Anda di halaman 1dari 6

Matakuliah Fiqih Wanita Muslimah

Materi Adab Pergaulan Laki-laki dan Wanita


[ Soal Latihan ]
Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama bumi, kecuali Islam, yang
memuliakan wanita, memberikan haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan
wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia. Islam memuliakan
wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai anak perempuan, istri, ibu dan
anggota masyarakat.
Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif) dan tanggung jawab
yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa
sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula diberikan Allah kepada manusia bukan
khusus untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (surat alBaqarah: 35)
Aturan Pergaulan
Sebenarnya pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram, melainkan jaiz
(boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti
dalam urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan, perjuangan, atau lain-lain
yang memerlukan banyak tenaga, baik dari laki-laki maupun perempuan.
Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas diantara keduanya menjadi lebur
dan ikatan-ikatan syar`iyah yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita
sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran, dan kita pun
tidak perlu memindahkan budaya Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah
bekerja sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa, dalam
batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara
lain:
1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak.
Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak
berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:
`Katakanlah ke pada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.` Katakanlah
kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya...`(an-Nur: 30-31)
2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara`
. Yaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Jangan yang
tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
`... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang
biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya ...` (an-Nur: 31 )
Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan

tangan.
Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:
`... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu ...` (al-Ahzab: 59)
Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang baik-baik dengan wanita
nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,
sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk
menghormatinya.
3.Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam
pergaulannya dengan laki-laki:
a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan
rangsangan. Allah berfirman:
`... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik.` (al-Ahzab: 32)
b.Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allah
`... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan...` (an-Nur: 31)
Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:
`Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
berjalan kemalu-maluan ...` (al-Qashash: 25)
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok, seperti yang disebut
dalam hadits:
`(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan
menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan
(kemaksiatan).(HR Ahmad dan Muslim)
Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana yang dilakukan
wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun jahiliah modern.
4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan
yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di dalam pertemuanpertemuan dengan kaum laki-laki.
5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa disertai mahram.
Banyak hadits sahih yang melarang hal ini seraya mengatakan, `Karena yang ketiga
adalah setan.`
Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini,
terdapat hadits yang berbunyi:
`Jangan kamu masuk ke tempat wanita.` Mereka (sahabat)
bertanya, `Bagaimana dengan ipar wanita.` Beliau menjawab,
`Ipar wanita itu membahayakan.` (HR Bukhari)

Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan


kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan
fitnah.
Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak
berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya,
menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah
tangga dan mendidik anak-anak.
Menutup Aurat
Kita tahu bahwa semua bagian tubuh yang tidak boleh dinampakkan, adalah aurat.
Oleh karena itu dia harus menutupinya dan haram dibuka. Aurat perempuan dalam
hubungannya dengan laki-laki lain atau perempuan yang tidak seagama, yaitu
seluruh badannya, kecuali muka dan dua tapak tangan. Demikian menurut pendapat
yang lebih kuat.
Karena dibolehkannya membuka kedua anggota tersebut --seperti kata ar-Razi-adalah karena ada suatu kepentingan untuk bekerja, mengambil dan memberi. Oleh
karena itu orang perempuan diperintah untuk menutupi anggota yang tidak harus
dibuka dan diberi rukhsah untuk membuka anggota yang biasa terbuka dan
mengharuskan dibuka, justru syariat Islam adalah suatu syariat yang toleran. ArRazi selanjutnya berkata: `Oleh karena membuka muka dan kedua tapak tangan itu
hampir suatu keharusan, maka tidak salah kalau para ulama juga bersepakat, bahwa
kedua anggota tersebut bukan aurat.`
Kholwah
Kholwah adalah bersendirian dengan seorang perempuan lain (ajnabiyah). Yang
dimaksud perempuan lain, yaitu: bukan isteri, bukan salah satu kerabat yang haram
dikawin untuk selama-lamanya, seperti ibu, saudara, bibi dan sebagainya.
Ini bukan berarti menghilangkan kepercayaan kedua belah pihak atau salah satunya,
tetapi demi menjaga kedua insan tersebut dari perasaan-perasaan yang tidak baik
yang biasa bergelora dalam hati ketika bertemunya dua jenis itu, tanpa ada orang
ketiganya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda sebagai berikut :
`Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia
bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena
yang ketiganya ialah syaitan.` (Riwayat Ahmad)
`Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan seorang
perempuan, kecuali bersama mahramnya.`
Melihat Jenis Lain dengan Bersyahwat
Di antara sesuatu yang diharamkan Islam dalam hubungannya dengan masalah
gharizah, yaitu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan dan seorang,
perempuan memandang laki-laki. Mata adalah kuncinya hati, dan pandangan adalah
jalan yang membawa fitnah dan sampai kepada perbuatan zina.
`Katakanlah kepada orang-orang mu`min laki-laki: hendaklah mereka itu
menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya (an-Nur: 30-31)
Menundukkan Pandangan
Yang dimaksud menundukkan pandangan itu bukan berarti memejamkan mata dan
menundukkan kepala ke tanah. Bukan ini yang dimaksud dan ini satu hal yang tidak
mungkin. Hal ini sama dengan menundukkan suara seperti yang disebutkan dalam
al-Quran dan tundukkanlah sebagian suaramu (Luqman 19). Di sini tidak berarti kita

harus membungkam mulut sehingga tidak berbicara.


Tetapi apa yang dimaksud menundukkan pandangan, yaitu: menjaga pandangan,
tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan perempuanperempuan atau laki-laki yang beraksi.
Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada jenis lain tidak mengamatamati kecantikannya dan tidak lama menoleh kepadanya serta tidak melekatkan
pandangannya kepada yang dilihatnya itu.
Oleh karena itu pesan Rasulullah kepada Sayyidina Ali :
`Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu
hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh.`
(Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)
Rasulullah s.a.w. menganggap pandangan liar dan menjurus
kepada lain jenis, sebagai suatu perbuatan zina mata. Sabda
beliau : `Dua mata itu bisa berzina, dan zinanya ialah melihat.`
(Riwayat Bukhari)
Tabarruj
Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang sudah
dikenal oleh orang-orang banyak sejak zaman dahulu sampai sekarang. Ahli-ahli
tafsir dalam menafsirkan ayat yang mengatakan :
`Dan tinggallah kamu (hai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah
kamu dan jangan kamu menampak-nampakkan perhiasanmu
seperti orang jahiliah dahulu.` (Ahzab: 33)
sebagai berikut: Mujahid berkata: Perempuan ke luar dan berjalan di hadapan laki-laki.
Qatadah berkata: Perempuan yang cara berjalannya dibikin-bikin dan menunjuknunjukkan.
Muqatil berkata: Yang dimaksud tabarruj, yaitu melepas kudung dari kepala dan
tidak diikatnya, sehingga kalung, kriul dan lehernya tampak semua.
Cara-cara di atas adalah macam-macam daripada tabarruj di zaman jahiliah dahulu,
yaitu: bercampur bebas dengan laki-laki, berjalan dengan melenggang, kudung dan
sebagainya tetapi dengan suatu mode yang dapat tampak keelokan tubuh dan
perhiasannya.
Jahiliah pada zaman kita sekarang ini ada beberapa bentuk dan macam tabarruj
yang kalau diukur dengan tabarruj jahiliah, maka tabarruj jahiliah itu masih
dianggap sebagai suatu macam pemeliharaan.

Suara Wanita
Ada pendapat yang mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya tidak
boleh wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab,
suara wanita dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan
membangkitkan syahwat. Namun bila ditanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan
dan sandaran, sebenarnya tidak ada.
Sebaliknya Al-Qur`an juga menceritakan kepada kita percakapan yang terjadi antara

Nabi Sulaiman a.s. dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan kaumnya
yang laki-laki. Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi
peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana
pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki,
yang oleh Al-Qur`an diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul (tunduk / lunak /
memikat dalam berbicara).

Pria Memandang Wanita dan Sebaliknya


Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat
dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan
hukumnya oleh para ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati
(taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api.
Sebab itu, ada ungkapan, `memandang merupakan pengantar perzinaan.` Dan
bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini,
yakni: `Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam,
lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu.`
Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut,
leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, adalah tidak diperbolehkan
bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini
beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika
dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan
sebagainya, pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan
menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.
Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan
terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan
hal ini apabila terdapat petunjukpetunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan
khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan
setiap persoalan.
Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama alFadhl bin Abbas, dari melihat wanita Khats`amiyah pada waktu haji, ketika beliau
melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw., `Mengapa engkau
palingkan muka anak pamanmu?` Beliau saw. menjawab, `Saya melihat seorang
pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan
terhadap mereka.`
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si muslim, yang
wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun
orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi
sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi
sarang pikiran-pikiran yang yimpang.
Diantara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya
haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tibatiba, tanpa sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin
Abdullah, ia berkata:

`Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat orang lain) secara
tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, `Palingkanlah pandanganmu.``
(HR Muslim)
Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki?
Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah disepakati akan
keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali
dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup
dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang
menurut syara`.
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat lakilaki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan
hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan
sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing
hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara`.
Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan
berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah saw. pernah membuka pahanya dalam
beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.
Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa
aurat mughalladhah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini
bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.
Para fuqaha hadits berusaha mengkompromikan antara hadits-hadits yang
bertentangan itu sedapat mungkin atau mentarjih (menguatkan salah satunya).
Imam Bukhari mengatakan dalam kitab sahihnya `Bab tentang Paha,` diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy dari Nabi saw. bahwa paha itu
aurat, dan Anas berkata, `Nabi saw. pernah membuka pahanya.` Hadits Anas ini
lebih kuat sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.

Anda mungkin juga menyukai