Anda di halaman 1dari 12

Aku dan Banjir

Oleh: Rizki Pradana

Kamis malam tanggal 1 Februari 2007, hujan turun tiada henti sejak sore hari. Samudra, sedang
terlelap dalam kamarnya yang hanya dibatasi oleh triplek tipis tepat di sebelah ruang tamu tempat
orang tuanya tidur. Udara yang dingin membuat Samudra terlelap makin dalam. Samudra tidak tahu,
betapa sibuknya sang orang tua menaruh segala wadah untuk menjaga air bocoran dari atap
rumahnya.

Adegan I

Minah:
Pak, sebelah kanan bapak ada air netes lagi tuh.

Parto:
Mana bu?

Minah:
Itu pak!

Parto:
Iya. Tapi pake apaan lagi, bu? Semua wadah sudah kita pakai.

Minah:

Oh iya-ya, pak. Pake apa lagi yah.

Tiba-tiba ada air mengalir dengan cepat masuk ke dalam rumah dari lubang di pintu dan dinding
triplek.

Minah:
(panic) Pak! Banjir, pak.

Parto:
Ya, sudah berarti kita gak perlu tadang-menadang air bocoran hujan ini lagi. Percuma. Sekarang kita
angkat barang-barang kita ke tempat yang lebih tinggi saja. (sambil mengangkat TV ke atas lemari
yang paling tinggi)

Minah:
Baik, pak. Mudah-mudahan sih tida seperti tahun 2002 yang lalu. (sambil angkat radio untuk ditaruh
di sebelah TV)

Minah dan Parto terus mengangkati tiap-tiap barang berharga ke tempat yang lebih tinggi, hingga
terdengar suara dari Tetangganya.

Tetangga:
Mas Parto, mas Parto, air di kali Ciliwung, sudah mulai luber. Sebaiknya kita segera mengungsi.
Parto:
Wah yang bener kamu?

Tetangga:
Betul, mas. Orang-orang udah banyak yang mengungsi, karena takut kejadian seperti tahun 2002
yang lalu.

Parto:
Baiklah. (kepada Minah) Bu, segera bangunkan Samudra, kita segera mengungsi. Aku akan siapkan
pakaian dan apapun yang berharga dan bisa dibawa.

Minah:
Baik, Mas!

Minah segera menuju kamar Samudra.

Minah:
Samudra, bangun nak. Kita mengungsi.

Samudra:
Mengungsi? Memang ada apa, bu?

Minah:
Banjir, sayang. Ayo cepat ambil baju-baju dan buku-buku sekolahmu.

Samudra:

Banjir, bu?

Minah:
Iya, sudah cepat.

Belum sempat Samudra membereskan buku pelajaran sekolahnya, tiba-tiba ayahnya, datang dan
langsung menggendong Samudra.

Parto:
Sudah tidak ada waktu lagi. Ayo, segera keluar. Bu, bawa bungkusan yang ada di atas meja.

Minah:
Baik, pak.

Samudra:
Pak, kita kemana, pak?

Parto:
Kita ngungsi, sayang. Banjir semakin tinggi, air di Ciliwung semakin deras
Parto, Minah dan Samudra, bergabung dengan Tetangga lainnya berlari menuju pengungsian
sementara di sebuah masjid yang letaknya jauh lebih tinggi dari rumah mereka. Samudra yang baru
saja bangun dari tidurnya tidak sadar bahwa dia akan kehilangan tempat tinggal dan buku-buku
pelajarannya. Ketika sudah satu jam di pengungsian dia baru sadar, akan keselamatan bukubukunya.

Adegan II

Samudra menangis, ketika ingat akan buku-buku pelajarannya. Tangisnya tidak keras, tapi dia
terlihat sangat larut. Hingga kemudian datang beberapa anak seumurannya, yang ternyata adalah
teman sekolah Samudra.

Pandi:
Samudra! Wah kamu juga ngungsi yah?

Rizal:
Sssst. Teman-teman, Samudra kenapa tuh, kok nunduk aja. Padahal ada temennya yang datang?

Adri:
Samudra! Kamu kenapa? (berusaha melihat wajah Samudra lebih dekat lagi) Eh kamu nangis yah?

Pandi:
Nangis? Wah gak salah tuh?

Samudra:
Jelas gak salah dong, aku bakal kehilangan buku-buku pelajaranku yang baru ku beli dari hasil
asongan koranku selama 2 bulan.

Adri:

Ooohpantes. Tapi udah lah, buku kan bisa dibeli lagi, kalo nyawa yang hilang bagaimana?

Rizal:
Betul itu, Sam.dalam suasana ini tidak ada gunanya bersedih. Lebih baik kamu ikut kita yuk.

Samudra:
Kemana?

Pandi:
Kita pergi ketempat jalan yang kebanjiran, iseng-iseng aja, siapa tahu ada yang bisa menghasilkan
duit.

Adri:
Betul tuh, kalo banjir begini kan banyak orang yang gak bisa lewat. Kita bisa angkut pake gerobak,
trus dapet duit deh.

Rizal:
Kalo dapet uang banyak kan bisa buat beli buku sekolah yang baru lagi. Betul gak kawan-kawan?

Adri, dan Pandi:


Betul!

Pandi:
Gimana, Sam? Mau ikut gak?

Samudra:
Kayaknya nggak dulu deh. Kalian pergi saja duluan. Nanti kalau aku berubah pikiran aku akan
menyusul kalian.

Rizal:
Oke deh kalau begitu. Kita jalan dulu yah.

Teman-teman Samudra akhirnya pergi meninggalkan Samudra yang masih memikirkan buku-buku
pelajaran sekolahnya.

Adegan III

Pandi, Rizal dan Adri, sedang menarik gerobak keluar dari rumah Adri yang baru terendam air
sampai betis, menuju jalan raya yang terendam air.

Pandi:
Rizal, kamu tarik yang bener dong gerobaknya.

Rizal:
Ini juga udah bener, emang mau gimana lagi?

Adri:
Maksud Pandi, jangan belok-belok, dan jangan buru-buru.

Rizal:
Lha emang dasar lagi banjir, nariknya berat, kan jalannya di air, jadi agak belok-belok.

Pandi:
Iya-iya. Tuh sebentar lagi sampai.

Ketika ketiga sahabat Samudra itu sampai di jalan raya, memang benar banyak orang yang tidak
bisa jalan, Karena air sudah setinggi lutut orang dewasa.

Pandi:
Pak, naik gerobak pak, Cuma empat ribu rupiah pak.

Orang I:
Boleh, sampe sana yah.(menunjuk arah seberang dia berada)

Pandi:
Oke Pak! (kepada teman-temannya) Rizal, Adri, ayo jalan, kita dapet penumpang nih.

Pandi, Adri dan Rizal mulai mendapat satu persatu penumpang. Mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak,
karyawan muda-mudi. Hingga pasangan suami istri yang pulang kerja.
Tak lama terlihatseorang anak menghampiri mereka. Samudra rupanya berubah pikiran.

Samudra:
Temen-temen, gimana nariknya? Lancar?

Pandi, Adri dan Rizal:


Wah, datang juga kamu Dra.

Rizal:
Dra, gantiin aku tarik gerobak dong, nanti aku, Pandi, dan Adri yang dorong.

Samudra:
Boleh. Ayo kita cari penumpang lagi.(semangat)

Dengan Samudra menggantikan posisi Rizal, mereka berempat menjadi lebih semangat. Tapi ketiga
teman Samudra, tidak mengetahui isi pikiran Samudra.

Samudra(dalam hati):
Aku harus bisa membeli buku yang baru. Musibah ini akan aku jadikan berkah untuk membeli buku
yang baru. Aku pasti bisa!

Kemudian Mereka berempat berkali-kali bulak-balik mengantarkan penumpang, sampai tak tersisa
lagi orang yang mau menyebrang.

Adegan IV
Kelelahan tampak pada wajah empat orang sahabat itu, namun kantong plastic kecil yang
dikeluarkan oleh Pandi, cukup bisa membuat wajah mereka kembali ceria. Kantong plastic itu berisi
uang hasil ojek gerobak tadi.

Rizal:
Eerraaaagghhh (meregangkan tubuhnya) capek banget yah.

Adri:
Iya, pinggangku lumayan pegel nih, dorong-dorong gerobak.

Samudra:
Ya, emang begini kalo nekat kerja malam-malam, berendam air banjir lagi.

Pandi:
Temen-temen, ini hasil kita tadi, (mengeluarkan kantung plastic isi uang) ayo kita hitung.

Rizal:
Oh iya nih.

Samudra, dan ketiga kawannya menghitung uang ditempat yang aman. Jumlahnya ternyata dua
ratus ribu rupiah.

Adri:
Wah lumayan juga yah, ada 200ribu rupiah.

Rizal:
Kita bagi empat

Pandi:
Samudra, 50ribu; Rizal, 50ribu; Adri, 50 ribu; dan aku 50 ribu.
Bagaimana teman-teman, setuju?

Adri, Rizal, dan Samudra:


Setuujuuuu.

Samudra:
Selama Banjir masih ada, kita harus bisa merubahnya menjadi berkah buat kita. Jangan bersedih.

Adri, Rizal dan Pandi:


Whoooooooo..!

Rizal:

Memangnya yang tadi sedih siapa?

Samudra:
Oh iya-yah jadi malu.

Lalu semuanya tertawa, mencoba melupakan pedihnya musibah banjir dan merubahnya menjadi
berkah, walau rumah mereka tenggelam.

The End

Anda mungkin juga menyukai