Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Masuknya Peradaban ke Indonesia

1. Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pra-Sejarah


Menurut Koentjaraningrat (1987:3-21), secara umum kebudayaan pra-histori Indonesia terbagi
menjadi 4 tahap, yaitu masa kebudayaan manusia tertua (Pithecanthropus Erectus), kebudayaan
Austro-Melanesoid, kebudayaan Neolitik, dan kebudayaan zaman perunggu.
a.

Kebudayaan Manusia Tertua


Disebut juga Penduduk Dataran Sunda, sudah ada kira-kira satu juta tahun yang

lalu. Pithecanthropus Erectus mempunyai tubuh dengan ciri fisik yang berbeda dari
manusia sekarang. Fosil yang ditemukan di beberapa desa di daerah lembah sungai
Bengawan Solo, Jawa Tengah, oleh para ahli antropologi disebut Pithecanthropus
Erectuc. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil dari berburu dan meramu.
Alat berburunya merupakan sebuah alat pemukul dari kayu yang dipukulkan atau
dilemparkan kepada binatang mangsanya. Mereka juga menggunakan gumpal batu yang
telah dipertajam pada satu sisinya, sebagai alat memotong daging binatang yang telah
dibunuh, mengerok kulitnya dan sebagai kapak genggam guna memotong kayu dan
membuat alat-alat yang lain. Tulang-tulang binatang dan tanduk rusa juga dipergunakan
sebagai peralatan untuk berbagai macam pekerjaan, dan untuk mencari dan meramu akarakar untuk dimakan. Sisa-sisa alat-alat dari batu tadi telah ditemukan oleh para ahli
prehistori di berbagai tempat penemuan yang tersebar luas di Indonesia, tetapi juga
ditemukan di Asia Selatan dan Asia Timur. Sedangkan fosil-fosil manusia yang
menunjukkan banyak persamaan dengan Pithecanthropus Erectus juga ditemukan di
sebuah gua dekat Peking, dan kemudian di beberapa tempat lain di Asia Timur.
Di desa Ngandong, ditemukan fosil Homo Soloensis yang bentuk fisiknya telah
berevolusi dan berbeda dari Pithecanthropus Erectus, tapi masih hidup berkelompok dan
berburu, dengan alat-alat batu dan kayu yang kasar dan sederhana.

b.

Masa Persebaran Manusia Austro-Melanesoid


Orang Austro-Melanesoid adalah nenek moyang dari Manusia Wajak yang tinggal

di bagian barat kepulauan Indonesia. Sisa-sisa fosil Homo Wajakensis ditemukan di

distrik Wajak. Ciri-ciri ras yang banyak menyerupai penduduk pribumi Australia,
sebelum orang kulit putih menduduki benua itu. Ciri fisik manusia ini secara dominan
menunjukan ciri Austro-Melanesoid, namun ada campuran dari ras Mongoloid. Manusia
Wajak tersebut sebelumnya sudah menyebar ke arah timur dan ada yang menyebar ke
arah barat. Mereka yang menyebar ke arah timur menduduki Irian, sebelum Kala Es IV
berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut yang memisahkan Irian dari benua
Australia.
Busur dan panah belum mereka kembangkan waktu itu, tetapi mereka
mempergunakan alat-alat seperti alat-alat tusuk dan sendok dari tulang, alat pengeruk dari
kulit kerang, batu penggiling dan sebagainya untuk kehidupan sehari- hari. Mereka juga
menggunakan kepingan-kepingan batu, berupa serpih-serpih kecil, yang dipasangkan
kepada suatu pegangan dari kayu sebagai alat memotong.
Di bagian barat dari kepulauan Indonesia, orang Austro-Melanesoid yang
merupakan nenek moyang dari orang Wajak tersebut, mempunyai suatu kebudayaan yang
sama dengan kebudayaan kelompok di Irian. Pada dasarnya, mereka juga hidup dari
berburu, meramu, dan menangkap ikan di rawa-rawa dan muara sungai. Mereka juga
tinggal di perkampungan Abris sous roches di muara sungai dekat pantai. Tempat tinggal
yang dekat pantai tersebut menyebabkan mereka suka makan kerang. Cangkang kerang
sisa makanan dibuang, dan menjadi timbunan sampah dan menjadi bukit kerang. Bekas
timbunan sampah kerang tersebut disebut Kjokken moddinger atau sampah dapur.
Kegemaran istimewa dari mereka adalah menghias dinding-dinding gua dan karangkarang tempat mereka tinggal dengan gambar-gambar tangan atau binatang yang mereka
lukis dengan cat merah, yang ditemukan di daerah Teluk McCluer dan Teluk Triton (Irian
Jaya), pulau Seram, dan Sulawesi Selatan.

c.
Masa Persebaran Budaya Neolitik
- Gelombang pertama
Gelombang pertama Neolitik persebaran manusia ke Indonesia datang dari Asia
Tenggara. Bentuk fisik dari orang-orang tersebut diperkirakan mempunyai banyak
kesamaan dengan ciri Mongoloid. Bahasa yang digunakannya pun berasal dari keluarga
Bahasa Kadai (Bahasa di Cina Selatan, Hainan, dan Taiwan), Bahasa Cham (Vietnam

Tengah), dan Bahasa Austronesia (Samudra Indonesia dan Pasifik). Bahasa induk tersebut
bisa kita sebut Proto-Austronesia. Kepandaian mereka dalam memenuhi kebutuhan
sehari-harinya adalah bercocok tanam, dengan cara membuka lahan hutan dan
menjadikannya ladang. Pengolahan tanahnya pun masih minim, mereka menanam keladi
dan ubi jalar. Karena metode mereka sangat sederhana dan tanpa irigasi, jika tanah
tersebut hilang kesuburannya, mereka akan meninggalkan tanah tersebut dan membuka
hutan lagi dengan menebang dan membakar. Alat yang mereka gunakan untuk menebang
pohon dan mencangkul adalah alat yang terbuat dari batu yang berbentuk bujur sangkar
dan melonjong, yang diasah sampai mengkilat dan diikat kepada kayu atau rotan. Sisasisa kapak lonjong tersebut oleh ahli prasejarah disebut Walzenbeil.
Mereka juga mengembangkan budaya maritim dengan perahu-perahu bercadik.
Dari Cina selatan, mereka menyebrang ke Kepulauan Pasifik Selatan seperti Taiwan,
Filipina, Sulawesi Utara, Halmahera, dan Maluku Selatan. Dari Taiwan, mereka juga
berlayar menuju Jepang.
Pada masa sekarang, kapak lonjong masih digunakan oleh penduduk Irian di
daerah Pegunungan Jayawijaya sebagai kapak maupun alat bercocok tanam. Masyarakat
Irian mendapatkan keahlian bercocok tanam dan membuat kapak lonjong dari orang
Proto-Austronesia di Halmahera.
-

Gelombang kedua
Gelombang persebaran bangsa di jaman Neolitik juga datang dari Indonesia

bagian barat. Ciri-ciri fisik bersifat Mongoloid, dan mempunyai kesamaan dengan ProtoAustronesia. Sedangkan dengan bahasa, merupakan lanjutan dari bahasa ProtoAustronesia, yang biasa disebut Austronesia. Mereka juga hidup dengan bercocok tanam,
namun alatnya berbeda dengan kapak lonjong. Alat mereka adalah kapak batu besar dan
kecil yang bersegi-segi, yang diasah mengkilat dan diikat ke kayu atau rotan. Sisa kapak
persegi itu oleh para ahli prasejarah disebut Vierkantbeil.
Penyebaran gelombang kedua berasal dari lembah sungai Cina Selatan, menyebar
ke selatan, terus ke Semenanjung Melayu, lalu menduduki Sumatera, Jawa, dan pulaupulau Indonesia bagian barat sampai ke Kalimantan Barat, Nusa Tenggara dan Flores,
Sulawesi, terus sampai ke Filipina, namun tidak sampai ke bagian timur Indonesia.

d.

Persebaran kebudayaan jaman perunggu


Kebudayaan ini berasal dari Dongson, Vietnam Utara, dan berlangsung sekitar

tahun 111 SM sampai 939 SM. Di Dongson, ditemukan bekas-bekas kuburan yang berisi
benda-benda dari perunggu dan besi, nekara (gendering perunggu), kapak perunggu
dengan berbagai bentuk, cendrasa, bejana perunggu tempat abu orang meninggal,
perhiasan dari perunggu, mata uang, dan alat-alat besi. Gambar-gambar hiasan pada
benda-benda perunggu tersebut merupakan ilustrasi dari aspek kehidupan penduduk
Vietnam Utara jaman itu.
Di Indonesia, benda-benda perunggu jaman prasejarah ditemukan di Sumatera,
Jawa, Nusa Tenggara (khusus nya Bali), Sangean (Sumbawa), Rote, Leti, Selayar, Kei,
Alor, Timor, dan Sentani (Irian Jaya).
Di beberapa bagian di Indonesia, seperti di Manuaba, Bali, ditemukan bahwa
barang-barang perunggu tersebut di produksi sendiri. Teori ini di buktikan dari temuan
berupa pecahan-pecahan dari cetakan batu yang dipakai untuk menuang sebuah nekara
perunggu. Sedangkan di beberapa tempat di Indonesia, ditemukan bahwa barang-barang
perunggu tersebut import, gunanya adalah sebagai barang mewah, untuk upacara, dan
lambang kedudukan. Seperti di Nusa Tenggara bagian Timur misalnya, sampai sekarang
nekara perunggu digunakan sebagai mas kawin.
Pada jaman perunggu ini, di perkotaan timbul golongan pertukangan yang
berkejuruan khusus; seperti tukang tenun, tukang tuang perunggu, tukang pandai besi,
dan lain-lain. Hasil kebudayaan ini juga mengalir ke pedesaan.
a. Pengaruh kebudayaan Eropa
Pengaruh kebudayaan Eropa di Indonesia dimulai dengan aktivitas perdagangan
dengan Portugis pada abad 16, setelah Portugis berhasil menaklukan pelabuhan di Selat
Malaka yang letaknya sangat strategis untuk masuk ke Nusantara dari arah barat. Bangsabangsa Eropa lainnya pun ikut ke Nusantara, seperti Belanda, Spanyol, dan Inggris, untuk
bersaing dalam memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Belanda berhasil menduduki Maluku Tengah dengan perusahaan dagangnya,
VOC. Belanda juga berhasil merebut Malaka dari Portugis tahun 1641, dan berkeinginan
untuk memonopoli perdagangan di Banten. Mereka mendirikan benteng dan kota
pelabuhan di Batavia, untuk menjaga dan menguasai Banten dan juga mengamankan
politik monopoli perdagangannya, serta hubungan pelayaran Malaka-Maluku. Namun,
VOC bangkrut pada abad 18, dan diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda. Dengan

demikian, daerah-daerah di Indonesia yang waktu itu dikuasai VOC menjadi jajahan
Negara Belanda.
Pemerintah Belanda membangun pusat pemerintahan di Nusantara, yang
berbentuk kota pemerintahan, yang memiliki pola yang sama. Pusat kota berupa alunalun yang dikelilingi gedung-gedung penting seperti kantor kepala kota, masjid, penjara,
rumah gadai, dan beberapa kantor lain. Lalu ada kampung Cina yang terdiri dari toko
kelontong, pasar, dan lain-lain.
Dalam kota pusat pemerintahan tersebut, seperti di Jawa, Sulawesi Utara, dan
Maluku, berkembang dua lapisan sosial. Lapisan pertama merupakan adalah kaum buruh
yang telah meninggalkan pekerjaannya sebagai petani. Lapisan kedua merupakan kaum
pegawai atau kaum priyayi.
Dalam hal pendidikan, tidak banyak orang Indonesia yang dapat merasakan
pendidikan pada jaman itu. Namun mereka mulai merasakan pentingnya pendidikan.
Orang-orang Indonesia yang beruntung bersekolah di sekolah milik pemerintah Belanda
merasa sangat terbuka dan berkembang pengetahuannya. Hal ini dikarenakan penggunaan
sistem pendidikan kebudayaan Eropa, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Pengaruh kebudayaan Eropa lainnya untuk Indonesia adalah agama. Agama
Katolik dan Kristen Protestan disiarkan di masyarakat yang belum tersentuh agama
Hindu, Budha, dan Islam seperti Irian, Maluku, Sulawesi, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai