BAB I
PENDAHULUAN
berencana,
perbaikan
gizi
masyarakat,
pencegahan
dan
Pada tahun 2013 BDB merupakan penyakit dengan jumlah terbanyak pada
Puskesmas Bareng dari seluruh kabupaten Jombang, pada tahun 2013 dengan
dengan jumlah
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kesehatan Lingkungan
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan lingkungan
adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan
lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Himpunan
Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) mendefinisikan kesehatan
lingkungan sebagai suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang
keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya
untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan
bahagia.
Terdapat 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan menurut World
Health Organization (WHO), yaitu :
1. Penyediaan air minum
2. Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran
3. Pembuangan sampah padat
4. Pengendalian vektor
5. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia
6. Higiene makanan, termasuk higiene susu
7. Pengendalian pencemaran udara
8. Pengendalian radiasi
9. Kesehatan kerja
10. Pengendalian kebisingan
11. Perumahan dan pemukiman
sanitasi
yang
berhubungan
dengan
keadaan
meliputi
kegiatan/program
penyehatan
air
dan
udara,
Penyebarluasan
informasi
mengenai
kesehatan
lingkungan
dan
masyarakat.
2.2
adalah
timbulnya
atau
meningkatnya
kejadian
a. Keracunan makanan
b. Keracunan pestisida
Kriteria-kriteria diatas dalam penggunaan sehari-hari harus didasarkan
pada akal sehat atau common sense. Sebab belum tentu suatu kenaikan
dua kali atau lebih merupakan KLB. Sebaliknya suatu kenaikan yang kecil
dapat saja merupakan KLB yang perlu ditangani seperti penyakit :
poliomyelitis dan tetanus neonatorum, kasus dianggap KLB dan perlu
penanganan khusus.
2.2.2 Penyakit-penyakit Menular yang Berpotensi Wabah/KLB
Penyakit-penyakit menular yang wajib dilaporkan adalah penyakitpenyakit yang memerlukan kewaspadaan ketat yang merupakan penyakitpenyakit wabah atau yang berpotensi wabah atau yang dapat menimbulkan
kejadian luar biasa (KLB).
Penyakit-penyakit menular dikelompokkan sebagai berikut:
1. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting antara lain
adalah:
DHF
Campak
Rabies
Tetanus Neonatorum
Diare
Pertusis
Poliomyelitis
10
11
2.2.1 Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan
nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus.
PenyakitDBD dapat muncul sepanjang tahun dan Pengendalian Penyakit dan
Kesehatan Lingkungan 149 dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit
ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Ditjen
PP&PL, Kemenkes RI, 2014)
2.2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511
kasus dengan jumlah kematian 871 orang (Incidence Rate/Angka kesakitan=
45,85 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,77%). Terjadi
peningkatan jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012 yang
sebesar 90.245 kasus dengan IR 37,27. Target Renstra Kementerian Kesehatan
untuk angka kesakitan DBD tahun 2013 sebesar 52 per 100.000 penduduk,
12
dengan demikian Indonesia telah mencapai target Renstra 2013. Berikut tren
IR DBD selama kurun waktu 2008-2013 (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
GAMBAR 6.27
ANGKA KESAKITAN (IR) DEMAM BERDARAH DENGUE PER 100.000
13
Gambaran angka kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2013 dapat dilihat
pada Gambar 6.28 Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 26 provinsi (78,8%)
yang telah mencapai target 2013. Provinsi dengan IR DBD tertinggi tahun
2013 yaitu Bali sebesar 168,48, DKI Jakarta sebesar 104,04, dan DI
Yogyakarta sebesar 95,99 per 100.000 penduduk. Kematian akibat DBD
dikategorikan tinggi jika CFR > 2%. Dengan demikian pada tahun 2013
terdapat tiga provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu Provinsi Jambi, Kep.
Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Timur. Pada provinsi tersebut masih
perlu upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan
kualitas dan kuantitas SDM kesehatan di rumah sakit dan puskesmas (dokter,
perawat, dan lain-lain) termasuk peningkatan sarana-sarana penunjang
diagnostik dan penatalaksanaan bagi penderita di sarana-sarana pelayanan
kesehatan (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
Berbeda
dengan
peningkatan
jumlah
penderita/angka
kesakitan,
14
Salah satu indikator yang digunakan untuk upaya pengendalian penyakit DBD
yaitu angka bebas jentik. Sampai tahun 2013 angka bebas jentik secara
nasional belum mencapai target yang sebesar 95% ( Ditjen PP&PL, Kemenkes
RI, 2014).
GAMBAR 6.30
ANGKA BEBAS JENTIK DI INDONESIA TAHUN 2010-2013
15
Pada tahun 2013 angka bebas jentik di Indonesia sebesar 80,09%. Sampai
tahun 2013 angka bebas jentik belum mencapai target nasional yang sebesar
95%. Belum semua provinsi melaporkan angka bebas jentik.
Informasi lebih rinci menurut provinsi terkait dengan penyakit DBD dapat
dilihat pada Lampiran 6.29 dan Lampiran 6.30.
16
17
Gambar 3.29 Perkembangan Annual Parasite Incidence (API) per 1.000 Penduduk
Beresiko
Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 2012
18
uraian tentang morfologi, siklus hidup, dan siklus hidup lingkungan hidup,
tempat perkembangbiakan, perilaku, penyebaran, variasi musiman, ukuran
kepadatan dan cara melakukan survei jentik (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
1. Morfologi
Morfologi tahapan Aedes aegypti sebagai berikut: a. Telur Telur berwarna
hitam dengan ukuran 0,80 mm, berbentuk oval yang mengapung satu persatu
pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat
penampung air. Telur dapat bertahan sampai 6 bulan di tempat kering.
Instar II : 2,5-3,8 mm 3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II 4)
Instar IV berukuran paling besar 5 mm
Gambar 19.
aegypti
c. Pupa
Larva Aedes
19
Pupa berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibanding larva (jentik)nya. Pupa Aedes aegypti berukuran lebih kecil jika
dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.
2. Identifikasi
20
a. Peralatan dan bahan terdiri dari : Stereo mikroskop, loupe, spesimen dan
kunci identifikasi. b. Cara Identifikasi : Menggunakan kunci identifikasi
nyamuk (kunci identifikasi bergambar dan buku kunci dengan bentuk
dikotomi). Mencocokkan ciri-ciri morfologi spesimen nyamuk dibawah
mikroskop (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
3. Bioekologi
a. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya
mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur - jentik (larva) -pupa nyamuk. Stadium telur, jentik dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya
telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu 2 hari setelah telur
terendam air. Stadium jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium
kepompong (Pupa) berlangsung antara 24 hari. Pertumbuhan dari telur
menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat
mencapai 2-3 bulan (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
21
22
Gambar 23.
d. Penyebaran Kemampuan terbang nyamuk Aedes sp. betina rata-rata 40
meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat
berpindah lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun di tempat
umum. Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan berkembang biak sampai
23
ketinggian daerah 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas 1.000 m dpl, suhu
udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak
(Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
e. Variasi Musiman Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat
karena telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika
habitat perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah)
mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk
sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Dengue (Ditjen
PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
pengendalian
vektor
DBD
bersifat
spesifik
lokal,
dengan
24
Berbagai metode PengendalianVektor (PV) DBD, yaitu: - Kimiawi - Biologi Manajemen lingkungan - Pemberantasan Sarang Nyamuk/PSN - Pengendalian
Vektor Terpadu (Integrated Vector Management/IVM)
1. Kimiawi
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan
salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding
dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan
pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus
mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran
termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan
metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam
kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan
ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran (Ditjen
PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
.
2. Biologi
25
Pengendalian
vektor
biologi
menggunakan
agent
biologi
seperti
26
dianjurkan pemakaian yang berulang kali. Racunnya tidak tahan sinar dan
rusak oleh sinar matahari (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
3. Manajemen lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air,
vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat
perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti
sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan
yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya
pengelolaan
lingkungan
sehingga
tidak
kondusif
sebagai
habitat
luas/serempak
dan
terus
menerus/berkesinambungan.
Tingkat
27
melakukan kegiatan ini secara rutin serta penguatan peran tokoh masyarakat
untuk mau secara terus menerus menggerakkan masyarakat harus dilakukan
melalui kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan di media masa, serta reward
bagi yang berhasil melaksanakannya (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
a. Tujuan Mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan
DBD dapat dicegah atau dikurangi.
b. Sasaran Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD : Tempat
penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari Tempat penampungan air
bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA) Tempat penampungan air
alamiah
c. Ukuran keberhasilan Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat
diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan
95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
d. Cara PSN DBD PSN DBD dilakukan dengan cara 3M-Plus, 3M yang
dimaksud yaitu: Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air,
seperti bak mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1) Menutup
rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan lainlain (M2) Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang
dapat menampung air hujan (M3).
Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti: Mengganti air vas
bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis
seminggu sekali. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan
tanah, dan lain-lain) Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat
28
yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air Memelihara ikan pemakan
jentik di kolam/bak-bak penampungan air Memasang kawat kasa
Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar Mengupayakan
pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai Menggunakan kelambu
Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk Cara-cara spesifik
lainnya di masing-masing daerah (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
Keseluruhan cara tersebut diatas dikenal dengan istilah dengan 3M-Plus.
e. Pelaksanaan 1) Di rumah Dilaksanakan oleh anggota keluarga. 2) Tempat
tempat umum Dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan atau
pengelola tempat tempat umum.
5. Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management)
IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh WHO untuk
mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai
institusi. IVM dalam pengendalian vektor DBD saat ini lebih difokuskan pada
peningkatan peran serta sektor lain melalui kegiatan Pokjanal DBD, Kegiatan
PSN anak sekolah dll.
29
30
hasil positif atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada
pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris). 4. Sindrom Syok
Dengue (SSD) ialah kasus DBD yang masuk dalam derajat III dan IV dimana
terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan
lemah, menyempitnya tekanan nadi ( 20 mmHg) atau hipotensi yang ditandai
dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah sampai terjadi
syok berat (tidak terabanya denyut nadi maupun tekanan darah).
B. Diagnosis DD dan DBD
1. Diagnosis Suspek Infeksi Dengue Diagnosis Suspek Infeksi dengue
ditegakkan bila terdapat 2 kriteria berikut: - Demam tinggi mendadak tanpa
sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari - Manifestasi perdarahan:
sekurang-kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif
2. Diagnosis Demam Dengue (DD)
a. Probable
1) Demam tinggi mendadak
2) Ditambah 2 atau lebih gejala/tanda penyerta: Muka kemerahan, Konjungtiva
kemerahan, Nyeri kepala , Nyeri belakang bola mata , Nyeri otot & tulang ,
Ruam kulit , Manifestasi perdarahan, Mual dan muntah , Leukopenia (Lekosit
= 5000 /mm3) , Trombositopenia (Trombosit < 150.000 /mm3 ) , Peningkatan
hematokrit 5 - 10 %, sebagai akibat dehidrasi.
3) Dan terdapat sekurang-kurangnya satu dari kriteria berikut: - Pemeriksaan
serologi Hemaglutination Inhibition (HI) test sampel serum tunggal; titer
1280 atau tes antibodi IgM dan IgG positif, atau antigen NS1 positif. - Kasus
31
berlokasi di daerah dan waktu yang bersamaan dimana terdapat kasus konfirm
Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue
b. Confirmed / diagnosis pasti Kasus probable disertai sekurang-kurangnya
satu kriteria berikut: 1) Isolasi virus Dengue dari serum 2) Pemeriksaan HI Test
Peningkatan titer antibodi 4 kali pada pasangan serum akut dan konvalesen
atau peningkatan antibodi IgM spesifik untuk virus dengue 3) Positif antigen
virus Dengue pada serum atau cairan serebrospinal (LCS=Liquor Cerebro
Spinal) dengan metode immunohistochemistry, immunofluoressence atau
ELISA 4) Positif pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
3. Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD)
a. Penegakan Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis DBD diperlukan
sekurang-kurangnya: - Terdapat kriteria klinis a dan b - Dua Kriteria
laboratorium
1) Klinis a) Demam tinggi mendadak berlangsung selama 2-7 hari. b) Terdapat
manifestasi/ tanda-tanda perdarahan ditandai dengan: - Uji Bendung
(Tourniquet Test) positif - Petekie, ekimosis, purpura - Perdarahan mukosa,
epistaksis, perdarahan gusi - Hematemesis dan/ atau melena c) Pembesaran hati
( di jelaskan cara pemeriksaan pembesaran hati ) d) Syok, ditandai nadi cepat
dan lemah serta penurunan tekanan nadi (
32
saat pasien belum sakit atau sudah sembuh atau adanya efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia (hipoalbuminemia).
b. Derajat Beratnya Penyakit DBD Derajat penyakit DBD diklasifikasikan
dalam 4 derajat:
Derajat I : Demam dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji
Tourniquet positif.
Derajat II : Terdapat perdarahan spontan antara lain perdarahan kulit (petekie),
perdarahan gusi, epistaksis atau perdarahan lain. (mesntruasi berlebihan,
perdarahan saluran cerna). Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan
sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau
kurang) atau
hipotensi, sianosis di
sekitar mulut,
lembab, dan anak tampak gelisah. Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok
berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.
Catatan : DBD Derajat III & IV adalah Sindrom Syok Dengue Adanya
kebocoran plasma (plasma leakage) yang ditandai dengan hemokonsentrasi
membedakan DBD dari DD. Pembagian derajat penyakit dapat juga
dipergunakan untuk kasus dewasa.
c. Gejala /tanda utama DBD
Gejala / tanda utama DBD sebagai berikut: 1) Demam, 2) Tanda-tanda
perdarahan, 3) Hepatomegali, 4) Syok
1) Demam Demam tinggi mendadak, sepanjang ahri, berlangsung 2-7 hari.
Fase kritis ditandai saat demam mulai turun biasanya setelah hari ke 3-6, hatihati karena pada fase tersebut dapat terjadi syok.
33
34
35
limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB) > 4% di darah tepi yang
biasanya dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh.
c) Trombosit Pemeriksaan trombosit antara lain dapat dilakukan dengan cara:
Semi kuantitatif (tidak langsung) Langsung (Rees-Ecker) Cara lainnya
sesuai kemajuan teknologi (Hematology Cell Counter Automatically) Jumlah
trombosit
Pemeriksaan trombosit perlu diulang setiap 4-6 jam sampai terbukti bahwa
jumlah trombosit dalam batas normal atau keadaan klinis penderita sudah
membaik.
d) Hematokrit Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran
pembuluh darah. Penilaian hematokrit ini, merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului
peningkatan hematokrit. Hemokonsertrasi dengan peningkatan hematokrit
20% (misalnya nilai Ht dari 35% menjadi 42%), mencerminkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian,
bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.
Namun perhitungan selisih nilai hematokrit tertinggi dan terendah baru dapat
dihitung setelah mendapatkan nilai Ht saat akut dan konvalescen (hari ke-7).
Pemeriksaan hematrokrit antara lain dengan mikro-hematokrit centrifuge Nilai
normal hematokrit: Anak-anak : 33 - 38 vol% Dewasa laki-laki : 40 - 48 vol
% Dewasa perempuan : 37 - 43 vol% Untuk puskesmas yang tidak ada alat
untuk pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.
36
Inhibition Test)
Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas (gold
standard). Namun pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel darah (serum)
dimana spesimen harus diambil pada fase akut dan fase konvalensen
(penyembuhan), sehinggga tidak dapat memberikan hasil yang cepat.
b) ELISA (IgM/IgG) Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer
atau sekunder dengan menentukan rasio limit antibodi dengue IgM terhadap
IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan IgG, uji tersebut dapat
dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel darah (serum) saja, yaitu
darah akut sehingga hasil cepat didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test
(misalnya Dengue Rapid Strip Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA.
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dengue Rapid Test Dengue Rapid Test
mendiagnosis infeksi virus primer dan sekunder melalui penentuan cut-off
kadar IgM dan IgG dimana cut-off IgM ditentukan untuk dapat mendeteksi
antibodi IgM yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue primer dan
sekunder, sedangkan cut off antibodi IgG
antibodi kadar tinggi yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue
sekunder (biasanya IgG ini mulai terdeteksi pada hari ke-2 demam) dan
disetarakan dengan titer HI > 1:2560 (tes HI sekunder) sesuai standar WHO.
Hanya respons antibodi IgG infeksi sekunder aktif saja yang dideteksi,
sedangkan IgG infeksi primer atau infeksi masa lalu tidak dideteksi. Pada
37
infeksi primer IgG muncul pada setelah hari ke14, namun pada infeksi
sekunder IgG timbul pada hari ke-2
Interpretasi hasil adalah apabila garis yang muncul hanya IgM dan kontrol
tanpa garis IgG, maka Positif Infeksi Dengue Primer (DD).
Sedangkan apabila muncul tiga garis pada kontrol, IgM, dan IgG dinyatakan
sebagai Positif Infeksi Sekunder (DBD). Beberapa kasus dengue sekunder
tidak muncul garis IgM, jadi hanya muncul garis kontrol dan IgG saja.
Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila hanya garis kontrol yang terlihat.
Ulangi pemeriksaan dalam 2-3 hari lagi apabila gejala klinis kearah DBD.
Pemeriksaan dinyatakan invalid apabila garis kontrol tidak terlihat dan hanya
terlihat garis pada IgM dan/atau IgG saja.
c) Antigen NS1 Pemeriksaan Laboratorium untuk konfirmasi : PCR
(Polymerase Chain Reaction) Isolasi Virus
3) Radiologi Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang untuk
mendeteksi adanya kebocoran plasma. Pada foto toraks posisi Right Lateral
Decubitus dapat mendeteksi adanya efusi pleura minimal pada paru kanan.
Pada pemeriksaan USG dapat mendeteksi adanya asites, penebalan dinding
kandung empedu dan efusi pleura minimal.
C. Tatalaksana
1. Pertolongan Pertama Penderita Demam Berdarah Dengue oleh Masyarakat
Pada awal perjalanan DBD gejala dan tanda tidak spesifik, oleh karena itu
masyarakat/keluarga diharapkan waspada jika terdapat gejala dan tanda yang
mungkin merupakan awal perjalanan penyakit tersebut. Gejala dan tanda awal
38
DBD dapat berupa panas tinggi tanpa sebab jelas yang timbul mendadak,
sepanjang hari, selama 2-7 hari, badan lemah/lesu, nyeri ulu hati, tampak
bintik-bintik
pecahnya
diregangkan bila bintik merah itu hilang, bukan tanda penyakit DBD.
Apabila keluarga/masyarakat menemukan gejala dan tanda di atas, maka
pertolongan pertama oleh keluarga adalah sebagai berikut: a. Tirah baring
selama demam b. Antipiretik (parasetamol) 3 kali 1 tablet untuk dewasa, 10-15
mg/kgBB/kali untuk anak. Asetosal, salisilat, ibuprofen jangan dipergunakan
karena dapat menyebabkan nyeri ulu hati akibat gastritis atau perdarahan. c.
Kompres hangat d. Minum banyak (1-2 liter/hari), semua cairan berkalori
diperbolehkan kecuali cairan yang berwarna coklat dan merah (susu coklat,
sirup merah). e. Bila terjadi kejang (jaga lidah agar tidak tergigit, longgarkan
pakaian, tidak memberikan apapun lewat mulut selama kejang)
Jika dalam 2-3 hari panas tidak turun atau panas turun disertai timbulnya
gejala dan tanda lanjut seperti perdarahan di kulit (seperti bekas gigitan
nyamuk), muntah-muntah, gelisah, mimisan dianjurkan segera dibawa berobat/
periksakan ke dokter atau ke unit pelayanan kesehatan untuk segera mendapat
pemeriksaan dan pertolongan.
2. Langkah - Langkah Pemeriksaan Demam Berdarah Dengue
Penderita yang menunjukan gejala/ tanda klinis DBD maka dilakukan
pemeriksaan sebagai berikut : a. Anamnesis (wawancara) dengan penderita
atau keluarga penderita tentang keluhan yang dirasakan, sehubungan dengan
gejala DBD. b. Observasi kulit dan konjungtiva untuk mengetahui tanda
39
perdarahan. Observasi kulit meliputi wajah, lengan, tungkai, dada, perut dan
paha. c. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital (kesadaran, tekanan
darah, nadi, dan suhu). d. Perabaan hati dan Penekanan pada hipokondrium
kanan menimbulkan rasa sakit/nyeri yang disebabkan karena adanya
peregangan kapsul hati e. Uji Tourniquet (Rumple Leede) f. Pemeriksaan
laboratorium darah rutin (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit).
3. Tatalaksana Rujukan Penderita DBD
Demam Berdarah Dengue termasuk salah satu penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah sesuai dengan Undang-Undang No. 4 th 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun
1989, maka bila dijumpai kasus DBD wajib dilaporkan dalam kurun waktu
kurang dari 24 jam. Dokter atau petugas kesehatan yang menemukan
kasus/tersangka DBD diwajibkan melaporkan ke Puskesmas setempat sesuai
dengan domisili (tempat tinggal) pasien dan membuat surat pengantar untuk
disampaikan kepada kepala desa/kelurahan melalui keluarga pasien. Formulir
rujukan pasien DBD dari Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya
menggunakan formulir S, atau surat tersendiri yang memuat data, nama, jenis
kelamin, umur, nama kepala keluarga, alamat, tanggal mulai masuk dan keluar
sarana pelayanan kesehatan ( Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit) dan
pengobatan yang telah diberikan, disampaikan kepada RS rujukan.
Persiapan rujukan
Sebelum merujuk pasien DBD perlu memperhatikan : a. Tanda vital pasien
harus stabil b. Disertakan formulir dengan hasil parameter klinis dan
laboratorium serta terapi penting yang sudah diberikan.
40
41
dan
oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh
42
karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka
cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama demam pada DBD.
b) Fase Kritis
pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap
kejadian syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala
merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil
pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan
pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi
sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit
harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal
kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu
sensitif.
Untuk puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb Sahli dengan estimasi nilai Ht=3x kadar Hb
b.1) Penggantian Volume Plasma Dasar patogenesis DBD adalah perembesan
plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase
syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang
hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan
pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60
menit). Tetesan berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
43
hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
b.2) Cairan intravena diperlukan, apabila: 1) Anak terus menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, 2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan
yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila terdapat
asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%, 1-2 ml/kgBB
intravena bolus
perlahan-lahan.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa
5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital,
diuresis setiap jam dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya
evaluasi 12-24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka
tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam
dan akhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam. b.3) Jenis Cairan Kristaloid: Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat (RA), Larutan
garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa
5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan
garam faali (D5/1/2LGF) (Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan
44
memasuki
fase
penyembuhan,
saat
terjadi
reabsorbsi
cairan
45
ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit,
berikan cairan koloid 1020 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada
umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30ml/kgBB/hari atau maksimal
pemberian koloid 1500ml/hari, dan sebaiknya tidak diberikan pada saat
perdarahan.
Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih
menetap sedangkan kadar hematokrit turun, maka pikirkan adanya perdarahan
internal. Maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar/ komponen sel
darah merah. Apabila nilai hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam
volume kecil (10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30ml/kgBB/24jam,
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai
keadaan klinis dan kadar hematokrit.
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah
membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan
menjadi 10 ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari
kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin 1ml/kgBB/jam atau lebih
merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya,
cairan dapat dihentikan setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
46
47
(misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah
diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena
cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembeku trombosit.
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID
(Koagulasi Intravascular Disseminata) dan perdarahan masif. KID biasanya
terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian.
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah : (1) Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus
dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi. (2)
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis
pasien stabil. (3) setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan,
mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan
yang diberikan sudah mencukupi. (4) Jumlah dan frekuensi diuresis
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
cukup 1ml/kgBB/jam, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan
diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat,
maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Jika pasien sudah
stabil, maka bisa dirujuk ke RS rujukan.
g) Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD
48
nasional
Persalinan
Memberi
3.
Menimbang
5.
Mencuci
8.
bayi
tangan
Makan
sayur
yaitu
tenaga
balita
Eksklusif
setiap
bulan
Air
dengan
air
Bersih
bersih
dan
jamban
jentik
dan
sabun
sehat
di
buah
kesehatan
ASI
Menggunakan
Memberantas
10,
oleh
Menggunakan
6.
7.
ada
ditolong
2.
4.
PHBS
rumah
setiap
hari
49
hari
BAB 3
HASIL PENELITIAN
3.1 Kejadian
Berdasarkan
DBD
Usia
dan
Bulan
Bulan
< 1 thn
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Total
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
3
(6%)
Tahun 2013
1-4 thn 5-14
>15
thn
thn
1
3
1
2
4
1
1
1
2
0
1
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
1
0
4
6
3
3
4
1
3
5
2
14
28
11
(26%) (49%) (19%)
Total
< 1 thn
6
7
4
1
2
0
0
3
1
14
9
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
(0%)
Tahun 2014
1-4 thn 5-14 thn >15
thn
2
2
0
0
1
0
1
2
1
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
0
2
1
4
11
5
(20%)
(55%)
(25%)
Tabel 1. Distribusi dan frekuensi penyakit DBD berdasarkan usia dan bulan
Berdasarkan tabel di atas, kejadian DBD terbanyak terjadi pada usia 5-14
tahun baik di tahun 2013 maupun tahun 2014. Kejadian DBD terbanyak terjadi
pada bulan oktober yaitu sebesar 28 kasus pada tahun 2013, dan pada bulan
Januari dan Maret masing-masing sebanyak 4 kasus pada tahun 2014.
Total
4
1
4
0
0
2
2
0
0
2
2
3
50
16
14
12
10
8
6
Tahun 2013
Tahun 2014
2
0
1-4 th
5-14 th
> 15 th
49%
Gambar 3.1 Diagram Pie Angka kejadian DBD berdasarkan Usia tahun 2013
Dari hasil data diatas pada tahun 2013 didapatkan kejadian DBD di wilayah
kerja puskesmas Bareng pada kelompok usia < 1 tahun 6%, 1-4 tahun 26%,
tertinggi pada usia 5-14 tahun yakni sebesar 49%, dan pada usia >15 tahun 19%.
51
25%
< 1 th
1-4 th
5-14 th
> 15 th
55%
Gambar 3.2 Diagram Pie Angka kejadian DBD berdasarkan Usia tahun 2014
Dari hasil data diatas pada tahun 2014 didapatkan kejadian DBD di wilayah
kerja puskesmas Bareng pada kelompok usia < 1 tahun sebesar 0%, 1-4 tahun
sebesar 20%, tertinggi pada usia 5-14 tahun 55%, dan pada usia >15 tahun 25%.
3.2 Kejadian DBD Berdasarkan Desa di Kecamatan Bareng
Tahun 2013
Presentase
Tahun 2014 Presentase
Bareng
11
19%
5
25%
Mojo Tengah
6
11%
2
10%
Tebel
6
11%
3
15%
Kebon Dalem
1
2%
0
0%
Karangan
1
2%
0
0%
Pakel
3
5%
3
15%
Mundusewu
6
11%
0
0%
Ngampungan
2
3%
2
10%
Jenis Gelaran
2
3%
1
5%
Pulosari
2
3%
0
0%
Ngrimbi
8
14%
2
10%
Nglebak
1
2%
2
10%
Banjar Agung
8
14%
0
0%
Tabel 1. Distribusi dan frekuensi penyakit DBD berdasarkan desa
52
12
10
8
6
Tahun 2013
Tahun 2014
2
0
Berdasarkan tabel di atas, kejadian DBD terbanyak terjadi di Desa Bareng baik
pada tahun 2013 maupun 2014.
3.2 Kejadian Berdasarkan Jenis Kelamin
Perempuan
61%
Gambar 3.2 Diagram Pie Angka kejadian DBD berdasarkan Jenis Kelamin
53
Dari hasil data diatas didapatkan jumlah kejadian DBD berdasarkan jenis
kelamin di wilayah kerja Puskesmas Bareng laki-laki sebesar 61% (35 orang) dan
39 % (22 orang) perempuan.
Kejadian DBD berdasarkan Presentase Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat
6%
Bareng
6%
9%
9%
6%
8%
Mundusewu
Ngrimbi
Nglebak
7%
8%
Banjar Agung
9%
8%
8%
6%
8%
Gambar 3.3 Diagram Pie Kejadian DBD berdasarkan Presentase Rumah Tangga
Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat
Berdasarkan diagram pie di atas didapatkan bahwa presentase data rumah tangga
yang berperilaku hidup bersih dan sehat terendah terdapat di desa Bareng yaitu sebesar
45, 83%.
54
14%
Gambar 3.4 Diagram Pie Rumah Bebas Jentik Nyamuk Aedes di wilayah kerja
Puskesmas Bareng
Dari hasil data di atas didapatkan bahwa rumah/bangunan di kecamatan
bareng sebagian besar sudah dinyatakan bebas jentik nyamuk aedes yakni sebesar
86% (14.189 rumah), sedangkan sisanya yang masih belum dinyatakan bebas
jentik nyamuk aedes sebesar 14% (2.288 rumah).
55
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1
56
dapat dilihat bahwa kejadian DBD baik pada tahun 2013 maupun 2014 hampir
semuanya terjadi pada bulan Oktober Maret, dimana bulan tersebut merupakan
musim penghujan yang menyebabkan timbulnya banyak genangan air hujan di
rumah dan lingkungan sekitar penduduk, sehingga mengakibatkan meledaknya
jumlah populasi nyamuk yang bisa menyebabkan peningkatan penyebaran
berbagai penyakit, terutama demam berdarah.
4.2
57
Dari hasil data diatas didapatkan jumlah kejadian DBD berdasarkan jenis
kelamin di wilayah kerja Puskesmas Bareng laki-laki sebesar 61 % dan 39 %
perempuan. Deskripsi kasus DBD berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan. Jika
dikaitkan dengan teori dari hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
frekuensi nyamuk menggigit manusia di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas
manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit
nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan
demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus
dengue, maka hasil data di atas kurang sesuai dengan teori tersebut, karena bila
dihubungkan dengan jenis kelamin, sebagian besar wanita di kecamatan Bareng
adalah ibu rumah tangga yang lebih jarang bergerak jika dibandingkan dengan
laki-laki yang sebagian besar bekerja sebagai petani, sehingga mereka lebih
banyak bergerak daripada perempuan. Sehingga untuk temuan ini dianggap
.merupakan faktor kebetulan
4.4
58
agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan
tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Pola perilaku hidup bersih
dan sehat tentunya menjadi salah satu faktor penting dalam upaya pencegahan dari
berbagai macam penyakit, termasuk DBD. Jika tidak ada kesadaran diri dari
masing-masing keluarga untuk menjaga kesehatan dan kebersihan baik diri sendiri
maupun lingkungan sekitar, maka agen penyakit seperti virus dengue yang
menular melalui gigitan nyamuk Aedes spp tentunya dengan mudah akan
menyebabkan timbulnya penyakit DBD pada keluarga tersebut dan orang lain
disekitarnya.
Pengetahuan dari keluarga terhadap pentingnya berperilaku hidup bersih dan
sehat menjadi sangat penting demi menciptakan lingkungan yang bersih dan
sehat, host yang kuat terhadap serangan agen penyakit sehingga diharapkan
penularan virus dengue bisa ditekan dan angka kejadian DBD berkurang.
4.5
59
60
Percegahan Sekunder
Kenali gejala-gejala dini penyakit DBD. Pertolongan pertama yang dapat
dilakukan pada penderita diare adalah pemberian cairan pengganti. Tidak ada obatobatan yang bisa menghilangkan agen penyakit DBD dari tubuh karena penyebab
DBD adalah virus yang bersifat self-limited disease atau penyakit yang bisa sembuh
dengan sendirinya. Namun yang paling ditakuti adalah dehidrasi berat yang hampir
selalu dialami oleh pasien DBD. Oleh karena itu terapi penggantian cairan yang
hilang secara adekuat merupakan terapi dasar dan wajib bagi seluruh pasien DBD,
selain pemberian obat-obatan yang bersifat simptomatik. Pengenalan dini gejala
DBD, pemberian terapi cairan yang adekuat dan dini dapat mencegah progresifitas
penyakit. Sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang berat.
4.6.3
Pencegahan Tersier
Untuk mempercepat proses pemulihan dan mencegah kekambuhan dengan
cara memperbaiki status gizi dengan cara makan-makanan yang bersih dan sehat,
pola hidup sehat dan senantiasa menjaga kebersihan lingkungan sekitar secara rutin
dan terus-menerus.
BAB 5
61
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Rentang usia terbanyak kejadian DBD didapatkan pada usia 5-14 tahun
sebanyak 52 %.
2. Desa terbanyak kejadian DBD terjadi di Desa Bareng baik pada tahun 2013
maupun tahun 2014.
3. Kejadian DBD terbanyak terjadi pada bulan oktober yaitu sebesar 28 kasus
pada tahun 2013, dan pada bulan Januari dan Maret masing-masing
sebanyak 4 kasus pada tahun 2014.
4. Jenis kelamin terbanyak kejadian DBD didapatkan pada laki-laki yaitu
sebanyak 61% dan perempuan 39%.
5. Presentase data rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat terendah
terdapat di desa Bareng yaitu sebesar 45, 83%.
62
dalam menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Upaya penyuluhan dari Dinas
Kesehatan
dan
Bagi masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
63
DepKes
RI,
2005.,
diakses
17
Januari
2015
pukul
21.30,
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/petakesehatan/peta-kesehatan-2005.pdf
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013, PROFIL KESEHATAN PROVINSI
JAWA TIMUR TAHUN 2012, diakses 17 Januari 2015 pukul 23.20,
http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/1380615402_PROFIL_KE
SEHATAN_PROVINSI_JAWA_TIMUR_2012.pdf
Gama, Azizah. 2009. ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN DEMAM
BERDARAH
DENGUE
DI
DESA
MOJOSONGO
KABUPATEN
64