Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman makhluk hidup sehari-hari dan hampir
selalu merupakan manifestasi dari suatu proses patologis. Nyeri mempunyai sifat
yang sangat unik karena di satu sisi nyeri akan menimbulkan penderitaan bagi
yang merasakan, tetapi disisi lain nyeri juga dapat menunjukkan manfaatnya.1,2
Nyeri adalah hasil proses interaksi yang kompleks dari komponen obyektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan pengalaman komponen subyektif (aspek emosional
dan psikologis) yang bisa bersifat akut atau kronis.3 Nyeri sering dilukiskan
sebagai suatu yang berbahaya (noksius atau protofatik) ataupun tidak berbahaya
(non-noksius atau epikritik), misalnya sentuhan ringan, kehangatan dan tekanan
ringan.3
Nyeri akut merupakan sensibilitas yang mempunyai manfaat, antara lain berperan
sebagai mekanisme proteksi, mekanisme defensif dan membantu menegakkan
diagnosis suatu penyakit.1 Akan tetapi, nyeri tetaplah merupakan penderitaan bagi
siapapun dan sudah semestinya segera ditanggulangi karena menimbulkan
perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ. Bila tidak teratasi
dengan baik, maka nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik
dari penderita. Aspek psikologis sendiri meliputi timbulnya kecemasan, ketakutan,
perubahan kepribadian dan perilaku, gangguan tidur dan gangguan sosial.
Sedangkan aspek fisik dimana nyeri sangat mempengaruhi peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas.3
Penting bagi praktisi kedokteran untuk memahami penatalaksanaan nyeri akut.
Pemahaman tentang patofisiologi nyeri sangatlah penting sebagai landasan
menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri akut
tidak dilaksanakan dengan baik, lambat laun nyeri itu dapat berkembang menjadi
nyeri kronik. Pengobatan yang direncanakan untuk menanggulangi nyeri haruslah
diarahkan pada proses penyakit yang mendasari guna pengendalian respon nyeri
tersebut.3,4

Nyeri sampai saat ini merupakan salah satu permasalahan utama dalam dunia
kedokteran. Bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf
dan jaringan organ vital saja, tetapi juga berhubungan erat dengan kelainan
neurotransmiter dalam proses penghantaran impuls saraf. Setiap pasien yang
mengalami trauma berat (e.g., tekanan, suhu, kimia) atau pasca pembedahan harus
dilakukan penanganan nyeri yang sempurna mengingat dampak dari nyeri itu
sendiri yang akan menimbulkan respons stress metabolik (MSR) yang akan
mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri


Nyeri merupakan permasalahan yang luas dan merupakan gejala umum yang
sering dikeluhkan oleh pasien. Derajat nyeri dan reaksi individual terhadap nyeri
dipengaruhi oleh komponen fisiologis dan komponen psikologis.3 Komponen ini,
lebih lanjut dapat dibagi lagi menjadi:
1. Sensoris: deteksi stimulus noksius oleh sistem saraf (komponen fisiologis).
2. Kognitif: pemikiran mengenai nyeri (komponen psikologis).
3. Afektif: reaksi emosional terhadap nyeri (komponen psikologis).
4. Tingkah laku, aksi dan mekanisme menghindar yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri (komponen psikologis).
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai semua pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.3 Berdasarkan definisi
tersebut nyeri merupakan hasil akhir dari interaksi kompleks komponen obyektif
(aspek fisiologis sensorik nyeri) dan pengalaman komponen subyektif (aspek
emosional dan psikologis).
Sistem saraf berperan dalam memberikan informasi dini mengenai ancaman
terhadap tubuh. Proses deteksi neural terhadap stimulus yang merupakan ancaman
atau berpotensi ancaman terhadap tubuh disebut dengan nosisepsi (nociception).
Nosisepsi melibatkan penghantaran informasi dari bagian perifer yang berasal dari
reseptor pada jaringan (nosiseptor) menuju struktur sentral dalam otak. Nosisepsi
sendiri tidak langsung diterjemahkan sebagai sensasi nyeri.1
Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma,
proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri
tipe ini berkaitan juga dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan
intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya
mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan.1,4 Nyeri akut
3

bermanfaat membantu mendeteksi lokasi dan tingkat kerusakan jaringan, sehingga


nyeri akut juga disebut nyeri nosiseptik. Nyeri akut sering berasal dari luka
trauma, luka post-operatif, dan nyeri obstetri dan juga berasal dari penyakit yang
akut, seperti infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal (renal calculi). Nyeri
akut biasanya dapat sembuh dengan sendirinya atau sembuh dengan pengobatan
dalam beberapa hari atau beberapa minggu.1,4
2.2. Klasifikasi Nyeri
Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika cedera
fisik tersebut identik pada individual lainnya. 1 Adanya takut, marah, kecemasan,
depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan.
Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti
mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik), patofisiologi
(nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan, kanker).1
2.2.1 Sumber Nyeri
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan sebagai nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum.1 Nyeri insisi
bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah contoh nyeri somatik.
Nyeri somatik dibedakan menjadi nyeri somatik luar (superficial) dan nyeri
somatik dalam. Stimulus nyeri somatik luar berasal dari rangsangan pada kulit,
jaringan subkutan dan membran mukosa yang biasanya dirasakan seperti terbakar,
tajam dan terlokalisir. Sedangkan stimulus nyeri somatik dalam berasal dari
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi dan jaringan ikat. Nyeri somatik dalam
dirasakan tumpul (dull) dan tidak terlokalisir.1,2
b. Nyeri Viseral
Nyeri dikarenakan perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium atau peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi menjadi

nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri
alih parietal.1 Nyeri visceral yang nyata (true visceral pain) bersifat tumpul (dull),
difus, dan biasanya berlokasi di garis pertengahan media tubuh (midline). Nyeri
visceral sering berhubungan dengan abnormalitas aktivitas saraf simpatis dan
parasimpatis yang ditandai dengan mual, muntah, berkeringat, dan perubahan
pada tekanan darah dan denyut jantung. Nyeri parietal secara tipikal bersifat tajam
dan sering dideskripsikan sebagai nyeri dengan sensasi menusuk yang
terlokalisasi pada area di sekitar organ yang sakit atau dirasakan di tempat yang
jauh dari lokasi organ yang sakit (referred pain).1
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh
dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.
Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral
seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,
obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otototot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi
terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak
dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika
organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena. Penyebab nyeri
viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi
struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Pada distensi
pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia
karena kompresi pembuluh darah akibat distensi berlebih dari jaringan.1
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar
melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis,
dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan
glossopharyngeal. Impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantarkan
melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari
sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia servikal, ganglion stellate, dan
bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls
ini masuk ke medula spinalis melalui nervus toraks ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab

impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia
miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Bronkus dan
pleura parietal sangat sensitif terhadap nyeri.2
2.2.2 Jenis Nyeri
Berdasarkan jenisnya, nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri akut adalah nyeri yang muncul akibat jejas, trauma, spasmus, atau penyakit
pada kulit, otot, struktur somatik, atau organ dalam/viscera tubuh. Intensitas nyeri
sebanding dengan derajat jejas, dan akan berkurang sejalan dengan penyembuhan
kerusakan jaringan.1 Tanda-tanda peningkatan aktivitas sistem saraf otonom (e.g.,
takikardia, hipertensi, berkeringat, dilatasi pupil yang berkepanjangan, demam)
sering menyertai sensasi nyeri akut. Nyeri akut berkaitan dengan suatu kejadian
kerusakan jaringan (stimulus noksius), dan secara alami bersifat linier (i.e, ada
permulaan dan akhirnya), memiliki arti dan tujuan positif, dan sering berkaitan
dengan tanda-tanda fisik. Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap
analgesik opioid atau non opioid.1

b.

Nyeri Neurogenik/Neuropatik

Nyeri yang disebabkan oleh cedera atau lesi primer pada jalur serat saraf perifer,
infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi
yang dirasakan berupa rasa panas dan ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya
rasa atau adanya rasa tidak mengenakan saat perabaan.5 Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan
sympathetically maintained pain (SMP) yang merupakan komponen nyeri kronik.
Nyeri neuropati dapat bersifat kliopatik atau dapat juga muncul dari lokasi yang
tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas
atau setelah beberapa waktu tertentu. Nyeri neuropati dapat menghasilkan
disestesia (ketidaknyamanan dan sensasi yang berbeda dari sensasi nyeri biasa).
Jenis nyeri distestesia ini kadang dideskripsikan sebagai sensasi terbakar,
kesemutan, rasa kebas, sensasi seperti ditekan, diperas dan gatal gatal dan sering

dinyatakan sebagai sensasi yang sangat tidak enak atau bahkan tidak tertahankan.
Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri yang terus
menerus, juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang muncul, nyeri
seperti syok yang seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam seperti
tersengat listrik mengejutkan seperti disobek atau kejang.5
Contoh sindrom nyeri neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropatik
diabetis, neuralgia trigeminal, nyeri pasca stroke dan nyeri phantom. Nyeri tipe ini
sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri yang berhubungan dengan adanya gangguan jiwa, misalnya cemas, stres
dan depresi dan berangsur-angsur akan menghilang apabila keadaan kejiwaan
pasien kembali tenang.1
2.2.3 Onset Nyeri
Berdasarkan onset timbulnya, nyeri dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Nyeri Akut
Nyeri yang timbul mendadak segera setelah trauma sampai dengan tujuh hari,
berlangsung sementara dan ditandai dengan adanya peningkatan aktivitas saraf
otonom seperti: takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat, midriasis dan
perubahan wajah (menyeringai atau menangis).1 Nyeri akut dihubungkan dengan
kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang
batas resting stimulus istirahat. Bentuk nyeri akut dapat berupa:
1. Nyeri somatik luar: nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa.
2. Nyeri somatik dalam: nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan
ikat.
3. Nyeri viseral: nyeri akibat disfungsi organ viseral atau selaput yang
menutupinya.
b. Nyeri Kronik
Nyeri berkepanjangan hingga berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom,
kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan
sesudah penyembuhan luka penyakit atau operasi, dan atau awalnya berupa nyeri

akut lalu menetap sampai lebih dari tiga bulan. Nyeri kronik dapat dikategorikan
sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1-6 bulan. 1
Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai
penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction,
atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif
dan neuropatik. Nyeri kronik non-malignan (nyeri punggung, migrain, artritis,
diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi dan
perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal
cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem
saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat)
pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang
menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan
gejala otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri.
2.2.4 Penyebab Nyeri
Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:1
a. Nyeri onkologik (nyeri kanker).
b. Nyeri non onkologik (nyeri non-kanker).
2.2.5 Derajat Nyeri
Berdasakan derajatnya, maka nyeri dikelompokan menjadi:6
a. Nyeri ringan
Nyeri yang hilang-timbul, muncul terutama saat beraktifitas sehari-hari dan
menghilang menjelang tidur.
b. Nyeri sedang
Nyeri yang terus-menerus hingga aktifitas terganggu dan hanya hilang bila
penderita tidur.
c. Nyeri berat
Nyeri terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan sering
terjaga akibat nyeri.

2.2.6 Manifestasi Nyeri


Sedangkan manifestasi nyeri yang dirasakan dapat dibagi menjadi:
a. Nyeri menusuk (stabbing), contohnya jarum yang masuk ke kulit atau kulit
yang terpotong pisau.
b. Nyeri terbakar (burning) yang terjadi seperti pada kulit yang terekspos
temperatur yang tinggi.
c. Nyeri tumpul (aching) adalah nyeri pada tidak pada permukaan tubuh, tetapi
terasa dalam dan sulit dilokalisir.
2.3 Jalur Neuroanatomis Nyeri
Nyeri dihantarkan melalui tiga jalur utama saraf yang menghantarkan nyeri dari
bagian perifer menuju sentral (korteks somatosensoris).7 Neuron aferen orde
pertama terletak pada ganglia radiks dorsalis (dorsal root ganglia/DRG) dalam
foramina vertebralis. Setiap neuron orde pertama merupakan neuron bipolar yang
memiliki akson tunggal yang bercabang dua, salah satu ujung menuju jaringan
perifer untuk menginervasinya (nociceptor) dan cabang lainnya menuju kornu
dorsalis medula spinalis. Dalam kornu dorsalis, neuron orde pertama akan
bersinaps dengan neuron orde kedua yang aksonnya menyilang garis tengah dan
naik ke atas melalui serat traktus spinothalamikus kontralateral mencapai
thalamus. Neuron orde kedua kemudian akan bersinaps pada nukleus thalamus
dengan neuron orde ketiga (tersier). Selanjutnya sinyal akan diproyeksikan
melalui kapsula interna dan korona radiata untuk mencapai girus postsentralis dari
korteks serebri (korteks somatosensoris) (Gambar 1).7
Jalur nosisepsi mempunyai beberapa komponen utama, yakni :
2.3.1 Nosiseptor
Reseptor khusus yang disebut nosiseptor (nociceptors) pada sistem saraf perifer
adalah reseptor yang berfungsi mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe
stimulus noxious. Nosiseptor terdapat pada ujung terminal serabut aferen yang
menginervasi jaringan (kulit, otot, sendi, organ atau viscera, dan meninges).
Subkelas nosiseptor terbanyak dalam tubuh manusia adalah C-fibre polymodal
nociceptor yang merespon terhadap berbagai stimulus fisik (panas, dingin, dan
tekanan) dan kimia.

Gambar 1. Jalur Neuroanatomis Nosisepsi.7


Sensasi termal dideteksi oleh kanal transient receptor potential (TRP channel).8
Beberapa jenis nosiseptor yang merespon stimulus mekanik yang bersifat noxious
antara lain acid-sensing ion channels (ASICs), TRP, dan kanal potassium (Kchannel).9 Nosiseptor juga dijumpai pada susunan saraf pusat. Tabel 1
menjelaskan berbagai jenis tipe nosiseptor dan ligannya yang terdapat pada
serabut aferen primer dan kornu dorsalis medulla spinalis.

10

Tabel 1. Jenis-jenis nosiseptor dan ligan nosiseptor pada serabut aferen primer
dan kornu dorsalis medula spinalis.10

2.3.2

Serabut aferen primer

Serabut saraf aferen primer (neuron orde pertama) yakni serabut A- (mediumdiameter lightly myelinated A-delta fibers) dan serabut C (slow-conducting
unmyelinated C-fibers) merupakan serabut yang mentransmisikan stimulus
noxious ke sistem saraf pusat (medulla spinalis dan otak) (Gambar 2).7 Badan sel
yang menginverasi trunkus, ekstremitas dan visera terdapat pada dorsal root

11

ganglia (DRG), sedangkan badan sel yang menginervasi kepala, kavum oral, dan
leher terdapat pada ganglia trigeminalis yang menyampaikan impulsnya ke
nucleus trigeminal di dalam batang otak. Serabut C dan A- menyampaikan
impuls ke neuron orde kedua yang berlokasi di dalam lamina I dan II kornu
dorsalis superficial dan juga neuron di dalam lamina V.

Gambar 2. Jenis-jenis serabut aferen primer yang berperan dalam proses


nosisepsi. Nosiseptor yang berbeda mendeteksi stimulus noksius yang berbeda
pula. a). Serabut aferen primer meliputi serabut A dan C berperan dalam
menyampaikan stimulus noksius ke susunan saraf pusat. b). Kecepatan transmisi
impuls berhubungan dengan diameter serabut. Serabut A berkontribusi terhadap
persepsi first (fast) pain, dan serabut C terlibat dalam persepsi second (slow)
pain.11
Serabut A- mempunyai diameter lebih besar dan menghantarkan impuls lebih
cepat (12-30 m/s) dibandingkan dengan serabut C (0,5-5 m/s).7 Walaupun
keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun memiliki perbedaan baik pada
nosiseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan. Nosiseptor serabut A-
hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C peka
terhadap berbagai stimulus noksius yang meliputi mekanik, termal dan kimiawi
sehingga disebut sebagai

polymodal nociceptors.

Neurotransmiter

yang

dilepaskan serabut A- di celah sinaps pada kornu dorsalis hanya asam glutamat,
sedangkan serabut C melepaskan asam glutamat dan substansi P (neurokinin).
12

2.3.3

Kornu dorsalis medula spinalis

Kornu dorsalis (dorsal horn) adalah tempat terjadinya hubungan antara ujung
terminal serabut aferen primer dengan neuron orde kedua dan tempat kompleks
hubungan antara eksitasi dan inhibitor interneuron lokal dan traktus desenden
inhibitor dari otak. Ujung terminal serabut aferen primer akan melepaskan asam
amino eksitatorik (glutamat dan aspartat), peptida (substansi-P, CGRP), dan faktor
neurotropik (brain-derived neurotrophic factors [BDNF]), yang bekerja sebagai
neurotransmitter.12 Depolarisasi serabut aferen primer akan menyebabkan
pelepasan glutamat. Glutamat selanjutnya mengaktivasi reseptor alpha-amino-3hydroxyl-5-methyl-4-isoxazole-propionate (AMPA) post-sinaps yang terdapat
pada neuron orde kedua dan menyalurkan informasi berkaitan dengan lokasi dan
intensitas stimulus noksius.10
2.3.4

Traktus asending nosiseptik

Traktus spinothalamikus merupakan traktur ascendens yang menyampaikan sinyal


kepada area yang lebih tinggi pada SSP, yakni dari terminal aferen primer di
lamina I dan II, via koneksi di dalam lamina V kornu dorsalis ke thalamus dan
selanjutnya menuju korteks somatosensoris.7,10 Jalur ini menyediakan informasi
aspek sensoris-diskriminatif nyeri (lokasi dan tipe stimulus nosiseptif). Traktus
spinoretikular

(spinoparabrakial)

dan

spino-mesenfalik

memproyeksikan

impulsnya ke medulla dan batang otak dan berperan penting dalam


mengintegrasikan informasi sensoris dengan kesadaran, homeostasis, dan respons
otonomik serta ke area sentral (korteks serebri) yang memediasi komponen
emosional atau afektif dari nyeri.10
Traktus spinoparabrakial berasal dari neuron orde kedua pada lamina I kornu
dorsalis yang mengekspresikan reseptor NK1 dan memproyeksikan aksonnya ke
hipotalamus ventromedial dan nukleus sentral amigdala. Traktus spinoparabrakial
juga mengadakan hubungan sinaptik ke dalam area korteks yang terlibat dalam
komponen afektif dan motivational dari nyeri (e.g., korteks cingulate anterior,
insular dan prefrontal), ke dalam regio periaqueductal grey (PAG) dan
rostroventromedial medulla (RVM) yang berperan krusial dalam respons fight-orflight dan analgesia yang diinduksi stress (stress-induced analgesia), serta ke

13

dalam formasi retikularis yang berperan penting dalam regulasi jalur descendens
menuju medulla spinalis.13,14,15
2.3.5

Sistem inhibitor desenden

Jalur descendens berkontribusi dalam modulasi transmisi nyeri pada medulla


spinalis melalui aksi presinaptik pada serabut aferen primer, aksi postsinaptik
pada neuron proyeksi (projection neurons), atau melalui pengaruhnya pada
interneuron intrinsik yang berada di dalam kornu dorsalis. Jalur descendens
bersumber secara langsung (kortikofugal) dan tidak langsung (via struktur
modulasi pada periaqueductal gray [PAG]) dari korteks, serta dari hipotalamus,
yang berperan penting dalam mengkoordinasikan informasi otonomik dan
sensorik. RVM menerima input aferen dari region batang otak (PAG, nukleus
parabrakial dan nukleus traktus solitaries) maupun input ascendens langsung dari
kornu dorsalis superficial, dan berperan penting dalam integrasi input descendens
menuju medulla spinalis.16 Keseimbangan relatif antara inhibisi descendens dan
fasilitasi bervariasi bergantung pada tipe dan intensitas stimulus dan juga interval
waktu sejak terjadinya kerusakan jaringan.14 Jalur serotonergik dan noradrenergik
pada funikulus dorsolateral (DLF) berkontribusi dalam efek inhibisi jalur
descendens16 dan jalur serotonergik telah diketahui juga berkontribusi dalam efek
fasilitasi.17
2.4 Patofisiologi Nosisepsi
Kerusakan jaringan, seperti pada infeksi, inflamasi, iskemia, akan disertai oleh
adanya disintergrasi struktur sel, degranulasi sel mast, aktivasi sel-sel radang, dan
induksi enzim cyclo-oxygenase 2 (COX-2) yang akan menimbulkan pelepasan
berbagai mediator kimia ke dalam lingkungan jaringan (Tabel 2). Mediator
endogen seperti proteinase, sitokin pro-inflamasi (TNF-, IL-1, IL-6), sitokin
anti-inflamasi (IL-10), dan kemokin (CCL3, CCL2, CXCL1) yang dilepaskan
selama kerusakan jaringan dapat bekerja sebagai molekul pensinyal (signaling
molecules) pada jalur nyeri sehingga berperan sebagai mediator endogen
nosisepsi.9,18,19,20 Mediator kimia tersebut bekerja langsung pada kanal ion (ligandgated ion channels) atau via reseptor metabotropik untuk mengaktivasi dan/atau
mensensitisasi nosiseptor (Tabel 1).

14

Tabel 2. Mediator Nosisepsi Endogen.7


Zat

Sumber

Kalium
Serotonin
Bradikinin
Histramin
Prostaglandin
Lekotrien
Substansi P

Sel-sel rusak
Trombosis
Kininogen plasma
Sel-sel mast
Asam arakidonat & sel rusak
Asam arakidonat & sel rusak
Aferen primer

Menimbulkan
Nyeri
++
++
+++
+

Efek Pada
Aferen Primer
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Sensitisasi
Sensitisasi
Sensitisasi

Aktivasi nosieseptor oleh mediator nosisepsi endogen diikuti oleh aktivasi


kaskade kinase intraseluler yang akan mengakibatkan fosforilasi kanal ion
(voltage-gated Na channel dan TRP-channel), perubahan kinetika dan ambang
rangsang kanal ion, dan sensitisasi nosiseptor. Neuropeptida (substansi P dan
CGRP/calcitonin-gene related peptide) juga dilepaskan oleh ujung terminal
serabut aferen primer dan berkontribusi dalam rekruitmen faktor serum dan sel-sel
radang ke dalam jaringan yang rusak (edema neurogenik). Semua mekanisme
perifer ini akan meningkatkan sensitivitas pada area kerusakan jaringan
(sensitisasi perifer) yang bermanifestasi dengan adanya hiperalgesia primer.9
Rangkaian proses kompleks yang menyertai perjalanan kerusakan jaringan sampai
dirasakannya nyeri adalah proses elektrofisiologis. Secara garis besar, ada empat
tahapan proses nosisepsi (Gambar 3), yaitu sebagai berikut:7
2.4.1

Tranduksi

Transduksi adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimulus) menjadi aktifitas


listrik (potensial aksi) pada ujung-ujung saraf sensoris.7 Mediator nosiseptif
endogen yang timbul selama kerusakan jaringan (prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrien, substansi P, potasium, histamin, asam laktat) akan
mengaktifkan dan/atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri (nosiseptor).
Melalui proses yang kompleks, interaksi antara mediator nosisepsi dengan
reseptor nyeri akan menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

15

Gambar 3. Empat Tahapan Proses Nosisepsi (Nociceptive Pathway).10


2.4.2

Transmisi

Transmisi adalah proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A- dan C


setelah proses tranduksi.7 Oleh serat aferen A- dan C impuls nyeri diteruskan ke
sentral, yaitu ke neuron di kornu dorsalis di medula spinalis yang disebut sel-sel
neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian impuls nyeri oleh serat aferen A- dan
C diteruskan langsung ke sel-sel neuron di kornu antero-lateral dan sisanya ke selsel neuron di kornua anterior medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu
antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis
dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron
di kornu anterior medula spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot
skeletal di daerah cedera dengan segala akibatnya.7
2.4.3

Modulasi

Modulasi adalah interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, 5HT)


dengan input nyeri yang masuk ke kornu dorsalis.7 Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat-serat A- dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula
spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Di
daerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi,
baik endogen maupun eksogen, tergantung yang mana lebih dominan. Bila impuls

16

yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan nyeri. Sedangkan
apabila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan
sensibilitas nyeri.
2.4.4

Persepsi

Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang sangat
kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan
sensibilitas nyeri.7
2.5. Hipersensitisasi dan Plastisitas Sistem Saraf
Sel-sel neuron kornu dorsalis medula spinalis dikelompokkan tiga golongan atas
dasar kepekaannya terhadap intensitas rangsang suatu stimulus, yaitu:21
1. Sel-sel neuron dengan ambang rangsang tinggi.
Stimulus nyeri adalah stimulus dengan intensitas rangsang yang tinggi.
2. Sel-sel neuron dengan ambang rangsang rendah.
Rasa raba dan tekan termasuk stimulus berintensitas rangsang rendah.
3. Sel-sel neuron dengan ambang rangsang yang dapat berubah (bervariasi).
Pada keadaan tertentu sel-sel neuron dapat dirangsang oleh stimulus
dengan intensitas rangsang yang berbeda.
Sel-sel neuron nosisepsi hanya dapat dirangsang stimulus berintensitas rangsang
tinggi, karena nyeri adalah stimulus berintensitas rangsang tinggi.21 Stimulus
dengan intensitas tinggi akan menimbulkan nyeri terlokalisir yang singkat. Jika
nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan tidak segera diatasi dan
stimulus dibiarkan terus menerus merusak sel-sel neuron nosisepsi, maka dapat
terjadi perubahan kepekaan terhadap intensitas rangsang yang disebut plastisitas
sistem saraf.21 Adapun perubahan kepekaan yang terjadi adalah sebagai berikut:
a. Penderita akan merasakan sensibilitas nyeri akibat suatu stimulus yang
sebenarnya dalam keadaan normal tidak akan menimbulkan rasa nyeri
dimana keadaan ini disebut Allodynia (Gambar 4).
b. Terjadi perubahan dimana stimulus yang dalam keadaan normal memang
menimbulkan nyeri, tetapi kenyataannya akan menimbulkan sensibilitas

17

nyeri yang dirasakan lebih berat dimana keadaan ini disebut Hiperalgesia
(Gambar 4).

Gambar 4. Plastisitas Sistem Saraf.12 Ts: ambang rangsang serabut aferen primer
setelah terjadinya sensitisasi; T0: ambang rangsang pada keadaan normal.
2.5.1 Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain menyebabkan terlepasnya zat-zat
dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi sel mast,
makrofag dan limfosit (Tabel 3). Pada kerusakan jaringan, juga terjadi impuls
balik saraf aferen yang melepaskan mediator kimia (e.g., substansi P dan CGRP)
yang berakibat terjadinya vasodilatasi, serta peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma (edema neurogenik).1 Interaksi ini
akan menyebabkan terjadinya sensitisasi nosiseptor.
Sensitisasi nosiseptor disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan
meningkatnya respon terhadap stimulasi termal atau suhu pada daerah jaringan
yang rusak (Gambar 5). Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh
adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun
sekitarnya. Dalam upaya menekan fenomena sensitisasi perifer dibutuhkan upaya
untuk menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya ini merupakan dasar rasional

18

penggunaan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) yang merupakan inhibitor


enzim siklooksigenase (COX).
Tabel 3. Mediator Sensitisasi Perifer dan Mekanisme Kerjanya.10

2.5.2 Sensitisasi Sentral


Stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan atau inflamasi
akan mengubah respon nosisepsi pada kornu dorsalis medula spinalis. Aktifitas sel
nosisepsi pada kornu dorsalis akan meningkat seiring peningkatan frekuensi
stimulus. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi
dan modulasi stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis, terdiri atas first-order
neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen primer dan second-order neuron
sebagai neuron penerima dari neuron pertama.1

19

Gambar 5. Skema Sensitasi Perifer..7


Second-order neuron memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau
menghambat stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis
terdiri atas dua jenis, yakni pertama nociceptive-specific neuron (NS) yang secara
eksklusif responsif terhadap impuls dari serat A- dan serat C. Neuron kedua
disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap stimulus
noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon
treshold, serta meningkatnya reseptive field sehingga terjadi peningkatan sinyal
transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.7
Terdapat hubungan antara intensitas input aferen dan output neuron kornu
dorsalis.22 Input yang berulang-ulang dari serabut C akan menyebabkan
peningkatan keadaan depolarisasi membran post-sinaps dan pelepasan blokade
magnesium pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA). NMDA adalah salah
satu reseptor yang berperan utama dalam sensitisasi sentral Selama proses
sensitisasi

sentral,

reseptor

NMDA

akan

mengalami

fosforilasi

yang

meningkatkan influks Ca2+ ke intrasel dan hilangnya blokade ion Mg 2+ dan terjadi
20

pembukaan saluran ion yang lebih lama. Proses ini dimediasi oleh kerja glutamate
pada reseptor NMDA. Proses sensitisasi sentral juga dimediasi oleh ikatan antara
glutamat dan reseptor metabotropic glutamate receptors (mGluR), dan juga oleh
substansi P pada reseptor neurokinin-1 (NK1). 10
Dengan demikian, peningkatan progresif output potensial aksi dari neuron kornu
dorsalis dijumpai pada rangsangan stimulus yang berulang-ulang. Proses
peningkatan responsivitas neuron kornu dorsalis akibat rangsangan yang
berulang-ulang ini disebut sebagai fenomena wind-up (Gambar 6). Wind up
menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain
dan menjadi bagian sensitisasi sentral.

Gambar 6. Skema Sensitasi Sentral.21


Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisasi sentral; (1) Perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan
berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif,
(2) Peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari
potensial ambang, dan (3) Pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang
secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif.
Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut, seperti nyeri pasca
bedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi

21

sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar


perlukaan.22
Suatu jejas saraf (primary nerve lesion) akibat pembedahan juga akan
mengakibatkan perubahan pada kornu dorsalis.10 Telah dibuktikan bahwa setelah
terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen yang bermielin akan terjadi
perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Kerusakan akson perifer
menyebabkan hilangnya pengaruh faktor pertumbuhan (growth factors) dan
perubahan transkripsional pada dorsal root ganglia (DRG) dari neuron yang
mengalami kerusakan (termasuk down-regulation dari TRP dan kanal sodium) dan
perubahan pola transmisi pada neuron terdekat yang berkontribusi pada timbulnya
nyeri spontan.7,9,10 Neuron sentral RVM juga tersensitisasi setelah terjadinya
kerusakan saraf perifer23 dan re-organisasi struktural pada korteks setelah
kerusakan medulla spinalis24, dan perubahan pada aktivasi serebral juga telah
diamati pada pasien-pasien dengan nyeri neuropatik.14
Pada kerusakan akson perifer, serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan
nyeri ke daerah kornu dorsalis superfisial juga telah berfungsi sebagai relay pada
transmisi nyeri. Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminalterminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious dengan neuronneuron yang secara normal menerima input nosiseptif, maka akan terbentuk suatu
pola nyeri dan hipersensitifitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi
pada kerusakan saraf.10
Fenomena wind-up merupakan dasar analgesia pre-emptif dimana memberikan
analgesik sebelum terjadinya nyeri.10 Dengan menekan respon nyeri akut sedini
mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi
kemungkinan terjadinya wind-up. Idealnya pemberian analgesik telah dimulai
sebelum pembedahan. Dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma adalah
terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu, prinsip dasar
pengelolaan nyeri adalah mencegah (meminimalisasi) terjadinya sensitisasi perifer
dengan pemberian obat-obat. Sedangkan untuk mencegah terjadinya sensitisasi

22

sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika
diberikan secara sentral.
2.6. Sistem Inhibisi Descendens
Tidak semua stimulus noksius akan menghasilkan nyeri. Hal ini dikarenakan
adanya proses modulasi pada neuron-neuron kornu dorsalis medula spinalis.10 Ini
dimungkinkan karena sistem inhibisi yang terjadi melalui beberapa mekanisme,
seperti:
2.6.1

Stimulasi Serat Aferen Diameter Besar.

Stimulasi serat aferen dapat menghasilkan efek berupa aktifasi interneuron


inhibisi di kornu dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A- atau menggunakan
alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
2.6.2

Serat Inhibisi Desendens.

Terdapat tiga lintasan midbrain ke kornu dorsalis medula spinalis, yaitu:


1). Lintasan

: Berawal dari nukleus raphe magnus.

2). Lintasan II

: Berawal dari nukleus lokus seruleus.

3). Lintasan III

: Berawal dari nucleus Edinger-Westphal.

Ketiga lintasan turun (descending pathways) menimbulkan hambatan fungsi


respon nyeri neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis. Bila diaktifkan,
ketiga lintasan ini akan melepaskan serotonin (5HT), norepinefrin (NE) dan
cholecystokinin (CCK). Peri-aquaductal gray (PAG) yang kaya reseptor opioid
mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan. Bila reseptor diaktifkan, PAG akan
mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG diaktifkan oleh endorphin
yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen.
Pelepasan endorphin dipicu oleh nyeri dan stres.10
2.6.3

Beta Endorphin.

Beta-endorphin diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke dalam ventrikulus


tertius. Oleh cairan serebrospinal, zat ini dibawa ke medula spinalis menimbulkan
efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.10

23

2.6.4

Opioid

PAG kaya dengan reseptor opioid. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medula
sinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan
sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di substansia
gelatinosa.10
2.7 Respon Tubuh Terhadap Nyeri
Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri
oleh serat aferen selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis
medula spinalis, maka juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu
anterolateral dan kornu anterior medula spinalis.1
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin
yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya
nyeri melalui serat saraf aferen diteruskan lewat sel-sel neuron nosisepsi di kornu
dorsalis medula spinalis dan juga melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu
anterior medula spinalis memberikan respon segmental, seperti peningkatan
muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan aktifitas), vasospasm (hipertensi), dan
menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan
atau hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon suprasegmental yang
meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang menimbulkan
stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terhadap psikologis pasien, seperti
interpretasi nyeri, marah dan takut.
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron kornu anterolateral mengaktifkan sistem
simpatis akibatnya organ-organ yang diinervasi teraktifkan. Nyeri akut baik yang
ringan sampai berat akan memberikan efek pada tubuh, seperti berikut :
2.7.1

Sistem Respirasi

Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, reflek segmental dan


hormon, seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida yang mengharuskan
terjadinya peningkatan ventilasi permenit, sehingga meningkatkan kerja sistem
pernafasan khususnya pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding
24

thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini
mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia dan
terkadang dapat terjadi hipoventilasi.1
2.7.2

Sistem Kardiovaskuler

Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi,


hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa
peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon
(ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi
dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal
cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung
akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk
keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard,
sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.1
2.7.3

Sistem Gastrointestinal

Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfingter dan menurunkan


motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan
menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus yang
potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah dan
konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru
dan pulmonary dysfunction.1
2.7.4

Sistem Urogenital

Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan


menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.1
2.7.5 Sistem Metabolisme dan Endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan katekolamin.
Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat.
Respon hormonal nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti
katekolamin, kortisol dan glukagon. Sebaliknya, respons hormonal nyeri
menyebabkan penurunan hormon anabolik, seperti insulin dan testosteron.1

25

Peningkatan kadar katekolamin darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin.


Efektifitas insulin menurun menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar
gula darah meningkat yang mendorong pelepasan glukagon sehingga memicu
peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan
menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat dan
meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan
peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang
menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan
ekstraseluler.1
2.7.6

Sistem Hematologi

Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan


hiperkoagulopati.1
2.7.7

Sistem Imunitas

Nyeri merangsang produksi leukosit dengan limfopenia dan nyeri dapat


mendepresi sistem retikulo-endotelial (RES) yang akhirnya menyebabkan pasien
beresiko mudah terinfeksi.1
2.7.8

Efek Psikologis

Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
ketakutan, agitasi dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.1
2.7.9

Homeostasis Cairan dan Elektrolit

Efek yang timbul akibat peningkatan pelepasan hormon aldosteron berupa retensi
natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan
penurunan produksi urin. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan
berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.1
2.8. Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan hal

26

yang relatif sulit.3 Terdapat beberapa metoda yang umum digunakan untuk
menilai intensitas nyeri, antara lain:
2.8.1

Verbal Rating Scale (VRS)

Menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien
disuruh memilih kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang
dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui
intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan.
Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri, yaitu :
1. Tidak nyeri (none)
2. Nyeri ringan (mild)
3. Nyeri sedang (moderate)
4. Nyeri berat (severe)
5. Nyeri sangat berat (very severe)
2.8.2

Numerical Rating Scale (NRS)

Menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri.


Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari
angka 0-10. 0 menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10 menggambarkan
nyeri yang hebat (Gambar 7).

Gambar 7. Numeric Pain Intensity Scale.25


2.8.3

Visual Analogue Scale (VAS)

VAS pertama kali dikemukakan pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan
garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis
(10) menandakan nyeri hebat.25 Pasien diminta untuk membuat tanda di garis
tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS
27

lebih efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala
lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan karena selain telah digunakan
secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, di mana juga
penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata
sehingga kosakata tidak menjadi permasalahan. Nilai VAS antara 0-4 cm dianggap
sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana
analgesia. Nilai VAS >4 cm dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien
merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik penyelamat (rescue
analgetic).25
Keuntungannya adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri,
mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi
klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8
tahun dan sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

No Pain

The Most Intense Pain Imaginable


Gambar 8. Visual Analog Scale.25

2.8.4

McGill Pain Questionnaire (MPQ)

MPQ merupakan sebuah ceklist kata-kata yang mendeskripsikan gejala-gejala


nyeri. Tidak seperti metode penilaian nyeri lainnya yang bersifat unidimensional
dan hanya mendeskripsikan intensitas nyeri dan bukan kualitas nyeri, MPQ
mengkaji nyeri ke dalam 3 dimensi utama: 1) Sensoris-diskriminatif (jalur
nosiseptive); 2) Motivasional-afektif (struktur retikular dan limbik); dan 3)
Kognitif-evaluatif (korteks serebri).1,26
MPQ mengandung 20 set kata-kata deskriptif yang terbagi ke dalam 4 kelompok
mayor, yakni 1) 10 komponen sensori; 2) 5 komponen afektif; 3) 1 komponen
evaluative, dan 4) 4 komponen lain-lain (miscellaneous). Pada pengisian MPQ,
pasien diminta memilih set kata-kata yang sesuai dengan pengalaman nyeri yang
dirasakan, dan melingkari kata-kata pada masing-masing set yang paling baik

28

mendeskripsikan pengalaman nyeri yang dirasakan. Kata-kata pada masingmasing kelas mendapat ranking sesuai dengan derajat keparahan nyeri. Indeks
rating nyeri didapatkan berdasarkan kata-kata yang dipilih pasien dan skor juga
dapat dianalisis untuk masing-masing dimensi (sensoris, afektif, evaluative, dan
lain-lain atau miscellaneous).1,26

Gambar 9. McGill Pain Questionnaire. Deskriptor nyeri dikelompokan ke dalam


4 kategori utama: 1) Sensoris (S), nomor 1-10; 2) Afektif (A), nomor 11-15; 3)
Evaluatif (E), nomor 16; dan 4) Lain-lain atau miscellaneous (M), nomor 17-20.26
MPQ merupakan alat yang reliable atau dapat dipercaya dan hanya membutuhkan
waktu 5-15 menit untuk pengisiannya. Pilihan kata-kata deskriptif yang digunakan
berkorelasi dengan sindrom nyeri dan dengan demikian dapat membantu
diagnosis penyebab nyeri.1,26
2.8.6 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Metode ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai
intensitas nyeri pada anak-anak.

29

Gambar 10. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale.25


Tabel 4. FLACC Behavioural Pain Assessment Scale.25

2.8.7

FLACC Behavioural Pain Assessment Scale

Skala FLACC merupakan skala perilaku untuk scoring nyeri pada anak-anak
berusia antara 2 bulan dan 7 tahun atau untuk pasien yang tidak mampu
berkomunikasi secara verbal.25 Masing-masing kategori (faces, legs, activity, cry,
consolability) mendapat skor dari 0 sampai 2 dan masing-masing skor
dijumlahkan untuk mendapatkan skor total yang terentang antara 0 sampai 10
(Tabel 4).
2.9. Diagnosis Nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik
nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini
30

meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan


kalau perlu pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain.
Dengan demikian diagnostik terutama ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan
menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan
laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.10
2.9.1 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Keluhan utama berupa nyeri. Informasi yang perlu digali, yaitu:
-

Onset munculnya nyeri


Lokasi , adanya penjalaran (titik picu, nyeri radikular)
Kualitas (sifat nyeri: menusuk, panas, hiperalgesia, alodinia)
Frekuensi timbulnya nyeri (terus menerus atau hilang timbul)
Faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Beratnya nyeri (pengaruh nyeri terhadap aktivitas sehari-hari)
Pendapat pasien tentang penyebab nyeri
Kronologis terjadinya nyeri (awal terjadinya, perjalanan)
Keluhan lain yang berkaitan dengan nyeri yang dirasakan
Alergi obat

b. Riwayat Penyakit Dahulu


-

Adanya gejala nyeri yang dulu pernah dialami.


Riwayat pengobatan yang pernah dilakukan.
Adanya trauma, riwayat operasi, riwayat dirawat di rumah sakit.

c. Riwayat Psikologis, Sosial, dan Lingkungan


-

Kondisi keluarga
Riwayat pendidikan dan pekerjaan
Riwayat merokok, penggunaan alkohol,dan obat-obatan terlarang
Adanya perasaan kehilangan (misalnya kematian).

2.9.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan yaitu:
a. Pemeriksaan umum
Keadaan umum
Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, repiratory rate,
temperatur)
Kelainan sistemik
Ekspresi wajah
b. Pemeriksaan neurologik

31

Saraf kranialis
Motorik: kekuatan, postur, cara berjalan (gait), range of motion
(ROM), simetri, trofik.
Sensorik: defisit sensori selain nyeri, suhu, getar, posisi, raba.
Otonom: keringat, vasomotor.
c. Status lokalis
Luka, massa, nyeri tekan, nyeri gerak.
d. Pemeriksaan nyeri khusus pada alodinia
Tabel 5. Pemeriksaan Nyeri Khusus pada Alodinia.25
Jenis alodinia
Mekanis statis
(serabut C)
Mekanis pungtat
Mekanis dinamis
Mekanis somatic
Termal panas
Termal dingin

Cara periksa
Tekanan ringan dengan benda
tumpul
Beberapa tusukan ringan
dengan jarum
Usapan ringan dengan kapas,
kasa, atau jari tangan
Tekanan ringan pada sendi
Tabung air hangat (400C)
Tabung air dingin (200C),
batang reflex hammer

Respon
Rasa nyeri tumpul (dull
pain)
Rasa nyeri tajam
superficial
Rasa nyeri tajam,
terbakar, superficial
Rasa nyeri dalam
Rasa nyeri terbakar
Rasa nyeri terbakar

e. Pemeriksaan nyeri khusus pada hiperalgesia


Tabel 6. Pemeriksaan Nyeri Khusus pada Hiperalgesia.25
Jenis hiperalgesia
Mekanis tusukan
Termal dingin

Cara periksa
Tusukan dengan jarum
Kontak dengan pendingin

Respon
Rasa nyeri tajam superficial
Rasa nyeri terbakar

Termal panas

(aseton, alkohol)
Kontak dengan tabung air

Rasa nyeri terbakar

hangat

2.9.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab
dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu:
1. Radiologik
Foto polos X-ray, CT-scan, MRI, bone scan, PET scan.

32

2. Neurofisiologi
EMG, EEG, Evoke potensial.
3. Laboratorium
Darah, petanda tumor.
2.10 Penatalaksanaan Nyeri Akut
Penanganan nyeri akut yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain
pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi
(multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan
yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).3
Penyebab nyeri akut biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga
penanggulangannya juga biasanya lebih mudah. Nyeri akut ini akan mereda dan
hilang seiring dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit. Semua obat
analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut. Diagnosa penyebab nyeri akut
harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab
nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi. Dengan demikian, diagnosa
penyebab ditegakkan dan usaha mengatasi nyeri sejalan dengan usaha mengatasi
penyebabnya.3,10 Berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Modalitas fisik
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum,
perbaikan posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.
2. Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasiern, dan pendekatan spiritual.
3. Modalitas Invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.
4. Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi mereka yang
mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri
5. Modalitas Farmakoterapi
2.10.1 Farmakologis

33

Modalitas analgetik nyeri akut termasuk didalamnya analgesik oral parenteral,


blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal.
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien,
prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik
yang digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan (Tabel 7).
The World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic
Ladder telah dikembangkan untuk penanganan nyeri akut (Gambar 11). Pada
fase awal, nyeri diperkirakan sangat berat sehingga diberikan opioid kuat
dikombinasi dengan anestesi blok lokal dan obat-obatan yang bekerja secara
perifer. Pada anak tangga kedua, obat-obatan yang mulanya diberikan secara
injeksi dapat diberikan per oral. Opioid kuat tidak lagi dibutuhkan dan analgesia
yang memadai dapat dicapai dengan kombinasi opioid lemah dengan obat-obatan
yang bekerja secara perifer. Anak tangga terakhir adalah ketika nyeri dapat
dikontrol hanya dengan obat-obatan yang bekerja secara perifer berupa Aspirin
dan NSAIDs.
Tabel 7. Modalitas Farmakologis untuk Penanganan Nyeri.10

34

Gambar 11. WFSA Analgesic Ladder untuk Penanganan Nyeri Akut.10

Analgesia Multimodal
Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal
tanpa dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan
dosis pada satu obat saja.3,10 Analgesia multimodal melakukan intervensi nyeri
secara berkelanjutan pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni:
1. Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan OAINS
2. Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)
3. Peningkatan proses modulasi dengan opioid
Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan dengan
penggunaan parasetamol dan OAINS sebagai kombinasi dengan opioid atau
anestesi lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang
mengalami nyeri akut ditingkat sedang sampai berat. Analgesia multimodal selain
harus diberikan secepatnya (early analgesia), juga harus disertai dengan inforced
mobilization (early ambulation) disertai dengan pemberian nutrisi nutrisi oral
secepatnya (early alimentation).
Analgesia Preemptif dan Preventif
Nyeri yang berat dan tidak ditanggulangi dengan baik dapat diikuti oleh
perubahan kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis
(kornua dorsalis) terhadap stimulus yang masuk. Ambang rangsang organ-organ
nosisepsi tersebut akan turun dan terjadi plastisitas sistem saraf. Tindakan untuk
mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat
35

analgetika sebelum terjadinya trauma disebut tindakan preemptif analgesia.


Tindakan anestesia merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. 10 Dengan
menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang.
Analgesia preemptif adalah pemberian analgesia sebelum terjadinya luka yang
bermanfaat untuk mengatasi nyeri setelah luka, lebih lama daripada obat-obat
yang diberikan setelah terjadi luka. Luka pada jaringan perifer (karena trauma
atau pembedahan) berefek pada dua jenis respon neural. Pertama, ujung terminal
saraf menjadi tersensitisasi atau terjadi penurunan ambang nyeri (sensitisasi
perifer), dan yang kedua, terjadi sensitisasi di sentral atau terjadi peningkatan
eksitabilitas yang tergantung aktivitas pada saraf spinal. Kedua efek ini
menghasilkan keadaan hipersensitivitas tehadap nyeri yang bisa disebut nyeri
pascaoperasi. Terapi preemptif, misalnya blok dengan anestesi lokal pada daerah
yang luka, teknik regional preoperasi atau premedikasi dengan opioid akan
mencegah terjadinya hipersensitifitas dengan cara memblok input sensoris yang
menginduksi sensitisasi di sentral.10 Analgesia preemptif yang umum diberikan
antara lain:
1. NSAID
a. ketorolak 0,5 -0,8 mg/kgBB (IV), dibagi 4 dosis dalam sehari.
b. ketorolak 1 mg/kgBB (per oral), dibagi 4 dosis dalam sehari.
c. diclofenac 2mg/kgBB (per oral dosis tunggal).
2. Anestesi lokal
Lidokain 1% 1,5 mg/kgBB, infitrasi lokal pada area insisi.
3. Opioid
Tramadol 1-5 mg/kgBB (IM / IV), dibagi 4 dosis dalam sehari.
Kerusakan jaringan akibat pembedahan juga akan diikuti oleh proses inflamasi
selama beberapa jam sampai beberapa hari pada jaringan yang rusak. Respon
inflamasi sekunder ini akan terus terjadi selama masa penyembuhan luka.
Penelitian menunjukkan pengobatan preemptif tunggal mungkin tidak cukup
untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi. Nyeri pasca operasi yang dapat menetap
pada 10-15 % kasus yang tidak mendapat penanganan analgesik pasca operasi
yang adekuat.27 Dengan demikian, juga diperlukan analgesia yang bekerja setelah

36

terjadi kerusakan jaringan untuk mencegah sensitisasi sentral atau yang disebut
preventif analgesia. Prinsipnya yaitu mencegah sensitisasi sentral dengan
memblok sinyal nyeri dari luka operasi atau trauma jaringan. Hal ini termasuk
NSAIDs untuk mengurangi aktivasi atau sensitisasi perifer dari nosiseptor,
anastesi lokal untuk memblok impuls sensorik, dan obat yang bekerja di sentral
seperti opiat untuk mencegah sensitisasi sentral selama periode pascaoperasi.10
Berikut ini akan dibahas aspek farmakologis beberapa jenis analgesik yang umum
digunakan dalam penanganan nyeri akut.
1. NSAID/OAINS
Definisi
OAINS adalah anti-inflamasi yang bekerja dengan menghambat kerja enzim COX
di jaringan. OAINS sering digunakan sebagai obat bagi mengatasi nyeri yang
bersifat ringan sedang.
Farmakodinamik
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX
yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan
kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif
(ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan

perdarahan). Aktifitas COX

dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang


diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1
terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini
penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa
gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan
diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan
inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di
medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam
sensitisasi sentral.28
Farmakokinetik

37

OAINS adalah kelompok obat yang memiliki kelas kimia yang berbeda-beda.
Perbedaan kimiawi tersebut menimbulkan karakteristik farmakokinetik obat yang
berbeda pula. Sebagian besar obat diabsorbsi baik, dan tidak dipengaruhi oleh
makanan. Obat-obat OAINS diabsorbsi secara cepat jika diberikan per oral,
distribusi kejaringan sangat terbatas (karena berikatan kuat dengan protein).
Sebagian besar obat OAINS juga dimetabolisme cepat, beberapa melalui fase 1
diikuti fase 2 dan yang lainnya melalui glukoronidase (fase 2) saja. Proses
metabolism OAINS pada sebagian besar obat melalui jalur CYP3A atau CYP2C
dari enzim P450 dihati.28
Ekskresi melalui ginjal merupakan rute paling penting dalam eliminasi obat
(sirkulasi enterohepatik) dan memiliki kliren yang lambat. Tetapi, pada
kenyataannya, derajat iritasi traktus gastrointestinal berhubungan dengan kualitas
sirkulasi enterohepatik obat. Sebagian besar OAINS berikatan kuat dengan protein
( 98% ) khususnya albumin.
Tabel 8. Klasifikasi, Aspek Farmakologik, dan Efek Terapeutik OAINS.29
Klasifikasi

Salicylate
Aspirin
Choline salicylate
Diflunisal
Paraaminophenol
Acetaminophen
Indoleacetic acid
Indomethacin
Sulindac
Zomepirac
Etodolac
Pyrazole
Phenylbutazone
Oxyphenbutazone
Azapropazone
Fenamates
Mefenamic acid
Pyrroleacetic acid
Tolmetin
Ketorolac
Diclofenac
Bromfenac
Propionic Acid
Ibuprofen

T1/2

Analgesik

Terapeutik
Antiinflamasi

Antipiretik

(hr)
4-6

0,25

+++

+++

+++

0,5-1
1-2

>12
>12

2-30
8-20

+++
+++

+++
++

+++
+

325-1000

0,5-1

4-6

1-4

+++

+++

25-75
150-200
100
200-400

2
1-2

6-8
12
4-6
4-6

2-3
7-18
6

+++
+++
+++
+++

+++
+++
+++
+++

+++
+++
+++
++

100-200
100-200
600

2
2
2

6-8

50-100
Days
Days

++
++
++

++++
+++
+++

++
++
++

500

3-4

++

++

200-400
60

0,5-1
0,5-1

1-3
5

++
+++

+++
+++

++
+++

50
50

1
0,6-1,6

8
8

1-2
1,3

+++
+++

+++
+++

+++
+++

200-800

1-2

4-6

+++

+++

++

Dosis

tpeak

(mg)

(hr)
2

325-1000
870-1740
200-500

Farmakologik
Durasi

38

Naproxen
Fenoprofen
Ketoprofen
Suprofen
Oxaprozin
Benzothiazine
Piroxicam
Alkanones
Nabumetone
Phenothiazine
Methotrimeprazine

250-500
300-600
50-100
200
1200

2
2
1-2
0,5-1
3-6

8-12

12-15
1-35
2
59

+++
++
++
+++
+++

+++
+++
+++
++
+++

++
+
+
+
++

6
4
24

20

2-4

>24

45

+++

+++

1000-2000

9-12

24

24

+++

+++

10-20

0,5-1,5

15-30

+++

Keterangan : 0 = no effect, + = minimal effect, ++ = moderate effect, +++ = strong


effect, ++++ = maximum effect
2. Parasetamol
Farmakodinamik
Parasetamol (asetaminophen) merupakan turunan para-aminophenol yang hampir
sama dengan aspirin, kedua obat ini memiliki efek analgetik dan antipiretik. Efek
antipiretik tersebut dihasilkan dari kerja obat yang langsung pada hipotalamus
(pusat termoregulator). Parasetamol bekerja dengan menghambat kerja pirogen
endogen yang bekerja pada pusat termoregulator. Pada dosis 500-600 mg
parasetamol dan aspirin memiliki efek antipiretik yang sama. Kedua obat ini juga
bekerja menghambat sintesis prostaglandin pusat, yaitu menurunkan jumlah
prostaglandin E2 di CNS, kemudian menurunkan hypothalamic set point dalam
pusat termoregulasi. Parasetamol tidak bekerja pada prostaglandin perifer seperti
pada aspirin. Disamping itu kerjanya sering dibatasi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah peroxidase yang dijumpai pada proses peradangan. Oleh karena itu
parasetamol lebih efektif sebagai antipiretik dan analgesik pada nyeri yang bukan
disebabkan oleh proses inflamasi.30
Efek analgesik pada parasetamol sampai saat ini belum diketahui dengan pasti,
namun dari beberapa penelitian efek tersebut didapat melalui kerjanya pada sistem
cannabinoid endogen. Parasetamol dimetabolisme menjadi AM4O4, sebuah
komponen yang memiliki beberapa aksi, yang penting yaitu menghambat
penggunaan

cannabinoid

endogen/vanilloid

anandamide

oleh

sel

saraf.

Penggunaan cannabinoid ini akan mengaktivasi reseptor nyeri (nociceptor) dalam


tubuh, yakni TRPV1(reseptor cannabinoid). AM4O4 akan menghambat kanal

39

sodium, seperti pada proses anastesi dengan lidokain dan prokain. Melalui proses
ini parasetamol mampu menurunkan nyeri.30
Farmakokinetik
Onset analgesia dari parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena, efek
puncak tercapai dalam 30-45 menit dan durasi analgesia 4-6 jam serta waktu
pemberian intravena 2-15 menit. Parasetamol termasuk dalam kelas aniline
analgesics dan termasuk dalam golongan obat antiinflamasi non steroid (masih
ada perbedaan pendapat).
Parasetamol dimetabolisme terutama di hati oleh enzim hati, hanya 3% yang tidak
dirubah dan di ekskresikan melaluin urin. Sekitar 80% metabolisme tersebut
terkonjugasi dengan asam glukuronik dan asam sulfurik. Sebagian kecil metabolit
dibentuk oleh hidroksilasi dan deasetilisasi menjadi NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone imine) yang berperan terjadinya hepatotoksik apabila dalam jumlah
berlebih. Dalam keadaan normal metabolit tersebut dikonjugasi oleh glutation hati
dan nantinya di ekskresi melalui urin sebagai cystein dan asam mercapturik.
Jumlah dari pembentukan metabolit tersebut tidak hanya ditentukan oleh jumlah
glutation, hidroksilasi maupun parasetamol, namun jumlah cytokrom p-450 hati
juga memberi peranan dalam proses ini.30
Parasetamol diserap cepat di usus halus setelah pemberian oral, dan puncak
konsentrasi dicapai dalam 1 jam. Berbeda dengan aspirin, parasetamol sangat
buruk diserap di mikosa lambung. Penyerapan tersebut tergantung dari kecepatan
pengosongan lambung. Obat yang memicu pengosongan lambung seperti
metoclopramid, mampu mempercepat penyerapan dari parasetamol. 30
Indikasi
Walaupun parasetamol mempunya efek yang sama seperti aspirin yaitu sebagai
analgesik dan antipiretik, akan tetapi yang membedakannya disini yaitu
parasetamol mempunya efek inflamasi yang sangat rendah. Obat ini tidak
mempengaruhi level uric acid dan tidak mempengaruhi inhibisi platelet.
Paracetamol dapat meringankan gejala nyeri ringan sampai sedang seperti sakit
kepala, myalgia, nyeri postpartum dan keadaan lain dimana aspirin tidak dapat
40

digunakan. Parasetamol sendiri bukan merupakan terapi yang adekuat dalam


keadaan inflamasi seperti misalnya rheumatoid arthritis, akan tetapi disini
peranannya lebih mengarah sebagai penghilang rasa nyeri dalam kondisi tersebut.
Pada nyeri ringan parasetamol dapat digunakan sebagai obat pengganti pada
pasien-pasien alergi aspirin atau pada pasien yang tidak toleran terhadap
salicylate. Obat ini lebih baik digunakan dari aspirin pada pasien-pasien dengan
hemophili atau yang mempunyai riwayat peptic ulcer, atau pada pasien yang
mengalami bronkospasme saat menggunakan aspirin dan obat ini aman digunakan
pada ibu hamil. Tidak seperti aspirin, obat ini tidak mempunyai efek antagonis
terhadap agen urikosurik sehingga pengunaannya dapat dikombinasi dengan
probenecid dalam terapi gout.
Kontra Indikasi30
1). Pada pasien yang mengalami gangguan hepar
2). Intoleran atau alergi terhadap parasetamol
3). Pada pasien yang alkoholik
Efek Samping
Efek toksik jarang ditemukan apabila penggunaannya sesuai dengan dosis
terapeutik, yaitu batasan maxsimum 4 gram/hari. Efek toksik dari paracetomol
paling sering disebabkan oleh karena overdosis, kususnya overdosis akut (> 10
gram-15 gram). Nephrotoxicity, thrombocytopenia, dan hepatic toxicity umumnya
yang menjadi efek samping overdosis paracetamol akut ataupun kronis.30
Kematian biasanya disebabkan oleh karena hepatotoxic yang sangat parah dengan
sentrilobular nekrosis, kadang bisa disebabkan oleh karena nekrosis akut tubular
ginjal. Gejala awal yang muncul dari kerusakan hepar adalah mual, muntah, diare
dan nyeri perut. Beberapa data menyatakan bahwa jarang terjadi kerusakan ginjal
tanpa disertai dengan kerusakan hepar pada pemakaian parasetamol yang berlebih.
Dosis dan cara penggunaan
Dosis pada orang dewasa sebesar 500-1.000 mg, dengan dosis maksimum
direkomendasi 4.000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol aman digunakan
untuk anak-anak dan orang dewasa.30
41

3. Ketorolak
Definisi
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti inflamasi non
steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic acid dimana
secara struktur kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak menunjukkan
efek analgesia yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang
sedang bila diberikan secara intramuskular atau intravena. Ketorolak dapat
dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat tunggal maupun
kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi nosiseptif dari
opioid.28 Sifat analgesik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolak =
12 mg morfin = 100 mg petidin, dan dapat digunakan bersamaan dengan opioid.
Farmakokinetik
Bioavailabilitas dari ketorolak mencapai 80-100%, onset kerja melalui pemberian
intramuskular yaitu 10 menit, per oral yaitu 30-60 menit, durasi efek obat dalam
darah dapat bertahan selama 6-8 jam. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai
dalam waktu 1-3 menit melalui pemberian intravena, 30-60 menit melalui
intramuskular dan selama 1 jam melalui pemberina oral. Metabolisme ketorolak
adalah pada hati, diekskresikan melalui urine sebanyak 91% dan melalui feses
sebanyak 6%.28
Farmakodinamik
Ketorolak bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin dengan berperan
sebagai penghambat kompetitif dari enzim siklooksigenase (COX) dan
menghasilkan efek analgesia. Ketorolak merupakan penghambat COX non
selektif, yaitu menghambat sedikitnya 2 isoenzim siklooksigenase yaitu COX 1
dan COX 2. Efek lain yaitu menghambat kemotaksis, merubah aktivitas limfosit,
mengurangi aktivitas sitokin proinflamasi, dan menghambat agregasi neutrofil.
Efek tersebut berpengaruh terhadap aktivitas inflamasi.28
Indikasi
Ketorolak diberikan pada pasien yang mengalami nyeri akut sedang dan berat.
Kontraindikasi28
42

Hipersensitivitas terhadap ketorolak


Alergi aspirin
Riwayat perdarahan saluran cerna
Gangguan fungsi ginjal berat
Perdarahan serebrovaskular
Penggunaan secara epidural/intratekal
Kehamilan tua
Pemasangan CABG (Coronary Artery Bypass Grafting)
Penggunaan lebih dari 5 hari, baik parenteral maupun oral
Tidak untuk nyeri kronik/nyeri ringan
Penggunaan secara bersamaan dengan NSAID lainnya

Efek samping28
1. Fungsi platelet dan hemostatik
Ketorolak menghambat metabolism asam arakidonat dan kolagen, sehingga
mencetuskan agregasi platelet, sehingga waktu perdarahan akan meningkat
pada pasien yang mendapatkan anestesi spinal, akan tetapi tidak pada pasien
yang mendapat anestesi umum. Perbedaan ini dimungkinkan karena refleks
status hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin karena stress
pembedahan berbeda pada anestesi umum dan anestesi spinal. Dapat juga
terjadi purpura, trombositopenia, epistaksis, anemia dan leukopenia.
2. Gastrointestinal
Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual muntah,
dispepsia, konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis.
3. Kardiovaskuler
Hipertensi, palpitasi, pallor, dan sinkop.
4. Dermatologi
Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Steven-Johnson, sindroma Lyell.
5. Neurologi
Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang, vertigo, tremor,
halusinasi, euforia, insomnia, dan gelisah.
6. Pernafasan
Dispneu, asma, edema paru, edema dan batuk.
7. Urogenital
Gagal ginjal akut dan poliuri.

43

Dosis dan cara penggunaan


Sediaan ketorolak dapat berupa tablet 10 mg dan solusi injeksi 15 mg/ml dan 30
mg/ml.28
1.

Dosis pada dewasa28


Penggunaan secara IV: 30 mg dosis tunggal/30 mg tiap 6 jam, tidak melebihi
120 mg/hari.
Penggunaan secara IM: 60 mg dosis tunggal/30 mg tiap 6 jam, tidak melebihi
120 mg/hari.
Penggunaan per oral: 20 mg sebagai dosis pertama, diikuti pemberian IV/IM
dengan 10 mg tiap 4-6 jam, tidak melebihi 40 mg/hari.

2.

Dosis pada anak28


Pada anak usia <2 tahun, keamanan dan efikasi belum terbukti.
Untuk anak usia 2-16 tahun, dosis awal ketorolak 0,5 mg/kg BB diikuti
dengan 0,25-1 mg setiap 6 jam untuk lebih dari 48 jam, namun tidak melebihi
90 mg/hari.

4. Opiod
Definisi
Opium merupakan sumber morfin yang berasal dari getah tumbuhan Papaver
somniferum dan Papaver album (tanaman candu). Crude opium merupakan getah
tumbuhan tersebut yang berubah warna dari putih sejak diambil dan berubah
menjadi kecoklatan. Opiat merupakan obat yang dibuat dari opium.

Opioid

merupakan semua zat sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
opioid. Diketahui bahwa opium banyak mengandung alkaloid. Kodein merupakan
bentuk komersial dari morfin.28,31
Reseptor Opioid
Sebelum membahas tentang klasifikasi opioid, harus diketahui terlebih dahulu
mengenai sistem opioid dan reseptor opioid, karena analgesia oleh opioid sangat
bervariasi pada setiap individu yang disebabkan oleh adanya perbedaan yang unik
pada setiap sistem opioid. Sistem opioid paling tidak terdiri dari 3 reseptor opioid
yang berbeda yaitu mu (), kappa (), dan delta ().31,32

44

Pada sistem analgesia supraspinal, tempat kerja opioid adalah pada substansia
grisea, yaitu pada periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada sistem
spinal, tempat kerjanya adalah pada substansi gelatinosa medula spinalis.
Reseptor opioid dapat diaktivasi oleh opiat eksogenus (seperti morfin), oleh
peptide endogenus (seperti enkephalins, endorphins, dan dinorphins), dan respon
terhadap stres. Jika terjadi perangsangan terhadap reseptor mu maka akan
mempengaruhi respon terhadap rangsangan mekanik, kimia dan termal pada level
supraspinal. Reseptor kappa mengatur rangsang termal dan nyeri viseral kimia
yang dimediasi oleh spinal. Reseptor delta mengatur rangsang mekanik dan nyeri
inflamasi. Peptida opioid endogenus melekat pada reseptor opioid untuk mengatur
informasi rangsangan dan kontrol sensitivitas nyeri.31,32
Klasifikasi Opioid
Opioid dapat diklasifikasikan menjadi:31,32
1. Opioid Agonis
Agonis opioid merupakan jenis opioid yang berikatan paling banyak dengan
reseptor mu dan dapat dibagi menjadi 3 kelas yang berbeda yaitu :
a. Phenanthrene opioid agonist (contoh: morfin, hydromorphone, kodein,
oksikodon, oksimorfon, dan hidrokodon)
b. Phenylpiperidine opioid agonist (contoh: meperidin, fentanil, sufentanil,
alfentanil, dan remifentanil)
c. Diphenylhepatane opioid agonist (contoh: metadon, propoksipen).
Aktivasi reseptor mu menimbulkan efek yang diharapkan seperti analgesia
namun juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan seperti konstipasi.
2. Opioid Agonis-Antagonis
Berikatan dengan satu reseptor opioid, mengaktifkan aktifitas agonis lalu
berikatan dengan reseptor opioid yang lain. Contoh obatnya antara lain
butorphanol, nalbuphine dan pentazocine. Obat ini agonis terhadap reseptor
kappa dan antagonis terhadap reseptor mu. Bila diberikan pada pasien dengan
riwayat penggunaan opiat yang kronis dan ketergantungan opiat, obat
analgesik opioid agonis-antagonis ini dapat menyebabkan gejala withdrawal
opioid.31,32
3. Opioid Parsial Agonis

45

Berikatan dengan reseptor opioid dan menghasilkan sebagian dari respon


penuh agonis. Contoh obatnya adalah buprenorphine yang berefek parsial
agonis pada reseptor mu. Buprenorphine dapat menambah keinginan untuk
kembali menggunakan opioid pada pasien dengan riwayat ketergantungan.
Penggunaan agen parsial agonis dapat memberikan analgesia dengan efek
tertinggi. Pemberian opioid agonis setelah penggunaan parsial agonis dapat
menyebabkan efek parsial antagonism.31,32
4. Opioid Antagonis
Berikatan

dengan

reseptor

opioid

namun

tidak

menghasilkan

atau

menghasilkan aktivitas antagonis yang lemah dimana dapat membalikkan atau


menghambat efek agonis opioid dengan menghambat akses reseptor. Contoh
obatnya antara lain nalokson, naltrekson dan nalmefen. Nalokson dan
nalmefen digunakan untuk membalikkan efek sedasi dan depresi pernafasan
karena opioid. Naltrekson digunakan untuk pengobatan ketergantungan opiate
dan alkohol.31,32
Farmakokinetik Opioid
Farmakokinetik opioid terdiri dari absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi.28,31,32,33
1. Absorpsi
Kebanyakan opioid terabsorpsi dengan baik melalui subkutan, intramuskular,
intravena, dan oral. Oleh karena first pass effect, dosis opioid oral, misalnya
morfin, haruslah lebih tinggi daripada dosis parenteral untuk mencapai efek
terapeutik. Efek analgesik poten juga dapat dicapai melalui pemberian melalui
oral mukosa atau transdermal.
2. Distribusi
Semua opioid berikatan dengan protein plasma dan secara cepat meninggalkan
kompartemen darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi pada
jaringan dengan perfusi tinggi, seperti otak, paru-paru, hati, ginjal, dan limpa.
Konsentrasi obat di dalam tulang jauh lebih kecil. Walaupun konsentrasi obat
pada jaringan lemak lebih sedikit daripada jaringan dengan perfusi tinggi, ini
merupakan hal penting dalam hal akumulasi obat setelah pemberian ulangan

46

dosis tinggi atau drip infus kontinyu dari opioid lipofilik yang dimetabolisme
lambat, seperti fentanyl.
3. Metabolisme
Opioid dirubah menjadi metabolit glucoronides kemudian diekskresi oleh
ginjal. Contohnya morfin, yang mengandung gugus hidroksil bebas, pertamatama dikonjugasi terlebih dahulu menjadi morfin-3-glucoronide dengan efek
neuroeksitatori. Efek ini tidak dimediasi oleh reseptor , namun oleh Gammaamino butyric acid (GABA). 10% morfin dimetabolisme menjadi morfin-6glucoronide dengan potensi analgesik. Metabolit ini mempunyai afinitas
menembus sawar darah otak, sehingga memberi kontribusi terhadap efek
sistem saraf pusat. Bahkan akumulasi metabolit ini dapat memberikan efek
samping pada penderita dengan gangguan ginjal atau penderita dengan
pemberian opioid dosis besar dan jangka panjang. Eksitasi saraf pada
metabolit morfin-3-glucoronide dapat menyebabkan kejang. Metabolisme
oksidatif hepatik merupakan rute primer degradasi opioid golongan
fenilpiperidin (meperidin, fentanyl, dan sufentanil). Fentanyl dimetabolisme di
hepar oleh P450 isozim CYP3A4. Isozim ini juga terdapat pada mukosa usus
halus dan berperan di dalam metabolisme fentanil dengan rute oral. Opioid
kodein, oksikodon, dan hidrokodon juga mengalami metabolisme di hati
namun melalui P450 isozim CYP2D6, dimana dihasilkan suatu metabolit
dengan potensi yang lebih besar.28,33
4. Ekskresi
Metabolit opioid berupa konjugat glucoronide utamanya dieksresi melalui
urin. Sejumlah kecil obat yang belum dimetabolisme dapat pula ditemukan di
urin. Konjugat glucoronide juga ditemukan di empedu, dimana sirkulasi
enterohepatik mempunyai porsi yang kecil untuk proses ekskresinya.
Farmakodinamik Opioid
Mekanisme Kerja
Opioid agonis menghasilkan efek analgesia setelah berikatan dengan reseptor
jenis specific G-protein coupled receptors yang terdapat pada otak dan regio
medula spinalis yang berperan di dalam transmisi dan modulasi nyeri. Tiga
reseptor utama opioid antara lain, , , dan telah diidentifikasi keberadaannya di
47

berbagai tempat di susunan saraf pusat. Pada level molekuler, reseptor opioid
tersebut berpasangan dengan G-protein dan melalui interaksi ini akan memberi
pengaruh pada saluran ion. Opioid akan menutup voltage-gate calcium channel
pada neuron presinaptik terminal, sehingga menurunkan jumlah pengeluaran
neurotransmitter glutamate, serotonin, dan subtansi P. Kemudian opioid
menghiperpolarisasikan dan menghambat neuron post-sinaptik dengan membuka
kalium channel.28,31,32,33
Efek opioid yang berupa euphoria dan depresi nafas cenderung merupakan hasil
dari afinitas terhadap reseptor . Usaha untuk menimbulkan efek analgesik opioid
dengan menurunkan efek depresi susunan saraf pusat dan ketergantungan
diarahkan kepada agen yang cenderung berikatan dengan reseptor .31
Tiga reseptor opioid utama tersebut mempunyai konsentrasi tinggi pada kornu
dorsalis medula spinalis (Gambar 12). Secara umum, reseptor opioid terdapat
pada medula spinalis tempat transmisi neuron dan pada neuron aferen. Opioid
agonis

menghambat

pengeluaran

eksitatori

neurotransmitter

dari aferen

primernya, dan secara langsung menghambat transmisi nyeri pada kornu dorsalis.
Opioid menunjukkan efek analgesik yang kuat pada medula spinalis secara
langsung. Kerja opioid pada spinal secara klinis dilakukan dengan cara pemberian
langsung melalui medula spinalis dengan anestesi regional. Cara ini diharapkan
dapat lebih mengurangi efek depresi nafas, mual-muntah, dan sedasi, yang
ditimbulkan oleh kerja opioid supraspinal pada pemberian secara sistemik.
Pemberian opioid secara sistemik akan bekerja secara simultan pada berbagai
tempat. Tidak hanya pada jalur ascending transmisi nyeri, namun juga pada jalur
descending/modulatory. Interaksi antara peptide analgesik endogen dan opioid
eksogen dapat mengaktifkan beberapa reseptor sekaligus sehingga mekanisme
blok nyeri dapat dicapai melalui sejumlah sinaps, transmitter, dan tipe reseptor.32

48

Gambar 12. Lokasi Kerja Opioid pada Neuron Kornu Dorsalis Medula Spinalis.28
Suatu nyeri dengan inflamasi bereaksi sensitif terhadap aksi opioid di perifer.
Adanya reseptor pada terminal perifer neuron sensori menunjukkan adanya
aktivitas opioid di perifer. Pemberian opioid ulangan dengan dosis terapeutik
dengan intensitas cukup tinggi akan mengurangi keefektifannya secara gradual.
Suatu ketergantungan fisik atau yang sering disebut withdrawal atau abstinence
syndrome terjadi ketika pemberian opioid dihentikan atau diganti dengan
antagonisnya. Aktivasi persisten dari reseptor merupakan penyebab dari
keadaan tersebut. Pemberian persisten dari opioid juga dapat meningkatkan
sensasi nyeri (hiperalgesia). Spinal dinorfin dianggap agen opioid yang dapat
memicu keadaan ini.31,32
Pada Gambar 12 tampak bahwa opioid yang bekerja pada reseptor , , dan
agonis akan menurunkan jumlah pengeluaran neurotransmiter glutamate dan
neuropeptide eksitatori dari terminal presinaptik neuron nosiseptif aferen. Opioid
agonis akan menghiperpolarisasikan transmisi neuron orde kedua dengan
meningkatkan konduktans kalium, sehingga menghasilkan suatu potensial inhibisi
postsinaptik. Alfa 2 agonis bekerja pada adrenoresptor terminal presinaptik pada
neuron aferen primer dengan memblok calcium channel.33
49

Indikasi Penggunaan Opioid


Secara

umum,

opioid

mempunyai

cukup

banyak

indikasi

dalam

hal

penggunaannya sebagai agen analgesia-anestesia. Indikasi penggunaannya dapat


sebagai:
1. Premedikasi,

contohnya

adalah

petidin

yang

diberikan

secara

intramuskular dengan dosis 1 mg/kg BB atau intravena 0,5 mg/kg BB,


sedangkan dosis morfin sepersepuluhnya dari petidin dan fentanyl
seperseratusnya dari petidin.
2. Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut/kronis, diberikan secara
sistemik atau regional intratekal/epidural.
3. Suplemen anestesia dan analgesia.
4. Analgetik pada tindakan endoskopi atau penunjang diagnostik lainnya.
5. Suplemen sedasi dan analgetik pada Unit Perawatan Intensif.
Cara Pemberian6
1. Pemberian oral jarang dilakukan pasca bedah karena umumnya pasien
dipuasakan. Stasis lambung yang sering meneyrtai pembedahan akan
mengganggu absorpsi sehingga kemampuan menghilangkan nyeri
berkurang.
2. Pemberian rectal mungkin sedikit menguntungkan karena ekstraksi
melalui hepar yang minimal dan tidak tergantung pada pengosongan
lambung serta tidak dipengaruhi oleh mual dan muntah. Kelemahan cara
ini, termasuk resistensi, mulai kerja lambat dan absorpsi yang bervariasi.
3. Opioid sublingual tidak melewati first-pass metabolism melalui hepar
speerti yang terlihat pada pemberian secara oral. Boprenorfen telah banyak
dipakai pada cara ini karena sangat lipofilik, tidak merangsang mukosa
dan rasanya masih enak.
4. Narkotik intranasal cepat diabsorpsi karena mukosa hidung banyak
mengandung pembuluh darah. Opioid yang dapat dipergunakan dengan
cara ini antara lain butiorfanal dan sufentanil.
5. Opioid transdermal dapat memasuki sirkulasi sistemik melalui kulit yang
utuh (intact). Cara ini cocok untuk obat yang lepas lambat (sustained

50

release). Analgesia pasca bedah dapat diberikan dengan fentanil


transdermal, jika tempelan (patch) diletakkan 3 jam sebelumnya.
6. Opioid yang diberikan melalui suntikan intramuscular untuk analgesia
pasca bedah sering kurang efektif. Setelah pasien di rawat di ruang
perawatan, terjadi depresi sekunder karena tercapai kadar serum toksik
setelah absorpsi.
7. Pemberian opioid melalui suntikan subkutan menunjukkan absorpsi yang
paling lambat. Hal ini mengakibatkan analgesia yang tidak adekuat pasca
bedah dan kemudian mungkin potensial dapat terjadi penggunaan dosis
yang berlebihan.
8. Pemberian opioid intravena menghasilkan onset kerja cepat dan efek yang
dapat diramalkan. Metode pemberian intravena mempunyai 2 prinsip
utama yakni bolus dan infuse kontinyu.
i. Bolus
Opioid agonis dosis kecil (e.g., morfin 0,05-0,1 mg/kg) diberikan
intravena setiap 10-15 menit secara titrasi sampai terdapat efek
analgesia
ii. Infus kontinyu
Pemberian dimulai dengan dosis loading dan kemudian diberikan
petidin 50-100 mg diberikan selama 30-60 menit; morfin 5-15 mg;
fentanil 150 mg. Infus maintenance (pemeliharaan) petidin 15-50 mg;
morfin 1-5 mg per jam; dan fentanil 30-120 mg/jam. Kecepatan infuse
pemeliharaan perlu disesuaikan untuk menghasilkan analgesia adekuat
dengan efek samping minimal.
Opioid Intratekal dan Epidural6
Opioid intratekal (IT) dan epidural (ED) cukup efektif dan relative aman jika
diberikan dengan hati-hati dan tepat untuk control nyeri pasca pembedahan. Tidak
ada blokade sistem saraf simpatis , sensorik, atau motorik, dan risiko hipotensi
sangat minimal. Dosis jauh lebih kecil disbanding pemberian parenteral. Pada
pemberian epidural, opioid berdifusi melalui dura dan masuk ke dalam cairan
serebrospinal.

51

1. Opioid intratekal diberikan dosis tunggal sendiri (morfin 0,1-0,2 mg) atau
dikombinasi dengan anestetik lokal. Morfin IT dapat memberikan analgesia
yang baik setelah 15-45 menit dengan durasi kerja sampai 24 jam. Komplikasi
opioid IT dapat terdiri dari retensi urine, pruritus, mual dan muntah, serta
depresi nafas. Insiden depresi nafas berkisar antara 0,4-7% dan umumnya
terjadi 6 jam setelah obat yang masuk ke cairan serebrospinal menyebar ke
pusat pernafasan dengan lambat. Nalokson 0,1-0,4 mg intravena akan dapat
menawarkan hamper semua komplikasi opioid.
2. Opioid epidural pada mulanya akan memasuki radiks saraf di ruang epidural,
kemudian melalui duramater masuk ke cairan serebrospinal dan menembus
medulla spinalis untuk mencapai reseptor opioid. Efek opioid ED ini
bergantung pada kelarutan lemak (lipid solubility), berat molekul, kadar
plasma selanjutnya, dan volume suntikan. Narkotika yang sedikit larut lemak
mempunyai onset kerja yang lambat, penyebaran dermatome yang lebih
banyak, dan efek analgesia yang lebih lama daripada narkotik yang mudah
larut dalam lemak. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian
opioid epidural, antara lain:
a. Obat pilihan. Morfin sangat bermanfaat untuk mengatasi nyeri pasca
bedah yang luas seperti torakotomi dan laparotomi. Morfin dapat
menyebar

ekstensif

dalam

cairan

serebrospinal

karena

karakter

hidrofiliknya. Obat yang hidrofilik menyebar terbatas dan lebih


bermanfaat untuk kontrol segmental saja.
b. Metode pemberian. Bolus atau infuse kontinyu dapat dipergunakan untuk
pemberian opioid ED (Tabel 9)
c. Penting untuk diperhatikan agar selalu melakukan titrasi untuk kedua dosis
inisial dan volume infuse.
Efek samping Penggunaan Opioid6
Efek samping penggunaan opioid terdiri dari pruritus, mual muntah, retensi urine,
dan depresi nafas. Insiden efek samping bervariasi antara 10-30%, kecuali depresi
nafas yang mendekati 0,1-0,2% saja. Permulaan terjadinya depresi nafas
tergantung opioid yang dipergunakan. Nalokson infuse 5-10 mcg/kg/jam akan
menghilangkan depresi nafas dan juga mungkin berguna untuk mual muntah dan
52

pruritus. Mual muntah dapat diatasi dengan pemberian droperidol 0,6-1,25 mg


intravena setiap 3-4 jam. Pada pasien dengan gangguan koagulasi atau mendapat
terapi antikoagulan, pemasangan kateter ED atau IT dapat meningkatkan risiko
terjadinya hematoma epidural atau subaraknoid dan dapat berakibat pada sekuele
neurologik permanen.
Tabel 9. Infus Opioid Epidural6
Dosis bolus (mg)
Onset kerja (menit)
Lama kerja (menit)
Infus (mg/jam)

Hidromorfin
0,5-1,0
10,0-30,0
6,0-12,0
0,1-0,3

Morfin
2,0-3,0
30,0-60,0
6,0-24,0
0,1-0,5

Fentanil
0,05-0,1
4,0-10,0
2,0-4,0
0,03-0,1

Petidin
15,0-30,0
10,0-30,0
4,0-8,0
10,0-20,0

2.10.2 Non-Farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk membantu
penanganan nyeri akut, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang
dapat mengurangi spasme otot, terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif,
terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, Spinal
Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation).

BAB III
PENUTUP

Nyeri merupakan pengalaman subyektif, personal yang melibatkan faktor-faktor

53

sensoris, emosional dan perilaku yang berhubungan dengan kerusakan jaringan


atau berpotensi merusak jaringan. Nyeri dapat terjadi secara akut maupun
kronik. Persepsi nyeri merefleksikan aktivasi dari nosiseptor (baik oleh
karena stimulus noksius langsung atau oleh karena mediator-mediator yang
dilepaskan dari jaringan yang rusak), transmisi aferen ke medulla spinalis, dan
melalui kornu dorsalis menuju ke pusat yang lebih tinggi. Nyeri akut disebabkan
oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi
otot atau viseral yang terganggu.
Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Untuk
mengetahui besarnya nilai nyeri yang dialami seseorang dapat digunakan
beberapa macam metode, yaitu dengan sekala verbal, ekspresi muka, skala
angka, verbal analog scale dan McGill Pain Questionnaire. Nyeri yang berat
dan tidak ditangani akan menginduksi plastisitas sistem saraf pusat. Apabila
terjadi sensitisasi sistem saraf, suatu. stimulus lemah yang normal tidak
menimbulkan nyeri tapi kini terasa nyeri disebut alodinia, sedang stimulus kuat
yang cukup untuk menimbulkan nyeri akan terasa amat nyeri disebut
hiperalgesia.
Terapi yang terbaik yang diberikan bagi pasien yang menderita nyeri adalah yang
sesuai dengan penyebab nyeri dan terapi yang mampu menghilangkan rasa nyeri
sehingga memberikan kepuasan bagi pasien. Pemberian obat anti inflamasi
nonsteroid merupakan penggunaan rasional untuk menekan terjadinya sensitisasi
perifer dan pemberian opiat atau anestetik regional dapat mencegah atau menekan
terjadinya sensitisai sentral. Tujuan semua terapi ini adalah tercapainya
kenyamanan pasien, cepatnya masa pemulihan sehingga dapat menjalani aktifitas
normal, masa rawat di rumah sakit yang lebih singkat dan berkurangnya biaya
yang dikeluarkan oleh pasien.

54

Anda mungkin juga menyukai