PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman makhluk hidup sehari-hari dan hampir
selalu merupakan manifestasi dari suatu proses patologis. Nyeri mempunyai sifat
yang sangat unik karena di satu sisi nyeri akan menimbulkan penderitaan bagi
yang merasakan, tetapi disisi lain nyeri juga dapat menunjukkan manfaatnya.1,2
Nyeri adalah hasil proses interaksi yang kompleks dari komponen obyektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan pengalaman komponen subyektif (aspek emosional
dan psikologis) yang bisa bersifat akut atau kronis.3 Nyeri sering dilukiskan
sebagai suatu yang berbahaya (noksius atau protofatik) ataupun tidak berbahaya
(non-noksius atau epikritik), misalnya sentuhan ringan, kehangatan dan tekanan
ringan.3
Nyeri akut merupakan sensibilitas yang mempunyai manfaat, antara lain berperan
sebagai mekanisme proteksi, mekanisme defensif dan membantu menegakkan
diagnosis suatu penyakit.1 Akan tetapi, nyeri tetaplah merupakan penderitaan bagi
siapapun dan sudah semestinya segera ditanggulangi karena menimbulkan
perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ. Bila tidak teratasi
dengan baik, maka nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik
dari penderita. Aspek psikologis sendiri meliputi timbulnya kecemasan, ketakutan,
perubahan kepribadian dan perilaku, gangguan tidur dan gangguan sosial.
Sedangkan aspek fisik dimana nyeri sangat mempengaruhi peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas.3
Penting bagi praktisi kedokteran untuk memahami penatalaksanaan nyeri akut.
Pemahaman tentang patofisiologi nyeri sangatlah penting sebagai landasan
menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri akut
tidak dilaksanakan dengan baik, lambat laun nyeri itu dapat berkembang menjadi
nyeri kronik. Pengobatan yang direncanakan untuk menanggulangi nyeri haruslah
diarahkan pada proses penyakit yang mendasari guna pengendalian respon nyeri
tersebut.3,4
Nyeri sampai saat ini merupakan salah satu permasalahan utama dalam dunia
kedokteran. Bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf
dan jaringan organ vital saja, tetapi juga berhubungan erat dengan kelainan
neurotransmiter dalam proses penghantaran impuls saraf. Setiap pasien yang
mengalami trauma berat (e.g., tekanan, suhu, kimia) atau pasca pembedahan harus
dilakukan penanganan nyeri yang sempurna mengingat dampak dari nyeri itu
sendiri yang akan menimbulkan respons stress metabolik (MSR) yang akan
mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri
alih parietal.1 Nyeri visceral yang nyata (true visceral pain) bersifat tumpul (dull),
difus, dan biasanya berlokasi di garis pertengahan media tubuh (midline). Nyeri
visceral sering berhubungan dengan abnormalitas aktivitas saraf simpatis dan
parasimpatis yang ditandai dengan mual, muntah, berkeringat, dan perubahan
pada tekanan darah dan denyut jantung. Nyeri parietal secara tipikal bersifat tajam
dan sering dideskripsikan sebagai nyeri dengan sensasi menusuk yang
terlokalisasi pada area di sekitar organ yang sakit atau dirasakan di tempat yang
jauh dari lokasi organ yang sakit (referred pain).1
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh
dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.
Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral
seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,
obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otototot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi
terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak
dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika
organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena. Penyebab nyeri
viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi
struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Pada distensi
pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia
karena kompresi pembuluh darah akibat distensi berlebih dari jaringan.1
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar
melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis,
dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan
glossopharyngeal. Impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantarkan
melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari
sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia servikal, ganglion stellate, dan
bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls
ini masuk ke medula spinalis melalui nervus toraks ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab
impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia
miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Bronkus dan
pleura parietal sangat sensitif terhadap nyeri.2
2.2.2 Jenis Nyeri
Berdasarkan jenisnya, nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri akut adalah nyeri yang muncul akibat jejas, trauma, spasmus, atau penyakit
pada kulit, otot, struktur somatik, atau organ dalam/viscera tubuh. Intensitas nyeri
sebanding dengan derajat jejas, dan akan berkurang sejalan dengan penyembuhan
kerusakan jaringan.1 Tanda-tanda peningkatan aktivitas sistem saraf otonom (e.g.,
takikardia, hipertensi, berkeringat, dilatasi pupil yang berkepanjangan, demam)
sering menyertai sensasi nyeri akut. Nyeri akut berkaitan dengan suatu kejadian
kerusakan jaringan (stimulus noksius), dan secara alami bersifat linier (i.e, ada
permulaan dan akhirnya), memiliki arti dan tujuan positif, dan sering berkaitan
dengan tanda-tanda fisik. Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap
analgesik opioid atau non opioid.1
b.
Nyeri Neurogenik/Neuropatik
Nyeri yang disebabkan oleh cedera atau lesi primer pada jalur serat saraf perifer,
infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi
yang dirasakan berupa rasa panas dan ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya
rasa atau adanya rasa tidak mengenakan saat perabaan.5 Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan
sympathetically maintained pain (SMP) yang merupakan komponen nyeri kronik.
Nyeri neuropati dapat bersifat kliopatik atau dapat juga muncul dari lokasi yang
tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas
atau setelah beberapa waktu tertentu. Nyeri neuropati dapat menghasilkan
disestesia (ketidaknyamanan dan sensasi yang berbeda dari sensasi nyeri biasa).
Jenis nyeri distestesia ini kadang dideskripsikan sebagai sensasi terbakar,
kesemutan, rasa kebas, sensasi seperti ditekan, diperas dan gatal gatal dan sering
dinyatakan sebagai sensasi yang sangat tidak enak atau bahkan tidak tertahankan.
Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri yang terus
menerus, juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang muncul, nyeri
seperti syok yang seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam seperti
tersengat listrik mengejutkan seperti disobek atau kejang.5
Contoh sindrom nyeri neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropatik
diabetis, neuralgia trigeminal, nyeri pasca stroke dan nyeri phantom. Nyeri tipe ini
sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri yang berhubungan dengan adanya gangguan jiwa, misalnya cemas, stres
dan depresi dan berangsur-angsur akan menghilang apabila keadaan kejiwaan
pasien kembali tenang.1
2.2.3 Onset Nyeri
Berdasarkan onset timbulnya, nyeri dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Nyeri Akut
Nyeri yang timbul mendadak segera setelah trauma sampai dengan tujuh hari,
berlangsung sementara dan ditandai dengan adanya peningkatan aktivitas saraf
otonom seperti: takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat, midriasis dan
perubahan wajah (menyeringai atau menangis).1 Nyeri akut dihubungkan dengan
kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang
batas resting stimulus istirahat. Bentuk nyeri akut dapat berupa:
1. Nyeri somatik luar: nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa.
2. Nyeri somatik dalam: nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan
ikat.
3. Nyeri viseral: nyeri akibat disfungsi organ viseral atau selaput yang
menutupinya.
b. Nyeri Kronik
Nyeri berkepanjangan hingga berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom,
kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan
sesudah penyembuhan luka penyakit atau operasi, dan atau awalnya berupa nyeri
akut lalu menetap sampai lebih dari tiga bulan. Nyeri kronik dapat dikategorikan
sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1-6 bulan. 1
Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai
penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction,
atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif
dan neuropatik. Nyeri kronik non-malignan (nyeri punggung, migrain, artritis,
diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi dan
perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal
cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem
saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat)
pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang
menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan
gejala otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri.
2.2.4 Penyebab Nyeri
Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:1
a. Nyeri onkologik (nyeri kanker).
b. Nyeri non onkologik (nyeri non-kanker).
2.2.5 Derajat Nyeri
Berdasakan derajatnya, maka nyeri dikelompokan menjadi:6
a. Nyeri ringan
Nyeri yang hilang-timbul, muncul terutama saat beraktifitas sehari-hari dan
menghilang menjelang tidur.
b. Nyeri sedang
Nyeri yang terus-menerus hingga aktifitas terganggu dan hanya hilang bila
penderita tidur.
c. Nyeri berat
Nyeri terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan sering
terjaga akibat nyeri.
10
Tabel 1. Jenis-jenis nosiseptor dan ligan nosiseptor pada serabut aferen primer
dan kornu dorsalis medula spinalis.10
2.3.2
Serabut saraf aferen primer (neuron orde pertama) yakni serabut A- (mediumdiameter lightly myelinated A-delta fibers) dan serabut C (slow-conducting
unmyelinated C-fibers) merupakan serabut yang mentransmisikan stimulus
noxious ke sistem saraf pusat (medulla spinalis dan otak) (Gambar 2).7 Badan sel
yang menginverasi trunkus, ekstremitas dan visera terdapat pada dorsal root
11
ganglia (DRG), sedangkan badan sel yang menginervasi kepala, kavum oral, dan
leher terdapat pada ganglia trigeminalis yang menyampaikan impulsnya ke
nucleus trigeminal di dalam batang otak. Serabut C dan A- menyampaikan
impuls ke neuron orde kedua yang berlokasi di dalam lamina I dan II kornu
dorsalis superficial dan juga neuron di dalam lamina V.
polymodal nociceptors.
Neurotransmiter
yang
dilepaskan serabut A- di celah sinaps pada kornu dorsalis hanya asam glutamat,
sedangkan serabut C melepaskan asam glutamat dan substansi P (neurokinin).
12
2.3.3
Kornu dorsalis (dorsal horn) adalah tempat terjadinya hubungan antara ujung
terminal serabut aferen primer dengan neuron orde kedua dan tempat kompleks
hubungan antara eksitasi dan inhibitor interneuron lokal dan traktus desenden
inhibitor dari otak. Ujung terminal serabut aferen primer akan melepaskan asam
amino eksitatorik (glutamat dan aspartat), peptida (substansi-P, CGRP), dan faktor
neurotropik (brain-derived neurotrophic factors [BDNF]), yang bekerja sebagai
neurotransmitter.12 Depolarisasi serabut aferen primer akan menyebabkan
pelepasan glutamat. Glutamat selanjutnya mengaktivasi reseptor alpha-amino-3hydroxyl-5-methyl-4-isoxazole-propionate (AMPA) post-sinaps yang terdapat
pada neuron orde kedua dan menyalurkan informasi berkaitan dengan lokasi dan
intensitas stimulus noksius.10
2.3.4
(spinoparabrakial)
dan
spino-mesenfalik
memproyeksikan
13
dalam formasi retikularis yang berperan penting dalam regulasi jalur descendens
menuju medulla spinalis.13,14,15
2.3.5
14
Sumber
Kalium
Serotonin
Bradikinin
Histramin
Prostaglandin
Lekotrien
Substansi P
Sel-sel rusak
Trombosis
Kininogen plasma
Sel-sel mast
Asam arakidonat & sel rusak
Asam arakidonat & sel rusak
Aferen primer
Menimbulkan
Nyeri
++
++
+++
+
Efek Pada
Aferen Primer
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Sensitisasi
Sensitisasi
Sensitisasi
Tranduksi
15
Transmisi
Modulasi
16
yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan nyeri. Sedangkan
apabila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan
sensibilitas nyeri.
2.4.4
Persepsi
Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang sangat
kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan
sensibilitas nyeri.7
2.5. Hipersensitisasi dan Plastisitas Sistem Saraf
Sel-sel neuron kornu dorsalis medula spinalis dikelompokkan tiga golongan atas
dasar kepekaannya terhadap intensitas rangsang suatu stimulus, yaitu:21
1. Sel-sel neuron dengan ambang rangsang tinggi.
Stimulus nyeri adalah stimulus dengan intensitas rangsang yang tinggi.
2. Sel-sel neuron dengan ambang rangsang rendah.
Rasa raba dan tekan termasuk stimulus berintensitas rangsang rendah.
3. Sel-sel neuron dengan ambang rangsang yang dapat berubah (bervariasi).
Pada keadaan tertentu sel-sel neuron dapat dirangsang oleh stimulus
dengan intensitas rangsang yang berbeda.
Sel-sel neuron nosisepsi hanya dapat dirangsang stimulus berintensitas rangsang
tinggi, karena nyeri adalah stimulus berintensitas rangsang tinggi.21 Stimulus
dengan intensitas tinggi akan menimbulkan nyeri terlokalisir yang singkat. Jika
nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan tidak segera diatasi dan
stimulus dibiarkan terus menerus merusak sel-sel neuron nosisepsi, maka dapat
terjadi perubahan kepekaan terhadap intensitas rangsang yang disebut plastisitas
sistem saraf.21 Adapun perubahan kepekaan yang terjadi adalah sebagai berikut:
a. Penderita akan merasakan sensibilitas nyeri akibat suatu stimulus yang
sebenarnya dalam keadaan normal tidak akan menimbulkan rasa nyeri
dimana keadaan ini disebut Allodynia (Gambar 4).
b. Terjadi perubahan dimana stimulus yang dalam keadaan normal memang
menimbulkan nyeri, tetapi kenyataannya akan menimbulkan sensibilitas
17
nyeri yang dirasakan lebih berat dimana keadaan ini disebut Hiperalgesia
(Gambar 4).
Gambar 4. Plastisitas Sistem Saraf.12 Ts: ambang rangsang serabut aferen primer
setelah terjadinya sensitisasi; T0: ambang rangsang pada keadaan normal.
2.5.1 Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain menyebabkan terlepasnya zat-zat
dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi sel mast,
makrofag dan limfosit (Tabel 3). Pada kerusakan jaringan, juga terjadi impuls
balik saraf aferen yang melepaskan mediator kimia (e.g., substansi P dan CGRP)
yang berakibat terjadinya vasodilatasi, serta peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma (edema neurogenik).1 Interaksi ini
akan menyebabkan terjadinya sensitisasi nosiseptor.
Sensitisasi nosiseptor disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan
meningkatnya respon terhadap stimulasi termal atau suhu pada daerah jaringan
yang rusak (Gambar 5). Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh
adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun
sekitarnya. Dalam upaya menekan fenomena sensitisasi perifer dibutuhkan upaya
untuk menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya ini merupakan dasar rasional
18
19
sentral,
reseptor
NMDA
akan
mengalami
fosforilasi
yang
meningkatkan influks Ca2+ ke intrasel dan hilangnya blokade ion Mg 2+ dan terjadi
20
pembukaan saluran ion yang lebih lama. Proses ini dimediasi oleh kerja glutamate
pada reseptor NMDA. Proses sensitisasi sentral juga dimediasi oleh ikatan antara
glutamat dan reseptor metabotropic glutamate receptors (mGluR), dan juga oleh
substansi P pada reseptor neurokinin-1 (NK1). 10
Dengan demikian, peningkatan progresif output potensial aksi dari neuron kornu
dorsalis dijumpai pada rangsangan stimulus yang berulang-ulang. Proses
peningkatan responsivitas neuron kornu dorsalis akibat rangsangan yang
berulang-ulang ini disebut sebagai fenomena wind-up (Gambar 6). Wind up
menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain
dan menjadi bagian sensitisasi sentral.
21
22
sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika
diberikan secara sentral.
2.6. Sistem Inhibisi Descendens
Tidak semua stimulus noksius akan menghasilkan nyeri. Hal ini dikarenakan
adanya proses modulasi pada neuron-neuron kornu dorsalis medula spinalis.10 Ini
dimungkinkan karena sistem inhibisi yang terjadi melalui beberapa mekanisme,
seperti:
2.6.1
2). Lintasan II
Beta Endorphin.
23
2.6.4
Opioid
PAG kaya dengan reseptor opioid. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medula
sinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan
sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di substansia
gelatinosa.10
2.7 Respon Tubuh Terhadap Nyeri
Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri
oleh serat aferen selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis
medula spinalis, maka juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu
anterolateral dan kornu anterior medula spinalis.1
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin
yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya
nyeri melalui serat saraf aferen diteruskan lewat sel-sel neuron nosisepsi di kornu
dorsalis medula spinalis dan juga melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu
anterior medula spinalis memberikan respon segmental, seperti peningkatan
muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan aktifitas), vasospasm (hipertensi), dan
menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan
atau hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon suprasegmental yang
meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang menimbulkan
stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terhadap psikologis pasien, seperti
interpretasi nyeri, marah dan takut.
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron kornu anterolateral mengaktifkan sistem
simpatis akibatnya organ-organ yang diinervasi teraktifkan. Nyeri akut baik yang
ringan sampai berat akan memberikan efek pada tubuh, seperti berikut :
2.7.1
Sistem Respirasi
thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini
mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia dan
terkadang dapat terjadi hipoventilasi.1
2.7.2
Sistem Kardiovaskuler
Sistem Gastrointestinal
Sistem Urogenital
25
Sistem Hematologi
Sistem Imunitas
Efek Psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
ketakutan, agitasi dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.1
2.7.9
Efek yang timbul akibat peningkatan pelepasan hormon aldosteron berupa retensi
natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan
penurunan produksi urin. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan
berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.1
2.8. Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan hal
26
yang relatif sulit.3 Terdapat beberapa metoda yang umum digunakan untuk
menilai intensitas nyeri, antara lain:
2.8.1
Menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien
disuruh memilih kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang
dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui
intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan.
Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri, yaitu :
1. Tidak nyeri (none)
2. Nyeri ringan (mild)
3. Nyeri sedang (moderate)
4. Nyeri berat (severe)
5. Nyeri sangat berat (very severe)
2.8.2
VAS pertama kali dikemukakan pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan
garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis
(10) menandakan nyeri hebat.25 Pasien diminta untuk membuat tanda di garis
tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS
27
lebih efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala
lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan karena selain telah digunakan
secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, di mana juga
penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata
sehingga kosakata tidak menjadi permasalahan. Nilai VAS antara 0-4 cm dianggap
sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana
analgesia. Nilai VAS >4 cm dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien
merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik penyelamat (rescue
analgetic).25
Keuntungannya adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri,
mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi
klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8
tahun dan sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.
No Pain
2.8.4
28
mendeskripsikan pengalaman nyeri yang dirasakan. Kata-kata pada masingmasing kelas mendapat ranking sesuai dengan derajat keparahan nyeri. Indeks
rating nyeri didapatkan berdasarkan kata-kata yang dipilih pasien dan skor juga
dapat dianalisis untuk masing-masing dimensi (sensoris, afektif, evaluative, dan
lain-lain atau miscellaneous).1,26
29
2.8.7
Skala FLACC merupakan skala perilaku untuk scoring nyeri pada anak-anak
berusia antara 2 bulan dan 7 tahun atau untuk pasien yang tidak mampu
berkomunikasi secara verbal.25 Masing-masing kategori (faces, legs, activity, cry,
consolability) mendapat skor dari 0 sampai 2 dan masing-masing skor
dijumlahkan untuk mendapatkan skor total yang terentang antara 0 sampai 10
(Tabel 4).
2.9. Diagnosis Nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik
nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini
30
Kondisi keluarga
Riwayat pendidikan dan pekerjaan
Riwayat merokok, penggunaan alkohol,dan obat-obatan terlarang
Adanya perasaan kehilangan (misalnya kematian).
31
Saraf kranialis
Motorik: kekuatan, postur, cara berjalan (gait), range of motion
(ROM), simetri, trofik.
Sensorik: defisit sensori selain nyeri, suhu, getar, posisi, raba.
Otonom: keringat, vasomotor.
c. Status lokalis
Luka, massa, nyeri tekan, nyeri gerak.
d. Pemeriksaan nyeri khusus pada alodinia
Tabel 5. Pemeriksaan Nyeri Khusus pada Alodinia.25
Jenis alodinia
Mekanis statis
(serabut C)
Mekanis pungtat
Mekanis dinamis
Mekanis somatic
Termal panas
Termal dingin
Cara periksa
Tekanan ringan dengan benda
tumpul
Beberapa tusukan ringan
dengan jarum
Usapan ringan dengan kapas,
kasa, atau jari tangan
Tekanan ringan pada sendi
Tabung air hangat (400C)
Tabung air dingin (200C),
batang reflex hammer
Respon
Rasa nyeri tumpul (dull
pain)
Rasa nyeri tajam
superficial
Rasa nyeri tajam,
terbakar, superficial
Rasa nyeri dalam
Rasa nyeri terbakar
Rasa nyeri terbakar
Cara periksa
Tusukan dengan jarum
Kontak dengan pendingin
Respon
Rasa nyeri tajam superficial
Rasa nyeri terbakar
Termal panas
(aseton, alkohol)
Kontak dengan tabung air
hangat
32
2. Neurofisiologi
EMG, EEG, Evoke potensial.
3. Laboratorium
Darah, petanda tumor.
2.10 Penatalaksanaan Nyeri Akut
Penanganan nyeri akut yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain
pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi
(multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan
yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).3
Penyebab nyeri akut biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga
penanggulangannya juga biasanya lebih mudah. Nyeri akut ini akan mereda dan
hilang seiring dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit. Semua obat
analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut. Diagnosa penyebab nyeri akut
harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab
nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi. Dengan demikian, diagnosa
penyebab ditegakkan dan usaha mengatasi nyeri sejalan dengan usaha mengatasi
penyebabnya.3,10 Berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Modalitas fisik
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum,
perbaikan posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.
2. Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasiern, dan pendekatan spiritual.
3. Modalitas Invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.
4. Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi mereka yang
mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri
5. Modalitas Farmakoterapi
2.10.1 Farmakologis
33
34
Analgesia Multimodal
Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal
tanpa dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan
dosis pada satu obat saja.3,10 Analgesia multimodal melakukan intervensi nyeri
secara berkelanjutan pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni:
1. Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan OAINS
2. Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)
3. Peningkatan proses modulasi dengan opioid
Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan dengan
penggunaan parasetamol dan OAINS sebagai kombinasi dengan opioid atau
anestesi lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang
mengalami nyeri akut ditingkat sedang sampai berat. Analgesia multimodal selain
harus diberikan secepatnya (early analgesia), juga harus disertai dengan inforced
mobilization (early ambulation) disertai dengan pemberian nutrisi nutrisi oral
secepatnya (early alimentation).
Analgesia Preemptif dan Preventif
Nyeri yang berat dan tidak ditanggulangi dengan baik dapat diikuti oleh
perubahan kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis
(kornua dorsalis) terhadap stimulus yang masuk. Ambang rangsang organ-organ
nosisepsi tersebut akan turun dan terjadi plastisitas sistem saraf. Tindakan untuk
mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat
35
36
terjadi kerusakan jaringan untuk mencegah sensitisasi sentral atau yang disebut
preventif analgesia. Prinsipnya yaitu mencegah sensitisasi sentral dengan
memblok sinyal nyeri dari luka operasi atau trauma jaringan. Hal ini termasuk
NSAIDs untuk mengurangi aktivasi atau sensitisasi perifer dari nosiseptor,
anastesi lokal untuk memblok impuls sensorik, dan obat yang bekerja di sentral
seperti opiat untuk mencegah sensitisasi sentral selama periode pascaoperasi.10
Berikut ini akan dibahas aspek farmakologis beberapa jenis analgesik yang umum
digunakan dalam penanganan nyeri akut.
1. NSAID/OAINS
Definisi
OAINS adalah anti-inflamasi yang bekerja dengan menghambat kerja enzim COX
di jaringan. OAINS sering digunakan sebagai obat bagi mengatasi nyeri yang
bersifat ringan sedang.
Farmakodinamik
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX
yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan
kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif
(ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan
37
OAINS adalah kelompok obat yang memiliki kelas kimia yang berbeda-beda.
Perbedaan kimiawi tersebut menimbulkan karakteristik farmakokinetik obat yang
berbeda pula. Sebagian besar obat diabsorbsi baik, dan tidak dipengaruhi oleh
makanan. Obat-obat OAINS diabsorbsi secara cepat jika diberikan per oral,
distribusi kejaringan sangat terbatas (karena berikatan kuat dengan protein).
Sebagian besar obat OAINS juga dimetabolisme cepat, beberapa melalui fase 1
diikuti fase 2 dan yang lainnya melalui glukoronidase (fase 2) saja. Proses
metabolism OAINS pada sebagian besar obat melalui jalur CYP3A atau CYP2C
dari enzim P450 dihati.28
Ekskresi melalui ginjal merupakan rute paling penting dalam eliminasi obat
(sirkulasi enterohepatik) dan memiliki kliren yang lambat. Tetapi, pada
kenyataannya, derajat iritasi traktus gastrointestinal berhubungan dengan kualitas
sirkulasi enterohepatik obat. Sebagian besar OAINS berikatan kuat dengan protein
( 98% ) khususnya albumin.
Tabel 8. Klasifikasi, Aspek Farmakologik, dan Efek Terapeutik OAINS.29
Klasifikasi
Salicylate
Aspirin
Choline salicylate
Diflunisal
Paraaminophenol
Acetaminophen
Indoleacetic acid
Indomethacin
Sulindac
Zomepirac
Etodolac
Pyrazole
Phenylbutazone
Oxyphenbutazone
Azapropazone
Fenamates
Mefenamic acid
Pyrroleacetic acid
Tolmetin
Ketorolac
Diclofenac
Bromfenac
Propionic Acid
Ibuprofen
T1/2
Analgesik
Terapeutik
Antiinflamasi
Antipiretik
(hr)
4-6
0,25
+++
+++
+++
0,5-1
1-2
>12
>12
2-30
8-20
+++
+++
+++
++
+++
+
325-1000
0,5-1
4-6
1-4
+++
+++
25-75
150-200
100
200-400
2
1-2
6-8
12
4-6
4-6
2-3
7-18
6
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
++
100-200
100-200
600
2
2
2
6-8
50-100
Days
Days
++
++
++
++++
+++
+++
++
++
++
500
3-4
++
++
200-400
60
0,5-1
0,5-1
1-3
5
++
+++
+++
+++
++
+++
50
50
1
0,6-1,6
8
8
1-2
1,3
+++
+++
+++
+++
+++
+++
200-800
1-2
4-6
+++
+++
++
Dosis
tpeak
(mg)
(hr)
2
325-1000
870-1740
200-500
Farmakologik
Durasi
38
Naproxen
Fenoprofen
Ketoprofen
Suprofen
Oxaprozin
Benzothiazine
Piroxicam
Alkanones
Nabumetone
Phenothiazine
Methotrimeprazine
250-500
300-600
50-100
200
1200
2
2
1-2
0,5-1
3-6
8-12
12-15
1-35
2
59
+++
++
++
+++
+++
+++
+++
+++
++
+++
++
+
+
+
++
6
4
24
20
2-4
>24
45
+++
+++
1000-2000
9-12
24
24
+++
+++
10-20
0,5-1,5
15-30
+++
cannabinoid
endogen/vanilloid
anandamide
oleh
sel
saraf.
39
sodium, seperti pada proses anastesi dengan lidokain dan prokain. Melalui proses
ini parasetamol mampu menurunkan nyeri.30
Farmakokinetik
Onset analgesia dari parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena, efek
puncak tercapai dalam 30-45 menit dan durasi analgesia 4-6 jam serta waktu
pemberian intravena 2-15 menit. Parasetamol termasuk dalam kelas aniline
analgesics dan termasuk dalam golongan obat antiinflamasi non steroid (masih
ada perbedaan pendapat).
Parasetamol dimetabolisme terutama di hati oleh enzim hati, hanya 3% yang tidak
dirubah dan di ekskresikan melaluin urin. Sekitar 80% metabolisme tersebut
terkonjugasi dengan asam glukuronik dan asam sulfurik. Sebagian kecil metabolit
dibentuk oleh hidroksilasi dan deasetilisasi menjadi NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone imine) yang berperan terjadinya hepatotoksik apabila dalam jumlah
berlebih. Dalam keadaan normal metabolit tersebut dikonjugasi oleh glutation hati
dan nantinya di ekskresi melalui urin sebagai cystein dan asam mercapturik.
Jumlah dari pembentukan metabolit tersebut tidak hanya ditentukan oleh jumlah
glutation, hidroksilasi maupun parasetamol, namun jumlah cytokrom p-450 hati
juga memberi peranan dalam proses ini.30
Parasetamol diserap cepat di usus halus setelah pemberian oral, dan puncak
konsentrasi dicapai dalam 1 jam. Berbeda dengan aspirin, parasetamol sangat
buruk diserap di mikosa lambung. Penyerapan tersebut tergantung dari kecepatan
pengosongan lambung. Obat yang memicu pengosongan lambung seperti
metoclopramid, mampu mempercepat penyerapan dari parasetamol. 30
Indikasi
Walaupun parasetamol mempunya efek yang sama seperti aspirin yaitu sebagai
analgesik dan antipiretik, akan tetapi yang membedakannya disini yaitu
parasetamol mempunya efek inflamasi yang sangat rendah. Obat ini tidak
mempengaruhi level uric acid dan tidak mempengaruhi inhibisi platelet.
Paracetamol dapat meringankan gejala nyeri ringan sampai sedang seperti sakit
kepala, myalgia, nyeri postpartum dan keadaan lain dimana aspirin tidak dapat
40
3. Ketorolak
Definisi
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti inflamasi non
steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic acid dimana
secara struktur kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak menunjukkan
efek analgesia yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang
sedang bila diberikan secara intramuskular atau intravena. Ketorolak dapat
dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat tunggal maupun
kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi nosiseptif dari
opioid.28 Sifat analgesik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolak =
12 mg morfin = 100 mg petidin, dan dapat digunakan bersamaan dengan opioid.
Farmakokinetik
Bioavailabilitas dari ketorolak mencapai 80-100%, onset kerja melalui pemberian
intramuskular yaitu 10 menit, per oral yaitu 30-60 menit, durasi efek obat dalam
darah dapat bertahan selama 6-8 jam. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai
dalam waktu 1-3 menit melalui pemberian intravena, 30-60 menit melalui
intramuskular dan selama 1 jam melalui pemberina oral. Metabolisme ketorolak
adalah pada hati, diekskresikan melalui urine sebanyak 91% dan melalui feses
sebanyak 6%.28
Farmakodinamik
Ketorolak bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin dengan berperan
sebagai penghambat kompetitif dari enzim siklooksigenase (COX) dan
menghasilkan efek analgesia. Ketorolak merupakan penghambat COX non
selektif, yaitu menghambat sedikitnya 2 isoenzim siklooksigenase yaitu COX 1
dan COX 2. Efek lain yaitu menghambat kemotaksis, merubah aktivitas limfosit,
mengurangi aktivitas sitokin proinflamasi, dan menghambat agregasi neutrofil.
Efek tersebut berpengaruh terhadap aktivitas inflamasi.28
Indikasi
Ketorolak diberikan pada pasien yang mengalami nyeri akut sedang dan berat.
Kontraindikasi28
42
Efek samping28
1. Fungsi platelet dan hemostatik
Ketorolak menghambat metabolism asam arakidonat dan kolagen, sehingga
mencetuskan agregasi platelet, sehingga waktu perdarahan akan meningkat
pada pasien yang mendapatkan anestesi spinal, akan tetapi tidak pada pasien
yang mendapat anestesi umum. Perbedaan ini dimungkinkan karena refleks
status hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin karena stress
pembedahan berbeda pada anestesi umum dan anestesi spinal. Dapat juga
terjadi purpura, trombositopenia, epistaksis, anemia dan leukopenia.
2. Gastrointestinal
Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual muntah,
dispepsia, konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis.
3. Kardiovaskuler
Hipertensi, palpitasi, pallor, dan sinkop.
4. Dermatologi
Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Steven-Johnson, sindroma Lyell.
5. Neurologi
Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang, vertigo, tremor,
halusinasi, euforia, insomnia, dan gelisah.
6. Pernafasan
Dispneu, asma, edema paru, edema dan batuk.
7. Urogenital
Gagal ginjal akut dan poliuri.
43
2.
4. Opiod
Definisi
Opium merupakan sumber morfin yang berasal dari getah tumbuhan Papaver
somniferum dan Papaver album (tanaman candu). Crude opium merupakan getah
tumbuhan tersebut yang berubah warna dari putih sejak diambil dan berubah
menjadi kecoklatan. Opiat merupakan obat yang dibuat dari opium.
Opioid
merupakan semua zat sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
opioid. Diketahui bahwa opium banyak mengandung alkaloid. Kodein merupakan
bentuk komersial dari morfin.28,31
Reseptor Opioid
Sebelum membahas tentang klasifikasi opioid, harus diketahui terlebih dahulu
mengenai sistem opioid dan reseptor opioid, karena analgesia oleh opioid sangat
bervariasi pada setiap individu yang disebabkan oleh adanya perbedaan yang unik
pada setiap sistem opioid. Sistem opioid paling tidak terdiri dari 3 reseptor opioid
yang berbeda yaitu mu (), kappa (), dan delta ().31,32
44
Pada sistem analgesia supraspinal, tempat kerja opioid adalah pada substansia
grisea, yaitu pada periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada sistem
spinal, tempat kerjanya adalah pada substansi gelatinosa medula spinalis.
Reseptor opioid dapat diaktivasi oleh opiat eksogenus (seperti morfin), oleh
peptide endogenus (seperti enkephalins, endorphins, dan dinorphins), dan respon
terhadap stres. Jika terjadi perangsangan terhadap reseptor mu maka akan
mempengaruhi respon terhadap rangsangan mekanik, kimia dan termal pada level
supraspinal. Reseptor kappa mengatur rangsang termal dan nyeri viseral kimia
yang dimediasi oleh spinal. Reseptor delta mengatur rangsang mekanik dan nyeri
inflamasi. Peptida opioid endogenus melekat pada reseptor opioid untuk mengatur
informasi rangsangan dan kontrol sensitivitas nyeri.31,32
Klasifikasi Opioid
Opioid dapat diklasifikasikan menjadi:31,32
1. Opioid Agonis
Agonis opioid merupakan jenis opioid yang berikatan paling banyak dengan
reseptor mu dan dapat dibagi menjadi 3 kelas yang berbeda yaitu :
a. Phenanthrene opioid agonist (contoh: morfin, hydromorphone, kodein,
oksikodon, oksimorfon, dan hidrokodon)
b. Phenylpiperidine opioid agonist (contoh: meperidin, fentanil, sufentanil,
alfentanil, dan remifentanil)
c. Diphenylhepatane opioid agonist (contoh: metadon, propoksipen).
Aktivasi reseptor mu menimbulkan efek yang diharapkan seperti analgesia
namun juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan seperti konstipasi.
2. Opioid Agonis-Antagonis
Berikatan dengan satu reseptor opioid, mengaktifkan aktifitas agonis lalu
berikatan dengan reseptor opioid yang lain. Contoh obatnya antara lain
butorphanol, nalbuphine dan pentazocine. Obat ini agonis terhadap reseptor
kappa dan antagonis terhadap reseptor mu. Bila diberikan pada pasien dengan
riwayat penggunaan opiat yang kronis dan ketergantungan opiat, obat
analgesik opioid agonis-antagonis ini dapat menyebabkan gejala withdrawal
opioid.31,32
3. Opioid Parsial Agonis
45
dengan
reseptor
opioid
namun
tidak
menghasilkan
atau
46
dosis tinggi atau drip infus kontinyu dari opioid lipofilik yang dimetabolisme
lambat, seperti fentanyl.
3. Metabolisme
Opioid dirubah menjadi metabolit glucoronides kemudian diekskresi oleh
ginjal. Contohnya morfin, yang mengandung gugus hidroksil bebas, pertamatama dikonjugasi terlebih dahulu menjadi morfin-3-glucoronide dengan efek
neuroeksitatori. Efek ini tidak dimediasi oleh reseptor , namun oleh Gammaamino butyric acid (GABA). 10% morfin dimetabolisme menjadi morfin-6glucoronide dengan potensi analgesik. Metabolit ini mempunyai afinitas
menembus sawar darah otak, sehingga memberi kontribusi terhadap efek
sistem saraf pusat. Bahkan akumulasi metabolit ini dapat memberikan efek
samping pada penderita dengan gangguan ginjal atau penderita dengan
pemberian opioid dosis besar dan jangka panjang. Eksitasi saraf pada
metabolit morfin-3-glucoronide dapat menyebabkan kejang. Metabolisme
oksidatif hepatik merupakan rute primer degradasi opioid golongan
fenilpiperidin (meperidin, fentanyl, dan sufentanil). Fentanyl dimetabolisme di
hepar oleh P450 isozim CYP3A4. Isozim ini juga terdapat pada mukosa usus
halus dan berperan di dalam metabolisme fentanil dengan rute oral. Opioid
kodein, oksikodon, dan hidrokodon juga mengalami metabolisme di hati
namun melalui P450 isozim CYP2D6, dimana dihasilkan suatu metabolit
dengan potensi yang lebih besar.28,33
4. Ekskresi
Metabolit opioid berupa konjugat glucoronide utamanya dieksresi melalui
urin. Sejumlah kecil obat yang belum dimetabolisme dapat pula ditemukan di
urin. Konjugat glucoronide juga ditemukan di empedu, dimana sirkulasi
enterohepatik mempunyai porsi yang kecil untuk proses ekskresinya.
Farmakodinamik Opioid
Mekanisme Kerja
Opioid agonis menghasilkan efek analgesia setelah berikatan dengan reseptor
jenis specific G-protein coupled receptors yang terdapat pada otak dan regio
medula spinalis yang berperan di dalam transmisi dan modulasi nyeri. Tiga
reseptor utama opioid antara lain, , , dan telah diidentifikasi keberadaannya di
47
berbagai tempat di susunan saraf pusat. Pada level molekuler, reseptor opioid
tersebut berpasangan dengan G-protein dan melalui interaksi ini akan memberi
pengaruh pada saluran ion. Opioid akan menutup voltage-gate calcium channel
pada neuron presinaptik terminal, sehingga menurunkan jumlah pengeluaran
neurotransmitter glutamate, serotonin, dan subtansi P. Kemudian opioid
menghiperpolarisasikan dan menghambat neuron post-sinaptik dengan membuka
kalium channel.28,31,32,33
Efek opioid yang berupa euphoria dan depresi nafas cenderung merupakan hasil
dari afinitas terhadap reseptor . Usaha untuk menimbulkan efek analgesik opioid
dengan menurunkan efek depresi susunan saraf pusat dan ketergantungan
diarahkan kepada agen yang cenderung berikatan dengan reseptor .31
Tiga reseptor opioid utama tersebut mempunyai konsentrasi tinggi pada kornu
dorsalis medula spinalis (Gambar 12). Secara umum, reseptor opioid terdapat
pada medula spinalis tempat transmisi neuron dan pada neuron aferen. Opioid
agonis
menghambat
pengeluaran
eksitatori
neurotransmitter
dari aferen
primernya, dan secara langsung menghambat transmisi nyeri pada kornu dorsalis.
Opioid menunjukkan efek analgesik yang kuat pada medula spinalis secara
langsung. Kerja opioid pada spinal secara klinis dilakukan dengan cara pemberian
langsung melalui medula spinalis dengan anestesi regional. Cara ini diharapkan
dapat lebih mengurangi efek depresi nafas, mual-muntah, dan sedasi, yang
ditimbulkan oleh kerja opioid supraspinal pada pemberian secara sistemik.
Pemberian opioid secara sistemik akan bekerja secara simultan pada berbagai
tempat. Tidak hanya pada jalur ascending transmisi nyeri, namun juga pada jalur
descending/modulatory. Interaksi antara peptide analgesik endogen dan opioid
eksogen dapat mengaktifkan beberapa reseptor sekaligus sehingga mekanisme
blok nyeri dapat dicapai melalui sejumlah sinaps, transmitter, dan tipe reseptor.32
48
Gambar 12. Lokasi Kerja Opioid pada Neuron Kornu Dorsalis Medula Spinalis.28
Suatu nyeri dengan inflamasi bereaksi sensitif terhadap aksi opioid di perifer.
Adanya reseptor pada terminal perifer neuron sensori menunjukkan adanya
aktivitas opioid di perifer. Pemberian opioid ulangan dengan dosis terapeutik
dengan intensitas cukup tinggi akan mengurangi keefektifannya secara gradual.
Suatu ketergantungan fisik atau yang sering disebut withdrawal atau abstinence
syndrome terjadi ketika pemberian opioid dihentikan atau diganti dengan
antagonisnya. Aktivasi persisten dari reseptor merupakan penyebab dari
keadaan tersebut. Pemberian persisten dari opioid juga dapat meningkatkan
sensasi nyeri (hiperalgesia). Spinal dinorfin dianggap agen opioid yang dapat
memicu keadaan ini.31,32
Pada Gambar 12 tampak bahwa opioid yang bekerja pada reseptor , , dan
agonis akan menurunkan jumlah pengeluaran neurotransmiter glutamate dan
neuropeptide eksitatori dari terminal presinaptik neuron nosiseptif aferen. Opioid
agonis akan menghiperpolarisasikan transmisi neuron orde kedua dengan
meningkatkan konduktans kalium, sehingga menghasilkan suatu potensial inhibisi
postsinaptik. Alfa 2 agonis bekerja pada adrenoresptor terminal presinaptik pada
neuron aferen primer dengan memblok calcium channel.33
49
umum,
opioid
mempunyai
cukup
banyak
indikasi
dalam
hal
contohnya
adalah
petidin
yang
diberikan
secara
50
51
1. Opioid intratekal diberikan dosis tunggal sendiri (morfin 0,1-0,2 mg) atau
dikombinasi dengan anestetik lokal. Morfin IT dapat memberikan analgesia
yang baik setelah 15-45 menit dengan durasi kerja sampai 24 jam. Komplikasi
opioid IT dapat terdiri dari retensi urine, pruritus, mual dan muntah, serta
depresi nafas. Insiden depresi nafas berkisar antara 0,4-7% dan umumnya
terjadi 6 jam setelah obat yang masuk ke cairan serebrospinal menyebar ke
pusat pernafasan dengan lambat. Nalokson 0,1-0,4 mg intravena akan dapat
menawarkan hamper semua komplikasi opioid.
2. Opioid epidural pada mulanya akan memasuki radiks saraf di ruang epidural,
kemudian melalui duramater masuk ke cairan serebrospinal dan menembus
medulla spinalis untuk mencapai reseptor opioid. Efek opioid ED ini
bergantung pada kelarutan lemak (lipid solubility), berat molekul, kadar
plasma selanjutnya, dan volume suntikan. Narkotika yang sedikit larut lemak
mempunyai onset kerja yang lambat, penyebaran dermatome yang lebih
banyak, dan efek analgesia yang lebih lama daripada narkotik yang mudah
larut dalam lemak. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian
opioid epidural, antara lain:
a. Obat pilihan. Morfin sangat bermanfaat untuk mengatasi nyeri pasca
bedah yang luas seperti torakotomi dan laparotomi. Morfin dapat
menyebar
ekstensif
dalam
cairan
serebrospinal
karena
karakter
Hidromorfin
0,5-1,0
10,0-30,0
6,0-12,0
0,1-0,3
Morfin
2,0-3,0
30,0-60,0
6,0-24,0
0,1-0,5
Fentanil
0,05-0,1
4,0-10,0
2,0-4,0
0,03-0,1
Petidin
15,0-30,0
10,0-30,0
4,0-8,0
10,0-20,0
2.10.2 Non-Farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk membantu
penanganan nyeri akut, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang
dapat mengurangi spasme otot, terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif,
terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, Spinal
Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation).
BAB III
PENUTUP
53
54