Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid
fever.Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.
Selain itu demam tifoid juga dapat diartikan sebagai suatu penyakit infeksi
sistemik bersifat akut yang di sebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini di
tandai oleh panas berkepanjangan, di topang dengan bakteremia tanpa keterlibatan
struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke
dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyers
patch.

II.

Epidemiologi
Demam typhoid masih merupakan masalah kesehatan sedang bergembang.
Besarnya angka kasus demam typhoid di dunia ini sangat sukar di tentukan
sebabab penyakit ini di kenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat
luas. Di perkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahuan di Amerika Selatan
dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur di Indonesia ( daerah endemis ) di laporkan
antara 3 smpai 19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga
di laporkan dari Amerika Selatan.

III.

Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau
pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut

IV.

aglutinin.
Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah

bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di


dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diskresikan secara interminten ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif, maka saat fagositosis kuman
salmonela terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
V.

sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.
Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita
terus berada dalam keadaan demam dan kadang-kdang ditemukan bradikardi

relatif (peningkatan suhu tubuh tanpa diikuti peningkatan frekuensi nadi).


Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali
pada akhir minggu ketiga, kecuali bila ada suatu komplikasi demam akan
menetap pada minggu ketiga.
2. Gangguan pada sistem pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai
nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin
pula normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
VI.

Pemeriksaan laboratorium
1. Permeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat juga terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa infeksi sekunder. Selain itu pula
dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung laju endap darah dapat terjadi peningkatan.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tak memerlukan
penanganan khusus.
2. Uji Widal
Tes widal adalah tes serologi anggapan untuk demam atau demam
anteric undulant. Dalam kasus infeksi Salmonella, ini adalah demonstrasi
agglutinating antibody melawan antigen O-somatikdan H-Flageller dalam
darah. Untuk brucellosis, hanya antigen O-somatik yang digunakan.

Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum


penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa.
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
dan antibodi (agglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini
berasal dari suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam
laboratorium. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti dapat
ditentukan. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan orang tersebut terinfeksi kuman
tersebut.
Tekhnik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode
yaitu uji hapusan/ peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test).
Perbedaannya, uji tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena
membutuhkan teknik yang lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya
membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja yang biasanya digunakan
dalam prosedur penapisan. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji
widal peluncuran. Sensitivitas dan spesifitas tes ini amat dipengaruhi oleh
jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji widal yang
menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah
endemis (local) memberikan sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi
daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar
daerah enddemis (import).
3. Uji tubex
Pemeriksaan ini mudah dilakukan dan hanya membutuhkan waktu
singkat untuk dilakukan (kurang lebih 5 menit). Untuk meningkatkan

spesivisitas, pemeriksaan ini menggunakan antigen O9 yang hanya


ditemukan pada Salmonellae serogroup D dan tidak pada mikroorganisme
lain. Antigen yang menyerupai ditemukan pula pada Trichinella spiralis
tetapi antibodi terhadap kedua jenis antigen ini tidak bereaksi silang satu
dengan yang lain. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.
typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan. Antigen ini
dapat merangsang respons imun secara independen terhadap timus, pada
bayi, dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifatsifat ini, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi
terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji Tubex hanya
dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak
dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.
4. Uji Typhidot
Thypidot merupakan suatu uji serologi yang didasarkan pada deteksi
antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap Salmonella Thypi . Dalam tes ini
antibodi IgM dan IgG tidak aktif sebelum tes dimulai. Tes menggunakan
suatu membran nitroselulosa yang diisi 50 KDa spesifik protein dan
antigen kontrol. Deteksi antibodi IgM menunjukkan tahap awal infeksi
pada demam tipoid akut sedangkang

adanya peningkatan IgG

menandakan infeksi yang lebih lanjut. Pada metode Typhidot-M yang


merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

Dari penelitian yang dilakukan tim peneliti india mengkomparasikan


antara tes widal, kultur darah, dan thypidot terhadap 80 kasus dengan
gejala demam enterik. menunjukkan tes widal memiliki sesitifitas sebesar
57% dengan spesifisitas 83%, sedangkan kultur darah didapat sensitifitas
dikisaran 68% dan spesifisitas 100%. Tes Thpydot memiliki sensitifitas
92% dan spesifisitas 87.5%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis
non-tipoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi
oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan
uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan
uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tipoid akut yang cepat dan akurat.
5. Uji IgM Dipstick
Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya
antibodi yang dibentuk karena infeksi S. typhi dalam serum penderita.
Pemeriksaan

IgM

dipstick

dapat

menggunakan

serum

dengan

perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada


suhu kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering.. Hasil dibaca
jika ada warna berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna.
Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ dengan membandingkan dengan
VII.

reference strip.
Komplikasi
1. Komplikasi intestinal
- Pendarahan usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor
yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi

hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat


bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
-

Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita
demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama
di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut.
Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan

sampai syok.
2. Komplikasi ektraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
VIII. Penata laksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaa deman tifoid, yaitu:
1. Istirahat dan perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di
tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi
untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan
tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan

keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan semakin lama.
Di masa lampau penderita demam tifoid akan diberi diet bubur saring,
kemudian ditingkatkan memnjadi bubur kasar dan akhirnya diberi nasi, yang
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut berguna untuk menghindari komplikasi
pendarahan saluran cerna atau komplikasi usus. Hal ini disebabkan ada
pendapat bahwa usus harus diistirahatkan.
3. Pemberian antimikroba
- Kloramfenikol
Di era pre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi
sekitar 15%. Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948,
mengubah perjalanan penyakit, menurunkan angka mortalitas hingga <1%
-

dan durasi demam dari 14-28 hari menjadi 3-5 hari.


Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya

anemia

aplastik

lebih

rendah

dibandingkan

dengan

kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata


-

menurun pada hari ke-6 sampai ke-6.


Ampisilin dan kotrimoksasol
Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi
kloramfenikol. Ampicilin dan Trimetoprim-Sulfametoksazol (TPM-SMZ)

menjadi pengobatan yang utama.


Quinolon
Quinolon memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonellae invitro, dengan
efektif penetrasi terhadap makrofag, mencapai konsentrasi tinggi di usus
dan lumen empedu, dan memiliki potensi yang tinggi diantara antibiotik

lain dalam terapi demam tifoid.


Sefalosporin generasi 3

Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif
bagi demam tifoid adalah seftriakson dosis yang dianjurkan adalah 3-4
gram dalam dekstrosa 100cc. Diberikan 3-5 hari.
- Golongan flurokuinolon
Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiaan
a. Norfloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
b. Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari
c. Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
d. Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
e. Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.
4. Glukokortikosteroid
- Hari ke 1: Kortison 3 X 100 mg im atau Prednison 3 X 10 mg oral
- Hari ke 2: Kortison 2 X 100 mg im atau Prednison 2 X 10 mg oral
- Hari ke 3: Kortison 3 X 50 mg im atau Prednison 3 X 5 mg oral
- Hari ke 4: Kortison 2 X 50 mg im atau Prednison 2 X 5 mg oral
- Hari ke 5: Kortison 1 X 50 mg im atau Prednison 1 X 5 mg oral

Anda mungkin juga menyukai