Kata Pengantar
Penyusunan Panduan Klinis Nasional Pengelolaan Karsinoma Kolorektal ini
diprakarsai oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia
(IKABDI). Sejak dimulainya penyusunan ini pada pertengahan tahun 2003,
Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) sudah diikutsertakan. Dengan
demikian, maka kelompok yang menyusun Panduan ini selengkapnya terdiri
atas para dokter spesialis dalam berbagai bidang yang melakukan
pengelolaan kanker kolorektal sesuai bidang masing-masing.
Tujuan utama Panduan ini adalah sebagai acuan kerja yang dianjurkan untuk
diikuti oleh semua pihak yang menerima pasien dengan dugaan kanker
kolorektal, tidak terkecuali para dokter umum. Salah satu tujuan lain yang
ingin dicapai adalah agar secepat mungkin para pasien dengan kanker
kolorektal dapat dilakukan tindakan definitif. Dengan demikian maka
keterlambatan yang disebabkan oleh para dokter dapat dipersingkat
waktunya. Tujuan lain adalah agar pengelolaan karsinoma kolorektal pada
semua tahap menjadi lebih profesional sesuai dengan bukti yang dapat
ditemukan dalam kepustakaan tahun 2004.
Panduan ini akan ditinjau ulang secara berkala sejalan dengan kemajuan ilmu
dan teknologi dalam pengelolaan karsinoma kolorektal. Dari para pengguna
Panduan ini juga diharapkan untuk turut memberikan anjuran yang berguna
untuk perbaikan Panduan ini.
Kelompok Penyusun
November 2004
Ketua:
Wakil:
Sekretaris:
Komisi Diagnostik
Anggota
Anggota
Anggota:
Anggota:
Daftar Isi
1. Pendahuluan................................................................................................3
1.1. Latar Belakang........................................................................................3
1.2. Tujuan......................................................................................................3
1.3. Sasaran pengguna..................................................................................3
1.4. Pernyataan kebijakan..............................................................................3
1.5. Peninjauan ulang dan pembaruan..........................................................3
1.6. Tingkatan Bukti dan Gradasi Rekomendasi............................................3
1.6.1. Tingkatan Bukti....................................................................................................... 3
1.6.2. Gradasi Rekomendasi............................................................................................ 3
3.2. Diagnosis.................................................................................................3
3.2.1. Kriteria diagnosis.................................................................................................... 3
4. Terapi.............................................................................................................3
4.1. Latar Belakang........................................................................................3
4.2. Pembagian Stadium dan Histopatologi...................................................3
4.2.1. Pembagian Stadium............................................................................................... 3
4.2.2. Derajat histopatologi............................................................................................... 3
4.3. Terapi.......................................................................................................3
4.3.1. Pembedahan.......................................................................................................... 3
4.3.2. Terapi ajuvan.......................................................................................................... 3
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Karsinoma kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak di dunia dan
penyebab kematian kedua terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika
Serikat.1 Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus
tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden karsinoma kolorektal.
Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi data-data di Departemen Kesehatan
mendapatkan 1,8 per 100.000 penduduk. 2
Meskipun perkembangan pengobatan adjuvan akhir-akhir ini berkembang
secara cepat dan sangat maju, akan tetapi hanya sedikit saja meningkatkan
survival pasien karsinoma kolorektal dalam stadium lanjut.
Kunci utama keberhasilan penanganan karsinoma kolorektal adalah
ditemukannya karsinoma dalam stadium dini, sehingga terapi dapat
dilaksanakan secara bedah kuratif. Namun sayang sebagian besar penderita
di Indonesia datang dalam stadium lanjut sehingga angka survival rendah,
terlepas dari terapi yang diberikan. Penderita datang ke rumah sakit sering
dalam stadium lanjut karena tidak jelasnya gejala awal dan tidak menganggap
penting gejala dini yang terjadi.
Terapi bedah paling efektif bila dilakukan pada penyakit yang masih
terlokalisir. Bila sudah terjadi metastasis, prognosis menjadi buruk, karena
pilihan terapi mungkin hanya paliatif saja. Berkembangnya kemoterapi dan
radioterapi pada saat ini memungkinkan kesempatan untuk terapi adjuvan
untuk penderita stadium lanjut atau pada kejadian kekambuhan.
Skrining karsinoma kolorektal memegang peranan yang sangat penting.
Pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bahwa skrining yang
adekuat terbukti menurunkan angka kematian akibat dari karsinoma
kolorektal, karena dengan program skrining yang baik akan lebih banyak
ditemukan kasus dini sehingga terapi dapat secara kuratif.
Karsinoma kolorektal memerlukan penanganan multimodalitas dan belum
terdapat keseragaman secara nasional dalam pendekatan terapinya. Selain
terdapat kesenjangan dalam hal fasilitas skrining dan terapi dari berbagai
daerah di Indonesia, juga belum adanya panduan terapi karsinoma kolorektal
yang aplikatif untuk keadaan di Indonesia.
1.2. Tujuan
Berdasarkan kenyataan diatas, Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal
Indonesia membuat Panduan Nasional Pengelolaan Adenokarsinoma
Kolorektal dengan tujuan:
- mendukung usaha-usaha menurunkan insidensi karsinoma kolorektal
pada masyarakat umum dan pada kelompok risiko tinggi,
- mendukung usaha diagnosis dini pada masyarakat umum dan pada
kelompok risiko tinggi,
- meningkatkan usaha rujukan, pencatatan dan pelaporan yang
konsisten,
- meningkatkan seluruh aspek pengelolaan karsinoma kolorektal
sehingga dapat meningkatkan angka survival keseluruhan, angka
survival bebas penyakit dan peningkatan kualitas hidup.
2+
23
4
B
C
D
E
2.2.2. Alkohol
Hubungan KKR dengan konsumsi alkohol tidak jelas. Meskipun kebanyakan
hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara konsumsi alkohol
dengan kejadian KKR, namun proporsi cukup besar penelitian tidak
menunjukkan hubungan. Meta-analisis terakhir menujukkan heterogenitas
hasil yang bermakna antara penelitian kohort dan kasus-kelola pada kejadian
karsinoma kolon, sementara untuk karsinoma rektum terdapat heterogenitas
yang bermakna antara kualitas metodologi dan jenis kelamin. Atas dasar hal
tersebut rekomendasi menghentikan minum alkohol untuk mencegah kejadian
KKR belum bisa diberikan.8
2.2.3. Kalsium
Cukup banyak (meskipun tidak semua) penelitian epidemiologik menunjukkan
hubungan yang negatif antara jumlah asupan kalsium dengan risiko kejadian
KKR. Uji acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian kalsium menekan
kekambuhan adenoma secara bermakna. Dosis yang dipakai dalam
penelitian antara 1250-2000mg.3
Rekomendasi Tingkat A
Pasca polipektomi adenoma disarankan pemberian suplementasi kalsium
2.2.4. Vitamin
Penelitian kohort prospektif pada lebih dari 35 wanita, menunjukkan bahwa
terdapat hubungan terbalik antara risiko karsinoma kolon dengan
suplementasi vitamin E. Penelitian kasus-kontrol menunjukkan juga hubungan
terbalik antara suplementasi vitamin D dengan kejadian karsinoma kolon.
Demikian juga suplementasi asam folat 400mg/hari juga berperan dalam
menurunkan kejadian KKR.3
Rekomendasi Tingkat C
Disarankan suplementasi vitamin E, vitamin D serta asam folat dalam
upaya menekan kejadian KKR
2.2.8. NSAID
NSAIDs akan menghambat produksi prostaglandin, melalui hambatan pada
COX. COX akan merangsang angiogenesis pada KKR. Beberapa penelitian
kohort dan kasus-kontrol dengan disain baik menunjukkan bahwa golongan
NSAID yaitu piroksikam, sulindak dan aspirin dapat mencegah terbentuknya
adenoma atau menyebabkan regresi polip adenoma pada FAP.3
Rekomendasi Tingkat C
Pada pasien FAP bisa diberikan NSAID yaitu piroksikam, sulindak atau
aspirin untuk mencegah terbentuknya adenoma dan menekan
kekambuhan
2.2.9. Merokok
Meskipun penelitian awal tidak menunjukkan hubungan merokok dengan
kejadian KKR, tetapi penelitian terbaru perokok jangka lama (periode induksi
30-40 tahun) mempunyai risiko relatif berkisar 1,5-3 kali. Diestimasikan
bahwa satu dari lima KKR di Amerika bisa diatributkan kepada merokok
[SIGN 2003]. Penelitian kohort dan kasus-kontrol dengan disain yang baik
menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan kenaikan risiko
terbentuknya adenoma dan juga kenaikan risiko perubahan adenoma menjadi
KKR. 3
Rekomendasi Tingkat C
Untuk mencegah kejadian KKR dianjurkan tidak merokok
2.2.11. Kolonoskopi
Penelitian kohort dan kasus-kontrol dengan disain baik menunjukkan bahwa
kolonoskopi dan pengangkatan polip adenomatosa dapat mengurangi risiko
kejadian KKR.3
Rekomendasi Tingkat C
Kolonoskopi dan polipektomi pada pasien yang ditemukan adanya polip
Rekomendasi Tingkat D
Disarankan untuk skrining dengan test darah samar sejak usia 40 tahun.
10
3.1.1. Indikasi
Secara umum deteksi dini dilakukan pada dua kelompok yaitu populasi umum
dan kelompok risiko tinggi.
Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia di atas
40 tahun.
Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki
risiko tinggi menderita KKR yaitu :
o
Penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn > 10
tahun,9,10
o
Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma
kolorektal,11,12,13
o
Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita KKR.
Individu dengan riwayat keluarga memiliki risiko menderita KKR 5 kali lebih
tinggi dari pada individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat
penyakit tersebut.14,15 Terdapat dua kelompok pada individu dengan keluarga
penderita KKR, yaitu:
o individu yang memiliki riwayat keluarga dengan Hereditary NonPolyposis Colorectal Cancer (HNPCC),
o individu yang didiagnosis secara klinis menderita Familial
Adenomatous Polyposis (FAP)
Pada kelompok HNPCC terdapat tiga tingkat risiko terhadap kemungkinan
seseorang individu menderita KKR dan kriteria untuk masing-masing risiko
dapat dilihat pada tabel dibawah ini
11
Kriteria tingkat risiko pada individu dengan riwayat keluarga penderita KKR.
(Kriteria Amsterdam)16
Tingkat Risiko
Tinggi
Kriteria
Sedang
Rendah
Rekomendasi Tingkat C
Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia di
atas 40 tahun.
Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki
risiko tinggi menderita KKR yaitu :
o penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn > 10
tahun,
o penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma
kolorektal,
o individu dengan adanya riwayat keluarga penderita KKR
12
3.1.2. Metoda
3.1.2.1. Deteksi dini pada populasi
a. test darah tersamar pada feses (Fecal Occult Blood Test = FOBT)
setiap tahun
13
Skrining
Tinggi
Sedang
Rendah
Usia skrining
Usia 30 70 tahun
Untuk Ca Gaster
antara usia 50 70
tahun.
Tidak diperlukan
Rekomendasi tingkat A
Deteksi dini pada populasi umum dilakukan dengan cara test darah samar
Rekomendasi tingkat E
Deteksi dini pada populasi umum dapat dilakukan dengan sigmoidoskopi
fleksibel atau kolonoskopi bila fasilitas tersedia
Rekomendasi tingkat B
Deteksi dini pada kelompok risiko tinggi selalu dianjurkan untuk menjalani
follow-up kolonoskopi
14
3.2. Diagnosis
3.2.1. Kriteria diagnosis
3.2.1.1. Anatomi
Kolon adalah usus besar proksimal dari rektum. Pada orang dewasa, yang
dimaksud dengan rektum intra-operatif adalah batas fusi dua taenia
mesenterik dengan area amorfus rektum (true rectum); sedangkan pada
pemeriksaan sigmoidoskop kaku, rektum disepakati berjarak 15 cm dari anal
verge (UKCCR) atau 12 cm dari anal verge (USA).
Pilihan penanganan karsinoma rekti memerlukan ketepatan lokalisasi tumor,
karena itu untuk tujuan terapi rektum dibagi dalam 3 bagian, yaitu 1/3 atas,
1/3 tengah dan 1/3 bawah. Bagian 1/3 atas dibungkus oleh peritoneum pada
bagian anterior dan lateral, bagian 1/3 tengah dibungkus peritoneum hanya di
bagian anterior saja, dan bagian 1/3 bawah tidak dibungkus peritoneum.
Lipatan transversal rektum bagian tengah terletak + 11cm dari garis anokutan
dan merupakan tanda patokan adanya peritoneum. Bagian rektum di bawah
katub media disebut ampula rekti, di mana bila bagian ampula ini direseksi
maka frekuensi defekasi secara tajam akan meningkat. Hal ini merupakan
faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam memilih tindakan
pembedahan. Bagian posterior rektum tidak ditutup peritoneum tetapi
dibungkus oleh lapisan tipis fascia pelvis yang disebut fascia propria. Pada
setiap sisi rektum di bawah peritoneum terdapat pengumpulan fascia yang
dikenal sebagai ligamen lateral, yang menghubungkan rektum dengan fascia
pelvis parietal .
Letak ujung bawah tumor pada karsinoma rekti biasanya dihitung dari berapa
cm jarak tumor tersebut dari garis anokutan. Pada hasil-hasil yang dilaporkan
harus disebutkan apakah pembagian tersebut dibuat dengan endoskopi yang
kaku atau fleksibel dan apakah patokannya dari garis anokutan, linea dentata,
atau cincin anorektal.
Bagian utama saluran limfatik rektum melewati sepanjang trunkus a.
hemoroidalis superior menuju a. mesenterika inferior. Hanya beberapa
saluran limfe yang melewati sepanjang v. mesenterika inferior. Kelenjar getah
bening pararektal di atas pertengahan katup rektum mengalir sepanjang
cincin limfatik hemoroidalis superior. Di bawahnya (yaitu 7-8 cm di atas garis
anokutan), beberapa saluran limfe menuju ke lateral. Saluran-saluran limfe ini
berhubungan dengan kelenjar getah bening sepanjang a. hemoroidalis media,
fossa obturator dan a. hipogastrika serta a. iliaka komunis.
Perjalanan saluran limfatik utama pada karsinoma rekti adalah mengikuti
pembuluh darah rektum bagian atas menuju kelenjar getah bening
mesenterika inferior. Aliran limfatik rektum bagian tengah dan bawah juga
mengikuti pembuluh darah rektum bagian tengah dan berakhir di kelenjar
getah bening iliaka interna. Karsinoma rekti bagian bawah yang menjalar ke
15
Rekomendasi Tingkat A
Setiap penderita yang secara klinik dicurigai menderita KKR, seluruh
kolon dan rektum harus dinilai dan dilakukan investigasi.
Penilaian rektum melibatkan pemeriksaan colok dubur
Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan
adanya suatu penonjolan tepi, dapat berupa :
a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram
yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas
tegas.
16
17
3.2.2.2. Endoskopi
Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidoskopi rigid,
sigmoidoskopi fleksibel, dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi fleksibel lebih efektif
dibandingkan dengan sigmoidoskopi rigid untuk visualisasi kolon dan rektum.
Tidak terdapat perbedaan akurasi yang bermakna antara pemeriksaan
kolonoskopi dibandingkan dengan kombinasi enema barium kontras ganda
dan sigmoidoskopi fleksibel di dalam mendeteksi KKR atau polip yang
berukuran 9 mm.19,20
Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang sangat efektif dan sensitif
di dalam mendiagnosis KKR, namun tingkat kualitas dan kesempurnaan
prosedur bergantung pada persiapan kolon, sedasi dan kompetensi operator.
Kolonoskopi memberikan keuntungan sebagai berikut:
tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip
kolorektal adalah 95 %,
kolonoskopi berfungsi sebagai alat diagnostik melalui biopsi dan terapi
pada polipektomi,
kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan melakukan reseksi
synchronous polyp,
tidak ada paparan radiasi.
Kerugian kolonoskopi adalah :
pada 5 30 % pemeriksaan tidak dapat mencapai sekum,
sedasi intravena selalu diperlukan,
lokalisasi tumor dapat tidak akurat,
tingkat mortalitas adalah 1 : 5000 kolonoskopi.
Rekomendasi Tingkat B
Pada semua kasus yang dicurigai KKR, dilakukan kolonoskopi. Jika tidak
dapat dilakukan kolonoskopi, sigmoidoskopi dilanjutkan dengan
pemeriksaan barium enema kontras ganda.
18
Rekomendasi Tingkat C
Apabila fasilitas CT scan atau MRI tidak tersedia, maka ultrasonografi
trans-abdominal dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis ke
hepar.
19
berguna
untuk
mendeteksi
metastasis
ke kelenjar getah bening
ultrasonografi endoluminal trans-rektal.
retroperitoneal
dan metastasis
ke hepar,
Seluruh
penderita karsinoma
rektum yang
akan menjalani pembedahan
berguna
untuk menentukan
suatu
tumor stadium
lanjut
apakah preakan
elektif,
harus menjalani
pemeriksaan
pencitraan
hepar dan
paru-paru
terapi
adjuvan
pre-operatif
operatifmenjalani
dengan CT
scan
atau MRI,
dan foto thoraks.
penderita
untuk mengevaluasi
dan
buli-buli. pemeriksaan
Pada
yang harus keadaan
menjalaniureter
bedah
emergensi,
ultrasonografi
dan pemeriksaan
pencitraan CT
scan atau
MRI
akurasi intra-operatif
pembagian stadium
dengan menggunakan
CT-scan
adalah
post-operatif.
80% dibanding MRI 59%. Untuk menilai metastase kelenjar getah
bening akurasi CT-scan adalah 65%, sedang MRI 39%. Spesifisitas
Rekomendasi
Tingkat
C
pemeriksaan
CT-scan
pelvis 90%, sedang sensitivitasnya adalah 40%,
Apabiladibanding
fasilitas ultrasonografi
endoluminal tidak tersedia, pemeriksaan colok
MRI 13%.
dubur dapat dilakukan untuk menentukan kurabilitas tumor.
Apabila fasilitas CT scan atau MRI tidak tersedia, maka ultrasonografi transabdominal dapat digunakan untuk mendeteksi metastasis ke hepar.
20
21
4. Terapi
4.1. Latar Belakang
Karsinoma rektum adalah karsinoma saluran cerna yang sering didapatkan di
Indonesia terutama di kota besar, insiden tertinggi adalah pada usia yang
masih produktif yaitu dekade ke 4 dan 5. Sebagian besar penderita datang
berobat dalam stadium lanjut atau bila telah terjadi komplikasi sehingga hasil
akhir dari penatalaksanaan yang kita lakukan jauh dari yang di harapkan.
Tingginya angka kekambuhan lokal, serta gangguan fungsi seksual dan
kandung kencing yang merupakan akibat langsung dari penatalaksanaan
secara menyeluruh dari penyakit ini telah banyak dilaporkan. Masalah lain
yang ada pada negara berkembang adalah lemahnya pencatatan, pelaporan
dan pemantauan penderita yang berakibat tidak adanya angka kekambuhan
dan komplikasi akibat penatalaksanaan dari penyakit ini.
Telah banyak dilaporkan upaya untuk menurunkan angka kekambuhan lokal
dengan menggunakan modalitas terapi yang ada, dua faktor utama yang
berperan adalah pembedahan dengan tehnik eksisi total mesorektum atau
yang lebih dikenal dengan TME (Total Mesorectal Excision) dan kemoradiasi.
Dengan dasar rendahnya angka kekambuhan yang dikemukakan oleh Heald
dkk, serta telah diterimanya diseluruh dunia konsep TME 21,22,23 maka tim
penyusun menganjurkan tehnik tersebut dalam penyusunan panduan
penatalaksanaan karsinoma rektum di Indonesia.
Keganasan saluran cerna yang sering dijumpai di Indonesia ini dan insiden
nya cenderung meningkat dengan berubahnya pola diet dari masyarakat.
Distribusi lebih tinggi pada wanita, dan frekuensi tertinggi pada dekade ke
lima.
Di Indonesia dikatakan bahwa antara 70 - 80 % dari penderita tidak dapat
dioperasi karena buruknya keadaan umum atau datang sudah dalam stadium
lanjut, bedasarkan data dari Dep Kes 1984, maka kita dapat menangani kirakira 150 penderita pertahun dengan baik.2
hanya pada dinding usus, dibanding dengan hanya 28% pada karsinoma
dengan lesi ulserasi.
Sistim pembagian stadium berdasarkan klinis lainnya dibuat oleh suatu
kelompok dari RS Princess Margaret di Toronto berdasarkan beberapa
variabel prognostik, misalnya: ada atau tidak adanya metastasis, apakah
tumor tersebut melekat atau mobil, apakah bentuknya anular dan apakah
terdapat gejala klinis seperti penurunan berat badan, anoreksia, lemah dan
anemia.
Variabel-variabel ini digunakan untuk menentukan 4 kelas secara klinis :
Kelas I : tidak ada satupun variabel-variabel tersebut di atas
Kelas II : tumor berbentuk anular atau adanya gejala sistemik
Kelas III : tumor sudah melekat
Kelas IV : sudah terdapat metastasis
Angka kelangsungan hidup 5 tahun penderita sangat berhubungan dengan
pembagian kelas-kelas ini dan pembagian stadium berdasarkan Dukes, tetapi
tidak ada hubungan antara stadium klinis dengan sistim Dukes. Mobilitas
tumor merupakan faktor preoperasi yang paling penting yang berhubungan
dengan reseksi kuratif.
Pembagian stadium secara klinikopatologi di Australia menggabungkan baik
gambaran sistemik, stadium patologi dan stadium klinis, berdasarkan hanya
pada karakteristik tumor lokal. York-Mason mengusulkan penggunaan sistim
stadium klinis berdasarkan mobilitas tumor primer, yaitu:
Stadium Klinis I : tumor bergerak bebas
Stadium Klinis II : tumor masih mobil
Stadium Klinis III : tumor dengan gerakan yang terbatas
Stadium IV : tumor yang sudah terfiksasi
Stadium klinis I-II meliputi pasien-pasien yang masih dapat dilakukan eksisi
lokal kuratif.
Hasil terapi pembedahan pada karsinoma rekti dinilai dari ekstensi
penyebarannya. Klasifikasi berdasarkan penyebaran ini pertama kali diajukan
oleh Dukes pada tahun 1930, di mana dinilai berdasarkan ekstensi
penyebaran langsung dan adanya metastasis ke sistim limfatik. Dibagi
menjadi 3 kategori :
Stadium A : pertumbuhan ke arah dinding rektum di mana tidak mengarah
ke Jaringan di luar rektum dan sistim limfatik
Stadium B : pertumbuhan menye-bar ke arah jaringan di luar rektum,
tetapi tidak mengenai sistim limfatik
Stadium C : pertumbuhan sudah mengenai sistim limfatik
Pada tahun 1967 Turnbull dan kawan-kawan menambahkan stadium D untuk
adanya metastasis jauh. Sistim klasifikasi yang kemudian digunakan adalah
sistim Astler-Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian
23
T1, N0, M0
T2, N0, M0
Stadium II
T3, N0, M0
T4, N0, M0
Stadium III
Semua T, N1, M0
Semua T, N2, M0
Stadium IV
Semua T, Semua N, M1
24
4.3. Terapi
4.3.1. Pembedahan
Pembedahan tetap merupakan pilihan utama pada penatalaksanaan kanker
kolorektal yang localized. Bab ini memberikan rekomendasi persiapan
operasi, tekhnik operasi dan operasi dalam keadaan darurat serta penyakit
KKR lanjut. Selain hal diatas dikemukakan pula rekomendasi perlunya
spesialisasi dan beban kerja dalam penatalaksanaan KKR.
4.3.1.1. Persiapan Preoperatif
25
Rekomendasi Tingkat A
Penderita KKR yang akan dilakukan pembedahan harus diberikan:
profilaksis tromboemboli vena
profilaksis antibiotika dosis tunggal yang mencakup kuman aerobik dan
anaerobik, diberikan sekitar 30 menit sebelum induksi anestesi
Walaupun tidak ada bukti bahwa persiapan usus memberikan keuntungan,
tidak ada bukti juga yang mengatakan bahwa hal ini tidak memberikan
keuntungan, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa persiapan usus tidak
penting dilakukan.
Rekomendasi Tingkat E
Keputusan untuk menggunakan persiapan usus harus dilakukan secara
individual tergantung dari kebutuhan pasien dan pengalaman dokter
bedah.
4.3.1.2. Transfusi Darah Perioperatif
Hubungan antara transfusi darah dengan meningkatnya resiko kekambuhan
masih terus diperdebatkan. Penelitian meta-analisis mengenai hal ini tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan dalam kekambuhan KKR. Karena
kecilnya jumlah pasien yang mengambil bagian dalam percobaan, maka
meta-analisis ini dianggap tidak mencukupi untuk dapat mendeteksi
perbedaan risiko yang kurang dari 20%, menjadi semakin tidak signifikan
setelah semakin umumnya transfusi darah leucodepletion di Inggris.29,30
Rekomendasi Tingkat B
Jika pasien pembedahan kanker kolorektal dianggap memerlukan
transfusi darah, jangan ditunda atas dasar hubungan dengan risiko
meningkatnya kekambuhan.
26
b. Kanker Rektum
Saat ini banyak bukti dari penelitian studi kohort skala besar bahwa
penggunaan tehnik total mesorectal excision (TME) dalam penatalaksanaan
kanker rektum dapat mengurangi rekurensi lokal memperbaiki angka survival.
Hal ini dikarenakan oleh circumferential clearance tumor yang dilakukan
dengan baik. TME pada rectum atas dilakukan sesuai dengan prosedur TME
yaitu diseksi secara tajam under direct vision pada holy plane diluar
mesorektum sampai 5 cm dibawah tumor.Sedang pada rektum bagian tengah
dan bawah masalahnya adalah anastomosis rendah mengkibatkan fungsi
rektum yang kurang baik dibandingkan dengan anastomosisi yang lebih
tinggi. Satu hal yang juga penting adalah untuk preservasi syaraf otonom
daerah pelvis agar meminimalisasi terjadinya disfungsi seksual dan kandung
kemih.21,22,23
Rekomendasi Tingkat B
TME sangat direkomendasikan bagi kebanyakan kanker rektum bagi
penderita yang dapat dilakukan pembedahan. TME harus dilakukan
secara total untuk tumor di sepertiga tengah dan bawah rektum, dan
preservasi syaraf-syaraf otonom di daerah pelvis, dengan mengutamakan
reseksi en-bloc dari tumor.
c. Anastomosis
Kebocoran anastomosis adalah komplikasi yang sering terjadi dan dapat
berakibat fatal pada pembedahan kanker kolorektal, sehingga harus
dilakukan langkah-langkah untuk meminimalisasi hal ini. Tidak ada bukti
bagus yang mendukung sebuah teknik secara spesifik, tetapi hasil metaanalisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa satu-satunya perbedaan antara
27
28
Rekomendasi Tingkat A
Pembedahan
laparoskopi dapat
dipertimbangkan untuk
29
Rekomendasi Tingkat C
Pasien yang memiliki obstruksi malignan di usus besar harus segera
dilakukan reseksi.
Rekomendasi Tingkat A
Jika rekonstruksi setelah mungkin dilakukan, maka reseksi segmental
merupakan pilihan pada lesi di kolon kiri.
Rekomendasi Tingkat D
Jika ada fasilitas dan kemampuan yang memungkinkan, colonic stenting
harus dipertimbangkan sebagai tindakan paliatif.
30
Rekomendasi Tingkat D
Rekomendasi Tingkat B
Pembedahan untuk kanker kolorektal hanya boleh dilakukan oleh dokter
bedah yang sudah dilatih dan diakui. Pembedahan kanker rektum letak
rendah hanya boleh dilakukan oleh mereka yang sudah dilatih untuk
melakukan TME.
Terapi ajuvan
4.3.2.1 Radiasi
31
4.3.2.
Pada umumnya terapi pada keganasan rectal lebih kompleks dari keganasan
kolon karena dibutuhkannya pemikiran untuk dilakukan operasi penyelamatan
organ atau pun fungsi. Kekambuhan akibat operasi sangat dihubungkan
dengan dalam penetrasi tumor pada dinding usus dan adanya keterlibatan
kelenjar getah bening.34
Lavery34 mengatakan bahwa terjadinya kekambuhan post operasi pada kasus
keganasan rektum dengan kelenjar getah bening positif adalah mencapai
60%. Sehingga berbagai penelitian jelas memperlihatkan bahwa penambahan
radiasi pada kasus keganasan rekti akan memperbaiki keberhasilan terapi
pada keganasan kolorektal. Kekambuhan sering terjadi dalam 2 tahun
pertama setelah pembedahan, yang menurut Mendenhall angka kekambuhan
mencapai + 20-30%. Perez menyatakan kegagalan lokal pada penderita
dengan ekstensi menembus dinding usus atau dengan keterlibatan kelenjar
adalah 20-70%.38-47
Untuk memperbaiki hasil terapi dan mengurangi kekambuhan lokal diberikan
adjuvan berupa radiasi pra dan pasca bedah serta kemoterapi. 38-47
Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan baik pada kasus yang
resektabel maupun yang tidak resektabel, dengan tujuan: 35,38,43,45,48,49
mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien yang hasil PA
menunjukkan prognosis yang buruk (Stadium Astler-Coller B2, C1, C2 )
meningkatkan kemungkinan prosedur preservasi sfingter
meningkatkan tingkat resektabilitas pada tumor yang lokal jauh atau tidak
resektabel
mengurangi jumlah sel tumor yang viable sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya kontaminasi sel tumor dan penyebaran melalui
aliran darah pada saat operasi
Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan berupa :
a. Radiasi eksterna
o Postoperatif
Berkembang berbagai penelitian pemberian radiasi maupun tanpa
kemoterapi postoperasi misalnya yang dilakukan di USA dalam bentuk
penelitian GITSG 7175, NSABP-R-01 dan NCCGT. Diperlihatkan
bahwa pemberian radiasi postoperatif disertai pemberian kemoterapi
akan meningkatkan baik angka survival bebas penyakit, kontrol lokal
maupun survival keseluruhan.34
Saat ini banyak dianut bahwa pemberian 5-FU infus bersama
leucovorin bersamaan dengan radiasi postoperatif merupakan terapi
pilihan pada T3N0 keganasan rektal. Saat ini berkembang pemberian
radiasi bersamaan dengan capecitabine yang merupakan derivat 5-FU
bersifat oral dan lebih targeted terhadap sel tumor dengan efektifitas
yang lebih baik.
Penggunaan Capecitabine oral sebagai dengan dosis 825 mg/m 2, 2
kali sehari bersamaan dengan radioterapi sebagai radiosensitizer juga
32
mulai diteliti oleh Dunst pada 46 pasien karsinoma rekti lanjut lokal.
Didapatkan angka respons klinis pada 72% kasus, 89% diantaranya
dapat menjalani operasi.55
Rekomendasi Tingkat B
pemberian radiasi postoperatif disertai pemberian kemoterapi akan
meningkatkan baik angka survival bebas penyakit, kontrol lokal maupun
survival keseluruhan
pemberian 5-FU infus bersama leucovorin bersamaan dengan radiasi
postoperatif merupakan terapi pilihan pada T3N0 keganasan rektal
Rekomendasi Tingkat C
pemberian radiasi bersamaan dengan capecitabine 825 mg/m 2, 2 kali
sehari, akan meningkatkan angka respons terapi hingga 72%
o Preoperatif
Tindakan ini lebih banyak berkembang di Eropa. Penelitian EORTC
memperlihatkan bahwa pemberian radiasi preoperatif meningkatkan
kontrol lokal dan pada kelompok pasien usia kurang dari 55 tahun akan
meningkatkan survival dari 48% menjadi 80%.34
Penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa pemberian radiasi 5 X 5
Gy akan meningkatkan angka survival menjadi 58% (vs 48%) dengan
kegagalan lokal yang menurun menjadi 11% (vs 27%).
Rullier31 mengatakan dengan pemberian radiasi preoperatif pada kasus
keganasan rektal T3 letak rendah yang seyogyanya diperlakukan
dengan tindakan kolostomi permanen (lokasi rata-rata <4,5 cm dari
garis anokutan) menghasilkan dapat dilakukannya tindakan operasi
penyelamatan sphinter pada 62,5% kasus.
Pemberian radiasi preoperatif ini dilaporkan dapat meningkatkan
dilakukan operasi penyelamatan sphinter pada 56% kasus (20 vs
76%), dimana pada 24% kasus tidak didapatkan sisa tumor pada
pemeriksaan patologi anatomi.50
Dari penelitian Medical Research Councils Working Party
menggunakan dosis tunggal 5 Gy atau 20 Gy dalam 10 fraksi
preoperatif didapatkan hasil yang tidak signifikan pada rekurensi lokal
maupun survival dibandingkan dengan bila hanya dilakukan
pembedahan saja. Sebaliknya studi di Toronto menunjukkan adanya
peningkatan yang signifikan dari survival rate pada penderita dengan
Dukes C 35,40,41,48
Beberapa penelitian di Norwegia menggunakan dosis 31,5 Gy dengan
fraksinasi 1,75 Gy/fraksi, 5X/minggu, menunjukkan kontrol lokal,
regresi tumor lengkap terutama pada tumor-tumor yang lokal lanjut
33
34
35
36
Rekomendasi Tingkat B
4.3.2.2 Kemoterapi
Walaupun pembedahan adalah pilihan utama terapi KKR, penatalaksanaan
secara paripurna menjadi tanggung jawab tim multidisipliner.
Pasien dengan karsinoma rektum stadium II-III berisiko tinggi untuk
mengalami kekambuhan lokal dan sistemik. Terapi adjuvan harus bertujuan
menanggulangi kedua masalah tersebut. (NCI PDQ). Sebagian besar
penelitian yang menggunakan radioterapi pra- dan pasca bedah saja dapat
menurunkan angka kekambuhan lokal tetapi tidak bermakna dalam angka
survival. Walaupun suatu penelitian di Swedia menunjukkan kelebihan
radioterapi prabedah dibandingkan dengan hanya bedah saja. Dua penelitian
memastikan bahwa 5-FU bersama radioterapi adalah efektif dan dapat
dianggap sebagai terapi standar, dimana pengobatan adjuvan modalitas
kombinasi dengan radiasi dan kemoterapi sesudah pembedahan juga
menghasilkan angka kegagalan lokal (local failure rates) yang lebih rendah.
37
38
Mayo
1. 5-FU 425 mg/m2 dengan bolus IV setiap hari 5 hari berturut-turut satu
jam sesudah LV
2. LV 20 mg/m2 IV setiap hari untuk 5 hari ber turut-turut
3. Frekuensi : ulang setiap 4 sampai 5 minggu.
de Gramont
1. LV 200 mg/m2 infus 2 jam, diikuti
2. 5-FU400 mg/m2 i.v. bolus diikuti
3. 5-FU 600 mg/m2 infus kontinu 22 jam
4. Frekuensi : hari 1+2, ulang setiap 21 hari
Dosis
1. capecitabine 1250 mg/m2 bid bila sebagai obat tunggal, capecitabine
1000 mg/m2 bila dikombinasi dengan oxaliplatin/irinotecan
2. irinotecan 250 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap
21 hari dan 130 mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine
3. oxaliplatin 135 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap
21 hari dan 85 mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine
Rekomendasi Tingkat A
1. Stadium I/Dukes A
: tidak diberikan kemoterapi
2. Stadium III/Dukes C : kemoterapi 5-FU/FA atau capecitabine, hingga 6
bln
3. Stadium IV/metastasis : kemoterapi 5-FU/FA atau capecitabine, hingga 6
bln ditambah oxaliplatin atau irinotecan, 6 bln
Tingkat Rekomendasi B
Stadium IIA/Dukes B1 : dipertimbangkan pemberian kemoterapi
Rekomendasi Tingkat D
Stadium IIB/Dukes B2 : kemoterapi 5-FU/FA atau capecitabine, hingga 6 bln
40
41
42
43
44
45
46
5.2.2. Laboratorium
5.2.2.1. Test darah samar
Test darah samar mempunyai nilai kecil dalam deteksi kekambuhan, karena
kebanyakan kekambuhan terjadi ekstra luminer. Dari 48 kambuh hanya 6
(12,5%) dengan test darah samar (+).87
5.2.2.2. Test faal hati
Limapuluh persen kekambuhan terletak di hati, alkali fosfatase memberikan
sensitifitas 77%, positif palsu 34%, negatif palsu 4%, sehingga kurang cocok
untuk skrining.87
5.2.2.3. Carcino-Embryonic Antigen (CEA)
CEA berkorelasi dengan volume tumor dengan respons terapi anti tumor dan
berhubungan dengan sisa tumor setelah reseksi. CEA akan menurun menjadi
normal dalam 4-8 minggu setelah reseksi kuratif. Duapuluh sampai 30%
kekambuhan tidak disertai peningkatan CEA, dan sensitifitas dan spesifisitas
untuk mendeteksi kekambuhan antara 70-80%. Monitoring CEA dapat
mendeteksi kekambuhan sekitar 6 bulan sebelum tanda dan gejala klinik
muncul. CEA yang meningkat perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan kekambuhan, yang menjadi kontroversi apakah CEA diatas 5
ng/ml, atau peningkatan setelah pemeriksaan 2 x meningkat atau adanya
kurva peningkatan CEA sebagai dasar pemeriksaan lanjut. Suatu uji acak
terkontrol follow-up dengan pemeriksaan intensif CEA dibanding
konvensional, menunjukkan tidak terdapat perbedaan tentang survival kedua
kelompok.87 NCCN merekomendasikan pemeriksaan CEA setiap 3 bulan
untuk 2 tahun pertama dan setiap 6 bulan untuk 5 tahun berikutnya pada
pasien dengan metastasis terbatas yang potensial untuk reseksi, misalnya
potensial untuk reseksi hepar ataupun paru-paru. 84
5.2.3. Endoskopi
Tiga sampai tujuh persen KKR terdapat karsinoma sinkronous dan 25%
terdapat adenoma sinkronous sehingga kolonoskopi sampai sekum
diperlukan sebelum operasi atau pada kasus operasi darurat (obstruksi/
perforasi) kolonoskopi sebaiknya dilakukan dalam 3-6 bulan setelah reseksi
dengan tujuan identifikasi karsinoma dan adenoma sinkronous serta
kekambuhan pada anastomosis. Pada endoskopi rutin setelah reseksi
karsinoma kolorektal ditemukan 8% berkembang tumor metakronous dalam
3,7 tahun, dan setelah reseksi karsinoma rektum ditemukan kekambuhan
pada anastomosis pada 13%. Interval ideal antar endoskopi belum
ditetapkan, suatu penelitian prospektif diperlukan. 87 Terdapat bukti yang
bertentangan tentang manfaat surveilens endoskopik pasca pembedahan
kuratif karsinoma rectum. Karena insiden KKR meningkat setelah kejadian
pertama dan polip adenomatosa terjadi dengan peningkatan frekuensi,
kebanyakan klinisi merekomendasikan follow-up kolonoskopi pada pasien
setelah reseksi kolorektal seperti pada follow-up pasien dengan polip
adenomatosa.8,88
47
metastasis hati yaitu antara 78-90%. MRI tidak lebih baik dibanding CT
kontras, dan biayanya mahal. Demikian juga immunoscintigraphy juga lebih
inferior dibanding CT kontras. [18F]fluoro-2-deoxy-D-glucose (FGD)-PET
mempunyai akurasi tinggi (93%) dibanding CT dan CT-portografi (76%),
Sensitivitas FGD-PET 90%,CT 86%, CT portografi 97%, sementara
spesifisitas FGD-PET 100%, CT 58% dan CT portografi 9%. Pasien
asimptomatik terdeteksi metastasis hepar memberikan median survival 16
bulan ( antara 7-41 bulan), sementara yang terdeteksi saat ada simptom
hanya memberikan median survival kurang dari 4 bulan. 87
49
Rekomendasi Tingkat A
Rekomendasi
Tingkat
A
Surveilens untuk
menemukan
tumor sinkronous, tumor metakronous dan
Surveilens
untuk
menemukan
tumor
tumor yang
metakronous
dandini
kekambuhan sangat diperlukan,
dansinkronous,
dipercaya kasus
ditemukan
kekambuhan
sangat
diperlukan,
dan
dipercaya
kasus
yang
ditemukan
dan dilakukan tindakan yang sesuai dengan cepat akan memperbaiki dini
dan
tindakan yang sesuai dengan cepat akan memperbaiki
prognosis
dilakukan
pasien.
prognosis pasien.
Rekomendasi Tingkat D
Rekomendasi
D
Anamnesis danTingkat
pemeriksaan
fisik, termasuk pemeriksaan colok dubur, yang
Anamnesis
dan
pemeriksaan
termasuk
colok dubur,
yang
teliti dilakukan setiap 3 bulan fisik,
dalam
2 tahun pemeriksaan
pertama dan setiap
6 bulan
teliti
setiap 3 bulan dalam 2 tahun pertama dan setiap 6 bulan
dalamdilakukan
5 tahun berikutnya.
dalam 5 tahun berikutnya.
Rekomendasi Tingkat C
Rekomendasi
Tingkat
Pemeriksaan CEA
rutin C
dilakukan 4-8 minggu pasca pembedahan untuk
Pemeriksaan
CEA
rutin
dilakukan 4-8 setiap
minggu3 pasca
pembedahan
menilai kurabilitasnya. Pemeriksaan
bulan untuk
2 tahun untuk
pertama
menilai
kurabilitasnya.
Pemeriksaan
setiap 3pada
bulan
untuk dengan
2 tahun pertama
dan setiap
6 bulan untuk
5 tahun berikutnya
pasien
dan
setiap terbatas
6 bulan untuk
5 tahun berikutnya
padamisalnya
pasien dengan
metastasis
yang potensial
untuk reseksi,
potensial untuk
metastasis
terbatas
yang
potensial untuk reseksi, misalnya potensial untuk
reseksi hepar
ataupun
paru-paru.
reseksi hepar ataupun paru-paru.
Rekomendasi Tingkat D
Rekomendasi
Tingkat Ddilakukan setiap tahun atau bilamana secara klinik
Foto thoraks disarankan
Foto
thoraks disarankan
dilakukan
setiap tahun
menunjukkan
tanda dan gejala
metastase
paru. atau bilamana secara klinik
menunjukkan tanda dan gejala metastase paru.
Rekomendasi Tingkat B
Rekomendasi
Tingkat
B kolorektal dilakukan dalam 1 tahun dan diulang
Kolonoskopi pasca
bedah
Kolonoskopi
pasca
bedah
kolorektal
dilakukan
dalam 1 tahun
diulang
lagi 1 tahun berikutnya bilamana
ditemukan
abnormalitas
ataudan
3 tahun
lagi
1 tahunbilamana
berikutnya
bilamananormal.
ditemukan
abnormalitas
atau 3tidak
tahun
berikutnya
ditemukan
Bilamana
kolonoskopi
bisa
berikutnya
bilamana
ditemukan
normal.
Bilamana
kolonoskopi
tidak
bisa
dilakukan pra-bedah karena adanya obstruksi disarankan kolonoskopi
3-6
dilakukan
pra-bedah
karena
adanya
obstruksi
disarankan
kolonoskopi
3-6
bulan pasca bedah.
bulan
pasca
bedah.
Pada pusat dimana kolonoskopi belum tersedia, foto kolon kontras ganda
Pada
pusat dimana
belum tersedia, foto kolon kontras ganda
bisa dipakai
sebagaikolonoskopi
penggantinya.
bisa dipakai sebagai penggantinya.
Rekomendasi Tingkat E
Rekomendasi
Tingkat
E
Pemeriksaan USG,
CT Scan
dan MRI dilakukan bilamana pemeriksaan
Pemeriksaan
USG,
CT
Scan
danadanya
MRI dilakukan
bilamana
pemeriksaan
pemeriksaan diatas menunjukan
kecurigaan
kekambuhan
ekstra
pemeriksaan
adanya
kecurigaan
kekambuhan
ekstra
luminal, serta diatas
dalammenunjukan
rangka staging
bilamana
ditemukan
tumor intraluminal
luminal,
serta
dalam
rangka
staging
bilamana
ditemukan
tumor
intraluminal
baik sebagai metakronous maupun kekambuhan.
baik sebagai metakronous maupun kekambuhan.
50
51
Rekomendasi Tingkat B
Rekomendasi Tingkat B
Perlu dilakukan kursus intensif tentang ketrampilan mendengarkan dan
Perlu dilakukan
memberikan
informasi
kursus tentang
intensif kanker
tentangbagi
ketrampilan
profesional
mendengarkan
kesehatan dan
memberikan informasi tentang kanker bagi profesional kesehatan
Rekomendasi tingkat D
53
Semua penderita yang akan mendapatkan stoma, baik itu permanen atau
temporer, hendaknya dirujuk untuk dinilai dan mendapat informasi oleh
perawat spesialis stoma sebelum masuk rumah sakit.
54
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Rose DP, Boyar AP, Wynder EL: International comparisons of mortality rates for
cancer of the breast, ovary, prostate, and colon, and per capita food consumption.
Cancer 58 (11): 2363-71, 1986
Sjamsuhidajat R, Natawijana HA, Kartowisastro H. Faktor penyebab dan resiko
kanker usus besar. Simposium Upaya Penemuan Keganasan Usus Besar Secara
Dini, Semarang 1986.
NCI CRC Prevention. Colon and Rectal Cancer: Prevention, Genetics, Causes.
http://www.nci.nih.gov/cancertopics/prevention-genetics-causes/colon-and-rectal
Tirtosugondo. Simposium Upaya Penemuan Keganasan Usus Besar Secara Dini,
Semarang 1986.
Allen JL. 1995
Puig-La Calle J, Guillem JG. Genetic Screening and Chemoprevention. In: Audisio
RA, Gerahty JG, Longo WE (eds) Modern management of Cancer of the Rectum.
Springer London 2001
Classen, 2004
Scottish Intercollegiate Guidelines Network: Management of Colorectal Cancer. A
National Clinical Guideline. March 2003.
Eaden JA, Abrams KR, Mayberry JF. The risk of colorectal cancer in ulcerative colitis:
a meta-analysis. Gut 2001; 48:536-35.
Gillen CD, Walmsley RS, Prior P, Andrews HA, Allan RN. Ulcerative colitis and
Crohns disease: A comparison of the colorectal cancer risk in extensive colitis. Gut
1994;35:1590-2.
Bond JH. Colorectal cancer update: Prevention, screening, treatment, and
surveillance for high risk groups. Med Clin North Am 2000;84: 1163-82.
Mandel JS, Church TR, Bond JH, Ederer F, Geisser MS, Mongin SJ, et. Al. The effect
of fecal occult blood screening on the incidence of colorectal cancer. N Eng J Med
2000; 343: 1603-7.
Winawer SJ, Fletcher RH, Miller L, Godlee F, Stolar MH, Mulrow CD, et al. Colorectal
cancer screening: clinical guidelines and rationale. Gastroenterology 1997; 112:594642.
Fuchs CS, Giovanucci EL, Colditz GA, Hunter DJ, Speizer FE, Willett WC. A
prospective study of family history and the risk of colorectal cancer. N Engl J Med.
1994; 331: 1669-74.
Kune GA, Kune S, Watson LF. The role of heredity in the etiology of large bowel
cancer: data from the Melbourne Colorectal Cancer Study. World J Surg
1989;13:124-9.
Scottish Cancer Group. Cancer Genetics Sub-Group. Cancer genetics services in
Scotland: guidance to support the implementation of genetic services for breast,
ovarian and colorectal cancer predisposition. Edinburgh: The Scottish Executive;
2001. [cited 3 Jul 2002]. Available from url:
http://www.show.scot.nhs.uk/sehd/mels/HDL2001_24Guidefull.pdf
King JE, Dozois RR, Lindor NM, et al. Care of patients and their families with familial
adenomatous polyposis. May Clin Proc 2002;75:57-67.
Towler B, Irwig I, Glaziou P, Kewenter J, Weller D, Silagy C. A systematic review of
the effects of screening for colorectal cancer using the faecal occult blood test,
hemocult, BMJ 1998; 317:559-65.
Rex DK, Weddle RA, Lehman GA, Pound DC, OConnor KW, Hawes RH, et. Al.
Flexible sigmoidoscopy plus air contrast barium enema versus colonoscopy for
suspected lower gastrointestinal bleeding. Gastroenterology 1990; 98:855-91.
Winawer SJ, Stewart ET, Zauber AG, Bond JH, Ansel H, Waye JD, et al. A
comparison of colonoscopy and double contrast barium enema for surveillance after
polypectomy. National Polyp Study Work Group. N Engl J Med 2000; 342: 1766-72.
Heald RJ, Moran BJ, Ryall RD, Sexton R, MacFarlane JK. Rectal cancer: the
Basingstoke experience of total mesorectal excision, 1978-1997. Arch Surg 1998;
133: 894-9.
Wiig JN, Carlsen E, Soreide O. Mesorectal excision for rectal cancer: a view from
Europe. Semin Surg Oncol 1998; 15: 78-96.
55
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
Martling AL, Hold T. Rutqvist LE, Moran BJ, Heald RJ, Cedemark B. Effect of a
surgical training programme on outcome of rectal cancer in the County of Stockholm.
Stockholm Colorectal Cancer Study Group, Basingstoke Bowel Cancer Research
Project. Lancet 2000; 356: 93-6.
AJCC Cancer Staging Manual. Sixth edition. Springer-Verlag New York, 2002.
Rosai Juan. Gross technique in surgical pathology. In: Ackermans Surgical Pathology
vol I, 8th ed Mosby 1996: 13-28.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Prophylaxis of venous
thromboembolism. Edinburgh: SIGN; 2002. (SIGN publication no. 62)
Glenny AM, Song F. Antimicrobial prophylaxis in colorectal surgery. Qual Health Care
1999; 8: 132-6.
Burke P, Mealy K, Gillen P, Joyce W, Traynor O, Hyland J. Requirement for bowel
preparation in colorectal surgery. Br J Surg 1994; 81: 907-10.
Foster RS, Costanza MC, Foster JC, Wanner MC, Foster CB. Adverse relationship
between blood transfusions and survival after colectomy for colon cancer. Cancer
1985; 55: 11965-201.
McAlister FA, Clark HD, Wells PS, Laupacis A. Perioperative allogeneic blood
transfusion does not cause adverse sequelae in patients with cancer: a meta-analysis
of unconfounded studies. Br J Surg 1998; 85: 171-8.
Rullier E, Laurent C, Gamelon JL, Michel P, Saric J, Pameix M. Risk factors for
anastomotic leakage after resection of rectal cancer. Br J Surg 1998; 85: 355-8.
Dehni N, Schlegel RD, Cunningham C, Guiguet M, Tiret E, Parc R. Influence of a
defunctioning stoma on leakage rates after low colorectal anastomosis and colonic J
pouch anal anastomosis. Br J Surg 1998; 85: 1114-7.
Maxwell-Armstrong CA, Robinson MH, Scholefield JH. Laparoscopic colorectal
cancer surgery. Am J Surg 2000; 179: 500-7.
Lavery IC, Kostner FL, Pelley RJ, Fine RM. Treatment of Colon and Rectal Cancer.
In: Surg Clin North Am. WB Saunders Company. 80 (2), 2000.
Cedermark B.,MD,et al.The Stockholm I Trial of Preoperative Short Terma
Radiotherapy in operable Rectal Carcinoma. Cancer 1995; 75:2269-2275
Martenson JA,Jr, Gunderson LL. Colon and Rectum. In: Perez .Ca,Brady LW.
Principles and practice of radiation oncology. Philadelphia: JB Lippincott Company,
1992; 1000-1014
Dahl Olav,, et al. Low-Dose Preoperative Radiation Pospones Recurrences in
Operable Rectal Cancer. Cancer 1990;66:2286-2294
Mendenhall WM, et al. Does Preoperative Radiation Therapy Enhance the Probability
of Local Control and Survival in High-risk Distal Rectal Cancer? Ann Surg
1992;215:696-706
Medenhall WM,MD, et al. Preoperative Radiation Therapy for Clinically Resectable
Adenocarcinoma of the Rectum. Ann Surg 1985;202:215-222
Holm T, et al. Local recurrence of rectal adenocarcinoma after curativesurgery with
and without preoprative radiotherapy. Br J Surg. 1994:81;452-455
Horn Arild, et al. Preoperative Radiotherapy in Operable Rectal Cancer. Dis Colon
Rectum, October 1990;34:546-551
Cedermark B.,MD et al. Preoperative Short-term Radiation Therapy in operable
Rectal Carcinoma. Cancer 1990; 66:49-55
Mohiuddin M,MD, et al. Patterns of Recurrence Following High-Dose Preoperative
Radiation and Shpincter-Preserving Surgery for Cancer of the Rectum. Dis Colon
Rectum 1993; 36: 117-126
Higgins GA, et al. Preoperative Radiation and Surgery for Cancer of the Rectum.
Cancer 1985;58:352-359
Rouanet P., et al. Conservative Surgery for Low Rectal Carcinoma After High-Dose
Radiation. Ann Surg 1995;221:67-73.
Berard Ph., Papillon J. Role of Pre-operative Irradiation for Anal Preservation in
Cancer of the Low Rectum. World J Surg 1992;16:502-509
Lukmanto B., Pusponegoro AD. Perbandingan Angka Kekambuhan Lokal pada tehnik
Sandwich dan Non Sandwich penderita karsinoma rekti di RSCM, Desember 1992
Gondhowiardjo S, Pusponegoro AD. The Recent Role of Radiotherapy in the
treatment of Rectal Cancer. Jakarta International Cancer Conference June, 1995
56
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
57
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
adjuvant treatment in colorectal cancer: an update with 5 year's follow-up. In: 2004
Gastrointestinal Cancers Symposium; 2004; San Francisco, California.; 2004.
SIGN. Scottish Intercollegiate Guidelines network : Management of Colorectal Cancer
- A National Clinical Guidelines. In. Edinburgh; 2003. p. 20-24.
Elsaleh H, Powell B, McCaul K, Grieu F, Grant R, Joseph D, et al. P53 Alteration and
Microsatellite Instability Have Predictive Value for Survival Benefit from
Chemotherapy in Stage III Colorectal Carcinoma. Clinical Cancer Research
2001;7:1343-1349.
Johnston P, Fisher ER, Rockette HE, Fisher B, Wolmark N, Drake JC, et al. The role
of thymidylate synthase expression in prognosis and outcome of adjuvant
chemotherapy in patients with rectal cancer. Journal of Clinical Oncology
1994;12(12):2640-2647.
Wright CM, Dent OF, Barker MA, Newlands RC, Chapuis PH, Bokey EL, et al.
Prognostic significance of extensive microsatellite instability in sporadic
clinicopasthological stage C colorectal cancer. Br J Surg 2000;87:1197-1202.
Kahlenberg MS, Sullivan JM, Witmer DD, Petrelli NJ. Molecular prognostics in
colorectal cancer. Surg Oncol 2003;12:173-186.
Lawes DA. The clinical importance and prognostic implications of microsatellite
instability in sporadic cancer. Eur J Surg Oncol 2003(29):201-212.
Jean-Francois Bosset, David Cunningham, Eduardo Diaz-Rubio, Mario Dicato, Bengt
Glimelius, Rob Glynne-Jones, et al. Expert discussion on rectal cancer. In: World
Congress on Gastrointestinal Cancer; 2003 June 19-23 2004; Barcelona; 2003.
Haller J. Chemotherapy in stage III colorectal cancer. In: World Congress in
Gastrointestinal Cancer; 2004; Barcelona; 2004.
Andre T, Boni C, Mouneji-Boudiaf L, Navarro M, Tabernero J, Hickish T, et al.
Oxaliplatin, Fluorouracil, and Leucovorin as Adjuvant Treatment for Colon Cancer.
NEJM 2004;350(23):2343-51.
Pozzo C, Basso M, B M. A randomized phase III multicentre trial comparing irinotecan
CPT-11 alternating with bolus 5-fluorouracil + folinic acid to bolus 5-fluorouracil +
folinic acid (Mayo Clinic) in first line treatment of metastatic colorectal cancer
(abstract 2213). In: American Society of Clinical Oncology 38th Annual Meeting;
2002; Orlando, Florida; 2002.
NCCN. Colon Cancer Practice Guidelines in Oncology v.1.2004.
Goldberg RM, Morton RF, DJ S. oxaliplatin + CPT-11 or 5-FU/leucovorin in advanced
colorectal cancer: final efficacy data from an Intergroup study (Abstr 215). In: 2004
Gastrointestinal Cancers Symposium.; 2004; San Fransisco; 2004.
Cassidy J, J T, C T. Xelox (capecitabine plus oxaliplatin): active first line therapy for
patients with metastatic. J Clin Oncol 2004.
Nadig DE, Virgo KS, Longo WE, Johnson FE. Follow up after potentially curative
therapy for rectal cancer. In: Audisio RA, Geraghty JG, Longo WE, Modern
Managemant of Cancer of the Rectum Spinger Verlag London 2001 135-142.
Adenis A, Conroy T, Lasser P, Merrouche Y, Monges G, Rivoire M, et al Standars,
Options and Recommendations: Carcinoma of the colon. Electronic J of Oncol
2001;1:83-89
58