Nama
Nama
KELAS
: DESI MAWARNI
: XI MIA 3
Kisah Sedekah Rasulullah & Fatimah
Seperti biasanya siang itu matahari memanggang kota Makkah dengan amat terik.
Hari itu, Rasulullah baru saja berjamaah sholat Dhuhur bersama para sahabat. Sesaat mereka
selesai membaca dzikir, tiba-tiba seorang laki-laki menyeruak dari shaf paling belakang.
Dengan merunduk-runduk ia melangkahi beberapa sof, langsung duduk dibelakang
Rasulullah. Bau anyir peluh di tubuhnya menyebar. Tubuh lelaki tua itu, kurus, ceking dan
kumuh penuh debu. Kumis dan jambangnya lebar, rambutnya gondrong tak terurus.
Dengan terbata-bata, lelaki tua itu memohon kepada Rasulullah,
Asssalamualaikum.. Yaa Rasulullah... Sudah beberapa hari ini saya kelaparan.
Tubuhku hampir telanjang karena hanya kain selembar dan compang-camping ini yang
kupakai. Saya datang dari pedusunan, nan jauh di puncak bukit sana. Saya lapar dan capek.
Karena itu maaf ya Rasulullah, saya tak bisa ikut serta sholat berjamaah karena tidak mampu
menutup aurat. Adakah sesuap gandum yang bisa mengganjal perut dan selembar kain
penutup aurat ?.
Sebenarnya Rasulullah sangat iba melihat keadaan orang itu. Wajahnya pucat,
bibirnya membiru dan tangannya gemetar memegang tongkatnya. Tetapi apa mau di kata,
beliau tidak sedang tidak punya apa-apa yang bisa diberikan kepadanya.
Siapakah engkau, wahai saudaraku ? Tanya Rasulullah dengan lembut sambil menjabat
tangannya, sementara telapak kirinya menepuk pundak musafir yang kelaparan itu. Nama
tidaklah penting, ya Rasulullah. Tetapi saya adalah sorang Arabi, orang dusun yang sangat
miskin. Saya sangat merindukan bisa bertemu dengan Engkau, wahai kekasih Allah.
Apalagi jika Engkau bersedia mengenyangkan perut saya dan membantu menutup autrat saya
hingga saya bisa kembali sholat, jawab lelaki tua itu terbata.
Tubuhnya gemetar. Rasulullaah sangat terharu. Lalu sabdanya. Sayang sekali, wahai
saudaraku, saya sendiri saat ini juga tidak punya apa-apa seperti hal nya engkau. Tetapi orang
yang menunjukkan kebaikan, sesungguhnya sama saja pahalanya dengan orang yang berbuat
kebaikan. Karena itu saya sarankan agar saudaraku datang kepada orang yang di cintai Allah
dan Rasul-Nya, yang lebih mementingkan Allah ketimbang dirinya sendiri.
Rumahnya sangat dekat dengan rumahku, (yang dimaksud ialah Fatimah az-Zuhra, putri
Rasulullah), mungkin ada sesuatu yang bisa diberikan kepadanya sebagai sedekah.
Dengan diantar oleh Bilal bin Robbah, bekas budak belian berkulit hitam, berangkatlah
musafir tua itu kerumah Fatimah.
Siang itu, kebetulan Fatimah ada dirumah, yang seperti hak nya rumah Rasulullaah,
sangat sederhana. Dengan sangat santun, lelaki itu berkata, Assalamualaikum, wahai putri
Rasulullah, Suaranya serak parau, tubuhnya gemetar, hampir saja jatuh terkulai.
Waalaikumussalam, siapakah kakek? Adakah sesuatu yang dapat saya bantu ?
Dengan penuh harap, sementara kedua bola matanya berkaca-kaca, Badui Arab itu
menceritakan keadaan dirinya, sama seperti yang baru saja ia ceritakan kepada Rasulullah.
Persis, tak kurang tak lebih. Mendengar cerita mengharukan itu, Fatimah bingung.
Ia tak berdaya, Ia tidak memiliki barang yang cukup berharga untuk di sedekahkan.
Padahal selaku keluarga Rasulullah ia telah terbiasa menjalani hidup amat sederhana, jauh di
bawah taraf kehidupan rakyat jelata. Tetapi hatinya tak tega membiarkan lelaki tua dan
miskin itu tetap kelaparan sementara tubuhnya hampir-hampir tak tertutup.
Setelah mencari-cari sesuatu disekeliling rumahnya yang sempit itu, akhirnya Fatimah
memberikan satu-satunya alas tidur miliknya yang biasa di pakai sebagai alas tidur Hasan dan
Husain. Dengan ikhlas, ia pun menyerahkan kepada sang tamu, musafir tadi. Tentu saja si
Badui Arabi itu terheran-heran. Ia butuh makanan karena berhari-hari perutnya keroncongan.
Ia pun juga hampir telanjang karena sudah lama pakaiannya hanya selembar kain kumal yang
sudah compang-camping.
Maaf Wahai putri Rasulullaah yang di cintai Allah. Saya kemari karena lapar dan
mengharapkan selembar kain penutup aurat. Tapi yang engkau berikan hanya ini. Apa yang
bisa saya perbuat dengan selembar kulit kambing ini? kata kakek itu dengan memelas.
Fatimah pun malu bukan main. Ia bertambah bingung. Ia kembali masuk kedalam rumahnya,
Matanya mencari-cari lagi sesuatu yang barangkali dapat ia sumbangkan kepada fakir miskin
itu. Tetapi sungguh, tak ada satu pun barang atau makanan yang layak untuk diberikan.
Ia bertanya-tanya, mengapa ayahku mengirimkan orang ini kepadaku? Padahal ayah tahu aku
tidak lebih kaya daripada beliau.
Sesudah merenung sejenak barulah ia teringat akan seuntai barang pemberian Fatimah
binti Hamzah bin Abdul Mutholib, bibinya. Barang itu amat indah, namun ia merasa kurang
pantas memakainya karena ia dikenal sebagai pemimpin umat. Barang itu adalah sebuah
kalung emas. Buru-buru diambilnya benda itu dari dalam kotak simpanannya, lalu dengan
rasa ikhlas kalung kesayangan itu Ia berikan kepada si Badui Arabi. Dengan senyum ramah,
Fatimah pun menyerahkannya. Ambillah kalung ini, kakek. Inilah satu-satunya benda
berharga yang sempat saya miliki dan layak saya berikan pada kakek. Ambillah, saya
mengikhlaskannya. Mudah-mudahan Allah SWT berkenan menggantinya dengan sesuatu
yang lebih baik dan lebih berharga. katanya dengan lembut tapi penuh hormat.
Nada bicara wanita terhormat itu sangat menyentuh hati. Orang itu terbelalak melihat benda
yang kini di genggamnya. Begitu indah, pasti mahal harganya. Dengan suka cita dan wajah
berseri, orang itu pun kembali menghadap Rasulullah. Diperlihatkannya kepada beliau kalung
emas pemberian Fatimah. Ia pun menceritakan betapa Fatimah dengan ramah dan lembut
tetapi penuh hormat memberinya seuntai kalung emas yang tak ternilai harganya.
Mendengar cerita orang tua itu, Rasulullah tak mampu menahan airmatanya telah
meleleh satu demi satu sambil beliau berdoa, Semoga Allah membalas keikhlasannya,
Diantara jamaah yang ada pada saat itu terdapat salah satu sahabat Rasulullah yang cukup
mampu, Abdurrahman bin Auf. Melihat dan mendengar cerita kakek musafir itu,
Abdurrohman pun berkata, Ya Rasulullah, bolehkah saya membeli kalung itu?
Sambil menyeka kedua belah pipinya yang basah oleh air mata, Rasulullah pun menjawab,
Belilah, jika engkau bersedia. Abdurrohman pun kemudian mendekati Badui Arab yang
menimang-nmang kalung itu. Pak, berapa kalung itu mau kamu jual ? tanyanya kepada
musafir itu. Kakek itu menoleh kepada Rasulullah, Bolehkah saya jual ya Rasul ?
Silahkan, kalung itu milikmu, sahut Rasulullah. Orang itu lantas berkata kepada
Abdurrahman bin Auf, Seharga beberapa potong roti dan daging yang bisa sekedar
mengenyangkan perutku. Tetapi kalau bisa tambahkanlah dengan secarik kain penutup aurat
agar saya bisa menghadap Allah dengan sopan dan bersih, serta beberapa keping dinar agar
saya bisa pulang kampung, Jawab si Badui. Baiklah, Kalung itu saya beli dengan 20 dinar
dan 100 dirham. Selain itu saya tambah dengan roti dan daging secukupnya, Saya juga akan
memberi pakaian serta seekor unta agar engkau bisa pulang kembali ke keluargamu di
dusun, kata Abdurrahman lagi. Alangkah baik budimu. Saya terima tawaranmu, ujar orang
tua itu sembari melangkah menjabat tangan Abdurrahman.
Abdurrohman pun mengantar musafir itu mengambil semua yang di janjikan di
rumahnya. Kini, musafir tua yang dekil itu bersemangat dan berseri-seri . Ia sudah kenyang,
tubuhnya bersih. Dengan pakaian yang rapi, ia mengendarai onta yang sehat.
Bagaimana keadaanmu sekarang, saudaraku? Tanya Rasulullah. Alhamdulillaah, Wahai
kekasih Allah, saya telah mendapatkan yang lebih daripada yang saya perlukan. Bahkan saya
merasa telah menjadi orang kaya. Rasulullah menjawab, Terima kasih kepada Allah dan
Rasul-Nya harus di awali dengan berterima kasih kepada yang bersangkutan. Balaslah
kebaikan Fatimah. Kontan, orang tua itu pun mengangkat kedua tangannya ke atas, Ya,
Allah. Aku tak mampu membalas kebaikan Fatimah dengan sepadan. Karena itu hamba
memohon kepada-Mu, berilah Fatimah balasan dari hadirat-Mu, berupa sesuatu yang tidak
terlintas di mata, tidak terbayang di telinga dan tidak terbesit di hati, yakni surga-Mu,
Jannatun Naim. Rasulullah menyambut doa itu dengan aamiin seraya tersenyum ceria.
Beberapa hari kemudian, budak Abdurrohman bin Auf bernama Sahm datang
menghadap Rasulullah dengan membawa kalung yang di beli dari orang tua itu. Ya
Rasulullah, ujar Sahm, Saya datang kemari di perintah Tuan Abdurrohman bin Auf untuk
menyerahkan kalung ini untukmu, dan diri saya sebagai budak diserahkannya kepadamu
Rasulullah tertawa, Kuterima pemberian itu. Nah, sekarang lanjutkanlah perjalananmu
kerumah Fatimah, anakku. Kalung ini tolong serahkan kepadanya, Juga dirimu kuberikan
untuk Fatimah. Sahm lalu mendatangi Fatimah di rumahnya, dan menceritakan pesan
Rasulullah untuknya. Fatimah dengan lega menerima dan menyimpan kalung itu di tempat
semula, lantas berkata kepada Sahm, Engkau sekarang telah menjadi hakku, Karena itu
engkau ku bebaskan. Sejak hari ini engkau menjadi orang yang merdeka.
Sahm tertawa nyaring sampai Fatimah keheranan, Mengapa engkau tertawa?
Bekas budak itu menjawab, Saya gembira menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke
tangan berikutnya. Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri Rasulullah, namun
karena keikhlasan , kalung ini telah membuat kaya orang miskin, telah menjamin surga
untukmu, dan kini membebaskan aku menjadi orang yang merdeka.
Inilah bukti, bahwa sedekah takkan mengurangi harta benda kita. Justru sebaliknya,
Allah SWT akan menggantinya dengan sesuatu yg lebih baik lagi.
NAMA
: DESI MAWARNI
KELAS
: XI MIA 3