Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik
dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau
pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat
potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi,
tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam
mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat
menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata
pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan
mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat
pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan
keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau
penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman
sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan
habitat biota laut.
Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan
wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang
memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar
serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah
tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara
langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral

memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya


pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah
pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang
mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.
Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa daerah, baik di
pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Papua telah berulangkali dilakukan
(Rimbawan, 1995; Sumarhani, 1995; Fauziah, 1999). Upaya ini biasanya berupa
proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang dipeorleh
relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya cukup besar, tersedia tenaga ahli,
tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas
penunjang yang lainnya. Sebagian besar garis pantai perairan Indonesia
merupakan dataran rendah dan tertutupi hutan tropis atau hutan mangrove,
kadang-kadang terbentuk pantai yang berbatasan dengan pasir berbatu atua karang
lunak dan terletak di belakang pinggiran terumbu karang, terutama di dekat muara
sungai.
Menurut Nybakken (1982) hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum
yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik
yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin Bakau adalah
tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggian laut. Menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu

kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daua alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan arti kata mangrove adalah
vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh
pada pantai karang, pada daratan koral mati yang di atasnya ditumbuhi selapis
tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (Saparinto, 2007).
Selanjutnya

Saparinto

(2007)

mengungkapkan

hutan

mangrove

mempunyai 3 fungsi utama bagi kelestarian sumber daya yakni fungsi fisik, fungsi
biologi dan fungsi ekonomi. Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (RLPS) Tahun 1999 luas potensial hutan mangrove Indonesia
adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8
juta ha terdapat di luar kawasan hutan. Sementara itu berdasarkan kondisinya
diperkirakan bahwa 1,7 juta (44,73%) hutan mangrove di dalam kawasan hutan
dan 4,2 juta ha (87,50%) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan
rusak. Menurunnya ekosistem mangrove di wilayah pesisir dapat dilihat dari luas
hutan mangrove Indonesia yang diperkirakan 4,25 juta ha saat ini hanya tinggal
2,5 juta ha.
Sumber daya ekosistem mangrove termasuk dalam sumber daya wilayah
pesisir, merupakan sumber daya yang bersifat alami dan dapat terbaharui
(renewable resources) yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya,
supaya dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal
mungkin dengan pengelolaan yang lestari. Mangrove menghendaki lingkungan
tempat tumbuh yang agak ekstrim yaitu membutuhkan air asin (salinitas air),

berlumpur dan selalu tergenang, yaitu di daerah yang berbeda dalam jangkauan
pasang surut seperti di daerah delta. (Irwan, 2007).
Selain itu, sumber daya mangrove juga mempunyai beberapa peran baik
secara fisik, biologi maupun kimia yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan
hidup manusia dan berfungsi sebagai penyangga keseimbangan ekosistem di
wilayah pesisir diantaranya: 1) sebagai pelindung dan penahan pantai; 2) sebagai
penghasil bahan organik; 3) sebagai habitat fauna mangrove; dan 4) sebagai
kawasan pariwisata dan konservasi. Pemanfaatan hutan mangrove secara rasional
bagi pertanian, pertambakan atau kepentingan lain hendaknya mencakup unsurunsur selektif, preservasi, konservasi dan efisiensi.
Selain ekosistem mangrove di wilayah pesisir terdapat juga ekosistem lain,
baik yang bersifat alami (natural) maupun butanan (manmade). Ekosistem alami
yaitu terumbukarang (coral reefs), padang lamun (sea grass bed), pantai pasir
(sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi
barringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain
tambak, sawah pasang surut, perkebunan, kawasan pariwisata, industri dan
pemukiman, (Saparinto, 2007).

TINJAUAN PUSTAKA

Mangrove berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu


tumbuhan (Odum, 1983). Di Suriname, kata mangro pada mulanya merupakan
kata umum yang dipakai untuk jenis Rhizophora mangle. Karsten (1980 dalam
Chapman, 1976). Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu
individu pohon dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis,
pedanan yang digunakan untuk Mangrove adalah kata menglier. MacNae (1968)
menggunakan kata mangrove untuk individu tumbuhan dan mangal untuk
komunitasnya (Saparinto, 2007).
Hutan mangrove adalah sebutan untuk sekelompok tumbuhan yang hidup
di daerah pasang surut pantai. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal
forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan payau. Kita sering
menyebut hutan di pinggir pantai tersebut sebagai hutan bakau. Sebenarnya, hutan
tersebut lebih tepat dinamakan hutan mangrove. Istilah 'mangrove' digunakan
sebagai pengganti istilah bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah
pengertian dengan hutan yang terdiri atas pohon bakau Rhizophora spp. Karena
bukan hanya pohon bakau yang tumbuh di sana. Selain bakau, terdapat banyak
jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya (Saparinto, 2007).
Beberapa

ahli

mengemukakan

definisi

hutan

mangrove,

seperti

Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah


hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat didaerah teluk dan di
muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi

pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak
mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api
(Avicenia sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizopora sp), lacang (Bruguiera sp),
nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain. Kusmana (2002)
mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu
individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang
surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh
pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan
pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri
atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
mangrove (Saparinto, 2007).
Menurut Nybakken (1982) hutan bakau atau mangal adalah sebutan
umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin
Bakau adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggian laut.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daua alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang
satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan arti kata mangrove
adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi juga dapat
tumbuh pada pantai karang, pada daratan koral mati yang di atasnya ditumbuhi
selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (Saparinto, 2007).

A. Karakteristik Hutan Mangrove


Bakau adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Rhizophora, suku
Rhizophoraceae. Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri yang menyolok berupa akar
tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup daun penumpu yang
meruncing, serta buah yang berkecambah serta berakar ketika masih di pohon
(vivipar). Pohon bakau juga memiliki banyak nama lain seperti tancang, tanjang
(Jw.); tinjang (Md.); bangko (Bugis); kawoka (Timor), wako, jangkar dan lainlain. Secara fisik hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil,
melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut serta sebagai
perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan,
melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan dan gelombang dan
angin kencang; mencegah intrusi garam (salt intrution) ke arah darat; mengolah
limbah organik, dan sebagainya (Djamal Irwan, Zoeraini. 2007).
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta
mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis
tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini
kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan
evolusi.Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh
di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi
oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana
terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air

melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu (Departemen


Kehutanan dan Perkebunan, 1999).
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis
pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove
tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan
tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah
bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada
bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Hal ini terlihat
pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris
yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya
mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih
200 km, di Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal
ini jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang sangat
luas. Disamping Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya dapat
tumbuh secara "coppice. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari sejumlah
jenis yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan juga dapat
berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir seluruhnya
terdiri atas tegakan nipah Nypa fruticans (Perhutani, 1993).
B.1

Peranan dan Fungsi Hutan Mangrove


Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis,

yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000).
Sementara ini wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan

berbatasan dengan laut. Batas wilayah pesisir di daratan ialah daerah-daerah yang
tergenang air maupun yang tidak tergenang air dan masih dipengaruhi oleh
proses-proses bahari seperti pasang surutnya laut, angin laut dan intrusi air laut,
sedangkan batas wilayah pesisir di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh
proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke
laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di
daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran. (Sudarmadji 2001).
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan
saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masingmasing elmen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling
mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya
(daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan
ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak
berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahanbahan pencemar ( Sudarmadji. (2001).
Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah
berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan
mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai
ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain,
reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga
merupakan sumber plasma nutfah (Bengen, D.G. 2001).
Secara biologis ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang
tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram

karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai
lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang
keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan
oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik
yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota
perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Bengen, D.G. 2001).
Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di
sekitarnya (Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat
dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan
oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan
bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero,
bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk
pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula,
alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk
menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain
(Bengen, D.G. 2001).
Menurut Saenger et al. (1983), hutan mangrove juga berperan dalam
pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan
Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk
transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan (Kusmana, 2002).
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat.
Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya.
Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan

produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan


pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa
perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain
fungsi fisik (Kusmana, 2002).
Kerusakan hutan mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan
pendapatan sebesar 33,89% dimana kelompok yang paling besar terkena dampak
adalah nelayan. Selain itu sekitar 85,4% masyrakat pesisir di kawasan tersebut
kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum
kerusakan mangrove.
Menurut Suryanto (2007) mengungkapkan beberapa keutamaan hutan
mangrove baik dari aspek ekonomi maupun aspek lingkungan, yaitu:
1. Penghasil Kayu. Hutan mangrove dengan komposisi berbagai jenis
pohon dapat menghasilkan kayu untuk pertukangan dan industri lainnya.
2. Tempat pemijahan berbagai jenis ikan. Dengan adanya hutan mangrove
di tepi pantai, ikan kecil, kepiting dan udang sangat menyukainya untuk
berlindung karena gelombang di bawah tegakan hutan mangrove relatif
tenang. Keberadaan biota tersebut juga didukung banyaknya plankton.
3. Menjaga kelestarian terumbu karang. Terumbu karang sangat berguna
untuk tempat berlindung beranekaragam binatang air serta memungkinkan
dikembangkan untuk tempat wisata alam.
4. Mencegah abrasi dan erosi pantai. Keutuhan pantai dapat terjaga dan
menghindari penurunan luasan pantai secara drastis.

Sebagai perisai hidup. Apabila terjadi bencana gelombang tsunami,


sehingga sekalipun tertimpa musibah, namun dampak yang ditimbulkannya tidak
akan separah seperti yang terjadi di Aceh. Menurut informasi 50% kekuatan
gempasan gelombang dapat diredam oleh hutan mangrove (Perhutani, 1993).

B.2.

Fungsi dan Manfaat Hutan mangrove


Saenger (1983); Salim (1986); dan Naamin (1990) menyatakan bahwa

fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi fisik; menjaga garis pantai agar
tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan
mengolah bahan limbah. Fungsi biologis ; tempat pembenihan ikan, udang,
tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami
bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan bakar (arang
kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan.
Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan
ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi
suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping itu,
ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal,
mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah,
118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002).
Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami
untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang
dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa

dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang


sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule
(Pratikto dkk., 2002). Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem
mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi,
penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Disamping itu, ekosistem mangrove
juga merupakan penghasil detritus dan merupakan daerah asuhan (nursery
ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground), serta daerah pemijahan
(spawning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Juga
sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata. Menurut
Hardjosento (1981) dalam Saenger (1983), hasil dari hutan mangrove dapat
berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar, arang kulit kayu yang
menghasilkan tanin (zat penyamak) dan lain-lain. Selanjutnya Saenger, (1983)
juga merinci hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove berupa :
a. Bahan bakar; kayu bakar, arang dan alkohol.
b. Bahan bangunan; balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta
api,
pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah. Tikar bahkan pagar pun
menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove.
c. Makanan; obat-obatan dan minuman, gula alkohol, asam cuka, obatobatan.

d. Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring,


pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai.
e. Pertanian, makanan ternak, pupuk dsb.
f. Produksi kertas; berbagai macam kertas
Hutan mangrove merupakan sumber daya alam daerah tropis yang
mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun
ekologi (Djamal Irwan, Zoeraini. 2007).
Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove

bagi kehidupan dapat

diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan
maupun di tajuk- tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada
hutan mangrove tersebut (Sudarmadji 2001).
Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar,
arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata).
Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi
lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna,
diantaranya :
Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
Pengendali intrusi air laut
Habitat berbagai jenis fauna

Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai


jenis ikan dan udang
Pembangun lahan melalui proses sedimentasi
Pengontrol penyakit malaria
Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air)
Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan
lain (Soerianegara, I dan Indrawan 1982).
Lebih lanjut Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur (1994), menyatakan
bahwa ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang
dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung,
adalah sebagai berikut :
1. Fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove menjamin terpeliharanya:
a. Lingkungan fisik, yaitu perlindungan pantai terhadap pengikisan oleh
ombak dan angin, pengendapan sedimen, pencegahan dan pengendalian intrusi air
laut ke wilayah daratan serta pengendalian dampak pencemaran air laut.
b. Lingkungan biota, yaitu sebagai tempat berkembang biak dan
berlindung biota perairan seperti ikan, udang, moluska dan berbagai jenis
reptil serta jenis-jenis burung serta mamalia. c. Lingkungan hidup daerah
di sekitar lokasi (khususnya iklim makro) (Bengen, D.G. 2001).

2. Fungsi Sosial dan ekonomis, yaitu sebagai:


a. Sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan
hasil hutan ikutannya.
b. Tempat rekreasi atau wisata alam.
c. Obyek pendidikan, latihan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi
utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi Dahuri (2004).
Fungsi ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut :
a. Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara
ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang
lamun dan terumbu karang.
b. Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove
mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan
melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan.
c. Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di
daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.
d. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar
(environmental service), khususnya bahan-bahan organic.

e. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama


dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang
gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri
dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun
tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan
bagi hewan pemakan seperti : cacing, udang-udang kecil dan akhirnya
hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan
hewan lainnya.
f. Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda
(juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan
dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground)
beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.
3. Kondisi Mangrove di Indonesia
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove
di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan
ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di
dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera,
Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan
dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun
1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan
penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove
yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan

oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya
(Dahuri, 2002).
Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang
tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis
pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat
sekitar 47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove. Dalam hutan mangrove,
paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke
dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops),
Sonneratiaceae

(Sonneratia),

Avicenniaceae

(Avicennia),

dan

Meliaceae

(Xylocarpus). Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang


rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang kurang stabil dan
pasang surut (Kusmana, 2002).
Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau vegetasi mangrove yang
merupakan komunitas pantai tropis. Secara umum, karakteristik habitat hutan
mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung, dan/atau berpasir. Daerah habitat mangrove tergenang air laut secara
berkala, setiap hari, atau pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan
menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Hutan mangrove menerima
pasokan air tawar yang cukup dari darat serta terlindung dari gelombang besar dan
arus pasang surut yang kuat. Habitat hutan mangrove memiliki air bersalinitas
payau (2-22 bagian per mil) hingga asin (mencapai 38 bagian permil). Hutan

mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, dan


daerah pantai yang terlindung (Golar, 2002).

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.
Pusat Kajian Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta.
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan PulauPulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan
Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat: Antara Harapan
dan Kenyataa. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan
Propinsi Sulawesi Tengah. Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai
Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan mangrove
Pasca sunami, Medan, April 2005
Djamal Irwan, Zoeraini. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi Ekosistem, Lingkungan
dan Pelestariannya. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999b. Sylvofishery, budidaya tambakmangrove terpadu. Majalah Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan
Perkebunan. Jakarta.

Perhutani, 1993. Pelaksanaan program perhutanan sosial dengan sistem


sylvofishery pada kawasan hutan payau di pulau Jawa. Direksi Perum Perhutani,
Jakarta.
Saparinto, Cahyo (2007). Pendayagunaan Ekosistem Mangrove, Semarang:
Dahara Prize
Sudarmadji.

(2001).

Rehabilitasi

Hutan

Mangrove

Dengan

Pendekatan

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu DASAR. Vol. 2 No. 2 Tahun 2001.
Jember: Universitas Jember.
Soerianegara, I dan Indrawan (1982). Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai