Anda di halaman 1dari 33

Filsafat Pikiran

Pemetaan otak frenologis.[1] Frenologi adalah salah satu usaha untuk mengaitkan fungsi-fungsi
pikiran dengan bagian-bagian otak, walaupun kini frenologi dianggap tidak akurat.
Filsafat pikiran adalah cabang filsafat analitik modern yang mempelajari sifat dasar pikiran,[a]
peristiwa pikiran, fungsi pikiran, properti pikiran, kesadaran, dan hubungannya dengan tubuh
fisik, terutama otak. Masalah pikiran-tubuh, yaitu hubungan antara pikiran dengan tubuh,
biasanya dipandang sebagai masalah utama dalam filsafat pikiran, meskipun masih ada masalahmasalah lain yang tidak terkait dengan hal tersebut.[2]
Dualisme dan monisme adalah dua mazhab utama yang mencoba menyelesaikan masalah
pikiran-tubuh. Dualisme dapat ditilik kembali ke masa Plato,[3] Aristoteles[4][5][6] dan mazhab
Samkhya dan Yoga dalam filsafat Hindu,[7] namun gagasan tersebut persisnya dirumuskan oleh
Ren Descartes pada abad ke-17.[8] Pendukung dualisme substansi menyatakan bahwa pikiran
adalah substansi yang berdiri sendiri, sementara penganut dualisme properti meyakini bahwa
pikiran adalah kelompok properti independen yang muncul dari dan tidak bisa direduksi ke otak,
namun pikiran bukan merupakan substansi yang berbeda.[9]
Monisme adalah pandangan bahwa pikiran dan tubuh bukan merupakan entitas yang terpisah
secara ontologis. Pandangan ini pertama kali dianjurkan dalam filsafat Barat oleh Parmenides
pada abad ke-5 SM dan selanjutnya dianut oleh tokoh rasionalis Baruch Spinoza pada abad ke17.[10] Fisikalisme menyatakan bahwa hanya entitas yang didalilkan oleh teori fisik yang ada, dan
entitas pikiran akhirnya akan dijelaskan seiring dengan berkembangnya teori fisik. Idealis
meyakini bahwa pikiran adalah semua yang ada dan dunia luar merupakan pikiran itu sendiri,
atau ilusi yang diciptakan oleh pikiran. Pendukung monisme netral bersandar pada pandangan
bahwa ada substansi lain yang netral, dan baik materi maupun pikiran merupakan properti
substansi yang tak dikenal ini. Monisme yang paling umum pada abad ke-20 dan ke-21
merupakan variasi fisikalisme; posisi-posisi tersebut meliputi behaviourisme, teori identitas tipe,
monisme ganjil dan fungsionalisme.[11]

Sebagian besar filsuf pikiran modern menerapkan pandangan fisikalis reduktif atau non-reduktif,
bahwa pikiran bukanlah sesuatu yang terpisah dari tubuh. [11] Pendekatan tersebut telah
memengaruhi ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sosiobiologi, ilmu komputer, psikologi
evolusioner, dan neurosains.[12][13][14][15] Filsuf-filsuf lain meyakini pandangan non-fisikalis yang
mempertanyakan gagasan bahwa pikiran murni merupakan konsepsi fisik. Fisikalis reduktif
menegaskan bahwa semua keadaan dan properti pikiran pada akhirnya akan dijelaskan oleh ilmu
pengetahuan.[16][17][18] Fisikalis non-reduktif bersikukuh bahwa meskipun otak ada untuk pikiran,
predikat dan khazanah yang digunakan dalam penjelasan-penjelasan pikiran sangat diperlukan,
dan tidak dapat disusutkan ke bahasa dan penjelasan ilmu fisik dalam tingkatan yang lebih
rendah.[19][20] Perkembangan ilmu neurosains telah membantu memastikan masalah-masalah
tersebut, namun masalah itu masih jauh dari selesai, dan filsuf-filsuf modern terus bertanya
bagaimana kualitas subjektif dan intensionalitas keadaan dan properti pikiran dapat dijelaskan
secara naturalistik.[21][22]
Masalah pikiran-tubuh
Masalah pikiran-tubuh berhubungan dengan penjelasan hubungan antara pikiran atau proses
pikiran dengan tubuh atau proses tubuh.[2] Tujuan utama filsuf yang berkelut dalam bidang ini
adalah menentukan sifat dasar pikiran dan keadaan/proses pikiran, dan bagaimana atau jika
pikiran dipengaruhi oleh dan dapat memengaruhi tubuh.
Pengalaman persepsi kita bergantung kepada stimuli yang muncul dari dunia luar ke sistem
indera, dan stimuli tersebut mengakibatkan perubahan pada keadaan pikiran kita, bahkan
akhirnya menimbulkan sensasi pada diri kita, yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan.
Contohnya, keinginan untuk memperoleh sebungkus nasi liwet akan mengakibatkan seseorang
menggerakan tubuhnya dengan sikap tertentu dan arah tertentu untuk memperoleh apa yang ia
mau. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pengalaman di alam sadar muncul dari gumpalan
materi abu-abu yang disertai oleh properti-properti elektrokimia?[11]
Masalah lain yang berhubungan adalah bagaimana sikap proposisional (misalnya kepercayaan
dan keinginan) mengakibatkan neuron seseorang mengirimkan pesan (impuls) dan ototnya
berkontraksi. Hal tersebut menjadi teka teki yang menantang epistemolog dan filsuf pikiran dari
masa Ren Descartes.[8]
Penyelesaian dualis untuk masalah pikiran-tubuh

Potret Ren Descartes yang dilukis oleh Frans Hals (1648).


Dualisme adalah pandangan tentang hubungan antara pikiran dan materi (atau tubuh). Pandangan
tersebut dimulai dengan klaim bahwa fenomena pikiran bersifat non-fisik. [9] Perumusan dualisme
pikiran-tubuh dapat ditilik kembali ke masa mazhab Samkhya dan Yoga pada filsafat Hindu (c.
650 SM). Menurut mazhab tersebut, dunia terbagi menjadi purusha (pikiran/jiwa) dan prakriti
(substansi materi).[7] Secara khusus, Sutra Yoga dari Patanjali menggunakan pendekatan analitik
terhadap pikiran.
Dalam filsafat Barat, perbincangan pertama mengenai gagasan dualis dapat ditemui dalam
tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles. Masing-masing meyakini, dengan alasan yang berbeda,
bahwa "kecerdasan" manusia (kemampuan pikiran atau jiwa) tidak dapat dikenali dengan, atau
dijelaskan dalam ranah tubuh fisik mereka.[3][4] Versi dualisme yang paling dikenal digagas oleh
Ren Descartes (1641). Ia meyakini bahwa pikiran adalah substansi non-fisik, sebuah "res
cogitans".[8] Descartes adalah orang pertama yang dengan jelas mengidentifikasi pikiran dengan
kesadaran, dan mampu memisahkannya dari otak, yang merupakan tempat bermukimnya
kecerdasan. Maka ia adalah orang pertama yang merumuskan masalah pikiran-tubuh dalam
bentuk yang masih ada hingga kini.[8]
Argumen untuk dualisme
Argumen yang paling sering digunakan untuk mendukung dualisme adalah bahwa pandangan
tersebut sesuai dengan intuisi berakal sehat bahwasanya pengalaman di alam sadar berbeda
dengan materi tidak bernyawa. Apabila ditanya apa itu pikiran, orang awam akan menjawab
bahwa pikiran itu adalah diri mereka, kepribadian mereka, jiwa mereka, atau entitas lainnya yang
sejenis. Mereka akan menentang bahwa pikiran itu otak, atau sebaliknya, sehingga gagasan
bahwa hanya ada satu entitas ontologis itu terlalu mekanistik, atau tidak dapat dipahami.[9]
Banyak filsuf-filsuf pikiran modern meyakini bahwa intuisi-intuisi tersebut menyesatkan dan kita
harus menggunakan kemampuan kritis kita, ditambah dengan bukti empiris dari ilmu
pengetahuan, untuk memeriksa asumsi-asumsi tersebut agar kita dapat menentukan apakah pada
gagasan-gagasan tersebut mempunyai dasar yang kuat.[9]

Argumen penting lain adalah bahwa pikiran dan fisik tampaknya cukup berbeda, dan mungkin
merupakan properti yang tidak dapat direkonsiliasi.[23] Peristiwa pikiran mempunyai sifat
subjektif, sementara sifat fisik tidak. Contohnya, seseorang dapat bertanya bagaimana rasanya
jari terbakar, atau seperti apa langit biru itu, atau seperti apa lagu yang bagus bagi seseorang.
Sebaliknya, sangatlah tidak berarti, atau paling tidak aneh, untuk mempertanyakan bagaimana
rasanya menerima asam glutamat pada bagian dorsolateral hipokampus.
Berdasarkan argumen dari alasan, apabila (seperti yang disiratkan monisme) semua pemikiran
kita adalah akibat dari sebab fisik, maka kita tidak bisa mengasumsikan bahwa pemikiran kita
juga merupakan akibat dari alasan yang masuk akal. Pengetahuan, bagaimanapun, dipahami
melalui penalaran dari alasan ke akibat. Maka, apabila monisme benar, tidak ada jalan untuk
mengetahui hal tersebut - atau hal lain yang bukan merupakan akibat langsung dari sebab fisik dan kita bahkan tidak bisa memisalkannya.
Filsuf-filsuf pikiran menyebut aspek-aspek subjektif peristiwa pikiran sebagai 'qualia' atau
'perasaan mentah'.[23] Ada sesuatu pada hal seperti merasakan sakit, melihat warna biru yang
lazim, dan sebagainya. Qualia terlibat dalam peristiwa-peristiwa pikiran ini, sehingga sulit untuk
menyusutkannya ke dalam apapun yang bersifat fisik.[24]

Daniel Dennett merupakan salah seorang filsuf yang tidak setuju dengan argumen zombie.
Apabila keberadaan kesadaran (pikiran) terpisah dari realitas fisik (otak), kaitan kesadaran
dengan ingatan fisik harus dijelaskan. Dualisme harus menjelaskan bagaimana kesadaran
memengaruhi realitas fisik. Arnold Geulincx dan Nicolas Malebranche menjelaskan bahwa itu
semua berasal dari keajaiban, bahwa hubungan antara pikiran dengan tubuh membutuhkan
campur tangan langsung dari Tuhan. Penjelasan lain yang mungkin telah diusulkan oleh C. S.
Lewis. Pandangan yang mirip dianut oleh Albert Einstein, yang meyakini pengolahan kesan yang
ditangkap indera oleh pikiran sebagai suatu keajaiban.[25] Meskipun pada masa ia menulis
karyanya yang bertajuk "Miracle"[26] mekanika kuantum (dan indeterminisme fisik) belum
banyak diterima, Lewis menyatakan kemungkinan logis bahwa jika dunia fisik terbukti
indeterministik, maka ada kemungkinan bahwa peristiwa yang mungkin/tidak mungkin terjadi

secara fisik yang telah dideskripsikan secara ilmiah dapat dideskripsikan secara filosofis sebagai
tindakan entitas non-fisik terhadap realitas fisik.
Argumen zombi didasarkan pada percobaan pikiran yang diusulkan oleh Todd Moody, dan
dikembangkan oleh David Chalmers dalam bukunya The Conscious Mind. Gagasan dasarnya
adalah bahwa seseorang dapat membayangkan tubuhnya, dan lalu sebagai akibatnya dapat
memikirkan keberadaan tubuhnya tanpa ada hubungannya dengan kesadaran. Chalmers
berargumen bahwa yang-ada semacam itu sangat mungkin ada karena yang dibutuhkan adalah
semua dan hanya deskripsi-deskripsi sains fisik yang benar mengenai sebuah zombi. Peralihan
dari kemungkinan dibayangkan menjadi kemungkinan keberadaan itu tidak besar karena konsepkonsep dalam sains fisik tidak mengacu pada kesadaran atau keadaan pikiran lainnya, dan secara
definitif entitas fisik manapun dapat dideskripsikan secara ilmiah melalui fisika. [27] Filsuf lain
seperti Daniel Dennett menentang gagasan ini dan menyebutnya tidak koheren [28] atau tidak
mungkin.[29] Dalam fisikalisme, seseorang harus meyakini antara bahwa ia dan orang lainnya
mungkin adalah zombi, atau bahwa tidak ada orang yang bisa menjadi zombi; karena keyakinan
seseorang dalam menjadi (atau tidak menjadi) zombi merupakan produk dunia fisik dan maka
tidak berbeda dengan yang lain. Argumen ini telah diungkapkan oleh Dennett yang menyatakan
bahwa "Zombi berpikir bahwa mereka sadar, berpikir bahwa mereka punya qualia, berpikir
bahwa mereka menderita karena rasa sakit; mereka hanya 'salah' (berdasarkan tradisi yang patut
disayangkan ini) dengan cara yang tidak dapat ditemukan oleh mereka maupun kita!" [28]
Dualisme interaksionis

Ilustrasi Ren Descartes tentang dualisme. Input masuk melalui organ sensoris ke otak untuk
kemudian dilanjutkan ke bagian non-materi.
Dualisme interaksionis atau interaksionisme adalah bentuk dualisme yang pertama kali didukung
oleh Descartes dalam tulisannya yang berjudul Meditations.[8] Pada abad ke-20, pendukung
utamanya adalah Karl Popper dan John Carew Eccles.[30] Dualisme interaksionis adalah
pandangan bahwa keadaan pikiran, seperti keyakinan dan hasrat, berinteraksi dengan keadaan
fisik.[9]

Argumen Descartes yang terkenal dapat dirangkum sebagai berikut: Inem punya gagasan yang
"jelas dan berbeda" bahwa pikiran merupakan suatu benda pikiran yang tidak punya ruang
(contohnya tak dapat diukur panjang, massa dan tingginya). Ia juga punya gagasan yang "jelas
dan berbeda" bahwa tubuh itu punya ruang, bisa dikuantifikasi, dan tidak dapat berpikir. Maka
pikiran dan tubuh tidak sama karena properti-propertinya sangat berbeda.[8]
Namun, pada saat yang sama, jelas bahwa keadaan pikiran Inem (hasrat, keyakinan, dll)
memengaruhi tubuhnya dan sebaliknya: Inem menyentuh kompor panas (peristiwa fisik) yang
mengakibatkan rasa sakit (peristiwa pikiran) dan membuatnya berteriak (peristiwa fisik), yang
lalu memunculkan rasa takut dan hati-hati (peristiwa pikiran), dan lain-lain.
Argumen Descartes sangat bergantung kepada premis bahwa apa yang diyakini Inem sebagai
gagasan yang "jelas dan berbeda" di pikirannya itu benar. Banyak filsuf kontemporer yang
meragukannya.[31][32][33] Contohnya, Joseph Agassi menyatakan bahwa semenjak abad ke-20,
penemuan-penemuan ilmiah telah mengacaukan gagasan mengenai akses istimewa terhadap
gagasan seseorang. Freud telah menunjukkan bahwa pengamat yang dilatih secara psikologis
dapat lebih memahami motivasi bawah sadar seseorang daripada orang itu sendiri. Duhem telah
membuktikan bahwa filsuf sains dapat lebih mengetahui metode penemuan seseorang daripada
orang itu sendiri, sementara Malinowski telah menunjukkan bahwa seorang antropolog dapat
lebih mengetahui adat dan perilaku seseorang daripada orang yang memraktikkan adat dan
perilakunya. Agassi juga menekankan bahwa percobaan psikologis modern yang mengakibatkan
orang-orang melihat hal yang tidak ada merupakan dasar untuk menolak argumen Descartes
karena ilmuwan dapat lebih mendeskripsikan persepsi seseorang daripada orang itu sendiri. [34][35]
Akan tetapi, kritik ini punya titik lemah karena meremehkan kemampuan introspeksi manusia.
Memang benar bahwa orang melakukan kesalahan di dunia, namun mereka tidak selalu
melakukan kesalahan. Maka, mengasumsikan bahwa seseorang selalu salah mengenai keadaan
dan sifat pikirannya sendiri merupakan sesuatu yang menggelikan.
Ragam dualisme lainnya

Empat macam dualisme. Panah menunjukkan arah interaksi sebab-musabab. Okasionalisme


tidak digambarkan.
1. Paralelisme psikofisik atau paralelisme adalah pandangan bahwa pikiran dan tubuh tidak
memengaruhi satu sama lain meski mempunyai status ontologis yang berbeda. Propertiproperti tersebut malah berjalan dalam jalur paralel (peristiwa pikiran berinteraksi dengan
peristiwa pikiran dan peristiwa otak berinteraksi dengan peristiwa otak) dan interaksi

yang tampak antara pikiran dan tubuh itu hanya ilusi. [36] Pandangan ini didukung oleh
Gottfried Leibniz. Meski Leibniz adalah seorang monis ontologis yang meyakini bahwa
hanya ada satu jenis substansi saja (monad) di alam semesta, dan bahwa semuanya dapat
disusutkan ke monad, ia menyatakan bahwa ada pemisahan antara "pikiran" dan "fisik"
dalam ranah sebab-musabab. Menurutnya, Tuhan telah mengatur hal-hal sedemikian rupa
sehingga pikiran dan tubuh akan saling seirama. Pendapat ini dikenal sebagai doktrin
harmoni yang telah ditetapkan sebelumnya (harmonie prtablie).[37]
2. Okasionalisme adalah pandangan yang dikemukakan oleh Nicholas Malebranche.
Menurutnya, semua hubungan sebab-musabab antara peristiwa-peristiwa fisik, atau
antara peristiwa fisik dengan pikiran, tidak sungguh merupakan sebab-musabab. Meski
tubuh dan pikiran merupakan substansi yang berbeda, sebab (Baik fisik maupun pikiran)
berkaitan dengan akibat karena intervensi Tuhan di setiap peristiwa.[38]
3. Dualisme properti adalah pandangan yang menyatakan bahwa dunia ini hanya terdiri dari
satu substansi saja - yang fisik - dan ada dua macam properti yang berbeda: properti fisik
dan pikiran. Dalam kata lain, berdasarkan pandangan ini, properti pikiran yang non-fisik
(seperti kepercayaan, hasrat dan emosi) menjadi bagian dari substansi fisik tertentu
(misalnya otak).
1. Emergentisme kuat menekankan bahwa saat materi diatur dengan cara yang tepat
(contohnya pengaturan tubuh manusia), properti pikiran akan muncul. Maka,
pandangan ini merupakan salah satu bentuk materialisme emergen.[9] Propertiproperti emergen tersebut akan punya status ontologis yang independen dan tak
dapat disusutkan ke, atau dijelaskan dalam ranah substrat fisik tempat mereka
muncul.
2. Epifenomenalisme adalah doktrin yang dirumuskan oleh Thomas Henry Huxley.
[39]
Menurutnya, fenomena pikiran itu tak berguna secara kausal; satu atau banyak
keadaan pikiran tidak memengaruhi keadaan fisik sama sekali. Peristiwa fisik
dapat mengakibatkan peristiwa fisik lain dan peristiwa fisik dapat mengakibatkan
peristiwa pikiran, namun peristiwa pikiran tak dapat mengakibatkan apa-apa
karena mereka hanya epifenomena dunia fisik.[36] Pandangan ini didukung oleh
Frank Jackson.[40]
3. Fisikalisme non-reduktif adalah pandangan yang meyakini bahwa properti pikiran
membentuk kelas ontologis yang terpisah dari properti fisik: keadaan pikiran
(seperti qualia) tidak dapat disusutkan ke keadaan fisik. Posisi ontologis terhadap
qualia dalam kasus fisikalisme non-reduktif tidak menunjukkan bahwa qualia itu
tidak berguna secara kausal; inilah yang membedakannya dari epifenomenalisme.
4. Panpsikisme adalah posisi yang meyakini bahwa semua materi punya aspek
pikiran, atau (alternatifnya) semua objek punya pusat pengalaman atau sudut
pandang yang bersatu. Secara dangkal, pandangan ini seolah merupakan salah
satu bentuk dualisme properti karena pandangan ini menganggap semuanya punya
properti pikiran dan fisik. Akan tetapi, beberapa pendukung panpsikisme

menyatakan bahwa perilaku mekanis itu berasal dari mentalitas atom dan molekul
primitif - begitu pula mentalitas mutakhir dan perilaku organik, dan perbedaannya
dikaitkan dengan keberadaan atau ketidakberadaan struktur kompleks dalam
objek campuran. Selama reduksi properti non-pikiran menjadi pikiran
berlangsung, panpsikisme bukanlah bentuk dualisme properti (kuat); jika tidak,
panpsikisme merupakan bentuk dualisme properti.
Penyelesaian monis untuk masalah pikiran-tubuh
Monisme berlawanan dengan dualisme karena tidak mendukung pemisahan manapun. Sifat
realitas yang tidak terpisah telah menjadi perhatian filsuf-filsuf timur selama dua milenium. Di
India dan Cina, monisme melengkapi pemahaman mengenai pengalaman. Saat ini, bentuk
monisme yang paling umum dalam filsafat Barat adalah fisikalis.[11] Monisme fisikalistik
menekankan bahwa hanya substansi yang ada yang fisik dan hal tersebut dapat dipastikan oleh
sains terbaik kita.[41] Namun, perumusan lain juga mungkin. Idealisme merupakan gagasan yang
menyatakan bahwa satu-satunya substansi yang ada adalah pikiran. Meskin idealisme murni
seperti yang dikemukakan oleh George Berkeley itu tidak umum dalam filsafat Barat, varian
yang disebut panpsikisme, yang mengungkapkan bahwa pengalaman dan properti pikiran dapat
menjadi fondasi pengalaman dan properti fisik, telah diutarakan oleh beberapa filsuf seperti
Alfred North Whitehead dan David Ray Griffin.[42]
Fenomenalisme adalah teori yang mengungkapkan bahwa representasi objek eksternal adalah
satu-satunya yang ada. Pandangan semacam ini sempat dianut oleh Bertrand Russell dan banyak
positivis logis lainnya selama awal abad ke-20.[43] Kemungkinan ketiga adalah menerima
keberadaan substansi dasar yang bukan fisik maupun pikiran. Pikiran dan fisik lalu akan menjadi
properti substansi netral ini. Pandangan yang dikenal dengan nama monisme netral ini
dikemukakan oleh Baruch Spinoza[10] dan dipopulerkan oleh Ernst Mach[44] pada abad ke-19.
Monisme fisikalistik
Behaviorisme
Behaviorisme mendominasi filsafat pikiran selama abad ke-20, terutama pada separuh awal. [11]
Dalam psikologi, behaviorisme berkembang sebagai reaksi terhadap ketidakmampuan
introspeksionisme.[41] Laporan introspektif terhadap kehidupan pikiran dalam seseorang bukanlah
subjek penyelidikan keakuratan dan tak dapat digunakan untuk membentuk generalisasi
prediktif. Tanpa generalisabilitas dan kemungkinan penyelidikan orang ketiga, para behavioris
berargumen bahwa psikologi itu tidak ilmiah.[41] Maka, satu-satunya jalan keluar adalah
menghapuskan gagasan kehidupan pikiran dalam (dan maka pikiran independen ontologis) dan
memusatkan perhatian pada deskripsi perilaku yang dapat diamati.[45]
Sejalan dengan perkembangan tersebut, behaviorisme filosofis (kadang-kadang disebut
behaviorisme logis) pun dikembangkan.[41] Pandangan tersebut berciri verifikasionisme kuat,
yang biasanya menganggap pernyataan mengenai kehidupan pikiran dalam yang belum
diverifikasi tidak masuk akal. Bagi para behavioris, keadaan pikiran bukanlah keadaan dalam
tempat seseorang bisa membuat laporan introspektif. Keadaan pikiran hanyalah deskripsi

perilaku atau disposisi untuk berperilaku dalam cara-cara tertentu, yang dibuat oleh pihak ketiga
untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku orang lain.[46]
Behaviorisme filosofis sudah tidak didukung semenjak akhir abad ke-20 karena bangkitnya
kognitivisme.[2] Para kognitivis menolak behaviorisme karena beberapa masalah tertentu.
Contohnya, behaviorisme dikatakan tidak intuitif karena menyatakan bahwa seseorang akan
berbicara mengenai perilaku saat sedang mengalami sakit kepala yang menyakitkan.
Teori identitas
Fisikalisme tipe (atau teori identitas tipe) dikembangkan oleh John Smart[18] dan Ullin Place[47]
sebagai tanggapan langsung terhadap kegagalan behaviorisme. Filsuf-filsuf tersebut menalar
bahwa apabila keadaan pikiran merupakan sesuatu yang material, tetapi tidak behavioral, maka
keadaan pikiran mungkin identik dengan keadaan internal otak. Sederhananya: keadaan pikiran
M itu tidak lain daripada keadaan otak B. Keadaan pikiran "hasrat untuk secangkir kopi" tidak
berbeda dengan "penembakan impuls oleh neuron tertentu di wilayah otak tertentu."[18]

Perbandingan teori identitas klasik dan monisme ganjil. Dalam teori identitas, setiap token tipe
pikiran berkorespondensi (ditandai dengan panah) dengan token tipe fisik tertentu, sementara
dalam monisme ganjil, hubungan antar token berlangsung tanpa tipe, sehingga menghasilkan
identitas token.
Meskipun masuk akal, teori identitas ditentang oleh tesis realisabilitas ganda yang dirumuskan
oleh Hilary Putnam.[20] Jelas bahwa selain manusia, hewan juga bisa merasakan rasa sakit.
Namun, tidak mungkin organisme-organisme tersebut memiliki keadaan otak yang sama. Dan
jika hal tersebut mungkin, rasa sakit tidak mungkin identik dengan keadaan otak tertentu. Maka
teori identitas secara empiris tidak berdasar.[20]
Di sisi lain, meskipun dikritik seperti itu, bukan berarti teori identitas harus ditinggalkan.
Menurut teori identitas token, fakta bahwa keadaan otak tertentu terkait dengan satu keadaan

pikiran tidak menunjukkan bahwa ada korelasi absolut antara tipe-tipe keadaan pikiran dengan
tipe-tipe keadaan otak. Perbedaan antara tipe dengan token dapat digambarkan melalui contoh
sederhana: kata "green" terdiri dari empat jenis huruf (g, r, e, n) dengan (kemunculan) dua token
huruf e dan satu huruf untuk yang lain. Menurut gagasan identitas token, hanya kemunculan
keadaan pikiran tertentu yang identik dengan kemunculan atau penokenan peristiwa fisik
tertentu.[48] Monisme yang ganjil (lihat di bawah) dan fisikalisme non-reduktif lainnya
merupakan teori identitas token.[49] Meskipun ada masalah, masih ada orang-orang yang tertarik
dengan teori identitas tipe saat ini, terutama karena pengaruh dari Jaegwon Kim.[18]
Fungsionalisme
Fungsionalisme dirumuskan oleh Hilary Putnam dan Jerry Fodor sebagai tanggapan terhadap
ketidakcukupan teori identitas.[20] Putnam dan Fodor memandang keadaan pikiran dalam ranah
teori pikiran komputasional yang empiris.[50] Pada saat yang sama atau segera setelahnya, D.M.
Armstrong dan David Kellogg Lewis merumuskan salah satu versi fungsionalisme yang
menganalisis konsep-konsep pikiran dalam psikologi rakyat berdasarkan peran fungsionalnya.[51]
Akhirnya, gagasan Wittgenstein bahwa "makna suatu kata bergantung pada penggunaannya"
menyebabkan munculnya fungsionalisme sebagai teori makna, yang selanjutnya dikembangkan
oleh Wilfrid Sellars dan Gilbert Harman. Fungsionalisme lain, yaitu psikofungsionalisme, adalah
pendekatan yang diterapkan oleh filsuf pikiran yang naturalistik, seperti Jerry Fodor dan Zenon
Pylyshyn.
Ragam-ragam fungsionalisme tersebut memiliki tesis yang sama bahwa keadaan pikiran
dicirikan oleh hubungan sebab-musababnya dengan keadaan pikiran lain dan dengan input indera
dan output perilaku. Fungsionalisme terpisah dari detail implementasi keadaan pikiran secara
fisik dan berada dalam ranah properti fungsional non-pikiran. Contohnya, ginjal dicirikan secara
ilmiah berdasarkan peran fungsionalnya dalam menyaring darah dan menjaga keseimbangan
kimiawi. Dari sudut pandang ini, pertanyaan mengenai apakah ginjal terbuat dari jaringan
organik, nanotube plastik, atau silikon tidak bermasalah: peran yang dimainkan dan
hubungannya dengan organ lainnya-lah yang mencirikannya sebagai sebuah ginjal.[50]
Fisikalisme non-reduktif
Terkait dengan hubungan pikiran-tubuh, filsuf non-reduksionis meyakini dua hal: 1) Fisikalisme
itu benar dan keadaan pikiran adalah keadaan fisik, namun 2) Semua usulan reduksionis tidak
memuaskan karena keadaan pikiran tidak dapat direduksi menjadi perilaku, keadaan otak, atau
keadaan fungsional.[41] Pertanyaan berikutnya adalah apakah fisikalisme non-reduktif itu
memang ada. Monisme ganjil Donald Davidson[19] berupaya merumuskan fisikalisme semacam
itu.
Davidson menggunakan tesis supervenien: keadaan pikiran bergantung pada keadaan fisik,
namun tidak dapat direduksi menjadi keadaan fisik. Maka "supervenien" mendeskripsikan
kebergantungan fungsional: pikiran tidak dapat berubah bila tidak terjadi beberapa perubahan
redusibilitas fisik-kausal antara pikiran dan fisik tanpa melibatkan redusibilitas ontologis.[52]

Teori fisikalis non-reduktif tidak hanya berupaya mempertahankan pemisahan ontologis antara
pikiran dan tubuh, namun juga menyelesaikan masalah tersebut. Akibatnya, para kritikus
memandangnya sebagai sebuah paradoks dan menekankan kemiripannya dengan
epifenomenalisme, yaitu dalam pernyataan bahwa penyebab keadaan pikiran adalah otak, bukan
pikiran.
Epifenomenalisme menganggap keadaan pikiran sebagai efek samping dari keadaan pikiran fisik
yang tidak memengaruhi keadaan fisik. Interaksi berlangsung satu arah, namun menyisakan
keadaan pikiran yang tak dapat direduksi (sebagai efek samping keadaan otak) baik secara
ontologis maupun sebab-musabab. Bagi para epifenomenalis, rasa sakit disebabkan oleh keadaan
otak namun tidak memengaruhi keadaan otak lain, walaupun mungkin memengaruhi keadaan
pikiran lain (misalnya penderitaan).
Emergentisme lemah
Emergentisme lemah adalah salah satu ragam "fisikalisme non-reduktif" yang memandang alam
dalam beberapa tingkatan, dan tingkatan-tingkatan tersebut tersusun berdasarkan kompleksitas
dan masing-masing berhubungan dengan ilmu khususnya sendiri. Beberapa filsuf meyakini
bahwa properti emergen berinteraksi secara kausal pada tingkatan yang lebih mendasar,
sementara yang lain menyatakan bahwa properti tingkatan tinggi bergantung pada properti
tingkatan rendah tanpa interaksi sebab-musabab langsung. Kelompok kedua ini menganut
definisi emergentisme yang lebih "lemah", yang dapat dirangkum sebagai berikut: properti P dari
objek komposit O itu emergen bila objek lain secara metafisik tidak dapat tak memiliki properti
P apabila objek tersebut terdiri dari bagian dengan properti intrinsik yang identik dengan yang
ada dalam O dan bagian-bagian tersebut memiliki konfigurasi yang identik.
Kadang-kadang para emergentis menggunakan contoh air yang memiliki properti baru setelah
Hidrogen H dan Oksigen O digabung untuk membentuk H 2O (air). Ini adalah contoh
"emergensi" (kemunculan) properti baru, yaitu sebuah cairan transparan yang tak dapat
diprediksi hanya dengan memahami hidrogen dan oksigen sebagai suatu gas. Hal ini serupa
dengan properti fisik otak yang menghasilkan keadaan pikiran. Para emergentis mencoba
menyelesaikan masalah pikiran-tubuh dengan pendekatan ini. Namun, terdapat satu masalah,
yaitu gagasan "penutupan sebab-musabab" di dunia yang tidak memungkinkan sebab-musabab
pikiran-ke-tubuh.[53]
Materialisme eliminatif
Seorang materialis meyakini bahwa semua aspek psikologi akal sehat manusia dapat direduksi
menjadi neurosains kognitif, dan bahwa materialisme non-reduktif itu salah. Namun, terdapat
posisi yang lebih radikal lagi, yaitu materialisme eliminatif.
Terdapat beberapa macam materialisme eliminatif, namun semuanya menganut pandangan
bahwa "psikologi rakyat" tidak menggambarkan sifat dasar beberapa aspek kognisi dengan baik.
Pendukung materialisme eliminatif seperti Patricia dan Paul Churchland menekankan bahwa
meskipun psikologi rakyat menganggap kognisi seperti kalimat, model vektor/matriks non-

linguistik suatu teori jaringan saraf atau koneksionisme merupakan penjelasan otak yang lebih
akurat.[16]
Churchland sering menyebut takdir hal lain, teori populer yang keliru, dan ontologi yang muncul
dalam sejarah untuk menekankan argumennya.[16][17] Misalnya, astronomi Ptolemeus mencoba
menjelaskan dan memprediksi pergerakan planet-planet selama berabad-abad, namun pada
akhirnya model ini digantikan oleh model Copernicus. Churchland yakin bahwa takdir eliminatif
menanti model "penghancur kalimat" yang menyatakan bahwa pikiran dan perilaku disebabkan
oleh keadaan seperti kalimat yang manipulatif (yang disebut "sikap proposisional").
Monisme non-fisikalis
Idealisme

Bertrand Russell mendukung monisme netral dalam tulisannya yang berjudul "What is The
Soul?".
Idealisme adalah salah satu bentuk monisme yang menyatakan bahwa dunia terdiri dari pikiran,
isi pikiran, dan/atau kesadaran. Pendukung idealisme tidak menjelaskan bagaimana pikiran
muncul dari tubuh. Malahan, menurut mereka, dunia, tubuh, dan objek dianggap sebagai
kenampakan yang dialami oleh pikiran. Namun, yang mendorong para idealis bukanlah masalah
pikiran-tubuh, tetapi skeptisisme, intensionalitas, dan keunikan gagasan ide. Idealisme
merupakan gagasan yang penting dalam pemikiran filosofis dan religius di Timur. Dalam sejarah
filsafat Barat, gagasan ini juga beberapa kali menjadi populer walaupun kemudian terabaikan.
Terdapat beberapa ragam idealisme:

Idealisme yang menyatakan bahwa ada banyak pikiran (idealisme pluralistik)

Idealisme yang menekankan bahwa hanya ada satu pikiran manusia (solipsisme)

Atau idealisme yang meyakini keberadaan absolut, Anima Mundi, Yang Esa atau
Oversoul

Monisme netral
Dalam filsafat, monisme netral adalah pandangan metafisik bahwa pikiran dan fisik merupakan
dua cara untuk mengorganisasi atau mendeskripsikan unsur yang sama yang bersifat "netral",
atau dalam kata lain merupakan sesuatu yang tidak bersifat fisik maupun mental. Monisme netral
menolak pandangan bahwa pikiran dan tubuh merupakan dua hal yang sepenuhnya berbeda.
Malahan, pandangan ini mengklaim bahwa alam semesta terdiri dari satu jenis substansi yang
netral. Substansi netral ini mungkin punya warna atau bentuk sama seperti yang kita alami
sehari-hari, namun bentuk dan warna tersebut tidak ada dalam pikiran (dianggap sebagai entitas
substansial, baik dualistik ataupun fisikalistik) karena warna dan bentuk tersebut ada dengan
sendirinya.
Misterianisme
Beberapa filsuf menggunakan pendekatan epistemik dan menyatakan bahwa masalah pikirantubuh masih belum dapat diselesaikan, dan mungkin tidak akan pernah diselesaikan. Pandangan
ini biasanya disebut misterianisme baru. Colin McGinn berpendapat bahwa manusia tertutup
secara kognitif dari konsep pikiran. Baginya, pikiran manusia tidak memiliki prosedur yang
dapat membentuk konsep untuk memahami bagaimana properti pikiran seperti kesadaran dapat
muncul.[54] Contohnya, gajah tertutup secara kognitif dari konsep fisika partikel.
Konsep yang lebih moderat telah diutarakan oleh Thomas Nagel, yang meyakini bahwa masalah
pikiran-tubuh saat ini belum dapat diselesaikan dan mungkin perlu terjadi pergeseran paradigma
atau revolusi pada masa depan untuk menjembatani celah dalam penjelasan. Nagel juga
menyatakan bahwa suatu hari "fenomenologi objektif" mungkin dapat menjembatani celah
antara pengalaman kesadaran subjektif dengan dasar fisiknya.[55]
Kritik bahasa terhadap masalah pikiran-tubuh

Ludwig Wittgenstein menggunakan bahasa untuk mengkritik masalah pikiran-tubuh.

Setiap upaya untuk menjawab masalah pikiran-tubuh menghadapi masalah besar. Beberapa filsuf
meyakini bahwa hal ini disebabkan oleh kebingungan konseptual. [56] Filsuf-filsuf tersebut, seperti
Ludwig Wittgenstein dan pengikutnya dari tradisi kritik bahasa, menganggap masalah ini sebagai
sebuah ilusi.[57] Menurut mereka, adalah suatu kesalahan untuk bertanya bagaimana keadaan
pikiran dan biologis dapat disesuaikan. Malahan, pengalaman manusia sebaiknya dideskripsikan
dengan cara yang berbedamisalnya dalam kosa kata pikiran dan biologis. Masalah yang
merupakan ilusi ini muncul bila seseorang mencoba mendeskripsikan salah satu hal dalam ranah
kosa kata hal yang lain atau jika kosa kata pikiran digunakan dalam konteks yang salah. [57] Inilah
yang terjadi bila seseorang mencari keadaan pikiran di otak. Otak merupakan konteks yang salah
untuk menggunakan kosa kata pikiranmaka pencarian keadaan pikiran di otak merupakan
kesalahan kategoris atau merupakan salah satu kesesatan dalam penalaran.[57]
Kini, pandangan ini dianut oleh para penafsir karya Wittgenstein seperti Peter Hacker.[56] Namun,
Hilary Putnam, pencetus fungsionalisme, juga berpendapat bahwa masalah pikiran-tubuh adalah
suatu ilusi yang perlu dihilangkan sesuai dengan cara Wittgenstein.[58]
Eksternalisme dan internalisme
Dimana letak pikiran? Jika pikiran adalah fenomena fisik, pastilah pikiran berada di suatu
tempat. Terdapat dua kemungkinan:

Pikiran merupakan bagian dalam tubuh. Maka pikiran bergantung pada peristiwa dan
properti yang berlangsung di dalam tubuh subjek (internalisme)

Pikiran merupakan bagian luar tubuh. Atau dalam kata lain, pikiran bergantung pada
faktor-faktor di luar tubuh (eksternalisme)

Bagi pendukung internalisme, aktivitas saraf dapat menghasilkan pikiran, sementara bagi
pendukung eksternalisme, dunia luar berperan penting dalam menghasilkan pikiran.
Eksternalisme dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu eksternalisme semantik, eksternalisme
kognitif, dan eksternalisme fenomenal. Masing-masing masih dapat dibagi lagi berdasarkan isi
atau sarana pikiran.
Menurut eksternalisme semantik, isi pikiran sepenuhnya atau sebagiannya ditentukan oleh
keadaan di luar tubuh. Percobaan pikiran Bumi kembar Hilary Putnam dianggap sebagai contoh
yang baik.
Eksternalisme kognitif merupakan sekumpulan pandangan yang luas yang meyakini bahwa
lingkungan, alat, perkembangan, dan tubuh dapat berperan dalam menghasilkan kognisi. Kognisi
menubuh (embodied cognition), pikiran di luar batas (extended mind), dan enaktivisme adalah
contohnya.
Eksternalisme fenomenal sendiri menyatakan bahwa aspek fenomenal pikiran berada di luar
tubuh. Penulis yang mengutarakan kemungkinan ini meliputi Ted Honderich, Edwin Holt,
Francois Tonneau, Kevin O'Regan, Riccardo Manzotti, Teed Rockwell dan Max Velmans.

Naturalisme dan permasalahannya


Menurut fisikalisme, pikiran merupakan bagian dari dunia materi (atau fisik). Posisi semacam itu
bermasalah karena pikiran memiliki properti yang tak dimiliki oleh materi. Maka fisikalisme
harus dapat menjelaskan bagaimana properti tersebut dapat muncul dari materi. Upaya untuk
menjelaskan hal tersebut disebut "naturalisasi pikiran."[41] Beberapa masalah utama yang
diupayakan untuk diselesaikan meliputi keberadaan qualia dan sifat dasar intensionalitas.[41]
Qualia
Banyak keadaan pikiran yang tampaknya dialami secara subjektif oleh berbagai individu. [24]
Salah satu ciri keadaan pikiran adalah keberadaan "kualitas" pengalaman tertentu, seperti rasa
sakit. Namun, rasa sakit yang dialami dua orang mungkin tidak sama, karena tidak ada cara
sempurna yang dapat mengukur tingkatan rasa sakit atau untuk mendeskripsikan seperti apa
sebenarnya rasa sakit itu. Maka para filsuf dan ilmuwan mencoba mencari asal usul pengalaman
tersebut. Keberadaan peristiwa otak tak dapat menjelaskan mengapa pengalaman kualitatif
tersebut muncul. Misteri kemunculan aspek pengalaman pada proses otak seolah tak dapat
dijelaskan.[23]
Namun, banyak juga yang merasa bahwa sains pada akhirnya harus menjelaskan hal tersebut. [41]
Hal ini merupakan akibat dari asumsi mengenai kemungkinan penggunaan penjelasan reduktif.
Menurut pandangan ini, bilafenomena berhasil dijelaskan secara reduktif (misalnya air), maka
asal usul properti pada fenomena tersebut dapat dijelaskan (misalnya bentuk yang cair dan
bening).[41] Akibatnya, perlu ada penjelasan mengapa keadaan pikiran memiliki properti
pengalaman tertentu.
Filsuf Jerman abad ke-20 Martin Heidegger mengkritik asumsi ontologis yang melandasi model
reduktif tersebut, dan mengklaim bahwa pengalaman tidak dapat dijelaskan dengan cara tersebut
karena sifat dasar pengalaman subjektif dan "kualitas" nya tidak dapat dipahami dalam artian
"substansi" Descartes yang mengandung "properti". Dalam kata lain, konsep pengalaman
kualitatif tidak sesuai, atau secara semantik tak dapat dibandingkan (incommensurable) dengan
konsep substansi yang mengandung properti.[59]
Masalah yang muncul dalam "upaya untuk menjelaskan aspek keadaan pikiran dan kesadaran
orang pertama dengan menggunakan neurosains kuantitatif orang ketiga" ini disebut celah
penjelasan.[60] Terdapat beberapa pendapat mengenai celah ini. David Chalmers dan Frank
Jackson menafsirkan bahwa celah tersebut bersifat ontologis; dalam kata lain, mereka
menyatakan bahwa qualia tidak akan pernah bisa dijelaskan oleh sains karena fisikalisme itu
salah. Terdapat dua kategori terpisah dan salah satu kategori tidak dapat direduksi menjadi
kategori lain.[61] Sudut pandang alternatif yang dianut oleh filsuf seperti Thomas Nagel dan Colin
McGinn adalah bahwa celah tersebut bersifat epistemologis. Bagi Nagel, sains belum mampu
menjelaskan pengalaman subjektif karena belum mencapai tingkatan pengetahuan yang
diperlukan. Kita bahkan belum mampu merumuskan masalah dengan jelas.[24] Sementara itu,
menurut McGinn, masalah ini merupakan salah satu batasan biologis yang permanen dan
inheren. Kita tidak mampu menyelesaikan masalah celah penjelasan karena ranah pengalaman
subjektif tertutup secara kognitif sama seperti fisika kuantum tertutup secara kognitif dari gajah.

[62]

Filsuf lain menganggap celah ini hanya sebagai masalah semantik. Masalah semantik ini
menyebabkan munculnya "pertanyaan Qualia" yang terkenal, yaitu: "apakah merah
menyebabkan kemerahan"?
Intensionalitas

John Searlesalah satu filsuf pikiran terkemuka dan pendukung naturalisme biologis (Berkeley
2002).
Intensionalitas adalah keterarahan keadaan pikiran pada dunia luar.[22] Properti keadaan pikiran
ini mengharuskan adanya isi dan acuan semantik dan maka dapat diberikan nilai kebenaran.
Ketika seseorang mencoba mereduksi keadaan tersebut menjadi proses alam, maka muncul
masalah: proses alam tidak mengandung nilai benar ataupun salah karena hanya merupakan
sebuah proses.[63] Mengatakan bahwa proses alam itu benar atau salah tidak masuk akal. Namun,
gagasan atau pertimbangan pikiran mengandung nilai benar dan salah. Maka, bagaimana bisa
keadaan pikiran (gagasan atau pertimbangan) dianggap sebagai proses alam? Kemungkinan
pemberian nilai semantik pada gagasan menunjukkan bahwa gagasan tersebut terkait dengan
fakta. Misalnya, gagasan bahwa Julia Perez adalah seorang artis merujuk pada fakta bahwa ia
memang seorang artis. Jika fakta ini benar, maka gagasannya benar; jika tidak, maka salah.
Namun dari mana asalnya Hubungan ini? Di otak, hanya berlangsung proses elektrokimia dan
proses tersebut tampaknya tidak ada kaitannya dengan Julia Perez.[21]
Filsafat persepsi
Filsafat persepsi terkait dengan sifat dasar pengalaman perseptual dan status objek perseptual,
terutama bagaimana pengalaman perseptual berhubungan dengan penampilan dan kepercayaan
mengenai dunia.[64] Pandangan utama dalam filsafat persepsi saat ini meliputi realisme naif,
enaktivisme, dan pandangan representional.[65][66][67]
Filsafat pikiran dan sains

Manusia memiliki jasmani dan akibatnya dapat diselidiki dan dideskripsikan oleh sains. Karena
proses pikiran sangat terkait dengan proses tubuh, deskripsi yang dibuat oleh sains berperan
penting dalam filsafat pikiran.[2] Terdapat banyak bidang keilmuwan yang mempelajari prosesproses yang terkait dengan pikiran, seperti biologi, ilmu komputer, sains kognitif, sibernetika,
linguistik, kedokteran, farmakologi dan psikologi.[68]
Neurobiologi
Seperti sains modern pada umumnya, latar belakang teoretis biologi bersifat materialistik. Objek
penelitiannya adalah proses-proses fisik, yang dianggap sebagai dasar aktivitas dan perilaku
pikiran.[69] Keberhasilan biologi dalam menjelaskan fenomena pikiran dapat dilihat dari fakta
bahwa tidak ada bantahan empiris terhadap prasangka dasarnya: "keadaan pikiran seseorang tak
akan dapat berubah tanpa perubahan keadaan otak."[68]
Dalam bidang neurobiologi, terdapat banyak subdisiplin yang terkait dengan hubungan antara
keadaan dan proses pikiran dan fisik:[69] Neurofisiologi sensoris menyelidiki hubungan antara
proses persepsi dan stimulasi.[70] Neurosains kognitif mempelajari hubungan antara proses
pikiran dan saraf.[70] Neuropsikologi mendeskripsikan kebergantungan kemampuan pikiran pada
wilayah otak tertentu.[70] Biologi evolusioner mempelajari asal usul dan perkembangan sistem
saraf manusia dan juga mendeskripsikan perkembangan ontogenesis dan filogenesis fenomena
pikiran dari tahap-tahap primitif.[68] Lebih lagi, biologi evolusioner menmpatkan batasan pada
teori filosofis karena mekanisme seleksi alam berdasarkan gen tidak memungkinkan lompatan
besar dalam perkembangan kompleksitas saraf; kompleksitas muncul melalui proses yang
berangsur-angsur dalam waktu yang panjang.[71]

Semenjak tahun 1980-an, prosedur pencitraan saraf yang mutakhir seperti fMRI telah
memperkaya pengetahuan tentang cara kerja otak manusia, sehingga membantu menyelesaikan
masalah-masalah filosofis.
Terobosan metodologi neurosains (terutama ditemukannya prosedur pencitraan saraf
berteknologi tinggi) telah membantu ilmuwan dalam melakukan program penelitian yang
semakin ambisius: salah satu tujuan utamanya adalah untuk mendeskripsikan dan memahami
proses saraf yang terkait dengan fungsi pikiran.[69] Beberapa kelompok terilhami oleh kemajuan
ini.

Ilmu komputer
Ilmu komputer adalah bidang yang terkait dengan pemrosesan informasi secara otomatis (atau
paling tidak dengan sistem simbol-simbol yang memuat informasi) oleh alat seperti komputer.[72]
Dari awal, pemrogram komputer dapat mengembangkan program yang memberikan perintah
kepada komputer untuk menjalankan tugas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk organik
yang memiliki pikiran. Contoh sederhananya adalah perhitungan. Namun jelas bahwa komputer
tidak menggunakan pikiran untuk menghitung. Mungkinkah mereka suatu hari dapat memiliki
pikiran? Pertanyaan ini menjadi bahan perdebatan filosofis berkat penyelidikan yang dilakukan
dalam bidang kecerdasan buatan.
Dalam bidang kecerdasan buatan, program penelitian biasa dan yang lebih ambisius biasanya
dibedakan: perbedaan ini dicetuskan oleh John Searle dengan menggunakan istilah "kecerdasan
buatan lemah dan kuat." Menurut Searle, tujuan "kecerdasan buatan lemah" adalah untuk
mensimulasikan keadaan pikiran tanpa memberi kesadran pada komputer. Sementara itu, tujuan
kecerdasan buatan kuat adalah untuk membuat komputer yang memiliki kesadaran seperti
manusia.[73] Program kecerdasan buatan kuat dapat ditilik kembali pada pelopor komputer Alan
Turing. Untuk menjawab pertanyaan "apakah komputer dapat berpikir?", ia merumuskan tes
Turing yang terkenal.[74] Dalam percobaan pikiran tersebut, sebuah komputer ditempatkan di
dalam sebuah ruangan bersama dengan seorang manusia. Kemudian, seorang wasit mengajukan
pertanyaan kepada mereka. Bila jawaban komputer tidak dapat dibedakan dari manusia, maka
komputer itu sudah berpikir. Intinya, cara Turing memandang kecerdasan mesin mengikuti
model pikiran yang behaviouris. Tes Turing banyak dikritik; salah satu kritik yang paling
terkenal adalah percobaan pikiran ruangan Cina yang dirumuskan oleh Searle.[73]
Pertanyaan mengenai kemungkinan sensitivitas (qualia) komputer atau robot masih terbuka
untuk dijawab. Beberapa ilmuwan komputer yakin bahwa bidang kecerdasan buatan masih dapat
membantu menyelesaikan masalah pikiran-tubuh. Mereka menyatakan bahwa berdasarkan
hubungan timbal balik antara perangkat lunak dan keras di semua komputer, mungkin suatu hari
dapat ditemukan suatu teori yang membantu kita memahami hubungan timbal balik antara otak
dan pikiran manusia (wetware).[75]
Psikologi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang menyelidiki keadaan pikiran secara langsung. Ilmu ini menggunakan
metode empiris untuk mempelajari keadaan pikiran seperti kebahagiaan, rasa takut, atau obsesi.
Psikologi juga menyelidiki hukum yang mengatur hubungan antara keadaan pikiran tersebut atau
antara keadaan pikiran dengan input atau output pada manusia.[76]
Contohnya adalah psikologi persepsi. Ilmuwan dalam bidang ini telah menemukan asas-asas
umum dalam persepsi bentuk. Menurut hukum psikologi bentuk, objek yang bergerak mengikuti
arah yang sama dianggap terkait satu sama lain oleh pengamat. [68] Hukum ini mendeskripsikan
hubungan antara input visual dengan keadaan perseptual pikiran. Namun, hukum ini tidak

berhubungan dengan sifat dasar keadaan perseptual. Hukum dalam bidang psikologi sesuai
dengan jawaban untuk masalah pikiran-tubuh yang telah dideskripsikan.
Sains kognitif
Sains kognitif adalah ilmu interdisipliner yang mempelajari pikiran dan proses-prosesnya.
Bidang ini berusaha menyelidiki apa itu kognisi, apa yang dilakukan olehnya, dan bagaimana
cara kerjanya. Cakupannya meliputi kecerdasan dan perilaku, terutama bagaimana informasi
diwakili, diproses, dan diubah (dengan kemampuan seperti persepsi, bahasa, memori, penalaran,
dan emosi) dalam sistem saraf (manusia dan hewan lain) atau mesin (seperti komputer). Sains
kognitif terdiri dari beberapa bidang penelitian, seperti psikologi, kecerdasan buatan, filsafat,
neurosains, linguistik, antropologi, sosiologi, dan pendidikan.[77] Ilmu ini melingkupi banyak
tingkatan analisis, dari pembelajaran dan mekanisme keputusan tingkat rendah hingga logika dan
perencanaan tingkat tinggi; dari sirkuit saraf hingga organisasi otak modular.
Filsafat pikiran dalam tradisi kontinental

Hegel mendiskusikan tiga jenis pikiran, yaitu "pikiran subjektif", "pikiran objektif", dan "pikiran
absolut".
Sebagian besar isi artikel ini didasarkan pada satu tradisi filsafat dari budaya Barat modern, yang
biasanya disebut filsafat analitik (kadang-kadang disebut filsafat Anglo-Amerika).[78] Namun, ada
juga banyak mazhab lain yang kadang-kadang digolongkan dalam label filsafat kontinental.[78]
Walaupun topik dan metode dalam filsafat ini sangat luas, berbagai mazhab dalam label ini
(fenomenologi, eksistensialisme, dll) berbeda dari mazhab analitik karena tidak hanya
memusatkan perhatian pada analisis bahasa dan logika, tapi juga mempertimbangkan bentuk
pemahaman yang lain. Maka, dalam diskusi filsafat pikiran, mazhab-mazhab ini mencoba
memahami konsep pikiran dan pengalaman perseptual tidak hanya dengan menggunakan analisis
bentuk linguistik.[78]
Dalam buku Phenomenology of Mind karya Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Hegel
mendiskusikan tiga jenis pikiran yang berbeda: "pikiran subjektif", yaitu pikiran seorang
individu; "pikiran objektif", pikiran masyarakat dan negara; dan "pikiran absolut", kesatuan dari
semua konsep.[79] Sementara itu, pada tahun 1896, dalam Matter and Memory Henri Bergson
menulis esai yang berjudul "Essay on the relation of body and spirit", yang mendukung

perbedaan ontologis antara tubuh dan pikiran dengan mereduksi masalah tersebut menjadi
masalah memori yang lebih definit, sehingga memungkinkan perumusan solusi yang didasarkan
pada "ujicoba empiris" aphasia.
Pada masa modern, dua mazhab utama yang berkembang sebagai tanggapan atau kritik terhadap
tradisi Hegel ini adalah fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi, yang didirikan oleh
Edmund Husserl, memusatkan perhatian pada isi pikiran manusia (lihat noema) dan bagaiman
proses fenomenologis membentuk pengalaman kita . [80] Eksistensialisme, yaitu mazhab yang
didasarkan pada karya-karya Sren Kierkegaard, terkait dengan isi pengalaman dan bagaimana
pikiran berhubungan dengan pengalaman semacam itu.
Pikiran dalam filsafat Timur
Pikiran dalam filsafat Hindu

Patung Adi Shankara, filsuf mazhab Adwaita Wedanta (abad ke-8).


Dualisme
Dualisme substansi adalah ciri yang lazim ditemui pada beberapa mazhab Hindu ortodoks seperti
Samkhya, Nyaya, Yoga, dan Dwaita Wedanta. Dalam mazhab-mazhab tersebut, terdapat
perbedaan yang jelas antara materi dan jiwa nonmateri; jiwa nonmateri bersifat abadi dan
melewati samsara, siklus kematian dan kelahiran kembali. Menurut mazhab Nyaya, kualitas
seperti kognisi dan hasrat merupakan kualitas yang inheren dan tidak dimiliki oleh materi,
sehingga melalui proses eliminasi maka kualitas tersebut merupakan bagian dari atman, jiwa
nonmateri.[81] Tujuan mazhab-mazhab tersebut adalah mencapai moksa, pembebasan dari siklus
reinkarnasi.
Idealisme monistis Wedanta

Menurut filsuf Adi Shankara dari mazhab Adwaita Wedanta (abad ke-8), pikiran, tubuh, dan
dunia dianggap sebagai bagian dari suatu entitas kesadaran kekal yang disebut Brahman.
Adwaita berarti "tiada duanya" dan merupakan sejenis idealisme yang menekankan bahwa semua
yang ada adalah kesadaran absolut. Walaupun dunia tampak terdiri dari entitas yang berubahubah, itu hanyalah sebuah ilusi atau maya. Satu-satunya yang nyata adalah Brahman, yang
dideskripsikan sebagai Satcitananda (keberadaan, kesadaran, dan kebahagiaan). Adwaita
Wedanta dapat dijelaskan oleh ayat yang menyatakan bahwa "Hanya Brahman yang sejati, dan
dunia yang majemuk ini semu; diri seseorang tidak berbeda dengan Brahman."[82]
Ragam Wedanta monistis lainnya adalah Wisistadwaita seperti yang diungkapkan oleh filsuf
Ramanuja dari abad ke-11. Ramanuja mengkritik Adwaita Wedanta dan menyatakan bahwa
kesadaran itu selalu intensional dan merupakan properti dari sesuatu. Ramanuja mendefinisikan
Brahman melalui keberagaman kualitas dan properti dalam entitas monistis tunggal. Doktrin ini
disebut 'samanadhikaranya' (beberapa hal dalam substrat yang sama).[83]
Materialisme
Ditinjau dari sejarahnya, uraian awal tentang materialisme empiris dalam sejarah filsafat terdapat
dalam mazhab Carwaka alias Lokayata. Mazhab Carwaka menolak keberadaan apapun selain
materi (yang menurut mereka terbagi menjadi empat unsur), termasuk Tuhan dan jiwa. Maka
mereka meyakini bahwa kesadaran itu tersusun dari atom-atom. Sebagian dari mazhab Carwaka
menganut pandangan bahwa jiwa material terbuat dari udara atau napas, namun substansisubstansi tersebut akan mati karena juga merupakan salah satu bentuk materi.[84]
Filsafat pikiran Buddhisme
Lima
kelompok
menurut Tripitaka.

pemelekatan

jasmani (rpa)
4 unsur
(mahbhta)

(paca

faktor pikiran (cetasika)

kontak
(phassa)

perasaan
(vedan)

persepsi
(saa)

kesadaran
(vina)
bentuk
(sakhra)

khandha)

Jasmani berasal dari Empat Unsur.

Kesadaran berasal dari kelompok lain.

Faktor
Pikiran
Kesadaran dan kelompok lain.

berasal

dari

Kontak

Source: MN 109 (Thanissaro, 2001) | rincian diagram


Ciri penting yang membedakan filsafat Buddhisme adalah pentingnya doktrin "tiada aku"
(anatta). Doktrin ini memandang manusia sebagai gabungan dari lima aspek psikologis dan fisik
yang tak kekal, bukan sebagai diri yang tunggal. Maka dari itu, ego dan diri merupakan ilusi
yang tidak berlaku untuk melihat kenyataan; keduanya merupakan cara pandang yang keliru
karena panca khanda (lima kelompok pemelekatan) yang senantiasa bergejolak.[85] Hubungan
antarkelompok ini disebut "prattyasamutpda", yang berarti semua haltermasuk peristiwa
pikiranmemiliki keterkaitan dengan berbagai sebab dan keadaan lainnya. Pandangan ini
bertentangan dengan determinisme sebab-musabab dan epifenomenalisme.[85]
Teori pikiran Abhidharma
Tiga abad setelah kematian Buddha Gautama (sekitar tahun 150 SM), terjadi penyusunan sastra
Buddhis yang disebut Abhidharma di sejumlah perguruan Buddhis. Menurut analisis pikiran
dalam Abhidharma, pikiran didefinisikan sebagai prapaca (penyebaran konseptual').
Berdasarkan teori ini, pengalaman perseptual terikat dalam beberapa konseptualisasi (harapan,
pertimbangan, dan hasrat). Penyebaran konseptualisasi ini membentuk konsep diri yang
merupakan sebuah ilusi.[85] Teori pikiran Abhidharma juga meyakini bahwa tidak ada perbedaan
antara kemampuan kesadaran dengan persepsi indera terhadap berbagai fenomena. Kesadaran
sendiri dibagi menjadi enam, lima untuk lima indera dan enam untuk persepsi fenomena pikiran.
[85]
Munculnya kesadaran kognitif dikatakan bergantung pada persepsi indera, kesadaran
kemampuan pikiran yang disebut "kesadaran introspektif" (manovijna), dan perhatian
(vartana); perhatian adalah pemilihan objek dari kesan-kesan yang diterima oleh indera.
Penolakan keberadaan agen permanen menyebabkan munculnya masalah filosofis, yaitu masalah
keberlanjutan pikiran dan penjelasan bagaimana kelahiran kembali dan karma tetap menjadi
doktrin yang relevan tanpa keberadaan pikiran yang abadi. Masalah ini dijawab oleh mazhab
Theravada dengan memperkenalkan konsep pikiran sebagai faktor keberadaan. "Aliran
kehidupan" (Bhavanga-sota) membentuk keadaan yang-ada. Keberlanjutan karma seseorang
dipastikan oleh aliran pikiran (citta-santana) yang berasal dari kesadaran pasif (Bhavanga-citta),
isi pikiran, dan perhatian.[85]

Mahayana India
Mazhab Sautrntika memiliki pandangan yang mirip dengan fenomenalisme dan menganggap
bahwa dunia tidak dapat dipersepsikan. Menurut mereka, objek luar ada sebagai tumpuan untuk
kognisi, yang hanya dapat menangkap representasi pikiran. Pandangan ini nantinya
memengaruhi mazhab Yogacara dalam aliran Buddhisme Mahayana. Mazhab Yogcra sering
disebut mazhab "hanya pikiran" karena pandangan bahwa kesadaran adalah realitas yang pada
dasarnya memang ada. Sementara itu, karya-karya Vasubandhu sering dianggap mendukung
idealisme karena ia menggunakan argumen mimpi dan bantahan mereologis terhadap atomisme
untuk menentang realitas objek luar sebagai sesuatu yang berbeda dari entitas pikiran. [86]
Penafsiran karya Vasubandhu yang dilakukan oleh para ahli berbeda-beda; ada yang
menafsirkannya sebagai fenomenalisme, monisme netral, dan fenomenologi realis.
Mazhab-mazhab Mahayana India memiliki pendapat yang berbeda mengenai kemungkinan
keberadaan kesadaran refleksif (svasamvedana). Dharmakrti menyetujui gagasan kesadaran
refleksif yang diutarakan oleh mazhab Yogacara, dan membandingkannya dengan sebuah lampu
yang menerangi dirinya bersamaan dengan objek lain. Pandangan ini ditolak oleh ahli-ahli
Mdhyamika seperti Candrakrti. Dalam filsafat Mdhyamika, semua benda dan peristiwa
pikiran dicirikan oleh kekosongan (shunyata), sehingga mereka menyatakan bahwa kesadaran
bukan realitas refleksif yang sesungguhnya karena jika dikatakan seperti itu maka kesadaran
memvalidasi dirinya sendiri dan tidak dicirikan oleh kekosongannya. [85] Pandangan ini pada
akhirnya dirukunkan oleh ntaraks ita pada abad ke-8. Ia menerapkan gagasan idealis Yogacara
tentang kesadaran refleksif sebagai kebenaran konvensional dalam struktur doktrin dua
kebenaran. Maka ia menyatakan bahwa "dengan bergantung pada sistem hanya pikiran,
ketahuilah bahwa entitas luar tidak ada. Dan dengan bergantung pada sistem jalan tengah ini,
ketahuilah bahwa diri itu tidak ada, bahkan di dalam [pikiran]." [87]
Mazhab Yogcra juga mengembangkan teori gudang kesadaran (layavijna) untuk
menjelaskan keberlanjutan pikiran saat kelahiran kembali dan akumulasi karma. Gudang
kesadaran merupakan penyimpanan bibit karma (bija) saat indera-indera lain sedang tidak ada
selama proses kematian dan kelahiran kembali.[85] Maka, menurut B. Alan Wallace:
Tidak ada bagian dari tubuhdi otak atau yang lainnyayang berubah menjadi keadaan dan
proses pikiran. Pengalaman subjektif semacam itu tidak muncul dari tubuh, namun pengalaman
tersebut juga tidak muncul dari ketiadaan. Justru semua kenampakan pikiran objektif muncul
dari substrat, dan semua keadaan dan proses pikiran subjektif berasal dari kesadaran substrat [88]
Buddhisme Tibet

Menurut Dalai Lama ke-14, pikiran terdiri dari "kejelasan dan pengetahuan".
Teori pikiran Buddhisme Tibet berkembang dari gagasan-gagasan Mahayana India. Maka dari
itu, Je Tsongkhapa, pendiri mazhab Gelug, mendiskusikan sistem Delapan Kesadaran Yogcra.
[89]
Ia kemudian menentang idealisme pragmatis ntaraks ita.
Menurut Dalai Lama ke-14, pikiran dapat didefinisikan sebagai "entitas yang memiliki sifat
dasar pengalaman, yaitu 'kejelasan dan pengetahuan.' Sifat pengetahuan inilah yang disebut
pikiran, dan ini bersifat nonmateri."[90] Maka dua sifat dasar pikiran adalah sebagai berikut:
1. Kejelasan (gsal) - Aktivitas pikiran yang menghasilkan fenomena kognitif (snang-ba).
2. Pengetahuan (rig) - Aktivitas pikiran yang memersepsikan fenomena kognitif.
Filsafat pikiran Tibet bersifat soteriologis, sehingga lebih memusatkan perhatian pada praktikpraktik meditasi seperti Dzogchen dan Mahamudra yang dapat dilakukan untuk merasakan sifat
refleksif pikiran secara langsung. Pengetahuan akan sifat kebuddhaan seseorang yang ada sejak
awal, sunyi, dan tunggal disebut rigpa. Berbagai mazhab mendeskripsikan jati diri pikiran yang
paling dalam sebagai 'cahaya terang' (od gsal) dan sering membandingkannya dengan bola
kristal atau cermin. Maka, Sogyal Rinpoche menganalogikan pikiran sebagai berikut:
"Bayangkan langit yang kosong, memiliki ruang, dan murni dari awal; esensinya itu seperti ini.
Bayangkan matahari, bercahaya, terang, tak terhambat, dan ada secara spontan. Jati dirinya
seperti ini."
Buddhisme Zen
Bahasan utama dalam filsafat pikiran Zen Cina adalah perbedaan antara pikiran yang murni dan
terbangun dengan pikiran yang bernoda. Ahli Chan Cina Huangpo mendeskripsikan pikiran
sebagai sesuatu yang tanpa awal dan tanpa bentuk atau batas, sementara pikiran bernoda adalah
pikiran yang dikaburkan karena terikat dengan bentuk dan konsep.[91] Pikiran Buddha yang murni

dapat melihat hal-hal sebagaimana yang sebenarnya, sebagai hakikat yang absolut dan non-dual
(Tathat). Penglihatan non-konseptual juga meliputi fakta bahwa tidak ada perbedaan antara
pikiran yang murni dengan yang bernoda, sama seperti tidak ada perbedaan antara samsara
dengan nirwana.[91]
Dalam Shobogenzo, filsuf Jepang Dogen menulis bahwa tubuh dan pikiran tidak berbeda secara
ontologis atau fenomenologis, namun dicirikan oleh suatu kesatuan yang disebut shin jin (tubuhpikiran). Menurut Dogen, "membuang pikiran dan tubuh" (Shinjin datsuraku) dalam zazen dapat
membuat seseorang mengalami hal-hal sebagaimana benarnya (genjokoan) yang merupakan sifat
dasar pencerahan (hongaku).[92]
Topik yang terkait dengan filsafat pikiran
Terdapat banyak subjek yang terpengaruh oleh gagasan yang dikembangkan dalam bidang
filsafat pikiran. Beberapa contohnya adalah sifat dasar kematian dan ciri definitifnya, atau sifat
dasar emosi, persepsi, dan memori. Pertanyaan mengenai definisi individu dan identitasnya juga
memiliki keterkaitan yang erat dengan filsafat pikiran. Namun, ada dua subjek yang menarik
perhatian khusus: kehendak bebas dan diri.[2]
Kehendak bebas

Grafik yang menggambarkan posisi filosofis mengenai kehendak bebas.


Dalam konteks filsafat pikiran, masalah kehendak bebas menjadi lebih sering dibahas, terutama
di kalangan determinis materialistik.[2] Menurut cara pandang ini, hukum alam menentukan
jalannya dunia material. Maka, keadaan pikiran dan kehendak bebas juga merupakaan keadaan
material, sehingga perilaku dan keputusan manusia sepenuhnya ditentukan oleh hukum alam.
Beberapa kalangan seperti Sam Harris bahkan mengatakan bahwa manusia tidak dapat

menentukan apa yang ingin mereka lakukan, sehingga mereka tidak memiliki kehendak bebas. [93]
[94]

Di sisi lain, argumen ini ditentang oleh pendukung kompatibilisme. Menurut pandangan ini,
pertanyaan mengenai "apakah kita bebas?" hanya dapat dijawab bila kita telah menentukan arti
kata "bebas". Lawan kata dari "bebas" bukanlah "disebabkan", tetapi "diharuskan" atau
"dipaksa". Maka menyamakan kebebasan dengan ketiadaan determinisme adalah sesuatu yang
tidak tepat. Tindakan yang bebas adalah sesuatu yang dapat dilakukan seseorang bila ia memilih
untuk melakukan hal tersebut, sehingga seseorang masih bisa bebas walaupun determinisme itu
benar.[93] Tokoh kompatibilis yang paling penting dalam sejarah filsafat adalah David Hume.[95]
Kini, posisi ini dipertahankan oleh filsuf seperti Daniel Dennett.[96]
Di sisi lain, terdapat juga banyak tokoh inkompatibilisme yang menentang argumen ini karena
mereka yakin bahwa kebebasan tersebut ada dalam artian yang lebih kuat yang disebut
libertarianisme.[93] Para filsuf tersebut menekankan bahwa dunia a) tidak sepenuhnya ditentukan
oleh hukum alam ketika hukum alam dihadang oleh sesuatu yang independen secara fisik, [97] b)
ditentukan oleh hukum alam yang tidak deterministik, atau c) ditentukan oleh hukum alam yang
tak deterministik dan sejalan dengan upaya subjektif sesuatu yang tak dapat direduksi secara
fisik.[98] Menurut cara pandang libertarianisme, kehendak tidak harus bersifat deterministik, dan
maka kemungkinan bebas. Namun, terdapat kritik terhadap pernyataan (b) karena dianggap
menggunakan konsep kebebasan yang tidak jelas. Menurut mereka, "jika kehendak kita tidak
ditentukan oleh apapun, maka hal yang kita inginkan muncul karena kebetulan, dan bila apa yang
kita inginkan itu kebetulan, kita tidak bebas. Maka, bila kehendak kita tidak ditentukan oleh
apapun, maka kita tidak bebas."[93]
Diri
Filsafat pikiran juga berimbas pada konsep diri. Jika "diri" atau "saya" merujuk pada inti
individu yang esensial dan kekal, sebagian besar filsuf modern malah menyatakan bahwa hal
tersebut tidak ada.[99] Gagasan diri sebagai inti yang esensial dan kekal berasal dari gagasan jiwa.
Gagasan tersebut ditentang oleh sebagian besar filsuf saat ini karena orientasi fisikalistiknya, dan
karena para filsuf mendukung gagasan David Hume yang meragukan konsep 'diri'[100] (Hume
menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki konsep diri, tetapi sekumpulan rasa yang
dikaitkan dengan diri[101]). Namun, berdasarkan hasil dari penelitian dalam bidang psikologi
perkembangan, biologi perkembangan, dan neurosains, gagasan bahwa terdapat inti material
yang tidak konstan dan esensialyaitu suatu sistem representasional yang terintegrasi dan
tersebar dalam pola-pola koneksi sinapsis yang berubah-ubahtampak masuk akal.[102] Namun,
pandangan bahwa diri adalah ilusi juga didukung oleh beberapa filsuf, seperti Daniel Dennett.
Catatan
1.

^ "Pikiran" di sini berarti serangkaian kapasitas kognitif yang memungkinkan


kesadaran, persepsi, pikiran, pertimbangan, dan ingatan.

Catatan kaki

1.

^ Oliver Elbs, Neuro-Esthetics: Mapological foundations and applications (Map


2003), (Munich 2005)

2.

^ a b c d e f Kim, J. (1995). In Honderich, Ted. Problems in the Philosophy of Mind.


Oxford Companion to Philosophy. Oxford: Oxford University Press.

3.

^ a b Plato (1995). In E.A. Duke, W.F. Hicken, W.S.M. Nicoll, D.B. Robinson,
J.C.G. Strachan. Phaedo. Clarendon Press. ISBN 1406541508.

4.

^ a b Robinson, H. (1983): Aristotelian dualism, Oxford Studies in Ancient


Philosophy 1, 12344.

5.

^ Nussbaum, M. C. (1984): Aristotelian dualism, Oxford Studies in Ancient


Philosophy, 2, 197207.

6.

^ Nussbaum, M. C. and Rorty, A. O. (1992): Essays on Aristotle's De Anima,


Clarendon Press, Oxford.

7.

^ a b Sri Swami Sivananda. "Sankhya:Hindu philosophy: The Sankhya".

8.

^ a b c d e f Descartes, Ren (1998). Discourse on Method and Meditations on First


Philosophy. Hacket Publishing Company. ISBN 0-87220-421-9.

9.

^ a b c d e f Hart, W.D. (1996) "Dualism", in Samuel Guttenplan (org) A Companion


to the Philosophy of Mind, Blackwell, Oxford, 265-7.

10.

^ a b Spinoza, Baruch (1670) Tractatus Theologico-Politicus (A TheologicoPolitical Treatise).

11.

^ a b c d e Kim, J., "Mind-Body Problem", Oxford Companion to Philosophy. Ted


Honderich (ed.). Oxford:Oxford University Press. 1995.

12.

^ Pinel, J. Psychobiology, (1990) Prentice Hall, Inc. ISBN 88-15-07174-1

13.

^ LeDoux, J. (2002) The Synaptic Self: How Our Brains Become Who We Are,
New York:Viking Penguin. ISBN 88-7078-795-8

14.

^ Russell, S. and Norvig, P. Artificial Intelligence: A Modern Approach, New


Jersey:Prentice Hall. ISBN 0-13-103805-2

15.
16.

^ Dawkins, R. The Selfish Gene (1976) Oxford:Oxford University Press. ISBN


^ a b c Churchland, Patricia (1986). Neurophilosophy: Toward a Unified Science of
the Mind-Brain. MIT Press. ISBN 0-262-03116-7.

17.

^ a b Churchland, Paul (1981). "Eliminative Materialism and the Propositional


Attitudes". Journal of Philosophy (Journal of Philosophy, Inc.) 78 (2): 6790.
doi:10.2307/2025900.

18.

^
Review.

19.

^ a b Donald Davidson (1980). Essays on Actions and Events. Oxford University


Press. ISBN 0-19-924627-0.

20.

^ a b c d Putnam, Hilary (1967). "Psychological Predicates", in W. H. Capitan and


D. D. Merrill, eds., Art, Mind and Religion (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.

21.

^ a b Dennett, Daniel (1998). The intentional stance. Cambridge, Mass.: MIT


Press. ISBN 0-262-54053-3.

22.

^ a b Searle, John (2001). Intentionality. A Paper on the Philosophy of Mind.


Frankfurt a. M.: Nachdr. Suhrkamp. ISBN 3-518-28556-4.

23.

^ a b c Jackson, F. (1982) Epiphenomenal Qualia. Reprinted in Chalmers, David


ed. :2002. Philosophy of Mind: Classical and Contemporary Readings. Oxford
University Press.

24.

^ a b c Nagel, T. (1974.). "What is it like to be a bat?". Philosophical Review (83):


435456.

25.

^ Albert Einstein. "Physics and Reality", Journal of the Franklin Institute (March
1936); 1.1.9., dicetak kembali di Albert Einstein, Out of My Later Years (1956)

26.

a b c d

Smart, J.J.C. (1956). "Sensations and Brain Processes". Philosophical

^ Lewis, C.S (1947). Miracles. ISBN 0688173691.

27.

^ Chalmers, David (1997). The Conscious Mind. Oxford University Press.


ISBN 0-19-511789-1.

28.

^ a b Dennett, Daniel (1995). "The unimagined preposterousness of zombies". J


Consciousness Studies 2: 322\u20136.

29.

^ Dennett, Daniel (1991). Consciousness Explained. Little, Brown and Co.


hlm. 95. ISBN 0-316-18065-3.

30.

^ Popper, Karl and Eccles, John (2002). The Self and Its Brain. Springer Verlag.
ISBN 3-492-21096-1.

31.

^ Dennett D., (1991), Consciousness Explained, Boston: Little, Brown &


Company

32.
33.
34.
35.

^ Stich, S., (1983), From Folk Psychology to Cognitive Science. Cambridge, MA:
MIT Press (Bradford)
^ Ryle, G., 1949, The Concept of Mind, New York: Barnes and Noble
^ Agassi, J. (1975). Privileged Access; Science in Flux, Boston Stidues in the
Philosophy of Science, 80. Dordrecht: Reidel.
^ Agassi, J. (1997). La Scienza in Divenire. Rome: Armando.

36.

^ a b Robinson, Howard (2003-08-19). "Dualism". The Stanford Encyclopedia of


Philosophy (Fall 2003 Edition). Center for the Study of Language and Information,
Stanford University. Diakses 2006-09-25.

37.

^ Leibniz, Gottfried Wilhelm (1714). Monadology. ISBN 0-87548-030-6.

38.

^ Schmaltz, Tad (2002). "Nicolas Malebranche". The Stanford Encyclopedia of


Philosophy (Summer 2002 Edition). Center for the Study of Language and Information,
Stanford University. Diakses 2006-09-25.

39.

^ Huxley, T. H. [1874] "On the Hypothesis that Animals are Automata, and its
History", The Fortnightly Review, n.s.16:555\u2013580. Reprinted in Method and
Results: Essays by Thomas H. Huxley (New York: D. Appleton and Company, 1898).

40.

^ Jackson, Frank (1986,). "What Mary didn't know". Journal of Philosophy.:


291\u2013295.

41.

^ a b c d e f g h i Stoljar, Daniel (2005). "Physicalism". The Stanford Encyclopedia of


Philosophy (Winter 2005 Edition). Center for the Study of Language and Information,
Stanford University. Diakses 2006-09-24.

42.

^ Chalmers, David (1996). The Conscious Mind. Oxford University Press.


ISBN 978-0-19-511789-9.

43.

^ Russell, Bertrand (1918) Mysticism and Logic and Other Essays, London:
Longmans, Green.

44.

^ Mach, E. (1886) Die Analyse der Empfindungen und das Verhltnis des
Physischen zum Psychischen. Fifth edition translated as The Analysis of Sensations and
the Relation of Physical to the Psychical, New York: Dover. 1959

45.

^ Skinner, B.F. (1972). Beyond Freedom & Dignity. New York: Bantam/Vintage
Books. ISBN 0-553-14372-7.

46.

^ Ryle, Gilbert (1949). The Concept of Mind. Chicago: Chicago University Press.
ISBN 0-226-73295-9.

47.

^ Place, Ullin (1956). "Is Consciousness a Brain Process?". British Journal of


Psychology.

48.

^ Smart, J.J.C, "Identity Theory", The Stanford Encyclopedia of Philosophy


(Summer 2002 Edition), Edward N. Zalta (ed.)

49.

^ Davidson, D. (2001). Subjective, Intersubjective, Objective. Oxford: Oxford


University Press. ISBN 88-7078-832-6.

50.

^ a b Block, Ned. "What is functionalism" in Readings in Philosophy of


Psychology, 2 vols. Vol 1. (Cambridge: Harvard, 1980).

51.

^ Armstrong, D., 1968, A Materialist Theory of the Mind, Routledge.

52.

^ Stanton, W.L. (1983) "Supervenience and Psychological Law in Anomalous


Monism", Pacific Philosophical Quarterly 64: 72-9

53.

^ Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, Westview Press; 2 edition (July 8, 2005)


ISBN 0-8133-4269-4

54.

^ McGinn, Colin. "Can We Solve the Mind-Body Problem?", Mind, New Series,
Vol. 98, No. 391, July 1989 (hal. 349-366), hal. 350.

Reprinted in O'Connor, Timothy and Robb, David. "Colin McGinn, Can


We Solve the Mind-Body Problem?", Philosophy of Mind: Contemporary
Readings. Routledge, 2003, hal. 438ff.

55.

^ "Hard problem of Consciousness", The Internet Encyclopedia of Philosophy,


Josh Weisberg

56.

^ a b Hacker, Peter (2003). Philosophical Foundations of Neuroscience. Blackwel


Pub. ISBN 1-4051-0838-X.

57.

^ a b c Wittgenstein, Ludwig (1954). Philosophical Investigations. New York:


Macmillan. ISBN 0-631-14660-1.

58.

^ Putnam, Hilary (2000). The Threefold Cord: Mind, Body, and World. New York:
Columbia University Press. ISBN 0-231-10286-0.

59.

^ Hubert Dreyfus, "Critique of Descartes I" (recorded lecture), University of


California at Berkeley, Sept. 18, 2007.

60.

^ Joseph Levine, Materialism and Qualia: The Explanatory Gap, in: Pacific
Philosophical Quarterly, vol. 64, no. 4, October, 1983, 354361

61.

^ Jackson, F. (1986) "What Mary didn't Know", Journal of Philosophy, 83, 5, hal.
291295.

62.

^ McGinn, C. "Can the Mind-Body Problem Be Solved", Mind, New Series,


Volume 98, Issue 391, hal. 349366. a (online)

63.

^ Fodor, Jerry (1993). Psychosemantics. The problem of meaning in the


philosophy of mind. Cambridge: MIT Press. ISBN 0-262-06106-6.

64.

^ Bandingkan http://plato.stanford.edu/entries/perception-episprob/ BonJour,


Laurence (2007): Epistemological Problems of Perception. Stanford Encyclopedia of
Philosophy, diakses 1.9.2010.

65.

^ Siegel, S. (2011)."The Contents of Perception", The Stanford Encyclopedia of


Philosophy (Edisi Musim Dingin 2011), Edward N. Zalta (penyunting).

66.

^ Siegel, S.: The Contents of Visual Experience. New York: Oxford University
Press. 2010

67.

^ Macpherson, F. & Haddock, A., editors, Disjunctivism: Perception, Action,


Knowledge, Oxford: Oxford University Press, 2008.

68.

^ a b c d Pinker, S. (1997) How the Mind Works. tr. It: Come Funziona la Mente.
Milan:Mondadori, 2000. ISBN 88-04-49908-7

69.

^ a b c Bear, M. F. et al. Eds. (1995). Neuroscience: Exploring The Brain.


Baltimore, Maryland, Williams and Wilkins. ISBN 0-7817-3944-6

70.

^ a b c Pinel, J.P.J (1997). Psychobiology. Prentice Hall. ISBN 88-15-07174-1.

71.

^ Metzinger, Thomas (2003). Being No One - The Self Model Theory of


Subjectivity. Cambridge: MIT Press. hlm. 349366. ISBN 0-262-13417-9.

72.

^ Sipser, M. (1998). Introduction to the Theory of Computation. Boston, Mass.:


PWS Publishing Co. ISBN 0-534-94728-X.

73.

^ a b Searle, John (1980). "Minds, Brains and Programs". The Behavioral and
Brain Sciences (3): 417424.

74.
75.
76.

^ Templat:Turing 1950
^ Russell, S. and Norvig, R. (1995). Artificial Intelligence:A Modern Approach.
New Jersey: Prentice Hall, Inc. ISBN 0-13-103805-2.
^ "Encyclopedia of Psychology".

77.

^ Thagard, Paul, Cognitive Science, The Stanford Encyclopedia of Philosophy


(Fall 2008 Edition), Edward N. Zalta (ed.).

78.

^ a b c Dummett, M. (2001). Origini della Filosofia Analitica. Einaudi. ISBN 8806-15286-6.

79.

^ Hegel, G.W.F. Phenomenology of Spirit. ISBN 0-19-503169-5., translated by


A.V. Miller with analysis of the text and foreword by J. N. Findlay (Oxford: Clarendon
Press, 1977) ISBN 0-19-824597-1 .

80.

^ Husserl, Edmund. Logische Untersuchungen. ISBN 3-05-004391-1. trans.:


Giovanni Piana. Milan: EST. ISBN 88-428-0949-7

81.

^ The Internet Encyclopedia of Philosophy Nyya, Matthew R. Dasti

82.

^ The Internet Encyclopedia of Philosophy Advaita Vedanta, Sangeetha Menon

83.

^ The Internet Encyclopedia of Philosophy Ramanuja, Shyam Ranganathan

84.

^ The Internet Encyclopedia of Philosophy Lokyata/Crvka Indian


Materialism, Abigail Turner-Lauck Wernicki

85.

^ a b c d e f g Coseru, Christian, "Mind in Indian Buddhist Philosophy", The


Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2012 Edition), Edward N. Zalta (ed.)

86.

^ Gold, Jonathan C., "Vasubandhu", The Stanford Encyclopedia of Philosophy


(Winter 2012 Edition), Edward N. Zalta (ed.)

87.

^ Blumenthal, James, "ntaraks ita", The Stanford Encyclopedia of Philosophy


(fall 2009 Edition), Edward N. Zalta (ed.)

88.

^ B. Alan Wallace; Mind in the Balance: Meditation in Science, Buddhism, and


Christianity, hal. 95-96

89.

^ Sparham, Gareth, "Tsongkhapa", The Stanford Encyclopedia of Philosophy


(fall 20011 Edition), Edward N. Zalta (ed.)

90.

^ Talk by His Holiness the Dalai Lama at Cambridge, MA USA, From


MindScience, edited by Daniel Goleman and Robert F. Thurman, first in 1991 by
Wisdom Publications, Boston, USA.

91.

^ a b Zeuschner, Robert B., "The Understanding of Mind in the Northern Line of


Ch'an (Zen)", Philosophy East and West, V. 28, No. 1 (January 1978), hal. 69-79,
University of Hawaii Press, Hawaii, USA.

92.

^ David E. Shaner, "The bodymind experience in Dogen's Shobogenzo: a


phenomenological perspective", Philosophy East and West 35, no. 1 (January 1985),
University of Hawaii Press, Hawaii, USA.

93.

^ a b c d "Philosopher Ted Honderich's Determinism web resource".

94.

^ Harris, Sam. 2012. Free Will. Free Press. ISBN 978-1451683400

95.

^ Russell, Paul, Freedom and Moral Sentiment: Hume's Way of Naturalizing


Responsibility Oxford University Press: New York & Oxford, 1995.

96.

^ Dennett, Daniel (1984). The Varieties of Free Will Worth Wanting. Cambridge
MA: Bradford Books-MIT Press. ISBN 0-262-54042-8.

97.

^ Descartes, Ren (1649). Passions of the Soul. ISBN 0-87220-035-3.

98.

^ Kane, Robert (2009). "Libertarianism". Philosophical Studies (Springer


Netherlands) 144 (1): 39. doi:10.1007/s11098-009-9365-y.

99.

^ Dennett, C. and Hofstadter, D.R. (1981). The Mind's I. Bantam Books. ISBN 0553-01412-9.

100.
^ Searle, John (Jan 2005). Mind: A Brief Introduction. Oxford University Press
Inc, USA. ISBN 0-19-515733-8.
101.

^ A. J. Ayer, Language, Truth and Logic, (Penguin, edisi 2001), hal. 1356

102.
^ LeDoux, Joseph (2002). The Synaptic Self. New York: Viking Penguin.
ISBN 88-7078-795-8.
Bacaan lanjut

Anda mungkin juga menyukai