Anda di halaman 1dari 18

A.

Topik
Ketergantungan terhadap Genetically Modified Organism (Bibit tanaman hasil rekayasa)
B. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami dampak positif dan negatif dari ketergantungan terhadap GMO
atau bibit tanaman hasil rekayasa.
C. Teori Dasar
Genetically Modified Organism Adalah sebuah bibit tanaman yang biasanya di tanam pada
perkebunan atau pertanian. GMO ini marak karena hasil yang menjanjikan (ukuran buah menjadi
lebih besar dan lebih tahan terhadap hama)
Macam-macam GMO
1. Berdasarkan Buahnya
1) Corn atau JagungHampir 85 persen dari jagung yang di amerika adalah dimodifikasi.
2) Soy atau Keledai
Soy is the most heavily genetically modified food in the country. The largest3. Terong
Produsen yang terkenal adalah Monsanto
D. Lokasi
Wilayah pertanian di Sulawesi di Indonesia
E. Prosedur Pengamatan
Mengikuti dari media cetak dan internet
F. Hasil Pengamatan
Dari tahun 1997 hingga akhir 2000 Monsanto melakukan banyak kegiatan pertanian di wilayah
sulawesi. Obyek perkebunan yang mereka lakukan adalah kapas. Dasar penggunaan GMO ini
untuk menambah produktifitas. Dampak lain adalah ternyata GMO ini secara tidak langsung
membuat hama yang dapat bertahan (surivive) semakin kuat. Dan hal ini membuat petani harus
membeli GMO terbaru yang lebih superior dari versi sebelumnya. Dan hal ini juga membuat
konsumsi pestisida makin tinggi.
G. Pembahasan
Saat petani beralih menggunakan GMO maka secara seterusnya akan menggunakan GMO. Karena
GMO ini akan membentuk hama yang lebih resisten. Dan akibatnya membutuhkan lebih besar
pestisida nya. Dan di satu sisi menciptakan hama super.
H. Kesimpulan
Ketergantungan terhadap GMO membawa dua dampak buruk. Pertama petani ketergantungan dan
membeli GMO terbaru yang lebih kuat. Di satu sisi hal ini merugikan petani dan membuat produsen
GMO seperti monsanto makin kaya, di sisi lain penggunaan pestisida yang makin kuat membuat
dampak kesehatan bagi para konsumen makin riskan.

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Daerah pinggiran kota adalah suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah
urban fringer atau daerah peri urban atau nama lain yang muncul kemudian
merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius karena begitu
pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan penduduk baik desa maupun
kota di masa yang akan datang. Sebagai contoh kawasan perkotaan Mamminasata
yang terdapat WPU disekir kawasan tersebut.
WPU ini menentukan peri kehidupan kekotaan karena segala bentuk perkembangan
fisikal baru akan terjadi di wilayah ini, sehingga tatanan kehidupan kekotaan pada
masa yang akan datang sangat ditentukan oleh bentuk, proses dan dampak
perkembangan yang terjadi di WPU tersebut. Tanpa adanya perhatian khusus pada
WPU ini, sangat dimungkinkan terjadi suatu bentuk dan proses perkembangan
fisikal kekotaan baru yang mengarah pada dampak negatif.
Salah satu WPU dari Kawasan Perkotaan Mamminasata adalah Desa Patallassang
yang berada di Kecamatan Patallassang. Di pihak lain, WPU juga berbatasan
langsung dengan daerah pedesaan dan sementara itu, di dalamnya masih banyak
fisikal baru dari kota. Padahal sudah diketahui bahwa WPU ini merupakan sasaran
perkembangan penduduk desa yang masih menggantungkan kehidupan dan
penghidupannya pada sector pertanian. Suatu keniscayaan yang muncul
didalamnya adalah hilangnya lahan pertanian. Konflik antara mempertahankan
lahan pertanian untuk kepentingan sector kedesaan di satu sisi dan melepaskan
lahan pertanian di sisi lain untuk kepentingan perkembangan fisikal baru sector
kekotaan merupakan bentuk konflik pemanfaatan lahan paling mencolok. Tidak
berlebihan kiranya mengatakan bahwa WPU ini seolah-olah merupakan ajang
pertempuran (battle front) antara sector kedesaan dan sector kekotaan, di mana
tidak pernah ada kenyataan empiris yang mengemukakan bahwa sector kedesaan
memenangkan peperangan ini.
Jelas kiranya, dampak yang bakal muncul dimasa yang akan datang berkenaan
dengan pemekaran fisikal kekotaan (urban sprawl) terhadap WPU yang terkait
dengan peri kehidupan dan penghidupan kedesaan, khususnya bagi petani.
Hilangnya lahan pertanian, menurunnya produktivitas pertanian, menurunnya
komitmen petani terhadap lahan maupun kegiatan pertaniannya, hilangnya bidang
pekerjaan pertanian, ketidaksiapan petani masuk ke sector non-pertanian/kekotaan
dan hilangnya atmosfir kedesaan dalam berbagai dimensi merupakan beberapa
contoh dampak negative dalam skala lokal dan regional yang secara langsung
maupun tidak telah berpengaruh terhadap peri kehidupan sector kedesaan.
(Yunus,2008:).
Akibat adanya perluasan pembangunan pada daerah pinggiran kota yang
sebelumnya merupakan suatu daerah desa, maka akan timbul lingkungan baru
yang biasa disebut sub urban atau yang biasa disebut dalam perspektif lingkungan
(Koestoer, 2007:198). Di wilayah desa-kota ini cenderung terjadi konflik tentang

tanah antara pemanfaatan ruang bagi kepentingan industry, pendidikan, pariwisata


maupun prasarana pendukung lainnya.
Pada dasarnya dengan adanya WPU maka setiap masyarakat yang ada di muka
bumi ini dalam hidupnya dapat dipastikan akan mengalami apa yag dinamakan
dengan perubahan-perubahan. Adanya perubahan-perubahan tersebut akan dapat
diketahui bila kita melakukan sutu perbandingan dengan menelaah suatu
masyarakat pada masa tertentu yang kemudian dibandingkan dengan keadaan
masyarakat pada masa lampau.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, pada intinya merupakan
suatu proses yang terjadi terus menerus, ini artinya bahwa masyarakat pada
kenyataannya akan mengalami perubahan-perubahan. Tetapi perubahan yang
terjadi pada suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain tidaklah sama. Kerena
ada yang disebut perubahan sosial dan perubahan ekonomi. Untun perubahan
ekonomi terkait dengan perubahan kondisi fisik dan beberapa aspek yang terkait
didalamnya. Sebagaimana perubahan yang terjadi di Kelurahan Patallassang.
B.

Rumusan Masalah

1.

Bagaimana gambaran umum fisik dan ekonomi Desa Patallassang?

2.
Bagaimana perencanaan ekonomi dan perencanaan fisik di Desa
Patallassang?
C.
1.

Tujuan
Untuk mengetahui gambaran umum fisik dan ekonomi Desa Patallassang.

2.
Untuk mengetahui perencanaan ekonomi dan perencanaan fisi di Desa
Patallassang.
D.

Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan Laporan ini dilakukan dengan mengurut data sesuai dengan
tingkat kebutuhan dan kegunaan, sehingga semua aspek yang dibutuhkan dalam
proses selanjutnya terangkum secara sistematis, dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan juga
sistematika pembahasan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang Pengertian Wilayah Peri Urban, Pengertian Desa,
Karakteristik Masyarakat , Perubahan Fisik/Spasial, dan Perubahan Ekonomi.
BAB III : GAMBARAN UMUM WILAYAH DANANALISIS
Bab ini membahas tentang gambaran umum Kelurahan Patallassang dan analisis
yang digunakan.

BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini menyajikan tentang kesimpulan dan saran dari berbagai pihak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Pengertian Wilayah Peri Urban

Istilah peri urban merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Istilah peri
merupakan kata sifat yang bermakna pinggiran atau sekitar dari suatu objek
tertentu. Sementara istilah urban merupakan istilah yang berarti sifat kekotaan atau
sesuatu yang berkenaan dengan kota. Penggabungan dari kedua istilah tersebut
yaitu peri dan urban akan membentuk kata sifat baru yang secara harafiah berarti
sifat kekotaan dan sekitar, sehingga apabila ditambah dengan kata region, maka
kata peri urban region mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang berada
disekitar perkotaan.
Kawasan peri urban merupakan kawasan yang berdimensi multi, hal ini dikarenakan
pengkaburan makna sekitar perkotaan, yang berarti memiliki makna sifat kekotaan
dan sifat kedesaan. Pengidentifikasian kawasan peri urban sangat sulit jika dilihat
dari dimensi non-fisikal, oleh karena itu pada tahap pengenalan kawasan peri urban
hanya didasarkan pada istilah kedesaan maupun kekotaan dari segi fisik morfologi
yang diindikasikan oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris versus penggunaan
lahan agraris.. dari sisi ini wilayah perkotaan merupakan suatu wilayah yang
didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris, sedangkan wilayah
kedesaan adalah wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris.
Dari segi sosial-ekonomi pengidentifikasian kawasan peri urban ini sedikit berbeda
dengan pengidentifikasian secara fisikal, karena pengidentifikasian segi ini
menyangkut perilaku sosial maupun ekonomi masyarakat. Secara ilmiah penentuan
batasan kawasan peri urban ini sanagt sulit, namun McGee (1994:13)
mengemukakan bahwa batas terluar dari kawasan peri urban ini adalah tempat
dimana orang masih mau menglaju untuk bekerja/melakukan kegiatan kekota. Hal
seperti ini tidak menutup kemungkinan terjadi di kawasan peri urban. Pagi hari
orang akan melakukan perjalanan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan,
dan sebaliknya di sore hari, orang akan melakukan perjalanan pulang dari kawasan
perkotaan ke kawasan pedesaaan. Dengan demikian dari waktu kewaktu kawasan
peri urban ini akan semakin meluas baik ditinjau dari segi fisikal morfologis maupun

dari segi sosial ekonomi. Fenomena transportasi didasarkan pada kenyataan bahwa
saat ini selalu bertambah canggih dengan kemampuan jangkau yang semakin jauh
ditambah penyingkatan waktu yang diperlukan untuk melakukan perjalanan.
Batasan fisikal morfologis kawasan peri urban mengisyaratkan adanya
kecendrungan semakin luasnya kawasan peri urban ini. Hal ini didasarkan pada
kenyataan dilapangan bahwa pertambahan penduduk dan kegiatannya selalu diikuti
dengan tuntutan peningkatan ruang yang akan dimanfaatkan, baik digunakan
sebagai tempat tinggal maupun untuk tempat kegiatan lainnya. Perkembangan
sarana dan prasarana transportasi memegang peranan yang sangat signifikan atas
perkembangan kawasan peri urban. Yang terkait didalamya adalah wilayah desa.
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan
pemerintahan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Sejarah perkembangan
desa - desa di Indonesia telah mengalami perjalanan yang sangat panjang, bahkan
lebih tua dari Republik Indonesia sendiri. Sebelum masa kolonial, di berbagai daerah
telah dikenal kelompok masyarakat yang bermukim di suatu wilayah atau daerah
tertentu dengan ikatan kekerabatan atau keturunan. Pola pemukiman berdasarkan
keturunan atau ikatan emosional kekerabatan berkembang terus baik dalam ukuran
maupun jumlah yang membentuk gugus atau kesatuan pemukiman.
Pada masa itu, desa merupakan kesatuan masyarakat kecil seperti sebuah rumah
tangga besar, yang dipimpin oleh anggota keluarga yang paling dituakan atau
dihormati berdasarkan garis keturunan. Pola hubungan dan tingkat komunikasi pada
masa itu masih sangat rendah, terutama di daerah perdesaan terpencil dan
pedalaman. Namun di pulau Jawa proses itu terjadi cukup cepat dan lebih baik
dibanding dengan apa yang terjadi di pulau lainnya, sehingga perkembangan
masyarakat yang disebut desa lebih cepat mengalami perubahan.
Ketika kolonial mengukuhkan kakinya di Indonesia pada jaman pra kemerdekaan,
mulai terjadi perubahan politik dan pemerintahan yang sangat mendasar, dimana
kekuasaan melakukan intervensi dalam tata organisasi desa untuk
mempertahankan hegemoninya. Secara cepat situasi politik, pemerintahan
mempengaruhi sifat dan bentuk desa mulai mengalami proses transisi dan berubah
menjadi wilayah teritorial atau memiliki wilayah hukum. Selama penjajahan
Belanda, desa menjadi perpanjangan tangan pemerintah dengan diterbitkannya
berbagai aturan dan undang-undang yang disusun untuk kepentingan kolonial.
Meski dalam proses penentuan dan pemilihan pemimpin desa masih belum
dicampuri, namun Belanda mulai memposisikan pimpinan desa sebagai wakil dari
kepentingan penguasa secara tersamar.
Ketika bangsa Indonesia merdeka, ternyata intervensi kebijakan terhadap organisasi
dan kelembagaan masyarakat desa cenderung meningkat, bahkan terjadi
penyeragaman terhadap berbagai aturan pemerintahan. Desa menjadi lahan subur
bagi upaya memperkuat kekuasaan politik tertentu. Hal ini tidak lebih baik, jika
dibandingkan dengan yang diterapkan pemerintahan kolonial yang masih
menyadari adanya perbedaan dalam organisasi masyarakat desa. Pada masa
kolonial masih membedakan berbagai undang-undang dan aturan yang berbeda
antara Pulau Jawa dengan pulau lainnya (IGO, Inlandsche Gemeente Ordonantie

untuk Jawa dan IGOB, Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten, untuk luar
Jawa). Meskipun keduanya tetap merongrong eksistensi otonomi desa yang sudah
tumbuh cukup lama di Indonesia.
Pada tahun 1818, pemerintah kolonial Belanda telah merinci persyaratan untuk
menjadi Kepala Desa, dengan memasukkan unsur-unsur lain seperti pendidikan,
kesehatan jasmani, mental, fisik, dan usia di luar perilaku etika dan moralitas
berupa budi pekerti, ketauladanan, ketaatan beragama, dan norma susila lainnya.
Sejak saat itu, dimulai babak baru intervensi kekuasaan kolonial terhadap beragam
organisasi dan kelembagaan desa untuk kepentingan pihak luar. Pemerintah
kolonial memberikan peran ganda kepada Kepala Desa, di satu sisi bertindak
mewakili kepentingan rakyatnya, disisi lain mewakili kepentingan pimpinan atau
atasan yang banyak ditunggangi kepentingan pribadi atau kekuasaan.
Ironisnya setelah pasca kemerdekaan gejala intervensi terhadap kehidupan
organisasi dan masyarakat perdesaan semakin meningkat, baik selama periode
orde lama, maupun orde baru. Desa telah menjadi korban dari kebijakan
pembangunan yang deterministik sentralistik, bahkan dalam banyak hal ditujukan
untuk kepentingan politik. Dinamika kelembagaan desa terpinggirkan, kemiskinan
semakin meluas dan pola pembangunan berjalan tidak berkelanjutan.
Kecenderungan kekeliruan pembangunan perdesaan akibat paradigma yang tidak
tepat ternyata menjadi penyebab utama rendahnya kemandirian masyarakat desa.
Bahkan pada tahun 60-an, ketika partai politik menjadikan desa sebagai basis untuk
menggalang kekuatan mengakibatkan perubahan tatanan masyarakat yang sangat
kohesif menjadi tersegmentasi dalam berbagai kepentingan. Pelapisan atau
patronclient terdesak oleh arus pertentangan politik masyarakat kota, sehingga
desa atau masyarakat perdesaan mengalami pengikisan nilai-nilai kelembagaan
dan kemandirian.
Ketika pemerintah semakin gencar dengan kebijakan pertumbuhan (growth),
khususnya pada masa orde baru, banyak kalangan akademisi dan praktisi
pembangunan menilai bahwa nilai-nilai lokal yang tumbuh di desa sejak lama dapat
dijadikan pertimbangan dalam membangun demokrasi dan kemandirian
masyarakat. Terlebih tuntutan reformasi untuk membangun good governance dan
penguatan otonomi desa perlu diaktualisasikan kembali nilai-nilai sosial yang telah
terbangun di desa serta keterlibatan masyarakat secara penuh dalam pengambilan
keputusan di tingkat desa hingga kebijakan nasional. Pertanyaannya apakah
gambaran ideal tersebut masih relevan dikembalikan sebagai nilai-nilai tradisi
lama, atau justru diperlukan suatu pendekatan baru berupa penyesuaian paradigma
yang lebih sesuai dengan jaman. Berikut ini akan dijelaskan mengenai Desa dan
aspek yang terkait dengan pedesaan.
B.

Pengertian Desa

Istilah desa berasal dari bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat
tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup
dengan kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas (Yayuk dan Mangku, 2003).
Istilah desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village
yang dibandingkan dengan kota (city/town) dan perkotaan (urban). Konsep

perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat sedangkan


desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial,
dalam hal ini perdesaan mencakup beberapa desa (Antonius T, 2003).
Kuntjaraningrat (1977) mendefinisikan desa sebagai komunitas kecil yang menetap
di suatu daerah, sedangkan Bergel (1995) mendefinisikan desa sebagai setiap
pemukiman para petani. Landis menguraikan pengertian desa dalam tiga aspek; (1)
analisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk
kurang dari 2500 orang, (2) analisis sosial psikologis, desa merupakan suatu
lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan akrab dan bersifat informal
diantara sesama warganya, dan (3) analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai
suatu lingkungan dengan penduduknya tergantung kepada pertanian. Di Indonesia
penggunaan istilah tersebut digunakan dengan cara yang berbeda untuk masingmasing daerah, seperti dusun bagi masyarakat Sumatera Selatan, dati bagi Maluku,
kuta untuk Batak, nagari untuk Sumatera Barat, atau wanua di Minahasa. Bagi
masyarakat lain istilah desa memiliki keunikan tersendiri dan berkaitan erat dengan
mata pencahararian, norma dan adat istiadat yang berlaku. Zakaria (2000)
menyatakan, desa adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama atau suatu
wilayah, yang memiliki suatu organisasi pemerintahan dengan serangkaian
peraturanperaturan yang ditetapkan sendiri, serta berada di bawah pimpinan desa
yang dipilih dan ditetapkan sendiri. Definisi ini, menegaskan bahwa desa sebagai
satu unit kelembagaan pemerintahan mempunyai kewenangan pengelolaan wilayah
perdesaan. Wilayah perdesaan sendiri diartikan sebagai wilayah yang penduduknya
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam,
dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Dalam PP Nomor 76/ 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa
dinyatakan bahwa desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa,
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945.
Dalam Bab 1, Ketentuan Umum, Pasal 1, dinyatakan bahwa Desa atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desa merupakan suatu
kesatuan masyarakat yang dibangun berdasarkan sejarah, nilai-nilai, budaya,
hukum dan keistimewaan tertentu yang diakui dalam sistem kenegaraan kesatuan
Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengorganisir dan
menetapkan kebutuhan masyarakatnya secara mandiri.
C.

Karakteristik Masyarakat Desa

Dalam beberapa kajian dibedakan antara masyarakat kota (urban community) dan
desa (rural community) berdasarkan letak geografis, kebiasaan dan karakteristik
keduanya. Menurut Roucek dan Warren (1962) masyarakat desa memiliki
karakteristik sebagai berikut; (1) peranan kelompok primer sangat besar; (2) faktor

geografis sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; (3) hubungan


lebih bersifat intim dan awet; (4) struktur masyarakat bersifat homogen; (5) tingkat
mobilitas sosial rendah; (6) keluarga lebih ditekankan kepada fungsinya sebagai
unit ekonomi; (7) proporsi jumlah anak cukup besar dalam struktur kependudukan.
Sorokin dan Zimerman dalam T.L Smith dan P.E Zop (1970) mengemukakan
sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota,
yaitu; mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk,
lingkungan, diferensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dam solidaritas
sosial.
Masyarakat desa umumnya hidup dalam situasi kemiskinan dengan mata
pencaharian sangat tergantung dari kondisi geografis wilayahnya, seperti usaha
tani, nelayan, ternak, kerajinan tangan dan pedagang kecil. Ciri lain yang masih
nyata terlihat, produksi pertanian yang ditekuni masyarakat terutama untuk
memenuhi keperluan sendiri (subsistence).
Masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari masih memegang teguh tradisi, nilainilai dan adat istiadat secara turun temurun. Bukan berarti tradisi dan adat istiadat
yang dianut tidak menunjang usaha pembangunan, sebagian justru dibutuhkan
untuk memelihara kelangsungan hidup dan lingkungan. Tetapi harus diakui
sebagian tradisi dan adat istiadat yang dianut menghambat dan menghalangi usaha
pembangunan itu sendiri (Siagian, 1983).
Secara psikologis masyarakat desa cenderung memiliki sifat konservatif dan
ortodoks, fatalis dan suka curiga terhadap orang luar. Namun demikian, masyarakat
desa dapat bersikap hemat, cermat dan menghormati orang lain yang terkadang
sulit ditemukan di perkotaan. Beberapa ciri khas yang membedakan antara
penduduk desa dengan kota diantaranya;
1.
Kehidupan dan mata pencaharian di desa sangat erat hubungannya dengan
alam.
2.
Pada umumnya anggota keluarga mengambil peran dalam kegiatan bertani
dengan tingkat keterlibatan yang berbeda-beda.
3.
Masyarakat desa sangat terikat dengan lingkungan dan nilai-nilai yang
dianutnya.
4.
Terbangunnya kekerabatan yang sangat kuat, pola kehidupan keluarga dan
masyarakat yang saling ketergantungan, sehingga berkembang nilai-nilai gotong
royong, kerjasama, perasaan sepenanggungan dan tolong menolong.
5.
Corak feodalisme masih nampak meskipun dalam perkembangannya mulai
berkurang.
6.
Hidup di desa banyak berkaitan dengan tradisi, nilai, norma adat yang telah
berkembang secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya,
sehingga masyarakat desa cenderung di cap statis.

7.
Keterbukaan dan keterlibatan yang sangat erat dengan permasalahan rohani
atau keagamaan sangat kental.
8.
Terkadang untuk sebagian masyarakat sangat meyakini nilai-nilai atau
kepercayaan yang bersifat mistis sehingga kurang menerima hal-hal yang bersifat
rasional dan kurang kritis.
9.
Karena kondisi alam atau kepadatan penduduk dengan beban tanggungan
keluarga besar, sementara sempitnya lahan pekerjaan bagi masyarakat
mengakibatkan kemiskinan dan kemelaratan sehingga mendorong sikap apatis.
Gambar 2.1 Struktur Pemerintahan Desa

Jumlah dan jabatan perangkat desa disesuaikan dengan tradisi dan perkembangan
setempat yang diatur melalui Perda dan Perdes. Unsur-unsur perangkat desa yaitu;
1.
Unsur staf, yaitu petugas pelayanan kegiatan administrasi pemerintahan desa,
seperti Sekretaris Desa dan atau Tata Usaha Desa.
2.
Unsur pelaksana, yaitu; pelaksana teknis lapangan, seperti Urusan Pamong
Tani Desa, dan Urusan Keamanan.
3.
Unsur wilayah, yaitu unsur pembantu Kepala Desa di wilayah bagian desa,
seperti Kepala Dusun Sistem administrasi pemerintahan desa yang dikembangkan
berupa pelayanan administrasi yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat
untuk mewujudkan pelayanan yang cepat dan efisien kepada masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam pemerintahan desa dilakukan sebagai berikut;
1.
Meningkatkan kesadaran untuk melibatkan diri dalam pengelolaan
pembangunan baik pada tahap perancanaan, pelaksanaan dan pengawasan
maupun pemilikan dan pengembangan.
2.
D.

Memberikan masukan dan kritik yang membangun kepada pemerintah desa.


Perubahan Spasial / Fisik

Transformasi spasial adalah perubahan perubahan yang terjadi dalam tata ruang
kawasan peri-urban. Menurut Yunus (2008), transformasi spasial merupakan
artikulasi dari kegiatan manusia yang ada di permukaan bumi. Transformasi spasial
di wilayah peri-urban dapat berupa :
1.

perubahan bentuk pemanfaatan lahan,

2.

perubahan harga lahan,

3.

perubahan lingkungan.

1.

Perubahan Bentuk Pemanfaatan Lahan

Salah satu perubahan bentuk pemanfaatan lahan di wilayah peri-urban yang terjadi
hampir di semua negara adalah hilangnya lahan pertanian karena berubah fungsi

menjadi kawasan permukiman atau komersil. Konversi lahan pertanian menjadi


non-pertanian dapat mengakibatkan penurunan produksi pertanian.
Yunus (2008) mencatat hilangnya lahan-lahan pertanian yang digantikan oleh
keberadaan pabrik atau kawasan industry, merupakan potensi yang signifikan
terhadap penurunan produktifitas lahan. Munculnya pabrik atau industry yang
membuang limbahnya ke sungai tanpa treatment yang cukup, sangat mengancam
kualitas air dan tanah di lahan pertanian sehingga berpotensi menurunkan
produktifitas lahan. Perubahan bentuk pemanfaatan lahan lainnya adalah semakin
banyaknya area terbangun (built up area) terutama untuk permukiman akibat
semakin banyak jumlah penduduk di wilayah peri-urban. Zona-zona di sekitar kota
merupakan kawasan favorit untuk disulap menjadi kawasan permukiman karena
kedekatannya dengan tempat bekerja di kota, tetapi kenyamanan tinggal di
pinggiran kota dapat sekaligus dicapai.
2.

Perubahan Harga Lahan

Perubahan harga lahan di wilayah peri-urban umumnya berupa kenaikan harga


yang cukup signifikan. Beberapa faktor yang menyebabkan harga lahan di wilayah
peri-urban terus meningkat adalah perubahan karakteristik lahan dari karakter desa
ke karakter kota yang memiliki berbagai kelebihan seperti telah tersedianya
infrastruktur pendukung seperti jalan yang baik, saluran air bersih, listrik dari
pemerintah (PLN), jaringan telepon, dan sebagainya.
Selain itu, perubahan yang cepat di wilayah peri-urban telah pula mendorong
lahirnya para spekulan tanah yang secara langsung maupun tidak langsung turut
menentukan kenaikan harga lahan.
3.

Perubahan Lingkungan

Perubahan lingkungan salah satunya dipicu dari konversi lahan pertanian menjadi
permukiman atau industri, yang tidak diantisipasi sejak awal. Kemunculan industri
besar atau kecil dikawasan peri-urban dapat menyebabkan polusi air, tanah, dan
udara. Perubahan lingkungan lainnya dapat berupa: berkurangnya kawasan hijau
dan resapan air, berkurangnya keragaman flora dan fauna akibat perubahan
habitatnya, perubahan suhu dan musim yang tidak menentu, dan sebagainya.
E.

Perubahan Ekonomi

Perubahan ekonomi adalah perubahan struktur kegiatan ekonomi akibat peri urbanisasi. Salah satu perubahan yang mencolok dalam hal aktifitas ekonomi di
wilayah peri urban adalah perubahan mata pencaharian penduduk yang tinggal di
wilayah peri-urban dari petani menjadi non-petani. Yunus (2008) menulis bahwa
perubahan tersebut, dalam beberapa hal, merupakan berkah tersendiri, namun
dalam beberapa hal yang lain banyak menimbulkan efek negatif. Banyaknya petani
yang berubah menjadi non-petani, mengakibatkan perubahan perilaku ekonomi,
sosial, dan budaya.
F.
1.

Standarisasi Dalam Penetapan Sarana/Fasilitas


Perencanaan Fisik

Perencanaan fisik merupakan perencanaan yang mengacu pada:


a.

Aspek penggunaan Lahan

b.

Aspek Sarana

Untuk perencanaan fisik yang meliputi aspek sarana memiliki standarisasi


yaitu :
1)

Sarana Pemerintahan

Standarisasi kebutuhan fasilitas perkantoran yaitu:


a)

Memiliki parkir umum + MCK seluas 200 m2, setiap unit melayani 2.500 jiwa.

b)
Balai pertemuan dengan luas lahan 600 m2 , setiap un it melayani penduduk
sekitar 2.500 jiwa.
c)

Kantor Camat dengan luas lahan 2.000 m2.

d)

Kantor Lurah dengan luas lahan 1.000 m 2.

e)

Kantor pos pembantu dengan luas lahan 200 m2.

f)

Pos Polisi dengan luas lahan 400 m2.

g)

Kantor koramil dengan luas lahan 400 m2.

2)

Sarana Pendidikan

Rencana kebutuhan sarana pendidikan maupun sarana sosial ekonomi lainnya


didasarkan pada standar perencanaan kebutuhan sarana kota (PU.Cipta Karya),
dengan standar luasan dan berpedoman pada tingkat kepadatan penduduk. Dan
lebih mendasar lagi adalah bagaimana memadukan antara supply and demand
dengan standar yang digunakan.
a)
Taman Kanan Kanak (TK), penduduk pendukung fasilitas ini minimal 1000
orang dengan luas lahan 2.400 m2.lokasinya sebaiknya berada di tengah tengah
kelompok keluarga, jumlah murid dengan standar 3 ruang kelas terdiri dari 30 40
murid di setiap satu ruang kelas.
b)
Sekolah Dasar (SD), penduduk pendukung 1.600 jiwa dengan luas lahan 7.200
m2. Radius pencapaian daerah yang dilayani maksimum 100 m.
c)
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), penduduk pendukung minimal 4.800
jiwa dengan luas lahan 5.400 m2. Standar murid 40 murid/kelas.
d)
Sekolah Menengah Umum (SMU), penduduk pendukung minimal 4.800 jiwa
untuk sebuah SMU. Luas lahan 5.400 m2. Standar 30 murid / kelas dengan 14 kelas
(pagi/sore).
3)

Sarana Kesehatan

Fungsi utama sarana ini adalah memberikan pelayanan medis kepada penduduk.
Oleh karena itu standarisasi penyediaan saran kesehatan sebagai berikut:

a)
Puskesmas pembantu, minimal penduduk pendukungnya adalah 30.000 jiwa
dengan luas lahan 2.400 m2. Dengan radius pencapaian 1.500 m.
b)
BKIA/Rumah Bersalin, penduduk pendukungnya 10.000 jiwa dengan luas lahan
3.200 m2. Radius pencapaian maksimal 2.000 m.
c)

Apotik, penduduk pendukung minimal 10.000 jiwa dengan luas lahan 700 m2.

d)
Praktek Dokter, untuk menciptakan optimalisasi pelayanan kesehatan yang
baik kepada masyarakat, maka lokalitas sarana ini disatukan dengan perumahan
penduduk dan setiap unitnya melayani penduduk 5.000 jiwa.
e)
Balai pengobatan, minimal penduduk pendukungnya 3.000 jiwa dengan luas
lahan 600 m2. Radius pencapaian maksimum 1.500 m.
4)

Sarana Peribadatan

Penghitung kebutuhan fasilitas peribadatan di kawasan perencanaan disesuaikan


dengan jumlah penduduk pemeluk agama yang ada. Standarisasi penyediaan
sarana peribadatan yaitu:
a)
Masjid, penduduk pendukungnya adalah 30.000 jiwa dengan luas 3.500 m2.
Lokasi penempatan saran ini berada dalam satu pusat lingkungan dan dekat dengan
konsentrasi penduduk.
b)
Mushallah/Langgar, penduduk minimal 2.500 jiwa , dengan luas lahan 600
m2. Lokasi penempatan fasilitas tergantung kondisi konsentrasi dan distribusi
pemeluk agama yang bersangkutan.
5)

Fasilitas Perdagangan

Keberadaan pasar merupakan salah satu tingkat pelayanan regional sangat besar
manfaatnya bagi kegiatan perekonomian yang diharapkan dapat berperan sebagai
titik pusat kegiatan jasa distribusi barang barang produksi yang dapat menarik
dan mendorong laju pertumbuhan desa desa pad wilayah pelayanannya.
Standarisasi penyediaan sarana perdagangan yaitu:
a)
Pertokoan, penduduk pendukung minimal 2.500 jiwa dengan luas lahan 2.400
m2. Criteria lokasi terletak pada jalan utama lingkungan dan mengelompokkan
dengan pusat lingkungan.
b)
Warung/kios, penduduk pendukungnya adalah 250 jiwa. Criteria lokasi dipusat
lingkungan yang mudah dicapai dengan radius maksimal 500 m.
6)

Fasilitas Olahraga dan Ruang Terbuka

Fasilitas olahraga dan ruang terbuka adalah semua bangunan dan taman yang
digunakan untuk kegiatan olahraga dan rekreasi. Lokalitas sarana ini umumnya
terletak di tengah tengah lingkungan permukiman terutama untuk taman.
Standarisasi penyediaan sarana ini yaitu :
a)
Taman, untuk pelayanan 250 jiwa, saran ini berfungsi sebagai ruang hijau
sebuah wilayah baik kota maupun desa, luas setiap unit 500 m2.

b)
Taman Tempat Bermain, untuk pelayanan 2.500 jiwa yang berfungsi sebagai
ruang terbuka dan tempat bermain. Sarana ini dibutuhkan lahan seluas 2.500 m2.
c)

Lapangan olahraga dengan luas lahan 18.000 m2.

2.

Perencanaan Ekonomi

Perencanaan ekonomi berkaitan dengan perubahan struktur ekonomi suatu


wilayah dan merupakan tolak ukur untuk menunjang kreativitas masyarakat dalam
system perekonomian.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Desa Patallassang, Kecamatan Patallassang, dan


dimulai pada tanggal 11 Februari 2013 .

B.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penyusunan laporan terdapat beberapa tahap sehingga agar lebih efisien
dan terstruktur yaitu :
1.

Persiapan Survey, meliputi:

a.

Persiapan dasar

1)

Kegiatan awal untuk merumuskan tujuan dan sasaran.

2)

Mengatasi masalah-masalah yang mungkin muncul.

b.

Persiapan Teknis

1)

Persiapan peta dasar.

2)

Penyusunan list data.

2. Survey Data, meliputi :


a. Data Primer
Data primer terdiri dari: Observasi Lapangan.
Observasi lapangan dilakukan untuk memperoleh data yang lebih akurat dan
sekaligus membandingkan atau mencocokkan data dari instansi terkait dengan data
yang sebenarnya di lapangan.
b.

Data Sekunder

Data Sekunder terdiri dari:


1)

Survey Data Instansi

Survey data instansi dilakukan untuk mengumpulkan data dari beberapa instansi
terkait. Data tersebut dapat berupa uraian, data tabulasi angka, ataupun peta yang
menggambarkan daerah atau wilayah survey pada umumnya dan bahkan lebih
spesifik.

2)

Kepustakaan

Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengumpulkan berbagai data-data penting
tentang daerah atau wilayah survey dari berbagai rujukan buku atau literatur.
3.

Kompilasi Data

Kompilasi data adalah langkah menggabungkan semua data-data yang didapatkan


dari hasil survey dan baik itu berupa data primer atau hasil dari survey lapangan
maupun data sekunder yang didapatkan dari instansi-instansi terkait kemudian
dituangkan atau dikonsep ke dalam suatu bentuk laporan yang sistematis.

Data yang berhasil dikumpulkan dari survey termasuk di dalamnya penelaahan data
sekunder, penelaahan pustaka dan dokumen dikumpulkan dan disusun sedemikian
rupa agar mudah dibaca, mudah dilihat kaitannya satu dengan yang lain, dan
informatif. Usaha penyusunan demikian disebut pula dengan kompilasi data.
Tahap kompilasi data ini harus mempunyai bobot pra analisis. Artinya, dari
kompilasi data ini sudah dapat terbaca segala kecenderungan di masa mendatang
yang akan sangat penting peranannya dalam proses peramalan.
Kompilasi data mempengaruhi oleh sistem analisis yang akan digunakan yang juga
menentukan volume data yang dibutuhkan. Oleh karena itu pencatatan data harus
dibuat sedemikian rupa agar dapat berguna bagi analisis apapun yang terkait.
Dengan kata lain, pencatatan data harus dibuat selengkap mungkin dan terperinci.
Kompilasi data ini dapat disajikan dengan berbagai cara antara lain dalam bentuk
verbalisasi, tabulasi, grafik dan diagram, serta visualisasi dan pemetaan.
4.

Penggambaran Peta

Penggambaran peta merupakan suatu langkah untuk memvisualisasikan atau


menggambarkan hasil survey yang telah didapat agar lebih jelas. Adapun
penggambaran peta tersebut terdiri dari penggambaran peta dasar, peta
penggunaan lahan.
5. Analisis
Untuk mengolah data yang sudah tersedia maka diperlukan suatu analisis yang
berkaitan dengan perencanaan sosial terkait dengan kondisi fisik di wilayah Desa
Patallassang Kecamatan Patallassang. Adapun analisisnya sebagai berikut. Yang
pertama, Analisis Aspek Fisik Dasar. Analisis Aspek Fisik Dasar Merupakan Analisis
yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar daya dukung kondisi wilayah
perencanaan yang nantinya dapat membantu dalam melakukan perencanaan.
Analisis ini diantaranya; Topografi, Geologi dan Jenis Tanah, Hidrologi, serta Tata
Guna Lahan. Yang kedua, Analisis Aspek Demografi. Terdiri dari : Jumlah Penduduk 5
Tahun Terakhir, dan Kepadatan Penduduk 5 Tahun Terakhir. Yang ketiga, adalah
Analisis Aspek Perekonomian. Analisis ini diantaranya : Analisis Tanaman Pangan,
Analisis Peternakan.

BAB V

PENUTUP
A.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat


diambil dari laporan hasil penelitian ini yaitu:
a.
Gambaran perubahan fisik lahan dan ekonomi masyarakat di Desa
Patallassang, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa:
a.
Gambaran perubahan fisik lahan dalam waktu lima tahun terakhir di Desa
Patallassang yaitu mengalami peningkatan pada luas penggunaan lahan
permukiman dan mengalami penurunan pada luas RTH dan pertamanan, sawah,
dan perkebunan. Terjadinya perubahan fisik demikian menjadikan wilayah ini
menjadi zona bingkai desa karena 75% penggunaan lahannya masih tetap
dipengaruhi oleh kegiatan pertanian.
b.
Gambaran perubahan ekonomi di Desa Patallassang dalam waktu lima tahun
terakhir yaitu terjadinya penurunan penggunaan luas lahan perkebunan,
peningkatan pada lahan usaha pertanian
b.
Perencanaan fisik lahan dan perencanaan ekonomi masyarakat di Desa
Patallassang, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa:
a.
Perencanaan fisik lahan pada Desa Patallassang yaitu terfokus pada tiga
aspek yaitu:
1)
Perencanaan Penggunaan Lahan, dengan menekankan pada penyediaan
lahan untuk pelayanan jasa.
2)
Perencanaan Saran di Desa Patallasang yaitu penambahan sarana pendidikan
berupa sarana pendidikan yaitu SD 1 Unit, SMP 1 Unit,. Penyediaan sarana
kesehatan berupa poskesdes 1 unit.
3)
Perencanaan Transportasi di Desa Patallassang hanya berupa perbaikan jalan
saja agar mempermudah akses masyarakat.
.

B.

Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan yaitu sebagai
berikut:
1.
Perlunya kerjasama yang baik antara masyarakat, pemerintah dan swasta
dalam proses perencanaan fisik dan ekonomi di Desa Patallassang.
2.
Perlunya kesadaran bagi tiap masyarakat yang meskipun desanya termasuk
dalam wilayah peri urban / kawasa perkotaan Mamminasata, maka tidak
seharusnya mementingkan nilai ekonomi dibandingkan nilai ekologi. Akan tetapi
menyeimbangkan diantara keduanya.

DAFTAR PUSTAKA

Tato Syahriar. 2009. Pendekatan Sistem Dalam Struktur Spasial Wilayah


Peri Urban (http://syahriartato.wordpress.com/2009/12/28/struktur-spasial-wilayahpheri-urban-sebagai-sistem-dari-tata-ruang-kota/)
Ultra Dewi. 2010. Konsepsi kawasan Peri urban. (http://dewiultralight08.
wordpress.com/2010/12/06/konsepsi-kawasan-peri-urban/)
Hasil Analisis Tim Peneliti 2013
Kecamatan Pattallassang dalam Angka 2008 2012 (BPS)
RPJMD Desa Patallassang Tahun 2008 2012 (Kantor Desa)

Survey Lapangan di Desa Patallassang 2013


http://glekhoba.blogspot.com/2011/04/makalah-kebijakan perencanaan.html

Anda mungkin juga menyukai