Topik
Ketergantungan terhadap Genetically Modified Organism (Bibit tanaman hasil rekayasa)
B. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami dampak positif dan negatif dari ketergantungan terhadap GMO
atau bibit tanaman hasil rekayasa.
C. Teori Dasar
Genetically Modified Organism Adalah sebuah bibit tanaman yang biasanya di tanam pada
perkebunan atau pertanian. GMO ini marak karena hasil yang menjanjikan (ukuran buah menjadi
lebih besar dan lebih tahan terhadap hama)
Macam-macam GMO
1. Berdasarkan Buahnya
1) Corn atau JagungHampir 85 persen dari jagung yang di amerika adalah dimodifikasi.
2) Soy atau Keledai
Soy is the most heavily genetically modified food in the country. The largest3. Terong
Produsen yang terkenal adalah Monsanto
D. Lokasi
Wilayah pertanian di Sulawesi di Indonesia
E. Prosedur Pengamatan
Mengikuti dari media cetak dan internet
F. Hasil Pengamatan
Dari tahun 1997 hingga akhir 2000 Monsanto melakukan banyak kegiatan pertanian di wilayah
sulawesi. Obyek perkebunan yang mereka lakukan adalah kapas. Dasar penggunaan GMO ini
untuk menambah produktifitas. Dampak lain adalah ternyata GMO ini secara tidak langsung
membuat hama yang dapat bertahan (surivive) semakin kuat. Dan hal ini membuat petani harus
membeli GMO terbaru yang lebih superior dari versi sebelumnya. Dan hal ini juga membuat
konsumsi pestisida makin tinggi.
G. Pembahasan
Saat petani beralih menggunakan GMO maka secara seterusnya akan menggunakan GMO. Karena
GMO ini akan membentuk hama yang lebih resisten. Dan akibatnya membutuhkan lebih besar
pestisida nya. Dan di satu sisi menciptakan hama super.
H. Kesimpulan
Ketergantungan terhadap GMO membawa dua dampak buruk. Pertama petani ketergantungan dan
membeli GMO terbaru yang lebih kuat. Di satu sisi hal ini merugikan petani dan membuat produsen
GMO seperti monsanto makin kaya, di sisi lain penggunaan pestisida yang makin kuat membuat
dampak kesehatan bagi para konsumen makin riskan.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Daerah pinggiran kota adalah suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah
urban fringer atau daerah peri urban atau nama lain yang muncul kemudian
merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius karena begitu
pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan penduduk baik desa maupun
kota di masa yang akan datang. Sebagai contoh kawasan perkotaan Mamminasata
yang terdapat WPU disekir kawasan tersebut.
WPU ini menentukan peri kehidupan kekotaan karena segala bentuk perkembangan
fisikal baru akan terjadi di wilayah ini, sehingga tatanan kehidupan kekotaan pada
masa yang akan datang sangat ditentukan oleh bentuk, proses dan dampak
perkembangan yang terjadi di WPU tersebut. Tanpa adanya perhatian khusus pada
WPU ini, sangat dimungkinkan terjadi suatu bentuk dan proses perkembangan
fisikal kekotaan baru yang mengarah pada dampak negatif.
Salah satu WPU dari Kawasan Perkotaan Mamminasata adalah Desa Patallassang
yang berada di Kecamatan Patallassang. Di pihak lain, WPU juga berbatasan
langsung dengan daerah pedesaan dan sementara itu, di dalamnya masih banyak
fisikal baru dari kota. Padahal sudah diketahui bahwa WPU ini merupakan sasaran
perkembangan penduduk desa yang masih menggantungkan kehidupan dan
penghidupannya pada sector pertanian. Suatu keniscayaan yang muncul
didalamnya adalah hilangnya lahan pertanian. Konflik antara mempertahankan
lahan pertanian untuk kepentingan sector kedesaan di satu sisi dan melepaskan
lahan pertanian di sisi lain untuk kepentingan perkembangan fisikal baru sector
kekotaan merupakan bentuk konflik pemanfaatan lahan paling mencolok. Tidak
berlebihan kiranya mengatakan bahwa WPU ini seolah-olah merupakan ajang
pertempuran (battle front) antara sector kedesaan dan sector kekotaan, di mana
tidak pernah ada kenyataan empiris yang mengemukakan bahwa sector kedesaan
memenangkan peperangan ini.
Jelas kiranya, dampak yang bakal muncul dimasa yang akan datang berkenaan
dengan pemekaran fisikal kekotaan (urban sprawl) terhadap WPU yang terkait
dengan peri kehidupan dan penghidupan kedesaan, khususnya bagi petani.
Hilangnya lahan pertanian, menurunnya produktivitas pertanian, menurunnya
komitmen petani terhadap lahan maupun kegiatan pertaniannya, hilangnya bidang
pekerjaan pertanian, ketidaksiapan petani masuk ke sector non-pertanian/kekotaan
dan hilangnya atmosfir kedesaan dalam berbagai dimensi merupakan beberapa
contoh dampak negative dalam skala lokal dan regional yang secara langsung
maupun tidak telah berpengaruh terhadap peri kehidupan sector kedesaan.
(Yunus,2008:).
Akibat adanya perluasan pembangunan pada daerah pinggiran kota yang
sebelumnya merupakan suatu daerah desa, maka akan timbul lingkungan baru
yang biasa disebut sub urban atau yang biasa disebut dalam perspektif lingkungan
(Koestoer, 2007:198). Di wilayah desa-kota ini cenderung terjadi konflik tentang
Rumusan Masalah
1.
2.
Bagaimana perencanaan ekonomi dan perencanaan fisik di Desa
Patallassang?
C.
1.
Tujuan
Untuk mengetahui gambaran umum fisik dan ekonomi Desa Patallassang.
2.
Untuk mengetahui perencanaan ekonomi dan perencanaan fisi di Desa
Patallassang.
D.
Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan Laporan ini dilakukan dengan mengurut data sesuai dengan
tingkat kebutuhan dan kegunaan, sehingga semua aspek yang dibutuhkan dalam
proses selanjutnya terangkum secara sistematis, dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan juga
sistematika pembahasan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang Pengertian Wilayah Peri Urban, Pengertian Desa,
Karakteristik Masyarakat , Perubahan Fisik/Spasial, dan Perubahan Ekonomi.
BAB III : GAMBARAN UMUM WILAYAH DANANALISIS
Bab ini membahas tentang gambaran umum Kelurahan Patallassang dan analisis
yang digunakan.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini menyajikan tentang kesimpulan dan saran dari berbagai pihak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Istilah peri urban merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Istilah peri
merupakan kata sifat yang bermakna pinggiran atau sekitar dari suatu objek
tertentu. Sementara istilah urban merupakan istilah yang berarti sifat kekotaan atau
sesuatu yang berkenaan dengan kota. Penggabungan dari kedua istilah tersebut
yaitu peri dan urban akan membentuk kata sifat baru yang secara harafiah berarti
sifat kekotaan dan sekitar, sehingga apabila ditambah dengan kata region, maka
kata peri urban region mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang berada
disekitar perkotaan.
Kawasan peri urban merupakan kawasan yang berdimensi multi, hal ini dikarenakan
pengkaburan makna sekitar perkotaan, yang berarti memiliki makna sifat kekotaan
dan sifat kedesaan. Pengidentifikasian kawasan peri urban sangat sulit jika dilihat
dari dimensi non-fisikal, oleh karena itu pada tahap pengenalan kawasan peri urban
hanya didasarkan pada istilah kedesaan maupun kekotaan dari segi fisik morfologi
yang diindikasikan oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris versus penggunaan
lahan agraris.. dari sisi ini wilayah perkotaan merupakan suatu wilayah yang
didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris, sedangkan wilayah
kedesaan adalah wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris.
Dari segi sosial-ekonomi pengidentifikasian kawasan peri urban ini sedikit berbeda
dengan pengidentifikasian secara fisikal, karena pengidentifikasian segi ini
menyangkut perilaku sosial maupun ekonomi masyarakat. Secara ilmiah penentuan
batasan kawasan peri urban ini sanagt sulit, namun McGee (1994:13)
mengemukakan bahwa batas terluar dari kawasan peri urban ini adalah tempat
dimana orang masih mau menglaju untuk bekerja/melakukan kegiatan kekota. Hal
seperti ini tidak menutup kemungkinan terjadi di kawasan peri urban. Pagi hari
orang akan melakukan perjalanan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan,
dan sebaliknya di sore hari, orang akan melakukan perjalanan pulang dari kawasan
perkotaan ke kawasan pedesaaan. Dengan demikian dari waktu kewaktu kawasan
peri urban ini akan semakin meluas baik ditinjau dari segi fisikal morfologis maupun
dari segi sosial ekonomi. Fenomena transportasi didasarkan pada kenyataan bahwa
saat ini selalu bertambah canggih dengan kemampuan jangkau yang semakin jauh
ditambah penyingkatan waktu yang diperlukan untuk melakukan perjalanan.
Batasan fisikal morfologis kawasan peri urban mengisyaratkan adanya
kecendrungan semakin luasnya kawasan peri urban ini. Hal ini didasarkan pada
kenyataan dilapangan bahwa pertambahan penduduk dan kegiatannya selalu diikuti
dengan tuntutan peningkatan ruang yang akan dimanfaatkan, baik digunakan
sebagai tempat tinggal maupun untuk tempat kegiatan lainnya. Perkembangan
sarana dan prasarana transportasi memegang peranan yang sangat signifikan atas
perkembangan kawasan peri urban. Yang terkait didalamya adalah wilayah desa.
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan
pemerintahan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Sejarah perkembangan
desa - desa di Indonesia telah mengalami perjalanan yang sangat panjang, bahkan
lebih tua dari Republik Indonesia sendiri. Sebelum masa kolonial, di berbagai daerah
telah dikenal kelompok masyarakat yang bermukim di suatu wilayah atau daerah
tertentu dengan ikatan kekerabatan atau keturunan. Pola pemukiman berdasarkan
keturunan atau ikatan emosional kekerabatan berkembang terus baik dalam ukuran
maupun jumlah yang membentuk gugus atau kesatuan pemukiman.
Pada masa itu, desa merupakan kesatuan masyarakat kecil seperti sebuah rumah
tangga besar, yang dipimpin oleh anggota keluarga yang paling dituakan atau
dihormati berdasarkan garis keturunan. Pola hubungan dan tingkat komunikasi pada
masa itu masih sangat rendah, terutama di daerah perdesaan terpencil dan
pedalaman. Namun di pulau Jawa proses itu terjadi cukup cepat dan lebih baik
dibanding dengan apa yang terjadi di pulau lainnya, sehingga perkembangan
masyarakat yang disebut desa lebih cepat mengalami perubahan.
Ketika kolonial mengukuhkan kakinya di Indonesia pada jaman pra kemerdekaan,
mulai terjadi perubahan politik dan pemerintahan yang sangat mendasar, dimana
kekuasaan melakukan intervensi dalam tata organisasi desa untuk
mempertahankan hegemoninya. Secara cepat situasi politik, pemerintahan
mempengaruhi sifat dan bentuk desa mulai mengalami proses transisi dan berubah
menjadi wilayah teritorial atau memiliki wilayah hukum. Selama penjajahan
Belanda, desa menjadi perpanjangan tangan pemerintah dengan diterbitkannya
berbagai aturan dan undang-undang yang disusun untuk kepentingan kolonial.
Meski dalam proses penentuan dan pemilihan pemimpin desa masih belum
dicampuri, namun Belanda mulai memposisikan pimpinan desa sebagai wakil dari
kepentingan penguasa secara tersamar.
Ketika bangsa Indonesia merdeka, ternyata intervensi kebijakan terhadap organisasi
dan kelembagaan masyarakat desa cenderung meningkat, bahkan terjadi
penyeragaman terhadap berbagai aturan pemerintahan. Desa menjadi lahan subur
bagi upaya memperkuat kekuasaan politik tertentu. Hal ini tidak lebih baik, jika
dibandingkan dengan yang diterapkan pemerintahan kolonial yang masih
menyadari adanya perbedaan dalam organisasi masyarakat desa. Pada masa
kolonial masih membedakan berbagai undang-undang dan aturan yang berbeda
antara Pulau Jawa dengan pulau lainnya (IGO, Inlandsche Gemeente Ordonantie
untuk Jawa dan IGOB, Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten, untuk luar
Jawa). Meskipun keduanya tetap merongrong eksistensi otonomi desa yang sudah
tumbuh cukup lama di Indonesia.
Pada tahun 1818, pemerintah kolonial Belanda telah merinci persyaratan untuk
menjadi Kepala Desa, dengan memasukkan unsur-unsur lain seperti pendidikan,
kesehatan jasmani, mental, fisik, dan usia di luar perilaku etika dan moralitas
berupa budi pekerti, ketauladanan, ketaatan beragama, dan norma susila lainnya.
Sejak saat itu, dimulai babak baru intervensi kekuasaan kolonial terhadap beragam
organisasi dan kelembagaan desa untuk kepentingan pihak luar. Pemerintah
kolonial memberikan peran ganda kepada Kepala Desa, di satu sisi bertindak
mewakili kepentingan rakyatnya, disisi lain mewakili kepentingan pimpinan atau
atasan yang banyak ditunggangi kepentingan pribadi atau kekuasaan.
Ironisnya setelah pasca kemerdekaan gejala intervensi terhadap kehidupan
organisasi dan masyarakat perdesaan semakin meningkat, baik selama periode
orde lama, maupun orde baru. Desa telah menjadi korban dari kebijakan
pembangunan yang deterministik sentralistik, bahkan dalam banyak hal ditujukan
untuk kepentingan politik. Dinamika kelembagaan desa terpinggirkan, kemiskinan
semakin meluas dan pola pembangunan berjalan tidak berkelanjutan.
Kecenderungan kekeliruan pembangunan perdesaan akibat paradigma yang tidak
tepat ternyata menjadi penyebab utama rendahnya kemandirian masyarakat desa.
Bahkan pada tahun 60-an, ketika partai politik menjadikan desa sebagai basis untuk
menggalang kekuatan mengakibatkan perubahan tatanan masyarakat yang sangat
kohesif menjadi tersegmentasi dalam berbagai kepentingan. Pelapisan atau
patronclient terdesak oleh arus pertentangan politik masyarakat kota, sehingga
desa atau masyarakat perdesaan mengalami pengikisan nilai-nilai kelembagaan
dan kemandirian.
Ketika pemerintah semakin gencar dengan kebijakan pertumbuhan (growth),
khususnya pada masa orde baru, banyak kalangan akademisi dan praktisi
pembangunan menilai bahwa nilai-nilai lokal yang tumbuh di desa sejak lama dapat
dijadikan pertimbangan dalam membangun demokrasi dan kemandirian
masyarakat. Terlebih tuntutan reformasi untuk membangun good governance dan
penguatan otonomi desa perlu diaktualisasikan kembali nilai-nilai sosial yang telah
terbangun di desa serta keterlibatan masyarakat secara penuh dalam pengambilan
keputusan di tingkat desa hingga kebijakan nasional. Pertanyaannya apakah
gambaran ideal tersebut masih relevan dikembalikan sebagai nilai-nilai tradisi
lama, atau justru diperlukan suatu pendekatan baru berupa penyesuaian paradigma
yang lebih sesuai dengan jaman. Berikut ini akan dijelaskan mengenai Desa dan
aspek yang terkait dengan pedesaan.
B.
Pengertian Desa
Istilah desa berasal dari bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat
tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup
dengan kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas (Yayuk dan Mangku, 2003).
Istilah desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village
yang dibandingkan dengan kota (city/town) dan perkotaan (urban). Konsep
Dalam beberapa kajian dibedakan antara masyarakat kota (urban community) dan
desa (rural community) berdasarkan letak geografis, kebiasaan dan karakteristik
keduanya. Menurut Roucek dan Warren (1962) masyarakat desa memiliki
karakteristik sebagai berikut; (1) peranan kelompok primer sangat besar; (2) faktor
7.
Keterbukaan dan keterlibatan yang sangat erat dengan permasalahan rohani
atau keagamaan sangat kental.
8.
Terkadang untuk sebagian masyarakat sangat meyakini nilai-nilai atau
kepercayaan yang bersifat mistis sehingga kurang menerima hal-hal yang bersifat
rasional dan kurang kritis.
9.
Karena kondisi alam atau kepadatan penduduk dengan beban tanggungan
keluarga besar, sementara sempitnya lahan pekerjaan bagi masyarakat
mengakibatkan kemiskinan dan kemelaratan sehingga mendorong sikap apatis.
Gambar 2.1 Struktur Pemerintahan Desa
Jumlah dan jabatan perangkat desa disesuaikan dengan tradisi dan perkembangan
setempat yang diatur melalui Perda dan Perdes. Unsur-unsur perangkat desa yaitu;
1.
Unsur staf, yaitu petugas pelayanan kegiatan administrasi pemerintahan desa,
seperti Sekretaris Desa dan atau Tata Usaha Desa.
2.
Unsur pelaksana, yaitu; pelaksana teknis lapangan, seperti Urusan Pamong
Tani Desa, dan Urusan Keamanan.
3.
Unsur wilayah, yaitu unsur pembantu Kepala Desa di wilayah bagian desa,
seperti Kepala Dusun Sistem administrasi pemerintahan desa yang dikembangkan
berupa pelayanan administrasi yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat
untuk mewujudkan pelayanan yang cepat dan efisien kepada masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam pemerintahan desa dilakukan sebagai berikut;
1.
Meningkatkan kesadaran untuk melibatkan diri dalam pengelolaan
pembangunan baik pada tahap perancanaan, pelaksanaan dan pengawasan
maupun pemilikan dan pengembangan.
2.
D.
Transformasi spasial adalah perubahan perubahan yang terjadi dalam tata ruang
kawasan peri-urban. Menurut Yunus (2008), transformasi spasial merupakan
artikulasi dari kegiatan manusia yang ada di permukaan bumi. Transformasi spasial
di wilayah peri-urban dapat berupa :
1.
2.
3.
perubahan lingkungan.
1.
Salah satu perubahan bentuk pemanfaatan lahan di wilayah peri-urban yang terjadi
hampir di semua negara adalah hilangnya lahan pertanian karena berubah fungsi
Perubahan Lingkungan
Perubahan lingkungan salah satunya dipicu dari konversi lahan pertanian menjadi
permukiman atau industri, yang tidak diantisipasi sejak awal. Kemunculan industri
besar atau kecil dikawasan peri-urban dapat menyebabkan polusi air, tanah, dan
udara. Perubahan lingkungan lainnya dapat berupa: berkurangnya kawasan hijau
dan resapan air, berkurangnya keragaman flora dan fauna akibat perubahan
habitatnya, perubahan suhu dan musim yang tidak menentu, dan sebagainya.
E.
Perubahan Ekonomi
Perubahan ekonomi adalah perubahan struktur kegiatan ekonomi akibat peri urbanisasi. Salah satu perubahan yang mencolok dalam hal aktifitas ekonomi di
wilayah peri urban adalah perubahan mata pencaharian penduduk yang tinggal di
wilayah peri-urban dari petani menjadi non-petani. Yunus (2008) menulis bahwa
perubahan tersebut, dalam beberapa hal, merupakan berkah tersendiri, namun
dalam beberapa hal yang lain banyak menimbulkan efek negatif. Banyaknya petani
yang berubah menjadi non-petani, mengakibatkan perubahan perilaku ekonomi,
sosial, dan budaya.
F.
1.
b.
Aspek Sarana
Sarana Pemerintahan
Memiliki parkir umum + MCK seluas 200 m2, setiap unit melayani 2.500 jiwa.
b)
Balai pertemuan dengan luas lahan 600 m2 , setiap un it melayani penduduk
sekitar 2.500 jiwa.
c)
d)
e)
f)
g)
2)
Sarana Pendidikan
Sarana Kesehatan
Fungsi utama sarana ini adalah memberikan pelayanan medis kepada penduduk.
Oleh karena itu standarisasi penyediaan saran kesehatan sebagai berikut:
a)
Puskesmas pembantu, minimal penduduk pendukungnya adalah 30.000 jiwa
dengan luas lahan 2.400 m2. Dengan radius pencapaian 1.500 m.
b)
BKIA/Rumah Bersalin, penduduk pendukungnya 10.000 jiwa dengan luas lahan
3.200 m2. Radius pencapaian maksimal 2.000 m.
c)
Apotik, penduduk pendukung minimal 10.000 jiwa dengan luas lahan 700 m2.
d)
Praktek Dokter, untuk menciptakan optimalisasi pelayanan kesehatan yang
baik kepada masyarakat, maka lokalitas sarana ini disatukan dengan perumahan
penduduk dan setiap unitnya melayani penduduk 5.000 jiwa.
e)
Balai pengobatan, minimal penduduk pendukungnya 3.000 jiwa dengan luas
lahan 600 m2. Radius pencapaian maksimum 1.500 m.
4)
Sarana Peribadatan
Fasilitas Perdagangan
Keberadaan pasar merupakan salah satu tingkat pelayanan regional sangat besar
manfaatnya bagi kegiatan perekonomian yang diharapkan dapat berperan sebagai
titik pusat kegiatan jasa distribusi barang barang produksi yang dapat menarik
dan mendorong laju pertumbuhan desa desa pad wilayah pelayanannya.
Standarisasi penyediaan sarana perdagangan yaitu:
a)
Pertokoan, penduduk pendukung minimal 2.500 jiwa dengan luas lahan 2.400
m2. Criteria lokasi terletak pada jalan utama lingkungan dan mengelompokkan
dengan pusat lingkungan.
b)
Warung/kios, penduduk pendukungnya adalah 250 jiwa. Criteria lokasi dipusat
lingkungan yang mudah dicapai dengan radius maksimal 500 m.
6)
Fasilitas olahraga dan ruang terbuka adalah semua bangunan dan taman yang
digunakan untuk kegiatan olahraga dan rekreasi. Lokalitas sarana ini umumnya
terletak di tengah tengah lingkungan permukiman terutama untuk taman.
Standarisasi penyediaan sarana ini yaitu :
a)
Taman, untuk pelayanan 250 jiwa, saran ini berfungsi sebagai ruang hijau
sebuah wilayah baik kota maupun desa, luas setiap unit 500 m2.
b)
Taman Tempat Bermain, untuk pelayanan 2.500 jiwa yang berfungsi sebagai
ruang terbuka dan tempat bermain. Sarana ini dibutuhkan lahan seluas 2.500 m2.
c)
2.
Perencanaan Ekonomi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
B.
Dalam penyusunan laporan terdapat beberapa tahap sehingga agar lebih efisien
dan terstruktur yaitu :
1.
a.
Persiapan dasar
1)
2)
b.
Persiapan Teknis
1)
2)
Data Sekunder
Survey data instansi dilakukan untuk mengumpulkan data dari beberapa instansi
terkait. Data tersebut dapat berupa uraian, data tabulasi angka, ataupun peta yang
menggambarkan daerah atau wilayah survey pada umumnya dan bahkan lebih
spesifik.
2)
Kepustakaan
Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengumpulkan berbagai data-data penting
tentang daerah atau wilayah survey dari berbagai rujukan buku atau literatur.
3.
Kompilasi Data
Data yang berhasil dikumpulkan dari survey termasuk di dalamnya penelaahan data
sekunder, penelaahan pustaka dan dokumen dikumpulkan dan disusun sedemikian
rupa agar mudah dibaca, mudah dilihat kaitannya satu dengan yang lain, dan
informatif. Usaha penyusunan demikian disebut pula dengan kompilasi data.
Tahap kompilasi data ini harus mempunyai bobot pra analisis. Artinya, dari
kompilasi data ini sudah dapat terbaca segala kecenderungan di masa mendatang
yang akan sangat penting peranannya dalam proses peramalan.
Kompilasi data mempengaruhi oleh sistem analisis yang akan digunakan yang juga
menentukan volume data yang dibutuhkan. Oleh karena itu pencatatan data harus
dibuat sedemikian rupa agar dapat berguna bagi analisis apapun yang terkait.
Dengan kata lain, pencatatan data harus dibuat selengkap mungkin dan terperinci.
Kompilasi data ini dapat disajikan dengan berbagai cara antara lain dalam bentuk
verbalisasi, tabulasi, grafik dan diagram, serta visualisasi dan pemetaan.
4.
Penggambaran Peta
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan yaitu sebagai
berikut:
1.
Perlunya kerjasama yang baik antara masyarakat, pemerintah dan swasta
dalam proses perencanaan fisik dan ekonomi di Desa Patallassang.
2.
Perlunya kesadaran bagi tiap masyarakat yang meskipun desanya termasuk
dalam wilayah peri urban / kawasa perkotaan Mamminasata, maka tidak
seharusnya mementingkan nilai ekonomi dibandingkan nilai ekologi. Akan tetapi
menyeimbangkan diantara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA