Anda di halaman 1dari 64

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epidemiologi adalah suatu rangkaian proses yang terus menerus dan
sistematik dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis dan interpretasi
serta disiminasi informasi untuk aksi atau perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian program kesehatan masyarakat berdasarkan evidence base.
Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu (Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor
560/Menkes/Per/VIII/1989). KLB penyakit menular merupakan indikasi
ditetapkannya suatu daerah menjadi suatu wabah, atau dapat berkembang
menjadi suatu wabah. Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya
suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu
dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan mala petaka (UU No.4, 1984).
Sesuai dengan strategi Indonesia sehat tahun 2015 dan kebutuhan
pembangunan sektor kesehatan di era desentralisasi ini, Departemen
kesehatan Republik Indonesia sudah menetapkan visi dan misi Puskesmas.
Visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas adalah terwujudnya
Kecamatan sehat tahun 2015. Kecamatan sehat merupakan gambaran
masyarakat kecamatan masa depan yang hidup di lingkungan yang sehat dan
perilaku hidup masyarakat yang juga sehat, mampu menjangkau pelayanan

kesehatan yang ada di wilayahnya serta memiliki derajat kesehatan yang


setinggi-tingginya. Pencapaian visi Indonesia 2015 dapat dicapai dengan
menggerakan puskesmas sebagai pelaksana teknis Dinas Kesehatan terbawah
yang memiliki enam kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu upaya
promosi kesehatan, kesehatan lingkungan (kesling), kesehatan ibu anak dan
keluarga

berencana,

perbaikan

gizi

masyarakat,

pencegahan

dan

pemberantasan penyakit menular, serta pengobatan.


Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu
masalah kesehatan masarakat di Indonesia, sejak tahun 1968 jumlah
kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas.
Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk sejalan
dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya
virus Dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah di Indonesia
(Depkes RI, 2005: 1).
Penyakit ini termasuk salah satu penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah, maka sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun
1984 tentang wabah penyakit menular serta Peraturan Menteri Kesehatan
No. 560 tahun 1989, setiap penderita termasuk tersangka DBD harus segera
dilaporkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 24 jam oleh unit
pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, poliklinik, balai pengobatan,
dokter praktik swasta, dan lain-lain) (Depkes RI, 2005: 1).

Pada tahun 2013 BDB merupakan penyakit dengan jumlah terbanyak pada
Puskesmas Bareng dari seluruh kabupaten Jombang, pada tahun 2013 dengan

jumlah mencapai 57 kasus (24%) dan pada tahun 2014

dengan jumlah

mencapai 20 kasus (19%). Tingginya angka kejadian DBD di Puskesmas


Bareng merupakan latar belakang diangkatnya topik DBD pada pembahasan
laporan epidemiologi ini.
1.2 Tujuan Kegiatan
1.2.1 Tujuan umum
Menganalisis kejadian BDB di wilayah kerja Puskesmas Bareng periode
2013-2014.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Menganalisis kejadian DBD berdasarkan bulan di wilayah kerja
Puskesmas Bareng pada tahun 2013-2014.
2. Menganalisis kejadian DBD berdasarkan usia di wilayah kerja
Puskesmas Bareng pada tahun 2013-2014.
3. Menganalisis kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin di wilayah
kerja Puskesmas Bareng pada tahun 2013-2014.
4. Menganalisis kejadian DBD berdasarkan desa di wilayah kerja
Puskesmas Bareng pada tahun 2013-2014.
5. Menganalisis kejadian DBD berdasarkan Presentase Rumah Tangga
Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat di wilayah kerja Puskesmas
Bareng pada tahun 2013-2014.
6. Menganalisis kejadian DBD berdasarkan Data Rumah/Bangunan
Bebas Jentik Nyamuk Aedes di wilayah kerja Puskesmas Bareng
pada tahun 2013-2014.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Kesehatan Lingkungan
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan lingkungan
adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan
lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Himpunan
Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) mendefinisikan kesehatan
lingkungan sebagai suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang
keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya
untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan
bahagia.
Terdapat 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan menurut World
Health Organization (WHO), yaitu :
1. Penyediaan air minum
2. Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran
3. Pembuangan sampah padat
4. Pengendalian vektor
5. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia
6. Higiene makanan, termasuk higiene susu
7. Pengendalian pencemaran udara
8. Pengendalian radiasi
9. Kesehatan kerja
10. Pengendalian kebisingan
11. Perumahan dan pemukiman

12. Aspek kesling dan transportasi udara


13. Perencanaan daerah dan perkotaan
14. Pencegahan kecelakaan
15. Rekreasi umum dan pariwisata
16.Tindakan-tindakan

sanitasi

yang

berhubungan

dengan

keadaan

epidemi/wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk


17. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan.
Di Indonesia, berdasarkan undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang
Pokok-Pokok Kesehatan pasal 22 ayat 3 menyebutkan bahwa kesehatan
lingkungan

meliputi

kegiatan/program

penyehatan

air

dan

udara,

pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi, kebisingan,


pengendalian vektor penyakit dan penyakit berbasis lingkungan, dan
penyehatan atau pengamanan lainnya.
Masalah kesehatan berbasis lingkungan disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan baik kualitas maupun
kuantitasnya, serta perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat yang masih
rendah, mengakibatkan penyakit berbasis lingkungan seperti diare, ISPA,
TB Paru, DBD dan lain-lain. Di samping itu juga disebabkan oleh pola
pelayanan kesehatan yang masih menitik beratkan pada pelayanan kuratif.
Bila melihat kondisi lingkungan yang kurang sehat dan perilaku hidup
bersih dan sehat masyarakat yang masih rendah, maka perlu adanya
program kegiatan terobosan yang dapat memacu peningkatan kualitas
lingkungan yang lebih baik, sehingga dapat menekan kejadian penyakit
yang berbasis lingkungan. Program kegiatan Siaga Kesehatan Lingkungan

(Siaga Kesling) yang merupakan kegiatan yang bertujuan meningkatkan


kualitas lingkungan dengan melibatkan peran serta masyarakat agar
masyarakat terlindungi dari masalah penyakit yang berbasis lingkungan.
Tujuan khusus dari kegiatan Siaga Kesling adalah :
1. Meningkatnya perilaku masyarakat dalam berperilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS).
2. Penanggulangan masalah kesehatan ke arah upaya preventif dan promotif.
3. Meningkatnya gerakan masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah
kesehatan lingkungan.
4. Menurunnya penyakit berbasis lingkungan.
5.

Penyebarluasan

informasi

mengenai

meningkatkan pengetahuan tentang

kesehatan

lingkungan

dan

kesehatan lingkungan kepada

masyarakat.
2.2

Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB)


2.2.1. Pengertian Wabah/KLB serta Kriteria KLB
1. Wabah
Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu
penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim
pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan mala
petaka (UU No.4, 1984). Menteri menetapkan jenis-jenis penyakit
tertentu yang dapat menimbulkan wabah. Menteri menetapkan dan
mencabut penetapan daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang
terjangkit wabah sebagai daerah wabah.

2. Kejadian Luar Biasa (KLB)


KLB

adalah

timbulnya

atau

meningkatnya

kejadian

kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu


daerah dalam kurun waktu tertentu (Peraturan Menteri Kesehatan
RI, Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989). KLB penyakit menular
merupakan indikasi ditetapkannya suatu daerah menjadi suatu
wabah, atau dapat berkembang menjadi suatu wabah.
3. Kriteria Kerja KLB
Kepala wilayah/daerah setempat yang mengetahui adanya
tersangka wabah (KLB penyakit menular) di wilayahnya atau
tersangka penderita penyakit menular yang dapat menimbulkan
wabah, wajib segera melakukan tindakan-tindakan penanggulangan
seperlunya, dengan bantuan unit kesehatan setempat, agar tidak
berkembang menjadi wabah (UU 4, 1984 dan Permenkes
560/Menkes/Per/VIII/1989).
Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Timbulnya suatu penyakit/ menular yang sebelumnya tidak ada/
tidak dikenal.
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3
kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari,
minggu).

3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian, 2 kali atau lebih


dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, minggu, bulan,
tahun).
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per
bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan
kenaikan dua kali lipat atau lebih dibanding dengan angka ratarata per bulan dari tahun sebelumnya.
6. Case Fatality rate (CFR) suatu penyakit dalam suatu kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih,
dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.
7. Proportional Rate (PR) penderita dari suatu periode tertentu
menunjukkan kenaikan dua atau lebih diabnding periode, kurun
waktu atau tahun sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus menetapkan kriteria khusus : kholera
dan demam berdarah dengue
a. Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada
daerah endemis).
b. Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4
minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari
penyakit yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit seperti keracunan, menetapkan 1 (satu) kasus
atau lebih sebagai KLB.

a. Keracunan makanan
b. Keracunan pestisida
Kriteria-kriteria diatas dalam penggunaan sehari-hari harus didasarkan
pada akal sehat atau common sense. Sebab belum tentu suatu kenaikan
dua kali atau lebih merupakan KLB. Sebaliknya suatu kenaikan yang kecil
dapat saja merupakan KLB yang perlu ditangani seperti penyakit :
poliomyelitis dan tetanus neonatorum, kasus dianggap KLB dan perlu
penanganan khusus.
2.2.2 Penyakit-penyakit Menular yang Berpotensi Wabah/KLB
Penyakit-penyakit menular yang wajib dilaporkan adalah penyakitpenyakit yang memerlukan kewaspadaan ketat yang merupakan penyakitpenyakit wabah atau yang berpotensi wabah atau yang dapat menimbulkan
kejadian luar biasa (KLB).
Penyakit-penyakit menular dikelompokkan sebagai berikut:
1. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting antara lain
adalah:
DHF
Campak
Rabies
Tetanus Neonatorum
Diare
Pertusis
Poliomyelitis

10

2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat


atau mempunyai mortalitas tinggi, dan penyakit yang telah masuk
program eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan segera:
Malaria
Frambosia
Influenza
Anthrax
Hepatitis
Typhus abdominalis
Meningitis
Keracunan
Encephalitis
Tetanus
4. Penyakit-penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa
penyakit penting.
5. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan
wabah dan KLB tetapi diprogramkan, ditingkat kecamatan
dilaporkan secara bulanan melalui RR terpadu Puskesmas ke
Kabupaten, dan seterusnya secara berjenjang sampai ke tingkat
pusat. Penyakit-penyakit tersebut meliputi : Cacing, Lepra,
Tuberculosa, Syphilis, Gonorhoe, Filariasis & AIDS, dll. Sehingga
petugas Poskesdes diharapkan melaporkan kejadian-kejadian
penyakit ini ke tingkat Kecamatan/ Puskesmas jika, dari penyakitpenyakit diatas, pada keadaan tidak ada wabah/KLB secara rutin

11

hanya yang termasuk kelompok 1 dan kelompok 2 yang perlu


dilaporkan secara mingguan. Bagi penyakit kelompok 3 dan
kelompok 4 bersama-sama penyakit kelompok 1 dan 2 secara rutin
dilaporkan bulanan ke Puskesmas.
Jika peristiwa KLB atau wabah dari penyakit yang bersangkutan sudah
berhenti (incidence penyakit sudah kembali pada keadaan normal), maka penyakit
tersebut tidak perlu dilaporkan secara mingguan lagi. Sementara itu, laporan
penyakit setiap setiap bulan perlu dilaporkan ke Puskesmas oleh Bidan
desa/petugas di Poskesdes.
2.2 Demam Berdarah Dengue

2.2.1 Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan
nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus.
PenyakitDBD dapat muncul sepanjang tahun dan Pengendalian Penyakit dan
Kesehatan Lingkungan 149 dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit
ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Ditjen
PP&PL, Kemenkes RI, 2014)

2.2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511
kasus dengan jumlah kematian 871 orang (Incidence Rate/Angka kesakitan=
45,85 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,77%). Terjadi
peningkatan jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012 yang
sebesar 90.245 kasus dengan IR 37,27. Target Renstra Kementerian Kesehatan
untuk angka kesakitan DBD tahun 2013 sebesar 52 per 100.000 penduduk,

12

dengan demikian Indonesia telah mencapai target Renstra 2013. Berikut tren
IR DBD selama kurun waktu 2008-2013 (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).

GAMBAR 6.27
ANGKA KESAKITAN (IR) DEMAM BERDARAH DENGUE PER 100.000

PENDUDUK TAHUN 2008-2013


Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

13

Gambaran angka kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2013 dapat dilihat
pada Gambar 6.28 Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 26 provinsi (78,8%)
yang telah mencapai target 2013. Provinsi dengan IR DBD tertinggi tahun
2013 yaitu Bali sebesar 168,48, DKI Jakarta sebesar 104,04, dan DI
Yogyakarta sebesar 95,99 per 100.000 penduduk. Kematian akibat DBD
dikategorikan tinggi jika CFR > 2%. Dengan demikian pada tahun 2013
terdapat tiga provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu Provinsi Jambi, Kep.
Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Timur. Pada provinsi tersebut masih
perlu upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan
kualitas dan kuantitas SDM kesehatan di rumah sakit dan puskesmas (dokter,
perawat, dan lain-lain) termasuk peningkatan sarana-sarana penunjang
diagnostik dan penatalaksanaan bagi penderita di sarana-sarana pelayanan
kesehatan (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
Berbeda

dengan

peningkatan

jumlah

penderita/angka

kesakitan,

jumlahkabupaten/kota terjangkit DBD mengalami penurunan, dari 417 (83,9%)


pada tahun 2012 menjadi 412 Kabupaten/Kota (82,9%) pada tahun 2013.
Berikut ini gambaran jumlah kabupaten/kota terjangkit tahun 2008-2013.
Selama periode tahun 2008 sampai tahun 2013 jumlah kabupaten/kota
terjangkit DBD cenderung meningkat (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
GAMBAR 6.29
JUMLAH KABUPATEN/KOTA TERJANGKIT DBD DI INDONESIA TAHUN
2008-2013

14

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Salah satu indikator yang digunakan untuk upaya pengendalian penyakit DBD
yaitu angka bebas jentik. Sampai tahun 2013 angka bebas jentik secara
nasional belum mencapai target yang sebesar 95% ( Ditjen PP&PL, Kemenkes
RI, 2014).

GAMBAR 6.30
ANGKA BEBAS JENTIK DI INDONESIA TAHUN 2010-2013

15

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Pada tahun 2013 angka bebas jentik di Indonesia sebesar 80,09%. Sampai
tahun 2013 angka bebas jentik belum mencapai target nasional yang sebesar
95%. Belum semua provinsi melaporkan angka bebas jentik.

Informasi lebih rinci menurut provinsi terkait dengan penyakit DBD dapat
dilihat pada Lampiran 6.29 dan Lampiran 6.30.

JUMLAH PENDERITA, INCIDENCE RATE PER 100.000 PENDUDUK, KASUS


MENINGGAL, DAN CASE FATALITY RATE (%) DEMAM BERDARAH

DENGUE (DBD/DHF) MENURUT PROVINSI TAHUN 2013


Sumber : Ditjen P & PL, Kemenkes RI, 2014
Keterangan: update tangal 5 Mei 2014

JUMLAH KABUPATEN/KOTA YANG TERJANGKIT DEMAM BERDARAH


DENGUE
MENURUT PROVINSI TAHUN 2011 -2013

16

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever


(DHF) mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta,
dan setelah itu jumlah kasus DBD terus bertambah seiring dengan semakin
meluasnya daerah endemis DBD. Penyakit ini tidak hanya sering menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB) tetapi juga menimbulkan dampak buruk sosial dan
ekonomi. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena menimbulkan
kepanikan keluarga, kematian anggota keluarga, dan berkurangnya usia
harapan penduduk. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat dan endemis di hampir seluruh kabupaten/kota
di Jawa Timur. Demam Berdarah Dengue juga sudah menjadi masalah yang
rutin dihadapi pada setiap musim hujan. Angka kesakitan di Jawa Timur cukup
tinggi, meskipun jumlah kematian yang terjadi dapat ditekan ( Ditjen PP&PL,
Kemenkes RI, 2014).

17

Gambar 3.29 Perkembangan Annual Parasite Incidence (API) per 1.000 Penduduk
Beresiko
Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 2012

Sumber : Laporan Program DBD


Seksi Pemberantasan Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

2.2.3 Morfologi, Identifikasi dan Bioekologi Vektor DBD


Berdasarkan Permenkes Nomor 374/Menkes/Per/III/2011 tentang pengendalian
vektor bahwa pengertian vektor adalah arthropoda yang dapat menularkan,
memindahkan dan atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia.
Vektor DBD adalah nyamuk yang dapat menularkan, memindahkan dan atau
menjadi sumber penular DBD. Di Indonesia ada 3 jenis nyamuk yang bisa
menularkan virus dengue yaitu : Aedes aegypti, Aedes albopictus dan Aedes
scutellaris. Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus Dengue
merupakan sumber penular Demam Berdarah Dengue (DBD). Virus Dengue
berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam.Berikut ini

18

uraian tentang morfologi, siklus hidup, dan siklus hidup lingkungan hidup,
tempat perkembangbiakan, perilaku, penyebaran, variasi musiman, ukuran
kepadatan dan cara melakukan survei jentik (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
1. Morfologi
Morfologi tahapan Aedes aegypti sebagai berikut: a. Telur Telur berwarna
hitam dengan ukuran 0,80 mm, berbentuk oval yang mengapung satu persatu
pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat
penampung air. Telur dapat bertahan sampai 6 bulan di tempat kering.

Gambar 18. Telur Aedes aegypti


Gambaran morfologi Aedes aegypti secara mikroskopis dapat anda lihat di
buku Pedoman Survai Entomologi Demam Berdarah Dengue; Subdit
Pengendalian Vektor, Ditjen PP&PL, DEPKES RI.
b. Jentik (larva) Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai dengan pertumbuhan
larva tersebut, yaitu: 1) Instar I

: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm 2)

Instar II : 2,5-3,8 mm 3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II 4)
Instar IV berukuran paling besar 5 mm

Gambar 19.
aegypti
c. Pupa

Larva Aedes

19

Pupa berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibanding larva (jentik)nya. Pupa Aedes aegypti berukuran lebih kecil jika
dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.

Gambar 20. Pupa


d. Nyamuk dewasa Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan
dengan ratarata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintikbintik putih pada bagian badan dan kaki.

Gambar 21. Aedes sp.


Sebenarnya yang dimaksud Vektor DBD adalah nyamuk Aedes aegypti betina.
Perbedaan morfologi antara nyamuk aedes aegypti yang betina dengan yang
jantan terletak pada perbedaan morfologi antenanya, Aedes aegypti jantan
memiliki antena berbulu lebat sedangkan yang betina berbulu agak jarang/
tidak lebat.

2. Identifikasi

20

a. Peralatan dan bahan terdiri dari : Stereo mikroskop, loupe, spesimen dan
kunci identifikasi. b. Cara Identifikasi : Menggunakan kunci identifikasi
nyamuk (kunci identifikasi bergambar dan buku kunci dengan bentuk
dikotomi). Mencocokkan ciri-ciri morfologi spesimen nyamuk dibawah
mikroskop (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
3. Bioekologi
a. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya
mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur - jentik (larva) -pupa nyamuk. Stadium telur, jentik dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya
telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu 2 hari setelah telur
terendam air. Stadium jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium
kepompong (Pupa) berlangsung antara 24 hari. Pertumbuhan dari telur
menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat
mencapai 2-3 bulan (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).

Gambar 22. Siklus hidup


nyamuk Aedes aegypti
b. Habitat Perkembangbiakan Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah
tempat-tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah
serta tempat-tempat umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti

21

dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Tempat penampungan air (TPA)


untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak
mandi/wc, dan ember. 2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan
sehari-hari seperti: tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak
kontrol pembuangan air, tempat pembuangan air kulkas/dispenser, barangbarang bekas (contoh : ban, kaleng, botol, plastik, dll). 3) Tempat
penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu dan tempurung
coklat/karet, dll (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
c. Perilaku Nyamuk Dewasa Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di
permukaan air untuk sementara waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap
meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk mampu terbang mencari makanan.
Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga
untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk
betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat
antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur, agar dapat
menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur
mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan, waktunya
bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut dengan siklus
gonotropik (Gambar 22).
Aktivitas menggigit nyamuk Aedes aegypti biasanya mulai pagi dan petang
hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 -10.00 dan 16.00 17.00.
Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali dalam satu

22

siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan


demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.
Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang gelap dan
lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan habitat
perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk menunggu proses
pematangan telurnya.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan
meletakkan telurnya di atas permukaan air, kemudian telur menepi dan melekat
pada dinding-dinding habitat perkembangbiakannya. Pada umumnya telur akan
menetas menjadi jentik/larva dalam waktu 2 hari. Setiap kali bertelur nyamuk
betina dapat menghasilkan telur sebanyak 100 butir. Telur itu di tempat yang
kering (tanpa air) dapat bertahan 6 bulan, jika tempat-tempat tersebut
kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas
lebih cepat (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).

Gambar 23.
d. Penyebaran Kemampuan terbang nyamuk Aedes sp. betina rata-rata 40
meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat
berpindah lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun di tempat
umum. Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan berkembang biak sampai

23

ketinggian daerah 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas 1.000 m dpl, suhu
udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak
(Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
e. Variasi Musiman Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat
karena telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika
habitat perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah)
mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk
sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Dengue (Ditjen
PP&PL, Kemenkes RI, 2014).

C. METODE PENGENDALIAN VEKTOR


Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh
vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan
kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia
serta memutus rantai penularan penyakit (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
Metode

pengendalian

vektor

DBD

bersifat

spesifik

lokal,

dengan

mempertimbangkan faktorfaktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman,


habitat perkembangbiakan); lingkungan sosial-budaya (Pengetahuan Sikap dan
Perilaku) dan aspek vektor (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah
dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode
pengendalian vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat
memutus rantai penularan.

24

Berbagai metode PengendalianVektor (PV) DBD, yaitu: - Kimiawi - Biologi Manajemen lingkungan - Pemberantasan Sarang Nyamuk/PSN - Pengendalian
Vektor Terpadu (Integrated Vector Management/IVM)
1. Kimiawi
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan
salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding
dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan
pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus
mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran
termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan
metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam
kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan
ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran (Ditjen
PP&PL, Kemenkes RI, 2014).

Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah : Sasaran


dewasa (nyamuk) adalah : Organophospat (Malathion, methyl pirimiphos),
Pyrethroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, cyflutrine, Permethrine & SBioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang diaplikasikan
dengan cara pengabutan panas/Fogging dan pengabutan dingin/ULV Sasaran
pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos) (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI,
2014)

.
2. Biologi

25

Pengendalian

vektor

biologi

menggunakan

agent

biologi

seperti

predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa


vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik
(cupang, tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung, Toxorrhyncites,
Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai
metode yang lazim untuk pengendalian vektor DBD (Ditjen PP&PL, Kemenkes
RI, 2014).

Jenis pengendalian vektor biologi : Parasit : Romanomermes iyengeri


Bakteri : Baccilus thuringiensis israelensis
Golongan insektisida biologi untuk pengendalian DBD (Insect Growth
Regulator/IGR dan Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTi), ditujukan untuk
stadium pra dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan
vektor (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
Insect Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk
di masa pra dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitin
synthesis selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan proses
perubahan pupae dan nyamuk dewasa. IGRs memiliki tingkat racun yang
sangat rendah terhadap mamalia (nilai LD50 untuk keracunan akut pada
methoprene adalah 34.600 mg/kg ) (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
Bacillus thruringiensis (BTi) sebagai pembunuh jentik nyamuk/larvasida yang
tidak menggangu lingkungan. BTi terbukti aman bagi manusia bila digunakan
dalam air minum pada dosis normal. Keunggulan BTi adalah menghancurkan
jentik nyamuk tanpa menyerang predator entomophagus dan spesies lain.
Formula BTi cenderung secara cepat mengendap di dasar wadah, karena itu

26

dianjurkan pemakaian yang berulang kali. Racunnya tidak tahan sinar dan
rusak oleh sinar matahari (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
3. Manajemen lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air,
vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat
perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti
sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan
yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya
pengelolaan

lingkungan

sehingga

tidak

kondusif

sebagai

habitat

perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus


(menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas, dan plus: menyemprot,
memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat
pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi
tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah dll) (Ditjen PP&PL,
Kemenkes RI, 2014).

4. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN-DBD


Pengendalian Vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan
memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di
masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus. Untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M Plus ini harus dilakukan
secara

luas/serempak

dan

terus

menerus/berkesinambungan.

Tingkat

pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat beragam sering menghambat


suksesnya gerakan ini. Untuk itu sosialisasi kepada masyarakat/ individu untuk

27

melakukan kegiatan ini secara rutin serta penguatan peran tokoh masyarakat
untuk mau secara terus menerus menggerakkan masyarakat harus dilakukan
melalui kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan di media masa, serta reward
bagi yang berhasil melaksanakannya (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
a. Tujuan Mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan
DBD dapat dicegah atau dikurangi.
b. Sasaran Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD : Tempat
penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari Tempat penampungan air
bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA) Tempat penampungan air
alamiah
c. Ukuran keberhasilan Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat
diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan
95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
d. Cara PSN DBD PSN DBD dilakukan dengan cara 3M-Plus, 3M yang
dimaksud yaitu: Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air,
seperti bak mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1) Menutup
rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan lainlain (M2) Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang
dapat menampung air hujan (M3).
Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti: Mengganti air vas
bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis
seminggu sekali. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan
tanah, dan lain-lain) Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat

28

yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air Memelihara ikan pemakan
jentik di kolam/bak-bak penampungan air Memasang kawat kasa
Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar Mengupayakan
pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai Menggunakan kelambu
Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk Cara-cara spesifik
lainnya di masing-masing daerah (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2014).
Keseluruhan cara tersebut diatas dikenal dengan istilah dengan 3M-Plus.
e. Pelaksanaan 1) Di rumah Dilaksanakan oleh anggota keluarga. 2) Tempat
tempat umum Dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan atau
pengelola tempat tempat umum.
5. Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management)
IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh WHO untuk
mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai
institusi. IVM dalam pengendalian vektor DBD saat ini lebih difokuskan pada
peningkatan peran serta sektor lain melalui kegiatan Pokjanal DBD, Kegiatan
PSN anak sekolah dll.

Definisi Operasional DD dan DBD


Kriteria WHO (2009) :
1. Suspek Infeksi Dengue ialah penderita demam tinggi mendadak tanpa sebab
yang jelas berlangsung selama 2-7 hari dan disertai dengan 2 atau lebih
tandatanda : mual, muntah, bintik perdarahan, nyeri sendi, tanda-tanda

29

perdarahan : sekurang-kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif,


leucopenia dan trombositopenia.
Infeksi Dengue dapat bermanifestasi 2 macam yaitu infeksi Dengue Ringan
dan Berat.
Tanda-tanda yang mengarah kepada infeksi Dengue Berat adalah :
Nyeri abdominal
Muntah yang terus menerus
Tanda-tanda kebocoran plasma (asites, efusi pleura)
Perdarahan mukosa (epistaksis, gusi) Letargi Pembesaran hati > 2 cm
Pemeriksaan Lab. : Peningkatan hematokrit dan penurunan trombosi
Catatan : DD ditegakkan setelah melewati masa kritis (saat demam turun)
dengan dasar nilai hematokrit normal atau tidak ditemukan adanya kebocoran
plasma sistematik. Pasien dapat dipulangkan setelah diobservasi dalam waktu
24 jam setelah melewati masa kritis.
2. Demam Dengue (DD) ialah demam disertai 2 atau lebih gejala penyerta
seperti sakit kepala, nyeri dibelakang bola mata, pegal, nyeri sendi ( athralgia ),
rash, mual, muntah dan manifestasi perdarahan. Dengan hasil laboratorium
leukopenia ( lekosit < 5000 /mm3 ), jumlah trombosit cenderung menurun <
150.000/mm3 dan didukung oleh pemeriksaan serologis.
3. Demam Berdarah Dengue (DBD) ialah demam 2 - 7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, Jumlah trombosit < 100.000 /mm3, adanya tanda tanda
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 % dari nilai normal, dan/atau
efusi pleura, dan/atau ascites, dan/atau hypoproteinemia/ albuminemia) dan
atau hasil pemeriksaan serologis pada penderita tersangka DBD menunjukkan

30

hasil positif atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada
pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris). 4. Sindrom Syok
Dengue (SSD) ialah kasus DBD yang masuk dalam derajat III dan IV dimana
terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan
lemah, menyempitnya tekanan nadi ( 20 mmHg) atau hipotensi yang ditandai
dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah sampai terjadi
syok berat (tidak terabanya denyut nadi maupun tekanan darah).
B. Diagnosis DD dan DBD
1. Diagnosis Suspek Infeksi Dengue Diagnosis Suspek Infeksi dengue
ditegakkan bila terdapat 2 kriteria berikut: - Demam tinggi mendadak tanpa
sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari - Manifestasi perdarahan:
sekurang-kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif
2. Diagnosis Demam Dengue (DD)
a. Probable
1) Demam tinggi mendadak
2) Ditambah 2 atau lebih gejala/tanda penyerta: Muka kemerahan, Konjungtiva
kemerahan, Nyeri kepala , Nyeri belakang bola mata , Nyeri otot & tulang ,
Ruam kulit , Manifestasi perdarahan, Mual dan muntah , Leukopenia (Lekosit
= 5000 /mm3) , Trombositopenia (Trombosit < 150.000 /mm3 ) , Peningkatan
hematokrit 5 - 10 %, sebagai akibat dehidrasi.
3) Dan terdapat sekurang-kurangnya satu dari kriteria berikut: - Pemeriksaan
serologi Hemaglutination Inhibition (HI) test sampel serum tunggal; titer
1280 atau tes antibodi IgM dan IgG positif, atau antigen NS1 positif. - Kasus

31

berlokasi di daerah dan waktu yang bersamaan dimana terdapat kasus konfirm
Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue
b. Confirmed / diagnosis pasti Kasus probable disertai sekurang-kurangnya
satu kriteria berikut: 1) Isolasi virus Dengue dari serum 2) Pemeriksaan HI Test
Peningkatan titer antibodi 4 kali pada pasangan serum akut dan konvalesen
atau peningkatan antibodi IgM spesifik untuk virus dengue 3) Positif antigen
virus Dengue pada serum atau cairan serebrospinal (LCS=Liquor Cerebro
Spinal) dengan metode immunohistochemistry, immunofluoressence atau
ELISA 4) Positif pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
3. Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD)
a. Penegakan Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis DBD diperlukan
sekurang-kurangnya: - Terdapat kriteria klinis a dan b - Dua Kriteria
laboratorium
1) Klinis a) Demam tinggi mendadak berlangsung selama 2-7 hari. b) Terdapat
manifestasi/ tanda-tanda perdarahan ditandai dengan: - Uji Bendung
(Tourniquet Test) positif - Petekie, ekimosis, purpura - Perdarahan mukosa,
epistaksis, perdarahan gusi - Hematemesis dan/ atau melena c) Pembesaran hati
( di jelaskan cara pemeriksaan pembesaran hati ) d) Syok, ditandai nadi cepat
dan lemah serta penurunan tekanan nadi (

20 mmHg), hipotensi, kaki dan

tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah


2) Laboratorium a) Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang) b) Adanya
kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, yang ditandai
adanya: Hemokonsentrasi/ Peningkatan hematokrit

10% dari data baseline

32

saat pasien belum sakit atau sudah sembuh atau adanya efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia (hipoalbuminemia).
b. Derajat Beratnya Penyakit DBD Derajat penyakit DBD diklasifikasikan
dalam 4 derajat:
Derajat I : Demam dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji
Tourniquet positif.
Derajat II : Terdapat perdarahan spontan antara lain perdarahan kulit (petekie),
perdarahan gusi, epistaksis atau perdarahan lain. (mesntruasi berlebihan,
perdarahan saluran cerna). Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan
sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau
kurang) atau

hipotensi, sianosis di

sekitar mulut,

kulit dingin dan

lembab, dan anak tampak gelisah. Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok
berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.
Catatan : DBD Derajat III & IV adalah Sindrom Syok Dengue Adanya
kebocoran plasma (plasma leakage) yang ditandai dengan hemokonsentrasi
membedakan DBD dari DD. Pembagian derajat penyakit dapat juga
dipergunakan untuk kasus dewasa.
c. Gejala /tanda utama DBD
Gejala / tanda utama DBD sebagai berikut: 1) Demam, 2) Tanda-tanda
perdarahan, 3) Hepatomegali, 4) Syok
1) Demam Demam tinggi mendadak, sepanjang ahri, berlangsung 2-7 hari.
Fase kritis ditandai saat demam mulai turun biasanya setelah hari ke 3-6, hatihati karena pada fase tersebut dapat terjadi syok.

33

2) Tanda-tanda perdarahan Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah


gangguan pada pembuluh darah, trombosit, dan faktor pembekuan. Jenis
perdarahan yang terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji Tourniquet
positif, petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva. Petekie sering
sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk, untuk membedakannya: lakukan
penekanan pada bintik merah yang dicurigai dengan kaca obyek atau penggaris
plastik transparan, atau dengan meregangkan kulit. Jika bintik merah
menghilang saat penekanan/ peregangan kulit berarti bukan petekie.
Perdarahan lain yaitu epitaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
Pada anak yang belum pernah mengalami mimisan, maka mimisan merupakan
tanda penting. Kadang-kadang dijumpai pula perdarahan konjungtiva atau
hematuria.
Uji Tourniquet sebagai tanda perdarahan ringan,dapat dinilai sebagai
presumptif test (dugaan keras). Pada hari ke-2 demam, uji Tourniquet
memiliki sensitivitas 90,6% dan spesifisitas 77,8%,dan pada hari ke-3 demam
nilai sensitivitas 98,7% dan spesifisitas 74,2%. Uji Tourniquet dinyatakan
positif jika terdapat lebih dari 10 petekie pada area 1 inci persegi (2,8 cm x 2,8
cm) di lengan bawah bagian depan (volar) termasuk pada lipatan siku (fossa
cubiti).
Cara melakukan uji Tourniquet sebagai berikut : Pasang manset anak pada
lengan atas (ukuran manset sesuaikan dengan umur anak, yaitu lebar manset =
2/3 lengan atas) Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistolik dan
tekanan diastolik Aliran darah pada lengan atas dibendung pada tekanan
antara sistolik dan diastolik (rata-rata tekanan sistolik dan diastolik) selama 5

34

menit. (Bila telah terlihat adanya bintik-bintik merah 10 buah, pembendungan


dapat dihentikan). Lihat pada bagian bawah lengan depan (daerah volar) dan
atau daerah lipatan siku (fossa cubiti), apakah timbul bintik-bintik merah, tanda
perdarahan (petekie) Hasil Uji Tourniquet dinyatakan positif (+) bila
ditemukan 10 bintik perdarahan (petekia), pada luas 1 inci persegi ( 2,8 cm2.)
3) Hepatomegali (pembesaran hati) Pembesaran hati pada umumnya dapat
ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat
diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan dan
dibawah procesus Xifoideus Proses pembesaran hati, dari tidak teraba
menjadi teraba, dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD. Derajat
pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan di
hipokondrium kanan disebabkan oleh karena peregangan kapsul hati. Nyeri
perut lebih tampak jelas pada anak besar dari pada anak kecil.
4) Syok Tanda-tanda syok (renjatan): Kulit teraba dingin dan lembab terutama
pada ujung hidung, jari tangan dan kaki Capillary refill time memanjang > 2
detik Penderita menjadi gelisah Sianosis di sekitar mulut Nadi cepat,
lemah, kecil sampai tak teraba Perbedaan tekanan nadi sistolik dan diastolik
menurun 20 mmHg
d. Jenis-Jenis Pemeriksaan Laboratorium pada penderita DBD
Beberapa jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita DBD antara lain: 1)
Hematologi
a). Hemoglobin Penurunan Hb disertai dengan penurunan hematokrit diduga
adanya perdarahan internal. b) Leukosit Jumlah leukosit normal, tetapi
biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Peningkatan jumlah sel

35

limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB) > 4% di darah tepi yang
biasanya dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh.
c) Trombosit Pemeriksaan trombosit antara lain dapat dilakukan dengan cara:
Semi kuantitatif (tidak langsung) Langsung (Rees-Ecker) Cara lainnya
sesuai kemajuan teknologi (Hematology Cell Counter Automatically) Jumlah
trombosit

100.000/l biasanya ditemukan

diantara hari ke 3-7 sakit.

Pemeriksaan trombosit perlu diulang setiap 4-6 jam sampai terbukti bahwa
jumlah trombosit dalam batas normal atau keadaan klinis penderita sudah
membaik.
d) Hematokrit Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran
pembuluh darah. Penilaian hematokrit ini, merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului
peningkatan hematokrit. Hemokonsertrasi dengan peningkatan hematokrit
20% (misalnya nilai Ht dari 35% menjadi 42%), mencerminkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian,
bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.
Namun perhitungan selisih nilai hematokrit tertinggi dan terendah baru dapat
dihitung setelah mendapatkan nilai Ht saat akut dan konvalescen (hari ke-7).
Pemeriksaan hematrokrit antara lain dengan mikro-hematokrit centrifuge Nilai
normal hematokrit: Anak-anak : 33 - 38 vol% Dewasa laki-laki : 40 - 48 vol
% Dewasa perempuan : 37 - 43 vol% Untuk puskesmas yang tidak ada alat
untuk pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.

36

2) Serologis Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada


penderita terinfeksi virus Dengue.
a) Uji Serologi Hemaglutinasi inhibisi (Haemaglutination

Inhibition Test)

Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas (gold
standard). Namun pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel darah (serum)
dimana spesimen harus diambil pada fase akut dan fase konvalensen
(penyembuhan), sehinggga tidak dapat memberikan hasil yang cepat.
b) ELISA (IgM/IgG) Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer
atau sekunder dengan menentukan rasio limit antibodi dengue IgM terhadap
IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan IgG, uji tersebut dapat
dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel darah (serum) saja, yaitu
darah akut sehingga hasil cepat didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test
(misalnya Dengue Rapid Strip Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA.
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dengue Rapid Test Dengue Rapid Test
mendiagnosis infeksi virus primer dan sekunder melalui penentuan cut-off
kadar IgM dan IgG dimana cut-off IgM ditentukan untuk dapat mendeteksi
antibodi IgM yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue primer dan
sekunder, sedangkan cut off antibodi IgG

ditentukan hanya mendeteksi

antibodi kadar tinggi yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue
sekunder (biasanya IgG ini mulai terdeteksi pada hari ke-2 demam) dan
disetarakan dengan titer HI > 1:2560 (tes HI sekunder) sesuai standar WHO.
Hanya respons antibodi IgG infeksi sekunder aktif saja yang dideteksi,
sedangkan IgG infeksi primer atau infeksi masa lalu tidak dideteksi. Pada

37

infeksi primer IgG muncul pada setelah hari ke14, namun pada infeksi
sekunder IgG timbul pada hari ke-2
Interpretasi hasil adalah apabila garis yang muncul hanya IgM dan kontrol
tanpa garis IgG, maka Positif Infeksi Dengue Primer (DD).
Sedangkan apabila muncul tiga garis pada kontrol, IgM, dan IgG dinyatakan
sebagai Positif Infeksi Sekunder (DBD). Beberapa kasus dengue sekunder
tidak muncul garis IgM, jadi hanya muncul garis kontrol dan IgG saja.
Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila hanya garis kontrol yang terlihat.
Ulangi pemeriksaan dalam 2-3 hari lagi apabila gejala klinis kearah DBD.
Pemeriksaan dinyatakan invalid apabila garis kontrol tidak terlihat dan hanya
terlihat garis pada IgM dan/atau IgG saja.
c) Antigen NS1 Pemeriksaan Laboratorium untuk konfirmasi : PCR
(Polymerase Chain Reaction) Isolasi Virus
3) Radiologi Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang untuk
mendeteksi adanya kebocoran plasma. Pada foto toraks posisi Right Lateral
Decubitus dapat mendeteksi adanya efusi pleura minimal pada paru kanan.
Pada pemeriksaan USG dapat mendeteksi adanya asites, penebalan dinding
kandung empedu dan efusi pleura minimal.
C. Tatalaksana
1. Pertolongan Pertama Penderita Demam Berdarah Dengue oleh Masyarakat
Pada awal perjalanan DBD gejala dan tanda tidak spesifik, oleh karena itu
masyarakat/keluarga diharapkan waspada jika terdapat gejala dan tanda yang
mungkin merupakan awal perjalanan penyakit tersebut. Gejala dan tanda awal

38

DBD dapat berupa panas tinggi tanpa sebab jelas yang timbul mendadak,
sepanjang hari, selama 2-7 hari, badan lemah/lesu, nyeri ulu hati, tampak
bintik-bintik
pecahnya

merah pada kulit seperti bekas gigitan nyamuk disebabkan

pembuluh darah kapiler di kulit. Untuk membedakannya kulit

diregangkan bila bintik merah itu hilang, bukan tanda penyakit DBD.
Apabila keluarga/masyarakat menemukan gejala dan tanda di atas, maka
pertolongan pertama oleh keluarga adalah sebagai berikut: a. Tirah baring
selama demam b. Antipiretik (parasetamol) 3 kali 1 tablet untuk dewasa, 10-15
mg/kgBB/kali untuk anak. Asetosal, salisilat, ibuprofen jangan dipergunakan
karena dapat menyebabkan nyeri ulu hati akibat gastritis atau perdarahan. c.
Kompres hangat d. Minum banyak (1-2 liter/hari), semua cairan berkalori
diperbolehkan kecuali cairan yang berwarna coklat dan merah (susu coklat,
sirup merah). e. Bila terjadi kejang (jaga lidah agar tidak tergigit, longgarkan
pakaian, tidak memberikan apapun lewat mulut selama kejang)
Jika dalam 2-3 hari panas tidak turun atau panas turun disertai timbulnya
gejala dan tanda lanjut seperti perdarahan di kulit (seperti bekas gigitan
nyamuk), muntah-muntah, gelisah, mimisan dianjurkan segera dibawa berobat/
periksakan ke dokter atau ke unit pelayanan kesehatan untuk segera mendapat
pemeriksaan dan pertolongan.
2. Langkah - Langkah Pemeriksaan Demam Berdarah Dengue
Penderita yang menunjukan gejala/ tanda klinis DBD maka dilakukan
pemeriksaan sebagai berikut : a. Anamnesis (wawancara) dengan penderita
atau keluarga penderita tentang keluhan yang dirasakan, sehubungan dengan
gejala DBD. b. Observasi kulit dan konjungtiva untuk mengetahui tanda

39

perdarahan. Observasi kulit meliputi wajah, lengan, tungkai, dada, perut dan
paha. c. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital (kesadaran, tekanan
darah, nadi, dan suhu). d. Perabaan hati dan Penekanan pada hipokondrium
kanan menimbulkan rasa sakit/nyeri yang disebabkan karena adanya
peregangan kapsul hati e. Uji Tourniquet (Rumple Leede) f. Pemeriksaan
laboratorium darah rutin (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit).
3. Tatalaksana Rujukan Penderita DBD
Demam Berdarah Dengue termasuk salah satu penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah sesuai dengan Undang-Undang No. 4 th 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun
1989, maka bila dijumpai kasus DBD wajib dilaporkan dalam kurun waktu
kurang dari 24 jam. Dokter atau petugas kesehatan yang menemukan
kasus/tersangka DBD diwajibkan melaporkan ke Puskesmas setempat sesuai
dengan domisili (tempat tinggal) pasien dan membuat surat pengantar untuk
disampaikan kepada kepala desa/kelurahan melalui keluarga pasien. Formulir
rujukan pasien DBD dari Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya
menggunakan formulir S, atau surat tersendiri yang memuat data, nama, jenis
kelamin, umur, nama kepala keluarga, alamat, tanggal mulai masuk dan keluar
sarana pelayanan kesehatan ( Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit) dan
pengobatan yang telah diberikan, disampaikan kepada RS rujukan.
Persiapan rujukan
Sebelum merujuk pasien DBD perlu memperhatikan : a. Tanda vital pasien
harus stabil b. Disertakan formulir dengan hasil parameter klinis dan
laboratorium serta terapi penting yang sudah diberikan.

40

Penderita dirujuk ke Rumah Sakit bila ditemukan tanda-tanda berikut : a.


Letargi b. Penurunan kesadaran, c. badan dingin dan lembab, terutama pada
tangan dan kaki, Capillary refill time > 2 detik d. muntah terus menerus e.
kejang. f. Perdarahan berupa : mimisan, Hematemesis, Melena g. ada tandatanda kebocoran plasma (asistes, efusi pleura) h. tidak buang air kecil dalam 46 jam terakhir i. nyeri abdomen
4. Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien bermanifestasi ringan dapat
berobat jalan sedangkan pasien dengan tanda bahaya dirawat. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini
dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda bahaya,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan.
a. Tatalaksana Infeksi Dengue dengan manifestasi ringan
Pasien dengan manifestasi ringan dapat berobat jalan tetapi jika ada perburukan
harus dirawat. Pasien rawat jalan dianjurkan: 1) Tirah baring, selama masih
demam. 2) Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
3) Untuk menurunkan suhu menjadi <39oC, dianjurkan pemberian
parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena
dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis. 4) Dianjurkan
pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping air
putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. 5) Monitor suhu, urin

41

dan tanda-tanda bahaya sampai melewati fase kritis. 6) Monitor pemeriksaan


laboratorium darah rutin berkala
Orang tua atau pasien dinasehati bila setelah demam turun didapatkan nyeri
perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa
seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal
tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke
rumah sakit.
b. Tatalaksana DBD dan SSD
1). Tatalaksana DBD
Patofisilogik utama DBD adalah kebocoran plasma karena adanya
peningkatan permeabilitas kapiler. Maka kunci tatalaksana DBD terletak pada
deteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence)
yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan
observasi klinis disertai pemantauan kebocoran plasma dan gangguan
hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan tanda-tanda bahaya secara awal dan
pemberian cairan Larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal
pengganti volume plasma sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian
khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan
penurunan jumlah trombosit yang cepat. Secara umum pasien DBD dapat
dirawat di puskesmas perawatan atau rumah sakit.
a) Fase Demam Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan
tatalaksana DD, bersifat simtomatik

dan

suportif yaitu pemberian cairan

oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh

42

karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka
cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama demam pada DBD.
b) Fase Kritis

Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun

pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap
kejadian syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala
merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil
pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan
pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi
sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit
harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal
kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu
sensitif.
Untuk puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb Sahli dengan estimasi nilai Ht=3x kadar Hb
b.1) Penggantian Volume Plasma Dasar patogenesis DBD adalah perembesan
plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase
syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang
hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan

berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam

pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60
menit). Tetesan berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar

43

hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
b.2) Cairan intravena diperlukan, apabila: 1) Anak terus menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, 2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan
yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila terdapat
asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%, 1-2 ml/kgBB

intravena bolus

perlahan-lahan.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa
5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital,
diuresis setiap jam dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya
evaluasi 12-24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka
tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam
dan akhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam. b.3) Jenis Cairan Kristaloid: Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat (RA), Larutan
garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa
5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan
garam faali (D5/1/2LGF) (Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan

44

RL atau RA tidak boleh larutan yang mengandung dekstosa) - Koloid: Dekstran


40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%, gelafundin
c) Fase Penyembuhan/konvalesen

Pada fase penyembuhan, ruam

konvalesen akan muncul pada daerah esktremitas. Perembesan plasma berhenti


ketika

memasuki

fase

penyembuhan,

saat

terjadi

reabsorbsi

cairan

ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan


tidak dikurangi, akan menyebabkan edema palpebra, edema paru dan distres
pernafasan.
2). Tatalaksana SSD
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan
yang utama, berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien
anak cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48
jam. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok
yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi
lemah, tekanan nadi menyempit ( 20 mmHg) atau hipotensi, dan peningkatan
mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus
menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Pada penderita SSD dengan
tensi tak terukur dan tekanan nadi 20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid
sebanyak 20 ml/kg BB selama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10
ml/kgBB/jam
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Cairan resusitasi awal adalah larutan kristaloid 20 ml/kgBB secara intravena
dalam 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat
BB ideal dan umur, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid

45

ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit,
berikan cairan koloid 1020 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada
umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30ml/kgBB/hari atau maksimal
pemberian koloid 1500ml/hari, dan sebaiknya tidak diberikan pada saat
perdarahan.
Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih
menetap sedangkan kadar hematokrit turun, maka pikirkan adanya perdarahan
internal. Maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar/ komponen sel
darah merah. Apabila nilai hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam
volume kecil (10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30ml/kgBB/24jam,
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai
keadaan klinis dan kadar hematokrit.
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah
membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan
menjadi 10 ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari
kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin 1ml/kgBB/jam atau lebih
merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya,
cairan dapat dihentikan setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan

46

hipervolemia dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan


hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah
normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorbsi.
c) Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD,
maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD
berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga
tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.

Pada umumnya, apabila

penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis


dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien
syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi
harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila
dipasang masker oksigen.
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).
Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang
nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit

47

(misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah
diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena
cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembeku trombosit.
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID
(Koagulasi Intravascular Disseminata) dan perdarahan masif. KID biasanya
terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian.
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah : (1) Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus
dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi. (2)
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis
pasien stabil. (3) setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan,
mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan
yang diberikan sudah mencukupi. (4) Jumlah dan frekuensi diuresis
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
cukup 1ml/kgBB/jam, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan
diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat,
maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Jika pasien sudah
stabil, maka bisa dirujuk ke RS rujukan.
g) Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD

48

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD


seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan
untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas
laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit
yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting
dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu oleh orang tua
pasien untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang
diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.
h) Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini: (1)
Tampak perbaikan secara klinis (2) Tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik (3) Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura
atau asidosis) (4) Hematokrit stabil (5) Jumlah trombosit >50.000/l (6) Tiga
hari setelah syok teratasi. (7) Nafsu makan membaik
2.3 10 Indikator Pola Hidup Bersih dan Sehat
Indikator
1.

nasional
Persalinan
Memberi

3.

Menimbang

5.

Mencuci

8.

bayi

tangan

Makan

sayur

yaitu

tenaga

balita

Eksklusif

setiap

bulan

Air

dengan

air

Bersih

bersih

dan

jamban
jentik
dan

sabun
sehat

di
buah

kesehatan

ASI

Menggunakan
Memberantas

10,

oleh

Menggunakan

6.
7.

ada

ditolong

2.

4.

PHBS

rumah
setiap

hari

49

9. Melakukan aktifitas fisik


setiap

hari

10. Tidak merokok di dalam


rumah

BAB 3
HASIL PENELITIAN

3.1 Kejadian
Berdasarkan

DBD
Usia

dan

Bulan
Bulan
< 1 thn
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Total

1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
3
(6%)

Tahun 2013
1-4 thn 5-14
>15
thn
thn
1
3
1
2
4
1
1
1
2
0
1
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
1
0
4
6
3
3
4
1
3
5
2
14
28
11
(26%) (49%) (19%)

Total

< 1 thn

6
7
4
1
2
0
0
3
1
14
9
10

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
(0%)

Tahun 2014
1-4 thn 5-14 thn >15
thn
2
2
0
0
1
0
1
2
1
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
0
2
1
4
11
5
(20%)
(55%)
(25%)

Tabel 1. Distribusi dan frekuensi penyakit DBD berdasarkan usia dan bulan
Berdasarkan tabel di atas, kejadian DBD terbanyak terjadi pada usia 5-14
tahun baik di tahun 2013 maupun tahun 2014. Kejadian DBD terbanyak terjadi
pada bulan oktober yaitu sebesar 28 kasus pada tahun 2013, dan pada bulan
Januari dan Maret masing-masing sebanyak 4 kasus pada tahun 2014.

Total
4
1
4
0
0
2
2
0
0
2
2
3

50

16
14
12
10
8
6

Tahun 2013

Tahun 2014

2
0

Kejadian DBD Berdasarkan Usia Tahun 2013


6%
19%
< 1 th
26%

1-4 th
5-14 th
> 15 th

49%

Gambar 3.1 Diagram Pie Angka kejadian DBD berdasarkan Usia tahun 2013

Dari hasil data diatas pada tahun 2013 didapatkan kejadian DBD di wilayah
kerja puskesmas Bareng pada kelompok usia < 1 tahun 6%, 1-4 tahun 26%,
tertinggi pada usia 5-14 tahun yakni sebesar 49%, dan pada usia >15 tahun 19%.

51

Kejadian DBD Berdasarkan Usia Tahun 2014


20%

25%

< 1 th
1-4 th
5-14 th
> 15 th

55%

Gambar 3.2 Diagram Pie Angka kejadian DBD berdasarkan Usia tahun 2014

Dari hasil data diatas pada tahun 2014 didapatkan kejadian DBD di wilayah
kerja puskesmas Bareng pada kelompok usia < 1 tahun sebesar 0%, 1-4 tahun
sebesar 20%, tertinggi pada usia 5-14 tahun 55%, dan pada usia >15 tahun 25%.
3.2 Kejadian DBD Berdasarkan Desa di Kecamatan Bareng
Tahun 2013
Presentase
Tahun 2014 Presentase
Bareng
11
19%
5
25%
Mojo Tengah
6
11%
2
10%
Tebel
6
11%
3
15%
Kebon Dalem
1
2%
0
0%
Karangan
1
2%
0
0%
Pakel
3
5%
3
15%
Mundusewu
6
11%
0
0%
Ngampungan
2
3%
2
10%
Jenis Gelaran
2
3%
1
5%
Pulosari
2
3%
0
0%
Ngrimbi
8
14%
2
10%
Nglebak
1
2%
2
10%
Banjar Agung
8
14%
0
0%
Tabel 1. Distribusi dan frekuensi penyakit DBD berdasarkan desa

52

12
10
8
6
Tahun 2013

Tahun 2014

2
0

Berdasarkan tabel di atas, kejadian DBD terbanyak terjadi di Desa Bareng baik
pada tahun 2013 maupun 2014.
3.2 Kejadian Berdasarkan Jenis Kelamin

Kejadian DBD Berdasarkan Jenis Kelamin


Laki-laki
39%

Perempuan
61%

Gambar 3.2 Diagram Pie Angka kejadian DBD berdasarkan Jenis Kelamin

53

Dari hasil data diatas didapatkan jumlah kejadian DBD berdasarkan jenis
kelamin di wilayah kerja Puskesmas Bareng laki-laki sebesar 61% (35 orang) dan
39 % (22 orang) perempuan.

3.3 Kejadian DBD Berdasarkan Presentase Rumah Tangga Berperilaku


Hidup Bersih dan Sehat

Kejadian DBD berdasarkan Presentase Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat
6%
Bareng

6%

Mojo Tengah Tebel

Kebon Dalem Karangan Pakel

9%

9%

6%

8%
Mundusewu

Ngampungan Jenis Gelaran Pulosari

Ngrimbi

Nglebak

7%
8%

Banjar Agung

9%

8%
8%

6%
8%

Gambar 3.3 Diagram Pie Kejadian DBD berdasarkan Presentase Rumah Tangga
Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat
Berdasarkan diagram pie di atas didapatkan bahwa presentase data rumah tangga
yang berperilaku hidup bersih dan sehat terendah terdapat di desa Bareng yaitu sebesar
45, 83%.

54

3.4 Kejadian DBD Berdasarkan Data Rumah/Bangunan Bebas Jentik


Nyamuk Aedes

Rumah/Bangunan Bebas Jentik Nyamuk Aedes

14%

Bebas Jentik Nyamuk


Tidak Bebas Jentik
Nyamuk
86%

Gambar 3.4 Diagram Pie Rumah Bebas Jentik Nyamuk Aedes di wilayah kerja
Puskesmas Bareng
Dari hasil data di atas didapatkan bahwa rumah/bangunan di kecamatan
bareng sebagian besar sudah dinyatakan bebas jentik nyamuk aedes yakni sebesar
86% (14.189 rumah), sedangkan sisanya yang masih belum dinyatakan bebas
jentik nyamuk aedes sebesar 14% (2.288 rumah).

55

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian

DBD berdasarkan Usia dan Bulan


Berdasarkan data di atas, kejadian DBD terbanyak terjadi pada usia 5-14
tahun baik di tahun 2013 maupun tahun 2014. Hal ini sesuai dengan beberapa
penelitian sebelumnya tentang faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian
penyakit DBD, salah satunya yang dilakukan oleh Endo Darjito di kabupaten
Banyumas, dimana didaptkan hasil bahwa penderita DBD dengan rata-rata umur
< 12 tahun lebih banyak di bandingkan dengan umur > 12 tahun, ini didukung
oleh kebiasaan masyarakat bahwa anak-anak kebanyakan aktivitasnya berada di
dalam rumah, sehingga kemungkinan kontak dengan nyamuk Aedes aegypti lebih
besar dibandingkan dengan orang dewasa muda maupun orang tua kebanyakan
aktivitasnya di luar rumah. Selain itu dilihat dari sistem imunitas anak-anak
memang lebih rentan terkena penyakit daripada orang dewasa sehingga
memudahkan anak-anak terkena berbagai penyakit, termasuk DBD.
Dari hasil data didapatkan kejadian DBD terbanyak terjadi pada bulan
oktober yaitu sebesar 28 kasus pada tahun 2013, dan pada bulan Januari dan
Maret masing-masing sebanyak 4 kasus pada tahun 2014. Pada bulan Oktober
terjadi pergantian musim dari musim kemarau ke penghujan, terjadi perubahan
adaptasi pada tubuh sehingga imunitas tubuh menurun. Dari data di atas juga

56

dapat dilihat bahwa kejadian DBD baik pada tahun 2013 maupun 2014 hampir
semuanya terjadi pada bulan Oktober Maret, dimana bulan tersebut merupakan
musim penghujan yang menyebabkan timbulnya banyak genangan air hujan di
rumah dan lingkungan sekitar penduduk, sehingga mengakibatkan meledaknya
jumlah populasi nyamuk yang bisa menyebabkan peningkatan penyebaran
berbagai penyakit, terutama demam berdarah.
4.2

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian

DBD berdasarkan Desa


Dari hasil data diatas didapatkan kejadian DBD terbanyak terjadi di Desa
Bareng baik pada tahun 2013 maupun 2014. Oleh karena jaraknya dengan
puskesmas lebih dekat sehingga pasien DBD lebih banyak terdeteksi untuk daerah
tersebut. Selain itu desa Bareng merupakan desa dengan jumlah penduduk
terbanyak sehingga rasio penderita DBD desa Bareng menjadi paling tinggi
dibandingkan desa lain. Selain itu desa Bareng juga merupakan desa dengan
jumlah keluarga berperilaku hidup bersih dan sehat terendah dibandingkan dengan
desa lain di kecamatan Bareng yang memungkinkan nyamuk dengan mudah
berkembang biak di lingkungan yang tidak terjaga kebersihannya. Desa Bareng
juga merupakan desa yang memiliki jumlah TUPM terbanyak dan juga memiliki 1
buah pasar yang cukup besar. Temapt tersebut bisa menjadi titik penyebaran dan
penularan virud dengeu melalui gigitan nyamuk, dengan kepadatan masyarakat
yang tinggi di tempat tersebut, semakin memudahkan nyamuk untuk menggigit
manusia.
4.3

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian

DBD berdasarkan Jenis Kelamin

57

Dari hasil data diatas didapatkan jumlah kejadian DBD berdasarkan jenis
kelamin di wilayah kerja Puskesmas Bareng laki-laki sebesar 61 % dan 39 %
perempuan. Deskripsi kasus DBD berdasarkan jenis kelamin terlihat bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan. Jika
dikaitkan dengan teori dari hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
frekuensi nyamuk menggigit manusia di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas
manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit
nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan
demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus
dengue, maka hasil data di atas kurang sesuai dengan teori tersebut, karena bila
dihubungkan dengan jenis kelamin, sebagian besar wanita di kecamatan Bareng
adalah ibu rumah tangga yang lebih jarang bergerak jika dibandingkan dengan
laki-laki yang sebagian besar bekerja sebagai petani, sehingga mereka lebih
banyak bergerak daripada perempuan. Sehingga untuk temuan ini dianggap
.merupakan faktor kebetulan

4.4

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian

DBD berdasarkan Presentase Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan


Sehat
Berdasarkan data di atas didapatkan bahwa presentase data rumah tangga yang
berperilaku hidup bersih dan sehat terendah terdapat di desa Bareng yaitu sebesar 45,
83%. Hal ini kemungkinan merupakan salah satu faktor penyebab tingginya angka

penderita DBD di desa tersebut.


Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya
munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya

58

agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan
tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Pola perilaku hidup bersih
dan sehat tentunya menjadi salah satu faktor penting dalam upaya pencegahan dari
berbagai macam penyakit, termasuk DBD. Jika tidak ada kesadaran diri dari
masing-masing keluarga untuk menjaga kesehatan dan kebersihan baik diri sendiri
maupun lingkungan sekitar, maka agen penyakit seperti virus dengue yang
menular melalui gigitan nyamuk Aedes spp tentunya dengan mudah akan
menyebabkan timbulnya penyakit DBD pada keluarga tersebut dan orang lain
disekitarnya.
Pengetahuan dari keluarga terhadap pentingnya berperilaku hidup bersih dan
sehat menjadi sangat penting demi menciptakan lingkungan yang bersih dan
sehat, host yang kuat terhadap serangan agen penyakit sehingga diharapkan
penularan virus dengue bisa ditekan dan angka kejadian DBD berkurang.
4.5

Karakteristik Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian

DBD berdasarkan Data Rumah/Bangunan Bebas Jentik Nyamuk Aedes


Salah satu program dari kecamatan Bareng yaitu melakukan pengamatan
dan penilaian mengenai keberadaan jentik nyamuk aedes di rumah-rumah
penduduk merupakan salah satu langkah yang tepat dalam rangka mengetahui
seberapa besar resiko pada penghuni sebuah rumah untuk terkena penyakit DBD,
sehingga untuk selanjutnya diharapkan bisa dilakukan tindakan pencegahan dan
pembasmian sarang nyamuk di masing-masing rumah dan lingkungan sekitar
untuk menurunkan angka kejadian DBD.
Dari hasil data di atas didapatkan bahwa rumah/bangunan di kecamatan
bareng sebagian besar sudah dinyatakan bebas jentik nyamuk aedes yakni sebesar

59

86 %, sedangkan sisanya yang masih belum dinyatakan bebas jentik nyamuk


aedes sebesar 14%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penghuni rumah
di kecamatan Bareng ini mempunyai resiko kecil untuk terkena penyakit DBD,
karena sebagian besar rumah sudah dinyatakan bebas jentik nyamuk aedes.
Untuk langkah selanjutnya bagi rumah yang masih terdapat jentik nyamuk
agar segera dilakukan tindakan yang tepat, rutin dan berkelanjutan agar ke
depannya diharapkan seluruh rumah dan bangunan di kecamatan Bareng bisa
dinyatakan bebas jentik nyamuk aedes.
Dan kemudian bagi seluruh penduduk dan instansi terkait agar tetap rutin
melaksanakan pembersihan rumah dan lingkungan sekitar untuk memutus rantai
penyebaran dan perkembangbiakan nyamuk aedes sehingga jumlah penderita
penyakit DBD bisa semakin menurun.
Intervensi yang Dilakukan
4.6.1 Pencegahan Primer
Intervensi di lakukan sebelum musim penghujan, karena berdasarkan
penelitian didapatkan peningkatan angka kejadian DBD. Upaya pencegahan pada
penyakit DBD ditujukan untuk mencegah perkembangbiakan populasi media
penyebab penyakit, dalam hal ini nyamuk Aedes spp., mencegah terjadinya kontak
dengan media penyebab sakit dan manusai dengan modifikasi lingkungan, dan
perilaku, serta karakteristik melalui upaya promosi kesehatan dan perlindungan
spesifik (health promotion and specific protection).
Promosi kesehatan

yang dapat dilakukan adalah berupa penyuluhan

kesehatan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, mengenai 3M plus,

60

penyebab, penyebaran, dampak, dan pertolongan pertama tentang penyakit DBD.


Mengusulkan kepada penduduk untuk mencanangkan program kerja bakti.
Perlindungan spesifik yang bisa dilakukan untuk pencegahan primer DBD
adalah dengan memasang kawat nyamuk pada jendela dan selalu menggunakan
obat anti nyamuk dengan tujuan mengurangi kontak dengan nyamuk. Beberapa
cara pengendalian populasi nyamuk adalah dapat menggunakan cara kimia
(penyemprotan, fogging, abate, penggunaan obat nyamuk), cara fisika/mekanik
(kasa, kelambu, raket nyamuk) dan cara biologi (ikan, ekstrak tumbuhan).
4.6.2

Percegahan Sekunder
Kenali gejala-gejala dini penyakit DBD. Pertolongan pertama yang dapat

dilakukan pada penderita diare adalah pemberian cairan pengganti. Tidak ada obatobatan yang bisa menghilangkan agen penyakit DBD dari tubuh karena penyebab
DBD adalah virus yang bersifat self-limited disease atau penyakit yang bisa sembuh
dengan sendirinya. Namun yang paling ditakuti adalah dehidrasi berat yang hampir
selalu dialami oleh pasien DBD. Oleh karena itu terapi penggantian cairan yang
hilang secara adekuat merupakan terapi dasar dan wajib bagi seluruh pasien DBD,
selain pemberian obat-obatan yang bersifat simptomatik. Pengenalan dini gejala
DBD, pemberian terapi cairan yang adekuat dan dini dapat mencegah progresifitas
penyakit. Sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang berat.
4.6.3

Pencegahan Tersier
Untuk mempercepat proses pemulihan dan mencegah kekambuhan dengan

cara memperbaiki status gizi dengan cara makan-makanan yang bersih dan sehat,
pola hidup sehat dan senantiasa menjaga kebersihan lingkungan sekitar secara rutin
dan terus-menerus.
BAB 5

61

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Rentang usia terbanyak kejadian DBD didapatkan pada usia 5-14 tahun
sebanyak 52 %.
2. Desa terbanyak kejadian DBD terjadi di Desa Bareng baik pada tahun 2013
maupun tahun 2014.
3. Kejadian DBD terbanyak terjadi pada bulan oktober yaitu sebesar 28 kasus
pada tahun 2013, dan pada bulan Januari dan Maret masing-masing
sebanyak 4 kasus pada tahun 2014.
4. Jenis kelamin terbanyak kejadian DBD didapatkan pada laki-laki yaitu
sebanyak 61% dan perempuan 39%.
5. Presentase data rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat terendah
terdapat di desa Bareng yaitu sebesar 45, 83%.

6. Rumah/bangunan di kecamatan bareng sebagian besar sudah dinyatakan


bebas jentik nyamuk aedes yakni sebesar 86% (14.189 rumah), sedangkan
sisanya yang masih belum dinyatakan bebas jentik nyamuk aedes sebesar
14% (2.288 rumah).
5.2 Saran
5.2.1 Bagi instansi terkait (Puskesmas Bareng)
Hendaknya petugas kesehatan melakukan penyuluhan tentang pentingnya
melakukan 3M plus seperti yang telah disebutkan dalam tinjauan pustaka. Selain
itu, dapat pula dilakukan kegiatan penyuluhan untuk memotivasi masyarakat

62

dalam menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Upaya penyuluhan dari Dinas
Kesehatan

dan

Puskesmas hendaknya dilakukan secara terus menerus

sampai masyarakat betul-betul mamahami akan pentingnya menjaga kebersihan


lingkungan dan menerapkan 3M plus untuk mengendalikan populasi nyamuk
sebagaai media penyebaran penyakit DBD dan pengenalan gejala dini dari
penyakit DBD agar penderita segera mendapatkan pengobatan yang tepat dan
adekuat, dan tidak jatuh dalam komplikasi.
5.2.2

Bagi masyarakat

a. Diharapkan lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama


melakukan

tindakan pencegahan terjadinya 3M plus seperti menutup

tempat penampungan air dan menyingkirkan benda-benda yang bisa tempat


menggenangnya air.
b. Mengupayakan pola hidup bersih dan sehat, membersihkan lingkungan
rumah dan sekitar secara berkala dan rutin.
c. Melaksanakan upaya pengendalian populasi nyamuk seperti menggunakan
cara kimia (penyemprotan, fogging, abate, penggunaan obat nyamuk), cara
fisika/mekanik (kasa, kelambu, raket nyamuk) dan cara biologi (ikan,
ekstrak tumbuhan).

DAFTAR PUSTAKA

63

DepKes

RI,

2005.,

diakses

17

Januari

2015

pukul

21.30,

http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/petakesehatan/peta-kesehatan-2005.pdf
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013, PROFIL KESEHATAN PROVINSI
JAWA TIMUR TAHUN 2012, diakses 17 Januari 2015 pukul 23.20,
http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/1380615402_PROFIL_KE
SEHATAN_PROVINSI_JAWA_TIMUR_2012.pdf
Gama, Azizah. 2009. ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN DEMAM
BERDARAH

DENGUE

DI

DESA

MOJOSONGO

KABUPATEN

BOYOLALI. Universitas Muhammadiyah, Surakarta.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 2011. MODUL PENGENDALIAN
DEMAM BERDARAH DENGUE.
Masrizal, Mangguang. 2011. Analisis Epidemologi Penyakit Demam Berdarah
Dengue melalui Pendekatan Spasial Temporal dan Hubungannya degan
Faktor Iklim di Kota Padang Tahun 2008-2010. Universitas Andalas,
Padang.
Paramita, Anggun, dkk. 2010. FAKTOR RISIKO DEMAM BERDARAH DENGUE
DI KECAMATAN WONOSARI KABUPATEN GUNUNGKIDUL
PROVINSI DIY TAHUN 2010. Balai Penelitian dan Pengembangan
Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, Fakultas
Kedokteran Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Epidemiologi
Lapangan. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Puskesmas Bareng. (2013). Laporan Tahunan Puskesmas Bareng Tahun 2010.

64

Puskesmas Bareng. (2014). Laporan Tahunan Puskesmas Bareng Tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai