Anda di halaman 1dari 26

Makalah Kuliah Pancasila

5 12 2008

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb.
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan kurnia-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah ini. Pembuatan makalah ini didasarkan sebagai tugas untuk
mendaptkan nilai dari mata kuliah Pancasila
Dalam

makalah

ini,

penulis

mengambil

judul

mengenai

Pancasila

sebagai

Filsafat/Falsafat Bangsa Negara Indonesia yang berisikan pendapat-pendapat dari orang yang
ahli dalam bidangnya. Dan tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Ibu Ir.
Ausvianty yang telah membantu saya dalam menyelesaikan tugas pancasila ini
Walau bagaimanapun juga makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena
itu saya memohon kritik dan saran.
Wasalammualaikum Wr.Wb
Jakarta, February 2008
Penulis

Ideologi Pancasila di tengah Perubahan Dunia


UNIA berkembang dan berubah dengan sangat cepat, dan perubahan yang terjadi itu ikut mewarnai
kehidupan bangsa kita secara fundamental. Ada beberapa penulis buku yang melalui konsep-konsepnya
telah berhasil memotret realitas zaman yang sedang kita jalani ini. Di antaranya adalah Rowan Gibson
(1997) yang menyatakan bahwa The road stop here. Masa di depan kita nanti akan sangat lain dari masa
lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu.
New time call for new organizations, dengan tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi yang
berbeda, dengan ciri efisiensi yang tinggi. Where do we go next; dengan berbagai perubahan yang terjadi,
setiap organisasi-termasuk organisasi negara-perlu merumuskan dengan tepat arah yang ingin dituju.
Peter Senge (1994) mengemukakan bahwa ke depan terjadi perubahan dari detail complexity menjadi
dynamic complexity yang membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan-perubahan terjadi sangat
mendadak dan tidak menentu. Rossabeth Moss Kanter (1994) juga menyatakan bahwa masa depan akan
didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan, dan karenanya setiap pelakunya, termasuk pelaku
bisnis dan politik dituntut memiliki 4 C, yaitu concept, competence, connection, dan confidence.
Peran Ideologi
Sejak berakhirnya perang dingin yang kental diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang
memromosikan liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme,
tata pergaulan dunia mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Beberapa kalangan mengatakan
bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan
runtuhnya tembok Berlin-di akhir dekade 1980-an- dunia ini mengakhiri periode bipolar dan memasuki
periode multipolar.

Periode multipolar yang dimulai awal 1990-an yang kita alami selama sekitar satu dekade, juga pada
akhirnya disinyalir banyak pihak terutama para pengamat politik internasional, telah berakhir setelah
Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Bush memromosikan doktrin unilateralisme
dalam menangani masalah internasional sebagai wujud dari konsepsi dunia unipolar yang ada di bawah
pengaruhnya.
Dapat disimpulkan bahwa era persaingan ideologis dalam dimensi global telah berakhir. Saat ini kita
belum dapat membayangkan bahwa dalam waktu dekat akan muncul kembali persaingan ideologis yang
keras yang meliputi seluruh wilayah dunia ini. Dunia sekarang ini cenderung masuk kembali ke arah
persaingan antarbangsa dan negara, yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi karena setiap
negara sedang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Dalam era yang
seperti ini, kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan kemampuan
bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya.
Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan
metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan
makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan
membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya
persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara
dengan tanah airnya.
Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah
sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia dengan
berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial, budaya, dan
politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa.
Kesadaran Berbangsa

Sebenarnya, proses reformasi selama enam tahun belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus
dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk
membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan
kita dalam era reformasi ini masih kurang dimanfaatkan. Bahkan dalam proses reformasi-selain sejumlah
keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik-juga muncul ekses berupa melemahnya kesadaran
hidup berbangsa.
Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatisme, tidak diindahkannya konsensus nasional,
pelaksanaan otonomi daerah yang menyuburkan etnosentrisme dan desentralisasi korupsi, demokratisasi
yang dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian, dan munculnya kelompok-kelompok yang
memromosikan secara terbuka ideologi di luar Pancasila.
Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang
Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa
ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum semua warga bangsa
kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi
hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945 terbentuk dengan karakter utamanya mengakui
pluralitas dan kesetaraan antarwarga bangsa. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa kita yang
bersifat final. Oleh karenanya, NKRI tidak dapat diubah menjadi bentuk negara yang lain dan perubahan
bentuk NKRI tidak akan difasilitasi oleh NKRI sendiri.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan founding fathers telah membekali kita
dengan aspek-aspek normatif negara bangsa yang menganut nilai-nilai yang sangat maju dan modern.
Oleh sebab itu, tugas kita semua sebagai warga bangsa untuk mengimplementasikannya secara konkret.

NKRI yang mengakui, menghormati keragaman dan kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk
mengantarkan masyarakat kita pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses demokratisasi yang sedang berlangsung ini memiliki
koridor, yaitu untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI, yang menganut ideologi negara
Pancasila yang membina keberagaman, dan memantapkan keseta-raan. Oleh karenanya, tidak semua hal
dapat dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi.
Pancasila sebagaimana ideologi manapun di dunia ini, adalah kerangka berfikir yang senantiasa
memerlukan penyempurnaan. Karena tidak ada satu pun ideologi yang disusun dengan begitu
sempurnanya sehingga cukup lengkap dan bersifat abadi untuk semua zaman, kondisi, dan situasi. Setiap
ideologi memerlukan hadirnya proses dialektika agar ia dapat mengembangkan dirinya dan tetap adaptif
dengan perkembangan yang terjadi. Dalam hal ini, setiap warga negara Indonesia yang mencintai negara
dan bangsa ini berhak ikut dalam proses merevitalisasi ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karenanya, prestasi bangsa kita akan menentukan posisi Pancasila di tengah percaturan
ideologi dunia saat ini dan di masa mendatang. *
Penulis adalah Ketua Umum DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Penyegaran Pemahaman terhadap Pancasila


Oleh Asad Said Ali
Era reformasi menyadarkan bahwa di satu sisi Pancasila telah menyelamatkan bangsa Indonesia
dari ancaman disintegrasi selama lebih dari tiga dasawarsa, namun sebaliknya sakralisasi dan penggunaan
berlebihan dari ideologi negara dalam format politik Orde Baru juga membuahkan kritik dan protes
terhadap Pancasila.
Sejarah implementasi Pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus, bukan dalam pengertian
keabsahan substansialnya, tapi dalam konteks implementasinya. Tantangan terhadap Pancasila sebagai
kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya berasal dari faktor domestik, tetapi
juga internasional. Banyak ideologi-ideologi mancanegara yang turut bertarung di Indonesia.
Kini gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan
globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berpikir masyarakat Indonesia. Hal demikian

bisa meminggirkan Pancasila dan bisa menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan
dengan kepribadian bangsa. Dalam suasana demikian, bisa saja solidaritas global menggeser kesetiaan
nasional. Internasionalisme menggeser nasionalisme.

Ijtihad Politik
Pada masa Bung Karno, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada
situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan
keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana
transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.
Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan
paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan
pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi
terpimpin dan kepribadian nasional.
Hasil dari ijtihad politik Bung Karno sudah kita ketahui bersama, yakni kudeta PKI dan kondisi
ekonomi yang memprihatinkan, tapi posisi Indonesia tetap dihormati dunia internasional dan
integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan.
Pada masa Orde Baru, Pak Harto melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman
Pancasila melalui apa yang disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era
sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa.
Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan
dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Kita dihadapkan pada pilihan yang sulit,
memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan
politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Bung Karno.
Dilihat dari konteks zaman, ijtihad politik Pak Harto tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma
yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan
pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis
diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita
lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang.
Hasil dari ijtihad politik itu seperti kita rasakan bersama, yakni meningkatnya kesejahteraan
rakyat dan penghormatan terhadap Indonesia di dunia internasional. Tapi kondisi politik dan keamanan
dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan yang sentralistis dan otoritarian.
Sesungguhnya, jikalau Pak Harto konsekuen dengan ijtihad politiknya yang antara lain menyatakan
bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka, mungkin tidak mengalami kekacauan pada 1998. Tapi sejarah
mencatat Pak Harto memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal pada semua parpol dan ormas sejak
tahun 1982.

Ibarat Kapal Tanpa Kemudi


Pada masa Orba, kecenderungan pemaksaan asas tunggal telah membekukan Pancasila.
Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Ia dikeramatkan
sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi yang memberikan ruang
kebebasan untuk berkreasi.
Bila Pancasila tetap dipegang teguh sebagai ideologi bernegara, seharusnya jebakan-jebakan
seperti itu tidak boleh terjadi, karena sesungguhnya Pancasila sangat terbuka terhadap
interpretasi baru sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya.
Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, meskipun secara formal
Pancasila tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi kita rasakan hanya sebatas pada

pernyataan politik.
Hal ini bisa dipahami karena arus globalisasi dan arus demokratisasi sedemikian keras. Aktivisaktivis prodemokrasi tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha
mengutamakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia
khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun
negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan.
Hasilnya bisa kita lihat, NKRI ibarat kapal tanpa kemudi, terombang-ambing ombak dan arus globalisasi
dalam lautan berbagai ideologi asing. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana
asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar. Dalam bahasa intelijen kita
mengalami apa yang dikenal dengan subversi asing, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri
karena campur tangan secara halus pihak asing.
Siapapun yang menjadi pemimpin pada saat ini pasti akan menghadapi atau menerima situasi yang sangat
sulit dalam menata bangsa ini. Sudah menjadi kewajiban semua komponen bangsa ini untuk membantu
para pemimpin bangsa ini dengan melakukan ijtihad politik tentang Pancasila.
Pembangunan politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan beragama harus didasarkan pada
pemahaman terhadap Pancasila sesuai dengan situasi yang sedang berjalan. Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara tidak perlu dipersoalkan, sedangkan yang harus menjadi ijtihad politik hanya sebatas pada
upaya mencari kesepakatan tentang paradigma yang akan digunakan untuk memahaminya. Bung Karno
memahami Pancasila dengan USDEK dan Pak Harto dengan P4. Lalu, kita menggunakan paradigma apa?
Pemilihan Ideologi Pacasila
Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat
hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen
dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di
Indonesia.
Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang menjadi permasalahan adalah
bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan sejauh ini tidak ada pihak manapun yang secara terang
terangan menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke lima, kecuali Hizbut Tahrir Indonesia yang
secara terang terangan menentang pasal ke 4. Namun hal itu akan dibahas lain kali.
Sila pertama yang berbunyi ketuhanan yang maha esa pada saat perumusan pernah diusulkan oleh PDU
PPP dan FDU (kini PKS) ditambah dengan kata kata dengan kewajiban menjalankan syariat islam
bagi pemeluknya sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun dua ormas Islam terbesar saat itu
hingga kini yaitu Nahdatul Ulama dan Muahmmadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut,

karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak
langsung namun pasti akan menjadikan indonesia sebagai negara Islam dan secara fair hal tersebut
dapat memojokan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa
terutama bagi profinsi yang mayoritas beragama non Islam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila
pertama adalah ketuhanan yang maha esa yang berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan
keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun termasuk juga Kristen, Katholic, Budha dan Hindu sebagai
agama resmi negara.
Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan Pancasila dengan menjual
nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan masyarakat indonesia
yang cinta atas keutuhan NKRI maka banyak dari mereka yang mengatasnamakan diri mereka Islam
Pancasilais, atau Islam Nasionalis.
Bedah Butir Pada Pancasila Sila Pertama

Ketuhanan Yang Maha Esa

Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaanya dan ketaqwaanya


kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.

Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama


dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa

Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai


dengan agama dan kepercayaanya masing masing

Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang

lain.
Pemahaman dan Pelanggaran terhadap Pancasila saat ini
Artinya Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan

agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak perlu meragukan
konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi
Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi Pancasila bukan
ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.
Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan

permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan
maupun berbeda adat istiadat.
Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita merendahkan umat yang

berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung dan tidak langsung memaksakan
aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih
moralitas.
Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur nilai

moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan mengajarkan
permusuhan.
Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu.

Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur benar salah dan

moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul gesekan antar agama. kalaupun

penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan
Hindu bukan berdasarkan salah satu agama entah agama mayoritas ataupun minoritas.
Merebut Ideologi Pancasila dari Monopoli Penguasa

Oleh
Inno Jemabut

JAKARTA-Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila harus terus dimaknai secara terbuka dan
dinamis, berkembang sesuai dengan konteks kehidupan modern yang penuh dengan tantangan. Sebagai
ideologi, Pancasila merupakan konsep yang final dan mapan bagi bangsa kepulauan dengan masyarakat
semajemuk Indonesia.
Namun, pemaknaan atas Pancasila tentu belum final. Pemaknaan Pancasila terus disesuaikan dengan
konteks, berkembang seiring dengan gerak demokrasi yang ada di Indonesia. Setiap generasi dan
kelompok masyarakat Indonesia dimungkinkan untuk memberikan makna yang berbeda dan
mewujudkannya dalam keragaman yang akseleratif.
Seperti pencarian akan kebenaran yang tak pernah berhenti, Pancasila adalah gagasan ideal yang harus
didekati secara terus-menerus. Ia harus terus diisi dengan memakai metode trial and error dalam setiap
kontekstualisasinya.
Kebenaran kontekstulisasi hari ini belum tentu masih berlaku esok. Prinsip falsifikasi dapat kita terapkan
dalam pemaknaan Pancasila, yakni dengan menemukan kelemahan untuk mendapatkan keunggulannya.
Berhadapan dengan globalisasi dan munculnya budaya global seperti konsumerisme, hedonisme, atau
budaya instan lainnya, peran pemaknaan kembali Pancasila menjadi demikian mendasar. Tentu, kita tidak
bermaksud berhadap-hadapan dalam arti clash of civilization atas pola hidup modern. Sebaliknya, yang
dibutuhkan adalah bagaimana memoderasi nilai-nilai Pancasila agar tetap mendapat tempat di tengah
kehidupan masyarakat modern.

Kepentingan nasional setiap negara anggota tak dapat diabaikan begitu saja. Malah gerakan anti-Uni
Eropa dari tahun ke tahun terus meningkat. Artinya, kita tak dapat masuk dalam sebuah perkumpulan
tanpa kepentingan masing-masing. Kita juga tidak dapat menolak begitu saja budaya global yang serbainstan tanpa memiliki pola budaya yang menjadi identitas kita sendiri.
Identitas merupakan ukuran penilaian yang dapat kita gunakan berhadapan dengan dunia di luar kita.
Identitas dalam bentuk ideologi dan semangat nasionalisme merupakan perjuangan dan diraih dengan
perjuangan pula.
Perjuangan merebut kemerdekaan oleh pendiri bangsa Indonesia tidak lepas dari usaha menemukan
identitas bangsa Indonesia. Identitas itu menyatu dalam konsep Pancasila yang lalu menjadi ideologi
negara.
Sayang dan rasanya tak beradab kalau darah dan nyawa pahlawan bangsa untuk menemukan identitas itu
tak dimaknai oleh generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Tidak ada perang dalam sejarah umat manusia
yang lebih ganas dari pada perang menemukan identitas bangsa. Dua perang dunia hingga pertengahan
abad 20 antarkelompok manusia justru dipacu oleh konsep nasionalisme sebuah bangsa dengan ideologi
berbeda.

Penemuan Terbesar
Sekalipun kristalisasi Pancasila dalam wujud teks yang kita inderai sekarang baru muncul setelah
kemerdekaan, sebetulnya dari awal dialah yang menjadi pemacu semangat untuk
memperjuangkan kemerdekaan. Lima sila tersebut menjadi asal-usul keluar dari kungkungan
kolonialisme bangsa Eropa selama ratusan tahun.
Tidak ada penemuan bangsa Indonesia yang lebih besar saat ini selain Pancasila. Pancasila adalah
penemuan idelogi bangsa paling tangguh di zaman modern dengan tingkat heterogenitas penduduk yang
sangat tinggi. Persoalannya, mampukah generasi penerusnya untuk mempertahankan?
Namun, harus diingat, ideologi dan semangat nasionalisme sebuah bangsa juga selalu bersifat paradoksal.
Tidak sekadar sebagai sebuah pegas yang menendang ke kiri dan kanan tetapi tetap akan kembali ke titik
keseimbangan.
Di satu sisi, keduanya bisa memberikan semangat pembebasan, tetapi pada sisi lain dia dapat
menghasilkan efek kekerasan yang luar biasa jika tidak ada pengelolaan yang lebih baik. Pancasila tak
punya rupa yang dapat disapa, tetapi hanya dirasakan oleh sebuah pengelolaan negara yang adil dan
merata, sejehtera, dan berimbang.
Ideologi sebuah bangsa akan bergerak liar manakala perbedaan pemaknaan serta kontekstualisasi tak
terakomodasi dengan baik. Ideologi selalu bergerak secara terbuka sesuai konteks tantangan yang
dihadapi. Tidak ada pemaknaan yang tetap dan tak berubah. Make it and test it in a fact!
Pengeolaan perbedaan seperti itulah yang saat ini menjadi tantangan ideologi bangsa kita. Bagaimana

perbedaan dikelola menjadi keunggulan, tidak hanya dalam kata tetapi juga dalam laku sehari-hari.
Pemaknaan ideologi Pancasila pada prinsipnya sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintah mendengar
aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, bagaimana negara menciptakan kondisi atau prasyarat yang
baik agar warga bisa hidup aman, makmur, adil, dan sejahtera.
Ideologi Pancasila adalah sesuatu yang harus selalu direbut oleh rakyat Indonesia dari penguasa. Artinya,
bagaimana upaya agar ideologi dan semangat nasionalisme tidak hanya menjadi hak penguasa, tetapi
milik bersama masyarakat.
Ideologi Pancasila Harus Dibumikan
Jakarta, Kompas Usaha merevitalisasi Pancasila harus dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu ide dan
praksis. Sebagai ide, Pancasila harus diletakkan sebagai cita-cita. Pada tataran praksis, Pancasila perlu
dibumikan dengan strategi kebudayaan.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit, dalam Silaturahmi
HUT Ke-5 Gerakan Jalan Lurus yang mengangkat tema Revitalisasi Pancasila di Jakarta Selasa (30/5).
Hadir Akbar Tandjung, Solahuddin Wahid, Quraish Shihab, dan Syafii Maarif.
Sejak Orba (Orde Baru) runtuh, orang segan bicara Pancasila. Ini akibat praktik politik otoriter Orba
yang dipenuhi intimidasi dan kekerasan dengan mengatasnamakan Pancasila, ujar Sukardi.
Akibatnya, menurut Sukardi, muncul kelompok yang antisimbolik terhadap Pancasila. Kelompok inilah
yang harus diyakinkan bahwa Pancasila merupakan satu-satunya pegangan yang bangsa ini punyai untuk
mencairkan politik identitas.
Pemilihan Ideologi Pacasila
Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat
hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen
dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di
Indonesia.

Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang menjadi permasalahan adalah
bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan sejauh ini tidak ada pihak manapun yang secara terang
terangan menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke lima, kecuali Hizbut Tahrir Indonesia yang
secara terang terangan menentang pasal ke 4. Namun hal itu akan dibahas lain kali.
Sila pertama yang berbunyi ketuhanan yang maha esa pada saat perumusan pernah diusulkan oleh PDU
PPP dan FDU (kini PKS) ditambah dengan kata kata dengan kewajiban menjalankan syariat islam
bagi pemeluknya sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun dua ormas Islam terbesar saat itu
hingga kini yaitu Nahdatul Ulama dan Muahmmadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut,
karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak
langsung namun pasti akan menjadikan indonesia sebagai negara Islam dan secara fair hal tersebut
dapat memojokan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa
terutama bagi profinsi yang mayoritas beragama non Islam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila
pertama adalah ketuhanan yang maha esa yang berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan
keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun termasuk juga Kristen, Katholic, Budha dan Hindu sebagai
agama resmi negara.
Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan Pancasila dengan menjual
nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan masyarakat indonesia
yang cinta atas keutuhan NKRI maka banyak dari mereka yang mengatasnamakan diri mereka Islam
Pancasilais, atau Islam Nasionalis.
Pancasila sebagai Ideologi
Ditulis pada Januari 25, 2008 oleh Sulaimanzen
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh destutt de trascky pada
akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan sains tentang ide. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang

komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), sebagai akal sehat
dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas
masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).
Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Disamping itu juga telah dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahawa Pancasila merupakan sumber
kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Kerena Pancasila merupakan
ideologi dari negeri kita. Dengan adanya persatuan dan kesatuan tersebut jelas mendorong usaha dalam
menegakkan dan memperjuangkan kemerdekaan. Ini membuktikan dan meyakinkan tentang Pancasila
sebagai suatu yang harus kita yakini karena cocok bagi bangsa Indonesia.
Pancasila adalah ideologi Bangsa Indonesia, dengan pedoman Pancasila para pedahulu kita bisa
mempersatukan berbagai golongan dan kelompok. Kini Pancasila sudah ditinggalkan oleh banyak orang,
terutama para kalangan Politikus yang berbasiskan agama. Apakah kini Pancasila sebagai Dasar Negara
telah benar-benar dilupakan ???
Sangat dibutuhkan! Kecuali untuk orang-orang yang berharap adanya negara Islam Indonesia atau
sejenisnya, atau ada yang berharap adanya negara Bali, negara Dayak, negara Ambon, negara Batak,
negara Minahasa, dan ratusan negara kecil lain sebagai ganti NKRI. Bukankah orang-orang seperti itu
yang tidak menginginkan lagi Pancasila?
Anda tahu gak sekarang, negara kita berjalan tanpa idiologi. Idiologi Pancasila itu sudah ditinggalkan di
tengah jalan. Karena terasa berat untuk membawanya dan menerapkan dalam kehidupan pemerintahan
pada saat ini.
Jadi, sangat kita butuhkan Kalau tidak, mau pakai idiologi apa, idiologi korupsi, idiologi penindas atau
idiologi kekuasaan.

Walau idiologi pancasila itu kurang sesuai dengan zaman sekarang yang serba bebas dan tidak tahu arah,
tetapi idiologi Pancasila bisa mengayomi para pemimpin bangsa ini kalau dilaksanakan dengan benar dan
dengan hati nurani yang mengutamakan rakyat.
Zaman sekarang kiranya sudah seperti zaman Jahiliah, dimana kebanyakan orang sudah tidak mau tahu
dengan kebenaran. Malahan mengesampingkan kebenaran demi yang namanya uang. Begitu juga dengan
pergaulan remaja yang sudah tidak terkendali. Sehingga tidak luput dari kenistaan dan dosa. Berteman
dengan narkoba, bermain dengan minuman keras dan bersenang-senang dengan seks bebas tanpa
mengingat hidup akan mati.
Kiranya itulah contoh martabat bangsa yang sudah mulai pupus dan hilang akibat idiologi Pancasila yang
sudah ditinggalkan di jalan. Generasi tidak lagi memikirkan bangsanya dan hanya memikirkan kepuasan
pribadi semata.
Jadi, Indonesia saat ini sangat membutuhkan sebuah idiologi dalam menjalankan pemerintahan ini ke
depan. Tidak lain idiologi itu adalah Pancasila.
Sebelumnya melangkah lebih jauh, sangat perlu kita memahami apa arti dari ideologi dan apa itu
Pancasila sebenarnya. Ideologi adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan
dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga
pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk
menyebarkannya (wikipedia). Pancasila sendiri tindak ada yang salah padanya, setiap kalimat-kalimatnya
jika kita renungkan dengan sangat dan memaknainya dengan segenap jiwa, maka kita akan meyakini
bahwa itu baik bagi bangsa yang beragam ini. Tapi apakah sebagai ideologi?
Sebenarnya yang membuat citra pancasila sebagai ideologi itu buruk adalah kedzaliman rezim Orde
Baru, selama 32 tahun penguasa-penguasa dan pemimpin-pemimpin bangsa ini atas nama persatuan,
menggunakan Pancasila sebagai resistansi atau sistem pertahanan dari segala macam gangguan yang

terjadi, tapi bukan untuk kebersatuan negara ini,melainkan demi mempertahankan eksistensi atau
keberadaan kedudukan mereka. Dan pengalaman buruk selam 32 tahun itulah yang membuat kita(atau
beberapa orang tepatnya) berpikir bahwa pancasila sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat
dan bagnsa ini. Tapi apa yang membuat Pancasila itu bertahan selama ini?
Sebuah negara bangsa membutuhkan Weltanschauung atau landasan filosofis. Atas dasar Weltanschauung
itu, disusunlah visi, misi, dan tujuan negara. Tanpa itu, negara bergerak seperti layangan putus, tanpa
pedoman. Itu saja yang membuat Pancasila bertahan selama ini. Oleh karena itu pemirintah bahkan tidak
pernah sekalipun berani menyinggung atau mempertanyakan relevansi dari Pancasila. Karena sudah
terhujam dengan sangat dalam di hati seluruh rakyat Indonesia abhwa Pancasila-lah yang
mempersatukan kita. Apa benar?
Secara simbolis memang pancasila adalah alat pemersatu bangsa yang merupakan jiwa, kepribadian dan
pandangan hidup bangsa Indonesia, dan berdasarkan sejarah Pancasila juga merupakan sumber kekuatan
bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Benarkah begitu? Setidaknya itulah yang
selalu dipropagandakan pemerintah.
Untuk mengusut sejak kapan Pancasila sebagai Ideologi negara ini, cukup sulit karena sejarah indonesia
tidak murni hitam-putih tapi abu-bau atau kelabu. Tidak pasti mana kejadian yang terjadi, mana yang
hanya rekayasa semata. Kejernihan mata reformasi bahkan tidak sanggup menembus kabut kelamnya
masa lalu bangsa ini(baca: Orde Baru).
Tapi bukan itu yang kita bicarakan sekarang, tapi masih layakkah atau relevankah jika Pancasila dianggap
sebagai ideologi bangsa ini?
Karena seperti yang telah saya sebutkan diatas bahwa secara simbolis Pancasila benar-benar sencara kuat
mempersatukan bangsa ini, dan apabila kita mempertanyakan keabsahan Pancasila,yang terjadi adalah
disintergasi lagi.
Yang perlu kita lakukan sekarang sebagai tindakan nyata adalah merevitalisasi atau menghidupkan
kembali semua fungsi-fungsi dan pelaksanaan Pancasila. Dalam konteks itulah, Pancasila sebagai faktor
pemersatu harus direvitalisasi. Pancasila perlu direhabilitasi dan direjuvenasi. Jika tidak, ada

kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain.


Walaupun demikian pendapat pribadi saya adalah pancasila tidak patut disebut sebagai ideologi negara,
cukupn sebagai kontrak sosial.
Mukadimah dalam konstitusi kita memuat serangkaian cita-cita yang akan diwujudkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, tetapi realitas empiris berbicara lain. Kita semakin terjerumus kedalam
lingkaran yang tak menentu dan menyimpang jauh dari apa yang kita cita-citakan. Karena memuat hal-hal
yang menyangkut sendi-sendi kenegaraan, dan agar tak semakin terperosok dan menyimpang jauh,
diperlukan ruang yang lapang untuk jelajah kritis yang intens. Demikian pula dengan Pancasila yang
menempati posisi sentral sebagai sendi kenegaraan, karena akan muncul permasalahan maha besar jika
kita tak mampu menghadapinya secara arif, bukan dengan cara yang panas (mendewakan) ataupun
dengan cara yang dingin (sinis) terhadapnya, apalagi jika dirunut maka Pancasila seolah-olah
ditakdirkan untuk menjadi kontroversiil karena lahir dengan watak yang kontroversiil.
Kontroversi ini sebenarnya lebih bersumber pada kerancuan dalam alam pikir kita terhadapnya sehingga
menimbulkan kerancuan dalam sikap serta tindakan dan juga bersumber dari syahwat kita yang
berlebihan dalam memakai Pancasila.
Pancasila belum menjadi suatu ideologi karena belum pernah melahirkan suatu teori tetapi masih
merupakan prinsip-prinsip dasar, dan Pancasila tak akan pernah menjadi suatu konsep yang efektif jika
kita memandang dan memperlakukannya sekaligus sebagai ideologi, falsafah, dan alat dengan totalitas
yang sama, karena masing-masing dapat terbentang jarak yang amat jauh. Dan kita perlu untuk sangat
berhati-hati jika berangkat dari titik tolak ini. Pengertian ideologi yang kita pakai disini adalah hal-hal
yang berada dalam dunia gagasan yang hendak kita wujudkan dalam realitas, sedangkan falsafah dalam
garis besarnya kita kelompokkan dalam dua kategori: (1) patokan-patokan yang secara individuil kita
pandang sebagai prinsip hidup ideal yang kita gandrungi (berbicara tentang apa yang seharusnya), yang
dalam perwujudannya tidak berbeda dengan ideologi, dan (2) suatu penafsiran yang menyangkut sistem
tata-nilai yang dianggap berlaku dalam realitas secara relatif konsisten dan terintegrasi (berbicara tentang

apa adanya). Atau secara gamblang, Pancasila sebagai ideologi dapat diibaratkan sebagai ide/angan-angan
dalam otak, misalnya, mengenai suatu gambaran bentuk bangunan; sedangkan Pancasila sebagai falsafah
kategori pertama adalah perwujudan bentuk bangunan yang diangan-angankan dalam penggambaran
diatas kertas, dan Pancasila sebagai falsafah kategori yang kedua adalah adanya lokasi serta tingkat
ketersediaan bahan-bahan untuk merealisasikan bangunan yang dicita-citakan. (Untuk meluruskan jalan
berpikir dan untuk membedakannya dengan ideologi, maka istilah falsafah seharusnya digunakan untuk
kategori yang kedua). Kerancuan akan semakin melebar jika Pancasila kita anggap pula sebagai alat
secara total, karena alat selalu bersifat netral tetapi bisa digunakan oleh siapa saja yang memegangnya
dan untuk tujuan apa saja, dan pengalaman sejarah telah membuktikannya.
Kontroversi dapat pula bersumber pada keragaman pengertian kita terhadap kata Weltanschauung yang
dipopulerkan oleh Bung Karno lewat naskah pidatonya yang melahirkan Pancasila, yang kemudian
digunakan oleh banyak orang sebagai falsafah, tetapi tidak jelas yang dimaksudkan apakah falsafah
sebagai gambar diatas kertas ataukah yang sudah menemukan lokasi dan bahan untuk
perwujudannya. Padahal sejak awalnya Pancasila bukanlah merupakan suatu kepribadian yang telah
mewujud tetapi suatu alternatif terbaik bagi bangsa Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Bung Karno:
Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realitas, jika tidak dengan
perjuangan!.
Dalam konteks masa kini, Pancasila harus tetap kita pandang sebagai Weltanschauung dalam arti harus
ada tempat bagi sekian nilai falsafi, nilai ideologis, serta nilai praktis yang dikandungnya, dan batasan
bagi masing-masing-masing nilai tersebut harus kita letakkan secara arif. Dalam penjabaran praktis yang
bertujuan memberikan pengertian yang relatif riil, jelas, dan benar untuk setiap sebutan bagi atau yang
berhubungan dengan Pancasila; maka kalau kita berbicara tentang Pancasila sebagai ideologi maka yang
dimaksud adalah tiap sila didalamnya belum sanggup berkembang dari dimensi ideologisnya semula,
yang dapat kita masukkan kedalamnya adalah sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila Kerakyatan
Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan terutama sila

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dan kalau kita berbicara tentang Pancasila sebagai
falsafah yang dimaksudkan adalah tiap sila didalamnya yang (oleh karena perkembangan sejarah) selain
masih tetap berfungsi sebagai landasan ideologis, iapun telah memperoleh nilai-nilai falsafi didalam
dirinya, yang dapat kita masukkan kedalamnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Persatuan
Indonesia. Dalam dataran apapun Pancasila sebagai ideologi tetap sama baiknya dengan Pancasila sebagai
falsafah, yang diperlukan hanyalah bersediakah kita memberikan ruang untuk menentukan apakah suatu
sila sudah termasuk dalam kategori falsafi ataukah masih murni ideologis. Kekacauan persepsi terhadap
realitas akan muncul jika kita mencampur-adukkan keduanya sehingga memperlakukan yang masih citacita sebagai kenyataan, atau yang telah menjadi kenyataan sebagai cita-cita. Bagaimana dengan Pancasila
sebagai alat? Seringkali disebut Pancasila sebagai alat pemersatu, tetapi mengapa? Untuk menghindari
kecenderungan eskapis menuju ke dunia irasionalitas, maka jawabannya sangat sederhana, yaitu: karena
sila Persatuan Indonesia memang tercantum sebagai salah satu sila dari Pancasila. Dengan jalan pikiran
ini, dan sebagai suatu kesatuan yang utuh, Pancasila bukan hanya alat pemersatu, ia juga merupakan alat
bagi perwujudan masyarakat Indonesia yang religius, alat bagi penciptaan kemanusian yang adil dan
beradab, alat bagi pembinaan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan alat bagi perjuangan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Atau dalam kalimat lain Pancasila merupakan alat bagi perwujudan kelima sila-silanya yang dibatasi oleh
kebersamaannya. Pada saat ia menjadi alat suatu sila sekaligus ia tak boleh bertentangan tetapi harus
mendukung segenap sila-sila lainnya. Sejauh Pancasila menjadi alat demi perwujudannya sendiri maka ia
tak akan pernah bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah maupun ideologi. Pada saat Pancasila
dijadikan sebagai alat untuk tujuan yang lain dari tujuan yang terkandung dalam sila-silanya maka akan
terjadi pertentangan. Pancasila hanya sah sebagai alat selama ia semata-mata menjadi alat bagi dirinya
sendiri, bukan bagi yang selainnya.
Secara keseluruhan, Pancasila tetap mengandung sila-sila yang masih sepenuhnya bersifat ideologis, dan
Pancasila mengandung sila-sila yang telah mengembangkan dimensinya dari sepenuhnya ideologis

menjadi juga bersifat falsafi. Dengan pandangan yang seperti inilah kita akan terhindar dari kesalahan
dalam memandangnya sebagai sepenuhnya falsafah atau sepenuhnya ideologi dan/atau sepenuhnya alat,
karena masing-masing sila mempunyai sifat-sifat uniknya sendiri, ada sila-sila yang lebih sulit dan ada
sila-sila yang lebih mudah untuk diwujudkan.
Jika ilustrasi tersebut diatas disepakati dan karena Pancasila telah kita pilih sebagai azas untuk
membangun Partai Pergerakan Kebangsaan, dari sinilah titik-tolak keberangkatan kita. Sebelum sila-sila
dalam Pancasila yang sulit untuk diwujudkan menemukan nilai-nilai falsafinya maka disitulah kancah
(titik berat) perjuangan Partai untuk mewujudkannya, Partai sekaligus akan melakukan kerja etika untuk
menciptakan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, kerja politik untuk pembinaan prinsip Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan kerja ekonomi
untuk memperjuangkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia; dan untuk sila-sila yang telah
menemukan nilai-nilai falsafinya Partai berkepentingan mempertahankan serta meningkatkan kualitas dan
kuantitasnya. Sebelum kelima sila dalam Pancasila menemukan nilai-nilai falsafinya dengan kualitas dan
kuantitas yang setara, maka Pancasila belum menjadi suatu kesatuan yang utuh, dan jangan pernah
bermimpi nasionalisme akan menemukan sebuah ideologi apalagi dapat melahirkan suatu teori tanpa
melakukan kerja-kerja terkait. Inilah sebuah konsekuensi dari pilihan kita!
MASIH RELEVANKAH PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
Catatan Peringatan Hari Lahir Pancasila
(Rudy Handoko)

Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat
negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya. Meskipun negara ini
masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara
faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan
atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi ditengah kegalauan dan kegagalan
negara-bangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila

sebagai satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi semangat perjuangan dan
pemikiran setiap warga negara Indonesia.

Namun, sayangnya, di zaman yang lalu, ideologi Pancasila dengan sengaja mengalami
disorientasi dan degradasi nilai, yang mana proses penanaman nilai-nilai murni dan luhurnya
hanya menjadi sebuah rekayasa politik untuk menciptakan sebuah kesadaran palsu yang berguna
untuk mengamankan kekuasaan. Kenaifan yang dilakukan ini, oleh David E. Apter karena
ideologi mencakup lebih dari sekadar doktrin. Ia mengaitkan tindakan-tindakan yang khas dan
praktek-praktek duniawi dengan sejumlah makna yang lebih luas, yang memberi penampakkan
tingkah laku sosial lebih dihormati dan dihargai. Tentu saja, ini merupakan pandangan umum.
Dari sudut pandang lain, ideologi adalah selubung bagi keinginan dan penampakan yang
sesungguhnya busuk.Sedangkan Gramsci menjelaskan, bahwa ideologi tidak bisa dinilai dari
kebenaran atau kesalahannya, tetapi harus dinilai dari berhasil atau tidaknya dia menjadi suatu
kontrak sosial yang mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu entitas
dalam hal ini bernama negara dan bangsa. Untuk kasus Pancasila, peranannya sebagai elemen
fundamental dalam proses integrasi sosial yang tidak artifisial masih punya potensi yang kuat.
Artinya, dalam keadaan negara kita terancam disintegrasi, kita masih bisa berharap ideologi
Pancasila akan efektif untuk menjadi perekat persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia.
Paling tidak, kita berharap masih bisa berusaha menjadikannya sebagai modal sosial yang masih di-amini
oleh sebagian besar rakyat untuk mengatasi berbagai konflik atau kemacetan bangsa, melalui apa yang
disebut ideologi sebagai solusi yang disepakati bersama.

Ideologi Pancasila dan Tantangan Dunia


Tantangan bagi suatu ideologi apalagi seperti Pancasila yang indigenous milik Indonesia, adalah
apakah Pancasila masih relevan menghadapi gelombang globalisasi dan demokratisasi yang nyaris
melintasi segala tapal batas geografis dan demografis suatu komunitas sosial? Pertanyaan tentang
relevansi ideologi dalam dunia yang berubah dinamis, muncul dengan mulai mempertanyakan relevansi
ideologi baik dalam konteks negara-bangsa berupa kerangka nasionalisme tertentu dari masing-masing
negara-bangsa, maupun dalam tataran ideologi-ideologi besar dunia yang pernah muncul dan berjaya.
Duskita menyaksikan, gelombang demokrasi yang berlangsung telah mengakibatkan runtuhnya rezim
sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, membuat ideologi itu seolah-olah tidak relevan.
Sehingga Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai the end of history, dan
menetapkan satu-satunya ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat. Ternyata ideologi liberalismekapitalisme Barat yang muncul sebagai pemenang sampai saat ini tampil dominan dan mempengaruhi
banyak komunitas sosial dan bahkan muncul sebagai kekuatan penindas baru yang
hegemonik.Gelombang demokratisasi yang digaungkannya diselipi dengan pemaksaan globalisasi yang
nyaris memangkas habis ideologi lainnya dan seakan-akan membuat ideologi lain makin tidak relevan
dalam dunia. Globalisasi yang mengandung cacat bawaan dengan berbagai absurditas dan kontradiksi,
memang berhasil menyingkirkan banyak ideologi-baik universal maupun lokal. Akan tetapi globalisasi
mendorong pula bangkitnya nasionalisme lokal yang sempat terkubur, bahkan dalam bentuknya yang
sarkastik, yakni semacam ethno-nationalism dan bahkan tribalism. Nah, hal inilah pula yang juga
melanda Indonesia ketika diterpa krisis moneter, ekonomi, dan politik sampai runtuhnya orde baru yang
memunculkan euphoria masyarakat karena memang selama ini selalu diam dan tertindas. Juga membuat
Pancasila sebagai basis ideologis dan common platform bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolaholah semakin kehilangan relevansinya.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan dan dipaksakan oleh rezim yang memerintah negeri ini di masa lalu
dalam memperlakukan Pancasila ternyata memang memberikan kontribusi terhadap resisten-nya
Pancasila pasca reformasi. Pancasila dicemari karena kebijakan rezim yang hanya menjadikan Pancasila
sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Dominasi dan hegemonisasi

interpretasi dan pemahaman Pancasila yang dilakukan meninggalkan benih resistensi itu. Apalagi ketika
Pancasila dipaksakan sebagai asas tunggal bukan dimaknai sebagai atau coba dihayati dengan arif sebagai
asas bersama. Model-model seragamisasi itu amat menyakitkan, sehingga ketika terjadi keterbukaan
sosial-politik yang selama ini dikekang, membuat euphoria itu muncul tak terkontrol dan menafikan
Pancasila, karena selama ini Pancasila tidak ditanamkan melalui proses pencerahan fajar budi dan
pembelajaran-penyadaran tapi lewat uniformitas dan represifitas itu tadi. Euphoria ini, memberikan
peluang bagi penerimaan atas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama dan sektarianisme
lainnya. Pancasila jadinya cenderung tidak laku menjadi common platform dalam kehidupan politik. Hal
ini kemudian diperparah dengan arus sektarianisme dan primordialisme yang meningkat menuju localnationalism yang bisa menggiring kearah ethno-nationalism, seiring desentralisasi.
Secara an sich tidak ada yang salah dengan Pancasila. Pemaknaan yang keliru selama ini adalah buah
kebijakan dan bukan sesuatu yang melekat, karena nilai-nilai Pancasila sendiri adalah sesuatu yang
universal, yang pada dasarnya merupakan penjelmaan dari suara nurani tentang kewajiban ber-Tuhan
sebagai sesuatu hak yang paling asasi, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, indahnya
kebersamaan dengan persatuan, menghargai dan mendahulukan atau pro-kerakyatan dan hikmah serta
mendeklarasikan pula penghargaan, penghormatan dan perjuangan untuk keadilan yang egalitarian. Nilainilai seperti ini sangat berharga untuk membangun suatu komunitas sosial bersama.
Pancasila dalam Sistem Ekonomi ditengah terjangan dan jeratan sistem liberalis-kapitalistik saat ini,
ketika kita kembali terjajah secara ekonomi, nilai-nilai suatu sistem seperti apa sih yang mampu
menjatidirikan negara-bangsa ini. Sejatinya, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang
mestinya berbasis kerakyatan, bukan sistem yang cenderung melegalisasi liberalisme dan kapitalisme
global. Meskipun pasca reformasi terkadang kita enggan untuk mengenali kembali atau memaknai
kembali sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis Pancasila sebagai idea moral. Namun jika diletakkan
Pancasila sebagai spirit dasar ekonomi kerakyatan, toh tak ada yang salah. Seperti yang dijelaskan oleh
Sri Edi Swasono, bahwasistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem ekonomi yang harus memuat dan berlandaskan pada berlakunya etik
dan moral agama, bukan materialisme. Kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya sistem ekonomi yang
tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi. Persatuan Indonesia, berarti sistem ekonomi ini
mengedepankan kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam
ekonomi. Kerakyatan, yang tentulah maksudnya untuk mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan
hajat hidup orang banyak. Serta Keadilan Sosial, sebuah sistem ekonomi yang mesti menjamin adanya
persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang.
Pancasila dalam Konteks Sosial Politik
Akhir-akhir ini diskusi tentang kebhinekaan pun menjadi semakin asyik, karena sedang terjadi
ketegangan sosial dan perdebatan tentang berbagai masalah terutama tentang pluralisme dan kebijakan
yang berkenaan atau menyentil rasa kebhinekaan. Polemik berkenaan tentang RUU APP misalnya, dan
konsistensi menjadikan Pancasila sebagai falsafah/ideologi Negara, telah mengemuka di ruang publik.
Pro dan kontra di ikuti dengan ketegangan-ketegangan malah show of force semakin sering terjadi. Ada
yang merasa benar, ada yang merasa unggul, ada yang merasa terdiskriminasikan dan adapula yang
merasa terancam.
Seperti yang di paparkan oleh Imdadun Rahmat, bahwasalah satu hal yang menjadi kontroversi dari
RUU APP adalah penyeragaman nilai dan standar etika. Ukuran susila dan asusila milik satu golongan
dipaksakan untuk menjadi ukuran kesopanan bagi semua golongan bangsa ini. Pengertian porno dan tidak
porno dibangun dari keyakinan, paradigma dan perspektif tunggal. Bagi bangsa yang plural baik dari sisi
budaya, adat maupun agama ini uniformisasi nilai dan etika tidak saja akan menimbulkan masalah, tetapi
juga memantik rasa ketidakadilan. Endingnya bisa muncul problem sektarianisme dan primordialisme
sempit.
Dalam masalah ini, Pancasila menemukan momentumnya. Pancasila kembali harus dimunculkan sebagai
suatu nilai yang sedapat mungkin masih diterima bersama selama Indonesia masih ada. Sesungguhnya
Pancasila masih bisa diupayakan menjadi acuan nation state kita yang meletakkan seluruh kepentingan
pada posisi yang sama yakni kesetaraan sebagai hal yang utama bagi eksistensi Indonesia. Di tengah

situasi politik dan ekonomi yang teramat rentan, nilai-nilai multikulturalisme yang ada pada Pancasila
menjadi faktor penyelamat negara-bangsa. SekarangPancasila seharusnya kembali menjadi suatu milik
bersama mulai dari pengkajian sebagai wacana bersama, pengembangan kembali Pancasila sebagai
ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sampai merumuskan paradigma baru
pemikiran dan pemaknaan Pancasila sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara
Indonesia. Pancasila menjadi penting bagi bagi pluralisme Indonesia.*
Pancasila Ideologi yang Teruji Kesaktiannya.
(dr Soewarno)
Sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, nilai-nilai luhur nenek moyang kita (baca
bangsa Indonesia) telah terbukti mampu mendorong dan memotivasi mewujudkan tekad dan semangat
melawan penjajah, untuk mendirikan negara kesatuan yang merdeka. Dengan tekad dan semangat
tersebut, para perintis kemerdekaan yang didukung penuh bangsa Indonesia telah berjuang sekuat tenaga,
tanpa mengenal putus asa untuk merdeka mewujudkan negara kesatuan.

Perjuangan tersebut berhasil dengan diproklamirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh
Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila merupakan nilai-nilai luhur nenek moyang, seperti
yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selama lebih dari 58 tahun Indonesia
merdeka, ternyata Pancasila sebagai ideologi negara tidak terlalu mulus pelaksanaannya. Ada kelompokkelompok yang tidak setuju dengan Pancasila sebagai ideologi negara, ada yang ingin mengadakan
perubahan atau revisi, bahkan ada yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi yang lain.
Usaha-usaha untuk merubah dan menolak Pancasila ini dapat dicermati dan diamati dengan timbulnya
gejolak dari sebagian masyarakat yang mengadakan pemberontakan di beberapa daerah, gagalnya
konstituante dalam melaksanakan tugasnya, pemberontakan G30S/PKI, bahkan pada awal era reformasi
pun sempat timbul perbedaan pendapat serta keinginan mengubah atau merevisi sila dalam Pancasila
tersebut.
Salah satu ideologi yang dipaksakan untuk menggantikan Pancasila adalah ideologi komunis, dengan
melakukan pemberontakan yang dikenal dengan G30S. Gerakan atau pemberontakan itu dapat segera
diatasi dan ditumpas dengan kembali kepada ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara
murni dan konsekwen, dan tanggal 1 Oktober kemudian kita nyatakan sebagai hari Kesaktian Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi terbuka mempunyai tiga tatanan nilai yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan
nilai praksis. Nilai dasar bersifat tetap sepanjang masa, abstrak, universal, ideal, dan mencakup cita-cita
dan tujuan serta tatanan dasar.

Nilai instrumental dan nilai praktis tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar. Pengembangan
pemikiran dan tindakan dimungkinkan selama tidak bertentangan dengan nilai dasar. Para
perumus Pancasila dapat sepakat dan merumuskan lima nilai dasar yang terkandung dalam masyarakat

menjadi Pancasila. Kelima nilai dasar tersebut digali dari suasana atau pengalaman kehidupan masyarakat
desa, yang bersifat kekeluargaan, kegotong-royongan atau kebersamaan. Sifat kegotong-royongan atau
kebersamaan tersebut direkat atau dijalin dengan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rasa
perikemanusiaan, semangat persatuan, musyawarah-mufakat, dan rasa keadilan sosial. Kelima nilai dasar
itu harus dipahami dan dihayati sebagai nilai-nilai dasar yang saling berkaitan, saling mengisi, dan saling
memperkuat dalam satu rangkaian yang utuh, inilah yang merupakan kekhasan, serta keorisinilan
Pancasila. Hal ini pulalah yang memberi keyakinan kepada bangsa Indonesia bahwa Pancasila adalah
ideologi terbaik yang diciptakan bangsa Indonesia, yang mempunyai keunggulan terhadap ideologiideologi lain.
Dengan demikian nilai praktis, sebagai kenyataan di lapangan tidak terlalu jauh atau bertentangan dengan
nilai dasarnya. Pancasila akan selalu berinteraksi dengan perkembangan zaman dan realita kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi berikutnya.

Itulah sebabnya Pancasila merupakan ideologi terbuka, yang mengandung nilai dasar yang
universal dan abadi, yang dapat merangsang pengembangan pemikiran kreatif serta inovatif
melalui nilai instrumentalnya, sehingga segala segi kehidupan bangsa dapat diwujudkan secara
nyata yang tetap berlandaskan nilai dasar Pancasila. Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu dan
bahkan wajib dikembangkan melalui pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, dan inovatif agar
Pancasila menjadi dinamis dan operasional. Pancasila sebagai ideologi terbuka telah nyata
berhasil dengan baik, yaitu dengan kualitas nilai dasarnya yang prima, telah terbukti mampu
mempersatukan bangsa Indonesia dalam suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.

Sedangkan menyangkut pengembangan pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, dan inovatif


nampaknya masih sangat lamban, belum atau tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Kebanyakan
pengembangan pemikiran masih sebatas pada pemikiran-pemikiran atau konsep yang membahas
tentang nilai instrumentalnya saja, itupun baru dalam bentuk adu pemikiran atau adu konsep
yang tidak jarang justru menjadi konflik atau yang polemik berkepanjangan.
Akibatnya nilai praktisnya masih jauh dari nilai idealnya, sebagai contoh kebutuhan masyarakat
yang mendasar (baca lapangan kerja, keamanan, pangan, pendidikan, kesehatan, sandang, dan
tempat tinggal) masih belum dapat dinikmati oleh sebagian besar warga bangsa secara layak dan
merata. Dalam era reformasi yang berjalan empat tahun ini, nampaknya reformasi baru memberi
kesempatan dan kenikmatan bagi sebagian kecil warga bangsa, terutama yang duduk dijabatan
aksekutif dan dewan perwakilan serta sebagian pemuka masyarakat tertentu saja.

KESIMPULAN
Pancasila telah diterima secara luas sebagai lima aksioma politik yang disarikan dari
kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan mempunyai sejarah yang sudah tua. Namun
ada masalah dalam penuangannya ke dalam sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan, yang

ditata menurut model sentralistik yang hanya dikenal dalam budaya politik Jawa. Doktrin
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional masih mengandung nuansa yang amat sentralistik,
dan perlu disempurnakan dengan melengkapinya dengan Doktrin Bhinneka Tunggal Ika.
Sebelum ini ada diskrepansi antara nilai yang dikandung Pancasila dengan format
kenegaraan dan pemerintahan yang mewadahinya. Penyelesaiannya terasa seakan-akan
merupakan kebijakan ad hoc yang berkepanjangan. Di masa depan, kehidupan politik berdasar
aksioma Pancasila harus terkait langsung dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika, dimana setiap
daerah, setiap golongan, setiap ras, setiap umat beragama, setiap etnik berhak mengatur dan
mengurus dirinya sendiri (souverein in eigen kring). Negara dan Pemerintah dapat memusatkan
diri pada masalah-masalah yang benar-benar merupakan kepentingan seluruh masyarakat, atau
seluruh bangsa, seperti masalah fiskal dan moneter, keamanan, hubungan luar negeri, atau
hubungan antar umat beragama. Pemerintah nasional yang efektif dalam menunaikan dua tugas
pokok negara, beriringan dengan pemerintah daerah yang selain efektif dalam melaksanakan dua
tugas dasar pemerintah daerah, juga melayani aspirasi dan kepentingan khas dari masyarakat
daerah yang bersangkutan.
Agar Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu dapat
berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format hukum, yang selalu
harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat. Kita patut bersyukur,
bahwa empat kali amandemen UUD 1945 dalam era reformasi nasional telah mampu
menampung dinamika bangsa ini, khususnya dengan mengakui kesetaraan antara berbagai unsur
dalam batang tubuh bangsa Indonesia serta mewadahinya dalam sistem dan struktur
pemerintahan yang baru.

Anda mungkin juga menyukai