Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anak Usia Sekolah Dasar

2.1.1 Definisi
Anak sekolah menurut definisi WHO (World Health Organization) yaitu
golongan anak yang berusia antara 7-15 tahun , sedangkan di Indonesia lazimnya
anak yang berusia 7-12 tahun.
2.1.2 Karakteristik
Anak sekolah merupakan golongan yang mempunyai karakteristik mulai
mencoba mengembangkan kemandirian dan menentukan batasan-batasan norma.
Di sinilah variasi individu mulai lebih mudah dikenali seperti pertumbuhan dan
perkembangannya, pola aktivitas, kebutuhan zat gizi, perkembangan kepribadian,
serta asupan makanan (Yatim, 2005). Ada beberapa karakteristik lain anak usia ini
adalah sebagai berikut :

Anak banyak menghabiskan waktu di luar rumah

Aktivitas fisik anak semakin meningkat

Pada usia ini anak akan mencari jati dirinya

Anak akan banyak berada di luar rumah untuk jangka waktu antara 4-5
jam. Aktivitas fisik anak semakin meningkat seperti pergi dan pulang sekolah,
bermain dengan teman, akan meningkatkan kebutuhan energi. Apabila anak tidak
memperoleh energi sesuai kebutuhannya maka akan terjadi pengambilan
cadangan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga anak menjadi lebih
kurus dari sebelumnya (Khomsan, 2010).
Pada usia sekolah dasar anak akan mencari jati dirinya dan akan sangat
mudah terpengaruh lingkungan sekitarnya, terutama teman sebaya yang
pengaruhnya sangat kuat seperti anak akan merubah perilaku dan kebiasaan
temannya,

termasuk perubahan kebiasaan makan. Peranan orangtua sangat

Universitas Sumatera Utara

penting dalam mengatur aktivitas anaknya sehari misalnya pola makan, waktu
tidur, dan aktivitas bermain anak (Moehyi 1996).
2.2

Pola Makan
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran

mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh
seseorang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu.
Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan
dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis , psikologis,
sosial, dan budaya (Suhardjo, 2003).
Kebiasaan makan dalam kelompok memberi dampak pada distribusi
makanan bagi anggota kelompok. Mutu serta jumlah bagian tiap anggota hampir
selalu didasarkan pada status hubungan antar anggota , bukan atas dasar
pertimbangan-pertimbangan gizi. Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi
kebiasaan makan, yaitu : faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah
faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang meliputi asosiasi
emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan serta penilaian yang lebih terhadap
makanan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar dari tubuh
manusia yang meliputi lingkungan alam, sosial, ekonomi, budaya, dan agama
(Khumaidi, 1994).
2.2.1 Kebutuhan Nutrisi Berdasarkan Usia Tumbuh Kembang
Pada usia sekolah ini kebiasaan makan pada anak tergantung pada
kehidupan sosial, kadang-kadang anak malas makan di rumah karena kondisi
yang tidak disukai. Pada usia ini kemampuan makan dengan menggunakan
sendok, piring, dan garpu sudah baik. Pada usia sekolah, tata cara dalam makan
seperti makan dengan posisi duduk, mencuci tangan sebelum makan, tidak
mengisi mulut secara penuh dan mengambil makanan secara bersamaan. Kadangkadang anak usia sekolah juga malas untuk makan akibat stress atau sakit

Universitas Sumatera Utara

sehingga perlu pemantauan dan anak sekolah cenderung suka makan secara
bersamaan dengan teman sekolahnya (Hidayat, 2005).
2.2.2 Pemberian Makan pada Anak Umur 7-12 Tahun
Golongan umur ini sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup.
Mereka jarang terjangkit infeksi atau penyakit gizi. Tetapi kebutuhan nutrien
justru bertambah, karena mereka sering melakukan berbagai aktivitas, seperti
bermain di luar rumah, olahraga, pramuka, dan kegiatan sekolah lainnya.
Kebutuhan energi pada golongan umur 10-12 tahun lebih besar daripada golongan
umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan yang lebih pesat dan aktivitas yang lebih
banyak. Sejak umur 10-12 tahun kebutuhan energi anak laki-laki berbeda dengan
anak perempuan. Selain itu, anak perempuan yang sudah haid memerlukan
tambahan protein dan mineral besi (Markum, dkk, 2002).
Tujuan pemberian makan pada bayi dan anak adalah : 1) Memberikan
nutrien yang cukup sesuai dengan kebutuhan, yang dimanfaatkan untuk tumbuh
kembang yang optimal, penunjang berbagai aktivitas, dan pemulihan kesehatan
setelah sakit, dan 2) Mendidik kebiasan makan yang baik, mencakup penjadwalan
makan, belajar menyukai, memilih, dan menentukan jenis makanan yang bermutu
(Markum, dkk, 2002).
Makan bersama dengan anggota keluarga tetap dianjurkan untuk menjalin
keakraban keluarga. Beberapa anak kurang menyukai makanan di rumah dan
lebih banyak jajan di luar karena itu harus pandai-pandai memilih dan
menghidangkan makanan di rumah. Namun sewaktu-waktu anak dapat makan di
luar bersama keluarga (Markum, dkk , 2002).
Cara pemberian makan pada anak yang tidak tepat dapat menjadikan anak
sulit makan, contohnya memberikan makanan dengan kasar atau dengan marahmarah, suka memaksa anak untuk cepat-cepat menghabiskan makanan setiap kali
makan, memberikan makan terlalu banyak, menetapkan banyak aturan yang harus
dilakukan anak pada saat makan, dan waktu yang tidak tepat (Widodo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Pengaturan Makan pada Anak Usia Sekolah (7-12 Tahun)


Jadwal pemberian makan merupakan kelanjutan dari jadwal masa bayi
dengan sedikit penyesuaian, menjadi sebagai berikut : 3 kali makan utama (pagi,
siang, dan malam/sore), diantaranya diberikan makanan kecil atau jajanan, dan
bila mungkin tambahan susu (Markum, dkk, 2002). Secara lebih terinci jadwal
yang dianjurkan adalah :
Tabel 2.1 Pola Makanan Anak Usia 7-12 Tahun
Umur

7-9 tahun

9-12 tahun

BB 23kg(1900

BB 30 kg(2100

kkal)

kkal)

Jam pemberian makan

06.00 : susu + gula

200

1 gelas

200

1 gelas

07.00 : nasi 1)

100

gelas

150

1 gelas

50

1 butir

50

1 butir

50

1potong

50

1 potong

150

1 gelas

200

1 gelas

hewani 2)

50

1potong

50

1 potong

nabati 3)

25

1potong

25

1 potong

sayuran

50

gelas

75

gelas

buah

50

1potong

50

1 potong

16.00 : bubur kacang hijau 4)

200

1 gelas

200

1 gelas

18.00 : nasi

150

1 gelas

150

1 gelas

hewani

50

1potong

50

1 potong

nabati

25

1potong

25

1 potong

sayuran

50

gelas

75

gelas

buah

50

1potong

50

1 potong

200

1 gelas

200

1 gelas

20

2 buah

20

2 buah

telur
10.00 : kue
12.00 : nasi 1)

21.00 : susu gula


biskuit 5)

urt

urt

Sumber : Subbagian Gizi anak FKUI/RSCM

Universitas Sumatera Utara

Keterangan :
1) Dapat diganti dengan makanan penukarnya seperti roti, jagung,
kentang, sagu.
2) Diartikan sumber protein hewani : daging, telur, hati, ikan laut, ikan
tawar.
3) Diartikan sumber protein nabati : tahu, tempe, kacang-kacangan.
4) Dapat diganti dengan makanan penukar sebanyak 25 gram.
5) Berat biskuit Regal : 8-10 gr/buah
Berat biskuit Farley : 15-16 gr/buah
Urt : ukuran rumah tangga
G : gram
Jenis bahan makanan pokok untuk dihidangkan terdiri atas : 1) Serealia,
yang merupakan makanan pokok dan sumber kalori. Misalnya tepung, beras, ubi,
ketela, sagu, jagung. 2) Makanan asal hewan sebagai lauk-pauk dan sumber
protein hewan, seperti telur, daging, jeroan, ikan tawar , ikan laut, dan daging
unggas. 3) Sayuran sebagai lauk-pauk. Misalnya kacang-kacangan sebagai sumber
protein nabati, seperti kacang hijau, kacang panjang, daun-daunan seperti bayam,
kangkung, daun ketela, kubis, dan umbi-umbian seperti wortel, bit (makanan yang
telah diolah menjadi tahu dan tempe). 4) Buah-buahan merupakan sumber vitamin
A dan vitamin C, seperti alpukat, nenas, pisang, jeruk, pepaya, dan mangga
(Markum, dkk, 2002).
2.2.4 Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
Angka kecukupan gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances
(RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus dipenuhi dari
makanan untuk mencukupi hampir semua orang sehat. Tujuan utama penyusunan
AKG ini adalah untuk acuan perencanaan makanan dan menilai tingkat konsumsi
makanan individu/masyarakat ( Almatsier, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Hardiansyah dan Tambunan (2004) mengartikan Angka Kecukupan


Energi (AKE) adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang
seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran
tubuh (berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan
kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Selanjutnya Angka Kecukupan
Protein (AKP) dapat diartikan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan
protein yang hilang ditambah sejumlah tertentu, agar mencapai hampir semua
populasi sehat (97.5%) di suatu kelompok umur, jenis kelamin, dan ukuran tubuh
tertentu pada tingkat aktivitas sedang. Angka kecukupan energi dan protein pada
anak usia sekolah dapat dilihat pada tabel 2.2
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Energi dan Protein pada Anak Usia Sekolah
Umur

Berat

Tinggi

Angka

Kecukupan Angka

Kecukupan

(tahun)

Badan

Badan

Energi

Protein

(kg)

(kg)

(kkal/orang/hari)

(gram/orang/hari)

7-9

25.0

120

1800

45

Pria

35.0

138.0

2050

50

38

145

2050

50

10-12
Wanita
10-12

Sumber : Hardiansyah dan Tambunan (2004) diacu dalam Widya karya Nasional
Pangan dan Gizi VIII, 2004.
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intake Makan pada Anak Sekolah
Dasar
1.

Peran Keluarga
Peranan keluarga amat penting bagi anak sekolah, bahkan pada pemilihan

bahanan makanan sekalipun. Makan bersama keluarga dengan suasana yang akrab
akan dapat meningkatkan nafsu makan mereka (Widodo, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2. Peranan Ibu
Sekalipun anak-anak sudah bermain dengan anak-anak lain di luar rumah,
keluarga masih merupakan pengaruh sosialisasi yang terpenting. Tidak hanya
lebih banyak kontak dengan anggota-anggota keluarga daripada dengan orangorang lain tetapi hubungan itu lebih erat, lebih hangat, dan lebih bernada
emosional. Hubungan keluarga yang erat ini pengaruhnya lebih besar pada anak
daripada pengaruh-pengaruh sosial lainnya.
Peranan ibu terhadap lingkungan anak-anak ini tidak terhenti dimasa anakanak saja tetapi harus terus berlangsung dan kadang-kadang sampai seumur
hidupnya, khususnya pengaruh yang berupa pengalaman yang menegangkan ,
menakutkan, menggoncangkan dan membahayakan. Secara khusus, ibu sebagai
orang dekat dengan anak akan dapat menjaga kesehatan anak. Ibu dapat
memberikan pengertian, memperbaiki pola asuh makan, meningkatkan kegiatan
aktivitas fisik, mengenalkan pendidikan gizi sedini mungkin , membatasi promosi
makanan yang tidak sehat. Kesemuanya itu sangat berpengaruh pada tumbuh
kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebabkan anak tidak
suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat memudahkan
terjadinya infeksi (Soekirman, 2000).
3. Teman Sebaya
Tidak heran jika asupan makan akan banyak dipengaruhi oleh kebiasaan
makan teman-teman atau sekelompoknya. Apa yang diterima oleh kelompok
(berupa figur idola, makanan, minuman) juga dengan mudah akan diterimanya.
Demikian pula halnya dengan pemilihan bahan makanan. Untuk itu, perlu
diciptakan dalam sekelompok itu suatu kondisi supaya mereka mendapatkan
informasi yang baik dan benar mengenai kebutuhan dan kecukupan gizinya
sehingga mereka tidak perlu membenci makanan yang bergizi.

Universitas Sumatera Utara

4. Media Massa
Media massa lebih banyak berperan disini adalah media televisi, koran, dan
majalah. Di satu sisi banyak sekali iklan makanan yang kurang memperhatikan
perilaku yang baik terhadap pola makan. Oleh sebab itu, informasi tersebut harus
pula ditunjang dengan informasi ilmiah yang benar mengenai kesehatan dan gizi
(Judiono, 2003).
2.2.6 Pengaruh Makan Malam Bersama Keluarga Terhadap Status Gizi
Anak Usia Sekolah Dasar (7-12 Tahun)
Suasana dalam keluarga yang menyenangkan berpengaruh pada pola
kebiasaan makan anak. Hal ini dapat meningkatkan gairah makan dan membuat
anak menyukai makanan yang disajikan. Suatu studi mengungkapkan, pola makan
anak usia sekolah dasar dari keluarga bahagia cenderung lebih baik daripada
mereka yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Hal ini dilandasi oleh
tidak adanya kebiasaan makan bersama. Pola makan seorang anak pada dasarnya
dapat dibentuk oleh keluarganya, kalau orang tua dapat memperhatikan pola
konsumsi anak-anaknya, maka mereka bisa mengontrol dan menasihati makanan
apa yang seharusnya dikonsumsi dan makanan apa yang seharusnya dihindari
(Khomsan, 2010).
Makan bersama keluarga dihubungkan dengan asupan makanan yang
bergizi dan sehat bagi keluarga. Pada penelitian Gillman et al (2000) menemukan
makan malam keluarga banyak mengkonsumsi buah dan sayur, sedikit makanan
yang berminyak dan soda, sedikit saturated and trans fat, rendah gula, dan
banyak serat. Neumark-Sztainer et al (2000) juga menemukan hubungan positif
antara frekuensi makan keluarga dengan asupan buah, sayuran, makanan tinggi
kalsium, dan hubungan negatif dengan konsumsi soft drink.
Pada era kemajuan seperti saat ini, orang tua memang telah menjadi
manusia sibuk karena urusan pekerjaan di luar rumah. Oleh karena itu kebiasaan
makan bersama akhirnya luntur karena tiadanya waktu saling berkumpul, apalagi
makan bersama. Orang tua yang terlalu sibuk tidak bisa menyajikan makanan

Universitas Sumatera Utara

yang bergizi untuk anak-anaknya sehingga memungkinkan anak untuk memilih


makanan cepat saji yaitu makanan fast food yang umumnya mengandung kalori
tinggi, kadar lemak, gula, dan sodium (Na), tetapi rendah serat kasar, vitamin A,
asam askorbat, kalsium, dan folat. Kandungan gizi yang tidak seimbang ini bila
terlanjur menjadi pola makan, akan berdampak negatif pada keadaan gizi anak
(Khomsan, 2010).
2.3

Pola Tidur Anak


Tidur merupakan suatu proses aktif yang memiliki variasi siklis normal

dalam kesadaran mengenai keadaan sekitar. Berbeda dengan keadaan terjaga,


orang yang sedang tidur tidak secara sadar waspada akan dunia luar, tetapi tetap
memiliki pengalaman kesadaran dalam batin, misalnya mimpi. Selain itu, orang
yang tidur dapat dibangunkan oleh rangsangan eksternal, misalnya bunyi alarm.
Tidur merupakan aktivitas susunan saraf pusat yang berperan sebagai lonceng
biologik (Mardjono, 2009).
Karakter dan pola tidur anak mengalami suatu transisi normal dari masa
bayi sampai masa dewasa, yang dipengaruhi tidak saja oleh faktor kematangan
saraf, tetapi juga oleh temparamen anak dan lingkungan pengasuhan. Siklus tidur
terdiri atas 2 keadaan berbeda :
1) Tidur aktif (REM) yang ditandai oleh rapid eye movement ( gerakan mata
cepat), gerakan motorik, vokalisasi, mimpi, dan mudah terbangun.
2) Tidur tenang dalam atau non REM. Ada 4 tahap, yaitu :

Tahap 1 : tahap paling pangkal dari tidur, tahap berakhir dalam


beberapa menit, pengurangan aktivitas fisiologis, mudah terbangun
dan jika terbangun merasa seperti melamun.

Tahap 2 : merupakan proses tidur bersuara, kemajuan relaksasi, untuk


terbangun masih relatif mudah, tahap berakhir 10-20 menit.

Tahap 3 : tahap awal dari tidur yang dalam, tidur sulit dibangunkan
dan jarang bergerak, otot-otot dalam keadaan relaksasi penuh, tanda

Universitas Sumatera Utara

tanda vital menurun tapi tetap teratur, tahap berakhir dalam 15-30 menit.

Tahap 4 : merupakan tahap tidur terdalam , sangat sulit membangunkan orang


yang sedang tidur pada tahap ini , tanda-tanda vital menurun, tahap berakhir
kurang lebih 15-30 menit.
Pola tidur rutin pada orang normal dimulai dengan periode sebelum tidur yaitu

periode mengantuk. Periode ini berkembang selama kurang lebih 10-30 menit.
Ketika seseorang tertidur, biasanya akan melewati 4-6 siklus tidur penuh. Tiap
siklus terdiri dari 1 periode tidur REM (Rapid Aye Movement) dan 4 tahap tidur
NREM. 50% waktu tidur bayi berada dalam keadaan REM, dengan interval
NREM selama 50 sampai 60 menit diantara fase aktif. Sedangkan pada anak dan
orang dewasa, hanya 20% dari waktu tidurnya terdiri atas tidur REM yang
diselingi oleh interval 90 sampai 100 menit tidur tenang atau NREM (Rudolph,
2006). Apabila seseorang mengalami periode REM yang kurang, maka esok
harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang
dapat mengendalikan emosinya, nafsu makan bertambah dan nafsu birahinya juga
akan lebih besar. Sedangkan jika NREM yang kurang, keadaan fisik menjadi
kurang gesit. Dengan adanya tidur, maka manusia dapat

memelihara

kesegarannya, kebutuhan, dan metabolisme seluruh tubuhnya sepanjang masa


(Mardjono, 2009).
2.3.1 Kebutuhan Tidur Menurut Usia
Neonatus tidur selama sekitar 18 jam sehari, dengan waktu tidur yang
terdistribusi antara sepanjang siang dan malam hari. Namun, pola tidur-bangun
yang cepat akan menyesuaikan diri dengan siklus siang-malam karena adanya
irama sirkadian inheren dan jadwal pengasuhan oleh orangtua. Antara usia 6 dan
15 bulan, sebagian besar anak tidur sekitar 10 sampai 12 jam pada malam hari dan
dua kali tidur siang, masing-masing berlangsung lebih dari 1 jam yaitu pada pagi
hari dan siang hari. Setelah usia 15 bulan, anak biasanya tidur siang sekali sehari
dan pada usia 4 tahun berhenti tidur siang sama sekali. Walaupun terdapat
perbedaan individual yang signifikan, tetapi anak berusia 5 tahun memerlukan

Universitas Sumatera Utara

sekitar 11 jam tidur malam hari, dan anak usia 10 tahun memerlukan tidur malam
sekitar 9.5 jam sampai 10 jam. Sebagian besar remaja memerlukan tidur 8 sampai
9 jam setiap malam, sedangkan pada usia dewasa memiliki waktu tidur malam
hari rata-rata 6-8.5 jam perhari (Rudolph, 2006).
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tidur
Menurut Alimul (2006), kualitas dan kuantitas tidur dipengaruhi beberapa
faktor. Kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk
tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tidur tersebut adalah :
1. Penyakit
Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit
yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan
oleh infeksi (infeksi limfa) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur
untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan
pasien kurang tidur bahkan sampai tidak bisa tidur.
2. Latihan dan kelelahan
Keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak
tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini
terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai
kelelahan. Maka orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena
tahap gelombang lambat (NREM) diperpendek.
3. Stress psikologis
Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa.
Hal tersebut dapat terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah
psikologis mengalami kegelisahan saat tidur.
4. Obat
Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang
dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat
mempengaruhi proses tidur adalah : obat diuretik bisa menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

sesorang menjadi insomnia, anti depressan dapat menekan REM, kafein


dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk
tidur, golongan beta blocker dapat berefek pada timbulnya insomnia, dan
golongan narkotik dapat menekan REM.
5. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses
tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur,
karena adanya triftopan yang merupakan asam amino dari protein yangg
dicerna. Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang juga dapat
mempengaruhi proses tidur bahkan terkadang sulit tidur.
6. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat
mempercepat terjadinya proses tidur.
7. Motivasi
Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur,
yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk
menahan tidak tidur dapat menyebabkan gangguan proses tidur.

2.3.3 Fungsi Tidur


1. Tidur bisa memulihkan fungsi fisiologis dan psikologis.
2. Tidur yang lelap dapat bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung.
3. Tidur untuk memperbaiki proses biologis secara rutin

Selama NREM tahap 4, tubuh melepaskan hormon pertumbuhan


manusia untuk meningkatkan perbaikan dan pertumbuhan sel.

Tidur NREM menjadi sangat penting khususnya pada anak-anak


yang lebih banyak mengalami tidur tahap 4.

4. Tidur memiliki peran untuk mengurangi kelelahan

Tubuh menyimpan energi selama tidur

Otot skelet berelaksasi secara progresif dan tidak adanya kontraksi otot,
menyimpan energi kimia untuk proses seluler.

Universitas Sumatera Utara

Penurunan laju metabolik basal lebih jauh menyimpan persediaan energi


tubuh.

5. Tidur

untuk

meningkatkan

kapasitas

penyimpanan

memori

dan

pembelajaran

Tidur REM dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral,


peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan
pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat membantu penyimpanan memori
dan pembelajaran. Selama tidur, otak akan menyaring informasi yang
disimpan tentang aktivitas pada hari tersebut.

2.3.4 Hubungan Tidur Malam Terhadap Status Gizi Anak Usia Sekolah
Dasar (Usia 7-12 Tahun)
Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya menyatakan ada hubungan
antara tidur yang cukup terhadap berat badan anak. Jumlah waktu tidur yang tidak
cukup pada anak usia sekolah (< 9.5 sampai 10 jam pada malam hari) dapat
meningkatkan resiko kegemukan. Mekanisme fisiologisnya jumlah waktu tidur
yang tidak cukup pada malam hari pada anak dapat menyebabkan perubahan
siklus kadar ghrelin dan leptin yang berperan pada pengaturan nafsu makan
(Lumeng et al, 2007).
Rasa lapar dan rasa kenyang diatur di bagian otak yaitu hipotalamus.
Leptin dan ghrelin merupakan suatu hormon yang secara signifikan dapat
menyebabkan pengaturan berat badan. Hormon leptin adalah salah satu hormon
penting yang berperan dalam pembentukan berat badan setelah makan. Leptin
bekerja di arcuate nucleus untuk menekan nafsu makan dan meningkatkan
metabolic rate dengan menghambat NPY (Neuropeptida Y) dan menstimulasi
melanocortin. Pada orang gemuk yang memiliki simpanan lemak yang besar lebih
banyak produksi leptinnya daripada orang yang kurus. Kadar leptin di dalam
darah yang tinggi (pada orang yang memiliki simpanan lemak yang tinggi)
menginformasikan ke otak untuk mengurangi nafsu makan yang mana ditandai
dengan pengurangan asupan makanan. Kadar leptin di dalam darah yang rendah

Universitas Sumatera Utara

(pada orang yang memiliki simpanan lemak sedikit) menginformasikan ke otak


untuk meningkatkan nafsu makan. Selain berperan dalam mengendalikan asupan
energi (nafsu makan), leptin juga berperan dalam mengendalikan pengeluaran
energi. Peningkatan leptin akan meningkatkan aktivitas fisik, pembentukan panas,
dan pengeluaran energi. Hormon ghrelin dilepaskan oleh mukosa lambung ketika
hormon leptin diproduksi di sel lemak. Ghrelin bekerja di hipotalamus untuk
meningkatkan asupan makan dengan menstimulasi NPY neuron ( Robbins, 2007).
Terdapat hubungan antara hormon melatonin dan hormon leptin.
Melatonin merupakan hormon yang diproduksi pada malam hari saat tidur,
sehingga bila produksi melatonin maka akan mempengaruhi produksi leptin.
Pelepasan leptin bisa menurunkan nafsu makan yang mana diatur oleh circadian
pacemaker yang sebaiknya ditingkatkan pada saat tidur. Ritme sirkadian endogen
(siklus bangun-tidur) mempengaruhi sirkulasi leptin, glukosa, dan kadar insulin.
Penurunan jumlah waktu tidur pada malam hari dapat menurunkan sekresi leptin
dan meningkatkan sekresi ghrelin selama 24 jam. Jumlah waktu tidur yang
singkat ditunjukkan dengan perubahan metabolisme karbohidrat dan gangguan
glucose intolerance yang bisa mempengaruhi berat badan anak. Sedangkan
jumlah tidur yang lama dihubungkan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan
oleh anak sehingga memiliki resiko yang lebih sedikit untuk overweight.
Penurunan kuantitas dan kualitas tidur dapat juga menyebabkan peningkatan
agresi, gangguan tingkah laku, gangguan fungsi memory, dan prestasi akademik
yang buruk pada anak dan dewasa muda (Lumeng et al, 2007).
2.4

Waktu Menonton Televisi


Meskipun Childrens Television Act of 1990 telah membatasi program

televisi untuk anak 10.5 menit/jam dalam satu minggu dan 12 menit/jam pada
akhir minggu, namun banyak anak yang menonton televisi hampir 16 menit/jam.
Setiap anak menghabiskan total 6 jam sehari untuk menonton televisi, bermain
video game, mendengarkan musik atau membaca majalah, namun sebagian besar
orang tua tidak menanggapi hal ini dengan serius (Committee on communications,
2006) .

Universitas Sumatera Utara

Masih dijumpai pertambahan waktu menonton televisi pada anak umur 2


tahun menonton televisi dari waktu yang telah direkomendasikan oleh AAP
(American Academy of Pediatric). Menonton televisi pada usia dini ini
berhubungan dengan gangguan memusatkan perhatian pada usia 7 tahun.
Sehingga tidak dianjurkan menonton televisi pada anak usia dini. Menonton
televisi dalam waktu yang lama dapat mempengaruhi kognitif, kebiasaan, dan
aktivitas fisik anak termasuk juga prestasi di sekolah, perhatian, dan status gizi
anak. Dalam hal ini diperlukan langkah preventif untuk menghindari pengaruh
negatif televisi terhadap anak (Jordan et al, 2006).

2.4.1 Rekomendasi AAP tentang Menonton Televisi


American Academy of Pediatric telah merekomendasikan tentang panduan
menonton televisi pada anak, antara lain: (Committee on public education)
1. Dokter anak sebaiknya memberikan bimbingan tentang bahaya televisi dan
membuat jadwal menonton televisi untuk pasiennya.
2. Dokter anak sebaiknya mengajukan pertanyaan tentang program televisi
yang ditonton oleh pasiennya secara rutin dan memberikan nasihat kepada
orang tua, meliputi hal di bawah ini:
a. Berhati-hati memilih program televisi yang akan ditonton anak
b. Mendiskusikan tentang program televisi yang ditonton
c. Mengajarkan kemampuan dari program yang ditonton
d. Membatasi waktu menonton televisi
e. Memilih peranan tokoh televisi dengan selektif
f. Menyediakan aktivitas yang lain selain menonton televisi
g. Tidak menempatkan televisi di ruang tidur anak
h. Menghindari penggunaan televisi oleh pengasuh anak.
3. Dokter anak harus mendorong orang tua untuk menghindari anaknya yang
berusia di bawah 2 tahun untuk tidak menonton televisi. Hal ini
disebabkan usia di bawah 2 tahun merupakan masa awal pertumbuhan
otak.

Universitas Sumatera Utara

4. Dokter anak sebaiknya menganjurkan tokoh televisi yang sesuai untuk


anak

dan membatasi waktu menonton televisi, video serta tidak

meletakkan televisi di kamar tidur anak.


5. Dokter anak sebaiknya waspada dan memberikan edukasi pada orang tua,
anak, remaja, guru, tentang pengaruh negatif televisi. Namun perlu juga
diberi tahu manfaat dari televisi terhadap pendidikan anak.
6. Dokter anak harus bekerja sama dengan orang tua, guru, pihak sekolah dan
masyarakat untuk mempromosikan televisi sebagai media edukasi.
7. Dokter anak sebaiknya melibatkan anak dengan kegiatan umum di
lingkungannya serta mendorong stasiun televisi untuk menambah program
pendidikan di televisi.
8. Dokter anak sebaiknya mendorong pemerintah untuk memerintahkan dan
mendanai stasiun televisi dalam membuat program pendidikan dan
mendemonstrasikan program televisi ini di sekolah.
9. Dokter anak sebaiknya mendorong pemerintah dan yayasan lainnya untuk
melakukan penelitian terhadap media edukasi dan penelitian lainnya yang
berkaitan dengan pengaruh negatif televisi.

2.4.2 Keuntungan Media Televisi


Dalam beberapa dekade, AAP telah merekomendasikan keunggulan media
massa untuk anak dan remaja, salah satunya adalah televisi. Adapun keunggulan
televisi adalah televisi dapat menyediakan program pendidikan untuk anak usia
sekolah, menambah kreativitas dan pengetahuan anak. Namun selain televisi
mempunyai keunggulan, televisi juga mempunyai pengaruh negatif bagi anak dan
remaja. Tidak semua program televisi mengandung makna negatif bagi anak dan
remaja. Program televisi berupa media pendidikan justru dapat mengurangi efek
negatif televisi lainnya. Media ini mampu menguraikan tujuan dan pesan dari
tayangan televisi sehingga anak dapat mengerti dan memahami pesan serta
gambar yang dilihatnya di televisi dan memudahkan anak serta orangtua untuk
memutuskan apakah mereka perlu menonton suatu tayangan televisi (Thakkar et
al, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Dengan adanya media edukasi orangtua dapat membuat keputusan yang


tepat seperti memilih tayangan yang kreatif untuk anak, membangun pikiran yang
kritis, menambah kemampuan dan memahami masalah politik, sosial, ekonomi.
Program televisi edukasi juga berhasil menambah pengetahuan anak usia
prasekolah, memperbaiki perilaku dan menambah imajinasi (Thakkar et al, 2006).
2.4.3 Pengaruh Menonton Televisi Terhadap Status Gizi Anak
Televisi bisa berdampak dalam mempengaruhi status gizi anak. Televisi
bisa mempengaruhi kebiasaan makan anak dan menyebabkan anak menjadi
kurang gerak (kurang aktivitas). Hal ini dikarenakan sangat intensifnya anak-anak
berada di depan televisi. Lamanya waktu menonton televisi diperkirakan hanya
dikalahkan oleh lamanya waktu tidur. Survey di Amerika Serikat menunjukkan
anak-anak prasekolah rata-rata menonton televisi 26.3 jam/minggu, 3 jam
diantaranya adalah acara iklan. Iklan-iklan makanan di televisi tidak jarang
menonjolkan karakteristik fisik dari makanan seperti rasa yang renyah, rasa
manis, dan rasa coklat. Hal ini membuat anak-anak berkeinginan kuat segera
mencicipinya. Pengaruh televisi terhadap kebiasaan makan dapat terjadi melalui
dua proses. Pertama, iklan televisi akan menyebabkan alokasi pembelian jenis
makanan baru yang sebelumnya tidak pernah dikonsumsi. Anak-anak yang
konsumsi makannya tergantung ketersediaan pangan di rumah akhirnya terkondisi
dengan jenis-jenis makanan baru yang dibeli ibunya. Akhirnya terbentuklah
kebiasaan makan dengan komoditi pilihan berdasarkan iklan televisi. Kedua,
makanan dalam iklan-iklan televisi seringkali ditampilkan dalam rangka
menunjang suatu aktivitas. Jadi tidak sekedar memenuhi rasa lapar. Karena
banyaknya aktivitas dalam hidup seseorang, maka jenis-jenis makanan yang
menyertai aktivitas itu pun akan semakin banyak. Dan bila makanan-makanan
tersebut bersifat low density nutrients maka ada kemungkinan kasus obsesitas
akan segera muncul (Khomsan, 2010).
Dietz dan Gortmaker (1985) telah meneliti hubungan menonton televisi
dengan obesitas pada anak. Dikemukakan bahwa ada hubungan positif antara
jumlah waktu menonton televisi dengan frekuensi makan panganan (cemilan).

Universitas Sumatera Utara

Pada saat seorang anak menonton televisi, dia tidak hanya menikmati program
intinya tetapi juga terkondisi untuk menerima iklan makanan. Ada kenikmatan
tersendiri bila seorang anak yang sedang nonton televisi makan panganan yang
sama dengan bintang film iklan. Apapun yang dikonsumsi selama menonton
televisi, selama makanan tersebut berupa panganan yang hanya padat kalori, maka
dampaknya adalah kelebihan bobot badan. Survei dari kedua peneliti tersebut juga
menunjukkan semakin lama seorang anak menonton televisi, maka konsumsi
makanan seperti yang diiklankan dalam televisi juga meningkat. Ini membuktikan
kebiasaan makan ini dapat berubah karena intervensi iklan di televisi. Penemuan
lainnya adalah meningkatnya waktu menonton televisi akan membuat anak
mempengaruhi pola belanja makanan orang tuanya di pasar swalayan. Pada saat
orang tua akan berbelanja, anak langsung menyampaikan daftar pesanan panganan
yang harus dibeli ibunya. Meningkatnya kebiasaan mengkonsumsi panganan
padat kalori dan banyaknya waktu yang digunakan untuk menonton televisi
membuat anak-anak rawan terhadap obesitas (Khomsan, 2010).
Menonton televisi tergolong ke dalam aktivitas ringan. Ini berarti tidak
banyak energi yang terpakai, sementara itu konsumsi energi panganan meningkat
terus sehingga terjadilah keseimbangan energi positif. Aktivitas anak sebelum dan
sesudah era televisi tampak berbeda, dulunya anak sering bermain bersama
teman-temannya di luar rumah tetapi sekarang anak lebih memilih untuk
menonton televisi seharian di rumah. Oleh karena itu, orang tua harus pandaipandai mengatur jadwal menonton televisi bagi anak-anaknya supaya energi
tubuh dapat tersalurkan keluar melalui aktivitas fisik lainnya. Hari minggu/libur
sebaiknya dimanfaatkan untuk rekreasi keluarga di luar rumah. Acara televisi
pada hari Minggu biasanya penuh dengan hiburan yang menarik, seperti film
kartun, oleh karena itu orang tua yang bijaksana harus mengajak putra-putrinya
untuk beraktivitas fisik sehabis menonton acara TV di pagi hari (Khomsan, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.5

Penilaian Status Gizi Anak

2.5.1 Status Gizi


Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat mengkonsumsi makanan
dan menggunakan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik,
dan lebih (Almatsier, 2004). Sedangkan menurut Soekirman (2000), status gizi
adalah keadaan kesehatan akibat interaksi antara makanan, tubuh manusia, dan
lingkungan hidup manusia.
Status gizi seorang anak pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor
sebagai berikut : (Soekirman, 2000)
1. Penyebab langsung , yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang
mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik
tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status
gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makannya tidak cukup baik,
daya tahan tubuhnya akan lemah dan pada akhirnya mempengaruhi status
gizinya.
2. Penyebab tidak langsung, terdiri dari :
a. Ketahanan pangan di keluarga, terkait dengan ketersediaan pangan
(baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain),
harga pangan, dan daya beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi
dan kesehatan.
b. Pola pengasuhan anak, berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh
lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan,
merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya.
Kesemuanya berhubungan dengan keadaan kesehatan ibu dalam hal
kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum,
pengetahuan tentang pengasuhan yang baik, peran dalam keluarga atau
di masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak.
c. Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan
pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan


gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan
atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga
serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan ,
ditambah dengan pengalaman ibu tentang kesehatan, makin kecil risiko anak
terkena penyakit dan kekurangan gizi.
Selain itu, ada beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi terjadinya
status gizi lebih (kegemukan) antara lain : (Salam 1989, dalam Nelly, 2008).
1. Jenis kelamin
Status gizi lebih dijumpai pada wanita terutama pada saat remaja, hal ini
disebabkan faktor endokrin dan perubahan hormonal (Arisman, 2004).
2. Umur
Anak yang status gizi lebih cenderung pada saat remaja dan dewasa serta
dapat berlanjut ke masa lansia (Arisman, 2004).
3. Tingkat sosial ekonomi
Sosial ekonomi keluarga adalah keadaan keluarga dilihat dari pendidikan
orang tua, status pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, penghasilan keluarga,
status pekerjaan orangtua, dan jumlah anggota keluarga. Orang tua yang
berpendidikan tinggi biasanya mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang
tentang

gizi.

Menurut

Hidayati,

dkk

(2006)

peningkatan

pendapatan

mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.


4. Faktor lingkungan
Anak sekolah sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan. Kesibukan
menyebabkan mereka memilih makan di luar, atau menyantap jajanan. Lebih jauh
lagi kebiasaan ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan terutama iklan di televisi.
Teman sebaya berpengaruh besar pada anak sekolah atau remaja dalam hal
memilih jenis makanan.

Universitas Sumatera Utara

5. Aktivitas fisik
Sebagian besar energi masuk melalui makanan pada anak remaja dan orang
dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik
menyebabkan banyak energi tersimpan sebagai lemak, sehingga orang-orang yang
kurang melakukan aktivitas cenderung menjadi gemuk. Aktivitas fisik
berkonstribusi terhadap kejadian obesitas terutama kebiasaan duduk terusmenerus, menonton televisi, penggunaan komputer, dan alat-alat berteknologi
tinggi lainnya.
6. Kebiasaan makan
Orang yang banyak makan akan memiliki gejala cenderung untuk menderita
kegemukan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang serat
merupakan faktor penunjang timbulnya masalah kegemukan (Salam, 1989).
7. Faktor psikologis
Menurut Dariyo (2004), keadaan psikologis yang dapat menyebabkan status
gizi berlebih adalah ketidakstabilan emosional yang menyebabkan individu
cenderung untuk melakukan pelarian diri dengan cara banyak makan makanan
yang mengandung kalori atau kolesterol tinggi.
8. Faktor budaya
Kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangan merupakan salah satu
manifestasi kebudayaan keluarga yang disebut life style (gaya hidup). Faktorfaktor yang merupakan asupan (input) bagi terbentuknya suatu life style keluarga
ialah : penghasilan, pendidikan, lingkungan kota atau desa, susunan keluarga,
pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan, pendapat tentang kesehatan, pengetahuan
gizi, produksi pangan. Tingkat obesitas (status gizi lebih) sangat erat hubungan
nya dengan proses modernisasi (akulturasi) dan meningkatnya kemakmuran bagi
sekelompok masyarakat. Pola hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) dan pola
makan yang mengkonsumsi makanan siap saji (fast food)telah menjadi secular
trend bagi masyarakat kita terutama di kota-kota besar.

Universitas Sumatera Utara

9. Faktor genetik
Menurut Whitney dkk, (1990) dan Hegarthy (1996) genetik memegang
peranan penting dalam mempengaruhi berat dan komposisi tubuh seseorang.
2.5.2 Cara Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi merupakan cara yang dilakukan untuk menilai status
gizi seseorang. Pada anak, untuk mengetahui pertumbuhannya secara praktis bisa
dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan anak secara teratur. Cara
penilaian status gizi dapat ditentukan dengan cara penilaian langsung, meliputi :
antropometri, biokimia, klinis dan biofisik atau secara tidak langsung meliputi
survey konsumsi, statistik vital, dan faktor ekologi (Yuniastuti, 2008).
Penilaian status gizi (Yuniastuti, 2008)
1. Analisis diet
Untuk menilai kualitatif dan kuantitatif makanan dengan metode
wawancara atau pencatatan makanan sehari-hari. Dari analisis diet dapat
diketahui masalah-masalah yang timbul seperti kesulitan makan, kebiasaan
makan, alergi makanan. Secara kuantitatif akan diketahui jumlah dan jenis
pangan yang dikonsumsi. Metode pengumpulan data yang dapat
digunakan adalah metode recall 24 jam, food records, dan weighting
method. Secara kualitatif akan diketahui frekuensi makan maupun cara
memperoleh pangan. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan
adalah food frequency questionaire dan dietary history.

2. Pemeriksaan klinis
a. Gizi kurang : Kelainan fisik tidak jelas, anak hanya tampak kurus
b. Gizi buruk : Marasmus, Kwashiorkor
Marasmus : Anak tampak sangat kurus, wajah seperti orangtua, cengeng,
perut umumnya cekung, dan kulit keriput seperti baggy pants (pakai celana
longgar).

Universitas Sumatera Utara

Kwashiorkor : Anak tampak edema, wajah nampak membulat, pandangan


mata sayu, rambut tipis serta kemerahan seperti warna rambut jagung,
pembesaran hati, otot mengecil, dan perubahan status mental.

3. Antropometri
Antropometri adalah pengukuran berbagai dimensi fisik tubuh manusia
pada berbagai usia. Pengukuran antropometri terdiri atas dua dimensi, yaitu
pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Di Indonesia pengukuran
antropometri banyak digunakan dalam kegiatan program maupun dalam
penelitian salah satu adalah berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Secara umum pengukuran antropometri memiliki kelebihan sebagai berikut :
1. Penggunaannya sederhana, aman, dan tidak mencederai, dan dapat
untuk ukuran sampel yang besar.
2. Peralatan yang digunakan tidak mahal, portable, tahan lama, dan dapat
dibuat atau dibeli secara lokal.
3. Dapat dilakukan oleh petugas yang relatif tidak ahli sehingga petugas
lapangan yang dilatih dengan baik dapat melaksanakan dengan teliti.
4. Dapat diperoleh informasi tentang riwayat gizi masa lampau, sesuatu
yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain.
5. Dapat digunakan untuk melakukan pemantauan status gizi dari waktu
ke waktu, atau dari satu generasi ke generasi ke generasi berikutnya.
6. Dapat digunakan untuk melakukan screening test dalam rangka
mengidentifikasi individu yang beresiko terhadap malnutrisi.
Pengukuran antropometri juga memiliki kelemahan, antara lain :
1. Kurang sensitif apabila dibandingkan dengan cara lain.
2. Dapat mendeteksi gangguan status gizi yang terjadi dalam periode
waktu singkat, tetapi tidak dapat mengidentifikasi defisiensi zat gizi
khusus.

Universitas Sumatera Utara

3. Tidak dapat membedakan gangguan pertumbuhan atau komposisi


tubuh yang disebabkan oleh defisiensi tertentu (misanya Zn) dengan
defisiensi yang disebabkan oleh gangguan intake energi dan protein.
4. Faktor-faktor non gizi (penyakit genetik) dapat mengurangi spesifisitas
dan sensitivitas pengukuran antropometri, tetapi efek ini dapat
dihilangkan atau dipertimbangkan melalui desain percobaan dan
sampling yang lebih baik.
Dalam penilaian status gizi melalui pengukuran antropometri bisa juga
menggunakan persen (%) untuk menilai status gizi kurang, baik, atau lebih.
Kategori status gizi berdasarkan antropometri :
a. Berat badan
BB/U dibandingkan pada buku yang diacu , dalam % :
Interpretasi :

80-120%

: gizi baik

60-80%

: gizi kurang (tanpa edema), buruk (ada edema)

<60%

: gizi buruk

b. Tinggi badan
Evaluasi TB memerlukan data : umur, seks, standar baku yang diacu, TB
diplot pada kurva TB dinyatakan dalam %:
Interpretasi :

< sentil 5

: defisiensi berat

sentil 5-10

: defisiensi nutrisi/genetik

Penentuan status gizi bisa ditentukan menngunakan Eid Index yaitu


perbandingan berat badan aktual dengan berat badan ideal dalam persen. Berat
badan ideal dapat diketahui dengan bantuan grafik CDC NCHS 2000 sesuai
jenis kelamin dan usia anak yaitu dengan memproyeksikan hasil pengukuran
tinggi badan ke kurva persentil 50 tinggi badan, lalu ke kurva persentil 50 berat
badan. BB menurut TB (BB/TB) : lebih akurat mencerminkan proporsi tubuh (CD

Universitas Sumatera Utara

BB/TB% = BB terukur saat itu dibagi BB baku dari pengukuran TB saat itu
x100%
Interpretasi :

< 70%

: malnutrisi berat

>70-80%

: malnutrisi sedang

>80-90%

: malnutrisi ringan

>90-110%

: normal

>110-120%

: overweight

> 120%

: obesitas

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai