Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam meraih kemerdekaan selama masa
penjajahan. Tentu saja ini mempengaruhi banyak hal, termasuk hukum di Indonesia. Hukum di
Indonesia, lebih condong pada peninggalan bangsa Belanda, karena tidak ada kontribusi dari
jajahan Jepang, juga perbedaan jangka waktu yang jauh atara jajahan Belanda dengan jajahan
Jepang. Hukum yang terpengaruh dari masa penjajahan tersebut salah satunya adalah hukum
acara pidana.
Hukum acara pidana di Indonesia memiliki sejarah panjang sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 8 tahun 1981, berlakunya kitab Undang-Undang hukum acara pidana
dipengaruhi oleh sejarah pada zaman kolonial belanda yang membawa hukum Eropa kontinental
ke Indonesia. Pada waktu penjajahan Belanda, Indonesia telah memiliki lembaga tata negara dan
lembaga tata hukum, Telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang
kemudian disebut hukum adat.
Pada umumnya pada masyarakat zaman dulu, pertumbuhan hukum yang kemudian
dipisahkan dalam hukum privat dan hukum publik dalam dunia modern tidak membedakan
kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata tidak terpisah dengan hukum acara pidana, baik
di Indonesia maupun di dunia Barat (termasuk Belanda). Tuntutan pidana dan perdata merupakan
satu kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.
Sejarah akan terbentuknya kitab hukum acara pidana ini dimulai dari pertama kali VOC
memijakkan kekuasaannya di Indonesia dan membuat peraturan-peraturan untuk di
implementasikan di Indonesia sampai dengan terciptanya kitab hukum acara pidana yang sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Suatu pembentukan, penyusunan hukum nasional termasuk hukum pidana maupun
acaranya bukanlah usaha sendiri para legislator melainkan perlu disertai dengan pemikiranpemikiran sarjana lain, usaha mereka suatu usaha joint-coorporative dan jelas kiranya bahwa
para sarjana hukum sendiri akan lebih dapat menyempurnakan dan menyelesaikan usaha dengan
bantuan sarjana lain, sebuah penyusunan Undang-Undang perlu mendapat perhatian dari
kalangan luas dari para sarjana hukum yang meliputi para ilmuan hukum dikalangan universitas.

BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA


Sebelum masuknya hukum islam para penduduk tidak mengenal dengan adanya hukum
pidana dan perdata, penduduk indonesia menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan pidana maupun perdata baik di Indonesia maupun di dunia barat
(Belanda) tuntutan pidana merupakan satu kesatuan termasuk lembaga-lembaganya dan cara
pembuktiannya yang sering digunakan pun dengan menggunakan cara-cara mistis.
Sebenarnya lembaga seperti jaksa atau penuntut umum adalah lembaga baru. Tidak
terdapat pada masyarakat zaman dulu. Perancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran
lembaga itu. Disebutkan bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta
Adhyaksa yang artinya sama dengan hakim pada jaman sekarang ini. Di Belanda pun dulu belum
dikenal istilah officer van justitie. Pada awalnya dikenal dengan istilah Schout disana yang
khusus menuntut pidana. Begitu pula di Inggris, baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri
sendiri yang disebut CPS. Dahulu hanya ada Crown Prosecutor yang khusus menuntut jika ada
kepentingan raja di dalam perkara.
Seseorang bisa dinyatakan bersalah apabila dia dianggap mengganggu keseimbangan yang
ada dalam masyarakat adat tersebut, entah keseimbangan yang berhubungan dengan sesama
manusia ataupun dengan alam. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya
merupakan kesatuan. Pandangan rakyat Indonesia mengenai alam semesta merupakan suatu
totalitas, manusia beserta mahkluk yang lain dengan lingkungannya merupakan satu kesatuan
alam gaib dan alam nyata tidak dipisahkan.
Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis
yang satu dengan yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum (adat), Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum
mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya berupa
pembayaran keseimbangan yang terganggu itu. Sedangkan untuk pembuktiannya seringkali
didasarkan pada apa yang namannya kekuasaan, kehendak tuhan sampai ri ule bawi (kedua kaki
dan tangannya diikat lalu diselipkan sebilah bambu) dan dibawa keliling kampung untuk
dipertunjukkan.
Bentuk-bentuk sanksi adat terdahulu dihimpun didalam Pandecten van het adatrecht bagian X
yaitu sebagai berikut :

1. Pengganti kerugian immaterial dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis
yang telah dicemarkan;
2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian kerohanian;
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4. Penutup malu, permintaan maaf;
5. Berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum.
Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam, disamping
hukum Adat untuk menyelesaikan masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini, mulai
diadakan pembedaan antara masalah pidana dan masalah perdata. Cara penyelesaian sengketa
seringkali berpedoman kepada Al Quran, hadits dan hasil ijtihad.
Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan
dagang ke Asia, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre
membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de
Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas
bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal
kedatangan Belanda di Nusantara. Pada tahun 1602 dibentuk VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie) pada masa tersebut orang-orang diterapkan tentang hukum kapal (scheepsrecht)
yang terdiri dari hukum Belanda kuno dengan asas-asas hukum Romawi dan kemudian dibentuk
plakat-plakat dan dihimpun menjadi 17 jilid sedangkan untuk orang Indonesia atau bumi putera
diterapkan hukum adat (hukum tidak tertulis), Tahun 1642, gubernur Jend. Van diemen
memerintahkan menghimpun seluruh plakat dengan nama statuen van Batavia.
Sebenarnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1747 telah mengatur
organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang Javasche wetten
(Undang-Undang jawa), hal itu juga diteruskan oleh Daendels dan Raffles untuk menyelami
hukum adat sepanjang pengetahuannya, akan tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut
maka usaha ini ditangguhkan.
Sebelum berlakunya perundang-undangan baru di negeri Belanda yaitu pada tahun 1836,
Scholten van Oud-haarlem telah menyatakan kesediaannya untuk mempersiapkan perundangundangan baru di Hindia Belanda disamping jabatannya sebagai Presiden Hooggrechshof, ia
memangku jabatan itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr. P. Mijer ia
diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundangundangan baru di Hindia Belanda.
Belanda baru saja terlepas penjajahan dari Negara Prancis pada Tahun 1838 yang pada
waktu itu golongan legis memandang bahwa semua peraturan seharusnya dalam bentuk UndangUndang sangatlah kuat berlaku ketentuan pada saat itu, yaitu ketentuan yang tertulis dan dibuat
dengan sengaja

Pada tahun 1838 Scholten van Oud-Harlem dikembalikan ke negeri belanda untuk
menggantikan panitia di Hindia belanda, pada tahun 1839 dibentuk kembali panitia baru oleh
menteri jajahan Van den bosch. Hasil dari karyanya adalah sebuah rancangan peraturan tata
peradilan sebuah rancangan kitab Undang-Undang hukum perdata dan kitab Undang-Undang
hukum dagang, di Hindia belanda rancangan Undang-Undang tentang tata peradilan itu diolah
lagi oleh J.Van der Vinne, Mr. Hoogeveen, Mr. Hultman dan Mr. Visscher.
Pada waktu dibubarkannya panitia Scholten di negeri Belanda pada tahun 1845. Mr. H.L.
Wichers diangkat oleh raja sebagai Presiden Hooggerechtshof di hindia belanda merangkap
komisaris khusus mengatur mulai berlakunya Undang-Undang itu. Adapun ketentuan-ketentuan
yang dibuat sesuai dengan perintah raja Belanda pada tangal 16 Mei 1846 Nomor 1 pada saat itu
adalah :
1.
2.
3.
4.

ketentuan umum tentang perundang-undangan (AB);


peraturan tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan pengadilan (RO);
kitab Undang-Undang hukum perdata (BW);
kitab Undang-Undang hukum dagang (WvK).

Dalam perkembangannya kemudian sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal beberapa


kodifikasi peraturan hukum acara pidana yaitu :
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O) yang mengatur tentang susunan
organisasi kehakiman dan kebijaksanaan mengadili;
2. Inladsch Reglement (I.R) yang mengatur tentang hukum acara perdata dan hukum acara
pidana di depan persidangan landraad bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia
dan timur asing dan hanyalah berlaku bagi daerah jawa dan madura yang diterapkan
ketentuan Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg, Stb.927-227);
3. Reglement op de Strafvordering (Stb.1849 Nomor 63) mengatur tentang ketentuan
hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan;
4. Landgerechtsreglement yang mengatur tentang acara didepan pengadilan landgerecht dan
mengadili perkara-perkara sumir (kecil) untuk semua golongan penduduk.
Ketentuan yang mengatur tentang hukum acara pidana tersebut mulai dipublikasikan pada
tanggal 3 April 1848 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848 yang diperuntukkan untuk golongan
bumi putera daerah Jawa dan madura sedangkan untuk daerah luar daerah tersebut diberlakukan
peraturan yang berbeda dalam bentuk Ordonansi-ordonanasi antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Ordonanasi tanggal 26 maret 1874 (Stb. 94 b), Gubernur Sumatera Barat;


Ordonanasi tanggal 2 Februari 1880 (Stb.32), Residen Bengkulu;
Ordonanasi tanggal 25 Januari 1879 (Stb.65), Residen Lampung;
Ordonansi tanggal 8 Januari 1878 (Stb.14), Residen Palembang;
Ordonansi tanggal 8 Juli 1906 (Stb.320), Residen Jambi;
Ordonansi tanggal 21 Februari 1887 (Stb.45), Residen Sumatera;
Ordonansi tanggal 14 Maret 1881 (Stb.82), Residen Aceh;

8. Ordonansi tanggal 15 Maret 1882 ( Stb.84), Residen Riau;


9. Ordonansi tanggal 30 Januari 1874 (Stb.33), Residen Bangka;
10. Ordonansi tanggal 23 Agustus 1889 (Stb.183), Asisten Residen Belitung;
11. Ordonansi tanggal 1 Februari 1883 (Stb.53), Residen Kalimantan Barat;
12. Ordonansi tanggal 5 Maret 1880 (Stb.55), Residen Kalimantan selatan dan timur;
13. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.27), Residen Menado;
14. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.22), Residen Gubernur Sulawesi;
15. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.29), Residen Maluku;
16. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.32), Residen Ternate;
17. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.25), Residen Timor;
18. Ordonansi tanggal 21 Mei 1882(Stb.142), Residen Bali dan Lombok.
18 Ordonansi tersebut kemudian dihimpun dan dijadikan satu dengan nama Rechtreglement buitengewesten (Reglement Daerah Seberang, Stb. 1927-227), dalam perkembangan
selanjutnya Gubernur Jendral Rochussen masih memiliki kekhawatiran terhadap
diberlakukannya Reglemen tersebut bagi orang Bumi putera, sehingga Reglemen tersebut masih
dalam percobaan.
Mr.Wichers mengadakan beberapa perbaikan terhadap anjuran Gubernur tersebut dan
terjadi beberapa kali perubahan sampai akhirnya dengan Stb. 1941 Nomor 44 diumumkan
kembali dengan nama Herziene Inlands Regelement atau HIR, dan bagian yang terpenting adalah
adanya perubahan-perubahan yang tidak sedikit hal ini dapat dilihat dalam aspek-aspek yaitu :
1. Dalam IR belum ada badan penuntut umum tersendiri, dalam HIR sudah ada meskipun
belum volwaardigh;
2. Regen, patih dan kepala afdeeling (Residen atau asisten Residen dalam IR adalah
Penyidik dalam HIR tidak);
3. Penahanan sementara yang untuk itu dalam sistem IR tidak diharuskan syarat-syarat
tertentu, menurut HIR harus selalu ada perintah tertulis;
4. Kurungan sementara atas perintah asisten-Residen (menurut sistem lama) diganti dengan
penangkapan (gevangenhouding) selama 30 hari, yang jika perlu setiap kali dapat
diperpanjang untuk 30 hari oleh ketua landraad;
5. Baik penahan sementara maupun penangkapan hanya diperbolehkan pada tindak pidana
yang berat-berat (yang diancam dengan pidana penjara selam 5 tahu atau dipidana yang
lebih berat pasal 62 HIR;
6. Untuk penggeledahan rumah pada umumnya diperlukan izin ketua landraad, kecuali
dalam hal tertangkap tangan dan dalam hal mendesak sekali, Pasal 77 dan 78 HIR;
7. Wewenang untuk menyita barang yang dapat dijadikan alat bukti diberikan kepada
pegawai penuntut umum yang dalam HIR diatur khusus dalam pasal.
Hal-hal diatas tersebut perlu di garis bawahi bahwa dalam HIR muncullah lembaga penuntut
umum tidak lagi dibawah pamongpraja tetapi secara bulat dan tidak terpisah-pisah dibawah
officer van justitie dan procuceur general.

Sejalannya dengan praktek diberlakukannya HIR di Jawa dan madura eksistensi IR masih
sering digunakan dan diberlakukan, HIR berlaku dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Malang dan lain-lain sedangkan kota-kota lain berlaku IR.
Pada zaman kependudukan Jepang perundang-undangan hukum acara pidana Indonesia
tidak terjadi banyak perubahan seperti yang diatur dalam pasal 6 UU Nomor 14 tahun 1942 yang
berbunyi hukum acara pidana masa sebelumnya masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
diatur oleh peraturan lain kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan golongan
Eropa. Dengan Undang-Undang Osamu Sirei Nomor 14 tahun 1942 yang berlaku mulai tanggal
7 Maret 1942 maka ditetapkan semua putusan pengadilan harus memakai kepada Atas Nama
Jendral Balatentara perubahan ini berlaku pula terhadap semua badan peradilan dari
pemerintahan Hindia Belanda kecuali Residentiegerecht (dihapuskan dengan Osamu Sirei
Nomor 4 Tahun 1942) dan susunan nama pengadilannya diganti. Setelah diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 34 tahun 1942 maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1942 dicabut
yang kemudian dikenal adanya Kootoo Hooin yang merupakan pengadilan tinggi dan kelanjutan
dari Raad Van Justitie dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung) yang merupakan kelanjutan dari
Hooggerechtshof.
Semua badan peradilan pada zaman ini diterapkan hukum acara pidana dengan
menggunakan ketentuan Het Herziene Inlndsch Reglement (HIR, Stb 1941 Nomor 44) kecuali
untuk Keizai Hooin yang menggunakan ketentuan Landgerechtreglement (Stb. 1914 Nomor 137
jo Stb 1917 No. 323), sedangkan Kootoo Hooin dan Saikoo Hoin hukum acara pidananya
diterapkan oleh Raad van justitie dan Hooggerechtshof yang mengacu kepada Reglement op de
Strafvordering (Stb. 1849 Nomor 63), pada tingkat banding diatur dalam Osumei Seihi Nomor
1573 tahun 1942, semua putusan pengadilan rendahan pada pokoknya dapat dimintakan banding
pada Kootoo Hooin.
Pada saat proklamasi kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat, tetapi dengan kemerdekaan Indonesia tidak serta merta mengganti
peraturan-peraturan yang telah diterapkan di Indonesia ini terlihat pada pasal II aturan peralihan
Undang-Undang dasar 1945 disebutkan bahwa segala badan Negara dan peraturan yang ada
masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang ini yang kemudian
dipertegas dengan peraturan presiden Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945 pada pasal 1 yang
menyebutkan segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya
Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang dasar
tersebut.
Pada masa ini mengenai hukum acara telah lahir 2 Undang-Undang untuk melaksanakan
peradilan umum yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang peradilan ulangan di
Jawa dan Madura serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1947 tentang pemeriksaan perkara
pidana diluar hadirnya terdakwa. Konsekuensi yang diakibatkan terbentuknya Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 1947 adalah tidak berlakunya peraturan peradilan ulangan yang dimuat dalam
Osamu Seihi Nomor 1573 Tahun 1942 yang berlaku pada masa balatentara Jepang. Selain itu
juga pada periode kemerdekaan hukum acara pidana yang telah diterapkan pada praktik
peradilan cukup variatif dalam artian diberlakukannya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR,
Stb 1941 Nomor 44), Reglement op de Buitengewesten (RBg Stb 1927 Nomor 227) dan
Landgerechtsreglement (Stb 1914 Nomor 317 jo Stb 1917 Nomor 323).
Namun keberlakuan hal tersebut tidak berlangsung lama dengan dibentuknya Republik Indonesia
Serikat (RIS), istilah Hooggerechtshof diganti menjadi Mahkamah Agung (UU Nomor 1 Tahun
1950; LN 1950 Nomor 30), kemudian landgerecht dan Appelraad diganti menjadi pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi (UU Drt Nomor 18 Tahun 1950 (LN 1950 Nomor 27) tanggal 18
April 1950.

B. PEMBENTUKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA


Penggunaan istilah hukum acara pidana sudah merupakan pemilihan yang tepat
dibandingkan dengan hukum proses pidana atau hukum tuntutan pidana di negara Belanda
memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan adalah tuntutan Pidana oleh karena
itu menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah istilah Inggris Criminal prosedure law lebih tepat
daripada istilah Belanda. Ada istilah lagi yang pernah popular di Indonesia yaitu criminal justice
system yang diterjemahkan menjadi sistem peradilan pidana, dan juga sistem peradilan pidana
terpadu sebagai salinan istilah integrated criminal justice system Prof. Mochtar Kusumaatmadja
pernah merencanakan mengganti mata kuliah hukum acara pidana menjadi sistem peradilan
pidana yang kemudian dibagi dua yaitu sistem peradilan pidana Indonesia dan sistem peradilan
umum. Tetapi perlu diingat kalau penggunaan istilah sistem peradilan pidana itu sangatlah luas
ruang lingkupnya dibandingkan dengan hukum acara pidana karena ruang lingkupnya hanya
meliputi mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana
oleh jaksa.
Penyusunan rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimulai pada tahun 1967
dengan dibentuknya panitia intern departemen kehakiman. Tapi sebenarnya embrio dalam rangka
pembentukan Undang-Undang Hukum Acara Pidana sudah ada sejak tahun 1965. Waktu itu
sudah ada Draft Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dibicarakan dalam
forum DPRD. Oleh pemerintah Draft ini dapat ditarik kembali karena belum dapat
dipertanggungjawabkan.
Berikutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II di Semarang, tentang
Hukum Acara Pidana dan Hak-Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Ditahun 1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman
dengan memperhatikan kesimpulan Seminar Hukum Nasional tersebut menghasilkan naskah
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang kemudian dibahas bersama oleh suatu

tim antardepartemen, yakni Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan
Departemen Kehakiman, yang dipimpin oleh Menteri Kehakiman Prov.Oemar Seno Adji.
Pembahasan oleh tim antar Departemen ini untuk beberapa materi mengalami jalan buntu,
sehingga sulit dipertemukan. Adapun materi yang dimaksud adalah tentang:
1.
2.
3.
4.

Penyidikan dan penyidikan lanjutan;


Koordinasi, pengawasan dan pemberian petunjuk oleh jaksa kepada Penyidik;
Rechter Commissaris/Hakim Pengawas dan
Pemberian bantuan hukum.

Untuk memecahkan perbedaan pendapat-pendapat tersebut diatas, maka atas prakarsa


Menteri Kehakiman diadakan pertemuan tiga pimpinan tertinggi instansi penegak hukum, yaitu
Menteri Kehakiman Prof.Oemar Seno Adji, Jaksa Agung Ali Said,S.H, dan Kapolri Jenderal
Pol.Drs.Moch.Hasan,S.H, yang dikoordinasikan oleh Men.Hankam/Pangab yang pada waktu itu
diwakili oleh Kaskopkamtib Laksamana Sudomo.
Sementara pembahasan dan penyusunan Rencana Undang-Undang yang disepakati
bersama belum selesai, pada tahun 1974 terjadi pergantian Menteri Kehakiman dari Prof.Oemar
Seno Adji kepada Prof.Dr.Mochtar Koesoemaatdja. Pada waktu Prof.Dr.Mochtar Koesoemaatdja
menjadi Menteri Kehakiman itu, penyempurnaan rancangan tersebut diteruskan. Pada tahun
1974 rancangan itu dilimpahkan pada Sekretariat Kabinet oleh Menteri Kehakiman.
Setelah oleh Sekretariat Kabinet diminta lagi pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan
Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan Departemen Kehakiman, maka naskah
rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut dibahas kembali dalam rapat
koordinasi antara wakil-wakil dari keempat instansi tersebut.
Setelah Moedjono,S.H menjadi Menteri Kehakiman, nampaknya kegiatan dalam
penyusunan tersebut diintensifkan dan pada tahun 1979 diadakan pertemuan antara Menteri
Kehakiman
Moedjono,S.H,
Jaksa
Agung
Ali
Said,S.H,
Kapolri
Jenderal
Pol.Dr.Awaluddin,MPA,dan wakil dari Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang
perlu guna menyempurnakan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut.
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Panitia kecuali
memperhatikan hasil-hasil seminar Hukum Nasional ke-II di Semarang tersebut diatas, juga
memperhatikan pendapat-pendapat para ahli hukum lainnya yang tergabung dalam organisasi
profesi seperti Persatuan Advokad Indonesia (Peradin). Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),
Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja), Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), baik yang
diajukan melalui Seminar maupun kegiatan lain seperti kongres, rapat kerja dan lain-lain.
Perlu dikemukakan di sini, bahwa selama RUUHAP (draft I) berada di Sekretariat Kabinet
setelah diserahkan oleh Depertemen Kehakiman, telah mengalami penyempurnaan sebanyak

empat kali. Sehingga konsep terakhir dari Pemerintah yang siap diajukan ke DPR itu merupakan
draft yang ke-V, sebagai hasil kesepakatan yang di capai, terutama antara Polri dan Kejaksaan.
Dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. R. 08/PU/IX/1979, maka
disampakanlah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana kepada DPR-RI untuk
dibicarakan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia guna mendapatkan
persetujuaannya.
Perlu dikemukakan disini, bahwa rancangan tersebut agak lain dengan rancangan yang
disusun pada masa Menteri Kehakiman di jabat oleh Prof. Oemr Seno Adji tahun 1973 di atas.
Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam membicarakan tingkat I, Menteri Kehakiman
menyampaikan keterangan pemerintah tentang Rancangan Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dalam suatu sidang paripurna DPR-RI.
Pada tanggal 8 November 1979, yaitu pembicaraan tinggkat II Fraksi-fraksi dalam DPR-RI
memberikan pemandangan umum terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana
tersebut, yang kemudian pada tanggal 29 November 1979 dilanjtutkan dengan jawaban dari
pemerintah.
Pembicaraan tingkat III, dilakukan dalam sidang komisi. Diputuskan oleh Badan
Musyawarah DPR-RI, bahwa pembicaraan tingkat III Rancangan Undang-Undang Hukum Acara
Pidana ini dilakukan oleh Gabungan Komisi III (Bidang Hukum) dan Komisi I (Bidang Politik
dan Hankam) serta Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Kehakiman dibantu
oleh staf yang terdiri dari unsure-unsur Kehakiman, Kejaksaaan Agung, dan Polri.
Sidang Gabungan Komisi (SIGAP) III dan I DPR-RI serta pemerintah mulai
membicarakan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut pada tanggal 24
November 1979 sampai dengan tanggal 22 Mei 1980 di gedung DPR-RI Senayan, Jakarta.
Pembicaraan dalam jangka waktu tersebut pada pembahasan materi secara umum yang
menghasilkan putusan penting yang terkenal dengan nama 13 kesepahaman pendapat, yang
mengandung materi pokok yang akan dituangkan dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana. 13 putusan tersebuat adalah sebagai berikut:
1. RUU-HAP dalam pembahasan pada tingkat III ini terbuka untuk disempurnaan;
2. Perpanjangan waktu dapat disetujui sebagai akibat dari perkembangan serta didasarkan atas
kebutuhan yang nyata diperlukan dalam pembahasan tingkat III.
3. Konsiderans setuju untuk disempurnaan, sehingga dapat serta mampu mencerminkan
landasan-landasa motivasi RUU-HAP yang bersifat idieal, struktural dan operasional. Oleh
karena itu Pancasila, UUD45 dan GBHN (TAP IV/MPR/1978) harus dimaksukkan dalam
konsiderans dan bila diperlukan juga Pelita III. Trilogi Pembangunan, Sapta Krida. Delapan
Jalur Pemerataan ( khususnnya jalur ke-8) dimaksukkan juga dalam Penjelasan Umum.

Ditambahkan di sini bahwa Undang-Undang No. 15 tahun 1961 tidakj di cantumkan dalam
konsidens dan dipindah/dicantumkan dalam penjelasan umum.
4. RUU-HAP dimaksudkan untuk melahirkan suatu Undang-Undang yang bersifat nasional dan
oleh karena itu ia merupakan unifikasi serta kodefikasi dalam bidang hukum acara pidana
yang bersifat umum. Walaupun demikian, tidak dapat di pungkiri bahwa disamping yang
umum, tentu terdapat hal-hal yang bersifat khusus, juga dalam bidang hukum acara pidana
ini, maka oleh karena itu yang bersifat khusus itu tentu tunduk pada acara khusus yang
ditetapkan untuk itu dalam berbagai Undang-Undang. Diluar yang khusus itu, semuannya
tunduk pada Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan lahir ini;
5. Adanya ketentuan umum dalam RUU-HAP sangat di perlukan dan harus ada demi kejelasan
arti serta makna dari istilah-istilah tertentu yang terdapat dalam pasal-pasalnnya, meskipun
dalam tingkat pembahasan sekarang ini masih tetap terbuka untuk penyempurnaan;
6. Yang dimaksud denagn hak asasi, yang merupakan slah satu landasan pokok serta yang
menjiwai RUU-HAP ini, termaksuk kedudukan dan hak-hak tersangka, terdakwa dan lainlain sebagainnya yang perlu diperhatikan adalah asas-asas sebagai berikut;
a) Preduga tak bersalah (presumption of in Nomor cence)
b) Peradilan yang merdeka, terbuka, bebas, jujur dan tidak memihak (fair tria),
disamping cepat, sederhana dan biaya ringan;
c) Persamaan dimuka umum (equality before the low), dan
d) Hak pemberian bantuan hukum/ bantuan hukum (legal sid/assistance);
7. Bantuan/nasihat hukum diberikan kepada tersangka, terdakwa oleh seorang penasehat huku
(pembela) selama berjalannya proses pidana menurut aturan serta tatacara yang ditentukan
itu. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini, bahwa selama berlangsunnya pemeriksaan
pada tingkat penyidik dan/atau penuntut, seorang tersangka/terdakwa dapat di dampingi
seorang pembela, tetapi dengan ketentuan bahwa pembela itu bersifat pasif (within singht
and within hearing);
8. Pengawasan atas jalannya proses pidana agar dapat berjalan dengan sebaik-baiknnya
dilaksanakan dnegan cara mengintensifkan:
a) Built in control ( suatu pengawasan secara struktural procedural dari tiap tingkatan
pelaksana proses pidana, yang dinamakan pengawasan vertical);
b) Pengawasan horizontal ( suatu pengawasan antar tiap tingkat pelaksana dalam
proses pidana);
Bila (a) dan (b) diangap kurang cukup, maka sebelum perkaranya diajukan ke sidang
pengadilan dapat diadakan intitusi baru semacam habeas corpus atau prae-trial.
9. Surat dakwaan (yang disusun dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh siapa pun,
khususnya bagi terdakwa) dan berkas perkara diberikan untuk dibaca kepada penasehat
hukum/pembela dalam waktu yang cukup untuk mempelajarinya .
10. Surat keputusan pengadilan sewaktu putusan dijatuhkan/diumumkan harus sudah merupakan
surat yang resmi final(net), sehingga segera setelah itu secepannya dapat diberikan
dsalinannya, bilamana perlu dapat berupa foto kopi yang di outentikasikan ;
11. kewajiban mundur bagi hakim, dalam hubungan darah dengan terdakwa dan sebab lain
yang wajar berlaku dalam semua tingkat badan peradilan umum;

12. Tentang ganti rugi atau rehabilitasi yang perkarannya menurut hukum tidak sampai
kepengadilan, dapat diajukan ganti rugi menurut prosedur yang akan dirumuskan, dan
tentang bentuk rehabilitasi bila hal ini terjadi, kirannya dapat di temukan suatu bentuk yang
memadai, yangbentuk berkekuatan sama dengan rehabilitasi yang diberikan oleh
pengadialan;
13. Kasasi untuk perkara-perkara militer adalah Undang-Undang Nomor.14 Tahun 1970 dan juga
telah dirumuskan dalam RUU-HAP ini;
Untuk membicarakan dan merumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana
lebih lanjut, di bentuk Tim Sinkronisasi yang diberikan mandate penuh oleh SIGAB Komisi III
dan I DPR-RI.
Tim Sinkronisasi bersama wakil dari pemerintah mulai melakukan rapat pada tanggal
25 Mei 1980 untuk membicarakan dan merumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Rapat-rapat dilakukan secara marathon dan tidak hanya dilakukan di gedung DPR RI,
Senayan Jakarta, tetapi juga di luar gedung DPR RI, yaitu Megamendung, Bogor, dan di Jalan
Aditya Warman 8, Kebayoran Jakrata.
Setelah melakukan tugasnya kurang lebih selama 2 tahun, Tim Sinkronisasi berhasil
menyelesaikan tugasnnya dan pada tanggal 9 September 1981, Rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana tersebut di setujui oleh SIGAB Komisi III dan I DPR RI.
Perlu dikemukakan disini bahwa, dalam membahas Rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana tersebut Tim Sinkronisasi bersama pemerintah mengalami hambatanhambatan dalam membahas Bab Ketentuan Peralihan dan Pasal 115, tentang hadirnnya
penasehat hukum pada saat pemeriksaan pendahuluan. Namun hambatan-hambatan tersebuta
dapat diatasi denagn melakukan lobbying dan sarahsehan antara Pimpinan Dewan, Pimpinan
Fraksi dan Pimpinan Gabungan Komisi.
Dalam menyelesaikan penyusunan rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana
telah pula diminta sumbangan pendapat dari ahli bahasa.
Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah penyampaian pendapat akhir oleh
semua Fraksi, dalam DPR RI dalam Sidang paripurna, maka Rancangan Undang-Undnag Acara
Pidana di setujui DPR untuk disahkan sebagai Undang-Undang.
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut telah di setujui oleh DPR
untuk disahkan oleh President menjadi Undang-Undang. Presiden pada tanggal 31 Desember
1981 telah mengesahkan, RUU tersebut menjadi Undang-Undang Nomor.8 Tahun
1981(L.N.RI.NOMOR.76;TLN Nomor.3209). tertanggal 31 Desember 1981.
Adapun perbedaan yang fundamental antara KUHAP dengan HIR adalah mengenai
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Hal ini Nampak dengan diaturnya dalam
KUHAP ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1.

Hak-hak tersangak atau terdakwa

2.

Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan

3.

Dasar hukum untuk penagkapan dan penahahanan dan pembatasan jangka waktunnya

4.

Ganti kerugian dan rehabilitasi

5.

Pengabungan perkara pada perkara pidana dalam hal ganti rugi;

6.

Upaya-upaya hukum

7.

Koneksitas

8.

Pengawasan pelaksanaan, putusan pengadilan.

Ruang lingkup kegiatan hukum acara pidana. Dapat kita katakana bahwa pada hakekatnnya
ruang lingkup kegiatan hukum acara pidana itu meliputu hal-hal yang disebutkan dibawah ini:
1. Pendinyidikan perkara pidana.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Undang-Undang hukum acara pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkannya, seperti misalnya pencurian, penipuan , penggelapan,
penganiayaan dan sebagainnya, yang telah terjadi atau dilaporkan, dari mulai masih gelap
sehingga menjadi terang, terang dalam arti, bahwa unsur-unsur tindak pidana untuk
menuntut peristiwa itu dimuka hakim menjadi lengkap dan siapakah tersangkannya.
Penyidikan adalah tugas penyidik. Adapun penyidik itu dijabat oleh kepolisian.
2. Penuntutan perkara pidana.
Menununtut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menutut cara yang diatur dalam UndangUndang Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya di periksa dan putus oleh hakim
di sidang pengadilan. Penuntutan perkara pidana adalah tugas yang dilakukan
oleh kejaksaan. Dengan melakukan penuntutan oerkara maka jaksa seakan-akan
mengakhiri penyidikan dan menyerahkan pemeriksaan serta keputusannya kepada hakim.
3. Peradilan perkara pidana.
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan
memutuskan perkara pidana berdasarkan azas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang
pengadilan dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang hukum acara pidana,
yaitu memeriksa dan dengan bukti-bukti yang cukup menentukan:
a) Betulkah peristiwa yang telah terjadi dan di tuduhkan kepada tedakwa itu merupakan
suatu peristiwa pidana?.
b) Betulkah terdakwa cukup terbukti kesalahannya telah melakukan peristiwa pidana itu?
Dan

c) Apabila betul, kemudian menjatuhkan pidana yang setimpal kepada terdakwannya atas
kesalahannya itu.
Menjalankan perkara pidana adalah tugas dari pengadilan.
4. Pelaksanaan keputusan hakim. Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan
agar suya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dilaksanakan,
misalnnya pabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya terdakwa segera
di keluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda agar supaya uang denda
itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya
terpidana menjalani pidananya dalam rumah Lembaga Permasyarakatan dan sebagainnya.
Pelaksanaan keputusan pengadilan yang biasa disebut pula eksekusi itu adalah tugas dari
kejaksaan.

BAB III
KESIMPULAN

Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimulai dari hukum adat setempat,
setelah itu pengaruh dari agama/kepercayan, dan tentunya peradaban zaman penjajahan. Dimana,
mulai datangnya bangsa Belanda dan dibentuknya VOC. Berawal dari perintah raja Belanda pada
tangal 16 Mei 1846 Nomor 1, kodifikasi peraturan hukum acara pidana tahun 1848, Rechtreglement buitengewesten (Reglement Daerah Seberang, Stb. 1927-227), Herziene Inlands
Regelement (HIR), Undang-Undang Osamu Sirei Nomor 4 tahun 1942, penghapusan Osamu
Sirei, hingga masa proklamasi kemerdekaan NKRI.

Penyusunan rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimulai pada tahun 1967
dengan dibentuknya panitia intern departemen kehakiman. Berikutnya pada tahun 1968 diadakan
Seminar Hukum Nasional II di Semarang, tentang Hukum Acara Pidana dan Hak-Hak Asasi
Manusia yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Ditahun
1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman dengan memperhatikan kesimpulan Seminar Hukum
Nasional tersebut menghasilkan naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang
kemudian dibahas bersama oleh suatu tim antardepartemen. Dan dengan melalui berbagai
tahapan perundingan, pada akhirnya Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut
telah di setujui oleh DPR untuk disahkan oleh President menjadi Undang-Undang. Presiden pada
tanggal 31 Desember 1981 telah mengesahkan, RUU tersebut menjadi Undang-Undang Nomor.8
Tahun 1981(L.N.RI.NOMOR.76;TLN Nomor.3209). tertanggal 31 Desember 1981.

Anda mungkin juga menyukai