19 Desember 2007.

II. Hubungan Positif antara PMA dan Pertumbuhan Ekonomi


Secara teori, PMA berpengaruh positif terhadap pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi pada
khususnya di negara tuan rumah lewat beberapa jalur (Gambar 1). Pertama, lewat pembangunan pabrik-pabrik
baru (PP) yang berarti juga penambahan output atau produk domestic bruto (PDB), total ekspor (X) dan
kesempatan kerja (KK). Ini adalah suatu dampak langsung. Pertumbuhan X berarti penambahan cadangan
devisa (CD) yang selanjutnya peningkatan kemampuan dari negara penerima untuk membayar utang luar
negeri (ULN) dan impor (M). Kedua, masih dari sisi suplai, namun sifatnya tidak langsung, adalah sebagai
berikut: adanya PP baru berarti ada penambahan permintaan di dalam negeri terhadap barang-barang modal,
barang-barang setengah jadi, bahan baku dan input-input lainnya. Jika permintaan antara ini sepenuhnya
dipenuhi oleh sektor-sektor lain (SSL) di dalam negeri (tidak ada yang diimpor), maka dengan sendirinya efek
positif dari keberadaan atau kegiatan produksi di pabrik-pabrik baru tersebut sepenuhnya dinikmati oleh
sektor-sektor domestik lainnya; jadi output di SSL tersebut mengalami pertumbuhan. Ini berarti telah terjadi
suatu efek penggandaan dari keberadaan PMA terhadap output agregat di negara penerima. Dalam kata lain,
semakin besar komponen M dari sebuah proyek PMA, atau semakin besar kebocoran dari keterkaitan
produksi antara PMA dengan ekonomi domestik, semakin kecil efek penggandaan tersebut.
Gambar 1: Efek Positif dari PMA terhadap Pertumbuhan Ekonomi lewat Beberapa Jalur

PP baru

PMA

Peralihan
teknologi

X
Output di
SSL

CD
ULN

Permintaan
pasar

M input

KK

PDB /
Pendapatan per kapita

Permintaan
pasar

Ketiga, peningkatan kesempatan kerja akibat adanya pabrik-pabrik baru tersebut berdampak positif
terhadap ekonomi domestik lewat sisi permintaan: peningkatan kesempatan kerja menambah kemampuan
belanja masyarakat dan selanjutnya meningkatkan permintaan di pasar dalam negeri. Sama seperti kasus

sebelumnya, jika penambahan permintaan konsumsi tersebut tidak serta merta menambah impor, maka efek
positifnya terhadap pertumbuhan output di sektor-sektor domestik sepenuhnya terserap. Sebaliknya, jika
ekstra permintaan konsumsi tersebut adalah dalam bentuk peningkatan impor, maka efenya nihil. Bahkan jika
pertumbuhan impor lebih pesat daripada pertumbuhan ekspor yang disebabkan oleh adanya PMA, maka
terjadi defisit neraca perdagangan. Ini berarti kehadiran PMA memberi lebih banyak dampak negatif daripada
dampak positif terhadap negara tuan rumah.
Keempat, peran PMA sebagai sumber penting peralihan teknologi dan knowledge lainnya. Peran ini bisa
lewat dua jalur utama. Pertama, lewat pekerja-pekerja lokal yang bekerja di perusahaan-perusahaan PMA.
Saat pekerja-pekerja tersebut pindah ke perusahaan-perusahaan domestik, maka mereka membawa
pengetahuan atau keahlian baru dari perusahaan PMA ke perusahaan domestik. Kedua, lewat keterkaitan
produksi atau subcontracting antara PMA dan perusahaan-perusahaan lokal, termasuk usaha kecil dan
menengah, seperti kasus PT Astra Internasional dengan banyak subkontraktor skala kecil dan menengah. 2

III. Peran Strategis PMA: Refleksi dari Pengalaman Orde Baru


Peran penting dari PMA sebagai salah satu sumber penggerak pembangunan ekonomi yang pesat selama
era Orde Baru tidak bisa disangkal. Selama periode tersebut, pertumbuhan arus masuk PMA ke Indonesia
memang sangat pesat, terutama pada periode 80-an dan bahkan mengalami akselerasi sejak tahun 1994
(Gambar 2). Juga, tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan investasi dan PMA pada khususnya di Indonesia
selama era Soeharto tersebut didorong oleh stabilitas politik dan sosial, kepastian hukum, dan kebijakan
ekonomi yang kondusif terhadap kegiatan bisnis di dalam negeri, yang semua ini sejak krisis ekonomi 1997
hingga saat ini sulit sekali tercapai sepenuhnya.
Gambar 2: Pertumbuhan Arus Masuk Net PMA ke Indonesia, 1984-2006 (sebagai % PDB)
4
3
2
1

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

1989

1988

1987

1986

1985

-1

1984

-2
-3
-4

Sumber: database dari ADB (Key Indicators of Developing Asian and Pacific Countries; beberapa tahun) dan BKPM, beberapa
tahun)
2

Selanjutnya, lihat misalnya Borensztein dan. Lee (1998), Carkovic dan Levine (2002), Aitken dan Harrison (1999), Alfaro dkk.
(2003), Balasubramanyam dkk. (1996, 1999).

Dilihat pada tingkat dunia, Indonesia juga termasuk negara penting tujuan PMA selama era pra-krisis
1997. Bahkan selama periode 1990-1997, yang dapat dikatakan sebagai masa saat perkembangan ekonomi
Orde Baru mencapai titil klimaksnya, peringkat Indonesia masuk dalam 20 besar negara-negara penerima
PMA yang diukur dalam nilai juta dollar AS. Posisi Indonesia dengan nilai arus masuk PMA-nya mencapai
hampir 23,7 miliar dollar AS, hanya lebih rendah dari Singapura dan Malaysia di dalam kelompok ASEAN
(Tabel 1). Namun, akibat krisis 1997 dan jatuhnya pemerintahan Soeharto yang sejak itu hingga saat ini
pemerintahan pasca krisis belum mampu sepenuhnya menciptakan iklim berusaha/berinvestasi yang kondusif,
Indonesia menjadi negara paling buruk di dalam kelompok ASEAN dalam hal perkembangan PMA (Tabel 2).
Tabel 1: Total Arus Masuk PMA menurut Negara, 1990-97 (juta dollar AS)
Peringkat
Negara
1
USA
2
China
3
UK
4
France
5
BLEU
6
Netherlands
7
Spain
8
Mexico
9
Canada
Australia
10
11
Singapore
12
Sweden
13
Brazil
14
Malaysia
15
Italy
16
Argentina
17
Indonesia
18
Germany
19
Switzerland
20
Chile
Sumber: database OECD

Nilai
414 074
200 578
176 889
149 587
84 008
70 743
68 068
58 850
53 818
52 212
49 173
47 546
44 228
35 177
30 394
30 120
23 684
21 475
20 188
19 085

Peringkat
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40

Negara
Denmark
Thailand
New Zealand
Poland
Colombia
Hungary
Norway
Hong Kong
Portugal
Russia
Venezuela
Chinese Taipei
Peru
Korea
Austria
Japan
Nigeria
India
Israel
Philippines

Nilai
18 177
17 177
17 083
15 882
15 798
14 945
14 412
14 239
12 909
12 774
11 890
11 443
11 215
10 534
10 438
10 310
10 093
9 957
8 398
8 379

Tabel 2: Perkembangan PMA di ASEAN (miliar dollar AS), 1991-2002


Negara

1991-1996
(rata-rata)
Indonesia
3,0
Malaysia
5,4
Philippines
1,2
Thailand
1,9
Singapore
6,9
Brunei
0,2
Cambodia
0,1
Laos
0,05
Myanmar
0,3
Vietnam
1,2
Source: database UNCTAD.

1998
-0,4
2,7
1,7
7,5
7,6
0,6
0,2
0,05
0,7
1,7

1999
-2,7
3,9
1,7
6,1
13,2
0,7
0,2
0,05
0,3
0,2

2000
-4,6
3,8
1,3
3,3
12,5
0,5
0,1
0,03
0,2
1,3

2001
-3,3
0,6
1,0
3,8
10,9
0,5
0,1
0,02
0,2
1,3

2002
-1,5
3,2
1,1
1,1
7,7
1,0
0,05
0,02
0,1
1,2

Salah satu dampak positif dari sangat nyata dari kehadiran PMA di Indonesia selama era Orde Baru adalah
pertumbuhan PDB yang pesat, yakni rata-rata per tahun antara 7% hingga 8% yang membuat Indonesia
termasuk negara di ASEAN dengan pertumbuhan yang tinggi (Gambar 3). Dengan tingkat pertumbuhan yang
tinggi tersebut, rata-rata pendapatan nasional per kapita di Indonesia naik pesat setiap tahun, yang pada tahun
1993 dalam dollar AS sudah melewati angka 800. Pada tahun 1968 pendapatan nasional Indonesia per kapita
masih sangat rendah, masih sedikit dibawah 60 dollar AS (Gambar 4). Tingkat ini jauh lebih rendah

dibandingkan pendapatan di negara-negara berkembang lainnya saat itu, seperti misalnya India, Sri Langka
dan Pakistan. Tetapi, akibat krisis, pendapatan nasional per kapita Indonesia menurun drastis ke 640 dollar
tahun 1998 dan 580 dollar AS tahun 1999. 3
Pesatnya arus masuk PMA ke Indonesia selama periode pra-krisis 1997 tersebut tidak lepas dari strategi
atau kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh Soeharto waktu itu yang terfokus pada industrialisasi
selain juga pada pembangunan sektor pertanian. Untuk pembangunan industri, pemerintah Orde Baru
menerapkan kebijakan substitusi impor dengan proteksi yang besar terhadap industri domestik. Dengan luas
pasar domestik yang sangat besar karena penduduk Indonesia yang sangat banyak, tentu kebijakan proteksi
tersebut merangsang kehadiran PMA. Dan memang PMA yang masuk ke Indonesia terpusat di sektor industri
manufaktur. Baru pada awal dekade 80-an, kebijakan substitusi impor dirubah secara bertahap ke kebijakan
promosi ekspor. 4
Gambar 3: Pertumbuhan PDB Indonesia, 1965-1996 (% y-o-y)
14
12
10
%

8
6
4
2

19
95

19
93

19
91

19
89

19
87

19
85

19
83

19
81

19
79

19
77

19
75

19
73

19
71

19
69

19
67

19
65

Sumber: BPS

Gambar 4: Pendapatan Nasional per kapita Indonesia dalam dollar AS: 1968-1999
1200
1088

1000
833,1

800

640

600
494

400
260,3

200
0

580

467,5

56,7

1968

126,3

1973

1978

1983

1988

1993

1997

1998

1999

Sumber: database IMF.

Oleh karena itu, perkembangan sektor industri manufaktur yang pesat yang mendorong terjadinya
perubahan ekonomi secara struktural dari sebuah ekonomi berbasis pertanian ke sebuah ekonomi berbasis
industri selama era Orde Baru tidak lepas dari peran PMA. Pada tahun 1988, misalnya, pangsa sektor industri
3

Untuk pembahasan lebih luas mengenai kinerja ekonomi pada masa Orde Baru, lihat Tambunan (2006).
Lihat Tambunan (2007) untuk pembahasan yang mendalam mengenai sejarah kebijakan pembangunan industri atau industrialisasi
di masa Orde Baru.

terhadap pembentukan PDB tercatat sekitar 37%, namun sejak 1997 telah melewati 40% (Gambar 5). PMA
juga sangat berperan dalam perkembangan ekspor non-migas, khususnya barang-barang manufaktur. Pada
awal dekade 80-an, sumbangan dari industri manufaktur terhadap total ekspor non-migas baru sekitar 20%,
namun menjelang krisis 1997, sahamnya naik menjadi 70% (Gambar 6).
Gambar 5: Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia
50
45
40
35
Industri

30

Pertanian
Jasa

25
20
15
10
5
0
1988

1990

1995

2001

2002

2003

2004

2005

2006

Sumber: database ADB.

Gambar 6: Pangsa dari Industri Manufaktur terhadap Total Ekspor Non-migas Indonesia,
1980-2004 (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1980 1985 1986 1990 1991 1995 1996 1997 2000 2001 2002 2003 2004

Sumber: BPS dan Departemen Perindustrian R.I.

Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah bahwa investasi memang sangat penting sebagai motor utama
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Walaupun pertumbuhan konsumsi rumah tangga
dan pengeluaran pemerintah juga penting, tetapi tanpa investasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang tidak
bisa tercapai. Namun demikian, harus diakui bahwa PMA, khususnya dari negara-negara maju, tetap lebih
penting daripada PMDN, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia karena tiga alasan utama.

Pertama, PMA membawa teknologi baru dan pengetahuan lainnya yang berguna bagi pembangunan di dalam
negeri. Kedua, pada umumnya PMA mempunyai jaringan kuat dengan lembaga-lembaga keuangan global,
sehingga tidak tergantung pada dana dari perbankan di Indonesia. Ketiga, bagi perusahaan-perusahaan aisng
di Indonesia yang berorientasi ekspor, biasanya mereka sudah memiliki jaringan pasar global yang kuat,
sehingga tidak ada kesulitan dalam ekspor.
IV. Perkembangan PMA Pasca Krisis: Daya Tarik Indonesia Merosot Terus?
Sejak krisis 1997 hingga sekarang pertumbuhan arus masuk PMA ke Indonesia masih relatif lambat jika
dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang juga terkena krisis yang sama seperti Thailand, Korea
Selatan dan Filipina. Bahkan hingga tahun 2001 arus masuk net PMA ke Indonesia negatif dalam jumlah
dollar yang tidak kecil, dan setelah itu kembali positif terkecuali tahun 2003 (Table 3). Arus masuk net negatif
itu disebabkan banyak PMA yang menarik diri atau pindah lokasi ke negara-negara tetangga.
Table 3: Arus Net PMA (Juta dollar AS)

Sumber: ADB (Key Indicators)

Bahkan Indonesia sampai sekarang tidak termasuk lokasi tujuan penting bagi MNCs (atau TNCs).
Laporan dari UNCTAD tahun 2006 menunjukkan bahwa dari Asia Tenggara dan Timur, hanya Singapura,
China (termasuk Hong Kong), Taiwan, Malaysia, Jepang dan Korea Selatan yang masuk di dalam daftar
tujuan penting bagi TNCs terbesar di dunia. Juga untuk TNCs terbesar dari kelompok negara-negara
berkembang, negara-negara Asia Tenggara dan Timur ini termasuk lokasi penting (Tabel 4). Lebih parah lagi,
menurut laporan yang sama, Indonesia termasuk negara dengan kinerja dan potensi PMA yang rendah (Tabel
5)
7

Tabel 4: Lokasi yang Paling Disukai oleh Top 100 TNC

Sumber: UNCTAD (2006)

Tabel 5: Matriks dari Kinerja dan Potensi Arus Masuk PMA, 2004*

Keterangan: * rata-rata tiga tahun untuk 2002-2004.


Sumber: UNCTAD (2006)

Masih dari laporan yang sama, Tabel 6 menyajikan peringkat Indonesia menurut indeks kinerja PMA
(IKPMA) dan indeks potensi arus masuk PMA (IPPMA). IKPMA adalah suatu ukuran mengenai besarnya
arus masuk PMA yang diterima oleh sebuah negara relatif terhadap besarnya ekonomi dari negara tersebut.
Indeks ini dihitung sebagai rasio dari pangsa dari sebuah negara di dalam total arus masuk PMA di dunia
terhadap pangsanya di dalam total PDB dunia. Sedangkan IPPMA didasarkan pada 12 variabel ekonomi dan
struktural yang diukur dengan skor relatif dari variabel-variabel tersebut pada suatu urutan angka antara 0
hingga 1. Indeks ini adalah rata-rata tidak tertimbang dari skor-skor tersebut dari berikut ini: PDB per kapita,
laju pertumbuhan PDB, pangsa ekspor di dalam PDB, infrastruktur telekomunikasi (jumlah sambungan
telepon rata-rata per 1000 penduduk dan jumlah HP per 1000 penduduk), pemakaian enerji komersial per
kapita, pangsa dari pengeluaran R&D di dalam pendapatan nasional bruto, pangsa dari dari mahasiswa tersier
di dalam jumlah populasi, resiko negara, ekspor dari SDA sebagai suatu persentase dari total dunia, impor dari
bagian-bagian dan komponen-komponen dari elektronik dan otomotif sebagai suatu persentase dari total
dunia, ekspor jasa sebagai suatu persentase dari total dunia, dan stok PMA masuk sebagai suatu persentase
dari total dunia.

Tabel 6: Peringkat Negara Menurut Indeks Kinerja dan Potensi Arus Masuk PMA, Kasus ASEAN*
Negara

1990

Brunei Darussalam
93
Indonesia
57
Malaysia
4
Filipina
28
Singapura
1
Thailand
17
Vietnam
45
Keterangan: * 141 negara
Sumber: UNCTAD (2006, 2007)

Indeks Kinerja Arus Masuk PMA


1995
2000
2004
2005

2006

18
60
6
43
2
72
40

51
95
62
102
5
52
78

7
138
53
85
5
46
39

2
136
62
107
6
60
55

2
106
64
109
6
49
58

Indeks Potensi Arus Masuk PMA


1990
1995
2000
2004
2005
29
44
38
83
15
40
78

31
65
33
70
3
44
88

35
76
31
61
2
53
83

50
103
35
71
2
59
80

50
100
35
74
2
62
80

V. Beberapa Kendala Investasi


Hasil survei tahunan terhadap perusahaan-perusahaan di 131 negara dari World Economic Forum (2007)
yang berpusat di Geneva (Swiss) untuk The Global Competitiveness Report 2007-2008 memperlihatkan
permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi pengusaha-pengusaha di Indonesia. Seperti yang dapat
dilihat di Gambar 7, infrastruktur yang buruk (dalam arti kuantitas terbatas dan kualitas buruk) tetap pada

peringkat pertama, dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien pada peringkat kedua. Jika dalam survei tahun
lalu keterbatasan akses keuangan tidak merupakan suatu problem serius, hasil survei tahun ini masalah itu
berada di peringkat ketiga.
Memang opini pribadi dari para pengusaha Indonesia yang masuk di dalam sampel survei mengenai
buruknya infrastruktur di dalam negeri selama ini sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia selalu berada di
peringkat rendah, bahkan terendah di dalam kelompok ASEAN. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 8,
Indonesia berada di posisi 102, satu poin lebih rendah daripada Filipina. Jika dalam survei WEF selama
beberapa tahun berturut-turut belakangan ini menempatkan Indonesia pada posisi sangat buruk untuk
infrastruktur, ini berarti memang kondisi infrastruktur di dalam negeri sangat memprihatinkan. Padahal, salah
satu penentu utama keberhasilan suatu negara untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi dan perdagangan
bebas saat ini dan di masa depan adalah jumlah dan kualitas infrastruktur yang mencukupi. Buruknya
infrastruktur dengan sendirinya meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya menurunkan daya saing
harga dengan konsukwensi ekspor menurun. Konsukwensi lainnya adalah menurunnya niat investor asing
(atau PMA) untuk membuka usaha di dalam negeri, dan ini pasti akan berdampak negatif terhadap produksi
dan ekspor di dalam negeri.
Gambar 7: Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di Indonesia, 2007-2008
Krim inal & pencurian

0.5

Etik kerja TK buruk

1.8

Pajak terlalu besar

Pem erintah yang tidak stabil

2.2

Regulasi uang asing

3.7

Korupsi

4.2

Inflasi

5.5

Keterbatasan tenaga kerja terdidik

5.6

Regulasi perpajakan tidak kondusif

Peraturan ketenaga kerjaan yang restriktif

8.5

Kebijakan tidak stabil

10.7

Akses terbatas untuk pendanaan

10.8

Birokrasi tidak efisien

16.1

Infrastruktur buruk

20.5
0

10

15

20

25

Sumber: (WEF, 2007)

Birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi bukan hanya Indonesia tetapi juga
banyak negara lain di Asia, termasuk di negara-negara yang terkena krisis ekonomi 1997/98, meskipun
reformasi dalam skala lumayan telah berlangsung di negara-negara tersebut. Sebagai suatu ilustrasi, dari
sejumlah negara yang diteliti oleh lembaga think-tank Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang

10

berbasis di Hongkong, Indonesia termasuk terburuk dan tak mengalami perbaikan yang berarti sejak 1999,
meskipun masih lebih baik dibanding Cina, Vietnam dan India. Pada tahun 2000, misalnya, Indonesia
memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk
terbaik dan 10 untuk terburuk. Tahun 1998, PERC juga menempatkan Indonesia sebagai negara nomor satu
paling korup di Asia. Sementara Transparency International (TI) tahun 1998 mendudukkan Indonesia di posisi
keenam negara paling korup sedunia, setelah tahun 1995 peringkat pertama (Kompas, Senin, 13 Maret 2000).
Masih menurut Kompas yang sama, skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini didasarkan pada pertimbangan
masih banyak pejabat tinggi pemerintah yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri
dan orang-orang dekat mereka. "Dalam kasus Indonesia, masalahnya adalah pada mahalnya persetujuan atau
lisensi. Banyak pejabat senior pemerintah terjun ke bisnis atau menggunakan posisi mereka untuk melindungi
dan mengangkat kepentingan bisnis pribadinya," demikian disebutkan oleh PERC yang dikutip dari Kompas
yang sama. 5
Gambar 8: Kualitas Infrastruktur
102

Indonesia

101

Filipina
90

Vietnam
83

Kambodia
28

Thailand
18

Malaysia
3

Singapura
1

Swiss
0

20

40

60

80

100

120

Sumber: (WEF, 2006, 2007)

VI. UU PM No.25, 2007: Akan Efektif kah?


UU PMA No.25, 2007 sudah keluar. Tetapi, pertanyaan sekarang adalah apakah dengan lahirnya UU PM
yang baru itu, segala persoalan sekitar kegiatan investasi di Indonesia sudah terpecahkan? Apakah UU PM
tersebut sudah sempurna dalam berarti tidak akan ada lagi permasalahan dalam perijinan penanaman modal di
Indonesia? Atau, apakah UU PM No.25, 2007 sudah menjamin bahwa pertumbuhan arus masuk PMA atau
volume investasi pada umumnya di Indonesia akan mengalami akselerasi?

Menurut laporan yang sama dari PERC, untuk Cina, India dan Vietnam, memperkaya diri sendiri tampaknya bukan menjadi motif
utama. Tindakan para pejabat tingginya yang sangat birokratif, lebih banyak didasarkan pada keinginan mempertahankan
kekuasaan, selain memang ada keinginan kuat para pejabat di semua level untuk menjaga kepentingan menteri-menteri atau
wilayah-wilayah tertentu yang mereka wakili."Sangat sedikit atau tidak ada insentif untuk bekerja sama dengan sektor swasta,"
demikian PERC. Dengan kondisi tersebut, India tetap negara dengan birokrasi terburuk, dengan skor 9,1. Negara Asia lain yang
skornya juga di bawah rata-rata adalah Vietnam dan Cina yang masing-masing 8,5, Malaysia 7,5, Filipina 6,5 dan Taiwan 6,33.

11

VI.1 Beberapa Pasal Penting


UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk soal pelayanan,
koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh
investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi
dari sisi pengusaha/investor. Dua diantara aspek-aspek tersebut yang selama ini merupakan dua masalah
serius yang dihadapi pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif terhadap kegiatan
penanaman modal di Indonesia jika dilaksanakan denga baik sesuai ketentuannya di UU PM tersebut adalah
sebagai berikut. Pertama, Bab I Pasal 1 No. 10 mengenai ketentuan umum: pelayanan terpadu satu pintu
adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau
pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan
yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang
dilakukan dalam satu tempat. Sistem pelayanan satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan
investor/pengusaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, dan cepat. Memang membangun
sistem pelayanan satu atap tidak mudah, karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik
antara lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman modal.
Dapat dipastikan apabila ketentuan ini benar-benar dilakukan, dengan asumsi faktor-faktor lain (seperti
kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang fleksibel, kebijakan ekonomi makro, termasuk rejim
perdagangan yang kondusif dan ketersediaan infrastruktur) mendukung, pertumbuhan investasi di dalam
negeri akan mengalami akselerasi. Bagi seorang pengusaha manca negara yang ingin berinvestasi di sebuah
wilayah di Indonesia, adanya pelayanan satu atap melegakan karena ia tidak perlu lagi menunggu dengan
waktu lama untuk memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan biaya
pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi akibat panjangnya jalur birokrasi
yang harus ditempuh untuk memperoleh izin usaha tersebut sebelum adanya pelayanan satu atap. Sebenarnya,
hal ini sudah diupayakan sebelumnya lewat Keppres No 29 tahun 2004 mengenai penyelenggaraan
penanaman modal, baik asing (PMA) maupun dalam neegri (PMDN) melalui sistem pelayanan satu atap
semasa era Presiden Megawati Soekarno Putri. Dalam kepres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan
penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas
penanaman modal dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan satu atap ini meliputi penanaman modal yang
dilakukan baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasakan kewenangan yang dilimpahkan
oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM. Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh
departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi
yang membina bidang usaha penanaman modal.
Kedua, Bab III Pasal 4 No.2b mengenai kebijakan dasar penanaman modal: menjamin kepastian hukum,
kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai
12

dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepastian hukum yang tidak ada di Indonesia sejak berlalunya era Orde Baru sering dikatakan sebagai salah
satu penghambat investasi, khusunya PMA, di dalam negeri. Hasil studi yang dilakukan oleh LPEM-FEUI
(2001) menunjukkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di
Indonesia selain persoalan birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta perubahan
peraturan pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul secara tiba-tiba, juga kondisi keamanan, sosial dan
politik di Indonesia.
Bahkan hasil survei tahunan dari World Economic Forum (2007) yang berpusat di Geneva (Swiss) untuk
The Global Competitiveness Report 2007-2008 menunjukkan bahwa dari 131 negara yang masuk dalam
sampel penelitiannya, Indonesia berada pada peringkat ke 93 untuk pertanyaan apakah pengusaha (responden)
bisa mengandalkan pelayanan dari polisi untuk melindungi usahanya dari kriminalitas (Tabel 7). Mungkin
ketidakstabilan politik di suatu negara tidak terlalu masalah bagi pengusaha tentu (selama tidak sampai
menimbulkan perang saudara), tetapi gangguan kriminalitas dan hukum yang tidak pasti yang melindungi
hak-hak dari pelaku bisnis dalam berbagai transaksi termasuk jual beli tanah dan sengketa bisnis tentu sangat
mengganggu atau menakutkan seorang calon investor untuk menanam modalnya di negara tersebut.
Tabel 7: Peringkat Indonesia mengenai Perlindungan Bisnis oleh Polisi versi WEF 2007
Peringkat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Negara
Finlandia
Denmark
Jerman
Singapura
Swiss
Islandia
Hong Kong SAR
Norwegia
Austria
Emirat Arab Serikat

93

Indonesia

131
Sumber: WEF (2007).

Venezuela

VI.2 Kendala Perijinan Investasi Selama ini


Dalam membahas atau mengidentifikasi kendala perijinan penanaman modal di Indonesia, ada tiga hal yang
perlu dipahami. Pertama, ijin investasi tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus
menjadi satu paket dengan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan
usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha. Di Tabel 8 dijabarkan sejumlah UU dan peraturan
menteri yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga menjadi suatu
perusahaan yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Jika UU yang tertera di Tabel 2 tersebut
berbenturan dengan UU PM No.25, 2007, sangat kecil harapan bahwa kehadiran UU PM yang baru ini akan
memberi hasil optimal.
13

Misalnya, kontradiksi selama ini antara upaya pemerintah meningkatkan investasi lewat salah satunya
mempermudah pengurusan izin penanaman modal dengan UU Migas No 22 tahun 2001 yang menyatakan
bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea Cukai
(Depkeu). Juga seorang pengusaha asing kemungkinan besar akan tetap membatalkan niatnya berinvestasi di
Indonesia walaupun proses pengurusan ijin investasi menjadi lebih lancar dan lebih murah setelah
dilaksanakannya UU PM No.25 2007 tersebut, jika UU mengenai kepabeanan dirasa tidak
menguntungkannya karena pengusaha tersebut akan banyak melakukan impor, atau pasar tenaga kerja di
Indonesia dirasa tidak fleksibel akibat berlakunya UU No.13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan.
Tabel 8: Beberapa UU/Peraturan yang Berpengaruh terhadap Efektivitas UU PM No.25, 2007
UU/Peraturan
Peraturan Mendaz 37/M-DAG/Per/9
Peraturan Mendag 36/M-DAG/Per/9
UU No.40
UU No. 39
UU No. 17
UU No. 2
UU No.13
UU No. 22

Tahun
2007
2007
2007
2007
2006
2005
2003
2001

Isu
Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan
Penerbitan SIUP
Perseroan Terbatas
Cukai
Kepabeanan
Penyelesaian hubungan industrial
Ketenaga kerjaan
Investasi di sektor migas

Di sektor perhotelan, misalnya, jumlah ijin yang diperlukan mencapai 37 buah, karena setiap bagian dari
hotel harus memiliki ijin khusus dari departemen terkait. Misalnya untuk membangun restoran di dalam hotel
perlu ijin dari Departemen Kesehatan karena menyangkut makanan yang sehat dan aman bagi konsumen,
sedangkan untuk membangun kolam bernang harus dapat ijin dari Departemen olah raga, dan untuk
pemakaian tenaga kerja harus dapat ijin dari Departemen Tenaga Kerja dan jelas harus mengikuti peraturan
yang tercantum di UU Ketenaga kerjaan yang berlaku, dan seterusnya. Dapat dibayangkan, jika izin penanam
modal sudah keluar, tetap seorang investor yang akan membangun sebuah hotel di Jakarta akan tetap skeptis
apabila beberapa atau semua dari izin-izin lainnya itu tidak jelas atau prosedurnya sangat bertele-tele.
Jadi masalah serius disini adalah koordinasi yang tidak baik antar lembaga pemerintah yang sebenarnya
sudah merupakan salah satu persoalan klasik di negeri ini. Dalam kasus perhotelan tersebut jelas diperlukan
suatu kerjasama yang baik antara BKPM, Departemen Ketenaga kerjaan, Departemen Kesehatan, Departemen
Olah Raga, Pemda, dan banyak lagi instansi pemerintah lainnya yang terlibat. Sering kali egoisme sektoral
atau departemen membuat suatu kebijakan ekonomi yang sebenarnya sangat baik dilihat dari isinya namun
akhirnya menjadi tidak efektif karena adanya benturan dengan kebijakan-kebijakan lainnya. Kondisi seperti
ini sering kali membuat para calon investor kebingungan yang pada akhirnya membatalkan niat mereka
menanam modal di Indonesia
Masalah koordinasi ini terasa semakin parah sejak pelaksanaan otonomi daerah. Banyak peraturan
pemerintah atau keputusan presiden tidak bisa berjalan efektif karena adanya tarik-menarik kepentingan

14

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang semuanya merasa paling berkepentingan atas penanaman
modal di daerah.Dalam kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi, kabupaten dan
kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun, sejak pelaksanaan otonomi daerah,
pemerintah pusat terpaksa mengeluarkan kepres khusus mengenai penanaman modal karena banyaknya
kendala yang dihadapi oleh para investor yang ingin membuka usaha di daerah, khususnya yang berkaitan
dengan proses pengurusan izin usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit
sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar.
Persoalan ini muncul atau tidak adanya koordinasi yang baik antara pusat dan daerah tersebut jelas disebabkan
tidak adanya penjelasan lebih lanjut secara teknis, termasuk di dalam isi pasal 11 UU No 22 tentang
Pemerintahan Daerah, termasuk soal pelaksanaannya penanaman modal daerah yang berakibat tidak
efisiennya pengurusan perizinan usaha. Karena tanpa suatu panduan yang jelas, pemerintah daerah
menafsirkan berbeda dengan pemerintah pusat mengenai wewenang dalam pengurusan penanaman modal di
daerah.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha dilakukan oleh BKPM (pemerintah pusat)
dan BKPMD (pemerintah daearah). Namun setelah berlakunya otonomi daearah, terjadi ketidakjelasan
mengenai pengurusan izin usaha/investasi dan bukan hanya itu saja, juga terdapat tarik menarik antara
kegiatan BKPMD dengan BKPM serta instansi-instansi pemerintah daerah lainnya yang menangani kegiatan
investasi. Sejak penerapan otonomi daerah hingga sekarang ini banyak pemberitaan di media masa yang
menunjukkan bahwa di sejumlah daerah kewenangan penanaman modal digabung dalam dinas perindustrian
dan perdagangan, atau bagian perekonomian. Ada beberapa daerah yang membentuk suatu dinas khusus untuk
mengurus penanaman modal. Bahkan banyak kabupaten/kota yang sangat serius dalam menciptakan iklim
berinvestasi yang kondusif dengan membentuk kantor pelayanan satu atap. Misalnya, di Jepara dan
Yaogyakarta, menurut Majalah Swasembada (2004), dengan sistem satu atap ini surat perizinan usaha dapat
diperoleh dalam waktu rata-rata 5 hari hingga satu minggu. Demikian halnya dengan Pemda Kotamadwa
Yogyakarta. Tetapi sayangnya masih lebih banyak daerah yang belum mampu merumuskan kebijakan atau
regulasi sendiri, sehingga masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat dalam hal penanaman modal.
Hasil survei dari LPEM-FEUI (2001) menunjukkan bahwa menurut responden Pemda,

lama waktu

pengurusan izin usaha baru apabila semua persyaratan dipenuhi dapat dikeluarkan paling lama dalam 3 bulan.
Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, waktu yang diperlukan untuk mengurus ijin usaha baru adalah antara 13 bulan (44%) dan antara 3-6 bulan (21.5%).
Kedua, selain harus sejalan dengan atau didukung oleh UU lainnya yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi kelancaran penanaman modal di dalam negeri, UU PM yang baru ini juga harus
memberikan solusi paling efektif terhadap permasalahan-permasalahan lainnya yang juga sangat berpengaruh
terhadap kegiatan investasi, diantaranya adalah persoalan pembebasan tanah. Banyak kasus dalam beberapa
15

tahun belakangan ini menunjukkan kegiatan investasi terhambat atau bahkan dibatalkan karena belum
tuntasnya pembebasan tanah. Ini berarti, masalah pembebasan tanah harus masuk di dalam paket perijinan
investasi seperti yang dimaksud di atas. Sekali lagi, UU PM No.25 tahun 2007 tersebut tidak akan efektif
meningkatkan investasi di Indonesia apabila persoalan pembebasan tanah semakin ruwet, semakin mahal dan
semakin besar resiko keselamatan jiwa dan usaha bagi calon investor. Yang dimaksud keselamatan jiwa dan
usaha disini adalah karena sering kali terjadi penipuan dalam transakti pembelian tanah, yang beberapa tahun
setelah tanah dibeli dan pabrik dibangun di atas tanah tersebut, tiba-tiba muncul sekelompok masyarakat
menduduki pabrik tersebut dengan cara paksa dengan alasan mereka sebenarnya alih waris dari tanah itu dan
tidak mendapatkan sesenpun uang dari pembelian tersebut.
Ketiga, adalah birokrasi yang tercerminkan oleh antara lain prosedur administrasi dalam mengurus
investasi (seperti perizinan, peraturan atau persyaratan, dan lainnya) yang berbelit-belit dan langkah-langkah
prosedurnya yang tidak jelas. Ini juga merupakan masalah klasik yang membuat investor enggan melakukan
investasi di Indonesia. Di Gambar 7, hasil survei WEF menunjukkan birokrasi yang tidak efisien merupakan
masalah utama kedua yang dihadapi pengusaha di Indonesia. Masalah ini bukan hanya membuat banyak
waktu yang terbuang tetapi juga besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha atau calon investor.
Memang masalah ini tidak hanya dihadapi oleh pengusaha di Indonesia tetapi juga dibanyak negara lainnya.
Diantara negara-negara ASEAN, hasil survei WEF tersebut menunjukkan Indonesia berada pada posisi ke 3
setelah Singapura dengan birokrasinya yang paling efisien atau biaya birokrasi paling murah (tidak hanya di
ASEAN tetapi juga dunia menurut versi WEF) dan Malaysia (Gambar 9). Untuk mengukur ini, digunakan
skor antara 1 (biaya paling besar) dan 7 (tidak ada biaya sama sekali).
Seperti telah dikatakan sebelumnya, UUP PM yang baru ini bisa berfungsi sebagai motor akselerasi
terhadap pertumbuhan investasi di Indonesia sesuai harapan hanya jika UU atau peraturan lainnya yang
berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan investasi atau usaha disederhanakan atau
mendukung UU PM tersebut. Dalam kata lain, tidak akan ada gunanya jika birokrasi dalam pengurusan izin
investasi disederhanakan namun prosedur adminstrasi untuk mendapatkan izin-izin lainnya untuk membuka
suatu usaha baru tidak turut disederhanakan.
Hasil survei dari WEF (2007) menunjukkan bahwa Australia, Kanada dan Selandia Baru berada di
peringkat teratas alias terbagus dari 124 negara dalam jumlah prosedur yang harus dialami oleh seseorang
dalam membuka suatu usaha baru. Sedangkan Indonesia berada di posisi ke 95 bersama-sama dengan Bosnia
dan Herzegovina, Cameroon, Korea Selatan, Syria dan UAE. Sedangkan dalam hal waktu yang diperlukan
untuk mengurus semua itu, juga Australia pada posisi terbaik, disusul oleh Kanada, Denmark, Islandia, AS,
dan Singapura di peringkat ke 6. Jadi Singapura satu-satunya bukan hanya dari ASEAN tetapi juga dari Asia
dan kelompok negara-negara berkembang yang masuk di dalam 10 besar negara-negara terbaik dalam
masalah ini. Sementara itu, posisi Indonesia di 119, paling rendah di dalam kelompok ASEAN. Selama posisi
16

Indonesia ini tidak membaik dalam tahun-tahun ke depan, kecil harapan bahwa pengaruh dari UU PM yang
baru ini akan optimal.
Seperti juga telah dijelaskan sebelumnya, bagi seorang investor yang akan banyak melakukan ekspor atau
impor (perdagangan internacional), prosedur bea cukai yang berlaku di Indonesia juga sangat mempengaruhi
niatnya untuk memilih negara ini sebagai tempat usahanya. Hasil survei dari WEF (2007) kembali
menunjukkan buruknya posisi Indonesia untuk masalah ini (Tabel 9). Sekali lagi, keberadaan UU PM No.25
2007 akan kurang berarti atau bahkan sama sekali tidak menimbulkan efek akselerasi terhadap pertumbuhan
investasi, khususnya PMA, di Indonesia, jika hal-hal lain seperti prosedur bea cukai tidak disederhanakan.
Karena, penanaman modal hanyalah proses awal dari berdirinya suatu usaha yang tujuannya adalah untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan biaya dan resiko sedikit mungkin. Jika seorang
pengusaha asing memperhitungkan bahwa keruwetan prosedur bea cukai di Indonesia akan mengurangi
profitnya dibandingkan jika ia berinvestasi di Malaysia atau China, dengan asumsi bahwa kondisi lainnya
sama, maka ia akan memilih membuka usahnya di Malaysia atau China.
Gambar 9: Skor Indonesia di dalam kelompok ASEAN dalam Biaya dari peraturan pemerintah versi
WEF 2007
2.5

Filipina
Vietnam

2.6
3.1

Kambodia

3.8

Thailand

3.9

Indonesia

4.6

Malaysia

5.3

Singapura
0

Tabel 9: Peringkat Indonesia mengenai Prosedure Bea Cukai versi WEF 2007
Peringkat

Negara

Skor

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Singapura
Hong Kong SAR
Sweden
Korea Selatan
Denmark
Finlandia
UAE
Selandia Baru
Austria
Cili

6,4
6,1
6,1
5,9
5,8
5,7
5,6
5,5
5,5
5,5

101

Indonesia

3,0

17

131

Chad

2,0

Sumber: WEF (2007).

VI.3 Upaya Perbaikan


Seperti yang telah dibahas di atas bahwa investasi adalah langkah awal dari sebuah usaha yang diharapkan
akan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Tanpa keuntungan tidak ada gunanya membuka sebuah
usaha. Jadi tujuan utama bukan melakukan investasi tetapi membuat suatu usaha yang menguntungkan. Oleh
karena itu, tidak akan ada gunanya UU PM No.25 2007 bagi seorang investor jika pada akhirnya usahanya
merugi terus bahkan hingga bangkrut hanya karena banyaknya rintangan yang diciptakan oleh peraturanperaturan lainnya yang sama sekali tidak terkait dengan izin penanaman modal namun mempengaruhi
kelancaran suatu usaha. Sama seperti membangun rumah. Tujuannya bukan membangun rumah itu sendiri
tetapi mendapatkan suatu rumah yang menguntungkan dalam arti misalnya memberi kenyamanan, ketenangan
dan keamanan. Ini artinya, walaupun mendapatkan izin membangun rumah tidak sulit, tetapi sulitnya
mendapat izin menyambung hubungan telepon dan listrik bisa akhirnya membatalkan niat membangun rumah.
Seperti yang diilustrasikan di Gambar 10, Faktor-faktor utama yang mempengaruhi langsung kegiatan
suatu bisnis, atau yang menentukan untung ruginya suatu bisnis. Ini adalah lingkungan langsung dari suatu
bisnis. Sedangkan stabilitas ekonomi, politik dan sosial adalah termasuk faktor-faktor dari lingkungan lebih
luas atau tidak langsung. Faktor-faktor dari lingkungan langsung termasuk investasi, pasar input (tenaga kerja,
bahan baku, modal, enerji, dan input lainnya seperti pupuk dan bibit untuk pertanian), dan pasar output.
Semua faktor-faktor tersebut di Indonesia diatur dengan berbagai peraturan, keputusan Presiden (Kepres) atau
UU, seperti investasi sekarang diatur oleh UU PM No.25 2007. Kinerja dan kondisi pasar output maupun
input dipengaruhi atau diatur oleh berbagai UU, seperti pasar tenaga kerja oleh UU No.13 2003 mengenai
ketenaga kerjaan. Pasar output dan input juga termasuk pasar di luar negeri, oleh karena itu peraturan
pemerintah mengenai perdagangan luar negeri seperti penerapan pajak atau ketentuan ekspor dan bea masuk
serta pembatasan atau pembebasan impor juga sangat berpengaruh pada faktor pasar output dan input yang
selanjutnya mempengaruhi keuntungan dari perusahaan-perusahaan yang terlibat, dan pada ujungnya akan
mempengaruhi penilaian untung ruginya suatu investasi.
Pembahasan di atas bukan mau mengatakan bahwa UU PM yang baru ini perlu ditambah dengan pasalpasal yang mengatur faktor-faktor linkungan langsung tersebut di atas. Lagi pula, UU tersebut sudah disetujui
dan berlaku. Satu hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengkaji ulang semua peraturan, Kepres,

18

atau UU yang berlaku yang mengatur faktor-faktor tersebut (terkecuali investasi karena sudah diatur sendiri
dengan UU PM No.25 2007) untuk melihat apakah semua peraturan, Kepres atau UU tersebut konsisten
dengan UU PM yang baru tersebut. Yang tidak konsisten atau tidak mendukung tujuan dari UU PM No.25
tersebut harus segera dirubah/direvisi. Ini yang dimaksud dengan kebijakan investasi dalam satu paket. Sama
seperti armada angkatan laut Amerika Serikat yang biasanya terdiri dari satu kapal induk didampingi oleh
puluhan kapal, termasuk kapal perang, kapal pengangkut bahan bakar dan kapal selam. Jadi, UU PM No.25
2007 adalah kapal induknya, sedangkan peraturan, Kepres dan UU lainnya adalah kapal-kapal pendukung.
Hal kedua yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah masalah koordinasi. Dalam hal ini pemerintah
harus tegas bahwa koordinasi nasional mengenai penanama modal di Indonesia adalah BKPM, walaupun
sekarang ini dalam era otonomi daerah, pemda punya hak mengaturnya di lapangan, seperti yang tercantum
dalam Pasal 1 No. 11, Bab I (Ketentuan Umum) dari UU PM No.25 2007 sbb.: Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat
perlu mengingat bahwa buruknya koordinasi antar departemen sudah merupakan salah satu masalah klasik di
republik ini, dan jangan dibiarkan koordinasi ini menjadi lebih buruk akibat otonomi daerah.
Gambar 10: Faktor-faktor Utama di dalam Lingkungan Langsung dari Suatu Bisnis
Ekspor & impor

Lokasi

Pasar output

Sektor

Bisnis

Transportasi &
Komunikasi

Investasi

Keamanan

Infrastruktur
Pasar input

Tenaga Kerja

Perbankan

Modal

Ekspor & Impor

Enerji

Input lainnya

Pasar Modal

19

Ketiga, ada baiknya pemerintah pusat membantu sungguh-sungguh upaya pemerintah daerah dalam
menyederhanakan proses perizinan penanaman modal di daerah. Walaupun ada sejumlah daerah seperti
Jepara dan Yogyakarta telah berhasil membuat pelayanan satu atap, namun masih lebih banyak lagi daerah
yang bahkan sama sekali tidak tahu bagaimana memulai pembangunan satu atap. Juga di daerah-daerah yang
sama sekali tidak ada kesamaan visi dari lembaga-lembaga pemerintah, ditambah lagi tidak ada keseriusan
dari Bupati, sangat sulit diharapkan daerah-daerah tersebut bisa membangun pelayanan satu atap. Di sini
peran pemerintah pusat sangat diharapkan.
Terakhir, adanya UU PM No.25 2007 harus diakui merupakan suatu kemajuan besar dalam upaya
selama ini menyederhanakan proses perizinan penanaman modal untuk meningkatkan investasi di dalam
negeri. Namun, hasilnya sangat tergantung pada bagaimana implementasinya di lapangan. Oleh karena itu,
implementasiya harus dimonitor secara ketat, khususnya di daerah. Karena, lagi-lagi, masalah klasik lainnya
di republik ini adalah Indonesia termasuk jempolan dalam membuat konsep atau memformulasikan suatu UU.
Tetapi, hanya sedikit dari UU yang ada hingga saat ini di bidang ekonomi yang dilaksanakan secara sungguhsungguh. Persoalannya juga klasik: (1) ada orang-orang pemerintah, di pusat maupun di daerah, khususnya di
bidang-bidang yang basah, merasa dirugikan dengan suatu UU, sehingga mereka akan dengan segala cara
menghalangi pelaksanaan UU tersebut; dan (2) akibat gaji yang rendah, banyak pegawai negeri yang
ditugaskan melaksanakan UU tersebut di lapangan bisa dengan mudah di sogok oleh pihak yang merasa
dirugikan oleh UU tersebut, sehingga akhirnya UU tersebut tidak berlaku efektif di lapangan.

Daftar Pustaka

Aitken, Brian dan Ann Harrison (1999), Do Domestic Firms Benefit from Foreign Direct Investmenr?
Evidence from Venezuela, American Economic Review, 89 (3): 605-18
Alfaro, Laura, Chanda Areendam, Sebnem Kalemli-Ozcan, dan Sayek Selin (2003), FDI and Economic
Growth: The Role of Local Financial Markets, Journal of International Economics, 61(1): 512-33
Balasubramanyam, V.N., Mohammed Salisu dan David Sapsford (1996), Foreign Direct Investment and
Growth in EP and IS Countries, Economic Journal, 106(434): 92-105.
Balasubramanyam, V.N., Mohammed Salisu dan David Sapsford (1999), Foreign Direct Investment as an
Engine of Growth, Journal of International Trade and Economic Development, 8(1): 27-40.
Borensztein, E., J. De Gregorio, dan J-W. Lee. (1998), How Does Foreign Direct Investment Affect
Economic Growth? Journal of International Economics, 45: 115-35.
Carkovic, M. dan R. Levine (2002), Does Foreign Direct Investment Accelerate Economic Growth?
University of Minnesota, Working Paper.
LPEM-FEUI (2001), Construction of Regional Index of Doing Business, Laporan Akhir, Jakarta.
Swasembada (2004), Apa Siapa Macan-macan Bisnis Daerah, Edisi Khusus, No 8/XX/15-28 April.
Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan (2006), Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis.
Jakarta: Pustaka Quantum.

20

Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan (2007), Pembangunan Industri Nasional sejak Era Orde Baru Hingga
Pasca Krisis, Jakarta: Trisakti Press (akan terbit).
UNCTAD (2006), World Investment Report 2006, New York dan Geneva: United Nations Conference on
Trade and Investment
UNCTAD (2006), World Investment Report 2006, New York dan Geneva: United Nations Conference on
Trade and Investment
WEF (2005), The Global Competitiveness Report 2005-2006, Geneva: World Economic Forum
WEF (2006), The Global Competitiveness Report 2006-2007, Geneva: World Economic Forum
WEF (2007), The Global Competitiveness Report 2007-2008, Geneva: World Economic Forum.

21

Anda mungkin juga menyukai