A. Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik
dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau
pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat
potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi,
tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam
mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat
menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata
pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan
mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat
pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan
keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau
penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman
sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan
habitat biota laut.
Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan
wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang
memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar
serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah
tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara
langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daua alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan arti kata mangrove adalah
vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh
pada pantai karang, pada daratan koral mati yang di atasnya ditumbuhi selapis
tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (Saparinto, 2007).
Selanjutnya
Saparinto
(2007)
mengungkapkan
hutan
mangrove
mempunyai 3 fungsi utama bagi kelestarian sumber daya yakni fungsi fisik, fungsi
biologi dan fungsi ekonomi. Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (RLPS) Tahun 1999 luas potensial hutan mangrove Indonesia
adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8
juta ha terdapat di luar kawasan hutan. Sementara itu berdasarkan kondisinya
diperkirakan bahwa 1,7 juta (44,73%) hutan mangrove di dalam kawasan hutan
dan 4,2 juta ha (87,50%) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan
rusak. Menurunnya ekosistem mangrove di wilayah pesisir dapat dilihat dari luas
hutan mangrove Indonesia yang diperkirakan 4,25 juta ha saat ini hanya tinggal
2,5 juta ha.
Sumber daya ekosistem mangrove termasuk dalam sumber daya wilayah
pesisir, merupakan sumber daya yang bersifat alami dan dapat terbaharui
(renewable resources) yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya,
supaya dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal
mungkin dengan pengelolaan yang lestari. Mangrove menghendaki lingkungan
tempat tumbuh yang agak ekstrim yaitu membutuhkan air asin (salinitas air),
berlumpur dan selalu tergenang, yaitu di daerah yang berbeda dalam jangkauan
pasang surut seperti di daerah delta. (Irwan, 2007).
Selain itu, sumber daya mangrove juga mempunyai beberapa peran baik
secara fisik, biologi maupun kimia yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan
hidup manusia dan berfungsi sebagai penyangga keseimbangan ekosistem di
wilayah pesisir diantaranya: 1) sebagai pelindung dan penahan pantai; 2) sebagai
penghasil bahan organik; 3) sebagai habitat fauna mangrove; dan 4) sebagai
kawasan pariwisata dan konservasi. Pemanfaatan hutan mangrove secara rasional
bagi pertanian, pertambakan atau kepentingan lain hendaknya mencakup unsurunsur selektif, preservasi, konservasi dan efisiensi.
Selain ekosistem mangrove di wilayah pesisir terdapat juga ekosistem lain,
baik yang bersifat alami (natural) maupun butanan (manmade). Ekosistem alami
yaitu terumbukarang (coral reefs), padang lamun (sea grass bed), pantai pasir
(sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi
barringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain
tambak, sawah pasang surut, perkebunan, kawasan pariwisata, industri dan
pemukiman, (Saparinto, 2007).
TINJAUAN PUSTAKA
ahli
mengemukakan
definisi
hutan
mangrove,
seperti
pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak
mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api
(Avicenia sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizopora sp), lacang (Bruguiera sp),
nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain. Kusmana (2002)
mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu
individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang
surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh
pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan
pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri
atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
mangrove (Saparinto, 2007).
Menurut Nybakken (1982) hutan bakau atau mangal adalah sebutan
umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin
Bakau adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggian laut.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daua alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang
satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan arti kata mangrove
adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi juga dapat
tumbuh pada pantai karang, pada daratan koral mati yang di atasnya ditumbuhi
selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (Saparinto, 2007).
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000).
Sementara ini wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan
berbatasan dengan laut. Batas wilayah pesisir di daratan ialah daerah-daerah yang
tergenang air maupun yang tidak tergenang air dan masih dipengaruhi oleh
proses-proses bahari seperti pasang surutnya laut, angin laut dan intrusi air laut,
sedangkan batas wilayah pesisir di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh
proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke
laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di
daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran. (Sudarmadji 2001).
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan
saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masingmasing elmen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling
mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya
(daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan
ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak
berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahanbahan pencemar ( Sudarmadji. (2001).
Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah
berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan
mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai
ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain,
reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga
merupakan sumber plasma nutfah (Bengen, D.G. 2001).
Secara biologis ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang
tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram
karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai
lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang
keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan
oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik
yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota
perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Bengen, D.G. 2001).
Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di
sekitarnya (Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat
dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan
oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan
bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero,
bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk
pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula,
alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk
menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain
(Bengen, D.G. 2001).
Menurut Saenger et al. (1983), hutan mangrove juga berperan dalam
pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan
Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk
transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan (Kusmana, 2002).
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat.
Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya.
Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan
B.2.
fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi fisik; menjaga garis pantai agar
tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan
mengolah bahan limbah. Fungsi biologis ; tempat pembenihan ikan, udang,
tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami
bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan bakar (arang
kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan.
Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan
ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi
suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu,
ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal,
mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah,
118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002).
Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami
untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang
dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa
diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan
maupun di tajuk- tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada
hutan mangrove tersebut (Sudarmadji 2001).
Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar,
arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata).
Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi
lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna,
diantaranya :
Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
Pengendali intrusi air laut
Habitat berbagai jenis fauna
oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya
(Dahuri, 2002).
Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang
tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis
pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat
sekitar 47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove. Dalam hutan mangrove,
paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke
dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops),
Sonneratiaceae
(Sonneratia),
Avicenniaceae
(Avicennia),
dan
Meliaceae
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.
Pusat Kajian Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta.
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan PulauPulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan
Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat: Antara Harapan
dan Kenyataa. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan
Propinsi Sulawesi Tengah. Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai
Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan mangrove
Pasca sunami, Medan, April 2005
Djamal Irwan, Zoeraini. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi Ekosistem, Lingkungan
dan Pelestariannya. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999b. Sylvofishery, budidaya tambakmangrove terpadu. Majalah Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan
Perkebunan. Jakarta.
(2001).
Rehabilitasi
Hutan
Mangrove
Dengan
Pendekatan
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu DASAR. Vol. 2 No. 2 Tahun 2001.
Jember: Universitas Jember.
Soerianegara, I dan Indrawan (1982). Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.